Anda di halaman 1dari 20

Modul Hukum Asuransi Program Studi Ilmu Hukum

PERTEMUAN 4
PRINSIP-PRINSIP DASAR PERJANJIAN ASURANSI
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Prinsip-Prinsip Dasar Perjanjian
Asuransi.
1.1 Mempelajari Prinsip Kepentingan Yang Dapat Diasuransikan (Insurable
Interest)
1.2 Mempelajari Prinsip Itikad Baik Yang Sempurna (utmost good faith)
1.3 Mempelajari Prinsip Ganti Kerugian (Indemnity)
1.4 Mempelajari Prinsip Subrogasi
1.5 Mempelajari Prinsip Kontribusi
1.6 Mempelajari Prinsip Sebab Akibat.

B. URAIAN MATERI
Tujuan Pembelajaran 1.1:
Prinsip Kepentingan Yang Dapat Diasuransikan (Insurable Interest).

Hukum asuransi menentukan bahwa apabila seseorang menutup perjanjian


asuransi, yang bersangkutan harus mempunyai kepentingan terhadap objek yang
diasuransikannya. Prinsip ini lebih banyak dikenal dengan sebutan prinsip
insurable interest.91
Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa dalam setiap asuransi harus ada
kepentingan atas benda yang diasuransikan. Persoalannya adalah bilamanakah
kepentingan itu harus ada? Menurut ketetuan Pasal 250 KUHD, kepentingan
harus sudah ada pada saat diadakan asuransi. Ini berarti apabila pada saat
membuat perjanjian asuransi tertanggung tidak mempunyai kepentingan,
kemudian terjadi yang menimbulkan kerugian, penanggung tidak berkewajiban
membayar klaim ganti kerugian.92

91
Insurable Interest is a direct monetary intrest in the insured property sufficient to result in
monetary loss should the property be damaged or destroyed. Baca:
http://www.allenins.com/Insurance_Definitions.html.
92
Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit., hal. 92.

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


50
Modul Hukum Asuransi Program Studi Ilmu Hukum

Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 250 KUHD:93


“Apabila seseorang yang telah mengadakan suatu perjanjian asuransi untuk
diri sendiri, atau apabila seseorang yang untuknya telah diadakan suatu
asuransi, pada saat diadakannya asuransi itu tidak mempunyai suatu
kepentingan terhadap barang yang diasuransikan itu, maka penanggung tidak
diwajibkan memberikan ganti kerugian”.

Ketentuan Pasal 250 KUHD selayaknya ditujukan kepada tertanggung


sebagai suatu isyarat bahwa pada waktu mengadakan asuransi, tertanggung perlu
menyatakan dengan tegas dan jelas apa kepentingannya mengadakan asuransi
tersebut. Dengan adanya kepentingan, sejumlah premi dapat dibayar, sehingga
asuransi berjalan. Jika terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, tertanggung
yang berkepentingan berhak mengklaim pembayaran ganti kerugian dari
penanggung.94 Selanjutnya apa yang dimaksud dengan peristiwa (evenemen)?
Evenemen (Evenement, Bld; Fortuitous event, Ing ), peristiwa tidak pasti adalah
peristiwa terhadap mana asuransi diadakan, tidak dapat dipastikan terjadi dan
tidak diharapkan terjadi. Dengan kata lain, Evenemen adalah peristiwa yang
menurut pengalaman manusia normal tidak dapat dipastikan terjadi, atau
walaupun sudah pasti terjadi saat terjadinya itu tidak dapat ditentukan dan juga
tidak diharapkan akan terjadi . Jika terjadi juga, mengakibatkan kerugian.95
Adalah logis bahwa setiap orang yang mengadakan asuransi itu ada
kepentingan, baik bagi dirinya sendiri ataupun bagi pihak ketiga. Jika tidak
mempunyai kepentingan buat apa mengadakan perjanjian asuransi dan
mengelurakan uang untuk membayar premi. Bagi mereka yang beritikad buruk
mengadakan asuransi seolah-olah berkepentingan, sudah selayaknya tidak
dilindungi undang-undang. Artinya, penanggung tidak berkewajiban membayar
ganti kerugian jika terjadi peristiwa terhdap benda yang diasuransikan, walaupun
tertanggung yang tidak jujur itu telah membayar premi, asuransi bukanlah untung-
untungan.96
Misalnya, tertanggung mengasuransikan sebuah mobil terhadap bahaya
tabrakan dengan harapan jika terjadi tabrakan dia akan mendapat ganti kerugian.

93
Pasal 250 Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
94
Abdul Kadir Muhammad, Loc.Cit. hal. 92.
95
Sentosa Sembiring, Op.Cit., hal. 32
96
Ibid.

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


51
Modul Hukum Asuransi Program Studi Ilmu Hukum

Mobil tersebut milik orang lain yang yang dipinjam oleh tertanggung. Akan
tetapi, dia mengasuransikan mobil tersebut seolah-olah miliknya sendiri, padahal
dia tidak berkepentingan sama sekali. Kemudian terjadi tabrakan yang
menimbulkan kerugian. Pihak yang menderita kerugian adalah pemilik mobil,
bukan tertanggung yang meminjam mobil itu. Dalam hal ini penanggung tidak
berkewajiban membayar klaim ganti kerugian menurut Pasal 250 KUHD.
Malahan, peminjam mobil tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita oleh pemilik mobil. Lain halnya jika pemegang mobil itu adalah orang
yang berpiutang dan mobil itu sebagai jaminannya. Pada mobil itu melekat
kepentingannya . jika mobil bertabrakan maka, maka kepentingannya akan
berkurang atau lenyap. Jadi, jika dia mengasuransikan mobil tersebut dia dapat
meng-klaim ganti kerugian kepada penanggungnya karena dia mempunyai
kepentingan.97
Adapun pengertian kepentingan yang dimaksud di sini adalah, adanya
keterkaitan hukum antara tertanggung antara tertanggung dengan objek asuransi.
Atau sering juga disebut kepentingan adalah kekayaan atau hak subjektif yang
jika terjadi peristiwa, tertanggung akan mengalami kerugian. Jadi, di sini tampak
bahwa kepentingan dalam asuransi suatu hal yang tidak dapat dapat diabaikan
begitu saja.98
Emmy Panggaribuan Simanjuntak mengemukakan bahwa kepentingan
dalam asuransi jiwa dapat timbul dari beberapa hal, yaitu:
a. Kepentingan dari seseorang atas hidupnya sendiri.
b. Kepentingan berdasarkan hubungan keluarga, jadi ada kepentingan yang
timbul dari cinta atau kasih sayang atau perhatian seperti hubungan keluarga
karena darah atau perkawinan.
c. Kepentingan yang timbul atas dasar hubungan ekonomi keuangan.99

HMN Puwosutjipto mengemukakan pendapatnya tentang kepentingan


sebagai berikut:
“kepentingan adalah objek pertanggungan, dan merupakan hak subjektif yang
mungkin akan lenyap atau berkurang, karena terjadinya peristiwa yang tak tentu
97
Ibid, hal. 93
98
Sentosa Sembiring, Op.Cit., hal. 31.
99
Emmy Panggaribuan. Op.Cit., hal.53.

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


52
Modul Hukum Asuransi Program Studi Ilmu Hukum

(onzeker vooral) atau tidak pasti. Unsur kepentingan itu adalah unsur yang mutlak
yang harus ada dalam tiap-tiap pertanggungan, baik pada saat ditutupnya
pertanggungan maupun pada saat terjadinya evenemen. Lebih lanjut dikemukakan:
Pada pertanggungan kendaraan bermotor dengan (Wettelijke Aanprakeljkheid,
W.A.), yaitu asuransi (pertanggungan) tanggung jawab menurut hukum. Pada
pertanggungan jenis ini yang merupakan kepentingan ialah kewajiban tertanggung
menurut hukum terhadap kerugian pada pihak ketiga.100
M. Suparman Sastrawidjaja dan Endang mengemukakan pendapatnya
berkaitan dengan Pasal 250 KUHD, bahwa Kewajiban pemberitahuan tersebut
penting bagi penanggung agar penanggung mengetahui besar kecilnya risiko
yang ditanggungnya yang berhubungan dengan besar kecilnya premi yang akan
ditentukan. Hal ini ditentukan demikian berdasarkan anggapan bahwa
tertanggunglah yang paing mengetahui mengenai objek yang diasuransikannya
sedangkan penanggung tidak. Namun di pihak lain ketentuan Pasal 251KUHD
tersebut dirasakan terlalu memberatkan tertanggung, sebab 1). ancaman yang
sama berupa batalnya asuransi terhadap tertanggung yang beritikad baik, dan 2).
Tidak diberikan kesempatan memperbaiki kekeliruannya bagi tertanggung yang
keliru dalam memberikan keterangan.101
Jelas dari ketentuan di atas bahwa kepentingan merupakan syarat mutlak
(essentieel vereiste) untuk dapat diadakan perjanjian asuransi. Bila hal itu tidak
dipenuhi, Penanggung tidak diwajibkan memberi ganti kerugian.102
Dalam hal ini, setiap pihak yang mengadakan perjanjian asuransi harus
mempunyai kepentingan yang bisa diasuransikan, maksudnya pihak tertanggung
harus memiliki keterlibatan sedemikian rupa dengan akibat dari suatu peristiwa
yang belum pasti terjadi dan yang bersangkutan menderita kerugian akibat
peristiwa itu.
Kepentingan inilah yang membedakan asuransi dengan perjudian. Kalau
pihak tertanggung tidak mempunyai kepentingan yang bisa diasuransikan, maka
asuransi menjadi perjudian atau pertaruhan.

100
HMN Purwosutjipto. 1983. Pengertian Pokok Hukum Dagang. Jakarta: Djambatan, hal. 34-35.
101
M. Suparman Sastrawidjaja dan Endang, Op.Cit., hal. 30.
102
Mulhadi, Op.Cit., hal.81.

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


53
Modul Hukum Asuransi Program Studi Ilmu Hukum

Kepentingan yang dapat diasuransikan ini mutlak harus ada pada setiap
perjanjian asuransi, agar perjanjian tersebut tidak dianggap sebagai judi (taruhan).
Contoh insurable interest:
1. Hubungan keluarga: suami, isteri, anak, ibu, bapak (ahli waris sesuai hukum
waris faraid).
2. Hubungan bisnis: kreditor dengan debitor, perusahaan dengan karyawan.103

Sedangkan kepentingan yang bisa diasuransikan menurut Pasal 268


KUHD adalah “Pertanggungan bisa berpokok pada semua kepentingan yang bisa
dinilai dengan uang, diancam oleh suatu bahaya, dan oleh undang-undang tidak
terkecualikan.”104
Dengan begitu, pada hakekatnya setiap kepentingan bisa diasuransikan,
baik kepentingan kebendaan maupun kepentingan yang bersifat hak, selama
memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 268 KUHD seperti sudah
dikemukakan. Menurut pasal 250 KUHD, kepentingan yang diasuransikan harus
ada pada saat ditutupnya perjanjian asuransi. Kalau Syarat itu tidak ditaati, maka
penanggung akan bebas dari kewajibannya untuk membayar ganti kerugian.
Berbeda dengan dengan Pasal 250 KUHD tersebut, menurut pasal Marine
Insurance Art Inggris, menentukan bahwa kepentingan tersebut harus ada pada
saat terjadinya kerugian. Demikian pula, dalam sejumlah kasus asuransi, hakim
menyatakan bahwa kepentingan itu ada pada saat terjadinya kerugian. Ketentuan
ini, mendapat dukungan dari beberapa ahli, seperti Molengraff dan Volmar
sebagaimana disitir oleh Emmy Pangaribuan Simanjuntak yang berpandangan
bahwa yang terpenting pada waktu terjadinya peristiwa yang tidak tentu,
kepentingan itu bisa dibuktikan. Sedangkan Sri Redjeki Hartono berpendapat
bahwa kepentingan yang diasuransikan, pada saat ditutupnya asuransi secara
yuridis dan riil belum ada atau melekat pada tertanggung, tetapi sudah bisa
dideteksi lebih awal adanya kemungkinan keterlibatan seseorang terhadap
kerugian ekonomi yang bisa dideritanya karena suatu peritiwa yang tidak pasti.
Menurut Pasal 268 KUHD syarat kepentingan yang bisa diasuransikan itu
harus bisa dinilai dengan sejumlah uang.

103
Ibid, hal. 82
104
Pasal 268 Kitab Undang-undang Hukum Dagang.

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


54
Modul Hukum Asuransi Program Studi Ilmu Hukum

Tujuan Pembelajaran 1.2:


Prinsip Itikad Baik Yang Sempurna

Istilah itikad baik yang sempurna, namun ada yang menyebutnya


Kejujuran Sempurna, juga ada yang menyebut dengan istilah Asas Kejujuran yang
sebaik-baiknya. Di luar Indonesia, prinsip ini dikenal dengan istilah Principle of
utmost good faith (Inggris) atau uberrima fides (Latin).105
Maksudnya, dalam perjanjian asuransi didasarkan pada asumsi bahwa
calon Tertanggung pada waktu putusan asuransi mengetahui semua resiko yang
akan diasuransikan, sedangkan Penanggung tidak mengetahuinya, dan bagi pihak
Penanggung dalam menganalisa resiko yang akan diasuransikan sangat
bergantung pada informasi yang diberikan pihak calon Tertanggung. Dengan
demikian, asas Kejujuran Sempurna (Principle of utmost good faith), di atas
menyangkut kewajiban yang harus dipenuhi sebelum ditutupnya perjanjian
asuransi.
Prinsip atau asas itikad baik yang sempurna dapat diartikan pula bahwa
masing-masing pihak dalam suatu perjanjian yang akan disepakati demi hukum
mempunyai kewajiban untuk memberikan keterangan atau informasi selengkap-
lengakpnya, yang akan dapat mempengaruhi keputusan pihak lain untuk
memasuki perjanjian atau tidak, baik keterangan yang demikian itu diminta atau
tidak. Asas ini menghendaki agar para pihak berperilaku jujur, sejujur-jujurnya ,
dengan cara mengungkapkan segala fakta materiil berkaitan dengan objek
asuransi di satu pihak dan produk asuransi di pihak lain.106
Penerapan asas itikad baik yang sempurna di dalam hukum Inggris bertitik
tolak dari sifat khusus perjanjian asuransi sebagai perjanjian alletair (bersyarat),
sehingga hukum asuransi dianggap perlu menyimpang dari asas hukum yang
menguasai perjanjian lainnya, seperti asas caveat emptor atau let the buyer be
aware.107 Tetapi karena sifatnya yang khusus, maka di dalam perjanjian asuransi

105
Mulhadi, Op.Cit., hal.83.
106
Ibid.

107
Menurut asas ini, suatu pihak dalam perjanjian tidak wajib memberitahukan sesuatu
yang ia ketahui mengenai objek asuransi kepada pihak lawannya. Pihak lawan harus
mewaspadai sendiri keadaan dan kualitas objek perjanjian.

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


55
Modul Hukum Asuransi Program Studi Ilmu Hukum

pihak tertanggunglah yang memberikan segala keterangan (informasi) mengenai


keadaan objek/benda yang akan diasuransikan. Jadi, perjanjian asuransi
didasarkan pada asumsi bahwa calon tertanggung pada waktu akan menutup
asuransi mengetahui semua keadaan dan risiko yang akan diasuransikan,
sedangkan Penanggung tidak mengetahuinya. Dan pihak Penanggung dalam
menganalisa risiko yang akan diasuransikan sangat tergantung pada pemberian
informasi dari calon Tertanggung tersebut.108
Dengan demikian, asas itikad baik yang sempurna menyangkut kewajiban
yang harus dipenuhi sebelum ditutupnya perjanjian asuransi oleh pihak
Tertanggung. Hal ini berlainan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1338
ayat (3) KUHPerdata yang menentukan bahwa perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik oleh kedua belah pihak. Pelaksanaan itikad baik yang
dimaksud Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata tersebut terletak pada pelaksanaan
perjanjian asuransi.
Menurut Gunanto, dalam kenyataannya asas yang oleh hukum Inggris
disebut sebagai principle of utmost good faith bukan soal itikad baik, sebagaimana
diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, melainkan menyangkut soal
“cacat kehendak”.
Menilik konsep hukum Indonesia, berkenaan dengan asas itikad baik yang
sempurna ini, diatur dalam Pasal 251 KUHD, berbunyi:

“Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, atau setiap tidak
memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh si Tertanggung betapapun itikad
baik itu ada padanya, yang demikian sifatnya sehingga seandainya
Penanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak
akan ditutup atau ditutupnya dengan syarat-syarat yang sama,
mengakibatkan batalnya pertanggungan.”

Pasal 251 KUHD di atas menekankan kewajiban Tertanggung untuk


memberitahukan atau menyampaikan segala informasi yang benar (fakta materiil)
mengenai objek asuransi kepada Penanggung.
Semestinya prinsip itikad baik yang sempurna, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 251 KUHD bukanlah mutlak dibebankan kepada Tertanggung
melainkan juga kepada Penanggung. Hal ini didukung oleh pendapat seorang ahli,
108
Mulhadi, Loc.Cit., hal.83.

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


56
Modul Hukum Asuransi Program Studi Ilmu Hukum

Like Wise Farwell L.J yang juga didukung oleh Carter, yang mengatakan bahwa
perjanjian asuransi adalah perjanjian yang butuh uberrima fides, tidak hanya oleh
Tertanggung tetapi juga oleh Perusahaan Asuransi sebagai Penanggung.
Meskipun demikian Carter menyatakan bahwa kewajiban memberitahu itu lebih
diutamakan kepada Tertanggung, karena Penanggung memiliki posisi yang lebih
pasif. Dalam praktek di Indonesia selama ini Perusahaan Asuransi menganut
pendapat Carter.
Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, prinsip itikad
baik yang sempurna sudah dipertegas dalam Pasal 31 ayat (2) yang berbunyi
sebagai berikut:
“Agen Asuransi, Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Perusahaan
Perasuransian wajib memberikan informasi yang benar, tidak palsu, dan/atau
tidak menyesatkan kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta
mengenai risiko, manfaat, kewajiban dan pembebanan biaya terkait dengan
produk asuransi atau produk asuransi syariah yang ditawarkan”.

Kalimat dalam Pasal 31 ayat (2) pada frase “perusahaan Perasuransian wajib
memberikan informasi yang benar, tidak palsu, dan/atau tidak menyesatkan
kepada Pemegang Polis ….”, menunjukkan bahwa asas/prinsip utmost good faith
atau itikad baik yang sempurna merupakan sesuatu yang wajib dilaksanakan oleh
perusahaan perasuransian dalam menjalankan bisnisnya. Namun demikian
sebaliknya pihak pemegang polis atau tertanggung juga harus menjalankan
prinsip/asas utmost good faith, yaitu dengan memberikan keterangan sebenar-
benarnya berkaitan dengan keadaan/kondisi objek yang diasuransikan
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 251 KUHD.

Tujuan Pembelajaran 1.3:


Prinsip Ganti Kerugian (Indemnity)

Salah satu prinsip yang cukup penting dalam asuransi ganti rugi, yakni
prinsip indemnitas, mengapa demikian? Karena adanya prinsip inilah menjadi
pembeda antara asuransi dengan perjudian dan perjanjian untung-untungan.

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


57
Modul Hukum Asuransi Program Studi Ilmu Hukum

Asuransi berbeda dengan perjudian dan perjanjian untung-untungan, asuransi


bertujuan untuk mengurangi resiko sedangkan perjudian menciptakan resiko.109

Yang dimaksud dengan indemnitas (indemnity, Inggris; indemniteit,


Belanda) adalah jumlah ganti rugi sama dengan jumlah kerugian yang diderita.
Ada yang menterjemahkan prinsip indemnitas ini adalah prinsip keseimbangan. 110
Namun pandangan ini mendapat kritikan karena jika prinsip indemnitas dianggap
sebagai prinsip keseimbangan berarti ganti rugi belum tentu dengan ganti rugi
yang sesungguhnya yang diderita oleh tertanggung.

Melalui perjanjian asuransi, Penanggung memberikan suatu proteksi


terhadap kemungkinan kerugian ekonomi yang akan diderita Tertanggung.
Proteksi dalam bentuk kesanggupan untuk memberikan penggantian kerugian
kepada tertanggung yang mengalami kerugian karena terjadinya peristiwa yang
tidak pasti (evenement). Jadi, pada dasarnya perjanjian asuransi memiliki tujuan
utama untuk memberikan penggantian kerugian kepada pihak tertanggung oleh
penanggung.
Di atas telah dijelaskan bahwa kerugian timbul katena terjadinya
evenemen. Sebelum membahas tentang prinsip Ganti Kerugian (Indemnity) akan
dibahas terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan evenemen. Evenemen adalah
istilah yang diadopsi dari bahasa Belanda evenement yang berarti peristiwa yang
tidak pasti, bahasa Inggrisnya fortuitous event. Evenemen atau peristiwa tidak
pasti adalah peristiwa terhadap mana asuransi diadakan tidak dapat dipastikan
terjadi atau tidak dapat dipastikan terjadi dan tidak diharapkan akan terjadi.
Walaupun peristiwa itu sudah pasti terjadi, misalanya matinya orang, saat
terjadinya itu pun tidak dapat diketahui atau tidak dapat dipastikan. Jadi, sulitlah
meramalkan terjadinya peristiwa itu. Bahkan menurut pengalaman manusia
normalpun, sulit untuk memastikan terjadinya. Demikian juga tidak seorang
manusia normal pun mengharapkan terjadi peristiwa itu karena seorang manusia
normal menyadari betul seandainya peristiwa itu terjadi pasti menimbulkan
kerugian.111

109
Abbas Salim, 2007, Asuransi dan Manajemen Risiko, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hal. 8.
110
A. Junaedy Ganie, Op.Cit., hal. 208/211.
111
Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit. hal. 120.

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


58
Modul Hukum Asuransi Program Studi Ilmu Hukum

Jika peristiwa itu sudah diketahui sebelumnya bahwa itu pasti terjadi atau
sudah diketahui saat terjadinya, tidak akan ada artinya bagi asuransi sebab tidak
akan ada orang yang mau memikul risiko demikian itu. Kendati terjadi juga
asuransi, maka asuransi itu batal (Pasal 251 KUHD). Apabila pengertian
evenemen itu dirumuskan, maka yang dimaksud dengan:
“Evenemen adalah peristiwa yang menurut pengalaman manusia normal tidak
dapat dipastikan terjadi atau walaupun sudah pasti terjadi, saat terjadinya tidak
dapat ditentukan dan juga tidak diharapkan akan terjadi, jika terjadi juga
mengakibatkan kerugian.”112

H. Gunanto, ahli asuransi, berpendapat bahwa Prinsip Indemnitas tersirat


dalam Pasal 246 KUHD yang memberi batasan perjanjian asuransi (yakni asuransi
kerugian), sebagai perjanjian yang bermaksud memberikan penggantian kerugian,
kerusakan atau kehilangan (Indemnitas) yang mungkin diderita Tertanggung
karena tertimpa suatu bahaya dimana pada saat ditutupnya perjanjian asuransi
tidak bisa dipastikan.113
Penggantian kerugian di dalam asuransi tidak boleh mengakibatkan posisi
finansial pihak tertanggung menjadi lebih diuntungkan dari posisi sebelum
menderita kerugian. Jadi terbatas pada keadaan awal atau posisi awal. Asuransi
hanya menempatkan kembali seorang Tertanggung yang sudah mengalami
kerugian pada keadaan sebelum terjadinya kerugian. Dalam hal ini, Ganti Rugi
mengandung arti bahwa penggantian kerugian dari Penanggung kepada
Tertanggung harus seimbang dengan kerugian yang sungguh-sungguh diderita
Tertanggung.114
Disebabkan asuransi merupakan kontrak indemnitas atau perjanjian
penggantian kerugian, maka Perusahaan Asuransi sepakat untuk membayar
kerugian yang sesungguhnya dan tidak lebih dari yang diderita oleh Tertanggung.
Batas tertinggi kewajiban Penanggung adalah memulihkan Tertanggung kepada
posisi ekonomi yang sama dengan posisinya sebelum terjadinya kerugian. Dalam
keadaan bagaimanapun, posisi Tertanggung tidak boleh lebih baik karena
terjadinya kerugian dan karena perjanjiannya dengan Penanggung. Jika

112
Ibid.
113
H. Gunanto dalam Ridwan Khairandy, 2006, Pengantar Hukum Dagang, Yogyakarta: FH UII
Press, hal. 203.
114
Ibid.

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


59
Modul Hukum Asuransi Program Studi Ilmu Hukum

Tertanggung dapat beruntung atas terjadinya suatu kerugian, maka banyak orang
akan tergoda untuk menimbulkan kerugian dengan sengaja demi mendapatkan
keuntungan tersebut.115
Prinsip Indemnitas dalam asuransi dalam asuransi didasarkan pada asas di
dalam hukum perdata, yaitu larangan memperkaya diri secara melawan hukum,
atau memperkaya diri tanpa hak (onrechtmatige verrijking).116
Prinsip indemnitas hanya menempatkan kembali seorang tertanggung yang
telah mengalami kerugian sama dengan keadaan sebelum terjadinya kerugian.
Prinsip indemnitas digunakan berkaitan dengan pengukuran besarnya nilai
kerugian, contohnya dalam perjanjian asuransi kebakaran, pengukuran nilai
kerugian yang sebenarnya adalah nilai ganti rugi dari property yang rusak akibat
kebakaran yang dikurangi dengan penyusutan.117
Prinsip Indemnitas ini, mengikuti prinsip Kepentingan yang bisa
diasuransikan. Dengan demikian, harus ada kesinambungan antara Kepentingan
dengan Prinsip Indemnitas, dan Tertanggung harus benar-benar memiliki
kepentingan terhadap kemungkinan menderita kerugian karena terjadinya
peristiwa yang tidak diharapkan.118
Untuk dapat mengadakan keseimbangan antara kerugian yang diderita
oleh Tertanggung dengan pemberian ganti kerugian oleh Penanggung, maka harus
diketahui berapa nilai atau harga dari objek yang diasuransikan. Sehubungan
dengan hal tersebut, prinsip ganti kerugian hanya berlaku bagi asuransi yang
kepentingannya dapat dinilai dengan uang, yaitu asuransi kerugian (scahade
verzekering).119
Kepentingan di dalam asuransi jumlah (sommen verzekering) tidak dapat
dinilai dengan uang, sehingga diadakan tidak dengan tujuan mengganti suatu

115
A. Hasyimi Ali dalam Mulhadi, 2017. Dasar-Dasar Hukum Asuransi. Depok: PT.
RajaGrafindo Persada, hal.86.
116
Emmy Pangaribuan Simanjutak, dalam Ridwan Khairandy, 2006, Pengantar Hukum Dagang,
Yogyakarta: FH UII Press, hal. 203-204.
117
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, 2008, Hukum Dalam Ekonomi, Cetakan kelima
(edisi 2), Jakarta: PT. Grasindo, hal. 108.
118
Sri Redjeki Hartono dalam Ridwan Khairandy, 2006, Pengantar Hukum Dagang, Yogyakarta:
FH UII Press, hal. 202.
119
Mulhadi, Op.Cit., hal.86.

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


60
Modul Hukum Asuransi Program Studi Ilmu Hukum

kerugian yang diderita oleh Tertanggung. dengan perkataaan lain, prinsip ganti
kerugian tidak berlaku bagi asuransi jumlah.120

Tujuan Pembelajaran 1.4:


Prinsip Subrogasi (subrogation)

Berkaitan dengan subrogasi sudah diatur dalam Pasal 1400 KUHPerdata,


yang menyatakan bahwa subrogasi sebagai perpindahan hak kreditor kepada
seorang pihak ketiga yang membayar kepada kreditor, dapat terjadi karena
persetujuan atau karena undang-undang. Subrogasi dalam KUHPerdata ini
berlaku untuk semua jenis perjanjian pada umumnya.
Dalam pelaksanaan perjanjian asuransi, kemungkinan peristiwa kerugian
terjadi disebabkan perbuatan pihak ketiga. Dalam keadaan biasa kerugian yang
ditimbulkan pihak ketiga tersebut mengakibatkan harus dipertanggungjawabkan
oleh pelakunya. Dengan kata lain pemilik barang dapat melakukan tuntutan
kepada pihak ketiga untuk memberikan ganti kerugian atas perbuatannya. Hal ini
dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, akan tetapi persoalannya
menjadi lain dalam perjanjian asuransi. Apabila tertanggung yang telah mendapat
ganti kerugian dari Penanggung, juga diperbolehkan menuntut ganti kerugian
kepada pihak ketiga yang menimbulkan kerugian tersebut maka Tertanggung
dapat menerima ganti kerugian melebihi kerugian yang dideritanya. Jika hal ini
terjadi mak akan bertolak belakang dengan prinsip ganti kerugian atau indemnitas,
yaitu menempatkan kembali seorang tertanggung yang telah mengalami kerugian
sama dengan keadaan sebelum terjadinya kerugian. Untuk mencegah agar hal
tersebut tidak terjadi, maka perlu melihat apa yang diatur dalam Pasal 284 KUHD
yang menyatakan sebagai berikut:

“penanggung yang telah membayar ganti kerugian atas benda yang


diasuransikan menggantikan tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya
terhadap pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian tersebut, dan
tertanggung bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan
hak penanggung terhadap pihak ketiga itu”.

120
Ibid.

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


61
Modul Hukum Asuransi Program Studi Ilmu Hukum

Penggantian kedudukan semacam ini dalam hukum perdata disebut subrogasi


(subrogation). Berdasarkan ketentuan pasal ini dapat dipahami supaya ada
subrogasi dalam asuransi diperlukan 2 (dua) syarat yaitu:
a. Tertanggung mempunyai hak terhadap Penanggung dan pihak ketiga.
b. Adanya hak tersebut karena timbul kerugian sebagai akibat perbuatan pihak
ketiga.121
Dalam hukum asuransi apabila tertanggung telah mendapatkan ganti
kerugian dari penanggung maka dia tidak boleh lagi mendapatkan hak dari pihak
ketiga yang telah menimbulkan kerugian tersebut. Hak terhadap pihak ketiga itu
beralih kepada penanggung yang telah memenuhi ganti kerugian kepada
tertanggung. ketentuan ini bertujuan untuk mencegah jangan sampai terjadi bahwa
tertanggung memperoleh ganti kerugian berlipat ganda yang bertentangan dengan
asas/prinsip keseimbangan atau memperkaya diri tanpa hak. Asas ini dipegang
teguh dalam hukum asuransi.122
Dalam pelaksanaannya hak subrogasi tidak boleh merugikan hak
penanggung, misalnya tertangung membebaskan pihak ketiga dari kewajiban
membayar ganti kerugian atau membebaskan pihak ketiga dengan kompensasi
hutangnya, sehingga ketika penganggung hendak melaksanakan hak subrogasinya
terhadap pihak ketiga, yang bersangkutan tidak ada sangkut pautnya lagi dengan
pihak tertanggung. dalam hal ini tertanggung harus bertanggung jawab atas
perbuatannya yang merugikan penanggung terhadap pihak ketiga tersebut.
Penanggung dapat menuntut ganti kerugian kepada tertanggung ayng telah
merugikannya.
Atas hal ini tujuan subrogasi dalam asuransi pada prinsipnya ada 2 (dua),
yaitu:
a. Untuk mencegah tertanggung memperoleh ganti kerugian melebihi hak
sesungguhnya.
b. Untuk membebaskan pihak ketiga membebaskan diri dari kewajibannya
membayar ganti kerugian.
Kerugian yang diderita seorang tertanggung akibat suatu peristiwa yang
tidak diharapkan terjadi, dilihat dari segi timbulnya kerugian tersebut ada dua
121
Abdulkadir, Op.Cit., hal. 129.
122
Ibid.

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


62
Modul Hukum Asuransi Program Studi Ilmu Hukum

kemungkinan bahwa tertanggung selain bisa menuntut kepada pihak ketiga yang
karena kesalahannya menyebabkan terjadinya kerugian tersebut. Dalam kondisi
demikian, tertanggung memiliki kesempatan untuk menuntut ganti rugi dari dua
sumber, yaitu dari pihak penanggung dan pihak ketiga. Penggantian kerugian dari
dua sumber tersebut bertentangan dengan asas indemnitas dan larangan untuk
memperkaya diri sendiri secara melawan hukum. Sebaliknya,kalau pihak ketiga
dibebaska begitu saja dari perbuatan yang sudah menyebabkan kerugian bagi
tertanggung juga tidak adil. Untuk menghindari hal demikian tersebut, pihak
ketiga yang bersalah tetap bisa dituntut, hanya saja hak menuntut tersebut
dilimpahkan pada pihak penanggung (subrogasi). Berkaitan dengan hal ini, pasal
284 KUHD menyebutkan “ Penanggung yang membayar kerugian dari suatu
benda yang dipertanggungkan mendapat segala hak yang ada pada pihak
tertanggung terhap pihak ketiga berkenaan kerugian itu, dan pihak tertanggung
bertanggungjawab untuk setiap perbuatan yang mungkin bisa merugikan hak dari
penanggung terhadap pihak ketiga itu.123
Prof. Emmy Pangaribuan mengemukkan, Subrogasi menurut undang-
undang hanya bisa berlaku kalau terdapat dua faktor: 1).Kalau tertanggung di
samping mempunyai hak terhadap penanggung juga memiliki hak terhadap pihak
ketiga; 2).Hak-hak tersebut karena timbulnya kerugian.124
Para sarjana pada umumnya berpendapat bahwa prinsip subrogasi hanya
berlaku pada asuransi kerugian dan tidak berlaku dalam asuransi jumlah. 125 Hak
subrogasi timbul dengan sendirinya (ipso facto) untuk penggantian kerugian yang
dibayarkan oleh penanggung kepada tertanggung dan tidak perlu ditentukan atau
diatur dalam polis. Kadangkala di dalam polis juga dimuat klausul subrogasi.
Disamping itu, di dalam polis tersebut ada kemungkinan juga dimuat klausul yang
memberikan hak kepada penanggung untuk setiap saat dan selama mereka
menghendaki, untuk membayar, menahan, atau mengajukan klaim atas nama
tertanggung. Dalam konteks ini, penanggung bisa menggunakan hak tertanggung
untuk menentukan ganti rugi kepada pihak ketiga, walaupun penanggung belum

123
Siti Soemarti Hartono, 1982, KUHD terjemahan, Yogyakarta: Seksi Hukum Dagang UGM, hal.
88.
124
Emmy Pangaribuan dalam Ridwan Khairandy, 2006, Pengantar Hukum Dagang, Yogyakarta:
FH UII Press, hal. 206.
125
Ibid.

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


63
Modul Hukum Asuransi Program Studi Ilmu Hukum

membayar semua ganti rugi kepada pihak tertangung. Tertanggung dalam hal ini,
disamping harus membantu penanggung dalam memfungsikan hak subrogasinya
juga tidak boleh merugikan atau menjalankan hak-hak yang bisa merugikan hak
penanggung kepada pihak ketiga, contohnya, tanpa sepengetahuan atau seizin
penanggung membebaskan tanggung jawab pihak ketiga.126
Prinsip subrogasi ini disebut juga dengan prinsip perwalian, pengalihan
hak atau dalam istilah lainnya subrogation principle.

Tujuan Pembelajaran 1.5:


Prinsip Kontribusi (contribution)

Kalau ada seorang tertanggung menutup asuransi untuk benda yang sama
dan terhadap risiko yang sama kepada lebih seorang penanggung dalam polis yang
berlainan akan terjadi double insurance. Kalau terjadi double insurance, maka
masing-masing penanggung menurut perimbangan dari jumlah untuk mana
mereka menandatangani polis menanggung hanya harga yang sebenarnya dari
kerugian yang diderita tertanggung.127
Tertanggung tidak akan mungkin mendapatkan penggantian kerugian dari
masing-masing perusahaan asuransi secara penuh sehingga melampaui kerugian
yang sebenarnya diderita oleh Tertanggung. Bila hal ini dibolehkan maka
bertentangan dengan prinsip indemnitas. Dengan kata lain, prinsip kontribusi
berarti bahwa, apabila Perusahaan Asuransi telah membayar ganti kerugian yang
menjadi hak tertanggung, maka perusahaan berhak menuntut perusahaan asuransi
lain yang terlibat dalam objek tersebut untuk membayar bagian kerugian sesuai
dengan kontribusi. Prinsip kontribusi ini disebut juga sebagai prinsip saling
menanggung.
Dalam KUHD, prinsip kontribusi ini disimpulkan dari pasal 278 yang
menyebutkan : “kalau dalam polis yang sama oleh berbagai penanggung,
walaupun pada hari yang berlainan, dipertanggungkan untuk lebih dari pada
harganya, maka mereka bersama-sama, menurut jumlah keseimbangan jumlah
untuk mana mereka menandatangani, hanya memikul harga sesungguhnya yang
126
Ibid.
127
M Suparman Sastrawidjaja dan Endang dalam Ridwan Khairandy, 2006, Pengantar
Hukum Dagang, Yogyakarta: FH UII Press, hal. 207

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


64
Modul Hukum Asuransi Program Studi Ilmu Hukum

dipertanggungkan. Ketentuan yang sama berlaku, jika pada hari yang sama,
berkenaan denga benda yang sama diadakan pertanggungan-pertanggungan yang
berlainan.128
Prinsip kontribusi hanya diberlakukan dalam hal sebagai berikut:
1. Kalau polis tersebut dilakukan untuk risiko yang sama atau bahaya yang sama
yang menimbulkan kerugian itu;
2. Polis-polis itu menutup kepentingan yang sama, dari tertanggung yang sama,
dan terhadap benda yang sama; dan
3. Polis-polis tersebut masih berlaku pada waktu terjadinya kerugian.

Berkaitan dengan hal ini, terdapat satu persyaratan yang penting, biasanya
terdapat dalam aircraft policy (dalam hal ini Polis Standar AVN 1 A) pada
persyaratan yang berlaku untuk Section Paragraph 3 menyebutkan bahwa klaim
tidak bisa dibayarkan untuk kerugian-kerugian yang diatur dalam Section 1, kalau
tertanggung sudah mengadakan asuransi lain tanpa persetujuan penanggung.
Persyaratan sejenis itu menghapus tanggung jawab penanggung jika terjadi
double insurance.129
Jika polis memuat klausul non contribution (yaitu dalam Vide General
Exclusion 9 pada polis AVN 1A), maka pembayaran atas dasar polis ini, terbatas
hanya untuk jumlah kerugian yang melebihi jumlah yang ditangguhkan oleh polis-
polis yang lain. Jika polis memuat klausul seperti itu, maka prinsip kontribusi
tidak berlaku, dan polis tersebut berubah menjadi excess policy. Dengan demikian,
tertanggung pertama-tama menuntut ganti rugi kerugian kepada penanggung
pertama, kemudian jika ada sisanya, ia bisa menuntut ganti kerugian kepada
penanggung kedua.130

CONTOH: Tuan X mengasuransikan satu unit rumah tinggal seharga


Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) kepada tiga Perusahaan Asuransi,
dengan Nilai Pertanggungan (NP) masing-masing, yaitu:
Perusahaan A = Rp. 200.000.000,- (NP A)

128
Siti Soemarti Hartono, 1982, KUHD terjemahan, Yogyakarta: Seksi Hukum Dagang
UGM, hal. 87.
129
Ridwan Khairandy, Op.Cit., hal. 208.
130
Ibid.

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


65
Modul Hukum Asuransi Program Studi Ilmu Hukum

Perusahaan B = Rp. 100.000.000,- (NP B)


Perusahaan C = Rp. 100.000.000,- + (NP C)
TOTAL = Rp. 400.000.000,-
Bila bangunan tersebut mengalami kerugian total, misal habis terbakar, maka
ganti kerugian yang Tn.X peroleh dari masing-masing Perusahaan Asuransi
adalah:

Perusahaan A = Rp. 200.000.000,- X Rp. 200.000.000,- = Rp. 100.000.000,-


Rp. 400.000.000,-

Perusahaan B = Rp. 100.000.000,- X Rp. 200.000.000,- = Rp. 50.000.000,-


Rp. 400.000.000,-

Perusahaan C = Rp. 100.000.000,- X Rp. 200.000.000,- = Rp. 50.000.000,-


Rp. 400.000.000,-

Dengan demikian, jumlah ganti kerugian yang harus diterima oleh Tuan X dari
ketiga perusahaan asuransi bukanlah Rp. 400.000.000,- , melainkan hanya Rp.
200.000.000,- sesuai dengan harga rumah yang sesungguhnya.

Tujuan Pembelajaran 1.6:


Prinsip Sebab Akibat (Proximate Cause)

Inti dari prinsip sebab akibat (Proximate Cause) adalah bahwa suatu
penyebab aktif, efisien yang menimbulkan rangkaian kejadian dan menyebabkan
suatu akibat, tanpa adanya intervensi dari suatu kekuasaan yang berawal dan
secara aktif bekerja dari sumber baru serta berdiri sendiri.131
Apabila kepentingan yang diasuransikan mengalami musibah atau
kecelakaan, maka perusahaan asuransi (Penanggung) pertama-tama akan mencari
sebab-sebab yang aktif dan efisien menggerakkan suatu rangkaian peristiwa tanpa
terputus, sehingga pada akhirnya terjadi musibah atau kecelakaan tersebut. Suatu
prinsip yang digunakan untuk mencari penyebab kerugian yang aktif dan efisien
dikenal dengan istilah “Unbroken Chain of Events”, yaitu suatu rangkaian mata
rantai peristiwa yang tidak terputus. Sebagai contoh, kasus klaim kecelakaan diri
berikut ini:
131
Mulhadi, Op.Cit., hal.90.

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


66
Modul Hukum Asuransi Program Studi Ilmu Hukum

Seorang mengendarai kendaraan di jalan tol dengan kecepatan tinggi


sehingga mobil tidak terkendali dan terbalik. Korban luka parah dan
dibawa ke rumah sakit. Tidak lama kemudian korban meninggal dunia.132
Berdasarkan peristiwa tersebut diketahui kausa proksimalnya adalah
korban mengendari kendaraan dengan kecepatan tinggi, sehingga mobil tidak
terkendali dan terbalik. Melalui kausa proksimal akan dapat diketahui, apakah
penyebab terjadinya musibah atau kecelakaan tersebut dijamin dalam polis
asuransi atau tidak? Contoh kausa proksimal lain, misalnya:
Badai menerpa dan menghantam tembok dinding pagar. Tembok roboh
menyebabkan instalasi listrik rusak. Rusaknya instalasi listrik menimbulkan
korsleting dan percikan api. Percikan api menimbulkan kebakaran.
Pemadam kebakaran kemudian menyemprotkan air, namun air yang
disemprotkan menimbulkan kerusakan barang-lain yang tidak terbakar.
Dari aspek hubungan sebab akibat, untuk menentukan apakah penyebab
terjadinya kerugian dijamin atau tidak dijamin oleh polis, terdapat 3 (tiga)
pendapat, yaitu:133
1. Pendapat menurut peradilan Inggris, terutama yang dianut, yaitu sebab dari
kerugian adalah peristiwa yang mendahului kerugian itu secara urutan
kronologis yang letaknya paling dekat dengan kerugian itu. Inilah yang
disebut causa proxima.
2. Pendapat kedua ialah di dalam pengertian hukum pertanggungan, sebab itu
tiap-tiap peristiwa yang tidak dapat ditiadakan tanpa juga akan melenyapkan
kerugian itu. Dengan perkataan lain ialah tiap-tiap peristiwa yang dianggap
sebagai conditio sinequa non terhadap peristiwa itu.
3. Causa Remota, bahwa peristiwa yang menjadi sebab dari timbulnya kerugian
itu ialah peristiwa terjauh. Ajaran ini merupakan lanjutan dari pemecahan
suatu ajaran yang disebut “sebab adequate” yang mengemukakan bahwa
dipandang sebagai “sebab yang menimbulkan kerugian itu adalah peristiwa
yang pantas berdasarkan ukuran pengalaman harus menimbulkan kerugian
itu”.

132
Ibid.
133
M. Suparman Sastrawijaya, 2003, Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga,
Bandung: Alumni, hal. 59.

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


67
Modul Hukum Asuransi Program Studi Ilmu Hukum

Pada perkembangan teori yang digunakan untuk menentukan, apakah


sebab kerugian terjamin di dalam polis digunakan causa proxima (proximate
cause). Definisi standar dari proximate cause adalah sebagai berikut:
“Proximate cause means the active, efficient cause that sets in motion a train
of events which brings about a result, without the intervention of any force
started and working actively from a new and independent source” (Artinya,
penyebab proximate adalah penyebab aktif, efisien yang menggerakkan suatu
rangkaian peristiwa dan membawa akibat, tanpa adanya intervensi dari suatu
kekuatan pun yang timbul serta bekerja secara aktif dari sumber baru juga
berdiri sendiri).134

C. LATIHAN SOAL/TUGAS
1. Jelaskan secara singkat mengenai prinsip-prinsip dasar perjanjian asuransi!
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan istilah “Unbroken Chain of Events”!
3. Jelaskan penerapan prinsip kontribusi bila terjadi double insurance!

D. DAFTAR PUSTAKA
A. Junaedi Ganie. 2011, Hukum Asuransi Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
Abbas Salim, 2007, Asuransi dan Manajemen Risiko, Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Abdul Kadir Muhammad. 2006. Hukum Asuransi Indonesia, Bandung: Citra
Aditya bakti.
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, 2008, Hukum Dalam Ekonomi,
Cetakan kelima (edisi 2), Jakarta: PT. Grasindo.
Emmy Panggaribuan. 1983. Hukum Pertanggungan dan Perkembangannya,
Yogyakarta: Liberty.
HMN Purwosutjipto. 1983. Pengertian Pokok Hukum Dagang. Jakarta:
Djambatan.
M. Suparman Sastrawidjaja dan Endang. 1997. Hukum Asuransi Perlindungan
Terhadap Tertanggung Asuransi Deposito. Usaha Perasuransian, Bandung:
Alumni.
134
Mulhadi, Op.Cit., hal.91.

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


68
Modul Hukum Asuransi Program Studi Ilmu Hukum

M. Suparman Sastrawijaya, 2003, Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat


Berharga, Bandung: Alumni.
Mulhadi, 2017. Dasar-Dasar Hukum Asuransi. Depok: PT. RajaGrafindo
Persada.
Ridwan Khairandy, 2006, Pengantar Hukum Dagang, Yogyakarta: FH UII Press.
Sentosa Sembiring, 2014, Hukum Asuransi, Bandung: Nuansa Aulia.
Siti Soemarti Hartono, 1982, KUHD terjemahan, Yogyakarta: Seksi Hukum
Dagang UGM.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


69

Anda mungkin juga menyukai