Anda di halaman 1dari 11

Modul Hukum Asuransi

PERTEMUAN 5 :
TUJUAN ASURANSI

A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai tujuan asuransi, Anda harus
mampu:
1.1 Memahami dan menjelaskan tujuan asuransi

B. URAIAN MATERI
Tujuan Pembelajaran 1.1:
TUJUAN ASURANSI

Tujuan Asuransi

1.Pengalihan Risiko
Menurut teori pengalihan risiko (risk transfer theory), tertanggung menyadari
bahwa terdapat ancaman bahaya terhadap harta kekayaan miliknya atau terhadap
jiwanya. Kalau bahaya itu menimpa harta kekayaannya atau jiwanya, ia akan
menderita kerugian atau korban jiwa atau cacat raganya. Kemudian, Tertanggung
mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risiko yang mengancam harta
kekayaannya atau jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan
asuransi (penanggung).1

2. Pembayaran Ganti Kerugian


Apabila suatu ketika sungguh-sungguh terjadi peristiwa yang menimbulkan
kerugian yang berarti risiko berubah menjadi kerugian, maka kepada tertanggung
yang bersangkutan akan dibayarkan ganti kerugian seimbang dengan jumlah
asuransinya. Dengan demikian, tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan
untuk memproleh pembayaran ganti kerugian yang sungguh-sunguh dideritanya.2

3. Pembayaran Santunan

1
Ibid., hlm. 12.
2
Ibid., hlm.13.

S1 Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum


26
Universitas Pamulang
Modul Hukum Asuransi

Asuransi jenis ini, disebut asuransi sosial (social security insurance). Asuransi
jenis ini, untuk melindungi masyarakat dari ancaman bahaya kecelakaan yang
mengakibatkan kematian atau cacat tubuh. Dengan membayar sejumlah kontribusi
(semacam premi), tertanggung berhak memperoleh perlindungan dari ancaman
bahaya. Tertanggung yang membayar kontribusi tersebut adalah mereka yang terikat
pada suatu hubungan hukum tertentu yang ditetapkan undang-undang, misalnya
hubungan kerja, penumpang angkutan umum. Kalau mereka tertimpa musibah
kecelakaan dalam pekerjaanya atau selama angkutan berlangsung, mereka atau ahli
warisnya akan mendapat pembayaran santunan dari penanggung (BUMN ) yang
jumlahnya sudah ditetapkan undang-undang. Tujuannya adalah melindungi
kepentingan masyarakat dan mereka yang tertimpa musibah mendapat santunan
sejumlah uang.3

4. Kesejahteraan Anggota
Kalau ada orang berhimpun dalam suatu perkumpulan dan membayar kontribusi
kepada perkumpulan, maka perkumpulan itu berkedudukan sebagai penanggung,
sedangkan anggota perkumpulan sebagai tertanggung. Kalau terjadi peristiwa yang
mengakibatkan kerugian atau kematian bagi anggota (tertangung), maka
perkumpulan akan membayar sejumlah uang kepada tertanggung yang bersangkutan.
Prof. Wirjono Projodikoro menyebut asuransi seperti ini mirip dengan perkumpulan
koperasi. Asuransi ini merupakan saling menanggung (onderlinge verzekering) atau
asuransi usaha bersama (mutual insurance) bertujuan mewujudkan kesejahteraan
anggota.4

Usaha Perasuransian hanya oleh Badan Hukum


Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 menentukan sebagai berikut:
“Usaha perasuransian hanya bisa dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk:
a. Perusahaan perseroan (Persero)
b. Koperasi
c. Perseroan Terbatas

3
Ibid., hlm.14- 15.
4
Ibid.

S1 Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum


27
Universitas Pamulang
Modul Hukum Asuransi

d. Usaha Bersama (Mutual)


Usaha Bersama semacam ini dalam praktik asuransi yang semakin berkembang
sekarang sudah dilakukan dalam bentuk Asuransi Takaful ( Asuransi
Kesejahteraan) berdasarkan prinsip syariah Islam yang menhindari sistem bunga
yang disebut riba.5

Perjanjian Asuransi Memiliki Sifat-Sifat khusus:


1. Perjanjian asuransi bersifat aletair (aletary)
2. Perjanjian asuransi merupakan perjanjian bersyarat (conditional)
3. Perjanjian asuransi bersifat sepihak (unilateral)
4. Perjanjian asuransi bersifat pribadi (personal)
5.Perjanjian asuransi adalah perjnjian yang melekat pada syarat penanggung
(adhesion)
6. Perjanjian asuransi adalah perjanjian dengan itikad baik yang sempurna.6

Penjelasan Sifat-sifat Khusus tersebut sebagai berikut :


Ad. 1. Perjanjian Asuransi Bersifat Aletair (aletary)
Perjanjian asuransi adalah perjanjian dimana prestasi penanggung masih
harus digantungkan pada suatu peristiwa yang belum pasti, sedangkan
prestasi tertanggung sudah pasti. Kendatipun pihak Tertanggung telah
memenuhi prestasi dengan sempurna, penanggung belum pasti berprestasi
dengan nyata.

Ad .2.Perjanjian asuransi merupakan perjanjian bersyarat (conditional)


Perjanjian asuransi merupakan perjanjian dimana prestasi penanggung
hanya akan dilaksanakan apabila syarat-syarat yang ditentukan dalam
perjanjian dipenuhi.
Ad.3. Perjanjian asuransi adalah Perjanjajian sepihak (Unilateral)
Perjanjian asuransi menunjukkan dimana hanya satu pihak saja yang
memberikan janji yakni Penanggung. Penanggung janji akan memberikan

5
Ibid., hlm. 16.
6
Ridwan Khairandy, “loc.cit.

S1 Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum


28
Universitas Pamulang
Modul Hukum Asuransi

suatu ganti kerugian apabila Tertanggung sudah membayar premi dan polis
sudah berjalan.
Ad.4. Perjanjian Asuransi merupakan Perjanjian yang bersifat Pribadi
(Personal)
Perjanjian asuransi merupakan perjanjian yang bersifat Pribadi maksudnya
adalah kerugian yang timbul harus merupakan kerugian orang perorangan
secara pribadi, bukan kerugian yang bersifat masyarakat luas atau kolektif.
Ad.5 Perjanjian Asuransi merupakan suatu perjanjian yang melekat pada
syarat penanggung (Adhesion)
Di dalam perjanjian asuransi hampir segala syarat dan isi perjanjian
ditentukaan oleh penanggung. Isi dan syarat-syarat perjanjian yang dimuat
dalam polis sudah ditentukan secara sepihak oleh Penanggung dan ini
merupakan kontrak standar.
Ad.6. Perjanjian Asuransi merupakan Perjanjian dengan itikad baik yang
Sempurna
Dengan adanya Sifat ini ditunjukkan dengan perjanjian asuransi merupakan
perjanjian dengan keadaan bahwa kesepakatan bisa dicapai dengan posisi
masing –masing pihak mempunyai pengetahuan yang sama tentang fakta,
dengan penilaian dan penelitian untuk mendapatkan fakta yang juga sama,
sehingga bebas cacat kehendak.
Dengan adanya sifat-sifat khusus tersebut mengakibatkan perjanjian asuransi
memiliki perbedaan dengan perjanjian lain. Disamping harus memenuhi syarat-
syarat perjanjian pada umumnya, perjanjian asuransi juga harus memenuhi asas-
asas tertentu yang mewujudkan sifat-sifat atau ciri khusus perjanjian asuransi.7
Untuk menguatkan sifat khusus perjanjian asuransi maka diperlukan prinsip-
prinsip yang memiliki kekuatan mengikat dan memaksa. Ini supaya bisa
memelihara dan mempertahankan sistem perjanjian asuransi.

Prinsip-prinsip dalam sistem hukum asuransi diantaranya adalah :8


1. Prinsip Kepentingan yang bisa diasuransikan (insurable interest).

7
Sri Redjeki Hartono, dalam Ridwan Khairandy, hlm. 200.
8
M. Suparman Sastrawidjaja dan Endang dalam Ridwan Khairandy, Ibid.

S1 Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum


29
Universitas Pamulang
Modul Hukum Asuransi

Dalam hal ini, setiap pihak yang mengadakan perjanjian asuransi harus
mempunyai kepentingan yang bisa diasuransikan, maksudnya pihak
tertanggung harus memiliki keterlibatan sedemikian rupa dengan akibat dari
suatu peristiwa yang belum pasti terjadi dan yang bersangkutan menderita
kerugian akibat peristiwa itu.9
Kepentingan inilah yang membedakan asuransi dengan perjudian.
Kalau pihak tertanggung tidak mempunyai kepentingan yang bisa
10
diasuransikan, maka asuransi menjadi perjudian atau pertaruhan.
Prinsip Kepentingan yang bisa diasuransikan tersebut bisa
diambilkan dari ketentuan Pasal 250 KUHD yang menentukan bahwa : “
Bilamana seseorang mempertanggungkan untuk diri sendiri, atau seseorang
untuk tanggungan siapa diadakan pertanggungan oleh orang lain, pada waktu
diadakan pertanggungan tidak memiliki kepentingan terhadap benda yang
dipertanggungkan, maka penanggung tidak berkewajiban mengganti
kerugian.”11
Sedangkan kepentingan yang bisa diasuransikan menurut Pasal 268
KUHD adalah “Pertanggungan bisa berpokok pada semua kepentingan yang
bisa dinilai dengan uang, diancam oleh suatu bahaya, dan oleh undang-undang
tidak terkecualikan.”12
Dengan begitu, pada hakekatnya setiap kepentingan bisa
diasuransikan, baik kepentingan kebendaan maupun kepentingan yang bersifat
hak selama memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 268 KUHD seperti
sudah dikemukakan.13 Menurut pasal 250 KUHD, Kepentingan yang
diasuransikan harus ada pada saat ditutupnya perjanjian asuransi. Kalau Syarat
itu tidak ditaati, maka penanggung akan bebas dari kewajibannya untuk
membayar ganti kerugian.14

9
Sri Redjeki Hartono, dalam Ridwan Khairandy, halaman 201.
10
H. Gunanto dalam dalam Ridwan Khairandy, halaman 201.
11
Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang (Yogyakarta: FH UII Press, 2006),
halaman 201
12
Ibid.
13
Sri Rejeki Hartono dalm Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang (Yogyakarta:
FH UII Press, 2006), halaman 201-202.
14
Ridwan Khirandy, Ibid

S1 Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum


30
Universitas Pamulang
Modul Hukum Asuransi

Berbeda dengan dengan Pasal 250 KUHD tersebut, menurut pasal 6


Marine Insurance Art Inggris, menentukan bahwa kepentingan tersebut harus ada
pada saat terjadinya kerugian. Demikian pula, dalam sejumlah kasus asurnsi,
hakim menyatakan bahwa kepentingan itu ada pada saat terjadinya kerugian.15
Ketentuan ini, mendapat dukungan dari beberapa ahli, seperti Molengraff dan
Volmar sebagaimana disitir oleh Emmy Pangaribuan Simanjutak yang
berpandangan bahwa yang terpenting pada waktu terjadinya peristiwa yang tidak
tentu, kepentingan itu bisa dibuktikan.16 Sedangkan Sri Redjeki Hartono
berpendapat bahwa kepentingan yang diasuransikan, pada saat ditutupnya asuransi
secara yuridis dan riil belum ada atau melekat pada tertanggung, tetapi sudah bisa
dideteksi lebih awal adanya kemungkinan keterlibatan seseorang terhadap
kerugian ekonomi yang bisa dideritanya karena suatu peritiwa yang tidak pasti.17
Menurut Pasal 268 KUHD syarat kepentingan yang bisa diasuransikan itu harus
bisa dinilai dengan sejumlah uang.18
Jadi, dalam perjanjian asuransi unsur kepentingan merupakan syarat mutlak.
Kalau syarat ini, tidak ada maka ancamannya adalah asuransi itu batal (void).
Pasal 250 KUHD menyebutkan bahwa “Apabila seseorang mengadakan asuransi
untuk diri sendiri atau untuk kepentingan pihak ketiga, pada saat diadakan
asuransi itu tertanggung atau pihak ketiga yang bersangkutan tidak mempunyai
kepentingan atas benda asuransi, maka penanggung tidak berkewajiban mengganti
kerugian.19

2. Prinsip Indemnitas (indemnity)


Melalui perjanjian asuransi, Penanggung memberikan suatu proteksi
terhadap kemungkinan kerugian ekonomi yang akan diderita Tertanggung.
Proteksi dalam bentuk kesanggupan untuk memberikan penggantian kerugian
kepada tertanggung yang mengalami kerugian karena terjadinya peristiwa
15
John F Dobbyn, Insurance Law, dalam Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum
Dagang (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), halaman 202.
16
M Suparman Sastrawidjaya dan Endang dalam Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum
Dagang (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), halaman 202.
17
Sri Redjeki hartono, dalam Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang
(Yogyakarta: FH UII Press, 2006), halaman 202.
18
Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang (Yogyakarta: FH UII Press, 2006),
halaman 202.
19
Ibid., hlm. 17.

S1 Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum


31
Universitas Pamulang
Modul Hukum Asuransi

yang tidak pasti (evenement). Jadi, pada dasarnya perjanjian asuransi memiliki
tujuan utama untuk memberikan penggantian kerugian kepada pihak
tertanggung oleh penanggung.20
H. Gunanto, ahli asuransi, berpendapat bahwa Prinsip Indemnitas tersirat
dalam Pasal 246 KUHD yang memberi batasan perjanjian asuransi (yakni asuransi
kerugian), sebagai perjanjian yang bermaksud memberikan penggantian kerugian,
kerusakan atau kehilangan (Indemnitas) yang mungkin diderita Tertanggung
karena tertimpa suatu bahaya dimana pada saat ditutupnya perjanjian asuransi
tidak bisa dipastikan.21
Penggantian kerugian di dalam asuransi tidak boleh mengakibatkan posisi
finansial pihak tertanggung menjadi lebih diuntungkan dari posisi sebelum
menderita kerugian. Jadi terbatas pada keadaan awal atau posisi awal. Asuransi
hanya menempatkan kembali seorang Tertanggung yang sudah mengalami
kerugian pada keadaan sebelum terjadinya kerugian.22 Dalam hal ini, Ganti Rugi
mengandung arti bahwa penggantian kerugian dari Penanggung kepada
Tertanggung harus seimbang dengan kerugian yang sungguh-sungguh diderita
Tertanggung.23
Prinsip Indemnitas ini, mengikuti prinsip Kepentigan yang bisa
diasuransikan. Dengan demikian, harus ada kesinambungan antara Kepentingan
dengan Prinsip Indemnitas, dan Tertanggung harus benar-benar memiliki
kepentingan terhadap kemungkinan menderita kerugian karena terjadinya
peristiwa yang tidak diharapkan.24
Prinsip Indemnitas digunakan dalam asuransi didasarkan pada asas di
dalam hukum perdata, yaitu larangan memperkaya diri secara melawan hukum,
atau memperkaya diri tanpa hak (onrechtmatige verrijking).25

20
Ibid, halaman 202-203.
21
H Gunanto, dalam Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang (Yogyakarta: FH
UII Press, 2006), halaman 203.
22
Ibid.
23
M Suparman Sastrawidjaja dan Endang, Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum
Dagang (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), halaman 203.
24
Sri Redjeki Hartono, dalam Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang
(Yogyakarta: FH UII Press, 2006), halaman 203.
25
Emmy Pangaribuan Simanjutak, dalam Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang
(Yogyakarta: FH UII Press, 2006), halaman 203.-204.

S1 Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum


32
Universitas Pamulang
Modul Hukum Asuransi

3. Prinsip Kejujuran Sempurna (utmost good faith)


Istilah Kejujuran Sempurna juga ada yang menyebut dengan istilah Asas
Itikad Baik yang sebaik-baiknya. Ini merupakan padanan dari istilah Principle of
utmost good faith atau umberrima fides.26
Maksudnya, dalam perjanjian asuransi didasarkan pada asumsi bahwa calon
Tertanggung pada waktu putusan asuransi mengetahui semua resiko yang akan
diasuransikan, sedangkan Penanggung tidak mengetahuinya, dan bagi pihak
Penanggung dalam menganalisa resiko yang akan diasuransikan sangat
bergantung pada informasi yang diberikan pihak calon Tertanggung. Dengan
demikian, asas Kejujuran Sempurna (Principle of utmost good faith), di atas
menyangkut kewajiban yang harus dipenuhi sebelum ditutupnya perjanjian
asuransi.27
Berkaitan dengan Asas Kejujuran Sempurna, Pasal 251 KUHD menyebutkan :
“Semua pemberitahuan yang salah atau tidak benar atau semua persembunyian
keadaan-keadaan yang diketahui oleh si Tertanggung, betapa pun jujurnya itu
terjadi pada pihaknya, yang bersifat sedemikian rupa sehingga perjanjian tidak
akan diadakan atau tidak akan diadakan berdasarkan syarat-syarat yang sama,
bilamana Penanggung mengetahui keadaan yang sebenarnya dari benda itu,
menyebabkan pertanggungan itu batal.”28
Jadi, Pasal 251 KUHD tersebut menekankan kewajibanTertanggung untuk
memberikan keterangan atau informasi yang benar kepada pihak Penanggung.29
Dalam perkembangan Hukum Kontrak, kewajiban pihak-pihak dalam
perjanjian untuk menjelaskan, memberi informasi yang benar, selengkap-
lengkapnya menjadi kewajiban dan merupakan iktikad baik pra kontrak.30

4. Prinsip Subrogasi bagi penanggung (subrogation)

26
Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang (Yogyakarta: FH UII Press, 2006),
halaman 204.
27
Ibid.
28
Siti Soemarti Hartono, KUHD & PK (Yogyakarta: Seksi Hukum Dagang FH UGM,
1982), halaman 82.
29
Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang (Yogyakarta: FH UII Press, 2006),
halaman 205.
30
Ibid.

S1 Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum


33
Universitas Pamulang
Modul Hukum Asuransi

Kerugian yang diderita seorang tertanggung akibat suatu peristiwa yang tidak
diharapkan terjadi, dilihat dari segi timbulnya kerugian tersebut ada dua
kemungkinan bahwa Tertanggung selain bisa menuntut kepada pihak Penanggung
juga bisa menuntut kepada pihak ketiga yang karena kesalahannya menyebabkan
terjadinya kerugian tersebut.31 Dalam kondisi demikian, tertanggung memiliki
kesempatan untuk menuntut ganti rugi dari dua sumber, yaitu dari pihak
penanggung dan pihak ketiga. Penggantian kerugian dari dua sumber tersebut
bertentangan dengan asas indemnitas dan larangan untuk memperkaya diri sendiri
secara melawan hukum. Sebaliknya,kalau pihak ketiga dibebaska begitu saja dari
perbuatan yang sudah menyebabkan kerugian bagi tertanggung juga tidak adil.32
Untuk menghindari hal demikian tersebut, pihak ketiga yang bersalah tetap bisa
dituntut, hanya saja hak menuntut tersebut dilimpahkan pada pihak penanggung
(subrogasi). Berkaitan dengan hal ini, pasal 284 KUHD menyebutkan “
Penanggung yang membayar kerugian dari suatu benda yang dipertanggungkan
mendapat segala hak yang ada pada pihak tertanggung terhap pihak ketiga
berkenaan kerugian itu, dan pihak tertanggung bertanggungjawab untuk setiap
perbuatan yang mungkin bisa merugikan hak dari penanggung terhadap pihak
ketiga itu.33
Prof. Emmy Pangaribuan mengemukakan, Subrogasi menurut undang-
undang hanya bisa berlaku kalau terdapat dua faktor: 1). Kalau Tertanggung di
samping mempunyai hak terhadap Penanggung juga memiliki hak terhadap pihak
ketiga; 2). Hak-hak tersebut karena timbulnya kerugian.34
Para sarjana pada umumnya berpendapat bahwa prinsip subrogasi hanya
berlaku pada asuransi kerugian dan tidak berlaku dalam asuransi jumlah.35 Hak
subrogasi timbul dengan sendirinya (ipso facto) untuk penggantian kerugian yang
dibayarkan oleh penanggung kepada tertanggung dan tidak perlu ditentukan atau
diatur dalam polis. Kadangkala di dalam polis juga dimuat klausul

31
Ibid, hlm. 205.
32
M. Suparman Sastrawijaya dan Endang dalam Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum
Dagang (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), hlm. 206.
33
Siti Soemarti Hartono, KUHD terjemahan (Yogyakarta: Seksi Hukum Dagang UGM,
1982), hlm. 88.
34
dalam Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang (Yogyakarta: FH UII Press,
2006), halaman 206.
35
Ibid.

S1 Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum


34
Universitas Pamulang
Modul Hukum Asuransi

subrogasi.Disamping itu, di dalam polis tersebut ada kemungkinan juga dimuat


klausul yang memberikan hak kepada penanggung untuk setiap saat dan selama
mereka menghendaki, untuk membayar, menahan, atau mengajukan klaim atas
nama tertanggung. Dalam konteks ini, penanggung bisa menggunakan hak
tertanggung untuk menentukan ganti rugi kepada pihak ketiga, walaupun
penanggung belum membayar semua ganti rugi kepada pihak tertangung.
Tertanggung dalam hal ini, disamping harus membantu penanggung dalam
memfungsikan hak subrogasinya juga tidak boleh merugikan atau menjalankan
hak-hak yang bisa merugikan hak penanggung kepada pihak ketiga, contohnya,
tanpa sepengetahuan atau seizin penanggung membebaskan tanggungjawab pihak
ketiga.36

5. Prinsip Kontribusi (contribution).37


Kalau ada seorang tertanggung menutup asuransi untuk benda yang sama dan
terhadap risiko yang sama kepada lebih seorang penanggung dalam polis yang
berlainan akan terjadi double insurance. Kalau terjadi double insurance, maka
masing-masing penanggung menurut perimbangan dari jumlah untuk mana
mereka menandatangani polis menanggung hanya harga yang sebenarnya dari
kerugian yang diderita tertanggung.38
Dalam KUHD, prinsip kontribusi ini disimpulkan dari pasal 278 yang
menyebutkan : “kalau dalam polis yang sama oleh berbagai penanggung,
walaupun pada hari yang berlainan, dipertanggungkan untuk lebih dari pada
harganya, maka mereka bersama-sama, menurut jumlah keseimbangan jumlah
untuk mana mereka menandatangani, hanya memikul harga sesungguhnya yang
dipertanggungkan. Ketentuan yang sama berlaku, jika pada hari yang sama,
berkenaan denga benda yang sama diadakan pertanggungan –pertanggungan yang
berlainan.39
Prinsip kontribusi hanya diberlakukan dalam hal sebagai berikut:

36
37
M Suparman Sastrawidjaja dan Endang dalam Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum
Dagang (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), halaman 200-201.
38
M Suparman Sastrawidjaja dan Endang dalam Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum
Dagang (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), hlm. 207
39
Siti Soemarti Hartono, KUHD terjemahan (Yogyakarta: Seksi Hukum Dagang UGM,
1982), hlm. 87.

S1 Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum


35
Universitas Pamulang
Modul Hukum Asuransi

1.Kalau polis tersebut dilakukan untuk risiko yang sama atau bahaya yang sama
yang menimbulkan kerugian itu;
2. Polis-polis itu menutup kepentingn yang sama, dari tertanggung yang sama, dan
terhadap benda yang sama; dan
3. Polis-polis tersebut masih berlaku pada waktu terjadinya kerugian.40
Berkaitan dengan hal ini, terdapat satu persyaratan yang penting, biasanya
terdapat dalam aircraft policy (dalam hal ini Polis Standar AVN 1 A) pada
persyaratan yang berlaku untuk Section Paragraph 3 menyebutkan bahwa klaim
tidak bisa dibayarkan untuk kerugian-kerugian yang diatur dalam Section 1, kalau
tertanggung sudah mengadakan asuransi lain tanpa persetujuan penanggung.
Persyaratan sejenis itu menghapus tanggung jawab penanggung jika terjadi double
insurance.41
Jika polis memuat klausul non contribution (yaitu dalam Vide General
Exclusion 9 pada polis AVN 1A), maka pembayaran atas dasar polis ini, terbatas
hanya untuk jumlah kerugian yang melebihi jumlah yang ditangguhkan oleh polis-
polis yang lain. Jika polis memuat klausul seperti itu, maka prinsip kontribusi
tidak berlaku, dan polis tersebut berubah menjadi excess policy. Dengan demikian,
tertanggung pertama-tama menuntut ganti rugi kerugian kepada penanggung
pertama, kemudian jika ada sisanya, ia bisa menuntut ganti kerugian kepada
penanggung kedua.42

C. SOAL LATIHAN/TUGAS

1. Apa tujuan adanya asuransi ?


2. Apakah asuransi perusahaan untung-untungan ?
3. Kenapa asuransi dikatakan bentuk perusahaan berasaskan
persaudaraan dan tolong menolong ?
4. Apa kaitannya polis dengan asuransi dan kenapa harus ada polis ?
5. Apa yang anda pahami mengenai claim

40
Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang (Yogyakarta: FH UII Press, 2006),
hlm.208.
41
Ibid.
42
Ibid.

S1 Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum


36
Universitas Pamulang

Anda mungkin juga menyukai