ASURANSI
A. Asas Indemnitas Pada Asuransi Konvensional
Manusia sebagai makhluk Tuhan dianugerahi berbagai kelebihan. Oleh karena itu
manusia sebagai makhluk yang mempunyai sifat-sifat yang lebih dari makhluk lain
mencari daya upaya guna mengatasi rasa yang tidak aman tadi. Manusia dengan akal
budinya berdaya upaya untuk manggulangi rasa tidak aman tadi sehingga ia merasa
aman. Dengan daya upayanya tersebut manusia berusaha bergerak dari ketidakpastian
menjadi kepastian, sehinggaiaselaludapat menghindari atau mengatasi risiko-risikonya,
baik secara individual dan bersama- sama. Oleh karena itu upaya untuk menghadapi
ketidakpastian merupakan suatu karakter dari risiko yang menyebabkan kerugian bagi
manusia. Sifat alamiah manusia tentunya menghindari atau mengalihkan risiko yang
tidak pasti kapan terjadinya. Usaha manusia untuk mengalihkan risiko kepada pihak
lain di perjanjian asuransi melahirkan berbagai program yang secara pengaturan belum
ada aturan yang pasti dijadikan landasan pelaksanaan berbagai program asuransi
tersebut. Asuransi tumbuh karena semakin banyak berbagai risiko yang dihadapi
dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu upaya untuk menanggulangi risiko
tersebut adalah asuransi.
Asas indemnitas ini sebenarnya terlihat jelas pada Pasal 246 KUHD tersebut.
Sasaran yang ingin dicapai adalah menciptakan suatu keseimbangan antara risiko yang
dialihkan kepada penanggung dengan kerugian yang diderita oleh tertanggung. Jika
tertanggung mengharapkan lebih dari itu, maka ia akan berhadapan dengan hukum
perdata yang melarang untuk memperkaya diri secara melawan hukum atau
memperkaya diri tanpa hak.
Asas Indemnitas adalah satu asas utama dalam perjanjian asuransi, karena
merupakan asas yang mendasari mekanisme kerja dan memberi arah tujuan dari
perjanjian asuransi itu sendiri. Perjanjian asuransi mempunyai tujuan utama dan
spesifik ialah untuk memberi suatu ganti kerugian kepada pihak tertanggung oleh
pihak penanggung. Pengertian kerugian itu tidak boleh menyebabkan posisi keuangan
pihak tertanggung menjadi lebih diuntungkan dari posisi sebelum menderita kerugian.
Jadi, terbatas pada keadaan awal /posisi awal, artinya hanya mengembalikannya pada
posisi awal. Kitab Undang- undang Hukum Dagang, mengenai kepentingan,
mengaturnya dalam dua Pasal yaitu Pasal 250 dan pasal 268. Pasal 250:“apabila
seorang telah mengadakan suatu pertanggungan untuk diri sendiri, atau apabila
seorang yang untuknya telah diadakan suatu pertanggungan, pada saat diadakannya
pertanggungan itu tidak mempunyai suatu kepentingan terhadap barang yang
dipertanggungkan itu, maka si penanggung tidaklah diwajibkan memberikan ganti
rugi.”Pasal 268: “suatu pertanggungan dapat mengenai segala kepentingan yang dapat
dinilaikan dengan uang, dapat diancam oleh sesuatu bahaya, dan tidak dikecualikan
oleh undang-undang.” Jadi pada hakikatnya, setiap kepentingan itu dapat
diasuransikan/dipertanggungkan, baik kepentingan yang bersifat kebendaan atau
kepentingan yang bersifat hak, sepanjang memenuhi syarat yang diminta oleh Pasal
268 tersebut diatas, yaitu bahwa kepentingan itu dapat dinilai dengan uang, dapat
diancam bahaya dan tidak dikecualikan oleh undang-undang.
Asas indemnitas dapat disebut dengan asas ganti rugi yang seimbang, dimana
jumlah ganti rugi yang dibayarkan oleh penanggung harus seimbang dengan kerugian
riil yang diderita oleh tertanggung. Dengan asas ini berarti tertanggung tidak boleh
mengganti lebih dari kerugian yang diderita, karena tertanggung dilarang memperkaya
diri melalui asuransi.
Asas ini sejajar dengan aturan yang terdapat dalam fikih dimana tujuan ganti
kerugian adalah untuk menutupi kemaslahatan atau kerugian yang hilang oleh karena
itu ganti rugi tidak melebihi dari kerugian yang terjadi. Dalam perjanjian
pertanggungan (indemnitas) adakalanya suatu ganti rugi tidak diberikan pada
keseluruhan kerugian yang timbul. Ini dapat terjadi pada saat objek atau kepentingan
yang dipertanggungkan tidak secara keseluruhan. Dalam hal ini terjadi perbedaan
antara indemnitas dengan prinsip dhaman dalam fikih, dimana ganti rugi tidak boleh
kurang dari kerugian yang terjadi.
Pada asuransi syariah asas indemnitas juga berlaku dalam menentukan standard
ganti rugi (kafalah), jika melihat metode indemnitas yang terdapat dalam sistem
konvensional maka metode ini tidak cocok dipakai dalam asuransi syariah apabila
tujuan yang diharapkan adalah memberikan ganti rugi berdasarkan jumlah kerugian
yang timbul. Kafalah atau dhaman yang merupakan landasan ganti rugi dalam hukum
fikih menetapkan bahwa pemberian ganti rugi harus sesuai dengan kerugian yang ada
tanpa dikurangi atau dilebihkan nilainya. Berbeda halnya dengan indemnitas, dimana
prinsip yang berlaku tidak memenuhi standar ganti rugi seperti yang diharapkan oleh
kafalah (dhaman). Sebagai contoh, untuk suatu pertanggungan yang maksimal,
pembayaran ganti rugi yang diberikan oleh penanggung lebih kecil dari jumlah
kerugian yang terjadi. Ketentuan yang berlaku dalam sebuah klaim dimana pihak yang
ditimpa musibah juga harus menanggung bagian dari kerugian tersebut, seperti
pembebanan atas risiko sendiri (of claim). Biaya ini juga berlaku untuk semua jenis
kerugian yang terjadi, baik itu karena kesalahan pihak tertanggung sendiri maupun
karena pihak ketiga. Padahal jika kerugian itu terjadi karena disebabkan oleh
perbuatan jahat atau unsur kesengajaan dari pihak lain yang berada di luar wewenang
tertanggung, seperti perampokan, pencurian dan unsur-unsur kesengajaan dari pihak
ketiga seharusnya tertanggung akan mendapat ganti rugi (kafalah) tanpa ada risiko
untuknya.
Indikator yang dapat digunakan untuk menilai apakah suatu pejanjian memiliki
unsur yang tidak sesuai dengan syariah Islam adalah asas-asas yang diakui dalam
perjanjian Islam sebagai berikut:
1. Al Hurriyah (kebebasan)
Asas ini merupakan prinsip dasar dalam hukum perjanjian Islam, dalam artian
para pihak bebas membuat suatu perjanjian atau akad. Bebas dalam menentukan objek
perjanjian dan bebas menentukan dengan siapa ia akan membuat perjanjian, serta
bebas menentukan cara penyelesaian sengketa jika terjadi persengketaan. Namun,
kebebasan berkontrak ini hanya berlaku selama tidak bertentangan dengan syariat
Islam.
2. Al Musawah (kesetaraan)
Para pihak memiliki posisi yang setara dalam menentukan dan mencapai
kesepakatan dalam suatu perjanjian. Dasar hukum dari asas ini adalah qur’an surat Al
Hujarat ayat 13 yang pada intinya kedudukan setiap manusia dihadapan Allah SWT
adalah sama, hanya ketaqwaanlah yang membedakannya di sisi Allah.
3. Al Adalah (keadilan)
Pelaksanaan asas ini dalam suatu perjanjian atau akad harus senantiasa
mendatangkan keuntungan yang adil dan seimbang, serta tidak boleh mendatangkan
kerugian bagi salah satu pihak. Asas keadilan ini dapat ditemukan dalam hadis
Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Ahmad dengan arti : Wahai manusia, takutlah
akan kezaliman (ketidakadilan) sebab sesungguhnya dia akan menjadi kegelapan pada
hari perbalasan nanti.
4. Al-Ridha (kerelaan)
Asas ini menyatakan bahwa setiap transaksi yang dilakukan harus atas dasar
kerelaan antara para pihak, harus didasarkan pada kesepakatan bebas para pihak dan
tidak boleh ada unsur paksaan, tekanan dan penipuan. Dasar hukum asas kerelaan
dapat ditemukan dalam qs An-Nisa ayat 29 yang artinya: Hai orang-orang yang beriman
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali
jalan perniagaan yang berlaku denga suka sama suka diantara kamu.
5. Ash-Shiddq (kejujuran)
Islam melarang adanya penipuan dan kebohongan dalam suatu akad atau
perjanjian. Perjanjian yang di dalamnya mengandung unsur kebohongan atau
penipuan, memberikan hak lain bagi para pihak untuk menghentikan proses
pelaksanaan perjanjian tersebut. Dasar hukum dari asas ini adalah qs Al Ahzab ayat 70
yang mengharuskan setiap muslim untuk berkata jujur dan benar.
6. Al Kitabah (tertulis)
Asas –asas di atas sangat terkait dengan prinsip indemnitas dalam perjanjian
asuransi. Asas yang pertama Al Huriyah (kebebasan), setiap orang bebas dalam
melakukan perjanjian dengan siapapun, bebas menentukan isi perjanjian, kebebasan
ini harus sesuai dengan batas yang sudah ditentukan oleh syariat/ hukum Islam.
Sedangkan asas Al Musawah mengandung arti bahwa antara para pihak dalam
perjanjian asuransi tidak ada yang superior dan inferior, kedua belah pihak mempunyai
kedudukan yang seimbang dan setara di mata hukum, sehingga hak dan kewajiban
yang muncul sebagai akibat adanga hubungan hukum antara penanggung dan
tertanggung harus seimbang. Sebagaimana juga asas indemnitas dimana ganti kerugian
yang diterima pemegang polis atau tertanggung harus seimbang dengan kerugian riil
yang dialami pemegang polis tersebut, sehingga saling mendatangkan kemanfaatan dan
keadilan bagi para pihak dalam perjanjian asuransi. Asas Ash Shidd sangat terkait
dengan prinsip indemnitas. Di dalam perjanjian asuransi juga mengenal asas kejujuran
yang sempurna. Kedua belah pihak dalam melakukan perjanjian asuransi harus
menerapkan asas kejujuran ini, baik disaat penutupan asuransi, saat proses
underwriting, saat pengajuan klaim, maupun saat pembayaran klaim. Apalagi pada
asuransi berbasis investasi, penanggung harus menjelaskan sejelas-jelasnya kepada
tertanggung atau pemegang polis tentang risiko investasi yang akan ditanggung oleh
tertanggung/pemegang polis tersebut.
Dalam beberapa hal aktivitas asuransi tidak hanya terbatas pada sendi-sendi
roda perekonomian, akan tetapi juga mencakup sarana- sarana yang dipergunakan
manusia dalam kehidupannya, seperti mobil, rumah, harta benda, jabatan dan lain-lain.
Untuk asuransi jiwa manfaat asuransi tidak hanya terhenti ketika manusia masih dalam
keadaan hidup, akan tetapi terus berlanjut kepada ahli waris mereka. Oleh karena itu,
penting menjadikan sistem ini berjalan sesuai tuntutan syariah.
Sebagai suatu sistem, asuransi tidak terlepas dari norma yang mengaturnya,
inilah yang disebut substansi dalam teori sistem hukum. Produk hukum yang
dihasilkan oleh lembaga yang berwenang sebagai suatu aturan harus bisa dengan
mudah diterapkan pelaku bisnis dan konsumen. Islam merupakan rahmatan lil alamin
yang menitik beratkan pada aspek tolong menolong dengan menghindari unsur gharar,
maysir dan riba yang tentunya sangat memberikan perlindungan kepada kedua belah
pihak dalam perjanjian asuransi. Aturan hukum harus sesuai dengan mayoritas bangsa
Indonesia yang beragama Islam, Lembaga penegak hukum sedapat mungkin membuka
diri untuk kondisi ini lebih mengatur secara tersendiri terkait asuransi syariah.
Adapun sistem tabarru’ yang telah diterapkan oleh lembaga- lembaga asuransi
syariah modern, sesungguhnya telah dipraktikkan pada masa lalu dalam berbagai
model dan metode. Metode- metode itu telah mapan pada masanya. Pertama sistem
aqilah, yang diberlakukan terhadap pembunuhan untuk pembayaran diah, atau yang
dipraktekkan oleh orang-orang Anshar ketika melindungi orang-orang Muhajirin pada
saat mereka berada di Madinah. Kedua, sistem kafalah algharimin, yaitu bantuan yang
diambil dari harta zakat untuk membayar utang-utang. Ketiga, sistem kafalah wa al
masakin yaitu bantuan untuk meringankan beban yang dihadapi oleh mereka yang
tidak mampu. Keempat, sistem kafalah abna’ al nsabil, yakni bantuan untuk
meringankan beban biaya orang-orang yang sedang dalam kesulitan akibat situasi
tertentu. Kelima, sistem nafaqat bayn al qarib, suatu kewajiban berupa bantuan yang
diberikan oleh sanak famili yang mempunyai kesanggupan untuk saudara-saudara
mereka yang tidak mampu/fakir. Keenam, sistem takaful al Ijtima’i, seperti yang
dilakukan kabilah al-sya’riyun, yakni dalam mengatasi kesulitan ekonomi yang
dihadapi para janda atau pada saat mereka mengalami kesulitan kekurangan bahan
makanan yang ada pada satu tempat kemudian membaginya kembali menjadi sama
rata.
5. Kerugian akibat perusakan yang dilakukan oleh orang lain (dhaman al Itlaf)
Dalam prinsip hukum Islam, segala bentuk kerugian yang terjadi harus diberikan
ganti rugi, baik kerugian itu dilakukan secara langsung (al’ubasir) ataupun tidak
langsung (ghair al mubasir), baik secara sengaja (al’amd), ataupun tidak sengaja
(alkhata’), ganti rugi sebagai kompensasi orang yang menderita kerugian akibat
perbuatan tersebut harus mendapatkan ganti rugi sebagai kompensasi.