Anda di halaman 1dari 36

VIKTIMOGI

Rocky Yanitra
201710026
BAB 1

KONSEP, RUANG LINGKUP


KAJIAN, DAN SEJARAH
VIKTIMOLOGI
Konsep
Viktimologi
Viktimologi secara etimologis berasal dari kata
‘victima’ yang berarti korban dan ‘logos’ yang berarti
ilmu. Berdasarkan arti kata tersebut, viktimologi
diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang
korban kejahatan.

Berdasarkan beberapa pengertian para ahli, para ahli


mendefinisikan viktimologi dalam arti yang beragam;
ada yang membatasi hanya kepada korban kejahatan,
dan ada yang bahkan memperluas kepada korban
pada umumnya seperti korban bencana alam dan
korban penyalahgunaan kekuasaan.
Dari Special Victimology ke
New Victimology
Kajian atau studi viktimologi awalnya memfokuskan diri hanya
kepada korban kejahatan (special victimology). Munculnya special
victimology kiranya tidak dapat dilepaskan dari kegelisahan para ahli
kriminologi yang melihat bahwa studi tentang kejahatan didominasi oleh
kajian yang menitik beratkan kepada pelaku kejahatan (offender
oriented).

Asas, doktrin, prinsip, norma hukum, desain sistem peradilan pidana,


dan praktiknya dibuat dan dilaksanakan untuk melindungi dan
memenuhi hak-hak pelaku. Ketika membincang kejahatan dan segala
hal yang terkait, pasti tertuju kepada pelaku kejahatan. Korban menjadi
pihak yang terlupakan dalam sistem peradilan pidana (victim is a
forgotten people in the criminal justice system).
Tujuan dan Manfaat
Mempelajari Viktimologi
Muladi mengatakan bahwa viktimologi penting dipelajari dan dikaji karena bertujuan:
1. menganalisis berbagai aspek yang berkaitan dengan korban;
2. berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi; dan
3. mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan korban

Manfaat mempelajari viktimologi menurut Arif Gosita adalah sebagai berikut.


1. Viktimologi mempelajari hakikat siapa itu korban, viktimisasi, dan proses viktimisasi.
Dengan mempelajari viktimisasi, diperoleh pemahaman tentang etiologi kriminal terutama yang
berkaitan dengan penimbulan korban. Hal ini akan sangat membantu dalam upaya melakukan
tindakan preventif dan represif terhadap kejahatan yang lebih proporsional dan komprehensif.
2. Viktimologi juga memperjelas peran dan kedudukan korban dalam suatu tindak pidana. Hal ini
penting untuk mencegah timbulnya penimbulan korban berikutnya.
Sejarah dan
Perkembangan
Viktimologi
Pada sekitar tahun 1880-an, viktimologi awalnya hanyalah
sekadar studi kejahatan yang mempergunakan perspektif
korban sehingga wajar bila teori viktimologi yang
berkembang saat itu adalah victim blaming theory.

Di Indonesia, kajian viktimologi awalnya tidak


terlalu berkembang dibandingkan dengan kajian
kriminologi. Menurut G. Widiartana, terdapat
beberapa faktor mengapa kondisi tersebut terjadi.
BAB 2

GERAKAN HAK-HAK KORBAN


Kelahiran Gerakan
Hak-hak Korban
Gerakan hak-hak korban (victim rightsmovement) sebenarnya tidak dapat
dilepaskan dari sistem peradilan pidana di Amerika Serikat. Sistem ini awalnya
mengabaikan/mengeluarkan korban dari proses peradilan pidana. Sudah sejak
lama kejahatan dianggap sebagai pelanggaran terhadap masyarakat daripada
melanggar hak-hak korban dan keluarganya.

Hak-hak korban untuk didengar, hak untuk dihadirkan di depan sidang, hak untuk
diperlakukan secara adil, dan hak akan penghormatan terhadap martabat manusia
terabaikan. Korban diperlakukan tidak lebih hanya sebagai sarana yang
bermanfaat bagi pelaporan dan penuntutan suatu tindak pidana. Penuntut umum
sibuk mengurusi proses penuntutan dan hak-hak terdakwa, hakim hanya berfokus
kepada hak-hak terdakwa, sedangkan hak-hak korban dan keluarganya sama
sekali tidak diperhatikan.
Hak-Hak Korban
Korban berhak atas sejumlah hak. Menurut David Boyle, korban
secara umum berhak atas sejumlah hak, yaitu hak atas partisipasi,
hak representasi, hak atas perlindungan, dan hak atas reparasi.

Hak atas partisipasi seperti hak untuk ikut serta dalam


menentukan bentuk perlindungan dan keamanan yang diberikan
oleh negara.
Hak representasi meliputi hak untuk didengarkan keterangan
atau penderitaan yang dialami di depan persidangan.
Hak atas perlindungan meliputi hak korban untuk memperoleh
perlindungan fisik atau psikis selama atau setelah proses
persidangan berlangsung.
Hak reparasi terkaithak korban untuk memperoleh restitusi
daripelaku dan kompensasi dari negara.
BAB 3

TIPOLOGI KORBAN DAN


VIKTIMISASI SEKUNDER
Definisi Korban
Definisi korban awalnya dikaitkan dengan
agama,yaitu suatu penderitaan spiritual
daripadapenderitaan akibat suatu kejahatan.
Baru padaakhir abad ke-17 diskursus teoretis
tentang korban mengemuka dan tidak jarang
yang mengaitkannya dengan korban kejahatan.
Tipologi Korban
1. Korban Primer
Korban primer suatu kejahatan dalam bahasa Inggris disebut dengan sebutan atau istilah primary victim atau
direct victim. Dalam buku ini, korban primer diartikan sebagai seseorang atau sekelompok orang yang
menjadi objek suatu kejahatan. Korban adalah seseorang yang secara langsungmengalami suatu kerugian
ekonomi ataupenderitaan sebagai akibat dari perbuatanmelawan hukum seseorang.

2. Korban Sekunder
Korban sekunder disebut dengan istilahindirect victim, yaitu orang-orang yangmemiliki hubungan dengan
korban primerdan secara emosional dan/atau finansial bergantung kepada mereka seperti anak-anak,
orang tua, atau pasangan keluarga. Ketika seorang bapak atau ibu menjadi korban suatu kejahatan,
kerugian psikis atau ekonomi dapat dialami juga oleh anak-anak mereka meskipun sifatnya tidak langsung.

3. No Victimization
Istilah no victimization dalam diskursusteoretis di Barat disebut dengan crime without victim. Kemunculan
istilah tersebut tentu tidak dapat dilepaskan dari penggunaan cara pandang liberal untuk semua aspek
kehidupan termasuk kejahatan. Masyarakat Barat berpandangan bahwa perbuatan-perbuatan yang
dikriminalisasi hendaklah perbuatan- perbuatan yang mendatangkankerugian pada diri orang lain. Jika
tidak merugikan orang lain sekalipun tercela secaramoral, perbuatan- perbuatan itu tidak perlu
dikriminalisasi.
Viktimisasi
Sekunder
1. Konsep Viktimisasi Sekunder
Secondary victimization merupakan suatukonsep yang memiliki arti berbeda dengankonsep
secondary victim. Secondary victimization mengkaji keberadaan korbanyang secara tidak langsung
mengalamipenderitaan/kerugian dari suatu kejahatan, sedangkan secondary victim terjadi bukan
sebagai akibat dari tindak pidana, melainkan melalui respons institusi dan individu kepada korban.

2. Faktor-faktor Penyebab Viktimisasi Sekunder


Faktor penyebab terjadinya viktimisasi sekunder terkait keberadaan sistem peradilan pidana dan
para individu yang memiliki hubungan tertentu dengan korban.

3. Mencegah Viktimisasi Sekunder


Riset menunjukkan bahwa dukungan dan pemberdayaan korban dalam sistem peradilan pidana
umumnya menghasilkan hasil yang positif bagi korban. Korban merasa dihargai dan diperlakukan
secara baik oleh sistem peradilan pidana melalui keterlibatan dan pemberdayaan dalam setiap
proses dan pengambilan keputusan yang berdampak langsung terhadap mereka.
BAB 4

KEADILAN RESTORATIF
Konsep, Prinsip, dan Nilai-nilai
Keadilan Restoratif
Restorative justice sesungguhnya merupakan pengakuan terhadap
filsafat hukum oriental yang dalammenyelesaikan konflik apa pun selalu
berupaya untuk memulihkan hubungan pihak-pihak yang berkonflik seperti
keadaan sebelum konflik terjadi. Dalam alam pemikiran Timur, konflik pada
tingkat individual (mikro) dipandang dapat memengaruhi keseimbangan
pada tingkat makro (masyarakat), bahkan dapat memengaruhi kestabilan
alam semesta, yang terwujud dalam bentuk bencana alam. Oleh karena
itu, penyelesaian konflik juga merupakan upaya untuk mengembalikan
kestabilan alam semesta.
Keadilan Restoratif dan
Keadilan Retributif
Peran Tiap-tiap Peserta
dalam KeadilanRestoratif
Menurut Eriyantouw Wahid, para peserta yang terlibat aktif dalam program keadilanrestoratif dan peran yang
dimainkannyaadalah sebagai berikut.22
1. Korban kejahatan. Kepentingan korban kejahatan harus benar-benar dilindungidalam segala proses keadilan
restoratif.Persiapan yang matang harus dilakukan sebelum korban dan pelaku kejahatan dipertemukan.
2. Pelaku kejahatan. Dengan berpartisipasisecara sukarela dan mengaku bersalah, pelaku berhak memperoleh nasihat hukum
dan boleh sewaktu-waktu menarik diri. Kewajiban pelaku adalah bertanggungjawab dan memenuhi janji sesuai hasil
kesepakatan pertemuan.
3. Kepolisian. Sebaiknya undang-undang mengatur kewenangan polisi dalam mengalihkan kasus kepada proses restoratif,
terutama dalam hal perkara-perkara sedang dan lebih berat.
4. Kejaksaan. Hampir di semua negara didunia, jaksa adalah dominus litis, sang penentu perkara sehingga berperan besar
dalam menyerahkan perkara ke jalur restoratif. Apalagi sistem penuntutan di negara bersangkutan menganut asas oportunitas.
5. Penasihat hukum. Ia dapat memainkanperan untuk memberi pencerahan proses restoratif kepada pelaku kliennya dan
mendorong memilih proses restoratif demihasil yang menguntungkan.
6. Pengadilan. Baik di negara-negara common law maupun di negara- negara civil law, hakim dapat memainkan peran utama
di dalam mengalihkan perkara ke panggungrestoratif.
7. Petugas penjara. Proses restoratifdigunakan juga di lingkungan penjara.Petugas penjara yang berwenang sebaiknya
mempertimbangkan hasil mediasi restoratif antara pihak narapidana dengan korbannya, sebelum memutuskan pemberian lepas
bersyarat.
8. Komunitas. Tidak sedikit anggota suatu komunitas mencurigai program keadilan restoratif sebagai sarana untuk meringankan
pelaku kejahatan, terutamadalam konteks kejahatan berat.
Pentingnya Keadilan Restoratif
Bagi Korban Kejahatan
Keadilan restoratif penting bagi korban kejahatan karena kedudukan, peran, dan hak-
hak korban lebih dihargai dalam penyelesaian sengketa.

Pertama, korban dapat berperan lebih aktif dalam proses peradilan pidana.

Kedua , keadilan restoratif lebih berfokus pada upaya restoratif bagi korban
daripada pemidanaan terhadap pelaku.

Ketiga , keadilan restoratif menganggap penting peranan korban dalam proses


peradilan pidana.

Keempat , keadilan restoratif menghendaki agar pelaku mengambil tanggung jawab


langsung kepada korban.

Kelima , keadilan restoratif mendorong masyarakat untuk terlibat dalam


pertanggungjawaban pelaku dan mengusulkan suatu perbaikan yang berpijak
kepada kebutuhan korban dan pelaku.
BAB 5

MEDIASI PENAL
Konsep dan Prinsip-prinsip
Mediasi Penal
Penggunaan mediasi dalam sistem peradilan pidana dewasa ini tumbuh
dan berkembang sangat pesat. Tidak sedikit para ahli hukum pidana
yang menyerukan perlunya diadakan program-program yang bertujuan
mempertemukan korban dan pelaku sehingga masalah yang
mereka hadapi dapat diselesaikan dengan baik dan situasi kembali
berjalan dengan normal. Seruan tersebut didasari oleh suatu realitas
bahwa sistem peradilan pidana yang diterapkan dewasa ini terlalu
positivistik dan hanya bertujuan untuk memberikan balasan yang
setimpal kepada pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukan,
sehingga muncul ketidakpuasan dan ketidakadilan.
Model-Model Mediasi Penal

Model-model mediasi penal yang berkembang dewasa ini meliputi


traditionalvillage or tribal moots, victim-offendermediation, informal
mediation, reparation negotiation programs, community panels or courts,
dan family and community group conferences.Model-model tersebut
merupakan kerangka acuan di dalam menyelesaikan sengketa pidana.
Pilihan model tertentu berpengaruh terhadap hasil mediasi yang dicapai
dan dipengaruhi olehfaktor budaya, politik dan lain sebagainya.
Mediasi Penal dalam
Perundang-undangan
Dalam perundang-undangan di luar KUHP terdapat ketentuan
yang memungkinkan dilaksanakannya mediasi penal, walaupun dengan
pengaturan yang tidak begitu jelas. Pasal 1 huruf 7 Undang-Undang
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) adalah lembaga
mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara
lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian,
penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia (cetak
miring; pen). Pengertian mediasi hak asasi manusia yang
merupakan kewenangan Komnas HAM tidak dijelaskan di
dalam undang-undang tersebut sehingga tidak jelas pula
dalam konteks apa mediasi hak asasi manusia dilaksanakan.
Praktik Mediasi
Penal Berdasarkan
Nilai-nilai Budaya
Masyarakat
Penyelesaian perkara melalui musyawarah mufakat dan kekeluargaan telah
lamadipraktikkan oleh masyarakat Indonesia.Nilai-nilai budaya ketimuran
yangmenekankan kepada harmoni daripadakonflik memungkinkan dan
bahkanmendorong masyarakat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di
antara mereka melalui mekanisme out of court settlement bahkan dalam
perkara pidana sekalipun. Padabeberapa masyarakat adat,
penyelesaianperkara pidana dengan menggunakan saranmediasi penal
cenderung dikedepankandaripada menggunakan mekanisme peradilanpidana
yang kaku disertai dengan prosedur-prosedur yang sangat formal.
BAB 6

DIVERSI DALAM SISTEM


PERADILAN PIDANA ANAK
Konsep
Diversi

Diversi merupakan penyimpangan atau perubahan dari


proses peradilan pidana anak konvensional kepada
program-program komunitas sebagai pelatihan, pendidikan,
dan lain sebagainya yang menghindarkan anak dari
penjatuhan hukuman. Program ini diadakan untuk
mencegah intervensi pengadilan terhadap anak yang
melakukan tindak pidana karena kealpaan, tindak pidana
ringan, atau bolos sekolah.
Filosofi, Prinsip, Tujuan,
dan Kegunaan Diversi
Diversi lahir didasarkan kepada kenyataan bahwa proses peradilan pidana konvensional terhadap anak yang menjadi pelaku
kejahatan lebih banyak menimbulkan efek negatif daripada efek positif baik terhadap diri anak maupun keluarga dan
masyarakat.
Prinsip utama diversi adalah tindakan persuasif atau pendekatan nonpenal dan memberikan kesempatan kepada
seorang untuk memperbaiki kesalahan.
Diversi dilaksanakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu seperti untuk:
1. menghindari anak dari penahanan;
2. menghindari cap/label anak sebagai penjahat;
3. mencegah pengulangan tindak pidana yangdilakukan oleh anak agar anakbertanggung jawab atas perbuatannya;
4. melakukan intervensi-intervensi yangdiperlukan bagi korban dan anak tanpaharus melalui proses formal; dan
5. menjauhkan anak dari pengaruh danimplikasi negatif dari proses peradilan.

Diversi memiliki sejumlah kegunaan, yaitu:


1. tidak perlu dilakukan penahanan terhadapanak (menghindari penahanan);
2. menghindari stigma/cap sebagai penjahat;
3. peluang bagi anak meningkatkan keterampilan hidup;
4. peluang bagi anak bertanggung jawab atasperbuatannya;
5. tidak melakukan pengulangan tindak pidana;
Diversi dalam UU Sistem
Peradilan Pidana Anak
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak (UU SPPA) secara tegas menyatakan bahwa sistem peradilan
pidana anak wajibmengutamakan pendekatan keadilanrestoratif yang
meliputi:
(1) penyidikan danpenuntutan pidana anak yang dilaksanakansesuai
dengan ketentuan peraturanperundang-undangan;
(2) persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan
peradilan umum; dan
(3) pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/ atau
pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan
setelah menjalani pidana atau tindakan. SPPA juga wajib diupayakan
diversi (Pasal 5).
Praktik
Diversi
Diversi telah banyak dipraktikkan baik olehpenyidik di tingkat
penyidikan, penuntutumum di tingkat penuntutan, dan hakim ditingkat
pemeriksaan di sidang pengadilan.Penelitian Murdian Ekawati
tentang penerapan diversi di Pengadilan Negeri Mungkid, Magelang
mengungkap bahwa kepolisian sektor (polsek) setempat ternyata
sudah sering dan banyak menerapkan diversi terhadap kasus tindak
pidana yang pelaku dan korbannya adalah anak-anak salah satunya
adalah di Polsek Ngablak.
BAB 7

RESTITUSI DAN KOMPENSASI


Restitusi
Restitusi diartikan sebagai tindakan mengerjakan hal-hal yang baik atau
memberikan jumlah yang sama atas kehilangan, kerusakan, atau luka yang dialami
oleh korban. Restitusi diberikan oleh pelaku kejahatan kepada korbannya. Ketika
korban mengalami kerugian dan pelakunya teridentifikasi, pelaku dibebani
kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada korban. Restitusi dapat meliputi
pengembalian sejumlah uang atau nilai suatu objek yang diambil oleh pelaku,
biaya pemakaman, hilangnya gaji, dukungan dan pembayaran atas pengeluaran
medis, konseling, terapi, atau mencarikan korban suatu pekerjaan baru. 7
Restitusi hanya dibayarkan oleh pelaku atau pihak ketiga setelah adanya putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. 8 Dengan kata lain, pelaku
kejahatan harus dinyatakan terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana
agar restitusi bisa diklaim oleh korban.
Kompensasi
Kompensasi dapat digambarkan sebagai skema yang terkait dengan
pemberian dana-dana publik kepada seseorang yang menjadi korban suatu
kejahatan. Hal penting yang perlu dicatat di sini adalah bahwa dana
tersebutmerupakan dana publik yang dapat berasaldari sumber eksternal
kejahatan dan diberikan atas kebutuhan-kebutuhan khususkorban.25
Pemberian kompensasi kepadakorban bertujuan untuk memastikan adanya
respons yang lebih efektif kepada korban dalam sistem peradilan pidana.

Kompensasi yang diberikan kepada korban meliputi biaya berobat, konseling


kesehatan mental, biaya pemakaman, kehilangan gaji, biaya pembelian
kacamata, lensa kontak, perawatan gigi, pembelian alat-alat prostetik,biaya
berpindah atau relokasi, biaya transportasi untuk memperoleh perawatan
medis, rehabilitasi pekerjaan, layananpengganti bagi perawatan bayi/anak-
anak,dan bantuan domestik.
BAB 8

PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP KORBAN OLEH
LEMBAGA PERLINDUNGAN
SAKSI DAN KORBAN
Mengapa LPSK?
Terdapat beberapa argumentasi mengapa perlindungan hukum terhadap korban perlu
diberikan kewenangannya kepada LPSK.

Pertama, sebelum UU PSK dibentuk,perlindungan hukum terhadap korban masihditangani


secara parsial oleh lembaga yang menangani tindak pidana tertentu berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusian, tindak
pidana korupsi,tindak pidana pencucian uang, tindak pidana narkotika, dan tindak pidana
terorisme.

Kedua , saat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang


Hukum Acara Pidana (KUHAP) diundangkan, perlindungan hukum terhadap korban tidak
banyak diatur.

Ketiga , munculnya tuntutan atau desakan agar hak-hak korban lebih diakui, dilindungi, dan
dipenuhi.
BAB 9

VICTIM IMPACT STATEMENT


VIS
Victim Impact Statement (VIS) adalah keterangan yang diberikan oleh individu
yang mengalami kerugian dari suatu kejahatan atau kejadian traumatik lainnya.
Keterangan inidapat diberikan secara lisan, tertulis atau audio visual, dan pada
umumnya isi keterangan tersebut menggambarkan dampakpsikis, emosional,
psikologis, atau keuangandari suatu kejahatan yang diderita/dialami korban
atau keluarganya.1 VIS diyakinisebagai salah satu aspek yang melahirkanempati
kepada korban, yang membolehkan korban atau keluarganya untuk
menceritakan kejadian yang dialami. Ia juga memberdayakan korban di dalam
sistem peradilan pidana.
TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai