C73219059@student.uinsby.ac.id
Abstrak
Tinjauan ini dilakukan untuk mengetahui dan mendalami tentang tindak pidana penipuan
yang dilakukan oleh orang yang terkena gangguan jiwa atau penyakit kejiwaan Bipolar
Disorder. Untuk mengetahui pula apakah penderita kejiwaan bipolar ini dapat dijatuhi
hukuman sesuai pada hukum yang berlaku ataukah bisa bebas dari hukuman yang sesuai
terhadap tinjauan yuridis berdasarkan Pasal 44 KUHP. Penentuan pertanggung jawaban
pidana pengidap penyakit bipolar disorder yang disejajarkan sesuai pada situasi yang ikut
serta pengidap pada kasus hukum serta tidak bisa disama ratakan maka segala tindak
pidana yang dilancarkan oleh pengidap gangguan jiwa bipolar bisa diputuskan tidak layak
untuk bertanggung jawab atas tindakannya. Oleh karena itu, mengharuskan adanya
hubungan diantara perbuatan tindak pidana dan penyakit kejiwaan itu sendiri serta
perbuatan tersebut tidak dilancarkan saat keadaan sehat. Jika tidak teridentifikasi
hubungan antara penyakit kejiwaan tersebut dengan perilaku tindak pidana yang
diperbuat, maka terdakwa atau terputus bersalah dianggap mampu untuk
mempertanggung jawabkan perbuatannya dan dapat dijatuhi hukuman atau pidana.
Namun tolak ukur dalam menentukan pertanggung jawaban pidana pelaku penderita
gangguan bipolar adalah korelasi antara penyakitnya tersebut dalam melakukan tindak
pidana penipuan. Menurut argumentasi peneliti, sejauh ini pengidap kejiwaan bipolar pada
persidangan tidak dapat dipertimbangkan sebagai alasan pemaaf seperti yang tercantum
pada pasal 44 KUHP sehingga orang yang menderita gangguan bipolar dapat dijatuhi
hukuman atau pidana. Penyakit kejiwaan bipolar ini seringkali jadi sebagai alasan yang
keringan hukuman jika tidak ditemukan hubungan antara penyakit gangguan kejiwaan
bipolar serta tindak pidananya.
A. Pendahuluan
Tindak pidana atau tindak kejahatan telah terikat dalam peraturan yang jelas
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Untuk mewaspadai tiap
manusia yang melakukan perilaku tindak kejahatan atau perilaku tindak kekerasan,
dan jika orang tersebut terbukti mengidap gangguan kejiwan, maka hal ini
berpengaruh pada pasal 44 KUHP yang dasarnya tidak dapat dipidana dan gantinya
akan dikirim ke rumah sajit jiwa untuk mendapatkan perawatan selama satu tahun. 1
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak tercantum dengan jelas
sistem pertanggung jawaban pidana yang diikuti atau dijadikan dasar. Terdapat
beberapa pasal yang ada pada KUHP sering mencantumkan kesalahan berupa
kesengajaan atau kealpaan. Namun, kedua istilah tersebut tidak dijelaskan lebih
lanjut oleh undang-undang tentang maknanya. Jadi, antara disengaja atau lalai
(alpa) tidak terdapat keterangan tambahan dalam KUHP. Kedua istilah tersebut
sering digunakan dalam rangkuman tindak pidana, seakan-akan sudah pasti tetapi
tidak tahu apa definisinya. Hal itu seolah-olah tidak menciptakan adanya keraguan
dalam implementasinya.2
Karena kealpaan, misalnya, pasal 359 KUHP yang berbunyi : “Barangsiapa
karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana......”
dst.
Tidak adanya kejelasan lanjutan mengenai maksud dari unsur sengaja atau
alpa itu sendiri. Namun menurut doktrin serta argumen para ahli hukum
menyimpulkan jika dengan adanya kesimpulan tersebut berarti dalam pasal itu ada
unsur yang salah yang kemudian mengharuskan adanya pembuktian oleh
pengadilan. Dengan cara lain, untuk memberi hukuman pada pelaku selain telah
adanya bukti melakukan tindak kejahatan, maka unsur sengaja atau alpa tersebut
diharus adanya bukti. Dalam hukum pidana, terdapat teori yang digunakan untuk
ketetapan hubungan klausal secara normatif, namun bagaimanapun usaha untuk
mengukur suatu perbuatan bisa menententu dan menjadi sebab-musabab dari
akibat yang tidak diperbolehkan dan jika mengingat juga kompleksnya situasi yang
1
Sambutan Direktur Jendral Bina Kesehatan Masyarakat, Buku Pedoman Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan
R.I. Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat (Jakarta: Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat, 2003), hlm 4.
2
Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, I (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm 33.
telah terjadi disekitar itu, diperlakukan logika objektif yang sudah mencapai ilmu
pengetahuan lain. Hakim berfungsi untuk penerap hukum inconcrito tidak memiliki
pengetahuan yang menyeluruh tentang masalah tersebut, maka dari itu masih perlu
kontribusi atas ahli yang menguasai ilmu pengetahuan yang menyeluruh tentang
masalah ini, sehingga diperlukan kontribusi ahli yang menguasai ilmu pengetahuan
bantu yang mempunyai arti penting yaitu ilmu pengetahuan kedokteran. 3
B. Pembahasan
1. Pengertian Viktimologi
Terdapat pembahasan tentang korban ini tidak bisa terlepas dari ilmu
viktimologi. Viktimologi berasal dari bahasa lain “victim” mempunyai arti
korban dan “logos” yang mempunyai arti ilmu pengetahuan yang membahas
berhubungan mengenai korban (kejahatan/tindak pidana). Secara
terminologi, viktimologi adalah suatu ilmu yang mempelajari mengenai
korban, yang disebabkan oleh adanya korban dan akibat penumpukan
korban yang termasuk pada problem individu pada suatu kenyataan sosial. 4
Berkembangnya ilmu viktimologi sebagai satu tinjauan ilmu di awal
perkembangannya yang tidak dapat terpisah dari kriminologi.
Menurut Arif Gosita menyimpulkan bahwa viktimologi adalah
kumpulan pengetahuan ilmiah yang menyelidiki viktimisasi sebagai masalah
manusia dan realitas sosial Arif Gosita juga mengajukan konsep viktimitas,
yang ia definisikan sebagai viktimisasi kriminal dalam kasus ini: 5
“Suatu perbuatan yang menurut hukum dapat menimbulkan
penderitaan mental, fisik, dan sosial pada seseorang, oleh seseorang baik
untuk kepentingan sendiri ataupun orang lain”
Viktimologi sendiri memberikan definisi yang baik kepada korban
kejahatan penipuan yang disertai dengan ancaman sebagai reaksi atas
perilaku tersebut, yang dapat menyebabkan penderitaan mental, fisik, dan
3
Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dan Kumpulan Karangan Ilmiah, 1 ed. (Jakarta: Bina Aksara, 1982), hlm 200.
4
Misbahul Huda, “Tinjauan Viktimologi Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Main Hakim
Sendiri",” Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, 2017, t.t., hlm 12.
5
Andi Eka Yustika Ahmad, “Tinjauan Viktimologis Kejahatan Kekerasan dan Penghinaan Terhadap Penyandang
Cacat,” Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makasar, 2015, t.t., hlm 10.
sosial, dengan tujuan memberikan gambaran tentang perlindungan korban
yang sebenarnya, diikuti dengan penghubung antara pelaku dan korban yang
memberikan kenyamanan dan kesadaran bahwa setiap orang berhak
mengetahui bahaya yang dihadapinya dalam hubungannya dengan
lingkungannya.
6
Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terdapat Korban Kejahatan (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), 45.
7
Rahmat H Abdullah, “Tinjauan Viktimologi Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking),”
Jurnal Yustika, 2019, 22 No. 1. (t.t.): hlm 3.
8
Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, 2012. (Jakarta: Sinar Grafika, hlm.11-12.
makhluk hidup yang berkembang dan yang pembangunannya sangat
bergantung pada sumber daya alam lingkungan yang mengalami
bencana alam yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah, seperti
seperti tanah longsor, banjir, dan kebakaran. kesalahan dan perilaku
manusia yang tidak etis oleh individu dan kelompok komunal.
d) Korban masyarakat, bangsa, dan negara adalah mereka yang
diperlakukan tidak adil atau diskriminatif dalam alokasi hasil
pembangunan, serta orang-orang yang hak-hak sipil, kebebasan
berdemokrasi, hak ekonomi, hak sosial, dan hak budayanya tidak
meningkat dari tahun ke tahun.
3. Manfaat Viktimologi
Keuntungan yang diperoleh melalui meneliti viktimisasi adalah aspek
yang paling penting untuk kemajuan subjek ini. Dengan demikian, jika suatu
disiplin pada tahap awal tidak dapat membawa manfaat, baik praktis
maupun teoritis, maka mempelajari dan mengembangkannya akan sia-sia.
Hal ini juga berlaku saat meneliti viktimologi. Banyak keuntungan yang
diharapkan dapat diwujudkan dengan meneliti dan mengembangkan
viktimologi.
10
Arif Gosita, hlm 39.
11
Dr. G. Widiartana, S.H., M.Hum., Viktimologi Perspektif Korban dalam Penanggulangan Kejahatan, 2014
(Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, hlm.20.).
12
Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terdapat Korban Kejahatan, hlm 37-38.
sosial. Hal ini tidak dimaksudkan untuk menyanjung atau
memprioritaskan korban, tetapi lebih untuk memberikan penjelasan
tentang posisi dan keterlibatan korban dalam viktimisasi kejahatan,
serta interaksinya dengan pelaku dan pihak lain. Kejelasan ini sangat
penting dalam mencari upaya pencegahan terhadap berbagai jenis
viktimisasi, untuk melindungi keadilan dan mempromosikan
keamanan dan kesejahteraan penduduk, yang dapat diamati segera
dengan adanya viktimisasi
c) Victimology dapat memberikan jaminan bahwa setiap orang memiliki
hak dan tanggung jawab untuk menyadari potensi bahaya di tempat
kerja dan kehidupan sehari-hari. Khusus dalam bidang bimbingan dan
konseling, tujuannya adalah untuk memberikan wawasan kepada
setiap individu agar lebih berhati-hati dalam berperilaku, baik
struktural maupun non struktural
d) Victimology juga mempertimbangkan isu-isu viktimisasi secara tidak
langsung, seperti dampak politik pada populasi dunia ketiga sebagai
akibat korupsi oleh perusahaan internasional semacam itu, implikasi
sosial bagi individu, polusi udara dari industri, dan viktimisasi
ekonomi, politik, dan sosial setiap kali pejabat menyalahgunakan
kekuasaan mereka. otoritas pemerintah
e) Motivasi untuk menangani viktimisasi kriminal diberikan oleh
viktimologi. Argumen viktimologis digunakan dalam putusan
peradilan pidana serta sikap dan reaksi yudisial terhadap pelanggar.
Mempelajari korban dan peserta dalam sistem peradilan pidana, serta
hak dan kewajiban manusia.
16
Dikdik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan: Antara Norma dan Realita
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm 39.
Pengertian korban cukup luas mencakup tidak hanya korban yang
menderita secara langsung, tetapi juga korban tidak langsung yang
menderita kerugian yang memenuhi syarat sebagai korban. Yang dimaksud
di sini tersirat, seperti istri yang kehilangan pasangannya atau korban
bencana alam.17
Korban adalah korban, menurut definisi yang diberikan dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban “ seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau
kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”. Melihat
pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan unsur korban adalah:
a) Setiap orang/ individu
b) Mengalami penderitaan atau kerugian fisik, mental
c) Kerugian ekonomi
d) Akibat dari tindak pidana
19
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Viktimologi, hlm 124.
e) Selfvictimizing Victims merupakan Korban kejahatan mereka sendiri,
sering disebut sebagai korban palsu atau kejahatan tanpa korban
Meskipun Anda adalah korban dan pelaku kejahatan, Anda
bertanggung jawab penuh
f) Social Weak Victims merupakan Korban yang luput dari perhatian
masyarakat, seperti tunawisma dengan status sosial yang buruk.
Pelaku atau masyarakat bertanggung jawab penuh atas hal ini
g) Political Victims merupakan Korban lawan politik Secara sosiologis,
korban ini dapat dijelaskan kecuali jika konstelasi politik berubah.
Isu korban seperti itu merupakan hal baru, karena ada beberapa hal
yang diabaikan atau bahkan diabaikan. Ketika mencermati kembali tindakan
yang sesuai dengan proporsi nyata dari segi dimensi, maka keterlibatan
korban tentu harus diperhatikan dalam terjadinya suatu kejahatan.
Jika lebih dari satu orang terlibat dalam suatu kejadian kriminal,
deskripsi dan tempat masing-masing individu dalam insiden itu harus
21
Leden Marpaung, Asas -teori-praktik hukum pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm 77.
22
Adami Chazawi, Percobaan dan Penyertaan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm 73.
diminta. Para individu dalam menyelesaikan pelanggaran memiliki
hubungan.:
25
Milion H. Erickson, Mood Disorder (London: Crystal Park, 2004), hlm 36.
26
Barbara Krahe, Perilaku Agresif (Yogyakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm 94.
27
Triantoro Safitri, Nofrans Eka Saputra, Manajemen Emosi Dan Depresi, hlm 50.
28
C.Georg Boree, Dasar-Dasar Psikologi Sosial (Yogyakarta: Prisma Sophie, 2006), hal 274.
negatif yang dia yakini baik. Pada tingkat yang paling parah, individu akan
merasa sedih, putus asa, dan murung sampai dia mempertimbangkan untuk
bunuh diri atau orang lain melakukannya.29
8. Pertanggung Jawaban Tindak Pidana Bagi Penyandang Bipolar
Tanggung jawab pidana adalah jenis tindakan yang dilakukan oleh
pelaku kejahatan terhadap kesalahan yang dibuatnya. Jika pelakunya telah
melakukan tindak pidana dan memenuhi persyaratan hukum, ia akan
dihukum. Dari sudut perbuatan yang dilarang, jika perbuatan itu melawan
hukum dan tidak ada alasan untuk menghapus kejahatan, seseorang akan
dimintai pertanggungjawaban. Hanya seseorang yang "mampu bertanggung
jawab" yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas kejahatannya.
Roeslan Saleh memberi pendapat bahwa:30
“Dalam membicarakan tentang pertanggung jawaban pidana, tidaklah
dapat dilepaskan dari satu dua aspek yang harus dilihat dengan pandangan-
pandangan falsafah. Satu diantaranya adalah keadilan, sehingga pembicaraan
tentang pertanggung jawaban pidana akan memberikan kontur yang lebih
jelas. Pertanggung jawaban pidana sebagai soal hukum pidana terjalin
dengan keadilan sebagai soal filsafat.”
Ada beberapa kejadian di mana suatu kejahatan tidak dapat
dijelaskan karena kondisi mental pelaku. Glanville William dalam bukunya
Criminal Law memberikan pendapat “the act constituting crime may is some
circumtances be objectively innocent”.31 Melakukan kejahatan tidak selalu
berarti bahwa individu bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan. Untuk
mempertanggungjawabkan seseorang menurut hukum pidana, syarat-syarat
harus dipenuhi dalam upaya menjatuhkan pidana terhadapnya karena
melakukan kejahatan itu.
Pertanggungjawaban pidana awal adalah keadaan pada diri pencipta
yang ada pada waktu ia melakukan suatu tindak pidana. Kemudian ada
pertanggungjawaban atas tindakan dan hukuman yang seharusnya
29
Triantoro Safitri, Nofrans Eka Saputra, Manajemen Emosi Dan Depresi, hlm 69.
30
Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, hlm 10.
31
Glanville Williams, Criminal Law: The General Part. (London: Steven & Sons, 1961), hlm 22.
diterapkan. Akibatnya, penelitian dilakukan dengan dua cara. Pertama,
pertanggungjawaban pidana diperkenalkan sebagai kondisi pemidanaan
yang faktual (Conditioning Facts).32 Karenanya mengemban aspek preventif.
Kedua, pertanggung jawaban menurut hukum (Legal Consequences)33 Hal
tersebut merupakan bagian dari sifat opresif hukum pidana karena adanya
prasyarat faktual tertentu. Pidana kesalahan mengacu pada keadaan yang
harus dipenuhi untuk menjatuhkan hukuman, serta akibat hukum dari
perbuatannya.34
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana
Di Indonesia dan Penerapannya. Menjelaskan bahwa unsur mampu
bertanggung jawab mencakup:
1. Keadaan jiwanya:
a) Tidak terganggu oleh penyakit yang sedang berlangsung atau
lewat (temporair)
b) Tidak ada cacat pertumbuhan. (gagu, idiot, imbecile, dan
sebagainya)
c) Tidak terganggu oleh kejutan, hipnotis, ledakan amarah,
tekanan atau reaksi bawah sadar, melindur atau slaapwandel,
demam atau koort, keinginan, dan sebagainya. Dia, dalam
istilah lain, sadar.35
2. Kemampuan jiwanya
a) Dapat memahami pentingnya tindakannya
b) Dapat mengungkapkan keinginannya agar tindakan tersebut
dilakukan atau tidak
c) Dapat menemukan kesalahan tindakan.
32
Alf Ross, on Guilt, Responsbility and Punishment (London: Steven & Sons, 1975), hlm 17.
33
Alf Ross, on Guilt, hlm 23.
34
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan" Menuju Kepada " Tiada Pertanggugjawaban Pidana Tanpa
Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggugjawaban Pidana (Jakarta:
Kencana, 2006), hlm 66.
35
E.Y. Kanter, S.R. Sianturi, Azas-Azas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya (Jakarta: Storia Grafika,
2002), hlm 249.
Tidak dapat menerima tanggung jawab adalah kelainan atau kondisi
mental pencipta yang disebabkan oleh masalah cacat mental atau penyakit
mental, sehingga dia tidak memenuhi standar untuk diselidiki untuk
menentukan apakah dia layak untuk dicela atas tindakannya. Dengan kata
lain, jika persyaratan ini tidak dipenuhi, seseorang dianggap bertanggung
jawab.36
36
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan" Menuju Kepada " Tiada Pertanggugjawaban Pidana Tanpa
Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggugjawaban Pidana, hlm 97.
37
Chairul Huda, hlm 99.
38
P.A.F. Laminating, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm 397.
a) Melakukan kejahatan
b) Di atas usia tertentu dan mampu menerima tanggung jawab
c) Sengaja atau tidak sengaja
d) Tidak ada pembenaran.
39
Syarif Black Solphin, “Pertanggungjawaban Pidana,” Wordpress, 11 Januari 2012,
https://syarifblackdolphin.wordpress.com/2012/01/11/pertanggungjawaban-pidana/.
Kelalaian mensyaratkan bahwa terdakwa tidak ingin
melanggar larangan hukum, tetapi dia tidak mengindahkan
larangan tersebut. Dalam melakukan perilaku tersebut, ia lalai,
lalai, dan ceroboh.
44
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hlm 171.
45
Jan Remmelink, Hukum Pidana (Jakarta: Gramedia, 2014), hlm 213.
46
Jan Remmelink, hlm 213.
47
Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat (Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm 95.
48
Muladi, Dwidja Priyanto, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Jakarta: Kencana, 2010), hlm 74.
1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau
terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
2) Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggung jawabkan
padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau
terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan
supaya dimasukkan kedalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun
sebagai waktu percobaan.
49
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, IV (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm 83.
ketidaksepakatan antara aliran pemikiran klasik, neoklasik, dan
kontemporer.
Aliran klasik percaya pada Indeterminisme, yang menyatakan
bahwa orang dapat dengan bebas memilih keinginan mereka, namun
variabel lain, seperti situasi dan lingkungan mereka, memengaruhi
penentuan ini.
Aliran kontemporer, di sisi lain, percaya pada determinisme
dan mengklaim bahwa manusia tidak dapat dengan bebas
memutuskan kehendak mereka. Beberapa variabel mempengaruhi
motivasi manusia, yang paling signifikan adalah pengaruh pribadi dan
lingkungan. Manusia rentan terhadap aturan aksi dan reaksi dalam
menentukan kehendaknya, terutama keadaan sebab akibat di luar
kendalinya. Variabel pribadi juga rentan terhadap warisan, dan
pengaruh lingkungan memainkan peran penting dalam kehidupan.
Akibatnya, secara ekstrem, beberapa ahli determinis menyangkal
realitas "kesalahan", dan karenanya orang "tidak boleh dihukum". 50
Saat ini, kompromi yang dikenal sebagai teori kontemporer
berusaha untuk menerapkan jalur menengah, yaitu tetap berpegang
pada gagasan determinisme tetapi tetap menjadikan kesalahan
sebagai premis hukum pidana.
2. Kemampuan untuk bertanggung jawab; mampu, kurang mampu, atau
tidak mamp.
a) Kemampuan bertanggung jawab
Salah satu aspek kesalahan yang tidak dapat dipisahkan
dari dua bagian lain dari suatu tindak pidana memang
kapasitas untuk mempertanggungjawabkan. Frasa bahasa
Belandanya adalah "toerekeningsvatbaar", sedangkan Pompe
lebih memilih "toerkenbaar". Pertanggungjawaban merupakan
inti kesalahan yang disinggung dalam hukum pidana,
sebagaimana menurut hukum pidana. Meskipun menurut
50
Teguh Prasetyo, hlm 83-84.
etika, setiap orang bertanggung jawab atas semua kegiatan,
masalah mendasar dalam hukum pidana hanyalah perilaku
yang mengarahkan hakim untuk menjatuhkan hukuman.51
Kecuali ditentukan lain, terdakwa dianggap mampu
untuk bertanggung jawab. Akibatnya, rumusan dalam KUHP
Pasal 44 disajikan secara negatif.
Persyaratan undang-undang tidak mendefinisikan apa
yang dimaksud dengan “tidak dapat bertanggung jawab”, tetapi
ada faktor-faktor yang melekat pada diri pelaku tindak pidana
yang mengakibatkan perbuatan tersebut tidak dapat
dimintakan pertanggungjawaban kepadanya. Alasan berupa
keadaan biologis pribadi dan dinyatakan sebagai "jiwanya
terhambat pertumbuhannya atau terganggu karena
penyakitnya" (pasal 44 KUHP).52
b) Tidak mampu dan tidak mau menerima tanggung jawab
Pasal 44 KUHP merumuskan: “ barangsiapa melakukan
perbuatan yang tidak dipertanggung jawabkan padanya,
disebabkan jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige
ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelije
storing), tidak dipidana”.
Menurut pasal tersebut, kegagalan untuk menerima tanggung
jawab berasal dari beberapa faktor, termasuk perkembangan
mentalnya terhambat atau terpengaruh karena penyakit, dan
sebagai akibatnya, ia tidak dapat menerima tanggung jawab
atas tindakan seseorang. Sebenarnya ada dua poin yang perlu
diingat:
Menentukan status jiwa pelaku; ini harus ditentukan
secara deskriptif oleh seorang profesional, dalam hal ini
seorang psikiater.
51
Teguh Prasetyo, hlm 85.
52
Teguh Prasetyo, hlm 87.
Secara normatif, penentuan hubungan sebab akibat
antara kondisi jiwa dengan aktivitasnya dilakukan oleh
hakim.
53
Teguh Prasetyo, hlm 89-90.
54
Teguh Prasetyo, hlm 90-91.
Tidak mampu mempertanggungjawabkan hasil dalam
tidak dihukum untuk kejahatan. Artinya, ketika seseorang
dianggap tidak mampu bertanggung jawab secara
konstitusional, proses akuntabilitas berakhir. Orang tersebut
masih dapat dikenakan tindakan disipliner, bukan tuntutan
pidana. Juga tidak perlu untuk menentukan apakah dia
memiliki satu jenis masalah dan alasan untuk menghapus
masalah tersebut.
C. KESIMPULAN
Tidak mampu mempertanggungjawabkan hasil dalam tidak dihukum untuk
kejahatan. Artinya, ketika seseorang dianggap tidak mampu bertanggung jawab
secara konstitusional, proses akuntabilitas berakhir. Orang tersebut masih dapat
dikenakan tindakan disipliner, bukan tuntutan pidana. Juga tidak perlu untuk
menentukan apakah dia memiliki satu jenis masalah dan alasan untuk menghapus
masalah tersebut.
Menurut pandangan saya, perdebatan tentang viktimisasi tidak jauh dari
kata kejahatan dan korban, di mana pengertian viktimisasi mencakup dua unsur:
individu atau korban yang mengalami kerugian atau penderitaan langsung atau
tidak langsung di tangan pelaku kejahatan.
Gangguan bipolar adalah sejenis penyakit dalam psikologi; pada tahap awal,
gangguan bipolar adalah penyakit mental yang diklasifikasikan sebagai gangguan
mental. Gangguan bipolar akhir-akhir ini muncul sebagai kondisi yang parah,
terutama pada remaja, dewasa, dan orang dewasa. Gangguan bipolar merupakan
salah satu gangguan yang saat ini sedang dipelajari dan diteliti oleh para ahli,
psikolog, dokter, dan mereka yang tertarik dengan psikologi.
Berdasarkan kasus yang diangkat pada artikel kali ini yang menjelaskan
bahwa tidak semua penderita bipolar dapat terhindar dan menghindar dari hukum
atau pidana. Dikarenakan, penderita gangguan jiwa akan melewati pemeriksaan
yang dimana jika penderita gangguan jiwa tersebut sebagaimaa dibwah ini:
a) Melanggar hukum
b) Di atas usia tertentu dan mampu menerima tanggung jawabDengan
sengaja atau kealpaan
c) Tidak ada pembenaran.
Maka pelaku tindak pidana dengan gangguan jiwa ini akan tetap dijatuhi hukuman
sebagaimana mestinya.
D.
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chaza. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Adami Chazawi. Percobaan dan Penyertaan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Ahmad, Andi Eka Yustika. “Tinjauan Viktimologis Kejahatan Kekerasan dan Penghinaan
Terhadap Penyandang Cacat.” Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makasar,
2015, t.t., hlm 10.
Alf Ross, on Guilt. Responsbility and Punishment. London: Steven & Sons, 1975.
Amir Ilyas. Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Mahakarya Rangkang Offset, 2012.
Arif Gosita. Masalah Korban Kejahatan. 2009 ed. Jakarta: Universitas Trisakti, t.t.
Bambang Poernomo. Hukum Pidana Dan Kumpulan Karangan Ilmiah. 1 ed. Jakarta: Bina
Aksara, 1982.
Bambang Waluyo. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi. 2012 ed. Jakarta: Sinar
Grafika, t.t.
Barbara Krahe. Perilaku Agresif. Yogyakarta: Bumi Aksara, 2005.
C.Georg Boree. Dasar-Dasar Psikologi Sosial. Yogyakarta: Prisma Sophie, 2006.
Chairul Huda. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan" Menuju Kepada " Tiada
Pertanggugjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori
Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggugjawaban Pidana. Jakarta: Kencana, 2006.
Dikdik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan: Antara
Norma dan Realita. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Dr. G. Widiartana, S.H., M.Hum. Viktimologi Perspektif Korban dalam Penanggulangan
Kejahatan. 2014. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, t.t.
E.Y. Kanter, S.R. Sianturi. Azas-Azas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta:
Storia Grafika, 2002.
Glanville Williams. Criminal Law: The General Part. London: Steven & Sons, 1961.
Huda, Misbahul. “Tinjauan Viktimologi Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak
Pidana Main Hakim Sendiri".” Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, 2017,
t.t., 12.
Jan Remmelink. Hukum Pidana. Jakarta: Gramedia, 2014.
Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana. Bandung: sinar baru, 1990.
Leden Marpaung. Asas -teori-praktik hukum pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Lilik Mulyadi. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Viktimologi. Denpasar: Djambatan,
2003.
Mahrus Ali. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2001.
Milion H. Erickson. Mood Disorder. London: Crystal Park, 2004.
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Muladi, Dwidja Priyanto. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Kencana, 2010.
P.A.F. Laminating. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.
Rahmat H Abdullah. “Tinjauan Viktimologi Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking).” Jurnal Yustika, 2019, 22 No. 1. (t.t.): hlm 3.
Rena Yulia. Viktimologi Perlindungan Hukum Terdapat Korban Kejahatan. Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2010.
Roeslan Saleh. Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana. I. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983.
Sambutan Direktur Jendral Bina Kesehatan Masyarakat. Buku Pedoman Kesehatan Jiwa
Departemen Kesehatan R.I. Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat, 2003.
Sarwono Wirawan Sarlito. Teori-Teori Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Sudarto. Hukum dan Perkembangan Masyarakat. Bandung: Sinar Baru, 1983.
Syarif Black Solphin. “Pertanggungjawaban Pidana.” Wordpress, 11 Januari 2012.
https://syarifblackdolphin.wordpress.com/2012/01/11/pertanggungjawaban-
pidana/.
Teguh Prasetyo. Hukum Pidana. IV. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Triantoro Safitri, Nofrans Eka Saputra. Manajemen Emosi Dan Depresi. Jakarta: Bumi
Aksara, 2009.
Utrecht. Hukum Pidana 1. Bandung: Universitas Bandung, 1968.