Anda di halaman 1dari 38

Selamat siang saudara-saudara sekalian, marilah kita lanjutkan kuliah kita Hukum

Komersial pada hari ini, Jumat, 9 April 2021, pukul 16.00 – 17.30 WIB dengan
pembahasan melanjutkan materi KP Hukum Asuransi. Materi dan bahan kuliah dapat
dipelajari seperti di bawah ini.

Pengiriman tugas melalui Email.


Kelas_hukumkomersial@yahoo.com
Selamat belajar, semoga kita semua diberikan kesehatan.

HUKUM ASURANSI

A. DASAR HUKUM

B. PENGERTIAN ASURANSI

C. UNSUR-UNSUR DALAM PERJANJIAN ASURANSI

D. MANFAAT PERJANJIAN ASURANSI BAGI


TERTANGGUNG

E. PENGGOLONGAN DAN SIFAT PERJANJIAN


ASURANSI

F. JENIS USAHA PERASURANSIAN

G. PRINSIP-PRINSIP PERJANJIAN ASURANSI

H. POLIS ASURANSI

I. BADAN MEDIASI ASURANSI INDONESIA (BMAI)

J. ASURANSI SYARIAH

111
A. DASAR HUKUM PERJANJIAN ASURANSI

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;


2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian;
4. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana
Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang;
5. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana
Kecelakaan Lalu Lintas Jalan;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 Perubahan
Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian

B. PENGERTIAN ASURANSI

1. Menurut KUHD Pasal 246, asuransi atau pertanggungan


merupakan suatu perjanjian di mana seorang penanggung
dengan menikmati suatu premi mengikatkan dirinya kepada
tertanggung untuk membebaskannya dari kerugian, karena
kehilangan, kerusakan, ketiadaan keuntungan yang
diharapkan yang akan dideritanya, karena kejadian yang
tidak pasti.
Berdasarkan definisi tersebut, asuransi hanya meliputi
asuransi kerugian, yang timbul karena didasarkan adanya
peristiwa yang belum pasti.
2. Menurut UU Nomor 2 Tahun 1992, Pasal 1 angka 1,
asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua
pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi
asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung,
karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan
yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin diderita tertanggung yang timbul dari
suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan
suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggalnya atau

222
hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Berdasarkan definisi tersebut, asuransi meliputi asuransi
kerugian dan asuransi jiwa. Hal ini lebih luas dari apa yang
diatur dalam KUHD, yang hanya meliputi asuransi kerugian
saja.
3. Pasal 1 angka 2 UU Nomor 2 Tahun 1992, menentukan obyek
asuransi dapat berupa benda dan jasa, jiwa, raga, kesehatan
manusia, tanggung jawab hukum serta semua kepentingan
lainnya yang dapat hilang, rusak dan/atau berkurang nilainya.

C. UNSUR-UNSUR DALAM PERJANIAN ASURANSI

1. Tertanggung (insured) adalah pihak yang berjanji untuk


membayar uang premi kepada pihak penanggung, sekaligus atau
secara berangsur-angsur.
2. Penanggung (insurer) adalah pihak yang berjanji akan
membayar sejumlah uang (santunan) kepada pihak tertanggung
sekaligus atau secara berangsur-angsur apabila terjadi sesuatu yang
mengandung unsur tidak tentu dan/atau sudah tentu.
3. Suatu peristiwa (accident) yang tak tertentu (tidak diketahui
sebelumnya) dan/atau tertentu (sudah diketahui sebelumnya).
4. Kepentingan (interest) yang mungkin akan mengalami
kerugian karena suatu peristiwa yang tak tentu dan/atau yang sudah
tentu.

D. MANFAAT PERJANJIAN ASURANSI BAGI


TERTANGGUNG

1. Memberikan rasa aman dan perlindungan.


2. Berfungsi sebagai tabungan dan sumber pendapatan lain.
3. Merupakan alat penyebaran risiko.
4. Sebagai pendistribusian biaya dan manfaat yang lebih adil.

E. PENGGOLONGAN DAN SIFAT PERJANJIAN ASURANSI

333
1. Berdasarkan Pasal 1774 KUHPdt, asuransi dapat
digolongkan sebagai bunga selama hidup seseorang atau cagak
hidup dan perjudian dalam perjanjian untung-untungan
(konsovereenskomst).
Dikatakan sebagai perjanjian untung-untungan, karena
perjanjian asuransi mengandung unsur kemungkinan, di
mana kewajiban penanggung untuk mengganti kerugian yang
diderita tertanggung didasarkan pada ada atau tidaknya suatu
peristiwa yang tidak tentu atau belum tentu terjadi atau
tidak pasti.
Pandangan ini dilatarbelakangi pemikiran bahwa asuransi
hanya meliputi asuransi kerugian (KUHPdt & KUHD).
2. Berdasarkan UU Asuransi, perjanjian asuransi dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu:
a. Asuransi Kerugian (schade verzekering), memberikan
penggantian kerugian yang mungkin timbul pada harta
kekayaan tertanggung yang digantungkan pada peristiwa
yang tidak tentu terjadi (evenement);
b. Asuransi Jumlah (sommen verzekering), memberikan
pembayaran sejumlah uang tertentu, dan tidak tergantung
kepada persoalan apakah evenement menimbulkan
kerugian atau tidak.
3. Perkembangan dalam praktik, ada Asuransi Varia, yang
menggabungkan adanya unsur asuransi kerugian dan asuransi
jumlah, seperti asuransi kecelakaan dan asuransi kesehatan.
4. Menurut sifat pelaksanaannya, asuransi dapat digolongkan
menjadi tiga, yaitu:
c. Asuransi sukarela, yaitu merupakan pertanggungan yang
dilakukan dengan cara sukarela, yang semata-mata
dilakukan atas suatu keadaan ketidakpastian atau
kemungkinan terjadinya risiko kerugian atas suatu yang
dipertanggungkan. Misalnya, asuransi kebakaran, asuransi
kendaraan bermotor, asuransi pendidikan, asuransi
kematian.
d. Asuransi wajib, yaitu asuransi yang bersifat wajib yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait, di mana
pelaksanaannya dilakukan berdasarkan peraturan

444
perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Misalnya, jaminan sosial tenaga kerja (Jamsotek), asuransi
kesehatan.
e. Asuransi kredit, yaitu asuransi yang selalu berkaitan
dengan dunia perbankan dan menitik beratkan pada asuransi
jaminan kredit, berupa benda bergerak maupun benda tidak
bergerak yang sewaktu-waktu dapat tertimpa risiko, yang
dapat mengakibatkan kerugian bagi pemilik barang maupun
pemberi kredit khusunya bank. Misalnya, asuransi
pengangkutan laut, asuransi kendaraan bermotor.
Fungsi asuransi kredit adalah:
1) melindungi pemberi kredit dari kemungkinan tidak
diperolehnya kembali kredit yang diberikan kepada para
nasabahnya;
2) membantu kegiatan keamanan perkreditan baik kredit
perbankan maupun kredit lainnya di luar perbankan.

F. JENIS USAHA PERASURANSIAN

Berdasarkan UU Asuransi, usaha perasuransian meliputi:


1. Usaha perasuransian, terdiri dari:
a. Usaha asuransi kerugian (non life insurance), yaitu
merupakan usaha memberikan jasa dalam penanggulangan
risiko atas kerugian, kehilangan manfaat dan tanggung
jawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul dari
peristiwa yang tidak pasti;
b. Usaha asuransi jiwa (life insurance), yaitu merupakan
suatu jasa yang diberikan oleh perusahaan asuransi dalam
penanggungan risiko yang dikaitkan dengan jiwa atau
meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan;
c. Usaha reasuransi (reinsurance), yaitu merupakan suatu
sistem penyebaran risiko di mana penanggung
menyebarkan seluruh atau sebagian dari pertanggungan
yang ditutupnya kepada penanggung yang lain.
2. Usaha penunjang asuransi, terdiri dari:
a. Usaha pialang asuransi yang memberikan jasa
keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan

555
penyelesaian ganti kerugian asuransi dengan bertindak
untuk kepentingan tertanggung;
b. Usaha pialang reasuransi yang memberikan jasa
keperantaraan dalam penempatan reasuransi dan
penanganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan
dengan bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi;
c. Usaha penilai kerugian asuransi yang memberikan jasa
penilaian terhadap kerugian pada obyek asuransi yang
dipertanggungkan;
d. Usaha konsultan aktuvaria, merupakan usaha yang
memberikan jasa konsultan aktuvaria;
e. Usaha agen asuransi, merupakan pihak yang memberikan
jasa keperantaraan dalam rangka pemasaran jasa asuransi
untuk dan atas nama penanggung.

G. PRINSIP-PRINSIP ASURANSI

1. Insurable interest (kepentingan yang dapat diasuransikan)


Setiap pihak yang bermaksud mengadakan perjanjian asuransi
harus mempunyai kepentingan yang dapat diasuransikan,
artinya tertanggung harus mempunyai keterlibatan sedemikian
rupa, dengan akibat dari suatu peristiwa yang belum pasti
terjadi atau pasti terjadi dan yang bersangkutan menderita
kerugian akibat dari peristiwa tersebut.
2. Indemnity (indemnitas)
Maksudnya, asuransi hanya menempatkan kembali seorang
tertanggung yang telah mengalami kerugian sama dengan
keadaan sebelum terjadinya kerugian. Dengan perkataan lain,
bahwa ganti rugi yang diberikan kepada tertanggung
seimbang dengan kerugian yang telah dideritanya.
Dalam hukum perdata terdapat asas, yaitu larangan
memperkaya diri selama melawan hukum atau memperkaya
diri tanpa hak (onrechtmatige verrijking).

3. Utmost good faith (asas kejujuran sempurna/itikad baik)


Prinsip adanya itikad baik atas dasar percaya mempercayai,
antara pihak penanggung dengan pihak tertanggung dalam

666
perjanjian asuransi.
Penanggung harus dengan jujur menerangkan dengan jelas
segala sesuatu tentang luasnya syarat/kondisi dari asuransi
yang bersangkutan dan menyelesaikan tuntutan ganti rugi
sesuai dengan syarat dan kondisi pertanggungan.
Tertanggung harus memberikan keterangan yang jelas dan
benar atas obyek atau kepentingan yang dipertanggungkan,
artinya tertanggung tidak boleh menyembunyikan keterangan
yang diketahui dan harus memberikan keterangan yang benar
tentang sebab musabab terjadinya kerugian.
4. Subrogation (subrogasi bagi penanggung).
Penanggung yang telah membayar kerugian dari suatu benda
yang dipertanggungkan mendapat semua hak-hak yang ada
pada si tertanggung terhadap orang ketiga mengenai kerugian
itu. Tertanggung bertanggung jawab untuk setiap perbuatan
yang mungkin dapat merugikan hak dari penanggung terhadap
orang-orang ketiga.
Subrogasi hanya dapat berlaku apabila terdapat dua faktor,
yaitu:
a. Tertanggung di samping mempunyai hak terhadap
penanggung, juga mempunyai hak terhadap pihak ketiga;
b. Hak-hak itu timbul karena kerugian.
Hak subrogasi timbul dengan sendirinya (ipso facto), sehingga
tidak perlu ditentukan dalam polis, tetapi dalam praktik
kadang-kadang dimuat dalam polis sebagai klausula
subrograsi.
Para pakar berpendapat asas subrograsi hanya berlaku untuk
asuransi kerugian dan tidak untuk asuransi jumlah, misalnya
asuransi jiwa dan asuransi kesehatan.
5. Proxima causa
Prinsip ini tercermin dalam Pasal 249 dan 276 KUHDagang.
Pasal 249 KUHD menyebutkan kerusakan atau kerugian yang
timbul dari suatu cacad, kebusukan sendiri, atau yang
langsung ditimbulkan dari sifat dan macam barang yang
dipertanggungkan sendiri, tak sekali-kali si pertanggungan
juga untuk itu.
Pasal 276 KUHD menyebutkan tiada kerugian atau kerusakan

777
yang disebabkan karena kesalahan si tertanggung harus
ditanggung oleh si penanggung, bahkan penanggung berhak
memiliki premi ataupun menuntutnya apabila ia sudah mulai
memikul sesuatu bahaya.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan,
bahwa jika kerugian yang diderita oleh si tertanggung
disebabkan karena kebusukan, cacad, sifat atau macam dari
barangnya sendiri (obyek asuransi) maupun karena kesalahan,
kesengajaan, kelalaian dari diri si tertanggung, maka hal ini
penanggung dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya untuk
memberi ganti rugi kepada tertanggung.
Oleh karena itu, dalam prisnsip ini untuk menentukan apakah
penanggung akan mengganti kerugian kepada tertanggung
atau tidak, terlebih dahulu dilihat, antara lain:
a. Peristiwa yang terjadi dan fakta tertanggung menderita
kerugian;
b.Peristiwa yang terjadi termasuk peristiwa yang ditutup
dalam polis atau tidak;
c. Kerugian yang diderita tertanggung adalah sebagai akibat
dari peristiwa yang ditutup dalam polis;
d.Ada unsur yang membebaskan penanggung dari
kewajibannya.
6. Contribution (kontribusi)
Bilamana pada polis yang sama oleh berbagai penanggung,
meskipun pada hari-hari yang berlainan dipertanggungkan
untuk lebih daripada harganya, maka mereka bersama-sama
menurut keseimbangan jumlah, untuk mana mereka
menandatangani, hanya memikul harga sesungguhnya yang
dipertanggungkan (Pasal 278 KUHD).
Asas ini hanya berlaku dalam hal-hal:
a. Apabila polis-polis diadakan untuk risiko atau bahaya yang
sama yang menimbulkan kerugian itu;
b. Polis-polis itu menutup kepentingan yang sama dari
tertanggung yang sama dan terhadap benda yang sama pula;
c. Polis-polis itu masih berlaku pada saat terjadinya kerugian.
Akan tetapi apabila dalam polis memuat klausula non
contribution, maka pembayaran di bawah polis ini terbatas

888
hanya untuk jumlah kerugian yang melebihi jumlah yang
tertanggung oleh polis-polis yang lain, sehingga asas
kontribusi tidak berlaku dan polis itu berubah menjadi excess
plocy. Dengan demikian, maka tertanggung pertama-tama
tertanggung menuntut ganti kerugian kepada penagung
pertama, seterusnya baru kalau ada sisanya ia dapat menuntut
ganti kerugian kepada penanggung kedua.

H. POLIS ASURANSI

Berdasarkan Pasal 255 KUHD, bahwa untuk setiap perjanjian


perlu dibuat bukti tertulis atau surat perjanjian antara pihak-
pihak yang mengadakan perjanjian. Sebagai bukti tertulis telah
terjadi perjanjian asuransi, maka dikeluarkan surat yang disebut
dengan Polis.
Fungsi daripada Polis, antara lain:
1. Bukti perjanjian pertanggungan.
2. Sebagai bukti jaminan dari penanggung kepada tertanggung
untuk menggantikan kerugian yang mungkin dialami oleh
tertanggung akibat peristiwa yang tidak terduga sebelumnya dengan
prinsip:
a. Untuk mengembalikan tertanggung kepada kedudukannya
semula sebelum mengalami kerugian;
b. Untuk menghindarkan tertanggung dari kebangkrutan.

I. BADAN MEDIASI ASURANSI INDONESIA

Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) adalah lembaga


independen dan imparsial yang memberikan pelayanan untuk

999
penyelesaian perselisihan antara Perusahaan Asuransi dengan
Tertanggung.

Pendirian BMAI dilakukan oleh pemerintah dan semua Asosiasi


Perusahaan Perasuransi Indonesia (FAPI), yaitu Asosiasi Asuransi
Umum Indonesia (AAUI), Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia
(AAJI) dan Asosiasi Asuransi Sosial Indonesia (AASI) dengan
tujuan untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih
professional dan transparan yang berbasis pada kepuasan dan
perlindungan serta penegakkan hak-hak pelanggan. BMAI secara
resmi didirikan pada tanggal 12 Mei 2006 dan mulai beroprerasi
mulai tanggal 30 September 2006.

BMAI adalah lembaga yang mudah diakses oleh semua


masyarakat Tertanggung untuk penyelesaian perselisihan dan
memberikan solusi yang mudah bagi Tertanggung yang tidak
mampu menyelesaikan suatu perkara melalui pengadilan atau
tidak mampu membayar biaya bantuan hukum yang mahal.

BMAI dibentuk dengan tujuan untuk memberikan representasi


yang seimbang antara Tertanggung dengan Perusahaan Asuransi.
Dewan Pengawas BMAI terdiri dari para pakar baik bidang
hukum mapun bidang perasuransian untuk menjamin agar BMAI
bertindak independent, adil, mudah diakses dan transparan.

Proses penyelesaian oleh BMAI terdiri dari Mediasi (Tahap 1)


dan Ajudikasi (Tahap 2).

Tahap 1 Mediasi
Laporan keluhan yang diterima oleh BMAI akan ditangani oleh
Case Manager. Case Manager akan berusaha untuk
mengupayakan agar Tertanggung dan Perusahaan Asuransi dapat
mencapai suatu penyelesaian secara damai dan adil bagi kedua
belah pihak. Dalam kasud perselisihan yang umum, Case
Manager akan bertindak sebagai mediator bagi kedua belah
pihak.

Tahap 2 Ajudikasi

101010
Apabila perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui mediasi,
kasus perselisihan akan dibawa ke tingkat Ajudikasi untuk
diputuskan atau Penal Ajudikator yang ditunjuk oleh BMAI.

Meski demikian, tidak semua sengketa asuransi dapat dibawa ke


BMAI. Lembaga ini hanya memproses sengketa yang terjadi
antara masyarakat pemegang polis dan perusahaan asuransi.
Klaim asuransi yang ditangani oleh BMAI maksimal Rp 500 juta
untuk asuransi umum dan Rp 300 juta untuk asuransi jiwa dan
asuransi jaminan sosial.

Belum lama ini BMAI sempat mengusulkan agar pemerintah


memperbesar kewenangannya menyelesaikan sengketa. Caranya
dengan menaikkan limit klaim asuransi yang bisa ditangani
BMAI, menjadi Rp1 miliar untuk sengketa asuransi umum, dan
Rp500 juta untuk asuransi jiwa dan sosial. Tetapi usulan itu tidak
jadi diwujudkan. Alasannya BMAI dibentuk untuk kepentingan
pemegang polis kecil. “Prinsipnya BMAI didirikan untuk orang
kecil, jadi sementara ini tidak perlu dinaikan,”.

Sejauh ini BMAI memiliki anggota sebanyak 135 perusahaan


asuransi, yang terdiri dari 86 asuransi umum, 41 asuransi jiwa,
lima asuransi jaminan sosial serta empat perusahaan reasuransi.

Sosialisasi terhadap keberadaan BMAI terus dilakukan. Salah


satunya dengan mengingatkan kepada setiap anggotanya untuk
mencantumkan klausul BMAI sebagai lembaga yang akan
menyelesaikan masalah jika terjadi sengketa di setiap polis
asuransi.

J. ASURANSI SYARIAH
Asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong-
menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam

111111
bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola
pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad
(perikatan) yang sesuai Syariah (fatwa DSN-MUI)
Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada definisi
diatas adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir
(perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang
haram dan maksiat.
Ada berbagai cara bagaimana manusia menangani risiko
terjadinya musibah. Cara pertama adalah dengan
menanggungnya sendiri (risk retention), yang kedua,
mengalihkan risiko ke pihak lain (risk transfer), dan yang ketiga,
mengelolanya bersama-sama (risk sharing).
Berdasarkan konsep syariah, sesungguhnya musibah, ataupun
risiko kerugian akibat musibah, wajib ditanggung bersama (risk
sharing). Jadi, bukan setiap individu menanggung sendiri-sendiri
(risk retention), bukan pula dialihkan ke pihak lain (risk
transfer). Risk sharing inilah sesungguhnya esensi asuransi
dalam Islam, di mana di dalamnya diterapkan prinsip-prinsip
kerjasama, proteksi dan saling bertanggungjawab (cooperation,
protection, mutual responsibility), yang bisa disingkat dengan
prinsip CPM.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 2 TAHUN 1992
TENTANG
USAHA PERASURANSIAN

121212
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945, pembangunan di segala bidang perlu dilaksanakan secara
berkesinambungan;
b. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan dapat terjadi berbagai ragam dan jenis risiko yang
perlu ditanggulangi oleh masyarakat;
c. bahwa usaha perasuransian yang sehat merupakan salah satu upaya untuk menanggulangi
risiko yang dihadapi anggota masyarakat dan sekaligus merupakan salah satu lembaga
penghimpun dana masyarakat, sehingga memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan
dan kehidupan perekonomian, dalam upaya memajukan kesejahteraan umum;
d. bahwa dalam rangka meningkatkan peranan usaha perasuransian dalam pembangunan,
perlu diberikan kesempatan yang lebih luas bagi pihak-pihak yang ingin berusaha di bidang
perasuransian, dengan tidak mengabaikan prinsip usaha yang sehat dan bertanggung jawab,
yang sekaligus dapat mendorong kegiatan perekonomian pada umumnya;
e. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut dipandang perlu untuk menetapkan Undang-
undang tentang Usaha Perasuransian;

Mengingat:   1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23);
3. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1971 tentang
Perubahan dan Penambahan atas Ketentuan Pasal 54 Kitab Undang-undang Hukum Dagang
(Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2959);
4. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Per-koperasian (Lembaran
Negara Tahun 1967 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2832);
5. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara (Lembaran
Negara Tahun 1969 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2890) Menjadi Undang-
undang (Lembaran NegaraTahun 1969 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2904);

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:  UNDANG-UNDANG TENTANG USAHA PERASURANSIAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana
pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi,
untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga
yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti,
atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan.

131313
2. Obyek Asuransi adalah benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab
hukum, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan atau berkurang
nilainya.
3. Program Asuransi Sosial adalah program asuransi yang diselenggarakan secara wajib
berdasarkan suatu Undang-undang, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan dasar
bagi kesejahteraan masyarakat.
4. Perusahaan Perasuransian adalah Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi
Jiwa, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang
Reasuransi, Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dan Perusahaan
Konsultan Akturia,
5. Perusahaan Asuransi Kerugian adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam
penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
6. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggulangan
risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.
7. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam pertanggungan
ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau
Perusahaan Asuransi Jiwa.
8. Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa keperantaraan
dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi Asuransi dengan
bertindak untuk kepentingan tertanggung.
9. Perusahaan Pialang Reasuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa keperantaraan
dalam penempatan reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan
bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi.
10. Agen Asuransi adalah sescorang atau badan hukum yang kegiatannya memberikan jasa
dalam memasarkan jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.
11. Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa penilaian
terhadap kerugian pada obyek asuransi yang dipertanggungkan.
12. Perusahaan Konsultan Akturia adalah perusahaan yang memberikan jasa akturia kepada
perusahaan asuransi dan dana pensiun dalam rangka pembentukan dan pengelolaan suatu
program asuransi dan atau program pensiun.
13. Afiliasi adalah hubungan antara seseorang atau badan hukum dengan satu orang atau lebih,
atau badan hukum lain, sedemikian rupa sehingga salah satu dari mereka dapat
mempengaruhi pengelolaan atau kebijaksanaan orang yang lain atau badan hukum yang lain,
atau sebaliknya dengan memanfaatkan adanya kebersamaan kepemilikan saham atau
kebersamaan pengelolaan perusahaan. 14. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik
Indonesia.

BAB II
BIDANG USAHA PERASURANSIAN

Pasal 2
Usaha perasuransian merupakan kegiatan usaha yang bergerak di bidang:
a. Usaha asuransi, yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat
melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat
pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa
yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang.
b. Usaha penunjang usaha asuransi, yang menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian
kerugian asuransi dan jasa akturia.

BAB III
JENIS USAHA PERASURANSIAN

Pasal 3
Jenis usaha perasuransian meliputi:
a. Usaha asuransi terdiri dari:

141414
1. Usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian,
kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari
peristiwa yang tidak pasti;
2. Usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan
dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.
3. Usaha reasuransi yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang
dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa.
b. Usaha penunjang usaha asuransi terdiri dari:
1. Usaha pialang asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan
penanganan penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk kepentingan
tertanggung;
2. Usaha pialang reasuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penempatan
reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan bertindak untuk
kepentingan perusahaan asuransi;
3. Usaha penilai kerugian asuransi yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada
obyek asuransi yang dipertanggungkan;
4. Usaha konsultan akturia yang memberikan jasa konsultasi akturia;
5. Usaha Agen Asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam rangka pemasaran jasa
asuransi untuk dan atas nama penanggung.

BAB IV
RUANG LINGKUP USAHA
PERUSAHAAN PERASURANSIAN

Pasal 4
Usaha asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a hanya dapat dilakukan oleh
perusahaan perasuransian, dengan ruang lingkup kegiatan sebagai berikut:
a. Perusahaan Asuransi Kerugian hanya dapat menyelenggarakan usaha dalam bidang asuransi
kerugian, termasuk reasuransi;
b. Perusahaan Asuransi Jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha dalam bidang asuransi
jiwa, dan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan diri, dan usaha anuitas, serta menjadi
pendiri dan pengurus dana pensiun sesuai dengan peraturan perundang-undangan dana
pensiun yang berlaku;
c. Perusahaan Reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha pertanggungan ulang.

Pasal 5
Usaha penunjang usaha asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b hanya dapat
dilakukan oleh perusahaan perasuransian dengan ruang lingkup kegiatan usaha sebagai
berikut:
a. Perusahaan Pialang Asuransi hanya dapat menyclenggarakan usaha dengan bertindak
mewakili tertanggung dalam rangka transaksi yang berkaitan dengan kontrak asuransi;
b. Perusahaan Pialang Reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha dengan bertindak
mewakili perusahaan asuransi dalam rangka transaksi yang berkaitan dengan kontrak
reasuransi;
c. Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha jasa penilaian
kerugian atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada obyek asuransi kerugian;
d. Perusahaan Konsultan Akturia hanya dapat menyelenggarakan usaha jasa di bidang akturia;
e. Perusahaan Agen Asuransi hanya dapat memberikan jasa pemasaran asuransi bagi satu
perusahaan asuransi yang memiliki izin usaha dari Menteri.

BAB V
PENUTUPAN OBYEK ASURANSI

Pasal 6
(1) Penutupan asuransi atas obyek asuransi harus didasarkan pada kebebasan memilih
penanggung, kecuali bagi Program Asuransi Sosial.

151515
(2) Penutupan obyek asuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan dengan
memperhatikan daya tampung perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi di dalam
negeri.
(3) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
BENTUK HUKUM USAHA PERASURANSIAN

Pasal 7
(1) Usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk:
a. Perusahaan Perseroan (PERSERO);
b. Koperasi;
c. Usaha Bersama (Mutual).
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (l), usaha konsultan
akturia dan usaha agen asuransi dapat dilakukan olch perusahaan perorangan.
(3) Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) diatur lebih
lanjut dengan Undang-undang.

BAB VII
KEPEMILIKAN PERUSAHAAN PERASURANSIAN

Pasal 8
(1) Perusahaan Perasuransian hanya dapat didirikan oleh:
a. Warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki warga
negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia;
b. Perusahaan perasuransian yang pemiliknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dengan
perusahaan perasuransian yang tunduk pada hukum asing.
(2) Perusahaan perasuransian yang didirikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b
harus merupakan:
a. Perusahaan perasuransian yang mempunyai kegiatan usaha sejenis dengan kegiatan usaha
dari Perusahaan perasuransian yang mendirikan atau memilikinya;
b. Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi, yang para pendiri atau pemilik
perusahaan tersebut adalah Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan
Reasuransi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kepemilikan Perusahaan Perasuransian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
PERIZINAN USAHA

Pasal 9
(1) Setiap pihak yang melakukan usaha perasuransian wajib mendapat izin usaha dari Menteri,
kecuali bagi perusahaan yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial.
(2) Untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dipenuhi
persyaratan mengenai:
a. Anggaran dasar;
b. Susunan organisasi;
c. Permodalan;
d. Kepemilikan;
e. Keahlian di bidang perasuransian;
f. Kelayakan rencana kerja;
g. Hal-hal lain yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha perasuransian secara
sehat.
(3) Dalam hal terdapat kepemilikan pihak asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
huruf b, maka untuk memperolch izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib

161616
dipenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) serta ketentuan mengenai batas
kepemilikan dan kepengurusan pihak asing.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 10
Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian dilakukan oleh Menteri.

Pasal 11
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian meliputi:
a. Kesehatan keuangan bagi Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa dan
Perusahaan Reasuransi, yang terdiri dari:
1. Batas tingkat solvabilitas;
2. Retensi sendiri;
3. Reasuransi;
4. Investasi;
5. Cadangan teknis; dan
6. Ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan kesehatan keuangan;
b. Penyelenggaraan usaha, yang terdiri dari:
1. Syarat-syarat polis asuransi;
2. tingkat premi;
3. Penyelesaian klaim;
4. Persyaratan keahlian di bidang perasuransian; dan
5. Ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan usaha.
(2) Setiap Perusahaan Perasuransian wajib memelihara kesehatan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serta wajib melakukan usaha sesuai dengan prinsip-
prinsip asuransi yang sehat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kesehatan keuangan darl penyelenggaraan usaha
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 12
Perusahaan Pialang Asuransi dilarang menempatkan penutupan asuransi pada perusahaan
asuransi yang tidak mempunyai izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.

Pasal 13
(1) Perusahaan Pialang Asuransi dilarang menempatkan penutupan asuransi kepada suatu
perusahaan asuransi yang merupakan Afiliasi dari Perusahaan Pialang Asuransi yang
bersangkutan, kecuali apabila calon tertanggung telah terlebih dahulu diberitahu secara
tertulis dan menyetujui mengenai adanya Afiliasi tersebut.
(2) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dilarang melakukan penilaian kerugian atas obyek
asuransi yang diasuransikan kepada Perusahaan Asuransi Kerugian yang merupakan Afiliasi
dari Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi yang bersangkutan.
(3) Perusahaan Konsultan Aktuaria dilarang memberikan jasa kepada Perusahaan Asuransi Jiwa
atau dana pensiun yang merupakan Afiliasi dari Perusahaan Konsultan Aktuaria yang
bersangkutan.
(4) Agen Asuransi dilarang bertindak sebagai agen dari perusahaan asuransi yang tidak
mempunyai izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.

Pasal 14
(1) Program Asuransi Sosial hanya dapat diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara.
(2) Terhadap perusahaan yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berlaku ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan dalam
Undang-undang ini.

171717
Pasal 15
(1) Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan, Menteri melakukan pemeriksaan berkala
atau setiap waktu apabila diperlukan terhadap usaha perasuransian.
(2) Setiap perusahaan perasuransian wajib memperlihatkan buku, catatan, dokumen, dan
laporan-laporan, serta memberikan keterangan yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 16
(1) Setiap Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, Perusahaan Reasuransi,
Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi wajib menyampaikan
neraca dan perhitungan laba rugi perusahaan beserta penjelasannya kepada Menteri.
(2) Setiap perusahaan perasuransian wajib menyampaikan laporan operasional kepada Menteri.
(3) Setiap Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, dan Perusahaan
Reasuransi wajib mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi perusahaan dalam surat
kabar harian di Indonesia yang memiliki peredaran yang luas.
(4) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), setiap
Perusahaan Asuransi Jiwa wajib menyampaikan laporan investasi kepada Menteri.
(5) Bentuk, susunan dan jadwal penyampaian laporan serta pengumuman neraca dan
perhitungan laba rugi perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 17
(1) Dalam hal terdapat pelanggaran terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini atau peraturan
pelaksanaannya, Menteri dapat melakukan tindakan berupa pemberian peringatan,
pembatasan kegiatan usaha, atau pencabutan izin usaha.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterapkan dengan tahapan pelaksanaan
sebagai berikut:
a. Pemberian peringatan;
b. Pembatasan kegiatan usaha;
c. Pencabutan izin usaha.
(3) Sebelum pencabutan izin usaha, Menteri dapat memerintahkan perusahaan yang
bersangkutan untuk menyusun rencana dalam rangka mengatasi penyebab dari pembatasan
kegiatan usahanya.
(4) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serta jangka waktu
bagi perusahaan dalam memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 18
(1) Dalam hal tindakan untuk memenuhi rencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3)
telah dilaksanakan dan apabila dari pelaksanaan tersebut dapat disimpulkan bahwa
perusahaan yang bersangkutan tidak mampu atau tidak bersedia menghilangkan hal-hal yang
menyebabkan pembatasan termaksud, maka Menteri mencabut izin usaha perusahaan.
(2) Pencabutan izin usaha diumumkan oleh Menteri dalam surat kabar harian di Indonesia yang
memiliki peredaran yang luas.

Pasal 19
Dalam ha] perusahaan telah berhasil melakukan tindakan dalam rangka mengatasi penyebab
dari pembatasan kegiatan usahanya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (4), maka perusahaan yang bersangkutan dapat melakukan usahanya kembali.

BAB X
KEPAILITAN DAN LIKUIDASI

Pasal 20

181818
(1) Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Peraturan Kepailitan, dalam hal
terdapat pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, maka Menteri,
berdasarkan kepentingan umum dapat memintakan kepada Pengadilan agar perusahaan
yang bersangkutan dinyatakan pailit.
(2) Hak pemegang polis atas pembagian harta kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau
Perusahaan Asuransi Jiwa yang dilikuidasi merupakan hak utama.

BAB XI
KETENTUAN PIDANA

Pasal 21
(1) Barang siapa menjalankan atau menyuruh menjalankan kegiatan usaha perasuransian tanpa
izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, diancam dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,- (dua milyar lima
ratus juta rupiah).
(2) Barang siapa menggelapkan premi asuransi diancam dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta
rupiah).
(3) Barang siapa menggelapkan dengan cara mengalihkan, menjaminkan, dan atau
mengagunkan tanpa hak, kekayaan Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Asuransi
Kerugian atau Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah).
(4) Barang siapa menerima, menadah, membeli, atau mengagunkan, atau menjual kembali
kekayaan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) yang diketahuinya atau patut
diketahuinya bahwa barang-barang tersebut adalah kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian
atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah).
(5) Barang siapa secara sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan pemalsuan atas dokumen
Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Reasuransi,
diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 22
Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21,
terhadap perusahaan perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan Undang-undang ini dan
peraturan pelaksanaannya dapat dikenakan sanksi administratip, ganti rugi, atau denda, yang
ketentuannya lebih lanjut akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 23
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 adalah kejahatan.

Pasal 24
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilakukan oleh atau atas
nama suatau badan hukum atau badan usaha yang bukan merupakan badan hukum, maka
tuntutan pidana dilakukan terhadap badan tersebut atau terhadap mereka yang memberikan
perintah untuk melakukan tindak pidana itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam
melakukan tindak pidana itu maupun terhadap kedua-duanya.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 25
(1) Perusahaan Perasuransian yang telah mendapat izin usaha dari Menteri pada saat
ditetapkannya Undang-undang ini, dinyatakan telah mendapat izin usaha berdasarkan
Undang-undang ini.

191919
(2) Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwajibkan menyesuaikan
diri dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
(3) Ketentuan tentang penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) serta jangka
waktunya ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 26
Peraturan perundang-undangan mengenai usaha perasuransian yang telah ada pada saat
Undang-undang ini mulai berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini,
dinyatakan tetap berlaku sampai peraturan perundang-undangan yang menggantikannya
berdasarkan Undang-undang ini ditetapkan.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 27
Dengan berlakunya Undang-undang ini maka Ordonnanntie op het Levensverzekeringbedrijf
(Staatsblad Tahun 1941 Nomor 101) dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 28
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini


dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 11 Pebruari 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Pebruari 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

MOERDIONO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1992 NOMOR 13

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 1992
TENTANG
USAHA PERASURANSIAN

UMUM

Sasaran utama pembangunan jangka panjang sebagaimana tertera dalam Garis-garis


Besar Haluan Negara adalah terciptanya landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk
tumbuh dan berkembang atas kekuatannya sendiri menuju masyarakat yang adil dan makmur

202020
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan ekonomi
memerlukan dukungan investasi dalam jumlah yang memadai yang pelaksanaannya harus
berdasarkan kemampuan sendiri dan oleh karena itu diperlukan usaha yang sungguh-
sungguh untuk mengerahkan dana investasi, khususnya yang bersumber dari tabungan
masyarakat. Usaha perasuransian sebagai salah satu lembaga keuangan menjadi penting
peranannya, karena dari kegiatan usaha ini diharapkan dapat semakin meningkat lagi
pengerahan dana masyarakat untuk pembiayaan pembangunan.
Dalam pada itu, pembangunan tidak luput dari berbagai risiko yang dapat mengganggu
hasil pembangunan yang telah dicapai.
Sehubungan dengan itu dibutuhkan hadirnya usaha Perasuransian yang tangguh, yang
dapat menampung kerugian yang dapat timbul oleh adanya berbagai risiko. Kebutuhan akan
jasa usaha perasuransian juga merupakan salah satu sarana finansial dalam tata kehidupan
ekonomi rumah tangga, baik dalam menghadapi risiko finansial yang timbul sebagai akibat
dari risiko yang paling mendasar, yaitu risiko alamiah datangnya kematian, maupun dalam
menghadapi berbagai risiko atas harta benda yang dimiliki.
Kebutuhan akan hadirnya usaha perasuransian juga dirasakan oleh dunia usaha
mengingat di satu pihak terdapat berbagai risiko yang secara sadar dan rasional dirasakan
dapat mengganggu kesinambungan kegiatan usahanya, di lain pihak dunia usaha sering kali
tidak dapat menghindarkan diri dari suatu sistim yang memaksanya untuk menggunakan jasa
usaha perasuransian.
Usaha perasuransian telah cukup lama hadir dalam perekonomian Indonesia dan
berperan dalam perjalanan sejarah bangsa berdampingan dengan sektor kegiatan lainnya.
Sejauh ini kehadiran usaha perasuransian hanya didasarkan pada Kitab Undang-undang
Hukum Dagang (KUH Dagang) yang mengatur asuransi sebagai suatu perjanjian. Sementara
itu usaha asuransi merupakan usaha yang menjanjikan perlindungan kepada pihak
tertanggung dan sekaligus usaha ini juga menyangkut dana masyarakat. Dengan kedua
peranan usaha asuransi tersebut, dalam perkembangan pembangunan ekonomi yang
semakin meningkat maka semakin terasa kebutuhan akan hadirnya industri perasuransian
yang kuat dan dapat diandalkan.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut maka usaha perasuransian merupakan bidang
usaha yang memerlukan pembinaan dan pengawasan secara berkesinambungan dari
Pemerintah, dalam rangka pengamanan kepentingan masyarakat. Untuk itu diperlukan
perangkat peraturan dalam bentuk Undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum
yang lebih kokoh, yang dapat merupakan landasan, baik bagi gerak usaha dari perusahaan-
perusahaan di bidang ini maupun bagi Pemerintah dalam rangka melaksanakan pembinaan
dan pengawasan.
Undang-undang ini pada dasarnya menganut azas spesialisasi usaha dalam jenis-jenis
usaha di bidang perasuransian. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa usaha
perasuransian merupakan usaha yang memerlukan keahlian serta ketrampilan teknis yang
khusus dalam penyelenggaraannya.
Undang-undang ini juga menegaskan adanya kebebasan pada tertanggung dalam memilih
perusahaan asuransi. Dalam rangka perlindungan atas hak tertanggung, Undang-undang ini
juga menetapkan ketentuan yang menjadi pedoman tentang penyelenggaraan usaha, dengan
mengupayakan agar praktek usaha yang dapat menimbulkan konflik kepentingan sejauh
mungkin dapat dihindarkan, serta mengupayakan agar jasa yang ditawarkan dapat
terselenggara atas dasar pertimbangan obyektif yang tidak merugikan pemakai jasa.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Cukup jelas

212121
Pasal 3
Pengelompokan jenis usaha perasuransian dalam Pasal ini didasarkan pada pengertian
bahwa perusahaan yang melakukan usaha asuransi adalah perusahaan yang menanggung
risiko asuransi. Di samping itu, di bidang perasuransian terdapat pula perusahaan-
perusahaan yang kegiatan usahanya tidak menanggung risiko asuransi, yang dalam Pasal ini
kegiatannya dikelompokkan sebagai usaha penunjang usaha asuransi.
Walaupun demikian sebagai sesama penyedia jasa di bidang perasuransian, perusahaan di
bidang usaha asuransi dan perusahaan di bidang usaha penunjang usaha asuransi
merupakan mitra usaha yang saling membutuhkan dan saling melengkapi, yang secara
bersama-sama perlu memberikan kontribusi bagi kemajuan sektor perasuransian di
Indonesia.
Selain pengelompokan menurut jenis usaha, usaha asuransi dapat pula dibagi berdasarkan
sifat dari penyelenggaraan usahanya menjadi dua kelompok, yaitu yang bersifat sosial dan
yang bersifat komersial. Usaha asuransi yang bersifat sosial adalah dalam rangka
penyelenggaraan Program Asuransi Sosial, yang bersifat wajib berdasarkan Undang-undang
dan memberikan perlindungan dasar untuk kepentingan masyarakat.

Pasal 4
Berdasarkan ketentuan ini setiap perusahaan perasuransian hanya dapat pula menjalankan
jenis usaha yang telah ditetapkan. Dengan demikian tidak dimungkinkan adanya sebuah
perusahaan asuransi yang sekaligus menjalankan usaha asuransi kerugian dan asuransi
jiwa.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal ini pengertian dana pensiun terbatas pada dana pensiun
lembaga keuangan.

Pasal 5
Jasa yang dapat diberikan oleh Perusahaan Konsultan Akturia mencakup antara lain
konsultasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan analisis dan penghitungan cadangan,
penyusunan laporan akturia, penilaian kemungkinan terjadinya risiko dan perancangan
produk asuransi jiwa.

Pasal 6
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi hak tertanggung agar dapat secara bebas
memilih perusahaan asuransi sebagai penanggungnya. Hal ini dipandang perlu mengingat
tertanggung adalah pihak yang paling berkepentingan atas obyek yang dipertanggungkannya
sehingga sudah sewajarnya apabila mereka secara bebas tanpa adanya pengaruh dan
tekanan dari pihak manapun dapat menentukan sendiri perusahaan asuransi yang akan
menjadi penanggungnya.
Ayat (2)
Dalam asas kebebasan untuk memilih pananggung ini terkandung maksud bahwa
tertanggung bebas untuk menempatkan penutupan obyek asuransinya pada Perusahaan
Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Kerugian yang memperoleh izin usaha di Indonesia.
Ayat (3)
Agar pelaksanaan dari ketentuan ini dapat disesuaikan dengan perkembangan usaha
perasuransian di Indonesia, maka ketentuan lebih lanjut mengenai penutupan asuransi dan
atau penempatan reasuransinya diatur dalam peraturan pelaksanaan dari Undang-undang ini.

Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)

222222
Mengingat Undang-undang mengenai bentuk hukum Usaha Bersama (Mutual) belum ada,
maka untuk sementara ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha
Bersama (Mutual) akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 8
Ayat (1)
Dalam ayat ini ditentukan bahwa warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia
dapat menjadi pendiri perusahaan perasuransian, baik dengan pemilikan sepenuhnya
maupun dengan membentuk usaha patungan dengan pihak asing. Termasuk dalam
pengertian badan hukum Indonesia antara lain adalah Badan Usaha Milik Negara, Badan
Usaha Milik Daerah, Koperasi, dan Badan Usaha Milik Swasta.
Ayat (2)
Perusahaan perasuransian yang didirikan atau dimiliki oleh perusahaan perasuransian dalam
negeri dan perusahaan perasuransian asing yang mempunyai kegiatan usaha sejenis
dimaksudkan untuk menumbuhkan penyelenggaraan kegiatan usaha perasuransian yang
lebih profesional.Selain itu kerjasama perusahaan perasuransian yang sejenis juga
dimaksudkan untuk lebih memungkinkan terjadinya proses alih teknologi.
Sesuai dengan tujuan dari ketentuan ini yang dimaksudkan untuk lebih menumbuhkan
profesionalisme dalam pengelolaan usaha, maka kepemilikan bersama atas perusahaan
perasuransian oleh Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi dalam
negeri dengan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi luar negeri harus
tetap didasarkan pada jenis usaha masing-masing partner dalam kepemilikan tersebut.
Contoh mengenai hal tersebut adalah sebegai berikut:
a. Perusahaan Reasuransi luar negeri dengan Perusahaan Asuransi Kerugian dalam negeri
dapat mendirikan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi.
b. Perusahaan Asuransi Kerugian luar negeri dengan Perusahaan Reasuransi dalam negeri
dapat mendirikan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 9
Ayat (1)
Khusus bagi Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial,
fungsi dan tugas sebagai penyelenggara program tersebut dituangkan dalam Peraturan
Pemerintah.
Hal ini berarti bahwa Pemerintah memang menugaskan Badan Usaha Milik Negara yang
bersangkutan untuk melaksanakan suatu Program Asuransi Sosial yang telah diputuskan
untuk dilaksanakan oleh Pemerintah. Dengan demikian bagi Badan Usha Milik Negara
termaksud tidak diperlukan adanya izin usaha dari Menteri.
Ayat (2)
Untuk mendukung suatu kegiatan usaha perasuransian yang bertanggungjawab, perlu
adanya anggaran dasar, susunan organisasi yang baik, Jumlah modal yang memadai, status
kepemilikan yang jelas, tenaga ahli asuransi yang diperlukan sesuai dengan bidangnya,
rencana kerja yang layak sesuai dengan kondisi, dan hal-hal lain yang dikemudian hari
diperkirakan dapat mendukung pertumbuhan usaha perasuransian secara sehat.
Yang dimaksud dengan keahlian di bidang perasuransian dalam ketentuan ini mencakup
antara lain keahlian di bidang aktuaria, underwriting, manajemen risiko.
penilai kerugian asuransi, dan sebagainya, sesuai dengan kegiatan usaha perasuransian
yang dijalankan.
Ayat (3)
Dalam pengertian istilah ketentuan mengenai batas kepemilikan dan kepengurusan pihak
asing, termasuk pula pengertian tentang proses Indonesianisasi. Dengan adanya ketentuan
ini diharapkan industri perasuransian nasional semakin dapat bertumpu pada kekuatan
sendiri.
Ayat (4)
Cukup jelas

232323
Pasal 10
Cukup jelas

Pasal 11
Ayat (1)
Batas tingkat solvabilitas (Solvency Margin) merupakan tolok ukur kesehatan keuangan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Batas tingkat solvabilitas ini merupakan
selisih antara kekayaan terhadap kewajiban, yang perhitungannya didasarkan pada cara
perhitungan tertentu sesuai dengan sifat usaha asuransi. Retensi sendiri dalam hal ini
merupakan bagian pertanggungan yang menjadi beban atau tanggung jawab sendiri sesuai
dengan tingkat kemampuan keuangan perusahaan asuransi atau Perusahaan Reasuransi
yang bersangkutan.
Reasuransi merupakan bagian pertanggungan yang dipertanggungkan ulang pada
perusahaan asuransi lain dan atau Perusahaan Reasuransi.
Dalam hubungannya dengan investasi, yang akan diatur adalah kebijaksanaan investasi
Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Reasuransi
dalam menentukan investasinya pada jenis investasi yang aman dan produktif.
Sesuai dengan sifat usaha asuransi di mana timbulnya beban kewajiban tidak menentu, maka
Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, dan Perusahaan Reasuransi
perlu membentuk dan memelihara cadangan yang diperhitungkan berdasarkan pertimbangan
teknis asuransi dan dimaksudkan untuk menjaga agar perusahaan yang bersangkutan dapat
memenuhi kewajibannya kepada pemegang polis.
Asuransi adalah perjanjian atau kontrak yang dituangkan dalam bentuk polis. Sebagai suatu
perjanjian atau kontrak maka ketentuan-ketentuan yang diatur didalamnya tidak boleh
merugikan kepentingan pemegang polis.
Untuk melindungi kepentingan masyarakat luas, penetapan tingkat premi harus tidak
memberatkan tertanggung, tidak mengancam kelangsungan usaha penanggung, dan tidak
bersifat diskriminatif.
Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, peraturan pelaksanaan yang mencakup masalah
penyelesaian klaim akan menetapkan batas waktu maksimum antara saat adanya kepastian
mengenai jumlah klaim yang harus dibayar dengan saat pembayaran klaim tersebut oleh
penanggung.
Salah satu ketentuan yang berhubungan dengan penyelenggaraan usaha adalah mengenai
pembayaran premi asuransi kepada penanggung atas risiko yang ditutupnya, sesuai dengan
perjanjian yang telah dibuat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 14

242424
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Perusahaan yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosisal sebenarnya
menyelenggarakan salah satu jenis asuransi, yaitu asuransi jiwa atau asuransi kerugian atau
kombinasi antara keduanya. Oleh karena itu, terlepas dari peraturan perundang-undangan
yang membentuknya, Menteri sebagai pembina dan pengawas usaha perasuransian
berwenang dan berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
perusahaan yang menyelenggarakan usaha asuransi sosial tersebut, sedangkan mengenai
pembinaan dan pengawasan terhadap Program Asuransi Sosial dilakukan oleh Menteri teknis
yang bersangkutan berdasarkan Undang-undang yang mengatur Program Asuransi Sosial
dimaksud.

Pasal 15
Ayat (1)
Pemeriksaan dimaksudkan untuk meneliti secara langsung kebenaran laporan yang
disampaikan perusahaan, baik kesehatan keuangan maupun praktek penyelenggaraan
usaha, sesuai dengan ketentuan Undang-undang.
Pemeriksaan dimaksud dapat dilakukan secara berkala maupun setiap saat apabila
dipandang perlu dengan tujuan agar perlindungan terhadap masyarakat dapat dijamin dan
penyimpangan yang terjadi pada perusahaan dapat diketahui sedini mungkin.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 17
Ayat (1)
Keputusan mengenai pemberian peringatan, pembatasan kegiatan usaha, dan pencabutan
izin usaha merupakan tahapan tindakan yang dapat diberlakukan pada perusahaan yang
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang ini. Dalam hal tertentu Menteri
dapat mendengar pendapat pihak-pihak yang diperlukan.
Ayat (2)
Tahapan tindakan yang diperlukan merupakan urutan yang harus dilalui sebelum dilakukan
pencabutan izin usaha.
Namun demikian terhadap Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan Program
Asuransi Sosial, ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf b dan huruf c tidak dapat diterapkan. Hal
ini mengingat bahwa apabila terjadi hal-hal yang dapat menganggu kelangsungan usaha dari
Badan Usaha Milik Negara tersebut, maka tindak lanjutnya didasarkan pada peraturan
perundang-undangan mengenai Program Asuransi Sosial tersebut serta peraturan
perundang-undangan tentang pembentukan Badan Usaha Milik Negara yang bersangkutan.
Ayat (3)
Tergantung pada tingkat dan jenis pelanggaran yang dilakukan, Menteri dapat memberikan
kesempatan bagi perusahaan untuk melakukan upaya pembenahan dengan memerintahkan

252525
dilakukannya tindakan yang dianggap perlu yang diikuti perkembangannya secara terus-
menerus, tanpa mengorbankan perlindungan terhadap perusahaan ataupun tertanggung.
Dalam peraturan pelaksanaan yang mengatur tata cara pengenaan sanksi, akan ditetapkan
batas waktu maksimum yang disediakan bagi perusahaan yang bersangkutan untuk
menyusun rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat ini untuk diajukan kepada
Menteri. Batas waktu tersebut tidak dapat melebihi 4 bulan sejak dimulainya masa
pembatasan kegiatan usaha. Rencana kerja yang telah diajukan selanjutnya akan
dipergunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam menetapkan tindak lanjut pengenaan
sanksi.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 18
Ayat (1)
Dalam hal Menteri mempertimbangkan bahwa upaya yang dilakukan tidak menunjukkan
perbaikan atau dalam hal perusahaan tidak melakukan usaha untuk mengupayakan
perbaikan, maka Menteri akan mencabut izin usaha perusahaan yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Ayat (1)
Apabila suatu perusahaan asuransi telah dicabut izin usahanya, maka kekayaan perusahaan
tersebut perlu dilindungi agar para pemegang polis tetap dapat memperoleh haknya secara
proporsional. Untuk melindungi kepentingan para pemegang polis tersebut, Menteri diberi
wewenang berdasarkan Undang-undang ini untuk meminta Pengadilan agar perusahaan
asuransi yang bersangkutan dinyatakan pailit, sehingga kekayaan perusahaan tidak
dipergunakan untuk kepentingan pengurus atau pemilik perusahaan tanpa mengindahkan
kepentingan para pemegang polis.
Selain itu, dengan adanya kewenangan untuk mengajukan permintaan pailit tersebut, maka
Menteri dapat mencegah berlangsungnya kegiatan tidak sah dari perusahaan yang telah
dicabut izin usahanya, sehingga kemungkinan terjadinya kerugian yang lebih luas pada
masyarakat dapat dihindarkan.
Ayat (2)
Hak utama dalam ayat ini mengandung pengertian bahwa dalam hal kepailitan, hak
pemegang polis mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak-pihak lainnya,
kecuali dalam hal kewajiban untuk negara, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 22

262626
Cukup jelas

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Jangka waktu yang diperlukan untuk mengadakan penyesuaian berdasarkan ketentuan ayat
ini adalah 1 (satu) tahun.

Pasal 26
Cukup jelas

Pasal 27
Cukup jelas

Pasal 28
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3467

272727
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992
TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa dalam rangka menghadapi dan mengantisipasi perkembangan yang terjadi dalam
industri perasuransian nasional, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan
penyelenggaraan usaha perasuransian;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 73
Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian;

Mengingat:   1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3467);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 63 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992
tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3861);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:   PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN


PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA
PERASURANSIAN.

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3861), diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Perusahaan Perasuransian adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, dan
Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi.
2. Perusahaan Asuransi adalah Perusahaan Asuransi Kerugian dan Perusahaan Asuransi Jiwa.
3. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam pertanggungan
ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi.

282828
4. Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi adalah Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan
Pialang Reasuransi, Perusahaan Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, dan
Perusahaan Konsultan Aktuaria.
5. Unit Syariah adalah unit kerja di kantor pusat Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang dan/atau kantor
pemasaran yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip syariah.
6. Retensi Sendiri adalah bagian dari jumlah uang pertanggungan untuk setiap risiko yang
menjadi tanggungan sendiri tanpa dukungan reasuransi.
7. Pengurus adalah direksi untuk perseroan terbatas atau persero atau yang setara dengan itu
untuk koperasi dan usaha bersama.
8. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia."

2. Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 2A dan Pasal 2B sehingga
berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 2A
(1) Perusahaan Asuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha di bidang asuransi kerugian atau
asuransi jiwa.
(2) Perusahaan Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyelenggarakan seluruh
usahanya berdasarkan prinsip syariah.
(3) Perusahaan Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyelenggarakan
sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah dengan membentuk Unit Syariah.

Pasal 2B
(1) Perusahaan Reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha pertanggungan ulang untuk
risiko yang dihadapi perusahaan asuransi kerugian dan/atau perusahaan asuransi jiwa.
(2) Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyelenggarakan
seluruh usahanya berdasarkan prinsip syariah.
(3) Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyelenggarakan
sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah dengan membentuk Unit Syariah."

3. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 3
(1) Perusahaan Perasuransian dalam melaksanakan kegiatan usahanya harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. dalam anggaran dasar dinyatakan bahwa maksud dan tujuan pendirian perusahaan hanya
untuk menjalankan satu jenis usaha perasuransian;
b. permodalan sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
c. susunan organisasi perusahaan paling sedikit meliputi fungsi:
1. bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, yaitu fungsi pengelolaan risiko,
fungsi pengelolaan keuangan, dan fungsi pelayanan;
2. bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi, yaitu fungsi
pengelolaan keuangan dan fungsi pelayanan;
3. bagi Perusahaan Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, dan Perusahaan
Konsultan Aktuaria, yaitu fungsi teknis sesuai dengan bidang jasa yang diselenggarakannya.
d. mempekerjakan tenaga ahli sesuai dengan bidang usahanya dalam jumlah yang cukup untuk
mengelola kegiatan usahanya;
e. untuk Perusahaan Asuransi, memiliki komisaris independen yang:
1. tugas pokoknya adalah untuk menyuarakan kepentingan pemegang polis;
2. bukan merupakan afiliasi dari pemegang saham, direksi, atau komisaris; dan
3. menjabat sebagai komisaris independen paling banyak pada 2 (dua) Perusahaan Asuransi.
f. untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan seluruh
atau sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah, memiliki dewan pengawas syariah; dan
g. melaksanakan pengelolaan Perusahaan Perasuransian berdasarkan prinsip tata kelola
perusahaan yang baik.

292929
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi perusahaan, tenaga ahli, komisaris
independen, dewan pengawas syariah dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri."

4. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 6
(1) Modal disetor minimum bagi pendirian Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi,
Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi adalah sebagai berikut:
a. Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), bagi Perusahaan Asuransi;
b. Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah), bagi Perusahaan Reasuransi;
c. Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan
Pialang Reasuransi.
(2) Modal disetor minimum bagi pendirian Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
yang menyelenggarakan seluruh kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah adalah
sebagai berikut:
a. Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), bagi Perusahaan Asuransi;
b. Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), bagi Perusahaan Reasuransi.
(3) Modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan setiap penambahannya
harus dalam bentuk tunai.
(4) Pada saat pendirian perusahaan, kepemilikan saham pihak asing melalui penyertaan
langsung dalam Perusahaan Perasuransian paling banyak 80% (delapan puluh persen)."

5. Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 7 (tujuh) pasal, yakni Pasal 6A, Pasal 6B, Pasal 6C,
Pasal 6D, Pasal 6E, Pasal 6F, dan Pasal 6G sehingga berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 6A
(1) Perusahaan Perasuransian harus memiliki modal sendiri paling sedikit sebesar modal disetor
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2).
(2) Modal sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penjumlahan dari modal disetor,
agio saham, saldo laba, cadangan umum, cadangan tujuan, kenaikan atau penurunan nilai
surat berharga dan selisih penilaian aktiva tetap.

Pasal 6B
(1) Perusahaan Asuransi harus memiliki modal sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A
ayat (1) dengan tahapan sebagai berikut:
a. paling sedikit sebesar Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal
31 Desember 2008;
b. paling sedikit sebesar Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal
31 Desember 2009;
c. paling sedikit sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) paling lambat tanggal 31
Desember 2010.
(2) Perusahaan Reasuransi harus memiliki modal sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A
ayat (1) dengan tahapan sebagai berikut:
a. paling sedikit sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) paling lambat tanggal 31
Desember 2008;
b. paling sedikit sebesar Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh lima miliar rupiah) paling
lambat tanggal 31 Desember 2009;
c. paling sedikit sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) paling lambat tanggal
31 Desember 2010.

Pasal 6C
(1) Perusahaan Asuransi yang menyelenggarakan seluruh usahanya berdasarkan prinsip syariah
harus memiliki modal sendiri paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)
paling lambat tanggal 31 Desember 2008.

303030
(2) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi harus memiliki modal
sendiri paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) paling lambat tanggal 31
Desember 2008.

Pasal 6D
Modal kerja minimum Unit Syariah dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
adalah sebagai berikut:
a. sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) bagi Unit Syariah dari
Perusahaan Asuransi;
b. sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) bagi Unit Syariah dari Perusahaan
Reasuransi.

Pasal 6E
(1) Perusahaan Asuransi yang memiliki Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6D
huruf a, harus menyesuaikan modal kerja dari Unit Syariah dimaksud dengan tahapan
sebagai berikut:
a. paling sedikit sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) paling lambat tanggal 31
Desember 2008;
b. paling sedikit sebesar Rp12.500.000.000,00 (dua belas miliar lima ratus juta rupiah) paling
lambat tanggal 31 Desember 2009;
c. paling sedikit sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) paling lambat
tanggal 31 Desember 2010.
(2) Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6D
huruf b, harus menyesuaikan modal kerja dari Unit Syariah dimaksud dengan tahapan
sebagai berikut:
a. paling sedikit sebesar Rp12.500.000.000,00 (dua belas miliar lima ratus juta rupiah) paling
lambat tanggal 31 Desember 2008;
b. paling sedikit sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) paling lambat
tanggal 31 Desember 2009;
c. paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal
31 Desember 2010.

Pasal 6F
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah harus
memenuhi modal sendiri dalam jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
a dan huruf b ditambah modal kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6D huruf a dan
huruf b.
(2) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah dapat
membuka kantor cabang dan/atau kantor pemasaran syariah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelembagaan, syarat, dan tata cara pendirian kantor cabang
dan/atau kantor pemasaran syariah diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 6G
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi, dan
Perusahaan Pialang Rasuransi yang belum memenuhi ketentuan permodalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6B, Pasal 6C, dan Pasal 6E harus menyampaikan rencana kerja untuk
memenuhi ketentuan pentahapan permodalan paling lambat tanggal 30 September tahun
berjalan.
(2) Rencana kerja yang disampaikan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan
Pialang Asuransi, dan Perusahaan Pialang Reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya.
(3) Menteri mengevaluasi rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Menteri mencabut izin usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan
Pialang Asuransi, dan Perusahaan Pialang Reasuransi yang tidak menyampaikan rencana
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan tetap memperhatikan tahapan
pengenaan sanksi.

313131
(5) Dalam hal Menteri menyimpulkan bahwa Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi,
Perusahaan Pialang Asuransi, dan Perusahaan Pialang Reasuransi tidak memenuhi rencana
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Menteri mencabut izin usaha
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi, dan
Perusahaan Pialang Reasuransi yang bersangkutan dengan tetap memperhatikan tahapan
pengenaan sanksi."

6. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 7
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus memiliki dana jaminan sekurang-
kurangnya 20% (dua puluh persen) dari modal disetor minimum yang dipersyaratkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) atau 20% (dua puluh persen) dari
modal sendiri minimum yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (1).
(2) Dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jaminan terakhir dalam
rangka melindungi kepentingan pemegang polis.
(3) Dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat ditempatkan dalam bentuk:
a. deposito berjangka dengan perpanjangan otomatis pada bank umum di Indonesia yang bukan
afiliasi dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan; dan/atau
b. surat utang atau surat berharga lain yang diterbitkan oleh Pemerintah.
(4) Besar dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus disesuaikan
dengan perkembangan volume usaha yang besarnya ditetapkan oleh Menteri.
(5) Dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat dicairkan atau dijual
hanya atas persetujuan Menteri atau Pejabat yang mendapat pendelegasian untuk itu
berdasarkan permintaan:
a. likuidator dalam hal perusahaan dilikuidasi;
b. perusahaan yang bersangkutan dalam hal izin usahanya dicabut atas permintaan perusahaan
yang bersangkutan dengan ketentuan kewajibannya telah diselesaikan;
c. perusahaan yang bersangkutan dalam hal jumlah dana jaminan yang dimiliki perusahaan
yang bersangkutan telah melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(3); atau
d. perusahaan yang bersangkutan dalam hal akan melakukan pemindahan atau penggantian
dana jaminan, setelah terlebih dahulu menempatkan dana jaminan dalam jumlah yang
sekurang-kurangnya sama dengan jumlah dana jaminan yang akan dipindahkan atau diganti.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah dan tata cara penempatan dana jaminan diatur dalam
Peraturan Menteri."

7. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 10
(1) Perusahaan Perasuransian harus menjalankan kegiatan usaha perasuransian secara terus
menerus sejak diperolehnya izin usaha.
(2) Perusahaan Perasuransian dinilai tidak menjalankan kegiatan usaha perasuransian secara
terus menerus apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan tidak memenuhi kriteria yang
ditetapkan.
(3) Menteri mencabut izin usaha Perusahaan Perasuransian apabila perusahaan tidak
menjalankan kegiatan usaha perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memperhatikan tahapan
pengenaan sanksi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria tidak menjalankan kegiatan usaha secara terus
menerus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri."

8. Ketentuan Pasal 10A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 10A

323232
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dimungkinkan untuk melakukan
perubahan kepemilikan melampaui batas kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (4) dengan ketentuan jumlah modal yang telah disetor oleh pihak Indonesia harus tetap
dipertahankan."

9. Di antara Pasal 10A dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 10B sehingga
berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 10B
(1) Setiap rencana perubahan kepemilikan Perusahaan Perasuransian harus memperoleh
persetujuan Menteri.
(2) Dalam hal perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perubahan
kepemilikan yang mengakibatkan terdapatnya penyertaan langsung oleh pihak asing di dalam
Perusahaan Perasuransian tersebut, maka pihak asing tersebut harus merupakan
Perusahaan Perasuransian yang memiliki usaha sejenis atau perusahaan induk yang salah
satu anak perusahaannya bergerak di bidang usaha perasuransian yang sejenis.
(3) Ketentuan mengenai Perusahaan Perasuransian yang memiliki usaha sejenis dan
kepemilikan perusahaan induk atas anak perusahaan yang bergerak di bidang usaha
perasuransian yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus tetap dipenuhi
selama pihak asing tersebut memiliki penyertaan pada Perusahaan Perasuransian.
(4) Perubahan kepemilikan Perusahaan Perasuransian melalui transaksi di bursa efek
dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang tidak
menyebabkan perubahan pengendalian pada Perusahaan Perasuransian tersebut.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perubahan kepemilikan
Perusahaan Perasuransian diatur dalam Peraturan Menteri."

10. Di antara Pasal 11 dan Pasal 12 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 11A sehingga berbunyi
sebagai berikut:

"Pasal 11A
(1) Dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi mengalami permasalahan
kondisi keuangan, Menteri dapat memerintahkan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi yang bersangkutan untuk melakukan pengalihan portofolio pertanggungan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria permasalahan kondisi keuangan dan tata cara
pengalihan portofolio pertanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Menteri."

11. Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 13A sehingga berbunyi
sebagai berikut:

"Pasal 13A
(1) Perusahaan Perasuransian dilarang memberikan pinjaman kepada atau menempatkan
kekayaan pada pemegang saham dan afiliasinya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal pinjaman atau
penempatan kekayaan tersebut memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11.
(3) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dilarang melakukan segala bentuk
pengalihan modal disetor kepada pemegang saham atau pihak lainnya."

12. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 38
(1) Selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, terhadap:
a. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang tidak menyampaikan laporan
keuangan tahunan, laporan auditor independen, atau laporan operasional tahunan, sesuai
dengan jangka waktu yang ditetapkan, dikenakan denda administratif sebesar

333333
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan untuk setiap laporan
tersebut;
b. Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi yang tidak menyampaikan laporan keuangan
tahunan, laporan auditor independen, atau laporan operasional tahunan, sesuai dengan
jangka waktu yang ditetapkan, dikenakan denda administratif sebesar Rp500.000,00 (lima
ratus ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan untuk setiap laporan tersebut.
(2) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak:
a. Rp360.000.000,00 (tiga ratus enam puluh juta rupiah) untuk setiap laporan yang terlambat
disampaikan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi;
b. Rp180.000.000,00 (seratus delapan puluh juta rupiah) untuk setiap laporan yang terlambat
disampaikan oleh Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan, penagihan, dan pembayaran denda
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri."

13. Ketentuan Pasal 40 dihapus.

Pasal II
(1) Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, izin pembukaan kantor cabang dengan
prinsip syariah yang dimiliki Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang telah
ada dinyatakan berlaku sebagai izin untuk Unit Syariah.
(2) Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, untuk Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi yang telah memiliki izin usaha:
a. modal dalam perhitungan dana jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1),
sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, adalah modal disetor minimum yang
dipersyaratkan dalam Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian
yang mendasari pendirian Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi tersebut.
b. modal dalam perhitungan dana jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1),
setelah batas waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf a lewat, adalah modal sendiri
minimum sesuai dengan pentahapan pemenuhan permodalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6B dan Pasal 6E.
(3) Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini


dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Mei 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Mei 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 79.

PENJELASAN
ATAS

343434
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992
TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN

I. UMUM

Industri asuransi yang sehat, dapat diandalkan, dan kompetitif sangat diperlukan dalam
perekonomian nasional. Untuk mewujudkan industri asuransi seperti itu perlu dilakukan
penyempurnaan struktur permodalan dan tata kelola (governance) dari para pelaku usaha
perasuransian. Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan sebagai landasan hukum untuk
penyempurnaan tersebut. Selain itu, Peraturan Pemerintah ini diharapkan memberi landasan
hukum yang lebih kuat untuk penyelenggaraan usaha perasuransian berdasarkan prinsip
syariah. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya usaha
perasuransian berdasarkan prinsip syariah yang makin dirasakan kebutuhannya oleh
masyarakat.
Penyempurnaan ketentuan mengenai struktur permodalan dilakukan dengan menetapkan
jumlah modal disetor yang cukup besar bagi pendirian baru Perusahaan Perasuransian dan
keharusan menyesuaikan modal sendiri bagi Perusahaan Perasuransian yang telah
mendapat izin usaha sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini. Hal ini dimaksudkan
agar pelaku usaha perasuransian memiliki permodalan dan kondisi keuangan yang kuat
dalam memberikan jasa perlindungan dan/atau pelayanan kepada masyarakat dan mampu
berkompetisi secara sehat baik di tingkat nasional, regional, maupun global.
Selain penguatan dalam hal struktur permodalan, perlu pula dilakukan penguatan dari segi
tata kelola (governance). Perusahaan perasuransian dalam menjalankan kegiatan usahanya
diharuskan untuk menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate
governance).
Dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur juga mengenai penyelenggaraan kegiatan usaha
asuransi dan reasuransi berdasarkan prinsip syariah antara lain berkaitan dengan
permodalan, struktur organisasi, dan pengawasannya.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas

Angka 2
Pasal 2A
Cukup jelas

Pasal 2B
Cukup jelas

Angka 3
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Dalam anggaran dasar harus dinyatakan secara tegas bahwa perusahaan akan menjalankan
kegiatan usaha sebagai perusahaan asuransi jiwa, perusahaan asuransi kerugian,
perusahaan reasuransi, perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi,
perusahaan penilai kerugian asuransi, perusahaan konsultan aktuaria, atau perusahaan agen

353535
asuransi.
Untuk perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi yang menyelenggarakan seluruh
atau sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah, di dalam anggaran dasarnya harus
juga dinyatakan secara tegas bahwa perusahaan menjalankan usaha asuransi atau
reasuransi berdasarkan prinsip syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud fungsi pelayanan dalam ketentuan ini mencakup pula penanganan keluhan
atau pengaduan masyarakat, khususnya nasabah.
Huruf d
Kecukupan jumlah tenaga ahli yang dipekerjakan ditentukan oleh beberapa faktor seperti
jumlah cabang, jenis produk yang dipasarkan, dan/atau volume usaha.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) mencakup prinsip
transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan.
Ayat (2)
Cukup jelas

Angka 4
Pasal 6
Cukup jelas

Angka 5
Pasal 6A
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kesetaraan dalam hal kekuatan permodalan
bagi Perusahaan Perasuransian baik yang baru maupun yang telah ada pada saat Peraturan
Pemerintah ini ditetapkan.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 6B
Cukup jelas

Pasal 6C
Cukup jelas

Pasal 6D
Cukup jelas

Pasal 6E
Cukup jelas

Pasal 6F
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kesetaraan dalam hal kekuatan permodalan
bagi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi baik yang memiliki Unit Syariah
maupun yang tidak.
Ayat (2)

363636
Kantor cabang dan/atau kantor pemasaran syariah menjadi pelaksana kegiatan pemasaran
produk asuransi berdasarkan prinsip syariah dan pelayanan nasabah terkait dengan produk
asuransi berdasarkan prinsip syariah.
Ayat (3)
Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mencakup:
1. hubungan kelembagaan antara Unit Syariah dengan kantor cabang atau kantor pemasaran
baik yang konvensional maupun yang berdasarkan prinsip syariah;
2. persyaratan yang harus dipenuhi dalam rangka pembukaan kantor cabang atau kantor
pemasaran syariah;
3. tata cara pemasaran produk asuransi berdasarkan prinsip syariah melalui kantor cabang atau
kantor pemasaran konvensional; dan
4. tata cara pelimpahan wewenang dari pimpinan Unit Syariah kepada pimpinan kantor cabang
syariah.

Pasal 6G
Ayat (1)
Untuk mengetahui sudah atau belum dipenuhinya ketentuan permodalan oleh perusahaan
tersebut dapat dilihat dari laporan berkala yang disampaikan kepada Menteri. Dalam hal
terdapat keraguan mengenai pemenuhan ketentuan permodalan tersebut, perusahaan
menyampaikan laporan auditor independen yang disusun khusus untuk membuktikan hal
tersebut.
Ayat (2)
Batas waktu tersebut berlaku bagi Perusahaan Perasurasian yang menyampaikan rencana
kerja yang jelas dan rasional berdasarkan hasil evaluasi Menteri.
Ayat (3)
Evaluasi dilakukan untuk memastikan rencana kerja yang akan dijadikan pedoman
Perusahaan Perasurasian dalam memenuhi ketentuan modal sendiri minimum, jelas dan
rasional.
Ayat (4)
Perusahaan yang belum memenuhi persyaratan modal sendiri minimum dan tidak
menyampaikan rencana kerja, dinilai tidak bersedia berkomitmen untuk memenuhi
persyaratan tersebut.
Ayat (5)
Perusahaan yang tidak dapat memenuhi rencana kerjanya dinilai tidak memiliki komitmen
dan/atau kemampuan yang cukup untuk mewujudkan perusahaan yang sehat, dapat
diandalkan, dan kompetitif.

Angka 6
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Dana jaminan yang dapat dicairkan adalah deposito berjangka, sedangkan dana jaminan
yang dapat dijual adalah surat utang atau surat berharga lain yang diterbitkan oleh
Pemerintah.
Ayat (6)
Cukup jelas

Angka 7
Pasal 10

373737
Cukup jelas.

Angka 8
Pasal 10A
Pada prinsipnya modal yang telah disetor oleh pihak Indonesia pada Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Reasuransi yang di dalamnya terdapat penyertaan pihak asing tidak boleh
berkurang jumlahnya. Namun demikian persentase kepemilikan pihak Indonesia dapat
berkurang dalam hal perusahaan dimaksud membutuhkan penambahan modal dan
penambahan modal tersebut menyebabkan pihak Indonesia tidak mampu mempertahankan
persentase kepemilikannya.
Ketentuan yang memungkinkan persentase kepemilikan pihak asing melampaui batas 80%
(delapan puluh persen) ini hanya berlaku bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi yang di dalamnya terdapat penyertaan langsung pihak asing yang persentase
kepemilikan asing sudah mencapai 80% (delapan puluh persen).

Angka 9
Pasal 10B
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri mencakup:
1. tata cara dan persyaratan untuk memperoleh persetujuan perubahan kepemilikan;
2. kriteria untuk usaha perasuransian yang sejenis;
3. kriteria untuk perusahaan induk (holding company); dan
4. kriteria pengendalian dan pemegang saham pengendali.

Angka 10
Pasal 11A
Cukup jelas

Angka 11
Pasal 13A
Cukup jelas

Angka 12
Pasal 38
Cukup jelas

Angka 13
Cukup jelas

Pasal II
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4856.

383838

Anda mungkin juga menyukai