BERLAKU DI INDONESIA
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
2022
PEMBAHASAN
Untuk saksi itu sendiri adalah orang yang memberikan keterangan untuk suatu
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan tentang
tindak pidana yang didengar sendiri atau melihatnya sendiri ataupun juga ia
mengalaminya sendiri. Sedangkan saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa atau terpidana
yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkapkan suatu tindak pidana
dalam kasus yang sama.
Jadi dalam perlindungan hukum yang diberikan oleh Korban sebagai Korban, ialah
melainkan sebagai saksi untuk melengkapi alat bukti dan data-data untuk mengungkapkan
kejahatan tindak pidana. Adanya dalam perlindungan hukum tidak hanya kepada korban
dan saksi saja bahkan seluruh warga masyarakat karena pentingnya perlindungan dan
penegakan hukum itu untuk menciptakan suatu keadilan dan damai sejahtera tanpa
adanya pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum lainya, semisal pembunuhan,
kekerasan ataupun pelecehan seksual
Dalam perlindungan bagi korban, jika tidak adanya perlindungan pada korban
kejahatan akan menjadikan dampak luas, bahkan mengakibatkan sifat kriminogen yaitu
mengurangi rasa kepercayaan masyarakat dalam penanggulangan kejahatan
Adapun Hak-hak yang wajib diperuntukan oleh saksi dan korban antaranya :
Kerahasiaan juga dibatasi karena anak wajib melaporkan segala bentuk kekerasan
juga untuk kepentingan terbaik buat anak serta kebutuhan demi keamanan yang akan
menjadikan terdepan dalam semua keputusan. Korban atau penyintas anak dan
keluarganya memiliki kebutuhan khusus dan meminta dukungan juga layanan khusus
berdasarkan kebutuhan tersebut. Anak-anak juga perlu diwawancarai dan dirawat di
tempat yang mereka rasa aman dengan menggunakan teknik komunikasi yang ramah
anak.
Berdasarkan Pasal tersebut diatas, memiliki arti yakni KDRT (kekerasan dalam
rumah tangga) adalah perbuatan terhadap anggota keluarga dalam satu keluarga yang
menimbulkan kepedihan, kemalangan, penderitaan, dan beban yang terjadi kepada pihak
anggota keluarga yang lain. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau disingkat dengan
KDRT bisa memicu adanya korban yang akhirnya mengakibatkan adanya kekerasan
seksual, kekerasan fisik, psikis, bahkan penelantaran terhadap korban yang ditimbulkan
karena adanya KDRT ini, oleh sebab itu perlunya perlindungan kepada pihak korban.
Melihat sedemikian banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di
Indonesia yang kerpa sekali menjadi korban KDRT ialah wanita dan anak anak, mereka
sering kali menjadi sasaran untuk melakukan tindakan kekerasan dikarenakan mereka
merupakan golongan yang lemah secara psikis maupun fisik, sehingga dalam melakukan
pembelaan diripun mereka tidak berdaya. Kedudukan anak dan perempuan dianggap
lebih rendah sehingga sangat rentan jika berada dalam keluarga yang memiliki daya
tinggi untuk terjadinya suatu tindak kekerasan.
Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dapat memicu banyak sekali akibat
buruk untuk si korban maupun bagi anggota keluarga yang lain, contohnya seperti
memberikan rasa trauma, rasa sakit, rasa ketakutan, dan tidak memiliki rasa tenang lagi
dalam lingkungan keluarga. Bagi seorang korban tindak kekerasan dalam rumah tangga
akan memiliki kesulitan yang dalam untuk melupakan suatu perbuatan yang dialaminya,
sehingga dalam menjalani kehidupan setiap harinya menjadi tidak damai atau tenang.
Tidak hanya itu korban KDRT akan mengalami rasa trauma serta terpaksa selepas
mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Bagi korban yang mendapatkan kekerasan
fisik, juga akan mendapatkan penderitaan fisik dan rasa sakit. Terlebih lagi dari
banyaknya kasus dimana cedera fisik sangat sulit untuk disembuhkan, dan hal itu
menyebabkan terjadinya cacat fisik secara tetap (permanen) diakibatkan suatu
penganiayaan atau kekerasan yang dialaminya. Kemudian korban juga mengalami rasa
ketakutan yang menghantuinya, yang memungkinkan akan terjadi lagi tindak kekerasan
yang akan dialaminya seperti dulu.
Berdasarkan banyaknya dampak buruk yang di dapat oleh korban kekerasan dalam
rumah tangga, butuh adanya upaya untuk melindungi korban KDRT tersebut, tujuan dari
adanya perlindungan korban KDRT itu bermaksud supaya korban terlepas ari kekerasan
dan mengupayakan pemulihan untuk korban, dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dijelaskan tujuan UU
PKDRT adalah menjaga korban kekerasan dalam rumah tangga, menangani pelaku
KDRT, serta menegakkan dan menjaga keutuhan dan keharmonisan dalam rumah tangga.
Disini korban kekerasan dalam rumah tangga mempunyai beberapa hak-hak yang
harus dipenuhi selagi dalam proses hukum berdasarkan Pasal 10 UU No. 23 Tahun 2004
diantara lain yaitu:
Namun pada hakekatnya, hak-hak korban KDRT belum dapat dipenuhi dan belum
dilakukan secara baik, dari berbagai kasus KDRT dalam melindungi korban justru
condong dilakukan oleh keluarga korban sendiri tanpa membawa aparat keamanan. Dan
dalam proses pemulihan korban, tindakan pemulihan ini lebih condong dilakukan oleh
keluarga dari pihak korban KDRT, dikarenakan karena korban cenderung merasa
nyaman untuk melaksanakan perawatan mandiri.
Dalam menyelesaikan kejahatan kekerasan dalam rumah tangga ini sangat penting
untuk diatasi baik itu peran dari pemerintah maupun masyarakatnya sendiri, pemerintah
daerah bisa bekerjasama bersama masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan
kekerasan dalam rumah tangga ini sehingga penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
dapat ditangani degan baik bahkan dapat dihapuskan.
Tindak pidana terorisme adalah salah satu kejahatan yang masuk ke dalam bagian
extraordinary crime (kejahatan luar biasa). Maksud dari kejahatan luar biasa yaitu suatu
kejahatan yang sangat tidak berperikemanusian atau kejahatan yang menghilangkan atau
melanggar Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Pengganti UU RI
No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme disebutkan bahwa
“tindak pidana terorisme ialah seluruh kegiatan yang telah memenuhi unsur-unsur
pidana sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini”
Oleh sebab itu diperlukan adanya perlindungan dan hak-hak korban dari tindak
pidana terorisme ini. Perlindungan yang diberikan kepada pihak korban terorisme
sangatlah urgent, melihat dari beberapa korban dari suatu tindak pidana apa saja belum
memperoleh perlindungan yang memadai. Hak-hak korban haruslah diberikan kepada si
korban kejahatan karena itu merupakan suatu hak yang harus ia terima.
Pengajuan kompensasi dan restitusi ini juga sudah diatur dalam Pasal 38. Tidak
hanya itu saja berdasarkan pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Pasal 3 seyogyanya
amatlah penting untuk memberikan perlindungan kepada korban tindak pidana terorisme.
Salah satu upaya perlindungan yang bisa diberikan oleh korban kejahatan terorisme
adalah memberikan pelayanan medis, atau pelayanan hukum, sebagai bentuk
pendampingan kepada pihak korban baik itu diminta maupun tidak diminta oleh si
korban.
Adapun dalam hukum di Negara Indonesia ini memiliki pasal-pasal yang mengatur
didalamnya dan pasal-pasal tersebut mengenai adanya hak suatu keadilan untuk korban.
Dalam UUD 1945 secara tersirat dalam pasal 28G dan pasal 28I. Adapun isi dari pasal
28G tersebut yakni " setiap orang berhak atas perlindungan diri, kehormatan dan
martabat serta rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu".
Sementara dalam pasal 28I " menyebut setiap orang memiliki hak untuk tidak
disiksa dan mendapatkan perlakuan diskriminatif". Dan tidak hanya itu, dalam
Undangan-Undang Nomor.31 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) itu juga
mengatur hak warga negara untuk bebas dari kekerasan seksual, karena dalam pasal 4
tersebut juga menyebutkan "setiap orang untuk hidup, tidak disiksa dan tidak
diperbudak"
Tindakan ini juga mengacu dalam KUHP juga UU No.23 Tahun 2004 yang mana
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT) dan UU no.35 Tahun 2014
tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Dalam KUHP tersebut ada beberapa yang mengatur antaranya:
a. Pasal 281,282,283 bis ( mengatur merusak kesusilaan dan kesopanan )
b. Pasal 285,286,287,288 ( mengatur pemerkosaan)
c. Pasal 289,290,292,293,294 dan 295 ( mengatur pencabulan )
d. Pasal 296,297,506 ( mengatur tentang memperdagangkan orang
e. Pasal 299 ( mengatur pemaksaan aborsi )
Jadi mekanisme dalam kekerasan seksual itu diantaranya :
a) Sosio budaya yang belum memahami kesetaraan gender
b) Faktor kekerasan seksual terhadap perempuan adalah ketimpangan antara laki-laki
dan perempuan
c) Untuk melindungi warga terhadap kekerasan seksual
Tidak asing lagi dengan kata bullying yaitu perlakuan yang tidak baik dalam
bentuk penindasan atau kekerasan dengan sengaja yang dilakukan oleh satu orang bahkan
sekelompok orang dengan bertujuan seorang tersebut tidak merasa nyaman bahkan
menimbulkan dampak buruk baginya. Biasanya buli membuli ini menyakiti secara fisik
seperti pukul memukul, mendorong dan lain-lain, dan peristiwa ini kebanyakan dalam
lingkungan anak remaja apalagi dalam lingkungan wilayah sekolah karena pada masa-
masa seperti itu masih nakal-nakalnya perbuatan atau kurangnya didikan.
Biasanya korban bullying tersebut memiliki tingkatan sosial menengah kebawah
karena korban tersebut menggambarkan sebagai seseorang yang bodoh, gagal dan tidak
menarik, disitulah munculnya pemikiran yang akan ditakutkan terjadinyanya dampak lain
seperti melakukan bunuh diri.
Adapun Undang-Undang yang mengatur diantaranya UU perlindungan anak, UU
No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU SPPA. Walaupun adanya
Undang-Undang yang sudah mengatur, kejadian bulli membuli masih terjadi. Selain UU
tersebut ada juga dalam Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak adalah seseorang yang
belum mencakup usia 18 tahun, termasuk juga anak yang ada didalam kandungan.
Selanjutnya Pasal 1 angka 4 UU SPPA " merupakan anak yang menjadi korban tindak
pidana disebutkan anak korban yang belum berusia 18 tahun yang mana mengalami
penderitaan fisik, mental atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana".
Terkait dengan perlindungan anak yang menjadi korban bullying, terdapat
Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu Pasal 54 Jo Pasal 9 ayat (1a) bahwa " Anak
didalam dan dilingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari
tindakan kekerasan secara fisik, psikis, kejahatan seksual dan kejahatan lainya yang mana
dilakukan oleh pendidik atau tenaga pendidikan juga sesama peserta didik ataupun pihak
lainnya".
Untuk solusi dalam penyelesaian terhadap bullying yakni penegak hukum serta
perlindungan hukum terhadap anak harus dilaksanakan secara lebih cermat dan bijaksana
dan berhati-hati untuk kepentingan anak dikemudian hari.