Anda di halaman 1dari 20

SYARAT SAHNYA PERJANJIAN ASURANSI

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Asuransi

Disusun oleh :

Sylviani Elika 18 4301 136

Indah Mulyasari 18 4301 137

Delia Tri Rahayu 18 4301 145

Algi Widifillah 18 4301 154

Vidya Putri Firadilla 18 4301 157

Kelas B

Dosen :

Dr. Asep Suryadi, S.H., M.H.

SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG

2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Asuransi masuk ke Indonesia pada waktu penjajahan Belanda dan negara Indonesia pada
waktu itu disebut Nederlands Indie. Keberadaan asuransi di negara kita ini sebagai akibat
berhasilnya bangsa Belanda dalam sector perkebunan dan perdagangan di negeri jajahannya.
Untuk menjamin kelangsungan usahanya, maka adanya asuransi mutlak diperlukan.1
Pengertian asuransi dijelaskan dalam Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD) sebagai berikut. “Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, di mana
penanggung dengan menikmati suatu premi mengikat dirinya terhadap tertanggung untuk
membebaskannya dari kerugian karena kehilangan kerugian, atau ketiadaan keuntungan yang
diharapkan, yang akan dapat diderita olehnya karena suatu kejadian yang tidak pasti.”
Pengertian asuransi sedikit lebih luas seperti yang dijabarkan dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Peransuransian (UUUP). Tegasnya pada Pasal 1 angka 1
dijelaskan sebagai berikut.“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau
lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima
premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan,
atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketigs
ysng mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau
untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atau meninggal atau hidupnya seseorang
yang dipertanggungkan.”
Dari apa yang dijabarkan dalam Pasal 246 KUHD maupun UUUP di atas, ada beberapa
hal yang kiranya perlu dielaborasi lebih lanjut yakni dilihat dari sudut pandang hukum, asuransi
merupakan suatu perjanjian. Hanya saja, apa yang dimaksud dengan perjanjian tidak dijelaskan
dalam KUHD. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perjanjian, perlu dilihat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Tepatnya dalam Pasal 1313 KUHPerdata
dikemukakan: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

1
Sovia, Asuransi Konvensional dan Syariah, (Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, 2013), hlm. 49
Maka, secara normatif semakin menguatkan pemikiran bahwa asuransi ditinjau dari sudut
pandang hukum sebagai suatu perjanjian. Hanya saja perlu dikemukakan di sini, bahwa asuransi
sebagai suatu perjanjian, namun perjanjian yang dimaksud di sini mempunyai kekhususan jika
dibandingkan dengan perjanjian pada umumnya.2

Asuransi sebagai lembaga keuangan non-Bank, merupakan satu mata rantai dari
keseluruhan kegiatan yang terjadi dalam dunia usaha. Hal tersebut dikarenakan dalam
keseluruhan kegiatan dunia usaha, sebenarnya merupakan satu rangkaian yang tidak bisa lepas
antara satu dengan yang lain. Misalnya antara produsen, konsumen, bank asuransi,
pengangkutan, dan sebagainya. Asuransi dalam hubungannya dengan kegiatan dunia usaha
lainnya mempunyai fungsi yang rangkap, yaitu di samping sebagai lembaga pelimpahan risiko
juga sebagai lembaga penyerap dana dari masyarakat. Adapun fungsi asuransi secara umum
adalah sebagai berikut.

 Asuransi sebagai Lembaga Pelimpahan Risiko


Sudah sewajarnya, bahwa seorang atau suatu Badan Usaha di dalam kegiatan
usahanya tidak menghendaki timbulnya kerugian yang kecil sekalipun. Untuk
mengatasi adanya rasa khawatir akan kemungkinan timbulnya kerugian dalam
kegiatan usahanya, maka seseorang atau badan usaha tersebut berusaha
melimpahkan semua kemungkinan kerugian yang timbul kepada pihak lain yang
bersedia membayar ganti kerugian apabila terjadi kerugian. Cara ini dapat
dilaksanakan dengan jalan mengadakan suatu perjanjian yang disebut perjanjian
asuransi.
 Asuransi sebagai Penyerap Dana dari Masyarakat
Premi adalah suatu kewajiban tertanggung sebagai imbalan dari kewajiban
penanggung untuk mengganti kerugian tertanggung. Dari pembayaran premi-
premi tersebut, maka dapat terkumpul dalam suatu perusahaan, di mana premi itu
dapat disebut sebagai suatu kumpulan dana dari masyarakat yang relatif cukup
besar. Dari dana yang terkumpul, tentu saja merupakan sejumlah modal yang
dapat digunakan secara efisien, modal tersebut tidak akan dibiarkan menggangur

2
Sentosa Sembiring, Hukum Asuransi, (Bandung: PT Nuansa Aulia, 2014), hlm. 17.
begitu saja oleh perusahaan asuransi, melainkan diaktifkan dalam industri-industri
lain.

Dunia asuransi dewasa ini, sudah semakin banyak yang bergerak di bidang usaha yang
bersifat teknis. Lebih-lebih dengan adanya perkembangan pesat dalam bidang teknologi. Usaha-
usaha untuk memberikan bantuan teknis, baik kepada individu maupun perusahaan-perusahaan
sudah semakin disadari oleh perusahaanasuransi. Hal itu dilakukan agar perusahaan-perusahaan
tersebut, dapat melakukan operasinya dengan baik dan efisien.3

Perkembangan industri di Indonesia saat ini sangat tinggi, baik itu dalam bidang jasa
ataupun dalam industri manufaktur. Dibandingkan dengan sektor-sektor lain, industri jasa
asuransi di Indonesia termasuk salah satu sektor yang dapat menunjukkan perkembangan yang
cukup pesat. Perkembangan industri asuransi dapat ditinjau dari sudut pertumbuhan premi bruto,
jumlah perusahaan perasuransian, jumlah klaim asuransi, dan jumlah kekayaan industri asuransi
di Indonesia.4

B. Identifikasi Masalah
1. Apa sajakah syarat-syarat sah perjanjian asuransi menurut hukum positif Indonesia
dan akibat hukum dari terpenuhinya syarat sah perjanjian dan akibat hukum dari tidak
terpenuhinya syarat sah perjanjian?
2. Apa saja syarat-syarat sah dari perjanjian asuransi syariah yang diterapkan di
Indonesia?

3
Ibid., hlm. 8
4
Ibid., hlm. 56
BAB II
PEMBAHASAN

A. SYARAT-SYARAT SAH ASURANSI MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA


Asuransi merupakan salah satu jenis perjanjian khusus yang diatur dalam KUHD.
Sebagai perjanjian, maka ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian dalam KUHPerdata
berlaku juga bagi perjanjian asuransi. Karena perjanjian asuransi merupakan perjanjian khusus,
maka di samping ketentuan syarat-syarat sah perjanjian, berlaku juga syarat-syarat khusus yang
diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Syarat-syarat sah suatu perjanjian diatur
dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Menurut ketentuan pasal tersebutm ada 4 (empat) syarat sah
suatu perjanjian, yaitu kesepakatan para pihak, kewenangan berbuat, objek tertentu, dan kausa
yang halal. Syarat yang diatur dalam KUHD adalah kewajiban pemberitahuan yang diatur dalam
Pasal 251 KUHD.
 Kesepakatan (Consensus)
Tertanggung dan penanggung sepakat mengadakan perjanjian asuransi. Kesepakatan
tersebut pada pokoknya meliputi :
a. benda yang menjadi objek asuransi;
b. pengalihan risiko dan pembayaran premi;
c. evenemen dan anti kerugian;
d. syarat-syarat khusus asuransi;
e. dibuat secara tertulis yang disebut polis.
Pengadaan perjanjian antara tertanggung dan penanggung dapat dilakukan secara
langsung atau secara tidak langsung. Dilakukan secara langsung artinya kedua belah pihak
mengadakan perjanjian asuransi tanpa melalui perantara. Dilakukan secara tidak langsung
artinya kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi melalui jasa perantara. Penggunaan
jasa perantara memang dibolehkan menurut undang-undang. Dalam Pasal 260 KUHD
ditentukan, apabila asuransi diadakan dengan perantaraan seorang makelar, maka polis yang
sudah ditandatangani harus diserahkan dalam waktu 8 (delapan) hari setelah perjanjian dibuat.
Dalam Pasal 5 huruf (a) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 ditentukan Perusahaan Pialang
Asuransi dapat menyelenggarakan usaha dengan bertindak mewakili tertanggung dalam rangka
transaksi yang berkaitan dengan kontrak asuransi. Perantara dalam KUHD disebut makelar,
dalam Undang-Undang Nomor 2 1992 disebut Pialang.
Kesepakatan antara tertanggung dengan penanggung dibuat secara bebas, artinya tidak
berada di bawah pengaruh, tekanan, atau paksaan pihak tertentu. Kedua belah pihak sepakat
menentukan syarat-syarat perjanjian asuransi sesuai dengan ketentukan perundang-undangan
yang berlaku. Dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 ditentukan bahwa
penutupan asuransi atas objek asuransi harus didasarkan pada kebebasan memilih penanggung
kecuali bagi Program Asuransi Sosial. Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi hak
tertanggung agar dapat secara bebas memilih perusahaan asuransi sebagai penanggungnya. Hal
ini dipandang perlu mengingat tertanggung adalah pihak yang paling berkepentingan atas objek
yang diasuransikan, jadi sudah sewajarnya apabila mereka secara bebas tanpa pengaruh dan
tekanan dari pihak manapun dalam menentukan penanggungnya.
 Kewenangan (Authority)
Kedua pihak tertanggung dan penanggung wenang melakukan perbuatan hukum yang
diakui oleh undang-undang. Kewenangan subjektif artinya kedua pihak sudah dewasa, sehat
ingatan, tidak berada di bawah perwalian (trusteeship), atau pemegang kuasa yang sah.
Kewenangan objektif artinya tertanggung mempunyai hubungan yang sah dengan benda objek
asuransi karena benda tersebut adalah kekayaan miliknya sendiri. Penanggung adalah pihak yang
sah mewakili Perusahaan Asuransi berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan. Apabila asuransi
yang diadakan itu untuk kepentingan pihak ketiga, maka tertanggung yang mengadakan asuransi
itu mendapat kuasa atau pembenaran dari pihak ketiga yang bersangkutan.
Kewenangan pihak tertanggung dan penanggung tersebut tidak hanya dalam rangka
mengadakan perjanjian asuransi, tetapi juga dalam hubungan internal di lingkungan Perusahaan
Asuransi bagi penanggung dan hubungan dengan pihak ketiga bagi tertanggung, misalnya jual
beli objek asuransi, asuransi untuk kepentingan ketiga. Dalam hubungan dengan perkara asuransi
di muka pengadilan, pihak tertanggung dan penanggung adalah berwenang untuk bertindak
mewakili kepentingan pribadinya atau kepentingan Perusahaan Asuransi.
 Objek Tertentu (Fixed Object)
Objek tertentu dalam Perjanjian Asuransi adalah objek yang diasuransikan, dapat berupa
harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan, dapat pula berupa jiwa atau
raga manusia. Objek tertentu berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta
kekayaan terdapat pada Perjanjian Asuransi Kerugian. Objek tertentu berupa jiwa atau raga
manusia terdapat pada Perjanjian Asuransi Jiwa. Pengertian objek tertentu adalah bahwa
identitas objek asuransi tersebut harus jelas dan pasti. Apabila berupa harta kekayaan, harta
kekayaan apa, berapa jumlah dan ukurannya, di mana letaknya, apa mereknya, buatan mana,
berapa nilainya dan sebagainya. Apabila berupa jiwa atau raga, atas nama siapa, berapa
umurnya, apa hubungan keluarganya, di mana alamatnya, dan sebagainya.
Karena yang mengansuransikan objek itu adalah tertanggung, maka dia harus mempunyai
hubungan langsung atau tidak langsung dengan objek asuransi itu. Dikatakan ada hubungan
langsung apabila tertanggung memiliki sendiri harta kekayaan, jiwa atau raga yang menjadi
objek asuransi. Dikatakan ada hubungan tidak langsung apabila tertanggung hanya mempunyai
kepentingan atas objek asuransi. Tertanggung harus dapat membuktikan bahwa dia adalah benar
sebagai pemilik atau mempunyai kepentingan atas objek asuransi.
Apabila tertanggung tidak dapat membuktikannya, maka akan timbul anggapan bahwa
tertanggung tidak mempunyai kepentingan apa-apa, hal mana mengakibatkan asuransi batal (null
and void). Undang-undang tidak akan membenarkan, tidak akan mengakui orang yang
mengadakan asuransi, tetapi tidak mempunyai kepentingan (interest). Walaupun orang yang
mengadakan asuransi itu tidak mempunyai hubungan langsung dengan objek asuransi, dia harus
menyebutkan untuk kepentingan siapa asuransi itu diadakan. Jika tidak demikian, maka asuransi
itu dianggap tidak ada.
Menurut ketentuan Pasal 599 KUHD, dianggap tidak mempunyai kepentingan adalah
orang yang mengasuransikan benda yang oleh undang-undang dilarang diperdagangkan dan
kapal yang mengangkut barang yang dilarang tersebut. Apabila diasuransikan juga, maka
asuransi tersebut batal.
 Kausa yang Halal (Legal Cause)
Kausa yang halal maksudnnya adalah isi perjanjian asuransi itu tidak dilarang undang-
undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan.
Contoh asuransi yang berkausa tidak halal adalah mengasuransikan benda yang dilarang undang-
undang untuk diperdagangkan, mengasuransikan benda, tetapi tertanggung tidak mempunyai
kepentingan, jadi hanya spekulasi yang sama dengan perjdian. Asuransi bukan perjudian dan
pertaruhan.
Berdasarkan kausa yang halal itu, tujuan yang hemdak dicapai oleh tertanggung dan
penanggung adalah beralihnya risiko atas objek asuransi yang diimbangi dengan pembayaran
premi. Jadi, kedua belah pihak berprestasi, tertanggung membayar premi, penanggung menerima
peralihan risiko atas objek asuransi. Jika premi dibayar, maka risiko beralih, jika premi tidak
dibayar, risiko tidak beralih.
 Pemberitahuan (Notification)
a. Teori objektivitas (objectivity theory)
Salah satu teori ilmu hukum yang dikenal dalam hukum asuransi adalah teori
objektivitas. Menurut teori ini, setiap asuransi harus mempunyai objek tertentu. Objek
tertentu artinya jenis, identitas, dan sifat yang dimiliki objek tersebut harus jelas dan
pasti. Jenis, identitas, dan sifat objek asuransi wajib diberitahukan oleh tertanggung
kepada penanggung, tidak boleh ada yang disembunyikan. Sifat objek asuransi mungkin
dapat menjadi sebab timbulnya kerugian. Berdasarkan pemberitahuan itu penanggung
dapat mempertimbangkan apakah dia akan menerima pengalihan risiko dari tertanggung
atau tidak.
Keunggulan teori ini adalah penanggung dilindungi dari perbuatan tertanggung yang
tidak jujur (in bad faith). Sebaliknya, tertanggng selalu dimotivasi untuk berbuat jujur
(in good faith) dan selalu berhati-hati melakukan pemberitahuan sifat objek asuransi
kepada penanggung. Teori agar mengadakan perjanjian asuransi dilandasi asas
kebebasan berkontrak yang adil (fair).
b. Pengaturan pemberitahuan dalam KUHD
Tertanggung wajib memberitahukan kepada penanggung mengenai keadaan objek
asuransi. Kewajiban ini dilakukan pada saat mengadakan asuransi. Apabila
tertanggung lalai, maka akibat hukumnya asuransi batal. Menurut ketentuan Pasal 251
KUHD, semua pemberitahuan yang salah, atau tidak benar, atau penyembunyian
keadaan yang diketahui oleh tertanggung tentang objek asuransi, mengakibatkan
asuransi itu batal. Kewajiban pemberitahuan itu berlaku juga apabila setelah diadakan
asuransi terjadi pemberatan risiko atas objek asuransi.
Apabila tertanggung keliru memberitahukan, tanpa kesengajaan, juga
mengakibatkan batalnya asuransi, kecuali jika tertanggung dan penanggung telah
memperjanjikan lain. Biasanya perjanjian seperti ini dinyatakan dengan tegas dalam
polis dengan klausula ”sudah diketahui”.5

 Akibat Hukum Terpenuhinya Syarat Sah Perjanjian


Akibat hukum dengan disetujuinya suatu perjanjian dijabarkan dalam Pasal 1338
KUHPerdata sebagai berikut.
“(1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.
(2) Perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau
karena alasan yang boleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
(3) Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”6
 Akibat Hukum Tidak Terpenuhinya Syarat Sah Perjanjian
 Pembatalan Suatu Perjanjian
1. Perjanjian yang di buat melanggar syarat subyektif sahnya perjanjian
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Ayat 1 dan 2 KUHPer, yaitu
perjanjian tersebut lahir karena adanya cacat kehendak (wilsgebreke) antara lain
karena kekhilafan, paksaan atau penipuan, atau karena ketidakcakapan pihak
dalam perjanjian (ombekwaamheid), sehingga berakibat perjanjian tersebut dapat
dibatalkan (vernietigbaar).
2. Perjanjian yang di buat melanggar syarat obyektif sahnya perjanjian sebagaimana
yang di atur dalam Pasal 1320 ayat 3 dan 4, perjanjian di buat tidak memenuhi
syarat objek tertentu atau mempunyai causa yang tidak di perbolehkan seperti
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan, sehingga
berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum (nietig).
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1265 KUHPer, syarat batal adalah syarat yang bila
dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu pada keadaan semula
seolah-olah tidak ada suatu perjanjian. Hal-hal yang harus diperhatikan sebagai syarat
pembatalan suatu perjanjian adalah adanya wanprestasi, dimana wanprestasi selalu dianggap
sebagai syarat batal dalam suatu perjanjian sehingga pihak yang merasa dirugikan karena pihak
lain wanprestasi dapat menuntut pembatalan perjanjian.
5
Muhammad Abdulkadir, Hukum Asuransi Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2011), hlm. 49.
6
Sentosa Sembiring, Hukum Asuransi, Op. Cit., hlm. 19.
Penuntutan pembatalan perjanjian harus dilakukan melalui pengadilan sehingga yang
membatalkan perjanjian adalah melalui putusan hakim sesuai dengan ketentuan Pasal 1266
KUHPer. Menurut Subekti, pembatalan perjanjian dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan
cara aktif, yaitu langsung dengan menuntut pembatalan di muka hakim atau dengan cara
pembelaan, yaitu menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan
baru mengajukan alasan mengenai kekurangan perjanjian itu.2 Jangka waktu tuntutan
pembatalan perjanjian adalah lima tahun. Selain itu, perjanjian yang dapat dibatalkan adalah
harus bersifat timbal-balik yakni perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua
belah pihak. Syarat diatas merupakan syarat yang harus dipenuhi terhadap perjanjian yang dapat
di batalkan sedangkan bagi perjanjian yang batal demi hukum maka perjanjian tersebut tidaklah
sah dan perjanjian dianggap tidak pernah ada.
 Akibat Hukum Apabila Perjanjian Dibatalkan
Akibat pembatalan perjanjian di atur dalam Pasal 1451 dan 1452 KUHPer. Akibat hukum
pada pembatalan perjanjian adalah pengembalian pada posisi semula sebagaimana halnya
sebelum terjadi perjanjian.3 Akibat pembatalan perjanjian dapat di lihat dari dua aspek. Pertama,
pembatalan terhadap perjanjian yang melanggar syarat subyektif sahnya perjanjian sehingga
perjanjian dapat dibatalkan, dan kedua adalah pembatalan terhadap perjanjian yang melanggar
syarat obyektif perjanjian yang batal demi hukum.
Akibat terhadap perjanjian yang dapat di batalkan adalah salah satu pihak dapat meminta
pembatalan perjanjian. Perjanjian akan tetap mengikat para pihak apabila tidak dibatalkan oleh
hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan. Hak untuk meminta pembatalan
perjanjian, menuntut pemulihan bahkan hak untuk menuntut ganti rugi merupakan hak bagi para
pihak yang merasa dirugikan, sedangkan pihak lainnya yang telah terlanjur menerima prestasi
dari pihak lain wajib mengembalikannya. Sedangkan, akibat hukum terhadap perjanjian yang
batal demi hukum adalah perjanjian dianggap batal atau bahkan perjanjian dianggap tidak ada
dan tidak pernah terjadi dari awal. Konsekuensi lanjutan dari pembatalan perjanjian adalah
apabila setelah pembatalan salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya untuk
mengembalikan apa yang telah diperolehnya maka pihak lain dapat mengajukan gugatan. Hal ini
semata-mata untuk melaksanakan tujuan pembatalan yaitu mengembalikan keadaan sebagaimana
semula sebelum perjanjian terjadi.7
7
Yulia Dewitasari, AKIBAT HUKUM TERHADAP PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN APABILA TERJADI PEMBATALAN
PERJANJIAN, dikutip dari https://ojs.unud.ac.id, diakses pada tanggal 7 Juni 2020 pukul 21.22 WIB.
B. SYARAT-SYARAT SAH ASURANSI SYARIAH MENURUT HUKUM ISLAM

Asuransi Syariah Dalam perspektif ekonomi Islam, asuransi dikenal dengan istilah
takaful yang berasal dari bahasa Arab yakni takafala-yatakafulu-takaful yang berarti saling
menanggung atau saling menjamin. Asuransi dapat diartikan sebagai perjanjian yang berkaitan
dengan pertanggungan atau penjaminan atas risiko kerugian tertentu. Pengertian asuransi syariah
adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang atau pihak
melalui investasi dalam bentuk aset dan atau. tabarru (sumbangan) yang memberikan pola
pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai syariah.
Dalam ekonomi Islam, Asuransi Syariah merupakan lembaga keuangan syariah nonbank yang
bergerak di bidang jasa penjaminan atau pertanggungan risiko. Karenanya,8 Asuransi Syariah
dapat dilihat sebagai lembaga keuangan atau perusahaan jasa keuangan nonbank yang beroperasi
dalam bidang pertanggungan atau penjaminan risiko kepada para nasabahnya.

Al-Qur'an dan Sunnah tidak menjelaskan secara tekstual tentang ketentuan Asuransi
Syariah, tetapi di dalamnya terdapat seperangkat prinsip-prinsip umum yang mengatur bagi
adanya penjaminan atau pertanggungan. Oleh karena itu, para ulama menggali prinsip-prinsip
muamalah dalam Al-Qur'an dan Sunnah sebagai landasan hukum bagi pembentukan lembaga
keuangan syariah nonbank sejenis Asuransi Syariah. Dari beberapa pengertian di atas, Asuransi
Syariah berarti merupakan pihak penanggung atau penjamin atas segala risiko kerugian,
kerusakan, kehilangan atau kematian yang dialami oleh nasabah (pihak tertanggung). Dalam hal
ini, sitertanggung mengikat perjanjian (penjaminan risiko) dengan si penanggung atas barang
atau harta, jiwa dan sebagainya berdasarkan prinsip bagi hasil berdasarkan pola pembagian
keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing) yang disepakati oleh kedua belah pihak.9

Asuransi syariah dalam menjalankan usahanya memiliki prinsip-prinsip, seperti halnya


pada asuransi konvensional. Namun, prinsip-prinsip asuransi syariah berbeda dengan prinsip
asuransi konvensional. Prinsip-prinsip dalam mengelola asuransi syariah terdiri atas :

1. Prinsip Tauhid

8
Tuti Rastuti, Aspek hukum perjanjian asuransi (Yogyakarta: Medpress digital, 2016), hlm 148

9
Ibid, hlm 149
Tauhid menjadi prinsip dasar dalam menjalankan segal aktivitas. Segala aktivitas tersebut
termasuk dalam berasuransi syariah. Prinsip ini dilaksanakan dari dua sisi, yaitu sisi perusahaan
asuransi dan nasabah. Dilihat dari sisi perusahaan, asas yang digunakan dalam asuransi syariah
bukan semata-mata meraih keuntungan dan peluang yang besar. Akan tetapi lebih dari hal
tersebut, di mana sebagai niat awal adalah untuk mengimplementasikan nilai syariah dalam
dunia asuransi. Adapun dari sisi nasabah adalah asuransi syariah bertujuan untuk bertransaksi
dalam bentuk tolong menolong yang berlandaskan asas syariah, bukan semata-mata mencari
"perlindungan" apabila terjadi musibah.10

2. Prinsip Keadilan

Prinsip keadilan disini artinya asuransi syariah harus benar-benar bersikap adil,
khususnya dalam membuat pola hubungan antara nasabah dengan nasabah, maupun antara
nasabah dengan perusahaan asuransi syariah, terkait dengan hak dan kewajiban masing-masing.
Dengan kata lain, asuransi syariah tidak boleh mendzalimi nasabah dengan hal-hal yang akan
merugikan nasabah mengapa prinsip keadilan sangat penting? Hal ini dikarenakan perusahaan
asuransi memiliki peluang besar untuk melakukan ketidakadilan. Misalnya unsur dana hangus
(saving produk) karena pembatalan kepesertaan di tengah jalan oleh nasabah. Dengan berprinsip
pada keadilan, dana yang telah dibayarkan pada asuransi syariah melalui premi harus
dikembalikan kepada nasabah yang bersangkutan, termasuk hasil investasinya. Ketika terdapat
nasabah yang telah mengundurkan diri atau terputus di tengah periode asuransi, kemudian
nasabah tidak mengambil dananya (sming) meski telah dihubungi baik melalui surat maupun
media lainnya, beberapa perusahaan asuransi syariah menyerahkan dana tersebut ke lembaga
kesejahteraan umat, seperti zakat, infak, dan sedekah.

3. Prinsip Tolong Menolong

Prinsip dalam melaksanakan perusahaan asuransi syariah adalah tolong-menolong.


Sebagaimana firman Allah dalam surah Al Maidah: 2 yang artinya: "Dan tolong menolonglah
kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa

10
Punggung Aryo Legowo dan Adiek Novita Ratna Merdianti, Perbankan buku 4 asuransi untuk SMK/MAK (Jakarta:
Pusat Kurikulum dan Perbukuan, 2013), hlm 132
dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-
Nya". Wujud pelaksanaan prinsip ini adalah sesama peserta 'bertabbaru' atau berderma untuk
kepentingan nasabah lainnya yang terkena musibah. Artinya, nasabah tidaklah berderma kepada
perusahaan asuransi syariah, melainkan hanya kepada para nasabah 11 saja, perusahaan asuransi
hanya bertindak sebagai pengelola. Dengan demikian perusahaan asuransi tidak berhak
mengklaim atau mengambil dana tabarru. Perusahaan asuransi hanya mendapatkan dari ujrah
(fee) atas pengelolaan dana tabarru tersebut yang dibayarkan oleh nasabah bersamaan dengan
pembayaran kontribusi (premi). Pengelolaan dana tabarru tersebut diinvestasikan secara syariah
dan dialokasikan pada nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Konsep ini telah
mengimplementasikan sikap tolong menolong meskipun antara nasabah tidak saling bertatap
muka,

4. Prinsip Amanah

Kehidupan di dunia hakikatnya merupakan amanah yang nantinya


dipertanggungjawabkan di akhirat kelak, termasuk dalam menjalankan usaha asuransi, harus
transparan dan profesional. Perusahaan asuransi dituntut untuk amanah dalam segala hal, seperti
pengelolaan dana premi dan proses klaim. Selain itu perusahaan asuransi tidak boleh mengambil
keuntungan secara semena-mena. Jika ini terjadi, maka berdampak pada ruginya nasabah. Tidak
hanya perusahaan asuransi saja, nasabah sebagai peserta asuransi juga memiliki sikap amanah
dalam aspek risiko yang menimpanya. Misalnya, nasabah mengada-ngada sesuatu yang
seharusnya tidak klaim menjadi klaim. Hal ini tentu saja dapat berakibat pada ruginya para
peserta yang lainnya.

5. Prinsip Saling Rida

Segala transaksi apapun diperlukan sikap saling rida antara kedua belah pihak. Nasabah
rida dananya dikelola oleh perusahaan asuransi syariah dan amanah. Selain itu, nasabah juga rida
dananya dialokasikan untuk nasabah-nasabah lain yang mengalami musibah. Adapun untuk
perusahaan asuransi syariah harus rida terhadap amanah yang diembankan nasabah dalam
mengelola kontribusi (premi) para nasabah.

6. Prinsip Menghindarkan Riba

11
Ibid, hlm 133
Dalam ajaran Islam, riba merupakan bentuk transaksi yang harus dihindari, termasuk
dalam berasuransi. Kontribusi (premi) yang dibayarkan nasabah harus diinvestasikan pada
investasi yang sesuai syariah dan jelas kehalalannya. Tidak hanya itu, dalam sistem
operasionalnya asuransi syariah harus menerapkan konsep sharing of risk yang bertumpu pada
akad tabarru'. Apabila hal ini dijalankan dengan benar, maka saat terjadi klaim oleh nasabah, di
dalamnya tidak terdapat unsur riba. Dengan demikian, konsep sharing of risk menghilangkan
unsur riba dalam berasuransi.12

7. Prinsip Menghindari Maisir

Masih ingatkah Anda tentang konsep asuransi konvensional? Asuransi konvensional


memiliki konsep transfer of risk. Konsep seperti ini dapat memunculkan unsur maisir
(gambling). Mengapa? Karena seorang nasabah bisa jadi membayar premi belasan kali, namun
tidak pernah klaim. Di sisi lain terdapat nasabah yang baru sekali bayar premi, kemudian klaim.
Pada asuransi konvensional, saat menerima pembayaran premi, secara otomatis premi tersebut
menjadi milik perusahaan dan saat membayar klaim dananya pun diambil dari rekening
perusahaan. Oleh karenanya perusahaan bisa untung apabila premi banyak dan klaim sedikit.
Namun, perusahaan dapat juga rugi bila sedikit premi dan klaimnya banyak.

8. Prinsip Menghindari Gharar

Gharar berarti ketidakjelasan. Di dalam syariat islam, bertransaksi yang menyangkut


aspek ketidakjelasan tidak diperbolehkan. Dalam asuransi konvensional, peserta tidak
mengetahui apakah ia akan mendapatkan klaim atau tidak sebab klaim bergantung pada risiko
yang menimpanya. Adapun risiko merupakan ketidakjelasan, bisa terjadi bisa juga tidak terjadi.
Bila terjadi risiko, maka nasabah akan mendapatkan klaim. Begitu sebaliknya, bila risiko tidak
terjadi, maka nasabah tidak mendapatkan klaim, Lain halnya dengan asuransi berprinsip pada
syariah. Asuransi syariah berkonsep pada sharing of risk, sehingga ketidakjelasan risiko tidak
menjadi gharar. Risiko yang mungkin akan terjadi menjadi sesuatu yang perlu diwaspadai.
Artinya, bila terjadi sesuatu, sesama nasabah akan saling membantu terhadap nasabah lain yang
mengalami musibah. Dana tersebut diambilkan dari dana tabarru yang dikelola oleh perusahaan
asuransi syariah. Pemberian klaim bukan diambilkan dari dana perusahaan

12
Ibid, hlm 134
9. Prinsip menghindari Risywah

Risywah artinya sogok menyogok atau suap menyuap. Dalam menjalankan usahanya,
baik perusahaan asuransi syariah maupun pihak nasabah harus benar-benar menjauhi risywah.
Mengapa? Sebab apapun alasannya, risyah pasti akan menguntungkan satu pihak dan akan
merugian pihak yang lainnya. Misalnya: nasabah tidak diperbolehkan menyogok pegawai
asuransi supaya mendapatkan manfaat klaim.13

10. Prinsip Berserah Diri dan Ikhtiar

Tentunya Anda telah mengetahui segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah milik Sang
Pencipta. Sebagai hamba Allah selaku khalifah di muka bumi, manusia diwajibkan untuk
memanfaatkan rezeki yang telah dititipkan oleh-Nya untuk kemaslahatan manusia. Oleh
karenanya, kita diwajibkan untuk saling tolong menolong dan bekerja sama.

11. Prinsip Saling Bertanggung Jawab

Setiap muslim memiliki rasa tanggung jawab terhadap sesamanya. Munculnya rasa
tanggung jawab tersebut atas dasar sifat saling menyayangi dan saling membantu. Hal ini akan
menumbuhkan pada setiap orang mementingkan kebersamaan untuk mendapatkan kemakmuran
bersama. Kemakmuran akan mewujudkan masyarakat yang beriman, takwa, dan harmonis.

12. Prinsip Saling Melindungi dan Berbagi Kesusahan

Setiap peserta asuransi akan saling melindungi dari kesusahan. Hal ini dikarenakan
keselamatan dan keamanan merupakan kebutuhan pokok bagi semua orang. Pada prinsipnya,
Islam mengajarkan bahwa yang kuat melindungi yang lemah, orang kaya LMmelindungi orang
miskin, dan pemerintah melindungi kesejahteraan masyarakatnya.

Prinsip-prinsip tersebut harus diterapkan secara benar, agar dalam pelaksanaan usaha
asuransi syariah membawa manfaat pada masyarakat dan perusahaan asuransi tumbuh sehat
dalam perekonomian suatu negara.14

Dalam asuransi syariah syarat – syarat sah dalam melakukan kontrak perjanjian asuransi
mencakup tidak hanya menaati peraturan yang telah ditetapkan oleh hukum positif Indonesia,

13
Ibid, hlm 135
14
Ibid, hlm 136
dalam hal ini pasal 1320 KUHPerdata(terlampir) dan Pasal 251 KUHD (terlampir), tetapi juga
harus memperhatikan aspek – aspek syariah, yang dalam hal ini telah diatur oleh Fatwa DSN
NO: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum asuransi syariah(terlampir) serta bagaimana
hukum-hukum fiqh yang telah ditetapkan para imam mazhab. Dalam hukum perjanjian islam,
syarat perjanjian (aqad) dibagi menjadi dua.

Pertama: syarat adanya (terbentuknya) akad (Surut al-inighat), yaitu dimana apabila syarat ini
tidak dipenuhi akad tidak ada atau tidak terbentuk dan akadnya disebut batal.

Kedua: syarat sahnya akad, yaitu syarat dimana apabila tidak terpenuhinya lanta perjanjian itu
tidak ada atau tidak berbentuk. Bisa saja akadnya ada dan telah terbentuk karena syarat adanya
(terbentuknya) telah terpenuhi, hanya saja akad dianggap belum sempurna dan masih memiliki
kekurangan dan dalam keadaan demikian akad tersebut oleh para ahli hukum hanafi disebut
dengan akad Fasid dan harus dibatalkan.

Syarat syahnya ada lima macam yaitu:

 Tidak ada paksaan,


 Tidak menimbulkan kerugian (darar),
 Tidak mengandung ketidakjelasan (garar),
 Tidak mengandung riba, dan
 Dan tidak mengandung syarat Fasid.

Apabila syarat ada , dan syarat sahnya akad telah terpenuhi, maka akad tersebut tergolong akad
yang sah. Namun akad sah itu dari segi kekuatan hukumnya masih dibedakan lagi menjadi:

(1). Akad Mauquf, yaitu akad yang tergantung kepada ijin pihak ketiga, misalnya wali dalam
kasus akad yang dibuat anak dibawah perwaliannya

(2). Akad Nafis, yaitu akad yang didalamnya masih terdapat khiyar salah satu pihak

(3). Akad lazim, yang merupakan akad yang paling sempurna wujudnya dan bias melahirkan
akibat hukum penuh, dimana tidak lagi tergantung kepada ijin pihak ketiga atau tidak lagi
mengandung unsure khiyar salah satu pihak.

Dalam kerangka terpenuhinya kriteria syarat sahnya perjanjian dalam islam, maka
prinsip-prinsip hukum asuransi ditepatkan sebagai akad yng lazim. Jadi apabila perjanjian
asuransi yang tidak mematuhi prinsip-prinsip tersebut perjanjian asuransi tidak sah sebagaimana
kedudukna syarat sah perjanjian dalam hukum islam. Prinsip-prinsip hukum asuransi tidak
bertentangan dengan apa yang dikehendaki akad, bahkan sebaliknya dapat menguatkan
terwujudnya apa yang dikehendaki akad itu sendiri. Karena syarat tersebut akan lebih
memantapkan perjanjian dari unsure-unsur yang dilarang syara’. Adanya prinsip-prinsip asuransi
tersebut tidak bertentangan dengan Nass. Syarat-syarat yang tidak bertentangan dengan dalil
Nass yang tegas atau prinsip syariat adalah syarat yang diperbolehkan.15

BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
Sahnya perjanjian Asuransi tidak serta merta hanya dilihat dalam ketentuan Pasal
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata saja, yaitu hanya sebatas terpenuhinya
keempat syarat berikut. Kesepakatan, Kewenangan, Objek Tertentu, Kausa yang Halal,
15
Ahmad Sopyan, Syarat-Syarat Sah Perjanjian Asuransi, dikutip dari
https://www.google.co.id/amp/s/ahmadsopyan.wordpress.com/2010/01/14/syarat-syarat-sah-perjanjian-
asuransi/amp/, diakses tanggal 9 Juni 2020 pukul 20.00 WIB.
dan Pemberitahuan. Namun dapat dilihat dalam ketentuan Pasal yang terkait dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang dan UndangUndang Nomor. 2 Tahun 1992 Tentang
Usaha Perasuransian, bahwa perjanjian asuransi tersebut sah khususnya mengenai objek
yang diatur haruslah jelas pengaturannya. Dalam perjanjian asuransi pihak tertanggung
membayarkan sejumlah premi kepada pihak penanggung yakni perusahaan asuransi dan
pihak tertanggung menerima polis asuransi sebagai bukti bahwa perjanjian tersebut sah
dilakukan serta pengaturan mengenai objeknya sudah sangat jelas.
Akibat hukum dengan disetujuinya suatu perjanjian dijabarkan dalam Pasal 1338
KUHPerdata sebagai berikut.“(1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. (2) Perjanjian tidak dapat ditarik
kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan yang boleh undang-
undang dinyatakan cukup untuk itu.(3) Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik.”. Sedangkan akibat hukum tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian ada dua yaitu
dapat dibatalkan ataupun batal demi hukum.
Syarat sah dalam perjanjian asuransi syariah antara lain tidak ada paksaan,tidak
menimbulkan kerugian (darar), tidak mengandung ketidakjelasan (garar), tidak
mengandung riba, dan tidak mengandung syarat Fasid. Al-Qur'an dan Sunnah tidak
menjelaskan secara tekstual tentang ketentuan Asuransi Syariah, tetapi di dalamnya
terdapat seperangkat prinsip-prinsip umum yang mengatur bagi adanya penjaminan atau
pertanggungan. Oleh karena itu, para ulama menggali prinsip-prinsip muamalah dalam
Al-Qur'an dan Sunnah sebagai landasan hukum bagi pembentukan lembaga keuangan
syariah nonbank sejenis Asuransi Syariah. Prinsip-prinsip tersebut antara lain prinsip
tauhid, prinsip keadilan, prinsip tolong menolong, prinsip amanah, prinsip saling rida,
prinsip menghindarkan riba, prinsip menghindari maisir, prinsip menghindari gharar,
prinsip menghindari risywah, prinsip berserah diri dan ikhtiar, prinsip saling bertanggung
jawab, dan prinsip saling melindungi dan berbagi kesusahan.

B. SARAN
Indonesia merupakan negara hukum, kesadaran masyarakat akan hukum haruslah
ditingkatkan. Para pihak harus menyadari bahwa dalam hal membuat suatu perjanjian
merupakan suatu perbuatan hukum yang pasti diikuti dengan ketentuan-ketentuan khusus
di dalamnya. Dalam membuat suatu perjanjian asuransi, para pihak harus mengindahkan
peraturan yang ada, maka keempat syarat sah perjanjian menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana harus dipenuhi. Selain itu, ketentuan Pasal yang terkait dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang dan UndangUndang Nomor. 2 Tahun 1992 Tentang
Usaha Perasuransian harus juga menjadi suatu patokan bagi para pihak sebelum membuat
suatu perjanjian. Di dalam ketentuan-ketentuan tersebut disebutkan bahwa perjanjian
asuransi tersebut sah khususnya mengenai objek yang diatur haruslah jelas
pengaturannya.

Dalam hal membuat suatu perjanjian asuransi syariah pun, para pihak harus
memenuhi syarat sah menurut hukum islam. Berbeda halnya dengan perjanjian asuransi
biasa, asuransi syariah sangat terpatok pada prinsip-prinsip muamalah dalam Al-Qur'an
dan Sunnah sebagai landasan hukum bagi pembentukan lembaga keuangan syariah
nonbank sejenis Asuransi Syariah, karena apabila perjanjian asuransi yang dilakukan
tersebut tidak mematuhi prinsip-prinsip tersebut maka perjanjian asuransi tidak sah
sebagaimana kedudukn syarat sah perjanjian dalam hukum islam.
DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir, Muhammad. 2011. Hukum Asuransi Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Legowo, Punggung Aryo dan Adiek Novita Ratna Merdianti. 2013. Perbankan buku 4 asuransi

untuk SMK/MAK. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan.

Rastuti, Tuti. 2016. Aspek hukum perjanjian asuransi. Yogyakarta: Medpress digital.

Sembiring, Sentosa. 2014. Hukum Asuransi. Bandung: PT Nuansa Aulia.

Sopyan, Ahmad. 2010. Syarat-Syarat Sah Perjanjian Asuransi. Dikutip dari

https://www.google.co.id/amp/s/ahmadsopyan.wordpress.com/2010/01/14/syarat-syarat-sah-

perjanjian-asuransi/amp/, diakses tanggal 9 Juni 2020 pukul 20.00 WIB.

Dewitasari, Yulia. Akibat Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Perjanjian Apabila Terjadi

Pembatalan Perjanjian. Dikutip dari https://ojs.unud.ac.id, diakses pada tanggal 7 Juni 2020

pukul 21.22 WIB.

Anda mungkin juga menyukai