PERTEMUAN 5 :
TUJUAN ASURANSI
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai tujuan asuransi, Anda harus
mampu:
1.1 Memahami dan menjelaskan tujuan asuransi
B. URAIAN MATERI
Tujuan Pembelajaran 1.1:
TUJUAN ASURANSI
Tujuan Asuransi
1.Pengalihan Risiko
Menurut teori pengalihan risiko (risk transfer theory), tertanggung menyadari
bahwa terdapat ancaman bahaya terhadap harta kekayaan miliknya atau terhadap
jiwanya. Kalau bahaya itu menimpa harta kekayaannya atau jiwanya, ia akan
menderita kerugian atau korban jiwa atau cacat raganya. Kemudian, Tertanggung
mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risiko yang mengancam harta
kekayaannya atau jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan
asuransi (penanggung).1
3. Pembayaran Santunan
1
Ibid., hlm. 12.
2
Ibid., hlm.13.
Asuransi jenis ini, disebut asuransi sosial (social security insurance). Asuransi
jenis ini, untuk melindungi masyarakat dari ancaman bahaya kecelakaan yang
mengakibatkan kematian atau cacat tubuh. Dengan membayar sejumlah kontribusi
(semacam premi), tertanggung berhak memperoleh perlindungan dari ancaman
bahaya. Tertanggung yang membayar kontribusi tersebut adalah mereka yang terikat
pada suatu hubungan hukum tertentu yang ditetapkan undang-undang, misalnya
hubungan kerja, penumpang angkutan umum. Kalau mereka tertimpa musibah
kecelakaan dalam pekerjaanya atau selama angkutan berlangsung, mereka atau ahli
warisnya akan mendapat pembayaran santunan dari penanggung (BUMN ) yang
jumlahnya sudah ditetapkan undang-undang. Tujuannya adalah melindungi
kepentingan masyarakat dan mereka yang tertimpa musibah mendapat santunan
sejumlah uang.3
4. Kesejahteraan Anggota
Kalau ada orang berhimpun dalam suatu perkumpulan dan membayar kontribusi
kepada perkumpulan, maka perkumpulan itu berkedudukan sebagai penanggung,
sedangkan anggota perkumpulan sebagai tertanggung. Kalau terjadi peristiwa yang
mengakibatkan kerugian atau kematian bagi anggota (tertangung), maka
perkumpulan akan membayar sejumlah uang kepada tertanggung yang bersangkutan.
Prof. Wirjono Projodikoro menyebut asuransi seperti ini mirip dengan perkumpulan
koperasi. Asuransi ini merupakan saling menanggung (onderlinge verzekering) atau
asuransi usaha bersama (mutual insurance) bertujuan mewujudkan kesejahteraan
anggota.4
3
Ibid., hlm.14- 15.
4
Ibid.
5
Ibid., hlm. 16.
6
Ridwan Khairandy, “loc.cit.
suatu ganti kerugian apabila Tertanggung sudah membayar premi dan polis
sudah berjalan.
Ad.4. Perjanjian Asuransi merupakan Perjanjian yang bersifat Pribadi
(Personal)
Perjanjian asuransi merupakan perjanjian yang bersifat Pribadi maksudnya
adalah kerugian yang timbul harus merupakan kerugian orang perorangan
secara pribadi, bukan kerugian yang bersifat masyarakat luas atau kolektif.
Ad.5 Perjanjian Asuransi merupakan suatu perjanjian yang melekat pada
syarat penanggung (Adhesion)
Di dalam perjanjian asuransi hampir segala syarat dan isi perjanjian
ditentukaan oleh penanggung. Isi dan syarat-syarat perjanjian yang dimuat
dalam polis sudah ditentukan secara sepihak oleh Penanggung dan ini
merupakan kontrak standar.
Ad.6. Perjanjian Asuransi merupakan Perjanjian dengan itikad baik yang
Sempurna
Dengan adanya Sifat ini ditunjukkan dengan perjanjian asuransi merupakan
perjanjian dengan keadaan bahwa kesepakatan bisa dicapai dengan posisi
masing –masing pihak mempunyai pengetahuan yang sama tentang fakta,
dengan penilaian dan penelitian untuk mendapatkan fakta yang juga sama,
sehingga bebas cacat kehendak.
Dengan adanya sifat-sifat khusus tersebut mengakibatkan perjanjian asuransi
memiliki perbedaan dengan perjanjian lain. Disamping harus memenuhi syarat-
syarat perjanjian pada umumnya, perjanjian asuransi juga harus memenuhi asas-
asas tertentu yang mewujudkan sifat-sifat atau ciri khusus perjanjian asuransi.7
Untuk menguatkan sifat khusus perjanjian asuransi maka diperlukan prinsip-
prinsip yang memiliki kekuatan mengikat dan memaksa. Ini supaya bisa
memelihara dan mempertahankan sistem perjanjian asuransi.
7
Sri Redjeki Hartono, dalam Ridwan Khairandy, hlm. 200.
8
M. Suparman Sastrawidjaja dan Endang dalam Ridwan Khairandy, Ibid.
Dalam hal ini, setiap pihak yang mengadakan perjanjian asuransi harus
mempunyai kepentingan yang bisa diasuransikan, maksudnya pihak
tertanggung harus memiliki keterlibatan sedemikian rupa dengan akibat dari
suatu peristiwa yang belum pasti terjadi dan yang bersangkutan menderita
kerugian akibat peristiwa itu.9
Kepentingan inilah yang membedakan asuransi dengan perjudian.
Kalau pihak tertanggung tidak mempunyai kepentingan yang bisa
10
diasuransikan, maka asuransi menjadi perjudian atau pertaruhan.
Prinsip Kepentingan yang bisa diasuransikan tersebut bisa
diambilkan dari ketentuan Pasal 250 KUHD yang menentukan bahwa : “
Bilamana seseorang mempertanggungkan untuk diri sendiri, atau seseorang
untuk tanggungan siapa diadakan pertanggungan oleh orang lain, pada waktu
diadakan pertanggungan tidak memiliki kepentingan terhadap benda yang
dipertanggungkan, maka penanggung tidak berkewajiban mengganti
kerugian.”11
Sedangkan kepentingan yang bisa diasuransikan menurut Pasal 268
KUHD adalah “Pertanggungan bisa berpokok pada semua kepentingan yang
bisa dinilai dengan uang, diancam oleh suatu bahaya, dan oleh undang-undang
tidak terkecualikan.”12
Dengan begitu, pada hakekatnya setiap kepentingan bisa
diasuransikan, baik kepentingan kebendaan maupun kepentingan yang bersifat
hak selama memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 268 KUHD seperti
sudah dikemukakan.13 Menurut pasal 250 KUHD, Kepentingan yang
diasuransikan harus ada pada saat ditutupnya perjanjian asuransi. Kalau Syarat
itu tidak ditaati, maka penanggung akan bebas dari kewajibannya untuk
membayar ganti kerugian.14
9
Sri Redjeki Hartono, dalam Ridwan Khairandy, halaman 201.
10
H. Gunanto dalam dalam Ridwan Khairandy, halaman 201.
11
Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang (Yogyakarta: FH UII Press, 2006),
halaman 201
12
Ibid.
13
Sri Rejeki Hartono dalm Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang (Yogyakarta:
FH UII Press, 2006), halaman 201-202.
14
Ridwan Khirandy, Ibid
yang tidak pasti (evenement). Jadi, pada dasarnya perjanjian asuransi memiliki
tujuan utama untuk memberikan penggantian kerugian kepada pihak
tertanggung oleh penanggung.20
H. Gunanto, ahli asuransi, berpendapat bahwa Prinsip Indemnitas tersirat
dalam Pasal 246 KUHD yang memberi batasan perjanjian asuransi (yakni asuransi
kerugian), sebagai perjanjian yang bermaksud memberikan penggantian kerugian,
kerusakan atau kehilangan (Indemnitas) yang mungkin diderita Tertanggung
karena tertimpa suatu bahaya dimana pada saat ditutupnya perjanjian asuransi
tidak bisa dipastikan.21
Penggantian kerugian di dalam asuransi tidak boleh mengakibatkan posisi
finansial pihak tertanggung menjadi lebih diuntungkan dari posisi sebelum
menderita kerugian. Jadi terbatas pada keadaan awal atau posisi awal. Asuransi
hanya menempatkan kembali seorang Tertanggung yang sudah mengalami
kerugian pada keadaan sebelum terjadinya kerugian.22 Dalam hal ini, Ganti Rugi
mengandung arti bahwa penggantian kerugian dari Penanggung kepada
Tertanggung harus seimbang dengan kerugian yang sungguh-sungguh diderita
Tertanggung.23
Prinsip Indemnitas ini, mengikuti prinsip Kepentigan yang bisa
diasuransikan. Dengan demikian, harus ada kesinambungan antara Kepentingan
dengan Prinsip Indemnitas, dan Tertanggung harus benar-benar memiliki
kepentingan terhadap kemungkinan menderita kerugian karena terjadinya
peristiwa yang tidak diharapkan.24
Prinsip Indemnitas digunakan dalam asuransi didasarkan pada asas di
dalam hukum perdata, yaitu larangan memperkaya diri secara melawan hukum,
atau memperkaya diri tanpa hak (onrechtmatige verrijking).25
20
Ibid, halaman 202-203.
21
H Gunanto, dalam Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang (Yogyakarta: FH
UII Press, 2006), halaman 203.
22
Ibid.
23
M Suparman Sastrawidjaja dan Endang, Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum
Dagang (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), halaman 203.
24
Sri Redjeki Hartono, dalam Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang
(Yogyakarta: FH UII Press, 2006), halaman 203.
25
Emmy Pangaribuan Simanjutak, dalam Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang
(Yogyakarta: FH UII Press, 2006), halaman 203.-204.
26
Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang (Yogyakarta: FH UII Press, 2006),
halaman 204.
27
Ibid.
28
Siti Soemarti Hartono, KUHD & PK (Yogyakarta: Seksi Hukum Dagang FH UGM,
1982), halaman 82.
29
Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang (Yogyakarta: FH UII Press, 2006),
halaman 205.
30
Ibid.
Kerugian yang diderita seorang tertanggung akibat suatu peristiwa yang tidak
diharapkan terjadi, dilihat dari segi timbulnya kerugian tersebut ada dua
kemungkinan bahwa Tertanggung selain bisa menuntut kepada pihak Penanggung
juga bisa menuntut kepada pihak ketiga yang karena kesalahannya menyebabkan
terjadinya kerugian tersebut.31 Dalam kondisi demikian, tertanggung memiliki
kesempatan untuk menuntut ganti rugi dari dua sumber, yaitu dari pihak
penanggung dan pihak ketiga. Penggantian kerugian dari dua sumber tersebut
bertentangan dengan asas indemnitas dan larangan untuk memperkaya diri sendiri
secara melawan hukum. Sebaliknya,kalau pihak ketiga dibebaska begitu saja dari
perbuatan yang sudah menyebabkan kerugian bagi tertanggung juga tidak adil.32
Untuk menghindari hal demikian tersebut, pihak ketiga yang bersalah tetap bisa
dituntut, hanya saja hak menuntut tersebut dilimpahkan pada pihak penanggung
(subrogasi). Berkaitan dengan hal ini, pasal 284 KUHD menyebutkan “
Penanggung yang membayar kerugian dari suatu benda yang dipertanggungkan
mendapat segala hak yang ada pada pihak tertanggung terhap pihak ketiga
berkenaan kerugian itu, dan pihak tertanggung bertanggungjawab untuk setiap
perbuatan yang mungkin bisa merugikan hak dari penanggung terhadap pihak
ketiga itu.33
Prof. Emmy Pangaribuan mengemukakan, Subrogasi menurut undang-
undang hanya bisa berlaku kalau terdapat dua faktor: 1). Kalau Tertanggung di
samping mempunyai hak terhadap Penanggung juga memiliki hak terhadap pihak
ketiga; 2). Hak-hak tersebut karena timbulnya kerugian.34
Para sarjana pada umumnya berpendapat bahwa prinsip subrogasi hanya
berlaku pada asuransi kerugian dan tidak berlaku dalam asuransi jumlah.35 Hak
subrogasi timbul dengan sendirinya (ipso facto) untuk penggantian kerugian yang
dibayarkan oleh penanggung kepada tertanggung dan tidak perlu ditentukan atau
diatur dalam polis. Kadangkala di dalam polis juga dimuat klausul
31
Ibid, hlm. 205.
32
M. Suparman Sastrawijaya dan Endang dalam Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum
Dagang (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), hlm. 206.
33
Siti Soemarti Hartono, KUHD terjemahan (Yogyakarta: Seksi Hukum Dagang UGM,
1982), hlm. 88.
34
dalam Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang (Yogyakarta: FH UII Press,
2006), halaman 206.
35
Ibid.
36
37
M Suparman Sastrawidjaja dan Endang dalam Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum
Dagang (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), halaman 200-201.
38
M Suparman Sastrawidjaja dan Endang dalam Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum
Dagang (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), hlm. 207
39
Siti Soemarti Hartono, KUHD terjemahan (Yogyakarta: Seksi Hukum Dagang UGM,
1982), hlm. 87.
1.Kalau polis tersebut dilakukan untuk risiko yang sama atau bahaya yang sama
yang menimbulkan kerugian itu;
2. Polis-polis itu menutup kepentingn yang sama, dari tertanggung yang sama, dan
terhadap benda yang sama; dan
3. Polis-polis tersebut masih berlaku pada waktu terjadinya kerugian.40
Berkaitan dengan hal ini, terdapat satu persyaratan yang penting, biasanya
terdapat dalam aircraft policy (dalam hal ini Polis Standar AVN 1 A) pada
persyaratan yang berlaku untuk Section Paragraph 3 menyebutkan bahwa klaim
tidak bisa dibayarkan untuk kerugian-kerugian yang diatur dalam Section 1, kalau
tertanggung sudah mengadakan asuransi lain tanpa persetujuan penanggung.
Persyaratan sejenis itu menghapus tanggung jawab penanggung jika terjadi double
insurance.41
Jika polis memuat klausul non contribution (yaitu dalam Vide General
Exclusion 9 pada polis AVN 1A), maka pembayaran atas dasar polis ini, terbatas
hanya untuk jumlah kerugian yang melebihi jumlah yang ditangguhkan oleh polis-
polis yang lain. Jika polis memuat klausul seperti itu, maka prinsip kontribusi
tidak berlaku, dan polis tersebut berubah menjadi excess policy. Dengan demikian,
tertanggung pertama-tama menuntut ganti rugi kerugian kepada penanggung
pertama, kemudian jika ada sisanya, ia bisa menuntut ganti kerugian kepada
penanggung kedua.42
C. SOAL LATIHAN/TUGAS
40
Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang (Yogyakarta: FH UII Press, 2006),
hlm.208.
41
Ibid.
42
Ibid.