Asuransi Syariah
Nama Kelompok:
Puji syukur penyusun haturkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena berkat
rahmat, karunia dan hidayahnya sehingga penulisan makalah yang berjudul
“Studi Komparatif Antara Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah“ dapat
penulis selesaikan. Makalah ini disusun sebagai tugas semester empat mata
kuliah Hukum Asuransi dan Pengangkutan Niaga yang diberikan oleh dosen
pengajar. Penulis sadar bahwa dalam penulisan makalah ini masih ditemukan
kelemahan dan kekurangan. Oleh sebab itu, penulis memohon maaf dan berbesar
hati menerima kritik dan saran apabila pembaca menemukan kesalahan dalam
makalah ini. Begitupula penulis berterima kasih pada dosen yang sudah berkenan
memberikan pengetahuan kepada penulis, sehingga penulis terus mendapatkan
ilmu khususnya berkaitan tentang mata kuliah ini. Penulis berharap semoga
makalah ini dapat menambah wawasan dan bermanfaat bagi kita semua.
Kata Pengantar
BAB I: Pendahuluan
A. Pengertian Asuransi
B. Pengertian Asuransi Syariah
C. Sejarah Asuransi
D. Sejarah Asuransi Syariah
E. Dasar hukum Asuransi
F. Dasar Hukum Asuransi Syariah
G. Prinsip Asuransi Konvensional
H. Prinsip Asuransi Syariah
I. Tujuan Asuransi Konvensional dan Syariah
Asuransi merupakan sesuatu yang sudah tidak asing lagi dikalangan masyarakat
Indonesia. Perkembangan asuransi di Indonesia saat ini telah mengalami kemajuan yang
sangat pesat. Berbagai perusahaan asuransi berlomba lomba menawarkan program
asuransi baik bagi masyarakat maupun perusahaan.
Resiko di masa datang dapat terjadi terhadap kehidupan seseorang misalnya kematian,
sakit atau dipecat dari pekerjaan. Dalam bisnis yang dihadapi dapat berupa resiko
kebakaran, kerusakan atau kehilangan. Setiap resiko yang akan dihadapi harus
ditanggulangi, sehingga tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi. Maka
diperlukan perusahaan yang mau menanggung resiko tersebut yaitu perusahaan asuransi.
Di bidang bisnis inilah asuransi semakin berkembang, terutama dalam hal perlindungan
terhadap barang perdagangannya. Namun, perkembangan ini tidak sejalan dengan
kesesuaian praktik asuransi terhadap syariah. Meskipun demikian, dengan banyaknya
kajian terhadap praktik perekonomian dalam perspektif hukum Islam, asuransi mulai
diselaraskan dengan ketentuan-ketentuan syariah. Oleh karena itu muncullah Asuransi
Syariah.
Kebutuhan akan asuransi di satu pihak dan semangat mengamalkan ajaran Islam di pihak
lain menjadi tidak problematis lagi dengan bermunculannya asuransi Islam yang lazim
disebut takaful, dan takaful akan sangat prospektif sebagai lembaga bisnis asuransi
alternatif. Namun perkembangan dan kemajuan takaful akan sangat tergantung pada
tingkat pemaahaman masyarakat muslim khususnya terhadap takaful sebagai asuransi
Syari'ah dan perbedaannya dengan asuransi konvensional. Maka dalam makalah
sederhana ini penulis akan mencoba mengulas hukum asuransi konvensional serta
asuransi syariah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan asuransi?
2. Apa prinsip-prinsip yang mendasari asuransi baik konvensional maupun
syariah?
3. Apa tujuan dari asuransi?
4. Apa sajakah perbedaandan persamaan antara asuransi konvensional dan
syariah?
A. Pengertian Asuransi
Istilah asuransi berasal dari bahasa Belanda ”Verzekering atau Assurantie”. OlehR
Sukardono diterjemahkan dengan pertanggungan, dalam bahasa Inggris disebut
“Insurance”.Istilah asuransi dan pertanggungan mempunyai persamaanpengertian,
istilah pertanggungan ini umum dipakai dalam literatur hukum dan kurikulum perguruan
tinggi hukum di Indonesia, sedangkan istilah asuransi banyak dipakai dalam praktik
dunia usaha.
Perasuransian adalah istilah hukum (legal term) yang dipakai dalam perundangundangan
dan perusahaan perasuransian. Istilah perasuransian berasal dari kata “asuransi” diberi
yang berarti segala usaha yang berkenaan dengan asuransi. Usaha yang berkenaan
dengan asuransi ada 2 (dua) jenis, yaitu1:
1
Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
2004, hlm. 5
b. Usaha dibidang kegiatan penunjang usaha asuransi disebut usaha penunjang usaha
asuransi. Perusahaan yang menjalankan usaha penunjang usaha asuransi disebut
Perusahaan Penunjang Asuransi.
2
Abdulkadir Muhammad, Ibid, hlm. 8
5) Unsur hubungan asuransi
Hubungan asuransi yang terjadi antara penanggung dan tertanggung adalah
keterikatan (legally bound) yang timbul karena persetujuan atau kesepakatan bebas.
Keterikatan tersebut berupa kesediaan secara sukarela dari penanggung dan
tertanggung untuk memenuhi kewajiban dan hak masing-masing terhadap satu sama
lain, yang artinya sejak tercapainya kesepakatan asuransi tertanggung terikat dan
wajib membayar premi asuransi kepada penanggung dan sejak itu pula penanggung
menerima pengalihan risiko.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang
Usaha Perasuransian (UUUP)
“asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan
mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima
premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena
kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yangdiharapkan, atau tanggung
jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan di derita tertanggung, yang
timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu
pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang di
pertanggungkan”.
Asuransi adalah upaya yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kemungkinan timbul
kerugian akibat terjadi peristiwa yang tidak pasti dan tidak diinginkan. Melalui
perjanjian asuransi kemungkinan peristiwa yang menimbulkan kerugian yang
mengancam kepentingan tertanggung itu dialihkan kepada Perusahaan Asuransi selaku
penanggung dan sebagai imbalannya tertanggung bersedia untuk membayar sejumlah
premi yang telah disepakati. Dalam hal ini, tertanggung yang berkepentingan akan
merasa aman dari ancaman kerugian, sebab jika kerugian itu betul-betul terjadi
penanggunglah yang akan menggantinya.3
3
Abdulkadir Muhammad, Op.Cithlm. 162
berasal dari ketentuan-ketentuan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.4Asuransi merupakan
cara atau metode untuk memelihara manusia dalam menghindari resiko (ancaman)
bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan kegiatan
hidupnya atau dalam aktivitas ekonominya.5
Dalam ensiklopedi hukum Islam telah disebutkan bahwa asuransi adalah transaksi
perjanjian antara dua pihak, dimana pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan
pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran
jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat.6
Abbas Salim berpendapat, bahwa asuransi adalah suatu kemauan untuk menetapkan
kerugian-kerugian kecil (sedikit) yang sudah pasti sebagai pengganti (subsitusi)
kerugian-kerugian yang belum pasti.7
Dalam pengertian asuransi di atas, menunjukkan bahwa asuransi mempunyai unsur-
unsur sebagai berikut :
Jadi asuransi syariah adalah suatu pengaturan pengelolaan risiko yang memenuhi
ketentuan syariah, tolong-menolong secara mutual yang melibatkan peserta dan
perusahaan asuransi.9
4IqbalMuhaimin, Asuransi Umum Syariah dalam Praktik, Gema Insani Press, Jakarta, 2005), 2.
5
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah, (Jakarta: Gema Insani, 2004), 28.
6
AM. Hasan Ali, Masail Fiqhiyah : Zakat, Pajak, Asuransi, dan Lembaga Keuangan, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2003), 95.
7
Abbas Salim, Dasar-dasar Asuransi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), 1.
8
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), 11.
9
Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah Dalam Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2006), 2.
Prinsip utama dalam asuransi syaiah adalah ta’awunu ‘ala al birr wa altaqwa (tolong
menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan takwa) dan alta’min (rasa aman).
Prinsip ini menjadikan para anggota atau peserta asuransi sebagai sebuah keluarga besar
yang satu dengan lainnya saling menjamin dan menanggung risiko. Hal ini disebabkan
transaksi yang dibuat dalam asuransi syariah adalah akad takafuli (saling menanggung),
bukan akad tabaduli (saling menukar) yang selama ini digunakan oleh asuransi
konvensional, yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan.
C. Sejarah Asuransi
1. Sebelum Masehi
Pada jaman kebesaran Yunani di bawah kekuasaan Alexander The Great seorang
pembantunya yang bernama Antimenes memerlukan banyak uang untuk guna
membiayai pemerintahan pada waktu itu. Untuk mendapatkan uang tersebut
Antimenes Mengumumkan kepada para pemilik budak supaya mendaftarkan
budak budaknya dan membayar sejumlah uang tiap tahun kepada Antimenes.
Sebagai imbalanya, Antimenes menjanjikan kepada mereka jika ada budak yang
melarikan diri, maka dia akan memerintahkan supaya budak itu di tangkap, atau
jika tidak ditangkap akan dibayar dengan sejumlah uang sebagai gantinya.
Apabila ditelaah dan diteliti, uang yang diterima oleh Amjmenes dari pemilik
budak adalah semacam premi yang di terima dari tertanggung, sedangkan
kesanggupan Antimenes untuk menangkap budak yang melarikan diri atau
membayar ganti kerugian karena karena budak yang hilang adalah semacam
resiko yang dipikul oleh penanggung. Perjanjian ini dengan asuransi kerugian.
2. Abad Pertengahan
Peristiwa peristiwa hukum yang telah diuraikan diatas terus berkembang pada
abad pertengahan. Di Inggris sekelompok orang yang mempunyai profesi sejenis
membentuk satu perkumpulan yang disebut gilde. Pekumpulan ini mengurus
kepentingan anggota anggotanya dengan berjanji apabila ada anggota yang
kebakaran rumah, gilde akan memberikan sejumlah uang yang diambil dari dana
gilde yang terkumpul dari anggota anggota. Perjanjian ini banyak terjadi pada ke
9 dan mirip dengan asuransi kebakaran.
Bentuk perjanjian seperti ini lebih lanjut berkembang di Denmark, Jerman dan
negara negara eropa lainnya sampai pada abad ke-12. Pada abad ke-13 dan
pertengahan abad ke-14 perdagangan melalui laut mulai berkembang pesat. Akan
tetapi. tidak sedikit bahaya yang mengancam dalam perjalanan perdagangan
melalui laut. Keadaan ini untuk mencari upaya yang dapat mengatasi
kemungkinan kerugian yang timbul melalui laut. Inilah perkembangan asuransi
kerugian laut.
Perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat pada abad ke 20 berdampak positif
pada perkembangan usaha bidang perasuransian. Kegiatan usaha tidak hanya
bidang perasuransian, tetapi juga bidang penunjang asuransi. Pembangunan
bidang prasarana transportasi sampai daerah pelosok mendorong perkembangan
samua utransportasi darat. laut dan udara serta meningkatkan mobilitas
penumpang dari suatu daerah ke daerah bahkan ke negara lain. Ancaman bahaya
lalu lintas juga makin meningkat. sehingga kebutuhan perlindungan terhadap
barang muatan dan jiwa penumpang juga meningkat. keadaan ini mendorong
perkembangan perusahaan asuransi kerugian dan asuransi jiwa serta asuransi
sosial.10
Sejak zaman Rasulullah Saw., hingga saat ini kaum muslimin memiliki peran
penting dalam mengenalkan sistem asuransi kepada dunia. Pada tahun 200 H..
banyak pengusaha muslim yang memulai merintis sistem takaful, sebuah sistem
pengumpulan dana yang akan digunakan untuk menolong para pengusaha satu
sama lain yang sedang menderita kerugian : seperti ketika kapal angkutan
barangnya menabrak karang dan tenggelam, atau ketika seseorang dirampok yang
mengakibatkan kehilangan sebagian atau seluruh hartanya. Istilah tersebut lebih
dikenal dengan nama “Shaking of Risk".
Kini para ahli ekonomi dan masyarakat Muslim menyadari bahwa dalam Islam
terdapat sistem ekonomi yang terbaik untuk selumh umat manusia selain sebagai
sistem hidup terbaik. mereka mencoba membangkitkan kembali semangat tolong
menolong dalam bidang ekonomi. di antaranya dengan mendirikan perusahaan
asuransi syariah. Asuransi syariah penama kali didirikan di Bahrain, lalu dengan
cepat diikuti oleh negara muslim lain, termasuk Indonesia.
Keberhasilan asuiansi syariah ini kemudian diikuti oleh berdirinya Dar al Mal al
Islami di Geneva. Swiss dan Takaful Islami di Luxemburg. Takaful Islam
Bahamas di Bahamas dan alTakaful al Islami di Bahrain pada tahun 1933.
Di Malaysia, Syarikat Takaful Sendirian Berhad berdiri pada tahun 1984. Di Asia
Tenggara sendiri, asuransi syariah pertama kali diperkenalkan di Malaysia pada
tahun 1985 melalui sebuah perusahaan asuransi jiwa bernama Takaful Malaysia,
selanjutnya diikuti oleh negara negara lain seperti Brunei, Singapura, dan
Indonesia. Hingga saat ini asuransi syariah semakin dikenal luas dan diminati
oleh masyarakat dan negara negara muslim maupun non muslim.
Saat ini. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan jumlah operator
asuransi syariah cukup banyak di dunia. Berdasarkan data Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) terdapat 49 pemain asuransi
syariah di Indonesia yang telah mendapatkan rekomendasi syariah, tiga
reasuransi syariah, dan enam broker asuransi dan reasuransi syariah dimana
perusahaan asuransi yang benar benar secara penuh beroprasi sebagai perusahaan
asuransi syariah ada tiga, yaitu Asuransi Takaful Keluarga, Asuransi Takaful
Umum, Asuransi Mubarakah.“
Menguatkan data empiris. bahwa temyata aqilah yang sudah berlaku semenjak
zaman Rasullullah Muhammad saw., menurut Moslehuddin. aqilah mengandung
beberapa alasan penting sebagai berikut :
Dalam KUH Dagang ada 2 cara pengaturan Asuransi, yaitu pengaturan yang
bersifat umum dan yang bersifat khusus. Pengaturan yang bersifat umum terdapat
dalam Buku I bab 9 pasal 246-286 KUD Dagang yang berlaku bagi semua jenis
asuransi, baik yang sudah diatur didalam KUHD maupun diluar KUHD. Kecuali
jika secara khusus ditentukan lain. Pengaturan yang bersifat khusus terdapat
dalam Buku I Bab 10 pasal 287-308 KUHD dan Buku II Bab 9 dan Bab 10 Pasal
592 -695 KUHD dengan rincian sebagai berikut:
a. Asuransi Kebakaran pasal 287-298 KUHD.
b. Asuransi Hasil Pertanian pasal 299-301 KUHD.
c. Asuransi Jiwa pasal 308 KUHD.
d. Asuransi Pengangkutan Laut dan Perbudakan pasal 592-685 KUHD
11
Abdullah amrin, Meraih Berkah Melalui Asuransi Syariah, Op. Cit Hlm 3
e. Asuransi Pengangkutan Darat, Sungai dan Perairan Pedalaman pasal 686-
695 KUHD.12
12
Muhammad Abdulkhadir, Op.cit, Hal.18.
segi subtansi Undang-Undang No 40 Tahun 2014 mengatur lebih lengkap dari undang
undang yang lama. Namun perbedaan yang paling signifikan yaitu terlihat dari segi
pengawasan yang berpindah ahli dari menteri keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan
(OJK).13
13
Zulkarnain Sitompul, Konsepsi dan Transformasi Otaritas Jasa Keuangan, (Jakarta: 2014),
Hal.345.
14
Ibid, Hal.346.
F. Dasar Hukum Asuransi Syariah
Usaha perasuransian di Indonesia pada awalnya diatur di dalam pasal 246 Kitab
Undang-undang Hukum Dagang atau Wetboek van Koophandel. pada perkembangannya
dibuat suatu regulasi yang khusus mengenai usaha perasuransian, yaitu Undang-undang
No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Menurut undang-undang tersebut
didalam asuransi mengandungtiga unsur yang terdiri dari pihak penanggung, pihak
tertanggung dan peristiwa yang tidak pasti. Selain itu, tedapat regulasi lain yang
digunakan sebagai perintah pelaksanaan dari Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang
Usaha Perasuransian, yaitu Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 1999 tentang perubahan
atas Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha
Perasuransian. Regulasi lain yang mengatur Asuransi diselenggarakan oleh Badan Usaha
Milik Negara seperti Jasa Raharja (Asuransi Sosial Kecelakaan Penumpang), Astek
(Asuransi Sosial Tenaga Kerja), dan Askes (Asuransi Sosial Pemeliharaan kesehatan).15
Di Indonesia belum ada regulasi yang membahas secara khusus mengenai asuransi
syariah. Seharusnya ada regulasi tersendiri yang berkaitan dengan asuransi syariah
karena asuransi syariah dalam banyak hal berbeda dengan asuransi konvensional yang di
dalamnya mengandung unsur-unsur yang dilarang dalam ajaran Islam, seperti gharar,
maisyir dan riba.Dari segi hukum positif, asuransi syariah mendasarkan legalitasnya
pada Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang sebenarnya
kurang mengakomodasi asuransi syariah di Indonesia karena tidak mengatur keberadaan
asuransi berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Untuk
merespon akan kebutuhan regulasi asuransi syariah ini, maka Majelis Ulama Indonesia
melalui lembaganya yang khusus menangani ekonomi syariah, yaitu Dewan Syariah
Nasional mengeluarkan fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum
Asuransi Syariah. Dewan Syariah Nasional lebih lanjut mengeluarkan fatwa lain yang
masih berkaitan dengan asuransi syariah, yaitu fatwa No. 39/DSN-MUI/X/2002 tentang
Asuransi Haji, fatwa No. 51/DSN-MUI/ III/2006 tentang Mudharabah Musytarakah pada
Asuransi Syariah, serta fatwa No. 53/DSN-MUI/III/2006 tentang akad Tabarru’ pada
Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah. Secara teknis operasional usaha perasuransian
syariah mengacu pada
beberapa pengaturan, antara lain:
15
Andri Soemitra, Bank, 251.
1. Surat Keputusan Dirjen Lembaga Keuangan No. 4499/LK/2000 tentang Jenis,
Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi Syariah dengan sistem syariah. Peraturan ini menjelaskan beberapa
jenis investasi bagi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan
prinsip syariah, antara lain:
a. Deposito dan Sertifikat deposito syariah;
b. Sertifikat wadiah Bank Indonesia
c. Saham syariah yang tercatat di bursa efek;
d. Obligasi syariah yang tercatat di bursa efek;
e. Surat berharga syariah yang diterbitkan atau dijamin oleh
Pemerintah;
f. Penyertaan langsung syariah;
g. Bangunan atau tanah dengan bangunan untuk investasi;
h. Pembiayaan kepemilikan tanah dan atau bangunan kendaraaan
bermotor dan barang modal dengan skema murabahah ( jual beli
dengan pembayaran ditangguhkan)
i. Pembayaran modal kerja dengan skema mudhorobah ( bagi hasil );
j. Pinjaman polis.
1. Insurable Interest
Pada dasarnya merupakan hak berdasarkan hukum untuk mempertanggungkan
suatu risiko yang berkaitan dengan keuangan, yang diakui sah secara hukum
antara tertanggung dengan sesuatu yang dipertanggungkan. Syarat yang perlu
dipenuhi agar memenuhi kriteria insurable interest:
a. Kerugian tidak dapat diperkirakan
Risiko yag dapat diasuransikan berkaitan dengan kemungkinan terjadinya
kerugian. Kerugian tersebut harus dapat diukur. Selanjutnya kemungkinan
terjadinya resiko tersebut tidak dapat diperkirakan terjadinya.
b. Kewajaran
Risiko yang dipertanggungkan dalam asuransi adalah benda ataupun harta
yang memiliki nilai material baik bagi tertanggung maupun penanggung
c. Catastrophic
Agar suatu barang atau harta dapat diasuransikan, risiko yang mungkin
terjadi haruslah tidak akan menimbulkan suatu kemungkinan rugi yang
sangat besar.
d. Homogen
Untuk memenuhi syarat dapat diasuransikan, barang atau harta yang akan
dipertanggungkan haruslah homogen, yang berarti banyak barang atau harta
yang sejenis.
2. Itikad Baik (Utmost Good Faith)
Dalam melakukan kontrak asuransi, kedua belah pihak dilandasi oleh itikad baik
(utmost good faith). Pihak penanggung perlu menjelaskan secara lengkap hak
dan kewajibannya selama masa asuransi. Pihak tertanggung juga perlu
mengungkapkan secara rinci kondisi yang akan diasuransikan sehingga pihak
penanggung mempunyai gambaran yang memadai untuk menentukan
persetujuan. Kewajiban dari kedua belah pihak untuk mengungkapkan fakta
disebut duty of disclosure. Faktor-faktor yang melanggar duty of disclosure
adalah:
a. Nondisclosure
Adanya data-data penting yang tidak diungkapkan sehingga menyalahi
utmost good faith.
b. Concealment
Secara sengaja melakukan kebohongan dan tidak mengungkapkan fakta
penting.
c. Fraudulent Misrepresentation
Sengaja memberikan gambaran yng tidak cocok dengan kondisi riil.
d. Innocent Misrepresentation
Secara tidak sengaja member gambaran yang salah yang memiliki pengaruh
besar dalam proses asuransi.
3. Indemnity
Konsep indemnity adalah mekanisme penanggung untuk mengompensasi risiko
yang menimpa tertanggung dengan ganti rugi financial. Prinsip indemnity tidak
dapat diterapkan dalam asuransi kecelakaan dan kematian. Indemnity ini dapat
dilakukan dengan beberap cara yakni pembayaran tunai, penggantian, perbaikan,
dan pembangunan kembali.
4. Proximate Cause
Adalah suatu sebab aktif, efisien yang mengkibatkan terjadinya suatu peristiwa
secara berantai atau berurutan tanpa intervensi suatu ketentuan lain, diawali atau
bekerja dengan aktif dari suatu sumber baru dan independen.
5. Subrogation
Merupakan hak penanggung yang telah memberikan ganti rugi kepada
tertanggung untuk menuntut pihak lain yang mengakibatkan kepentingan
asuransinya mengalami suatu peristiwa kerugian.
6. Kontribusi
Yaitu bahwa penanggung berhak mengajak penanggung-penanggung lain yang
memiliki kepentingan yang sama untuk ikut bersama membayar ganti rugi
kepada seorang tertanggung meskipun jumlah tanggungan masing-masing belum
tentu sama besar.16
16
Triandaru, Sigit dan Totok Budisantoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat,
Jakarta, 2009
Prinsip- prinsip asuransi merupakan dasar pijakan setiap ada masalah yang timbul
dalam kontrak asuransi. Pada asuransi syariah selain lima prinsip yang terdapat pada
asuransi konvensional juga diperkaya dengan prinsip-prinsip tambahan, yaitu:
a. Prinsip ikhtiar dan berserah diri; Allah adalah pemilik mutlak atas segala
sesuatu, karena itu menjadi kekuasaan-Nya pula untuk memberikan atau
mengambil segala sesuatu yang Dia Kehendaki
b. Prinsip saling membantu dan bekerja sama; asuransi syariah mengubah kontrak
dimana seluruh peserta adalah pihak yang menanggung risiko bersama bukan
perusahaan.
c. Prinsip saling melindungi dari berbagai macam kesusahan,kesulitan dan tidak
membiarkan uang menaganggur atau tidak berputar dalam transaksi yang
bermanfaat bagi masyarakat umum.17
d. Akad yang digunakan adalah akad yang tidak mengandung gharar (penipuan),
maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram
dan maksiat sehingga pihak-pihak yang terikat akad saling bertanggung jawab.
Akad tersebut harus memenuhi ketentuan :
1. hak dan kewajiban peserta dan perusahaan,
2. cara dan waktu pembayaran premi,
3. jenis akad apakah akad tijarah atau tabarru’
(a) akad tabarru’ (hibah) digunakan dalam hubungan antara sesama
pemegang polis dimana peserta memberikan hibah yang akan
digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah.
(b) Akad tijarah hubungan antara pemegang polis dengan perusahaan
asuransi (mudharabah/musyarakah, wakalah bil ujrah )Investasi atas dana
yang terkumpul dari klien yang dikelola oleh perusahaan asuransi syariah
harus dilakukan sesuai ketentuan syariah.18
Tujuan utama dari perusahaan asuransi konvensional adalah murni bisnis. Seperti
kebanyakan bisnis lain tujuan tersebut adalah untuk mendapatkan profit yang besar. Hal
17
Andri Soemitra,M.A.,”Bank & Lembaga Keuangan Syariah”,Jakarta, Kencana Prenada
Media Group, 2010, hlm.243-251
18
Ibid, hlm 261
ini terlihat dari dana yang diperoleh dari premi nasabah, semuanya menjadi milik
perusahaan.
Asuransi syariah, tujuan utamanya bukanlah untuk mendapatkan laba yang besar. Tujuan
utama asuransi syariah adalah mencari keuntungan untuk meningkatkan kesejahteraan
dan perjuangan umat. Hal ini terlihat dari visi dan misi yang diemban oleh asuransi
syariah, yaitu: misi aqidah, misi ibadah, misi isghtishodi, dan misi keumatan.
Perbedaan tujuan antara asuransi konvensional dan asuransi syariah akan berpengaruh
kepada pelaksanaan usaha asuransi tersebut. Transaksi yang sama antara kedua asuransi
tersebut bisa berbeda cara pengakuannya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan
tujuan yang harus dicapai oleh asuransi konvensional dan asuransi syariah.
Prinsip utama dalam asuransi syaiah adalah ta’awunu ‘ala al birr wa altaqwa (tolong
menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan takwa) dan alta’min (rasa
aman).19Tolong menolong dalam bahasa Al-Qur‟an disebut ta’awun adalah inti dari
semua prinsip dalam asuransi syariah.
Berikut ini adalah perbedaan yang terdapat di antara asuransi syariah dan asuransi
konvensional:
1. Pengelolaan Risiko
Pada dasarnya, dalam asuransi syariah sekumpulan orang akan saling membantu dan
tolong menolong, saling menjamin dan bekerja sama dengan cara mengumpulkan dana
hibah (tabarru). Dengan begitu bisa dikatakan bahwa pengelolaan risiko yang dilakukan
di dalam asuransi syariah adalah menggunakan prinsip sharingofrisk, di mana resiko
dibebankan/dibagi kepada perusahaan dan peserta asuransi itu sendiri.
Sedangkan di dalam asuransi konvensional berlaku sistem transfer ofrisk, di mana resiko
dipindahkan/dibebankan oleh tertanggung (peserta asuransi) kepada pihak perusahaan
asuransi yang bertindak sebagi penanggung di dalam perjanjian asuransi tersebut.
2. Pengelolaan Dana
19
H. A. Dzajuli dan Yadi Jazwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan),
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 131.
Pengelolaan dana yang dilakukan di dalam asuransi syariah bersifat transparan dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk mendatangkan keuntungan bagi para pemegang
polis asuransi itu sendiri.
3. Sistem Perjanjian
Di dalam asuransi syariah hanya digunakan akad hibah (tabarru) yang didasarkan pada
sistem syariah dan dipastikan halal. Sedangkan di dalam asuransi konvensional akad
yang dilakukan cenderung sama dengan perjanjian jual beli.
4. Kepemilikan Dana
Sesuai dengan akad yang digunakan, maka di dalam asuransi syariah dana asuransi
tersebut adalah milik bersama (semua peserta asuransi), di mana perusahaan asuransi
hanya bertindak sebagai pengelola dana saja. Hal ini tidak berlaku di dalam asuransi
konvensional, karena premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi adalah milik
perusahaan asuransi tersebut, yang mana dalam hal ini perusahaan asuransi akan
memiliki kewenangan penuh terhadap pengelolaan dan pengalokasian dana asuransi.
5. Pembagian Keuntungan
Di dalam asuransi syariah, semua keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan terkait
dengan dana asuransi, akan dibagikan kepada semua peserta asuransi tersebut. Namun
akan berbeda dengan perusahaan asuransi konvensional, di mana seluruh keuntungan
yang didapatkan akan menjadi hak milik perusahaan asuransi tersebut.
6. Kewajiban Zakat
Satu polis asuransi digunakan untuk semua anggota keluarga, sehingga premi yang
dikenakan oleh asuransi syariah juga akan lebih ringan. Hal ini tidak berlaku dalam
asuransi konvensional, di mana setiap orang akan memiliki polis sendiri dan premi yang
dikenakan tentu akan lebih tinggi.
Asuransi syariah juga memungkinkan kita untuk bisa melakukan doubleclaim, sehingga
kita akan tetap mendapatkan klaim yang kita ajukan meskipun kita telah
mendapatkannya melalui asuransi kita yang lain.
8. Pengawasan
Di dalam asuransi syariah, pengawasan dilakukan secara ketat dan dilaksanakan oleh
Dewan Syariah Nasional (DSN) yang dibentuk langsung oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dan diberi tugas untuk mengawasi segala bentuk pelaksanaan prinsip ekonomi
syariah di Indonesia, termasuk mengeluarkan fatwa atau hukum yang mengaturnya. Di
setiap lembaga keuangan syariah, wajib ada Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang
bertugas sebagai pengawas. DPS ini merupakan perwakilan dari DSN yang bertugas
memastikan lembaga tersebut telah menerapkan prinsip syariah secara benar.
DSN inilah yang kemudian bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap segala
bentuk operasional yang dijalankan di dalam asuransi syariah, termasuk menimbang
segala sesuatu bentuk harta yang diasuransikan oleh peserta asuransi, di mana hal
tersebut haruslah bersifat halal dan lepas dari unsur haram. Hal ini akan dilihat dari asal
dan sumber harta tersebut serta manfaat yang dihasilkan olehnya.
Berbeda halnya dengan asuransi konvensional, di mana asal dari objek yang
diasuransikan tidaklah menjadi sebuah masalah, karena yang dilihat oleh perusahaan
adalah nilai dan premi yang akan ditetapkan dalam perjanjian asuransi tersebut.
9. Instrumen Investasi
Hal ini juga menjadi sebuah perbedaan yang besar dalam asuransi syariah dan
konvensional. Di dalam asuransi syariah, investasi tidak bisa dilakukan pada berbagai
kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah dan mengandung unsur haram
dalam kegiatannya. Yang termasuk dalam kegiatan ini adalah:
Ketentuan seperti ini tentu saja tidak berlaku di dalam asuransi konvensional,
konvensional perusahaan akan karena pada dasarnya di dalam asuransi melakukan
berbagai macam investasi dalam berbagai instrumen yang ditujukan untuk
mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi perusahaan. Hal ini bisa
dilakukan tanpa menggunakan/mempertimbangkan haram atau tidaknya instrumen
investasi yang dipilih, karena pada dasarnya di dalam asuransi konvensional dana yang
dilekola adalah benar-benar dana milik perusahaan dan bukan milik pemegang polis
asuransi, dengan begitu perusahaan memiliki kewenangan penuh dalam penggunaan
dana tersebut, termasuk dalam memilih jenis investasi yang akan digunakan.
BAB IV Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka