Disusun oleh :
Kelas B
Dosen :
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asuransi masuk ke Indonesia pada waktu penjajahan Belanda dan negara Indonesia pada
waktu itu disebut Nederlands Indie. Keberadaan asuransi di negara kita ini sebagai akibat
berhasilnya bangsa Belanda dalam sector perkebunan dan perdagangan di negeri jajahannya.
Untuk menjamin kelangsungan usahanya, maka adanya asuransi mutlak diperlukan.1
Pengertian asuransi dijelaskan dalam Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD) sebagai berikut. “Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, di mana
penanggung dengan menikmati suatu premi mengikat dirinya terhadap tertanggung untuk
membebaskannya dari kerugian karena kehilangan kerugian, atau ketiadaan keuntungan yang
diharapkan, yang akan dapat diderita olehnya karena suatu kejadian yang tidak pasti.”
Pengertian asuransi sedikit lebih luas seperti yang dijabarkan dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Peransuransian (UUUP). Tegasnya pada Pasal 1 angka 1
dijelaskan sebagai berikut.“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau
lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima
premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan,
atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketigs
ysng mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau
untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atau meninggal atau hidupnya seseorang
yang dipertanggungkan.”
Dari apa yang dijabarkan dalam Pasal 246 KUHD maupun UUUP di atas, ada beberapa
hal yang kiranya perlu dielaborasi lebih lanjut yakni dilihat dari sudut pandang hukum, asuransi
merupakan suatu perjanjian. Hanya saja, apa yang dimaksud dengan perjanjian tidak dijelaskan
dalam KUHD. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perjanjian, perlu dilihat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Tepatnya dalam Pasal 1313 KUHPerdata
dikemukakan: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
1
Sovia, Asuransi Konvensional dan Syariah, (Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, 2013), hlm. 49
Maka, secara normatif semakin menguatkan pemikiran bahwa asuransi ditinjau dari sudut
pandang hukum sebagai suatu perjanjian. Hanya saja perlu dikemukakan di sini, bahwa asuransi
sebagai suatu perjanjian, namun perjanjian yang dimaksud di sini mempunyai kekhususan jika
dibandingkan dengan perjanjian pada umumnya.2
Asuransi sebagai lembaga keuangan non-Bank, merupakan satu mata rantai dari
keseluruhan kegiatan yang terjadi dalam dunia usaha. Hal tersebut dikarenakan dalam
keseluruhan kegiatan dunia usaha, sebenarnya merupakan satu rangkaian yang tidak bisa lepas
antara satu dengan yang lain. Misalnya antara produsen, konsumen, bank asuransi,
pengangkutan, dan sebagainya. Asuransi dalam hubungannya dengan kegiatan dunia usaha
lainnya mempunyai fungsi yang rangkap, yaitu di samping sebagai lembaga pelimpahan risiko
juga sebagai lembaga penyerap dana dari masyarakat. Adapun fungsi asuransi secara umum
adalah sebagai berikut.
2
Sentosa Sembiring, Hukum Asuransi, (Bandung: PT Nuansa Aulia, 2014), hlm. 17.
begitu saja oleh perusahaan asuransi, melainkan diaktifkan dalam industri-industri
lain.
Dunia asuransi dewasa ini, sudah semakin banyak yang bergerak di bidang usaha yang
bersifat teknis. Lebih-lebih dengan adanya perkembangan pesat dalam bidang teknologi. Usaha-
usaha untuk memberikan bantuan teknis, baik kepada individu maupun perusahaan-perusahaan
sudah semakin disadari oleh perusahaanasuransi. Hal itu dilakukan agar perusahaan-perusahaan
tersebut, dapat melakukan operasinya dengan baik dan efisien.3
Perkembangan industri di Indonesia saat ini sangat tinggi, baik itu dalam bidang jasa
ataupun dalam industri manufaktur. Dibandingkan dengan sektor-sektor lain, industri jasa
asuransi di Indonesia termasuk salah satu sektor yang dapat menunjukkan perkembangan yang
cukup pesat. Perkembangan industri asuransi dapat ditinjau dari sudut pertumbuhan premi bruto,
jumlah perusahaan perasuransian, jumlah klaim asuransi, dan jumlah kekayaan industri asuransi
di Indonesia.4
B. Identifikasi Masalah
1. Apa sajakah syarat-syarat sah perjanjian asuransi menurut hukum positif Indonesia
dan akibat hukum dari terpenuhinya syarat sah perjanjian dan akibat hukum dari tidak
terpenuhinya syarat sah perjanjian?
2. Apa saja syarat-syarat sah dari perjanjian asuransi syariah yang diterapkan di
Indonesia?
3
Ibid., hlm. 8
4
Ibid., hlm. 56
BAB II
PEMBAHASAN
Asuransi Syariah Dalam perspektif ekonomi Islam, asuransi dikenal dengan istilah
takaful yang berasal dari bahasa Arab yakni takafala-yatakafulu-takaful yang berarti saling
menanggung atau saling menjamin. Asuransi dapat diartikan sebagai perjanjian yang berkaitan
dengan pertanggungan atau penjaminan atas risiko kerugian tertentu. Pengertian asuransi syariah
adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang atau pihak
melalui investasi dalam bentuk aset dan atau. tabarru (sumbangan) yang memberikan pola
pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai syariah.
Dalam ekonomi Islam, Asuransi Syariah merupakan lembaga keuangan syariah nonbank yang
bergerak di bidang jasa penjaminan atau pertanggungan risiko. Karenanya,8 Asuransi Syariah
dapat dilihat sebagai lembaga keuangan atau perusahaan jasa keuangan nonbank yang beroperasi
dalam bidang pertanggungan atau penjaminan risiko kepada para nasabahnya.
Al-Qur'an dan Sunnah tidak menjelaskan secara tekstual tentang ketentuan Asuransi
Syariah, tetapi di dalamnya terdapat seperangkat prinsip-prinsip umum yang mengatur bagi
adanya penjaminan atau pertanggungan. Oleh karena itu, para ulama menggali prinsip-prinsip
muamalah dalam Al-Qur'an dan Sunnah sebagai landasan hukum bagi pembentukan lembaga
keuangan syariah nonbank sejenis Asuransi Syariah. Dari beberapa pengertian di atas, Asuransi
Syariah berarti merupakan pihak penanggung atau penjamin atas segala risiko kerugian,
kerusakan, kehilangan atau kematian yang dialami oleh nasabah (pihak tertanggung). Dalam hal
ini, sitertanggung mengikat perjanjian (penjaminan risiko) dengan si penanggung atas barang
atau harta, jiwa dan sebagainya berdasarkan prinsip bagi hasil berdasarkan pola pembagian
keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing) yang disepakati oleh kedua belah pihak.9
1. Prinsip Tauhid
8
Tuti Rastuti, Aspek hukum perjanjian asuransi (Yogyakarta: Medpress digital, 2016), hlm 148
9
Ibid, hlm 149
Tauhid menjadi prinsip dasar dalam menjalankan segal aktivitas. Segala aktivitas tersebut
termasuk dalam berasuransi syariah. Prinsip ini dilaksanakan dari dua sisi, yaitu sisi perusahaan
asuransi dan nasabah. Dilihat dari sisi perusahaan, asas yang digunakan dalam asuransi syariah
bukan semata-mata meraih keuntungan dan peluang yang besar. Akan tetapi lebih dari hal
tersebut, di mana sebagai niat awal adalah untuk mengimplementasikan nilai syariah dalam
dunia asuransi. Adapun dari sisi nasabah adalah asuransi syariah bertujuan untuk bertransaksi
dalam bentuk tolong menolong yang berlandaskan asas syariah, bukan semata-mata mencari
"perlindungan" apabila terjadi musibah.10
2. Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan disini artinya asuransi syariah harus benar-benar bersikap adil,
khususnya dalam membuat pola hubungan antara nasabah dengan nasabah, maupun antara
nasabah dengan perusahaan asuransi syariah, terkait dengan hak dan kewajiban masing-masing.
Dengan kata lain, asuransi syariah tidak boleh mendzalimi nasabah dengan hal-hal yang akan
merugikan nasabah mengapa prinsip keadilan sangat penting? Hal ini dikarenakan perusahaan
asuransi memiliki peluang besar untuk melakukan ketidakadilan. Misalnya unsur dana hangus
(saving produk) karena pembatalan kepesertaan di tengah jalan oleh nasabah. Dengan berprinsip
pada keadilan, dana yang telah dibayarkan pada asuransi syariah melalui premi harus
dikembalikan kepada nasabah yang bersangkutan, termasuk hasil investasinya. Ketika terdapat
nasabah yang telah mengundurkan diri atau terputus di tengah periode asuransi, kemudian
nasabah tidak mengambil dananya (sming) meski telah dihubungi baik melalui surat maupun
media lainnya, beberapa perusahaan asuransi syariah menyerahkan dana tersebut ke lembaga
kesejahteraan umat, seperti zakat, infak, dan sedekah.
10
Punggung Aryo Legowo dan Adiek Novita Ratna Merdianti, Perbankan buku 4 asuransi untuk SMK/MAK (Jakarta:
Pusat Kurikulum dan Perbukuan, 2013), hlm 132
dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-
Nya". Wujud pelaksanaan prinsip ini adalah sesama peserta 'bertabbaru' atau berderma untuk
kepentingan nasabah lainnya yang terkena musibah. Artinya, nasabah tidaklah berderma kepada
perusahaan asuransi syariah, melainkan hanya kepada para nasabah 11 saja, perusahaan asuransi
hanya bertindak sebagai pengelola. Dengan demikian perusahaan asuransi tidak berhak
mengklaim atau mengambil dana tabarru. Perusahaan asuransi hanya mendapatkan dari ujrah
(fee) atas pengelolaan dana tabarru tersebut yang dibayarkan oleh nasabah bersamaan dengan
pembayaran kontribusi (premi). Pengelolaan dana tabarru tersebut diinvestasikan secara syariah
dan dialokasikan pada nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Konsep ini telah
mengimplementasikan sikap tolong menolong meskipun antara nasabah tidak saling bertatap
muka,
4. Prinsip Amanah
Segala transaksi apapun diperlukan sikap saling rida antara kedua belah pihak. Nasabah
rida dananya dikelola oleh perusahaan asuransi syariah dan amanah. Selain itu, nasabah juga rida
dananya dialokasikan untuk nasabah-nasabah lain yang mengalami musibah. Adapun untuk
perusahaan asuransi syariah harus rida terhadap amanah yang diembankan nasabah dalam
mengelola kontribusi (premi) para nasabah.
11
Ibid, hlm 133
Dalam ajaran Islam, riba merupakan bentuk transaksi yang harus dihindari, termasuk
dalam berasuransi. Kontribusi (premi) yang dibayarkan nasabah harus diinvestasikan pada
investasi yang sesuai syariah dan jelas kehalalannya. Tidak hanya itu, dalam sistem
operasionalnya asuransi syariah harus menerapkan konsep sharing of risk yang bertumpu pada
akad tabarru'. Apabila hal ini dijalankan dengan benar, maka saat terjadi klaim oleh nasabah, di
dalamnya tidak terdapat unsur riba. Dengan demikian, konsep sharing of risk menghilangkan
unsur riba dalam berasuransi.12
12
Ibid, hlm 134
9. Prinsip menghindari Risywah
Risywah artinya sogok menyogok atau suap menyuap. Dalam menjalankan usahanya,
baik perusahaan asuransi syariah maupun pihak nasabah harus benar-benar menjauhi risywah.
Mengapa? Sebab apapun alasannya, risyah pasti akan menguntungkan satu pihak dan akan
merugian pihak yang lainnya. Misalnya: nasabah tidak diperbolehkan menyogok pegawai
asuransi supaya mendapatkan manfaat klaim.13
Tentunya Anda telah mengetahui segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah milik Sang
Pencipta. Sebagai hamba Allah selaku khalifah di muka bumi, manusia diwajibkan untuk
memanfaatkan rezeki yang telah dititipkan oleh-Nya untuk kemaslahatan manusia. Oleh
karenanya, kita diwajibkan untuk saling tolong menolong dan bekerja sama.
Setiap muslim memiliki rasa tanggung jawab terhadap sesamanya. Munculnya rasa
tanggung jawab tersebut atas dasar sifat saling menyayangi dan saling membantu. Hal ini akan
menumbuhkan pada setiap orang mementingkan kebersamaan untuk mendapatkan kemakmuran
bersama. Kemakmuran akan mewujudkan masyarakat yang beriman, takwa, dan harmonis.
Setiap peserta asuransi akan saling melindungi dari kesusahan. Hal ini dikarenakan
keselamatan dan keamanan merupakan kebutuhan pokok bagi semua orang. Pada prinsipnya,
Islam mengajarkan bahwa yang kuat melindungi yang lemah, orang kaya LMmelindungi orang
miskin, dan pemerintah melindungi kesejahteraan masyarakatnya.
Prinsip-prinsip tersebut harus diterapkan secara benar, agar dalam pelaksanaan usaha
asuransi syariah membawa manfaat pada masyarakat dan perusahaan asuransi tumbuh sehat
dalam perekonomian suatu negara.14
Dalam asuransi syariah syarat – syarat sah dalam melakukan kontrak perjanjian asuransi
mencakup tidak hanya menaati peraturan yang telah ditetapkan oleh hukum positif Indonesia,
13
Ibid, hlm 135
14
Ibid, hlm 136
dalam hal ini pasal 1320 KUHPerdata(terlampir) dan Pasal 251 KUHD (terlampir), tetapi juga
harus memperhatikan aspek – aspek syariah, yang dalam hal ini telah diatur oleh Fatwa DSN
NO: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum asuransi syariah(terlampir) serta bagaimana
hukum-hukum fiqh yang telah ditetapkan para imam mazhab. Dalam hukum perjanjian islam,
syarat perjanjian (aqad) dibagi menjadi dua.
Pertama: syarat adanya (terbentuknya) akad (Surut al-inighat), yaitu dimana apabila syarat ini
tidak dipenuhi akad tidak ada atau tidak terbentuk dan akadnya disebut batal.
Kedua: syarat sahnya akad, yaitu syarat dimana apabila tidak terpenuhinya lanta perjanjian itu
tidak ada atau tidak berbentuk. Bisa saja akadnya ada dan telah terbentuk karena syarat adanya
(terbentuknya) telah terpenuhi, hanya saja akad dianggap belum sempurna dan masih memiliki
kekurangan dan dalam keadaan demikian akad tersebut oleh para ahli hukum hanafi disebut
dengan akad Fasid dan harus dibatalkan.
Apabila syarat ada , dan syarat sahnya akad telah terpenuhi, maka akad tersebut tergolong akad
yang sah. Namun akad sah itu dari segi kekuatan hukumnya masih dibedakan lagi menjadi:
(1). Akad Mauquf, yaitu akad yang tergantung kepada ijin pihak ketiga, misalnya wali dalam
kasus akad yang dibuat anak dibawah perwaliannya
(2). Akad Nafis, yaitu akad yang didalamnya masih terdapat khiyar salah satu pihak
(3). Akad lazim, yang merupakan akad yang paling sempurna wujudnya dan bias melahirkan
akibat hukum penuh, dimana tidak lagi tergantung kepada ijin pihak ketiga atau tidak lagi
mengandung unsure khiyar salah satu pihak.
Dalam kerangka terpenuhinya kriteria syarat sahnya perjanjian dalam islam, maka
prinsip-prinsip hukum asuransi ditepatkan sebagai akad yng lazim. Jadi apabila perjanjian
asuransi yang tidak mematuhi prinsip-prinsip tersebut perjanjian asuransi tidak sah sebagaimana
kedudukna syarat sah perjanjian dalam hukum islam. Prinsip-prinsip hukum asuransi tidak
bertentangan dengan apa yang dikehendaki akad, bahkan sebaliknya dapat menguatkan
terwujudnya apa yang dikehendaki akad itu sendiri. Karena syarat tersebut akan lebih
memantapkan perjanjian dari unsure-unsur yang dilarang syara’. Adanya prinsip-prinsip asuransi
tersebut tidak bertentangan dengan Nass. Syarat-syarat yang tidak bertentangan dengan dalil
Nass yang tegas atau prinsip syariat adalah syarat yang diperbolehkan.15
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Sahnya perjanjian Asuransi tidak serta merta hanya dilihat dalam ketentuan Pasal
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata saja, yaitu hanya sebatas terpenuhinya
keempat syarat berikut. Kesepakatan, Kewenangan, Objek Tertentu, Kausa yang Halal,
15
Ahmad Sopyan, Syarat-Syarat Sah Perjanjian Asuransi, dikutip dari
https://www.google.co.id/amp/s/ahmadsopyan.wordpress.com/2010/01/14/syarat-syarat-sah-perjanjian-
asuransi/amp/, diakses tanggal 9 Juni 2020 pukul 20.00 WIB.
dan Pemberitahuan. Namun dapat dilihat dalam ketentuan Pasal yang terkait dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang dan UndangUndang Nomor. 2 Tahun 1992 Tentang
Usaha Perasuransian, bahwa perjanjian asuransi tersebut sah khususnya mengenai objek
yang diatur haruslah jelas pengaturannya. Dalam perjanjian asuransi pihak tertanggung
membayarkan sejumlah premi kepada pihak penanggung yakni perusahaan asuransi dan
pihak tertanggung menerima polis asuransi sebagai bukti bahwa perjanjian tersebut sah
dilakukan serta pengaturan mengenai objeknya sudah sangat jelas.
Akibat hukum dengan disetujuinya suatu perjanjian dijabarkan dalam Pasal 1338
KUHPerdata sebagai berikut.“(1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. (2) Perjanjian tidak dapat ditarik
kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan yang boleh undang-
undang dinyatakan cukup untuk itu.(3) Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik.”. Sedangkan akibat hukum tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian ada dua yaitu
dapat dibatalkan ataupun batal demi hukum.
Syarat sah dalam perjanjian asuransi syariah antara lain tidak ada paksaan,tidak
menimbulkan kerugian (darar), tidak mengandung ketidakjelasan (garar), tidak
mengandung riba, dan tidak mengandung syarat Fasid. Al-Qur'an dan Sunnah tidak
menjelaskan secara tekstual tentang ketentuan Asuransi Syariah, tetapi di dalamnya
terdapat seperangkat prinsip-prinsip umum yang mengatur bagi adanya penjaminan atau
pertanggungan. Oleh karena itu, para ulama menggali prinsip-prinsip muamalah dalam
Al-Qur'an dan Sunnah sebagai landasan hukum bagi pembentukan lembaga keuangan
syariah nonbank sejenis Asuransi Syariah. Prinsip-prinsip tersebut antara lain prinsip
tauhid, prinsip keadilan, prinsip tolong menolong, prinsip amanah, prinsip saling rida,
prinsip menghindarkan riba, prinsip menghindari maisir, prinsip menghindari gharar,
prinsip menghindari risywah, prinsip berserah diri dan ikhtiar, prinsip saling bertanggung
jawab, dan prinsip saling melindungi dan berbagi kesusahan.
B. SARAN
Indonesia merupakan negara hukum, kesadaran masyarakat akan hukum haruslah
ditingkatkan. Para pihak harus menyadari bahwa dalam hal membuat suatu perjanjian
merupakan suatu perbuatan hukum yang pasti diikuti dengan ketentuan-ketentuan khusus
di dalamnya. Dalam membuat suatu perjanjian asuransi, para pihak harus mengindahkan
peraturan yang ada, maka keempat syarat sah perjanjian menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana harus dipenuhi. Selain itu, ketentuan Pasal yang terkait dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang dan UndangUndang Nomor. 2 Tahun 1992 Tentang
Usaha Perasuransian harus juga menjadi suatu patokan bagi para pihak sebelum membuat
suatu perjanjian. Di dalam ketentuan-ketentuan tersebut disebutkan bahwa perjanjian
asuransi tersebut sah khususnya mengenai objek yang diatur haruslah jelas
pengaturannya.
Dalam hal membuat suatu perjanjian asuransi syariah pun, para pihak harus
memenuhi syarat sah menurut hukum islam. Berbeda halnya dengan perjanjian asuransi
biasa, asuransi syariah sangat terpatok pada prinsip-prinsip muamalah dalam Al-Qur'an
dan Sunnah sebagai landasan hukum bagi pembentukan lembaga keuangan syariah
nonbank sejenis Asuransi Syariah, karena apabila perjanjian asuransi yang dilakukan
tersebut tidak mematuhi prinsip-prinsip tersebut maka perjanjian asuransi tidak sah
sebagaimana kedudukn syarat sah perjanjian dalam hukum islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir, Muhammad. 2011. Hukum Asuransi Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Legowo, Punggung Aryo dan Adiek Novita Ratna Merdianti. 2013. Perbankan buku 4 asuransi
Rastuti, Tuti. 2016. Aspek hukum perjanjian asuransi. Yogyakarta: Medpress digital.
https://www.google.co.id/amp/s/ahmadsopyan.wordpress.com/2010/01/14/syarat-syarat-sah-
Dewitasari, Yulia. Akibat Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Perjanjian Apabila Terjadi
Pembatalan Perjanjian. Dikutip dari https://ojs.unud.ac.id, diakses pada tanggal 7 Juni 2020