Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS MENGENAI KORBAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG YANG

BERLAKU DI INDONESIA

(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Viktimologi”)

Dosen Pengampu :

Marli Candra, LLB (Hons)., MCL, LLB (Hons)., MCL

Disusun Oleh :

Ahmad Ainun Izzi As’ari (C73219047)

Nabillah Zahratna N (C93219094)

Nur Lailatun Nuzulul M (C93219099)

Tyas Nur Alya Safitri (C93219109)

HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2022
PEMBAHASAN

1. Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang No. 13


Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Dalam Undang-Undang tersebut adakalanya pengertian Korban dan saksi, dimana


pengertian korban adalah Orang yang mengalami penderitaan fisik,mental atau kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh sesuatu tindak pidana. Dan begitupula saksi, disini
adanya dua jenis saksi yakni saksi dan saksi pelaku.

Untuk saksi itu sendiri adalah orang yang memberikan keterangan untuk suatu
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan tentang
tindak pidana yang didengar sendiri atau melihatnya sendiri ataupun juga ia
mengalaminya sendiri. Sedangkan saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa atau terpidana
yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkapkan suatu tindak pidana
dalam kasus yang sama.

Jadi dalam perlindungan hukum yang diberikan oleh Korban sebagai Korban, ialah
melainkan sebagai saksi untuk melengkapi alat bukti dan data-data untuk mengungkapkan
kejahatan tindak pidana. Adanya dalam perlindungan hukum tidak hanya kepada korban
dan saksi saja bahkan seluruh warga masyarakat karena pentingnya perlindungan dan
penegakan hukum itu untuk menciptakan suatu keadilan dan damai sejahtera tanpa
adanya pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum lainya, semisal pembunuhan,
kekerasan ataupun pelecehan seksual

Dalam perlindungan bagi korban, jika tidak adanya perlindungan pada korban
kejahatan akan menjadikan dampak luas, bahkan mengakibatkan sifat kriminogen yaitu
mengurangi rasa kepercayaan masyarakat dalam penanggulangan kejahatan

Adapun Hak-hak yang wajib diperuntukan oleh saksi dan korban antaranya :

a. Memperoleh perlindungan atas keselamatan pribadi, keluarga dan harta bendanya


serta dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah
diberikannya.
b. Berpartisipasi dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan, memberikan informasi tanpa tekanan, memperoleh terjemahan,
dan membebaskan diri Anda dari masalah kusut.
c. Menerima informasi tentang kemajuan suatu kasus, menerima informasi tentang
keputusan pengadilan, menerima informasi tentang penjahat yang dibebaskan dan
identitas mereka dirahasiakan.
d. Dapatkan status baru, dapatkan rumah sementara, dapatkan tempat tinggal baru,
dapatkan penggantian biaya transportasi sesuai kebutuhan.
e. Dapatkan nasihat hukum, dapatkan bantuan biaya hidup sementara dan dapatkan
bantuan.
2. Peraturan Menteri PPPA No. 13 Tahun 2020

Pengertian korban dalam ketentuan Pasal 1 ayat 10 menjelaskan bahwa “Korban


adalah seseorang yang pernah mengalami KBG (Kekerasan Berbasis Gender). Pengertian
KGB telah dijelaskan pada ayat 3 yang berbunyi, “Kekerasan Berbasis Gender yang
selanjutnya disingkat KBG adalah pelanggaran hak asasi manusia yang disebabkan oleh
peran pelabelan berdasarkan jenis kelamin, yang mengingkari martabat manusia dan hak
atas diri sendiri yang berdampak pada, atau berdampak menyerupai fisik, psikis, dan
seksual atau membawa penderitaan bagi perempuan dan anak termasuk di dalamnya
segala bentuk tindakan, paksaan, kesewenang-wenangan serta merampas kemerdekaan,
yang dilakukan di ranah publik maupun kehidupan pribadi.”

a. Di dalam pasal 1 nomor 3 BAB III dijelaskan jenis-jenis korban KBG:


Ketika memberikan layanan kesehatan kepada perempuan dan anak yang terkena
bencana, petugas kesehatan memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa layanan
kesehatan yang diberikan bersifat rahasia, tidak diskriminatif dan dapat diakses, ramah
juga tepat waktu serta sesuai permintaan.
Penyedia layanan kesehatan berada di garis depan dalam memberikan bantuan kepada
KBG selama keadaan darurat pascabencana dan dapat memainkan peran penting dalam
mengidentifikasi masalah perlindungan, mengembangkan strategi pencegahan dan
memberikan rujukan untuk layanan lain.
Dalam keadaan normal, perempuan juga anak korban KBG dalam bencana akan
diberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit dan puskesmas yang mana mampu untuk
menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Ketika adanya kejadian bencana pelayanan kesehatan daerah terkena dampak bencana
dan bencana skala besar, mereka lumpuh atau tidak dapat berfungsi. Awal mula fase
dalam tanggap darurat pasca bencana, pelayanan kesehatan tersebar melalui di beberapa
lokasi dalam bentuk posko kesehatan.
Layanan ini digagas oleh sub klaster kesehatan reproduksi bekerja sama dengan
penyedia layanan kesehatan pelengkap dari pemerintah, non pemerintah dan negara lain
di bawah koordinasi Klaster Kesehatan Nasional, Pusat Manajemen Krisis Kesehatan
(PPKK), layanan Kesehatan Khusus Korban antaranya:
a) Korban : Ibu hamil sangat penting untuk membedakan mana kekerasan seksual yang
terjadi pada ibu hamil atau kehamilan yang disebabkan oleh pemerkosaan. Wanita
yang mengalami kekerasan seksual selama kehamilan akan mengakibatkan resiko
komplikasi seperti keguguran, hipertensi gestasional, kelahiran prematur, infeksi
termasuk hepatitis dan HIV. Untuk para korban atau penyintas juga memerlukan
konseling dan rujukan khusus ke layanan ginekologi. Dan untuk penyedia layanan
kesehatan harus memastikan bahwa obat yang diberikan dalam CMR tidak memiliki
efek samping pada kehamilan.
b) Korban Remaja Perempuan : Wanita muda sangat rentan terhadap BEC dalam situasi
darurat. Mengingat usia mereka, kurangnya keterampilan membuat keputusan dan
akses terbatas ke layanan, perhatian khusus harus diberikan untuk menghilangkan
hambatan dan memfasilitasi akses ke layanan untuk gadis-gadis muda ini. Misalnya,
orang tua harus memberi tahu remaja putri/penyintas tentang dampak jangka panjang
pada kesehatan reproduksi mereka jika mereka menolak perawatan medis.
Pentingnya untuk memastikan bahwa petugas kesehatan perempuan memiliki akses ke
konseling dan perawatan kesehatan serta sistem kesehatan harus mengembangkan
perjanjian layanan untuk para gadis muda
c) Korban Laki-laki : Laki-laki dan anak laki-laki dapat menjadi korban BEC dalam
situasi darurat, termasuk pemerkosaan dan bentuk kekerasan seksual lainnya.
Kekerasan seksual terhadap laki-laki seringkali dijadikan senjata untuk melemahkan,
mendominasi dan mengikis pemahaman tradisional tentang gender dan maskulinitas,
sehingga mereka malu untuk melapor ke BEC, dan malu untuk mendekatinya dan
mengakses layanan yang ada. Korban/penyintas laki-laki memiliki kebutuhan khusus
untuk pengobatan dan layanan medis yang ditargetkan. Dalam perawatan kesehatan
harus memahami dan dilatih untuk mengidentifikasi indikasi BEC pada pria dan anak
laki-laki dewasa.
d) Korban Anak-anak : Anak-anak lebih rentan terhadap eksploitasi dan pelecehan
daripada orang dewasa karena usia, ukuran dan kemampuan mereka untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Dalam keadaan darurat atau bencana,
sistem yang melindungi mereka, keluarga dan komunitas mereka rusak, membuat
mereka rentan terhadap kekerasan dan layanan harus diberikan atas dasar non-
diskriminatif dengan persetujuan pengasuh dan anak.

Kerahasiaan juga dibatasi karena anak wajib melaporkan segala bentuk kekerasan
juga untuk kepentingan terbaik buat anak serta kebutuhan demi keamanan yang akan
menjadikan terdepan dalam semua keputusan. Korban atau penyintas anak dan
keluarganya memiliki kebutuhan khusus dan meminta dukungan juga layanan khusus
berdasarkan kebutuhan tersebut. Anak-anak juga perlu diwawancarai dan dirawat di
tempat yang mereka rasa aman dengan menggunakan teknik komunikasi yang ramah
anak.

3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam


Rumah Tangga

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam


Rumah tangga ialah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai berbagai
tindak kejahatan yang terjadi di dalam rumah tangga. Biasanya yang paling sering
menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan. Begitu juga telah
disebutkan dalam Pasal 1 (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 mengenai
Penghapusan KDRT yang dimaksud dengan korban disini ialah “Kekerasan dalam rumah
tangga yaitu setiap perbuatan atau tindakan terhadap seseorang terutama perempuan,
yang berdampak timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologi, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
tindakan, pemaksaan, perampasan, kemerdekaan secara melawan hukum dalam ruang
lingkup rumah tangga.”

Berdasarkan Pasal tersebut diatas, memiliki arti yakni KDRT (kekerasan dalam
rumah tangga) adalah perbuatan terhadap anggota keluarga dalam satu keluarga yang
menimbulkan kepedihan, kemalangan, penderitaan, dan beban yang terjadi kepada pihak
anggota keluarga yang lain. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau disingkat dengan
KDRT bisa memicu adanya korban yang akhirnya mengakibatkan adanya kekerasan
seksual, kekerasan fisik, psikis, bahkan penelantaran terhadap korban yang ditimbulkan
karena adanya KDRT ini, oleh sebab itu perlunya perlindungan kepada pihak korban.

Melihat sedemikian banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di
Indonesia yang kerpa sekali menjadi korban KDRT ialah wanita dan anak anak, mereka
sering kali menjadi sasaran untuk melakukan tindakan kekerasan dikarenakan mereka
merupakan golongan yang lemah secara psikis maupun fisik, sehingga dalam melakukan
pembelaan diripun mereka tidak berdaya. Kedudukan anak dan perempuan dianggap
lebih rendah sehingga sangat rentan jika berada dalam keluarga yang memiliki daya
tinggi untuk terjadinya suatu tindak kekerasan.

Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dapat memicu banyak sekali akibat
buruk untuk si korban maupun bagi anggota keluarga yang lain, contohnya seperti
memberikan rasa trauma, rasa sakit, rasa ketakutan, dan tidak memiliki rasa tenang lagi
dalam lingkungan keluarga. Bagi seorang korban tindak kekerasan dalam rumah tangga
akan memiliki kesulitan yang dalam untuk melupakan suatu perbuatan yang dialaminya,
sehingga dalam menjalani kehidupan setiap harinya menjadi tidak damai atau tenang.
Tidak hanya itu korban KDRT akan mengalami rasa trauma serta terpaksa selepas
mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Bagi korban yang mendapatkan kekerasan
fisik, juga akan mendapatkan penderitaan fisik dan rasa sakit. Terlebih lagi dari
banyaknya kasus dimana cedera fisik sangat sulit untuk disembuhkan, dan hal itu
menyebabkan terjadinya cacat fisik secara tetap (permanen) diakibatkan suatu
penganiayaan atau kekerasan yang dialaminya. Kemudian korban juga mengalami rasa
ketakutan yang menghantuinya, yang memungkinkan akan terjadi lagi tindak kekerasan
yang akan dialaminya seperti dulu.

Berdasarkan banyaknya dampak buruk yang di dapat oleh korban kekerasan dalam
rumah tangga, butuh adanya upaya untuk melindungi korban KDRT tersebut, tujuan dari
adanya perlindungan korban KDRT itu bermaksud supaya korban terlepas ari kekerasan
dan mengupayakan pemulihan untuk korban, dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dijelaskan tujuan UU
PKDRT adalah menjaga korban kekerasan dalam rumah tangga, menangani pelaku
KDRT, serta menegakkan dan menjaga keutuhan dan keharmonisan dalam rumah tangga.

Mengenai perlindungan terhadap korban tindak pidana kekerasan dalam rumah


tangga atau KDRT sudah disebutkan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 terletak
pada Pasal 1 (4) yang intinya ialah perlindungan merupakan segala usaha yang diberikan
oleh pihak keluarga, para aparat penegak hukum seperti kepolisian, advokat, kejaksaan,
pengadilan dan atau dari pihak lain baik itu sementara maupun yang berlandasakan
penetapan pengadilan, yang mana ditujukan kepada korban untuk memberikan rasa aman.

Disini korban kekerasan dalam rumah tangga mempunyai beberapa hak-hak yang
harus dipenuhi selagi dalam proses hukum berdasarkan Pasal 10 UU No. 23 Tahun 2004
diantara lain yaitu:

1. Hak untuk mendapatkan perlindungan


Salah satu contoh untuk mendapatkan perlindungan yaitu dari pihak kepolisian.
Setelah adanya laporan kekerasan paling lama 24 jam, pihak kepolisian memberikan
perlindungan kepada pihak korban. Kemudian pihak kepolisian mengajukan
penetapan ke pengadilan untuk pemberian perlindungan. Untuk hal ini Ketua
Pengadilan akan menetapkan perlindungan dengan dasar yang kuat kepada pihak
korban untuk memberikan perlindungan. Tujuan adanya perlindungan ini yaitu untuk
menahan atau mencegah terjadinya kekerasan yang lebih dalam kepada pihak korban.
2. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
Korban kekerasan dalam rumah tangga perlu mendapatkan pelayanan kesehatan atau
perawatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan atau dari pihak keluarga sendiri.
Sehingga kepolisian tidak perlu lagi untuk melakukan penganan pelayanan kesehatan
ini. Akan tetapi pihak kepolisian tetap harus menanyakan kepada pihak korban apakah
penanganan yang sudah korban terima cukup memadai, hal ini dilakukan supaya
pihak korban mendapatkan perawatan yang baik.
3. Hak untuk mendapatkan pendampingan dari pekerja sosial dan bantuan hukum
Pendampingan terhadap korban KDRT jarang untuk dilaksanakan atau dilakukan.
Walaupun dari pihak kepolisian berusaha suapaya korban mendapatkan pendapingan
yang baik dari advokat, hal ini jarang dilaksanakan, dikarenakan pihak korban yang
menolaknya sendiri. Karena pihak korban biasanya sudah didampingi oleh keluarga
terdekatnya, sehingga korban merasa tidak perlu didampingi lagi oleh penasihat
hukum. Dan korban merasa lebih percaya dan nyaman jika didampingi oleh keluarga
dekatnya.
4. Hak melindungi kerahasiaan korban
Maksud dari melindungi kerahasiaan korban disini yaitu untuk mencegah terjadinya
publikasi dari media massa. Pihak kepolisian melarang media massa untuk meliput,
selama proses penyidikan. Perlu diingat bahwa masalah KDRT merupakan masalah
keluarga, dimana bila masalah ini diketahui oleh banyak orang, sebagian orang dalam
masalah KDRT akan merasa malu, dan menyebarkan masalah keluarga dapat
dianggap sebagai pencemaran nama baik keluarga.
5. Hak untuk mendapatkan bimbingan rohani.
Dari pihak kepolisian sendiri sudah menyediakan bimbingan rohani untuk korban
KDRT yang setiap saat dapat memberikan kerohaniyan sesuai dengan kepercayaan
yang dianutnya.

Namun pada hakekatnya, hak-hak korban KDRT belum dapat dipenuhi dan belum
dilakukan secara baik, dari berbagai kasus KDRT dalam melindungi korban justru
condong dilakukan oleh keluarga korban sendiri tanpa membawa aparat keamanan. Dan
dalam proses pemulihan korban, tindakan pemulihan ini lebih condong dilakukan oleh
keluarga dari pihak korban KDRT, dikarenakan karena korban cenderung merasa
nyaman untuk melaksanakan perawatan mandiri.

Dalam menyelesaikan kejahatan kekerasan dalam rumah tangga ini sangat penting
untuk diatasi baik itu peran dari pemerintah maupun masyarakatnya sendiri, pemerintah
daerah bisa bekerjasama bersama masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan
kekerasan dalam rumah tangga ini sehingga penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
dapat ditangani degan baik bahkan dapat dihapuskan.

4. Pengaturan Korban Tindak Pidana Terorisme

Tindak pidana terorisme adalah salah satu kejahatan yang masuk ke dalam bagian
extraordinary crime (kejahatan luar biasa). Maksud dari kejahatan luar biasa yaitu suatu
kejahatan yang sangat tidak berperikemanusian atau kejahatan yang menghilangkan atau
melanggar Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Pengganti UU RI
No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme disebutkan bahwa
“tindak pidana terorisme ialah seluruh kegiatan yang telah memenuhi unsur-unsur
pidana sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini”

Definisi mengenai korban dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana


No. 15 Tahun 2003 tidak ditemukan definisi atau istilah dari tindak pidana terorisme.
Sama hal nya dengan definisi korban, secara khusus tidak ditemukan di dalam undang-
undang tersebut. Tindak pidana terorisme sendiri merupakan perbuatan yang dilakukan
oleh orang atau kelompok dengan cara kekerasan dan merupakan kejahatan yang serius
dengan bentuk mengancam baik itu dengan sengaja ataupun tidak, serta dalam perbuatan
tersebut melahirkan rasa takut, rasa tidak aman, dan bahkan sampai merusak segala
fasilitas umum baik secara nasional dan internasional.

Dapat diambil kesimpulan bahwa korban terorisme ialah seseorang yang


mengalamai kesulitan atau penderitaan mental, fisik, ataupun kerugian ekonomi yang
ditimbulkan oleh tindak pidana terorisme. Dari pengertian korban tersebut dapat dilihat
bahwa korban terorisme mengalami banyak penderitaan yang diakibatkan oleh kejahatan
terorisme ini. Dan dari definisi korban terorisme dapat diketahui mengapa bisa dikatakan
sebagai “korban terorsime” dikarenakan adanya suatu beban atau derita yang dialami
seseorang diakibatkan adanya kejahatan terorisme tersebut, sehingga menimbulkan
berbagai dampak buruk bagi si korban, dan diperlukan adanya tindakan lebih lanjut untuk
si korban kejahatan terorisme.

Oleh sebab itu diperlukan adanya perlindungan dan hak-hak korban dari tindak
pidana terorisme ini. Perlindungan yang diberikan kepada pihak korban terorisme
sangatlah urgent, melihat dari beberapa korban dari suatu tindak pidana apa saja belum
memperoleh perlindungan yang memadai. Hak-hak korban haruslah diberikan kepada si
korban kejahatan karena itu merupakan suatu hak yang harus ia terima.

Perlindungan terhadap hak-hak korban tindak pidana terorisme diatur dalam


Undang-Undang No. 15 Tahun 2018 pada Pasal 36, dalam pasal ini mengatur mengenai
hak-hak korban kejahatan terorisme, yang dalam pasal ini juga ahli waris atau korban
berhak mendapatkan kompensasi dan restitusi. Kompensasi merupakan tanggung jawab
dari negara, sedangkan restitusi merupakan suatu ganti rugi diberikan oleh si pelaku.
Dimana restitusi ini merupakan bentuk tanggung jawab dari pihak pelaku karena telah
mengakibatkan derita serta kerugian yang dialami oleh si korban karena adanya kejahatan
serius tersebut.

Pengajuan kompensasi dan restitusi ini juga sudah diatur dalam Pasal 38. Tidak
hanya itu saja berdasarkan pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Pasal 3 seyogyanya
amatlah penting untuk memberikan perlindungan kepada korban tindak pidana terorisme.
Salah satu upaya perlindungan yang bisa diberikan oleh korban kejahatan terorisme
adalah memberikan pelayanan medis, atau pelayanan hukum, sebagai bentuk
pendampingan kepada pihak korban baik itu diminta maupun tidak diminta oleh si
korban.

5. Undang-undang yang mengatur kekerasan dalam pelecehan seksual

Ada beberapa kekerasan dalam pelecehan seksual ini diantaranya :


a. Pelecehan seksual
b. Pemaksaan aborsi
c. Pemaksaan perkawinan
d. Perkosaan
e. Perbedaan seksual
f. Penyiksaan seksual

Adapun dalam hukum di Negara Indonesia ini memiliki pasal-pasal yang mengatur
didalamnya dan pasal-pasal tersebut mengenai adanya hak suatu keadilan untuk korban.
Dalam UUD 1945 secara tersirat dalam pasal 28G dan pasal 28I. Adapun isi dari pasal
28G tersebut yakni " setiap orang berhak atas perlindungan diri, kehormatan dan
martabat serta rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu".
Sementara dalam pasal 28I " menyebut setiap orang memiliki hak untuk tidak
disiksa dan mendapatkan perlakuan diskriminatif". Dan tidak hanya itu, dalam
Undangan-Undang Nomor.31 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) itu juga
mengatur hak warga negara untuk bebas dari kekerasan seksual, karena dalam pasal 4
tersebut juga menyebutkan "setiap orang untuk hidup, tidak disiksa dan tidak
diperbudak"
Tindakan ini juga mengacu dalam KUHP juga UU No.23 Tahun 2004 yang mana
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT) dan UU no.35 Tahun 2014
tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Dalam KUHP tersebut ada beberapa yang mengatur antaranya:
a. Pasal 281,282,283 bis ( mengatur merusak kesusilaan dan kesopanan )
b. Pasal 285,286,287,288 ( mengatur pemerkosaan)
c. Pasal 289,290,292,293,294 dan 295 ( mengatur pencabulan )
d. Pasal 296,297,506 ( mengatur tentang memperdagangkan orang
e. Pasal 299 ( mengatur pemaksaan aborsi )
Jadi mekanisme dalam kekerasan seksual itu diantaranya :
a) Sosio budaya yang belum memahami kesetaraan gender
b) Faktor kekerasan seksual terhadap perempuan adalah ketimpangan antara laki-laki
dan perempuan
c) Untuk melindungi warga terhadap kekerasan seksual

Dalam perlindungan hukum sebagai korban diantaranya memberikan suatu bantuan


hukum, kerahasiaan atau privasi dalam identitas korban dan penangkapan pelaku dengan
bukti permulaan.

6. Undang-Undang yang mengatur tentang Bullying terhadap korban

Tidak asing lagi dengan kata bullying yaitu perlakuan yang tidak baik dalam
bentuk penindasan atau kekerasan dengan sengaja yang dilakukan oleh satu orang bahkan
sekelompok orang dengan bertujuan seorang tersebut tidak merasa nyaman bahkan
menimbulkan dampak buruk baginya. Biasanya buli membuli ini menyakiti secara fisik
seperti pukul memukul, mendorong dan lain-lain, dan peristiwa ini kebanyakan dalam
lingkungan anak remaja apalagi dalam lingkungan wilayah sekolah karena pada masa-
masa seperti itu masih nakal-nakalnya perbuatan atau kurangnya didikan.
Biasanya korban bullying tersebut memiliki tingkatan sosial menengah kebawah
karena korban tersebut menggambarkan sebagai seseorang yang bodoh, gagal dan tidak
menarik, disitulah munculnya pemikiran yang akan ditakutkan terjadinyanya dampak lain
seperti melakukan bunuh diri.
Adapun Undang-Undang yang mengatur diantaranya UU perlindungan anak, UU
No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU SPPA. Walaupun adanya
Undang-Undang yang sudah mengatur, kejadian bulli membuli masih terjadi. Selain UU
tersebut ada juga dalam Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak adalah seseorang yang
belum mencakup usia 18 tahun, termasuk juga anak yang ada didalam kandungan.
Selanjutnya Pasal 1 angka 4 UU SPPA " merupakan anak yang menjadi korban tindak
pidana disebutkan anak korban yang belum berusia 18 tahun yang mana mengalami
penderitaan fisik, mental atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana".
Terkait dengan perlindungan anak yang menjadi korban bullying, terdapat
Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu Pasal 54 Jo Pasal 9 ayat (1a) bahwa " Anak
didalam dan dilingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari
tindakan kekerasan secara fisik, psikis, kejahatan seksual dan kejahatan lainya yang mana
dilakukan oleh pendidik atau tenaga pendidikan juga sesama peserta didik ataupun pihak
lainnya".
Untuk solusi dalam penyelesaian terhadap bullying yakni penegak hukum serta
perlindungan hukum terhadap anak harus dilaksanakan secara lebih cermat dan bijaksana
dan berhati-hati untuk kepentingan anak dikemudian hari.

Anda mungkin juga menyukai