Pengertian Reasuransi
Sebelum menguraikan pengertian reasuransi, terlebih dahulu akan diuraikan pengertian
asuransi, karena timbulnya reasuransi tersebut tidak lain diawali dengan adanya asuransi.
Pengertian asuransi atau pertanggungan dapat dilihat dalam ketentuan pasal 246 KUHD yang
menentukan : Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan nama seseorang
penanggung mengikatkan diri kepada seseorang tertanggung, dengan menerima suatu premi,
untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak
tertentu.
Menurut pasal 3 Undang-undang nonor 2 tahun 1992 Asuransi ada tiga yaitu :
1. Usaha asuransi kerugian yang rnemberikan jasa penanggung dengan resiko atas
kerugian kehilangan manfaat dan tanggung jawab hukun kepada pihak ketiga yang tinbul dari
peristiwa yang tidak pasti. Perusahaan perasuransian rnenurut pasal 1 butir 4 Undang-undang
nomor 2 tahun 1992 adalah : Perusahaan perasuransian adalah perusahaan asuransi kerugian
perusahaan reasuransi, perusahaan pialang asuransi perusahaan pialang reasuransi agen asuransi,
perusahaan penilaian kerugian asuransi dan perusahaan konsultan aktuaria.
2. Usaha asuransi iiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan resiko yang dikaitkan dengan
hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan
3. Usaha reasuransi yang memberikan jasa dari pertanggungan ulang terhadap resiko yang dihadapi
oleh perusahaan asuransi kerugian dan atau perusahaan asuransi jiwa.
Makin tinggi produktivitas yang dapat dicapai, menyebabkan makin besar pula tanggung
jawab yang harus dipikulnya. Hal ini rnenberikan peluang yang makin besar pula untuk
memenuhi kewajiban pada suatu waktu dikernudian hari. Keadaan ini sama sekali tidak dapat
dihindarkan demikian saja oleh perusahaan asuransi sebagai penanggung pertama. Risiko
yang ada pada tertanggung dialihkan kepada perusahaan asuransi sebagai penenggung
berdasarkan perjanjian asuransi yeng telah diadakan.
Dengan demikian posisi perusahaan asuransi menjadi pusat konsentrasi risiko dari
berbagai pihak dengan berbagai jenis dan berbagai kapasitas dan tersebar di berbagai tempat atau
lokasi. Sebenarnya istilah reasuransi sudah tidak asing lagi kedengarannya, bahkan kata
reasuransi telah diartikan dalam beberapa bahasa. Dalam bahasa Belanda
disebut "hervezekering", dalam bahasa Inggris disebut "reinsurance", kemudian dalam bahasa
Indonesia oleh Purwosutiipto reasuransi diartikan sebagai "pertanggungan ulang". Mengenai
pengertian reasuransi nasih belun terdapat suatu kesatuan pendapat.
Menurut Purwosutiipto : Pengertian reasuransi timbul bila seseorang Penanggung
pertama (ceding cornpany) yang terlalu berat untuk ditanggung sendirian, menerima suatu risiko
karenanya dia lalu berusaha untuk mengurangi beban risiko itu dengan menyerahkan atau
melimpahkan sebagian risiko kepadaAsuransi penanggung Iain (perusahaan reasuransi)[1]
Sedangkan menurut Abbas Salin pengertian reasuransi adalah " mempertanggungkan
kembali sejumlah risiko oleh suatu perusahaan asuransi kepada perusahaan asuransi lainya[2].
Kedudukan perusahaan asuransi sebagai pusat konsentrasi risiko, secara intern
merupakan satu keadaan yang harus diatasi dengan penuh perhitungan yang tepat dan aman.
Salah satu cara untuk mengatasinya ditawarkan oleh ketentuan hukurn, yaitu pasal 271 KUHD.
Jadi perusahaan asuransi sebagai Penanggung adalah pemegang hak berdasarkan pasal
271 KUHD' tetapi nempunyai kebebasan penuh, apakah akan mengasuransikan risikonya kepada
penanggung lain atau tidak. Diperoleh gambaran, bahwa semua perusahaan asuransi baik itu
perusahaan asuransi kerugian atau perusahaan asuransi jiwa menanfaatkan atau mempergunakan
hak yang diberikan oleh pasal 271 KUHD. Jadi dapat dikatakan pemakaian hak untuk
nereasuransikan lagi berdasarkan pasal tersebut pasti dipergunakan secara maksimal. Ada
beberapa hal dan tindakan lain yang tetap dilaksanakan oleh penanggung
dalam rangka memanfaatkan hak berdasarkan pasal 271 KUHD. Secara urnum juga dapat
diungkapkan bahwa pelaksanaan dan pemanfaatan pasal 271 KUHD tersebut adalah atas
pertimbangan-pertimbangan non yuridis antara lainfaktor manajemen dan teknis asuransi.
Sebagai suatu Iernbaga, tindakan yang dilakukan oleh perusahaan asuransi secara umum
dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor intern perusahaan maupun faktor ekstern
perusahaan antara lain situasi pasar nasional maupun internasional, peraturan-peraturan
yang berlaku pada suatu waktu dan sebagainya. Oleh karena itu tetap dijumpai jawaban yang
mendua atas Pertanyaan terhadap pemakaian atau pemanfaatan pasal 271 KUHD.
Reasuransi adalah suatu perjanjian, yang diadakan antara dua pihak, yaitu antara ceding
conpany perusahaan asuransi sebagai penanggung pertama sebagai pihak pertana dengan
perusahaan reasuransi sebagai Penanggung yaitu pihak kedua. Pihak pertana menyetujui untuk
memindahkan dan pihak kedua menyetujui untuk menerima suatu bagian yang ditentukan dari
suatu risiko sebagaimana ketentuan yang diperjanjikan.
B. Pihak-pihak yang terikat pada perjanjian reasuransi
1. Perjanjian Reasuransi Ceding company, yaitu perusahaan asuransi yang berposisi
sebagai penanggung pertama, yang telah mengeluarkan polis kepada pihak tertanggung, atas
dasar pemberian jaminan untuk rnengganti kerugian atas suatu risiko tertentu berdasarkan
perjanjian asuransi.
2. Penanggung ulang yaitu perusahaan reasuransi, yaitu pihak yang bersedia menerina sebagian
atau seluruh risiko dari penanggungpertama.
Hal tersebut merupakan kunci utama terjadinya perjanjian reasuransi, karena perjanjian
reasuransi hanya dapat dilaksanakan oleh perusahaan asuransiatau ceding company sebagai
penanggung pertama dengan perusahaan reasuransi sebagai penanggung ulang. Perjanjian
reasuransi ada setelah adanyaperjanjian asuransi antara tertanggung dengan penanggung
pertama. Jadi tanpaasuransi, tidak mungkin ada reasuransi. Meskipun denikian, di dalam
perjanjian reasuransi tertanggung asal secara langsung tidak menpunyai kedudukan hukum
apapun sehingga tertanggung asal juga tidak mempunyai hak apapun di dalamperjanjian
reasuransi.
Tertanggung asal adalah pihak di dalam perjanjian asuransi sehingga mempunyai hak,
berdasarkan kepentingan terhadap penanggung tetapi tidak demikian di dalam perjanjian
reasuransi. Sebagai akibatnya, ia sarna sekali tidak dapat mengajukan klain atau tuntutan apapun
terhadap perjanjian reasuransi. Jadi perjanjian reasuransi hanya ditutup dan melibatkan pihak-
pihak tertentu saja yaitu antara pe rusahaan-perusahaan asuransi denglan perusahaan reasuransi.
Meskipun hanya melibatkan pihak-pihak tertentu saja, sebenarnya mernpunyai sasaran yang
cukup luas yaitu pihak tertanggung secara tidaklangsung akan menikmati hasilnya dan
masyarakat luas tetap memperoleh proyeksi yang memadai.
Dalam setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak, tentunya akanmengikat dan
akan melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Begitu juga halnya dengan
reasuransi dimana dalam perjanjian reasuransi tersebut yang mengikat pihak penanggung asal
dengan penanggung untuk melaksanakan hak dan kewajibanya masing-masing. Adapun
kewajiban dari penanggung asal sama halnya dengan tertanggung yaitu terikat membayar premi
yang besarnya sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan sebelumnya. Sedangkan hak dari
penanggung asal adalah meneriama pembayaran ganti rugi dari penanggung apabila tertanggung
asal menderita kerugian sebagai suatu akibat dari peristiwa yang tidak dapat diduga sebelumnya.
Kewajiban dari penanggung di dalam perjanjian reasuransi adalahmemberikan
pembayaran kerugian kepada penanggung asal yang berkedudukan sebagai tertanggung
apabila tertanggung menderita kerugian sebagai akibat peristiwa yang tidak dapat diduga
sebelumnya. Sedangkan hak dari penanggung dalam perjanjian reasuransi adalah menikmati
sejumlah premi yang dibayarkan oleh tertanggung (penanggung asal)
Berdasarkan uraian tersebut nampak jelas bahwa dalam perjanjian reasuransi,
sebagaimana halnya perjanjian pada umumnya dan juga perjanjian asuransi, maka masing-
masing pihak yang terkait dalam hal ini tertanggung(penanggung asal) dan pihak penangung
terikat untuk melaksanakan hak-hak dan kewajibannya. Telah disebutkan bahwa
dalam perjanjian reasuransi masing-masing pihak yang terkait yaitu tertanggung (penanggung
asal) dan pihak penanggung terikat untuk melaksanakan hak dan kewajibannya nasing-masing.
Hal ini merupakan akibat hukum dalam perjanjian reasuransi, sebagaimana halnya perjanjian
pada umumnya. Selain akibat hukum yang teIah diuraikan tersebut ada pula akibat hukum yang
lain dalam perjanjian reasuransi yang harus ditanggung oleh salah satu pihak dalam perjanjian
reasuransi tersebut.
Hal ini terjadi apabila salah satu pihak dalam perjanjian reasuransi tidakmelaksanakan
kewajibannya yang dikenal wanprestasi.Sebagaimana diketahui setiap orang yang mengadakan
suatu perjanjian tentunya menpunyai tujuan untuk memperoleh prestasi, dimana prestasi itu
sendiri merupakan obyek dari perikatan yang lahir karena perjanjian. Dalam hubungan antara
tertanggung (penanggung asal) dengan penanggung dalam perjanjian reasuransi, maka obyek
perikatannya adalah sejumlah kerugian (risiko) yang ditanggungkan.
C. Akibat Hukum Reasuransi
R.L. Carter mernberi tiga hal utama yang mnurutnya mengandung ciri-ciri khusus
perjanjian reasuransi sebagai berikut :
1. Usaha reasuransi merupakan usaha memberikan ganti kerugian kepada penangung pertama,
karena adanya perjanjian asurani
2. Reasuransi dapat memberikan ganti kerugian secara penuh atau hanya sebagian saja untuk
tanggung jawab perjanjian asuransi.
3. Reasuransi merupakan perjanjian yang terpisah antara penanggung ulang dengan siapa
penggung pertama menadakan perjanjian asuransi sehingga tertanggung bukan pihak dalam
perjanjian reasuransi.
Risiko yang ditanggung dalam perjanjian reasuransi pada dasarnya sama dengan risiko
yang ditanggung oleh perusahaan reasuransi. Tetapi meskipun sama, tidak berarti dalam cakupan
yang sama. Luasnya risiko dalam perianjian reasuransi tergantung yang ditanggung pada isi
perjanjian yang sudah disepakati. Jadi titik Pertemuan yang mendasari hubungan antara asuransi
dan reasuransi adalah ada tujuan yang memberikan proteksi pada suatu risiko.Meskipun
perjanjian reasuransi itu terlepas atau berdiri sendiri dari perjanjian asuransi, tetapi apabila
ditarik alur pemikiran, pada dasarnya bersumber pada satu titik tolak yang sama yaitu kerugian-
kerugian yang bersifat ekonormis. Kerugian ekonomis dimaksud adalah yang dihadapi oleh
perusahaan asuransi sebagai Penanggung pertarma. Perusahaan mempunyai tanggung jawab
yang tidak keciI, yang kemudian ditransaksikan sedemikian rupa atas asas-asas tertentu yang
secara alamiah sudah dilakukan secara evolusi sejak awal abad pertengahan.
Pada hakikatnya, perjanjian reasulansi sama dengan perjanjian-perjanjian yang lain yaitu
harus memenuhi syarat-syarat umum yang diminta oleh pasal 1320 KUH Perdata yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Syarat-syarat tersebut akan menjadi landasan utama perjanjian reasuransi, Syarat
tersebut masih ditambah dengan syarat-syarat lain yang akanmewarnai perjanjian reasuransi
dengan cirinya yang khas. Meskipun demikian,perjanjian reasuransi belum mempunyai bentuk
yang pasti. Perjanjian reasuransi dapat diadakan secara lisan atau secara tertulis. Jadi perjanjian
reasuransi dapat secara bebas. Asas-asas yang harus dipenuhi pada setiap perjanjian reasuransi
adalah sebagai berikut :
1. Asas Indemnitas
Perjanjian reasuransi adalah perjanjian ganti kerugian, Semua perjanjian reasuransi
pada dasarnya mempunyai satu tujuan ialah penberian ganti kerugian. Jadi meskipun perjanjian
asuransi yang menjadi dasar perjanjian reasuransi kerugian (misalnya asuransi jiwa atau asuransi
kecelakaan) tetapi setiap perjanjian tunduk pada asas indemnitas. Perjanjian reasuransi pada
hakikatnya dalam melaksanakan ganti kerugian yang diderita oleh penanggung pertama atau
ceding company, baik karena pembayaran yang sudah dilaksanakan atau karena tanggung
jawabnya untuk membayar. Asas pemberian ganti kerugian atau asas indemnitas merupakan
bagian yang integral dalan perjanjian reasuransi. Dalam perjanjian reasuransi, mengandung satu
asas umurn, yaitu bahwa penanggung ulang hanya bertanggun jawab untuk memberi ganti
kerugian sejumlah kerugian yang secara riil telah diderita oleh penanggung pertama sesuai
dengan syarat-syarat perjanjian yang telah disetujui. Jadi perjanjian reasuransi pada hakikatnya
adalah perjanjian untuk melaksanakan kewajiban mengganti kerugian yang diderita oleh
penanggung pertama atau ceding conpany baik karena pembayaran ganti rugi yang sudah
dilaksanakan maupun yang akan dilaksanakan berdasarkan tanggung jawabnya untuk membayar
ganti kerugian. Penanggung ulang hanya akan bertanggung jawab sebagian atau dalam suatu
jumlah tertentu saja, sesuai dengan syarat dan metode yang disepakati dalam perjanjian.
2. Asas kepentingan yang dapat diasuransikan (Insurable interest)
Kepentingan yang dimaksud disini adalah kepentingan penanggung pertama yang dapat
di reasuransikan. Penanggung pertama dengan mengadakan perjanjian asuransi yang ditandai
dengan dikeluarkannya suatu polis kepada tertanggung, mendorong penanggung pertama pada
suatu keadaan bahwa pada suatu waktu harus bertanggung jawab sesuai dengan janji yang tefah
tercantun dalan polis. Dengan demikian perusahaan asuransi sebagai penanggung pertama
menjadi mempunyai tanggung jawab. Jadi tanggung jawab yang tinbul atas dasar perjanjian
asuransi yang telah dilakukan, memungkinkan perusahaan asuransi untuk mengadakan perjanjian
reasuransi. Seberapa besar tanggung jawab yang harus dipikulnya, masih tergantung pada hal-hal
di bawah ini sehingga kerugian-kerugian yang tinbul menjadi menpunyai dasar untukmendapat
ganti kerugian, yaitu :
1. Jumlah yang diasuransikan dan atau batas-batas ganti kerugian
2. Barang-barang/benda-benda yang diasuransikan
3. Bahaya-bahaya yang ditanggung
Jadi kepentingan penanggung pertama pada hakikatnya sangat tergantung pada berapa
luas cakupan tanggung jawabnya untuk memberikan suatu ganti kerugian kepada
nasabahnya. Hal inipun masih dibatasi dengan pembatasan-pembatasan tersebut.
Sehingga penanggung pertama tidak mungkin mempunyai kepentingan yang dapat
direasuransikan untuk risiko kebakaran, apabila ia hanya menutup asuransi pengangkutan, atau
pencurian misalnya. Kepentingan yang dapat direasuransikan itu ada, bersamaan dengan adanya
tanggung jawab penanggung pertama yang dipilihnya berdasarkan polis asuransi yang telah
dikeluarkan.
Jadi polis merupakan dokumen dimana kewajiban da Tanggung jawabyang sewaktu-
waktu dapat diklaim oleh tertanggungnya, lain dengan reasuransi yang berpangkal pada isi
perjanjian itu sendiri. Dengan dernikian keabsahan perjanjian reasuransi adalah sama dengan
keabsahan perjanjian asuransi sebelurnnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada saat
diadakan perjaniian reasuransi penanggung pertama/ceding company harus sudah
rmempunyaitanggung jawab yang sewaktu-waktu dapat diklaim oleh tertanggungnya,
apabila peristiwa yang diPerjanjikan terjadi.
Apabila penanggung pertama tidak mempunyai tanggung yang ditinbulkan oleh
perianiian asuransi dan tidak mungkin ia dituntut oleh tertanggung rnaka pokok pertanggungan
dalarn reasuransi sama sekali tidak dimilikinya.
3. Itikad baik yang sempurna (Uberinae Fidae)
Menurut C.E. Golding asas itikad baik yang sempurna ditetapkan secara universal
bersama-sama baik untuk asuransi maupun reasuransi karena baik asuransi maupun reasuransi,
keduanya adalah pendukung asas itikad baik yang sempurna. Asas ini melarang para pihak
menyembunyikan apa yang diketahuinya terhadap yang lain.
R.L. Carter juga menyatakan bahwa itikad baik melarang masing-masing pihak tidak
memberitahukan apa yang diketahuinya secara pribadi, untuk menarik yang lain ke
dalam perjanjian terhadap hal-hal yang tidak diketahuinyamengenai fakta tersebut, dan
sebaliknya mempercayai keadaan yang berlawanan.
Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata menentukan "setiap perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik". Prinsip ini juga berlaku bagi perjanjian dalan bidang hukun dagang.
Pasa.l 281 KUHD menentukan : Dalan segala hal dimana perjanjian-perjanjian
pertanggungan itu untuk seluruhnya atau sebagian gugur atau menjadi batal, sedangkan si
tertanggung telah bertindak dengan itikad baik, maka si penanggung diwajibkan untuk
mengembalikan preminya seluruhnya, ataupun untuk sebagian, sedemikian untuk mana ia tidak
telah menghadapi bahaya.
Jadi, kalau prinsip ini tidak ada, maka pengembalian preni tidak dapat dilakukan. Prinsip
ini juga berlaku pada perjanjian reasuransi. Baik penanggung pertama dan penanggung ulang
harus beritikad baik, kalau tidak perjanjian dapat dibatalkan.
Itikad baik adalah kemauan baik dari setiap pihak untuk melakukan perbuatan hukun itu
dapat tercapai dengan baik. Itikad baik selalu dilindungi oleh hukum, sedangkan tidak adanya
unsur tersebut tidak dilindungi.
Pasal- 533 KUH Perdata menentukan "Itikad baik selamanya harus dianggap ada pada
tiap-tiap pemegang kedudukan, barangsiapa rnenuduh akan itikad buruk kepadanya,
harus menbuktikan tuduhan itu". Jadi itikad baik itu dianggap ada pada tiap-tiap pemegang
kedudukan, bila tidak ada harus dibuktikan, Dalam perjanjian reasuransi, penanggung pertama
harus memberitahukan kepada penanggung ulang segala sesuatu mengenai risiko yang akan
dilimpahkan kepadanya dan sebaliknya penanggung ulang tidak boleh mencari alasan untuk
menghindari kewajibannya membayar ganti rugi bila terjadi klaim dari tertanggung. Pelaksanaan
prinsip ini biasanya pada reasuransi fakultatif, karena masing-masing risiko diserahkan sendiri-
sendiri kepada penanggung ulang dengan slip yang rnemberikan keterangan atas risiko
yangutama, bersangkutan dan retensi dari penanggung pertama.
Apabila terdapat pelanggaran atas itikad baik oleh penanggung pertama, khususnya untuk
suatu risiko yang khusus, penanggung uklang mempunyai hak untuk menolak
melakukan kewajibannya.
4. Prinsip Subrogasi
Subrogasi adalah penyerahan hak menuntut dari tertanggung kepada
penanggung, manakala jumlah ganti kerugian sepenuhnya sudah diganti oleh
penanggung. Subrogasi dalam hal ini adalah perbuatan dimana penanggung menggantikan
kedudukan tertanggung terhadap pihak ketiga. Dalam reasuransi, penanggung ulang yang
sudah mernbayarganti rugi kepada penanggungpertama, berhak atas subrogasi, rnaka
penanggung ulangpun mendapat subrogasi dari penanggung pertama sebanding dengan jumlah
penyertaannya.
5. Prinsip Fo1low The Fortunes
Yang dimaksud adalah penanggung ulang mengikuti suka duka penanggung pertama.
Prinsip ini hanya khusus bagi reasuransi sebab disinimengenai hubungan antara
Penanggung pertama dengan penangung ulang. Prinsip ini nenghendaki bahwa penanggung
ulang tidak boleh mempertimbangkan secara sendirian terhadap obyek pertanggungan akibatnya
segala sesuatu terrnasuk pengaturan dan penanggung pertama berlaku pula bagi penanggung
ulang.
6. Prinsip Kontribusi
Prinsip kontribusi ini terjadi bila ada double insurance sebagainana yang dimaksud dalam
pasal 278 KUHD yang menentukan : Apabila dalam satu-satunya polis, meskipun pada hari-hari
yang berlainan oleh berbagai penanggung telah diadakan penanggungan yang rnelebihi harga
maka mereka itu bersama-sama, menurut keseimbangan dari pada jumlah-jumlah untuk mana
mereka telah nenan datangani polis tadi, memikul hanya harga sebenarnya yang
dipertanggungkan. Ketentuan yang sama berlaku apabila pada hari yang bersaman, mengenai
satu-satunya barang, telah diadakan berbagaipenanggungan.
Karena reasuransi dalam kenyataan hukumnya yang disebut double reinsurance itu
dalam praktek tidak pernah terjadi, maka prinsip kontribusi ini di dalam reasuransi menjadi tidak
relevan. Yang dinaksud dengan double reinsurance ini ialah bila dalan satu-satunya polis
ditanda tangani lebih dari satu penanggung ulang.
Semakin berkembangnya asuransi syariah di Indonesia, memerlukan adanya reasuransi
yang beroperasional sesuai syariah Islam untuk bekerjasama yang saling
menguntungkan kedua belah pihak. Reasuransi syariah diperlukan oleh asuransi
syariah untuk saling membantu bilamana terjadi klaim dari peserta pada waktu yang
tidak dapat diperkiraan sebelumnya. Di mana besarnya klaim tersebut di luar batas
kemampuan membayar asuransi syariah. Kemampuan perusahaan asuransi syariah
untuk menanggung risiko dari suatu pertanggungan disebut “retensi”, yang merupakan
batas maksimum dari total klaim yang harus dibayar perusahaan asuransi syariah.
Bilamana total klaim yang harus dibayar melebihi retensi yang telah ditentukan
perusahaan asuransi, maka perlu adanya keterlibatan reasuransi syariah untuk ikut
menanggung beban sebagian dari klaim tersebut. Jika hal ini tidak dilakukan, maka
perusahaan asuransi syariah akan mengalami gagal bayar (default) yang berpotensi
merugikan peserta karena klaimnya tidak dapat dibayar.
Kerjasama antara reasuransi syariah dengan asuransi syariah, berdasarkan fatwa DSN
No. 53/DSN-MUI/III/2006 aktivitas ini menggunakan akad tabarru. Hal ini sesuai
dengan tujuan kerjasama tersebut untuk saling tolong-menolong, dan bukan semata-
mata untuk tujuan komersial. Hubungan asuransi syariah dengan reasuransi syariah,
hampir sama dengan hubungan asuransi syariah dengan peserta. Dalam hubungan
asuransi syariah dengan peserta, di mana pihak asuransi syariah sebagai penanggung
kerugian (insuer) yang mungkin menimpa peserta sebagai pihak
tertanggung (insured). Sedangkan dalam reasuransi syariah sebagai pihak
penanggung (insuer), dan sebagai pihak tertanggung asuransi syariah (insured) tanpa
adanya keterlibatan langsung antara reasuransi syariah dengan peserta sebagai
pemegang polis dari suatu perusahaan asuransi syariah.
1. Penyebaran risiko.
2. Memperbesar kapasitas perusahaan asuransi syariah dalam menerima risiko.
3. Meningkatkan daya saing.
4. Meningkatkan kepercayaan peserta.
Jenis Reasuransi
Ditinjau dari ruang lingkup pada dasarnya ada 2 jenis reasuransi, yaitu:
1. Specific/Facultative Reinsurance, yaitu aktivitas penempatan reasuransi yang
didasarkan pada kepentingan masing-masing pihak. Perusahaan asuransi boleh
menawarkan atau tidak menawarkan risiko yang di luar batas kemampuan membayar
kepada reasuransi, sebaliknya reasuransi boleh menerima atau menolak apabila
ditawari risiko tersebut.
2. Automatic/Treaty Reinsurance, yaitu perjanjian reasuransi di mana perusahaan
asuransi setuju atas penempatan kelebihan risiko kepada reasuransi dan reasuransi
secara otomatis menyetujui atas penempatan kelebihan risiko tersebut dari perusahaan
asuransi sampai batas jumlah tertentu yang telah disetujui bersama.
3. Facultative Obligatory Reinsurance, yaitu gabungan antara facultative
insurance dengan treaty insurance. Perusahaan asuransi boleh menempatkan atau
tidak menempatkan kelebihan risiko kepada reasuransi. Akan tetapi apabila perusahaan
asuransi berkehendak menempatkan kelebihan risiko, maka reasuransi harus
menerimanya sampai batas jumlah yang disetujui bersama.
Referensi
Tentang Asuransi
Sedangkan peranan reasuransi ini dinyatakan dengan tegas dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia nomor 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian bahwa setiap
penutupan asuransi yang jumlah uang pertanggungannya melebihi retensi sendiri harus
memperoleh dukungan reasuransi.
Peranan reasuransi ini makin dipertegas dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
nomor 224/KMK.017/1993 tentang kesehtaan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan
reasuransi bahwa dukungan reasuransi pada perusahaan asuransi harus berdasarkan reasuransi
treaty dan baru dukungan reasuransi fakultatif apabila dukungan reasuransi treaty telah tidak
mencukupi serta sekurang-kurangnya perusahaan asuransi mendapat dukungan reasuransi dari
satu perusahaan reasuransi dan satu perusahaan asuransi didalam negeri.
Pada dasarnya Perusahaan Reasuransi melakukan kegiatan yang sama dengan Perusahaan
Asuransi. hanya perbedaan dalam menerima pemindahan Risiko adalah berasal dari Perusahaan
Asuransi sehingga fungsi Underwriting yang dilakukan lebih mendasarkan Pada Underwriting
Perusahaan Asuransi dan tidak secara langsung atas risiko yang akanditerimanya. Dengan
demikian maka Reasuransi tidak mempunyai hubungan secara langsung dengan masyarakat
Tertanggung dan membantu Perusahaan Asuransi dalam hal :
1. Memperbesar kapasitas akseptasi Risiko-risiko tertentu oleh perusahaan Asuransi;
2. Penyebaran Risiko yang ditanggungnya;
3. Stabilisasi keuntungan Perusahaan;
4. Meminimalisir cadangan Teknis yang dibutuhkan;
5. Mengembangkan kegiatan Perusahaan serta peningkatan asas Profesionalisme dan
daya saing Perusahaan.
Pada dasarnya ada dua bentuk dasar Reasuransi yaitu,
Pertama,
Perusahaan Reasuransi Profesional (Profesional Reinsurer) merupakan badan Usaha yang
semata-mata bertindak sebagai Penanggung ulang dan tidak mempunyai hubungan sama sekali
dengan masyarakat tertanggung atau tidak melakukan penutupcn Asuransi sebagci penanggung
Pertama dalam masyarakat dan yang,
Kedua,
Perusahaan Reasuransi nonprofesional (nonprofesional reinsurer) dimana kegiatan reasuransi ini
hanya merupakan salah satu unit kegiatan dalam perusahaan Asuransi at au dengan kat a lain
kegiatan utama perusahaan adalah sebagai Perusahaan Asuransi akan tetapi juga melakukan
kegiatan Reasuransi yang pada umumnya merupakan kegiatan at as dasar saling menguntungkan
dan menerima Risiko tersebut dari Perusahaan Asuransi lainnya yang juga menerima Risiko
dariPerusahaan Asuransi bersangkutan.
Disamping itu pula ada bentuk-bentuk lain yang merupakan penggabungan atau ker ja sama
antara dua atau lebih Perusahaan Asuransi dalam usaha memperbesar kapasitas Akseptasi risiko
secara bersamadan saling menguntungkan terutama dalam risiko-risiko yang nilainya besar atau
risikonya bersifat kompleks serta dalam unit yang relatif besar dimana biasanya bergabung
dalam apa yang dikenal dengan nama Pool Asuransi, Konsorsium Asuransi dan lain sebagainya.
Automatic/Treaty Reinsurance.
Perjanjian Reasuransi atau Reasuransi Otomatis adalah dimana Perusahaan Asuransi telah setuju
terlebih dahulu untuk menempatkan atau memberikan kelebihan risikonya kepada Perusahaan
Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi tersebut telah setuju secara otomatis menerima kelebihan
risiko yang dipindahkan kepadanya oleh Perusahaan Asuransi yang bersangkutan sampai dengan
jumlah yang telah disetujui bersama.
Pada dasarnya kontrak atau Program Reasuransi tentunya adalah untuk jenis automatic atau
Treaty Reinsurance ataupun Facultative Obligatory Reinsurance; yang dapat dibagi dalam dua
kelompok dasar yaitu Program Reasuransi secara Proporsional dimana saharn Perusahaan
Reasuransi ditetapkan dalam Proporsi atau Persentase yang telah ditetapkan dan Program
Reasuransi secara Non-Proporsional dimana Perusahaan Reasuransi menanggung sampai
sejumlah tertentu yang telah disetujui setelah melalui batas-batas kerugian tertentu.
Aspek teknis yang menonjol dalam kegiatan Reasuransi secara umum terlihat sebagai berikut :
pertama,
Yang di-Underwrite adalah Perusahaan Asuransi dan bukan tertanggung sehingga menganut
falsafah "Reinsurance Follow the Fortune of The Insurance".
kedua,
suatu program Reasuransi adalah berdasarkan pada Loss Ratio Perusahaan Asuransi serta
Kemampuan Keuangan serta Manajemennya.
ketiga,
Portfolio antara jumlah yang ditanggung sendiri oleh Perusahaan Asuransi serta yang di
Reasuransikan;
keempat,
Kemungkinan terjadinya kerugian katastropik karena adanya satu risiko yang ditutup lebih dari
satu Perusahaan Asuransi.
kelima,
Kemampuan mengaksep risiko serta program retrosessinya.
Salah satu syarat teknis yang ditekankan oleh Pemerintah dimana dinyatakan bahwa perusahaan
reasuransi harus menerapkan reasuransi treaty secara timbal balik sekurang-kurangnya dengan
satu perusahaan reasuransi didalam negeri.
Penempatan reasuransi keluar negeri hanya dapat dilakukan pada perusahaan reasuransi yang
memuhi persyaratan-persyaratan dalam permodalan, izin operasional, memenuhi perundang-
undangan setempat serta memiliki reputasi yang baik didunia perasuransian internasional.
Tentunya secara khusus masih ada hal-hal yang menyangkut dasar perhitungan teknis
Perusahaan Reasuransi seperti kekayaan Perusahaan (Net Worth), Portfolio bisnis yang diterima
secara menyeluruh, Loss Ratio Perusahaan dibandingkan loss Ratio Industri Reasuransi dan
Asuransi serta lain-Iainnya
REASURANSI SYARIAH
Oleh: Indriyanto Agus Wibowo, Praktisi Reasuransi SyariahTerkait dengan adanya statement
dari DSN yang mencabut status darurat reasuransi konvensional, dicabutnya status darurat ini
bermakna telah tertutupnya pintu bagi asuransi-asuransi syariah untuk menggunakan jasa
reasuransi konvensional dalam mendapatkan dukungan (backup) kapasitas atas resiko-resiko
yang melebihi kemampuan asuransi syariah (own retention).
Makna lain adalah asuransi syariah diharuskan hanya menggunakan reasuransi syariah untuk
memenuhi tambahan kapasitasnya itu. Dalam konteks ini, artinya menjadi haram penggunaan
jasa reasuransi selain asuransi syariah.
Masalah ini penting bagi industri asuransi syariah karena dua implikasi yang akan terjadi dari
pencabutan fatwa ini, sama-sama akan berdampak bagi perkembangan industri perasuransian
syariah kedepan. Dibiarkannya fatwa darurat reasuransi konvensional, berarti memperpanjang
waktu bagi nasabah untuk belum mendapatkan pelayanan asuransi yang penuh secara syariah.
Demikian halnya jika pencabutan fatwa darurat reasuransi segera direalisasikan, apakah
reasuransi syariah telah siap menampung kelebihan (excess) atas seluruh portofolionya,
mengingat mekanisme reasuransi syariah bekerja berdasarkan pada prudent underwriting, yang
terkait pada proses klasifikasi dan seleksi resiko?
Menyimak dari alasan-alasan yang dilontarkan DSN, muatannya terfokus pada upaya
memurnikan praktek asuransi secara syariah yaitu mengembalikan kepada hukum awal asuransi
dan reasuransi yang konvensional sebagai sesuatu yang haram. Yang kedua adalah telah
dibukanya reasuransi syariah nasional yaitu ReINDO syariah dan Nasre syariah, yang disusul
dua asuransi lainnya Tugure dan Marien yang akan membuka unit syariahnya, ditambah tiga
reasuransi luar negeri, yaitu ASEAN Retakaful Labuan-Malaysia, Takaful-re Bahrain dan Milea
Retakaful Singapore.
Tentu diperlukan pikiran yang jernih dan mendalam (‘amiq wal mustaniir) dalam mencari solusi
masalah ini. Disatu sisi, tidak boleh mengabaikan hak nasabah (peserta takaful) atas kehalalan
dan kesyariahan dari produk yang diikutinya, dan disisi lain juga tidak boleh menjadi
penghambat perkembangan industri asuransi syariah yang begitu menggembirakan ini. Disinilah
dituntut kearifan DSN-MUI dalam melihat permasalahan ini.
Menurut kaidah syar’i, darurat didefinisikan sebagai suatu keadaan emergency dimana jika
seseorang tidak melakukan sesuatu tindakan dengan cepat, maka akan membawanya ke jurang
kehancuran atau kematian. Dalam literatur klasik, darurat sering dicontohkan dengan seseorang
yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan lain kecuali daging babi yang diharamkan. Maka
dalam keadaan darurat tersebut, Allah menghalalkan daging babi dengan dua batasan,
“Barangsiapa dalam keadaan terpaksa seraya dia (1) tidak menginginkannya dan tidak
melampaui batas (2), maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”. Dengan sebaliknya, kondisi terpaksa ini dinilai bahwa, “apapun yang
diperbolehkan karena sesuatu alasan darurat, menjadi tidak boleh lagi dengan hilangnya alasan
tersebut” (Syakir, 2004).
Jika menunjuk definisi diatas dan dihubungkan dengan konteks penggunaan reasuransi
konvensional saat ini, maka muncul beberapa pertanyaan lanjutan. Apakah tanpa adanya
penggunaan jasa reasuransi konvensional oleh asuransi syariah, akan menyebabkan kehancuran
atau kematian industri asuransi syariah?. Apakah saat ini tidak ada sama sekali reasuransi selain
yang konvensional?. Belum cukupnya kapasitas reasuransi syariah apakah menjadikan halal
reasuransi konvensional?. Bukankah darurat disyariatkan tidak melampaui batas. Tentu bila
dijawab satu persatu pertanyaan diatas, maka kita sampai pada satu kesimpulan bahwa ber-
reasuransi konvensional oleh asuransi syariah saat ini, tidak lagi memenuhi persyaratan darurat.
Disamping itu, hukum darurat diberlakukan dengan aspek yang sangat ketat, dimana darurat juga
mencakup hal-hal seperti keadaan emergency harus benar-benar telah terjadi, sudah tertutup
peluang untuk mendapatkan halal setelah berupaya sekuat-kuatnya, dan tidak ditemukan
alternatif lainnya sebagai pengganti yang halal. Apakah hal ini terjadi pada praktek
pereasuransian syariah saat ini?.
Perlunya mendudukan permasalahan ini sesuai syara’, bahwa belum maksimalnya kapasitas
reasuransi syariah dipandang dari sudut asuransi syaruah, tidak bisa dilihat lagi sebagai sesuatu
yang dapat melanggengkan fatwa darurat itu. Karena persyaratan darurat itu sendiri telah hilang,
dengan munculnya reasuransi syariah baik diluar maupun didalam negeri, maka gugurlah aspek
daruratnya. Ancaman kematian atau kehancuran asuransi syariah bila tidak segera dilakukan
tindakan dengan cepat, tentu menjadi tidak tepat pada kondisi saat ini.
Kekhawatiran yang muncul sebenarnya lebih beralasan bila dihubungkan dengan kurang
kompetitifnya daya saing asuransi syariah bila berhadapan dengan asuransi konvensional,
terutama untuk penutupan-penutupan besar. Asuransi konvensional yang lebih dulu berkembang
dan sudah mapan serta mendapat dukungan reasuransi yang kuat, tentu akan leluasa untuk
mendapatkan penutupan tersebut. Jadi titik masalah sebenarnya adalah bukan lagi masih boleh
tidaknya darurat reasuransi dijalankan, namun bagaimana memperjuangkan kenaikan kapasitas
perasuransian syariah, baik asuransi syariah itu sendiri maupun reasuransi syariah, yang sangat
terkait dengan besaran pemodalan yang dimilikinya, dalam rangka ikut mengembangkan
perasuransian syariah yang sehat dan kuat.
Reasuransi adalah merupakan bagian daripada Asuransi. Keberadaannya itu timbul karena
adanya Asuransi, dengan perkataan lain tidak akan ada Reasuransi kalau Asuransi itu
sendiri tidak ada.
Walaupun demikian, Reasuransi itu merupakan suatu hal yang sangat penting, bahkan
sangat vital dalam kehidupan asuransi, sampai – sampai dikatakan bahwa Reasuransi itu
adalah “ Jantungnya “ Perusahaan Asuransi.
Demikian pentingnya peranan Reasuransi itu sehingga apabila Reasuransi itu tidak
dijalankan olehnya maka Perusahaan Asuransi yang bersangkutan tidak akan mampu
mempertahankan hidupnya, dan lambat laun akan bangkrut.
Dalam dunia business perasuransian, khusunya dalam hal penutupan asuransi, adalah
suatu hal yang prinsip bahwa risiko yang ditutup itu perlu / harus disebarkan agar risiko
tersebut tidak akan membebani dirinya sendiri melampaui batas kemampuan daya
pikulnya sendiri.
Prinsip tersebut dikenal dengan istilah “ Prinsip Penyebaran Risiko “ atau “ Spreading of
Risk Principle “. Dengan penyebaran tersebut berarti sebagian daripada risiko yang
ditutupnya itu akan dipikul sendiri sedangkan yang sebagian lagi akan dibagikan kepada
perusahaan – perusahaan Asuransi lain untuk ikut memikulnya. Untuk penyebaran risiko
tersebut terdapat 2 cara, yaitu : KO - ASURANSI dan RE – ASURANSI.
Dari uraian dimuka, maka jelaslah bahwa yang melakukan Reasuransi itu adalah
perusahaan – perusahaan Asuransi yang dalam fungsinya adalah sebuah lembaga pemikul
risiko ( Risk Bearing Institution ) yang pertama atau semula menutup risiko yang
direasuransikan itu.
Risiko bermacam – macam, ada yang kecil ada yang besar dalam arti harga
pertanggungannya.
Bagi risiko yang besar telah jelas memerlukan Reasuransi, karena risiko besar tersebut
besarnya melebihi jumlah batas kemampuan ( daya pikul ) sendiri suatu Perusahaan
Asuransi. Contoh dari risiko besar, misalnya : Bangunan gedung perkantoran bertingkat
tinggi, Pabrik Tekstil, Pabrik Kertas, Kapal Samudera, Pesawat Terbang, Proyek
Pembangunan Gedung, dan sebagainya. Risiko – risiko besar seperti itu memerlukan
Reasuransi.
Contoh dari sebuah risiko kecil misalnya rumah tinggal. Dilihat dari nil ainya sebuah
rumah tinggal yang kecil tidak mustahil nilainya itu masih dibawah batas kemampuan
sendiri perusahaan asuransi sehingga menurut kanalaran tidaklah perlu risiko tersebut di
Reasuransikan.
Pendapat atau nalar demikian ada benarnya, namun perusahaan asuransi yang
menutupnya perlu berpikir lebih jauh yaitu apabila risiko yang yang kecil tersebut
banyak, maka satu sama lain dapat saling berakumulasi sehingga menjadi besar, sehingga
dalam hal yang demikian maka risiko yang berakumulasi tersebut tidak baik lagi untuk
dipikul sendiri, dan karenanya perlu di Reasuransikan.
Selain risiko besar dan kecil terdapat pula risiko yang tidak berbahaya ( Non Hazardous )
dan berbahaya ( Hazardous ).
Contohnya, kalau dalam bidang asuransi kebakaran, rumah tingga l, bangunan gedung
sekolah, dan sebagainya adalah risiko yang Non Hazardous.
Dalam pada itu risiko – risiko seperti Pabrik Tekstil, Pabrik Kertas, dan sebagainya
adalah risiko – risiko yang Hazardous. Yang demikian itu dalam penutupan asuransinya
sangat memerlukan Reasuransi.
Dalam perasuransian itu terdapat bermacam – macam jenis pertanggungan atau jenis
asuransi, yaitu : Asuransi Kebakaran, Asuransi Pengangkutan, Asuransi Kendaraan
Bermotor, Asuransi Kecelakaan Umum, Asuransi Kecelakaan Diri, Asuransi T anggung
Gugat dan sebagainya, maka dalam setiap jenis asuransi tersebut dimana perusahaan
asuransi yang menutupnya tidak mampu untuk menutupnya sendiri, diperlukan adanya
Reasuransi.
menurut literature dalam praktik asuransi dan atau reasuransi, terdapat tiga cara dalam
melakukan kerjasama asuransi antara pihak penanggung pertama (direct insurers) dan pihak
penanggung ulang (reinsurers). Yaitu metode reasuransi secara fakultatif, metode reasuransi
secara kontrak (treaty), dan metode reasuransi pool dan fakultatif obligatory.[4]
1. Metode Reasuransi Secara Fakulatif
Metode reasuransi fakulatif merupakan transaksi pertanggungan ulang antara pihak
penanggung pertama dan para penanggung ulang secara bebas. Para pihak penanggung ulang
tidak terikat menerima penawaran pertanggungan ulang atau para penanggung ulang dapat
menolak/ menerima penawaran pertanggungan ulang berdasarkan akseptasi yang telah mereka
tetapkan.
2. Metode Reasuransi Secara Kontrak (Treaty)
Metode reasuransi secara kontrak adalah perjanjian antara pihak penanggung pertama dan
para penanggung lain/pihak penanggung ulang profesional. Dalam perjanjian tersebut pihak
ceding company setuju memberikan bagian dan para penanggung ulang setuju dan wajib
menerima bagian dari tanggung jawab atas asuransi yang telah ditutup oleh penanggung
pertama. [5]
3. Metode Reasuransi Pool dan Facultative Obligatory
a. Metode Reasuransi Pool
Maksud dan tujuan membentuk kerjasama secara pool lazimnya didasarkan atas berbagai
sasaran yang dituju. Sasaran dan tujuan pembentukan kerjasama sistem pool yang paling penting
adalah untuk mengatasi berbagai macam persoalan melalui kerjasama yang saling
menguntungkan dan saling membantu antarsesama anggota pool dalam mewujudkan
penyebaran risiko, di antaranya dengan melakukan pertukaran bisnis.
b. Facultative
Melalui cara ini, pihak penanggung pertama tidak perlu lagi melakukan penawaran
reasuransi satu per satu karena secara otomatis telah memperoleh fasilitas jaminan yang cukup
memadai serta tidak perlu cemas, seperti risiko penolakan apabila mereka melakukan
penawaran penempatan pertanggungan ulang secara fakultatif biasa. Dengan cara ini,
penanggung petama juga dapat bekerja lebih efisien karena dapat menghemat banyak biaya,
waktu, dan tenaga dibandingkan harus melakukan penawaran satu per satu.[6]
D. Proportional Treaties dan Non Proportional Treaties
1. Kontrak Proporsional (Proportional Treaties)
Pengertian kontrak reasuransi proporsional adalah perjanjian reasuransi atau
pertanggungan ulang yang mengikatkan dua atau lebih pihak, yaitu pemberi sesi wajib yang
menerima dan pihak penanggung ulang wajib bersedia menerima bagian sesi atau premi dari
pemberi sesi menurut perbandingan yang seimbang antara jumlah uang pertanggungan ulang dan
jumlah seluruh uang pertanggungan dikali jumlah seluruh premi sebagaimana disebut di dalam
polis.
Dalam hal terjadi klaim, bagian klaim yang menjadi tanggungan para penanggung ulang
juga akan dihitung menurut perbandingan yang seimbang antara tanggung jawab penanggung
ulang dan jumlah tanggung jawab seluruhnya dikali jumlah kerugian yang terjadi.
Sesuai praktik yang terjadi hingga saat ini, terdapat dua jenis atau tipe kontrak
pertanggungan ulang.
a. Kontrak bagian tetap (Quota Share Treaty)
Yang dimaksud dengan kontrak bagian tetap adalah suatu perjanjian yang menyatakan
bahwa pihak penanggung pertama (pemberi sesi) mengikatkan diri wajib memberi dan para
penanggung ulang terkait wajib menerima suatu bagian tetap dari setiap risiko yang dijamin oleh
penanggung pertama berdasarkan polis pertanggungan yang telah diterbitkan.
b. Kontrak Surplus (Surplus Treaty atau Excess of Lines)
Pengertian kontrak reasuransi surplus adalah suatu perjanjian pertanggungan ulang yang
menyatakan bahwa pihak pemberi sesi terikat wajib memberikan sesi dan para penanggung
ulang wajib menerima surplus liability yang melampaui retensi sendiri pemberi sesi sampai
dengan batas tertinggi yang disepakati antara pemberi sesi (ceding company) dan penanggung
ulang.[7]
2. Konttrak Nonproporsional (Non Proportional Treaties)
Pengertian kontrak reasuransi nonproporsional adalah suatu perjanjian reasuransi yang
menetapkan bahwa para penanggung ulang dengan menerima sejumlah premi yang telah
disepakati bersama bersedia membayar kepada penanggung pertama semua kerugian yang
melampaui batas limit retensi (underlying net retention) sampai pada batas jumlah atau
presentase tertentu yang terjadi karena peristiwa-peristiwa yang diperjanjikan bersama.
Menurut teori maupun praktik, dalam kategori kontrak reasuransi nonproporsional,
terdapat tiga jenis atau tipe kontrak reasuransi sebagaimana tersebut di bawah ini.
1. Excess of loss, yang bila ditinjau dari sisi proteksi dan cara kerjanya terdapat dua bentuk
kontrak, yaitu:
a. Working excess of loss, dan
b. Catastropichal excess of loss
2. Stop of loss, yang juga disebut stop of loss ratio
3. Aggregate axcess of loss[8]
E. Perbedaan Reasuransi dan Retakaful
Dua hal yang membedakan antara reasuransi syariah dan reasuransi konvensional
ada dua. (1) Mekanisme operasional pada reasuransi syariah harus menggunakan
sistem yang dibenarkan secara syariah, dimana harus lepas dari praktik gharar, maisir,
dan riba. (2) Dalam transaksi kerja samanya harus menggunakan skim bagi hasil
(mudharabah), sebagaimana umumnya dalam akad tijarah dalam asuransi syariah,
atau akad yang lainnya yang dibenarkan secara syar’i.[9]
[1] Abdullah Amrin, Asuransi Syariah, (Jakarta:PT Elex Media Komputindo, 2006) hal 123
[2] Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional¸(Jakarta:
Gema Insani, 2004) hal 263-264
[3] Ibid, 264-265
[4] Ibid, hal 266
[5] Abdullah Amrin, Asuransi Syariah...... hal 123-124
[6] Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah ......hal 263-264
[7] Ibid, hal 273-274
[8] Ibid, hal 274
[9] Ibid, hal 276
[10] Ibid, hal 277
[11] Ibid, hal 277-278
[12] Ibid, hal 279
[13] Ibid, hal 279-280
[14] Ibid, hal 280-281
Diposting oleh Isnani Ayu di 19.29