Anda di halaman 1dari 30

TINJAUAN VIKTIMOLOGI DAN PENOLOGI TERHADAP TINDAKAN PENIPUAN JUAL

BELI BRANG YANG DILAKUKAN OLEH ODGJ BIPOLAR

Latifatul Azizah C73219059

C73219059@student.uinsby.ac.id

Abstrak

Tinjauan ini dilakukan untuk mengetahui dan mendalami tentang tindak pidana penipuan
yang dilakukan oleh orang yang terkena gangguan jiwa atau penyakit kejiwaan Bipolar
Disorder. Untuk mengetahui pula apakah penderita kejiwaan bipolar ini dapat dijatuhi
hukuman sesuai pada hukum yang berlaku ataukah bisa bebas dari hukuman yang sesuai
terhadap tinjauan yuridis berdasarkan Pasal 44 KUHP. Penentuan pertanggung jawaban
pidana pengidap penyakit bipolar disorder yang disejajarkan sesuai pada situasi yang ikut
serta pengidap pada kasus hukum serta tidak bisa disama ratakan maka segala tindak
pidana yang dilancarkan oleh pengidap gangguan jiwa bipolar bisa diputuskan tidak layak
untuk bertanggung jawab atas tindakannya. Oleh karena itu, mengharuskan adanya
hubungan diantara perbuatan tindak pidana dan penyakit kejiwaan itu sendiri serta
perbuatan tersebut tidak dilancarkan saat keadaan sehat. Jika tidak teridentifikasi
hubungan antara penyakit kejiwaan tersebut dengan perilaku tindak pidana yang
diperbuat, maka terdakwa atau terputus bersalah dianggap mampu untuk
mempertanggung jawabkan perbuatannya dan dapat dijatuhi hukuman atau pidana.
Namun tolak ukur dalam menentukan pertanggung jawaban pidana pelaku penderita
gangguan bipolar adalah korelasi antara penyakitnya tersebut dalam melakukan tindak
pidana penipuan. Menurut argumentasi peneliti, sejauh ini pengidap kejiwaan bipolar pada
persidangan tidak dapat dipertimbangkan sebagai alasan pemaaf seperti yang tercantum
pada pasal 44 KUHP sehingga orang yang menderita gangguan bipolar dapat dijatuhi
hukuman atau pidana. Penyakit kejiwaan bipolar ini seringkali jadi sebagai alasan yang
keringan hukuman jika tidak ditemukan hubungan antara penyakit gangguan kejiwaan
bipolar serta tindak pidananya.
A. Pendahuluan
Tindak pidana atau tindak kejahatan telah terikat dalam peraturan yang jelas
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Untuk mewaspadai tiap
manusia yang melakukan perilaku tindak kejahatan atau perilaku tindak kekerasan,
dan jika orang tersebut terbukti mengidap gangguan kejiwan, maka hal ini
berpengaruh pada pasal 44 KUHP yang dasarnya tidak dapat dipidana dan gantinya
akan dikirim ke rumah sajit jiwa untuk mendapatkan perawatan selama satu tahun. 1
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak tercantum dengan jelas
sistem pertanggung jawaban pidana yang diikuti atau dijadikan dasar. Terdapat
beberapa pasal yang ada pada KUHP sering mencantumkan kesalahan berupa
kesengajaan atau kealpaan. Namun, kedua istilah tersebut tidak dijelaskan lebih
lanjut oleh undang-undang tentang maknanya. Jadi, antara disengaja atau lalai
(alpa) tidak terdapat keterangan tambahan dalam KUHP. Kedua istilah tersebut
sering digunakan dalam rangkuman tindak pidana, seakan-akan sudah pasti tetapi
tidak tahu apa definisinya. Hal itu seolah-olah tidak menciptakan adanya keraguan
dalam implementasinya.2
Karena kealpaan, misalnya, pasal 359 KUHP yang berbunyi : “Barangsiapa
karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana......”
dst.
Tidak adanya kejelasan lanjutan mengenai maksud dari unsur sengaja atau
alpa itu sendiri. Namun menurut doktrin serta argumen para ahli hukum
menyimpulkan jika dengan adanya kesimpulan tersebut berarti dalam pasal itu ada
unsur yang salah yang kemudian mengharuskan adanya pembuktian oleh
pengadilan. Dengan cara lain, untuk memberi hukuman pada pelaku selain telah
adanya bukti melakukan tindak kejahatan, maka unsur sengaja atau alpa tersebut
diharus adanya bukti. Dalam hukum pidana, terdapat teori yang digunakan untuk
ketetapan hubungan klausal secara normatif, namun bagaimanapun usaha untuk
mengukur suatu perbuatan bisa menententu dan menjadi sebab-musabab dari
akibat yang tidak diperbolehkan dan jika mengingat juga kompleksnya situasi yang
1
Sambutan Direktur Jendral Bina Kesehatan Masyarakat, Buku Pedoman Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan
R.I. Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat (Jakarta: Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat, 2003), hlm 4.
2
Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, I (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm 33.
telah terjadi disekitar itu, diperlakukan logika objektif yang sudah mencapai ilmu
pengetahuan lain. Hakim berfungsi untuk penerap hukum inconcrito tidak memiliki
pengetahuan yang menyeluruh tentang masalah tersebut, maka dari itu masih perlu
kontribusi atas ahli yang menguasai ilmu pengetahuan yang menyeluruh tentang
masalah ini, sehingga diperlukan kontribusi ahli yang menguasai ilmu pengetahuan
bantu yang mempunyai arti penting yaitu ilmu pengetahuan kedokteran. 3
B. Pembahasan
1. Pengertian Viktimologi
Terdapat pembahasan tentang korban ini tidak bisa terlepas dari ilmu
viktimologi. Viktimologi berasal dari bahasa lain “victim” mempunyai arti
korban dan “logos” yang mempunyai arti ilmu pengetahuan yang membahas
berhubungan mengenai korban (kejahatan/tindak pidana). Secara
terminologi, viktimologi adalah suatu ilmu yang mempelajari mengenai
korban, yang disebabkan oleh adanya korban dan akibat penumpukan
korban yang termasuk pada problem individu pada suatu kenyataan sosial. 4
Berkembangnya ilmu viktimologi sebagai satu tinjauan ilmu di awal
perkembangannya yang tidak dapat terpisah dari kriminologi.
Menurut Arif Gosita menyimpulkan bahwa viktimologi adalah
kumpulan pengetahuan ilmiah yang menyelidiki viktimisasi sebagai masalah
manusia dan realitas sosial Arif Gosita juga mengajukan konsep viktimitas,
yang ia definisikan sebagai viktimisasi kriminal dalam kasus ini: 5
“Suatu perbuatan yang menurut hukum dapat menimbulkan
penderitaan mental, fisik, dan sosial pada seseorang, oleh seseorang baik
untuk kepentingan sendiri ataupun orang lain”
Viktimologi sendiri memberikan definisi yang baik kepada korban
kejahatan penipuan yang disertai dengan ancaman sebagai reaksi atas
perilaku tersebut, yang dapat menyebabkan penderitaan mental, fisik, dan

3
Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dan Kumpulan Karangan Ilmiah, 1 ed. (Jakarta: Bina Aksara, 1982), hlm 200.
4
Misbahul Huda, “Tinjauan Viktimologi Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Main Hakim
Sendiri",” Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, 2017, t.t., hlm 12.
5
Andi Eka Yustika Ahmad, “Tinjauan Viktimologis Kejahatan Kekerasan dan Penghinaan Terhadap Penyandang
Cacat,” Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makasar, 2015, t.t., hlm 10.
sosial, dengan tujuan memberikan gambaran tentang perlindungan korban
yang sebenarnya, diikuti dengan penghubung antara pelaku dan korban yang
memberikan kenyamanan dan kesadaran bahwa setiap orang berhak
mengetahui bahaya yang dihadapinya dalam hubungannya dengan
lingkungannya.

2. Ruang Lingkup Viktimologi


Diskusi viktimisasi ini membahas topik-topik seperti peran korban
dalam terjadinya kejahatan dan hubungan antara pelaku dan korban,
kemungkinan menjadi korban, dan peran korban dalam peradilan pidana. 6
Menurut J.E Sahetapy Keluasan viktimologi tersebut meliputi
bagaimana seseorang dapat menjadi korban, yang dapat ditentukan oleh
korban yang tidak selalu terikat pada masalah kejahatan, seperti korban
kejahatan yang disertai dengan ancaman. Separovic menimbulkan spekulasi
pada tahun 1985 bahwa viktimologi khusus seharusnya hanya menilai
korban kekerasan atau kejahatan dan tidak menerima korban bencana alam,
karena korban bencana alam adalah korban yang bertentangan dengan
pilihannya/dugaan manusia (out of men’s will).7
Lebih luas dijabarkan tentang korban perseorangan, institusi,
lingkungan hidup, masyarakat, bangsa, dan negara adalah sebagai berikut: 8
a) Korban perseorangan merupakan orang yang sebagai individu
mendapat penderitaan baik jiwa, fisik, materil, maupun nonmateril.
b) Korban institusional adalah organisasi yang mengalami kerugian
dalam menjalankan fungsinya, yang mengakibatkan kerugian jangka
panjang jika terjadi tindakan pemerintah, kebijakan swasta, dan
bencana alam.
c) Korban lingkungan adalah setiap lingkungan alam yang memuat
kehidupan tumbuhan, hewan, manusia, dan masyarakat, serta semua

6
Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terdapat Korban Kejahatan (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), 45.
7
Rahmat H Abdullah, “Tinjauan Viktimologi Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking),”
Jurnal Yustika, 2019, 22 No. 1. (t.t.): hlm 3.
8
Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, 2012. (Jakarta: Sinar Grafika, hlm.11-12.
makhluk hidup yang berkembang dan yang pembangunannya sangat
bergantung pada sumber daya alam lingkungan yang mengalami
bencana alam yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah, seperti
seperti tanah longsor, banjir, dan kebakaran. kesalahan dan perilaku
manusia yang tidak etis oleh individu dan kelompok komunal.
d) Korban masyarakat, bangsa, dan negara adalah mereka yang
diperlakukan tidak adil atau diskriminatif dalam alokasi hasil
pembangunan, serta orang-orang yang hak-hak sipil, kebebasan
berdemokrasi, hak ekonomi, hak sosial, dan hak budayanya tidak
meningkat dari tahun ke tahun.

Viktimologi adalah disiplin pendukung studi kriminologi; yaitu,


viktimologi adalah tingkat di bawah kriminologi. Berikut ini adalah tujuan
atau ruang lingkup perhatian yang menjadi korban, menurut Arif Gosita:

a) Berbagai macam viktimisasi kriminal


b) Teori-teori etilogi viktimisasi kriminal
c) Para pihak yang termasuk dalam terjadinya atau eksistensi suatu
viktimisai kriminal, seperti korban, pelaku, pengamat/saksi, pembuat
undang-undang, polisi, jaksa, hakim, pengacara, dan lain-lain
d) Respon terhadap viktimisai kriminal, pendapat kegiatan-kegiatan
penyelesaian suatu viktimisasi usaha-usaha prevensi, represi, tindak
lanjut (ganti kerugian) dan pembuatan peraturan hukum yang
berkaitan
e) Faktor-faktor viktimisasi atau kriminologi.9

Berdasarkan uraian di atas, sejauh mana kedua terdakwa dapat


disimpulkan baik sebagai akibat korupsi pada pembeli dan penjual, baik
kelompok maupun individu atau hierarki sosial yang menanggung kerugian
mental dan material, serta orang-orang yang menjadi tanggung jawab dan
korban. orang yang menderita kerugian sebagai akibat dari upaya mencegah
ada korban.
9
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, 2009. (Jakarta: Universitas Trisakti, hlm.329.).
Luasnya viktimisasi dan kriminologi sebanding. Namun, titik awal
temuannya dalam memaknai viktimisasi pidana berbeda, yaitu viktimisasi
dari perspektif korban melawan kriminalitas dari perspektif pelaku. Masing-
masing merupakan bagian dari suatu hubungan mutlak yang mengakibatkan
terjadinya viktimisasi pidana.10

Ditemukan penjelasan tentang proses viktimisasi saat meneliti


viktimisasi. Kejahatan akan diperiksa dan dipahami lebih mendalam sebagai
hasil dari pendekatan ini. Pengetahuan tentang kejahatan ini dicapai dengan
meneliti proses terjadinya kejahatan sampai dengan akibat yang dialami oleh
korban kejahatan. Kejahatan dapat dianalisis tidak hanya dari sudut pandang
pelaku, dan juga dari sudut pandang korban.11

3. Manfaat Viktimologi
Keuntungan yang diperoleh melalui meneliti viktimisasi adalah aspek
yang paling penting untuk kemajuan subjek ini. Dengan demikian, jika suatu
disiplin pada tahap awal tidak dapat membawa manfaat, baik praktis
maupun teoritis, maka mempelajari dan mengembangkannya akan sia-sia.
Hal ini juga berlaku saat meneliti viktimologi. Banyak keuntungan yang
diharapkan dapat diwujudkan dengan meneliti dan mengembangkan
viktimologi.

Manfaat viktimologi menurut Arif Gosita,12 antara lain sebagai berikut:

a) Victimology menyelidiki dan meneliti karakteristik siapa yang


menjadi korban dan siapa yang menciptakan korban, apa implikasi
dari viktimisasi, dan proses bagi individu yang menjadi korban
b) Victimology dapat membantu kita memahami korban secara lebih
mendalam dan komprehensif sebagai akibat dari aktivitas
antropogenik yang menimbulkan penderitaan fisik, emosional, dan

10
Arif Gosita, hlm 39.
11
Dr. G. Widiartana, S.H., M.Hum., Viktimologi Perspektif Korban dalam Penanggulangan Kejahatan, 2014
(Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, hlm.20.).
12
Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terdapat Korban Kejahatan, hlm 37-38.
sosial. Hal ini tidak dimaksudkan untuk menyanjung atau
memprioritaskan korban, tetapi lebih untuk memberikan penjelasan
tentang posisi dan keterlibatan korban dalam viktimisasi kejahatan,
serta interaksinya dengan pelaku dan pihak lain. Kejelasan ini sangat
penting dalam mencari upaya pencegahan terhadap berbagai jenis
viktimisasi, untuk melindungi keadilan dan mempromosikan
keamanan dan kesejahteraan penduduk, yang dapat diamati segera
dengan adanya viktimisasi
c) Victimology dapat memberikan jaminan bahwa setiap orang memiliki
hak dan tanggung jawab untuk menyadari potensi bahaya di tempat
kerja dan kehidupan sehari-hari. Khusus dalam bidang bimbingan dan
konseling, tujuannya adalah untuk memberikan wawasan kepada
setiap individu agar lebih berhati-hati dalam berperilaku, baik
struktural maupun non struktural
d) Victimology juga mempertimbangkan isu-isu viktimisasi secara tidak
langsung, seperti dampak politik pada populasi dunia ketiga sebagai
akibat korupsi oleh perusahaan internasional semacam itu, implikasi
sosial bagi individu, polusi udara dari industri, dan viktimisasi
ekonomi, politik, dan sosial setiap kali pejabat menyalahgunakan
kekuasaan mereka. otoritas pemerintah
e) Motivasi untuk menangani viktimisasi kriminal diberikan oleh
viktimologi. Argumen viktimologis digunakan dalam putusan
peradilan pidana serta sikap dan reaksi yudisial terhadap pelanggar.
Mempelajari korban dan peserta dalam sistem peradilan pidana, serta
hak dan kewajiban manusia.

Akan ada beberapa penjelasan tentang proses viktimisasi dalam


penelitian viktimisasi. Pengorbanan dapat lebih dipahami sebagai hasil dari
proses pembelajaran ini. Wawasan ini diperoleh dengan menyelidiki proses
terjadinya kejahatan serta akibat yang ditimbulkan oleh korban terhadap
viktimisasi. Kejahatan ini juga dapat dianalisa dari sudut pandang korban,
apakah tindakan korban mengakibatkan viktimisasi atau tidak. 13

Menurut pendapat Muladi, Viktimoloogi adalah ilmu pengetahuan


yang mempunyai tujuan:

a) Menguraikan segala macam sudut pandang yang bersangkutan atas


korban
b) Mengupayakan untuk memberi keterangan tentang sebab-sebab
terjadinya viktimisasi kriminal
c) Memperluas sistem perbuatan untuk meminimalisir kerugian pada
manusia.14

Selain manfaat dan tujuan yang disebutkan di atas, viktimologi


memberikan keuntungan lain. Berdasarkan pendapat Dr. J.E. Sahetapy, S.H.,
viktimisasi memiliki manfaat antara lain:

a) Viktimologi menyelidiki karakteristik korban dan penyebab korban,


serta makna viktimisasi dan rute viktimisasi bagi orang-orang yang
menjadi korban
b) Vimtimologi memberikan makna baru kepada korban sebagai akibat
dari perbuatan manusia yang mengakibatkan kerugian. Kerugian ini
dapat bermanifestasi sebagai kerugian mental, fisik, atau sosial
c) Victimology juga membahas masalah viktimisasi tidak langsung,
seperti dampak sosial dari polusi industri pada individu
d) Viktimologi memberikan kredibilitas pada dugaan dalam
menyelesaikan masalah reparasi korban; argumen siklik digunakan
dalam pilihan peradilan pidana dan reaksi yudisial terhadap aktivitas
kriminal.15

Victimology memvalidasi dugaan dalam menyelesaikan masalah


reparasi. Keuntungan dari viktimisasi antara lain memahami posisi korban
13
Dr. G. Widiartana, S.H., M.Hum., Viktimologi Perspektif Korban dalam Penanggulangan Kejahatan, hlm 20.
14
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Viktimologi (Denpasar: Djambatan, 2003), hlm 32.
15
Dr. G. Widiartana, S.H., M.Hum., Viktimologi Perspektif Korban dalam Penanggulangan Kejahatan, hlm 60-62.
sebagai akar alasan viktimisasi kriminal dan mencari kebenaran. Argumen
siktimologis digunakan dalam pilihan peradilan pidana dan reaksi
pengadilan terhadap tindak pidana dalam upaya mengungkap kebenaran dan
memahami masalah kejahatan, kejahatan dan penyimpangan sebagai skala
aktual satu dimensi untuk diberikan kepada korban.

Viktimologi sangat bermanfaat bagi polisi dalam proses


pemberantasan kejahatan. Pengorbanan akan memudahkan untuk
memahami keadaan yang menyebabkan suatu kejadian, bagaimana pelaku
sering menggunakan modus operandinya untuk melakukan aktivitasnya, dan
faktor-faktor lainnya.

Viktimologi dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan oleh


penuntut umum, khususnya pada saat menuntut perkara pidana di
pengadilan, dalam memutuskan berat ringannya tuntutan hukum yang akan
diajukan terhadap pelaku, karena korban tindak pidana sering ditemukan
untuk merangsang terjadinya tindak pidana.

Kehakiman dalam hal ini hakim sebagai organ pengadilan yang


dianggap memahami hukum, harus menjalankan tugas mulianya yaitu
berusaha menegakkan konstitusi yang berlandaskan Pancasila, dengan
meminggirkan aparat kehakiman bukan hanya untuk memiliki mencari
keluarga korban sebagai saksi mata dalam proses pidana, serta memahami
preferensi dan kerugian korban. akibat dari suatu kejahatan atau
pelanggaran, sehingga keinginan korban terhadap pelaku kurang lebih
tersurat dalam putusan hakim.16

Viktimologi juga dapat digunakan sebagai pedoman untuk


memperkuat inisiatif legislatif yang sebelumnya kurang memperhatikan
perlindungan korban.

4. Pengertian Korban Kejahatan

16
Dikdik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan: Antara Norma dan Realita
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm 39.
Pengertian korban cukup luas mencakup tidak hanya korban yang
menderita secara langsung, tetapi juga korban tidak langsung yang
menderita kerugian yang memenuhi syarat sebagai korban. Yang dimaksud
di sini tersirat, seperti istri yang kehilangan pasangannya atau korban
bencana alam.17
Korban adalah korban, menurut definisi yang diberikan dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban “ seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau
kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”. Melihat
pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan unsur korban adalah:
a) Setiap orang/ individu
b) Mengalami penderitaan atau kerugian fisik, mental
c) Kerugian ekonomi
d) Akibat dari tindak pidana

Korban tindak pidana digambarkan sebagai orang yang mengalami


kerugian sebagai akibat dari suatu kejadian dan/atau rasa keadilan yang
terkena dampak langsung sebagai akibat terpaparnya dirinya sebagai
sasaran (umpan) tindak pidana.

Menurut Mendelsohn,18 berdasarkan kesalahannya korban dibedakan


menjadi lima macam, antara lain:

a) Siapa yang sepenuhnya tidak bersalah


b) Orang yang menjadi korban karena kecerobohannya sendiri
c) Yang sama buruknya dengan pelakunya.
d) Siapa yang lebih bertanggung jawab daripada pelaku
e) Korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku dapat
dibebaskan).

Menurut definisi korban di atas, korban tidak hanya orang atau


kelompok yang secara langsung menderita kerugian sebagai akibat dari
17
Dikdik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom, hlm 51.
18
Dikdik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom, hlm 52.
perilaku/perbuatan yang menimbulkan rasa sakit pada diri/kelompoknya,
tetapi lebih luas lagi kerabat dekat atau tanggungan langsung dari korban
dan korban. korban. mereka yang dirugikan saat membantu korban dalam
mengatasi kesedihan mereka atau mencegah viktimisasi kriminal.

5. Peran Korban Dalam Terjadinya Kejahatan


Dalam kajian viktimologi, terdapat pandangan bahwa korban tidak
hanya bersalah atas kejahatan itu sendiri, tetapi juga berperan dalam
terjadinya kejahatan itu.
Menurut Stephen Schafer,19 dilihat melalui kacamata kesalahan pribadi
korban dalam tujuh bentuk, termasuk yang berikut:
a) Unrelated Victims merupakan mereka tidak ada hubungannya dengan
pelaku kejahatan dengan menjadi korban karena mereka berada di
pihak korban
b) Provocative Victims yaitu korban sebagai akibat dari partisipasi
korban dalam memicu kejahatan Akibatnya, kesalahan ditanggung
bersama oleh korban dan pelaku
c) Perticipating Victims Pada dasarnya, tindakan si pembunuh tidak
dilatarbelakangi oleh keinginan untuk membujuk si pelaku agar
melakukan kejahatan. Mengambil uang dalam jumlah besar dari bank
tanpa penjaga, lalu membungkusnya dengan kantong plastik untuk
menggoda orang agar menyita/mengambilnya dengan paksa,
misalnya. Komponen ini bertanggung jawab sepenuhnya kepada
pelakunya
d) Biologically Weak Victim adalah Keadaan fisik korban seperti
perempuan, anak-anak, dan orang tua yang berpotensi menjadi
korban kejahatan menyebabkan terjadinya kejahatan. Dari sudut
pandang ini, masyarakat atau pemerintah daerah memikul tanggung
jawab karena tidak dapat memberikan perlindungan kepada korban
yang tidak berdaya

19
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Viktimologi, hlm 124.
e) Selfvictimizing Victims merupakan Korban kejahatan mereka sendiri,
sering disebut sebagai korban palsu atau kejahatan tanpa korban
Meskipun Anda adalah korban dan pelaku kejahatan, Anda
bertanggung jawab penuh
f) Social Weak Victims merupakan Korban yang luput dari perhatian
masyarakat, seperti tunawisma dengan status sosial yang buruk.
Pelaku atau masyarakat bertanggung jawab penuh atas hal ini
g) Political Victims merupakan Korban lawan politik Secara sosiologis,
korban ini dapat dijelaskan kecuali jika konstelasi politik berubah.

Hal ini menunjukkan bahwa suatu kejahatan tidak selalu merupakan


kesalahan pelakunya. Namun, ada situasi di mana tindakan korban
menyebabkan kejahatan terjadi.

Isu korban seperti itu merupakan hal baru, karena ada beberapa hal
yang diabaikan atau bahkan diabaikan. Ketika mencermati kembali tindakan
yang sesuai dengan proporsi nyata dari segi dimensi, maka keterlibatan
korban tentu harus diperhatikan dalam terjadinya suatu kejahatan.

6. Tindak Pidana Perdagangan Barang Palsu


Kejahatan merupakan komponen fundamental dalam melakukan
suatu kejahatan terhadap seseorang. Jadi, agar ada kesalahan, hubungan
antara keadaan dan perilakunya yang menimbulkan kritik harus disengaja
atau lalai.20
Kejahatan pemalsuan adalah kejahatan di mana sistem penipuan atau
pemalsuan sesuatu (benda) tampak dari luar seolah-olah itu benar, tetapi
sebenarnya digunakan berlawanan dengan kebenaran. Ungkapan barang
palsu pertama kali digunakan untuk merujuk pada barang tiruan atau barang
palsu dari barang yang sah, seperti tas.
Penjual produk palsu biasanya menggunakan model terkenal untuk
mempublikasikan barang yang ditawarkan untuk menarik pelanggan. Hal ini
dilakukan hanya untuk tujuan memperoleh uang dengan cepat tanpa
20
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana (Yogyakarta: Mahakarya Rangkang Offset, 2012), hlm 27.
memperhatikan akibat negatif yang dihadapi oleh pemegang hak asal.
Pedagang berpendapat bahwa menggunakan model terkenal memungkinkan
mereka untuk dengan mudah mempromosikan produk mereka kepada
konsumen. Pada hakikatnya, kejahatan produk palsu di Indonesia dipicu oleh
pola pikir konsumerisme para pelakunya sendiri. Pelaku yang cenderung
menggunakan barang asing, atau yang sadar label, terutama jika barangnya
sudah terkenal. Namun karena daya beli masyarakat yang terbatas, tidak
cukup hanya untuk dapat memperoleh produk asli atau sering tergiur
dengan harga pasar yang seharusnya, sehingga para pelaku usaha
bermunculan untuk memasok barang palsu atau palsu.
Menurut hukum pidana, para pelaku tindak pidana ini diklasifikasikan
sebagai berikut:
1) Pelaku utama
2) Pelaku peserta
3) Pelaku pembantu.

Sebuah proses pengadilan, sebagaimana diatur oleh KUHAP,


diperlukan untuk menentukan apakah seorang aktor atau pelaku termasuk
salah satu dari mereka. Kata deelneming berasal dari kata deelnemen
(Belanda) yang diterjemahkan dengan kata “menyertai” dan deelneming
diartikan menjadi “penyertaan”.21

Penegasan (deelneming) adalah suatu persetujuan yang memuat


segala jenis kemampuan psikis dan fisik untuk turut serta seseorang atau
perseorangan guna melahirkan suatu perbuatan pidana. 22 Deelneming
menjadi masalah karena, sementara kebanyakan kejahatan dilakukan oleh
sekelompok orang, jika hanya satu orang yang melakukan kejahatan,
pelakunya dikenal sebagai Allen dader.

Jika lebih dari satu orang terlibat dalam suatu kejadian kriminal,
deskripsi dan tempat masing-masing individu dalam insiden itu harus

21
Leden Marpaung, Asas -teori-praktik hukum pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm 77.
22
Adami Chazawi, Percobaan dan Penyertaan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm 73.
diminta. Para individu dalam menyelesaikan pelanggaran memiliki
hubungan.:

1) Untuk melakukan kejahatan bersama


2) Seseorang memiliki keinginan untuk melakukan kejahatan dan
merencanakannya dengan bantuan orang lain.
3) Hanya satu orang yang melakukan kejahatan, sementara yang lain
membantu dalam pelaksanaannya.
7. Pengertian Bipolar Disorder
Gangguan bipolar adalah sejenis penyakit dalam psikologi; pada tahap
awal, gangguan bipolar adalah penyakit mental yang diklasifikasikan sebagai
gangguan mental. Gangguan bipolar akhir-akhir ini muncul sebagai kondisi
yang parah, terutama pada remaja, dewasa, dan orang dewasa. Gangguan
bipolar merupakan salah satu gangguan yang saat ini sedang dipelajari dan
diteliti oleh para ahli, psikolog, dokter, dan mereka yang tertarik dengan
psikologi.23
Berikut uraian penyakit jiwa gangguan bipolar, maka diberikan
penjelasan yang lebih eksplisit dan luas, baik secara etimologis maupun
terminologis berdasarkan arti dan definisinya.
Secara etimologi bipolar didefinisikan sebagai suatu penyakit mental
yang terdapat dalam penyakit psikologis, penyakit bipolar disorder disebut
juga dengan istilah “Manic-Depressive”. Yaitu antara perasaan senang atau
senang yang terjadi secara berlebihan dan perasaan putus asa atau jengkel
yang timbul secara tiba-tiba dan tidak dapat dikelola dengan baik oleh
penderita atau orang lain dan keluarganya. Gangguan bipolar berkembang
dan memburuk dalam siklus tak terduga ini, diikuti oleh periode mania dan
putus asa.24
Dari segi bahasa, gangguan bipolar terdiri dari dua kata: Bipolar dan
Gangguan. Bipolar mengacu pada keadaan pikiran, sedangkan Gangguan
mengacu pada perubahan yang cepat dan tidak dapat diprediksi. Jadi, dari
23
Sarwono Wirawan Sarlito, Teori-Teori Psikologi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm 27.
24
Triantoro Safitri, Nofrans Eka Saputra, Manajemen Emosi Dan Depresi (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm 35.
segi bahasa, gangguan bipolar merupakan emosi alami yang dialami oleh
penderitanya yang terdiri dari dua aspek utama, yaitu mania dan depresi,
dengan dua unsur tersebut terjadi secara tiba-tiba dan cepat dalam jangka
waktu yang lama.25
Seseorang yang menderita penyakit bipolar memiliki catatan yang
sangat baik tentang kehidupan dan pengalaman mereka sebelumnya dan
sekarang, yang dibedakan dalam variasi suasana hati atau sentimen, yang
dapat berkisar dari sedang hingga parah hingga sangat ekstrem. Seseorang
yang menderita gangguan jiwa bipolar umumnya mengalami masa remaja,
ketika individu tersebut dianggap sensitif terhadap gangguan bipolar karena
kondisi fisik dan psikologisnya yang masih labil.26
Gejala yang paling umum dan terkenal dari penyakit bipolar adalah
pengalaman individu dari depresi dan mania. Kata bipolar sendiri didasarkan
pada suasana hati dan kondisi hati penderitanya, di mana suasana hati atau
sentimen individu dapat mengalami fluktuasi yang cepat, seperti antara dua
kutub yang berlawanan (bipolar), yaitu kegembiraan atau mania dan
kesedihan dan apa yang bisa disebut depresi. sangat intens. 27
Pada dasarnya, setiap orang tampaknya sehat dan akan memiliki
sensasi yang tidak menyenangkan, yang sering dikenal sebagai suasana hati
yang buruk, serta suasana hati yang baik, atau emosi kegembiraan dan
kepuasan. Penyakit bipolar, di sisi lain, menyebabkan perubahan suasana
hati yang signifikan, terutama perubahan suasana hati yang dramatis,
umumnya dikenal sebagai Perubahan Suasana Hati.28
Individu dengan penyakit bipolar kadang-kadang memiliki sensasi
antusiasme dan kegembiraan yang besar; ini terjadi karena suasana hati dan
gagasan mereka biasanya konsisten, memungkinkan mereka untuk tampak
normal. Namun, jika mood atau suasana hati berubah menjadi buruk
daripada marah, dia akan membenci, takut, jengkel, emosi, takut, dan hal-hal

25
Milion H. Erickson, Mood Disorder (London: Crystal Park, 2004), hlm 36.
26
Barbara Krahe, Perilaku Agresif (Yogyakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm 94.
27
Triantoro Safitri, Nofrans Eka Saputra, Manajemen Emosi Dan Depresi, hlm 50.
28
C.Georg Boree, Dasar-Dasar Psikologi Sosial (Yogyakarta: Prisma Sophie, 2006), hal 274.
negatif yang dia yakini baik. Pada tingkat yang paling parah, individu akan
merasa sedih, putus asa, dan murung sampai dia mempertimbangkan untuk
bunuh diri atau orang lain melakukannya.29
8. Pertanggung Jawaban Tindak Pidana Bagi Penyandang Bipolar
Tanggung jawab pidana adalah jenis tindakan yang dilakukan oleh
pelaku kejahatan terhadap kesalahan yang dibuatnya. Jika pelakunya telah
melakukan tindak pidana dan memenuhi persyaratan hukum, ia akan
dihukum. Dari sudut perbuatan yang dilarang, jika perbuatan itu melawan
hukum dan tidak ada alasan untuk menghapus kejahatan, seseorang akan
dimintai pertanggungjawaban. Hanya seseorang yang "mampu bertanggung
jawab" yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas kejahatannya.
Roeslan Saleh memberi pendapat bahwa:30
“Dalam membicarakan tentang pertanggung jawaban pidana, tidaklah
dapat dilepaskan dari satu dua aspek yang harus dilihat dengan pandangan-
pandangan falsafah. Satu diantaranya adalah keadilan, sehingga pembicaraan
tentang pertanggung jawaban pidana akan memberikan kontur yang lebih
jelas. Pertanggung jawaban pidana sebagai soal hukum pidana terjalin
dengan keadilan sebagai soal filsafat.”
Ada beberapa kejadian di mana suatu kejahatan tidak dapat
dijelaskan karena kondisi mental pelaku. Glanville William dalam bukunya
Criminal Law memberikan pendapat “the act constituting crime may is some
circumtances be objectively innocent”.31 Melakukan kejahatan tidak selalu
berarti bahwa individu bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan. Untuk
mempertanggungjawabkan seseorang menurut hukum pidana, syarat-syarat
harus dipenuhi dalam upaya menjatuhkan pidana terhadapnya karena
melakukan kejahatan itu.
Pertanggungjawaban pidana awal adalah keadaan pada diri pencipta
yang ada pada waktu ia melakukan suatu tindak pidana. Kemudian ada
pertanggungjawaban atas tindakan dan hukuman yang seharusnya
29
Triantoro Safitri, Nofrans Eka Saputra, Manajemen Emosi Dan Depresi, hlm 69.
30
Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, hlm 10.
31
Glanville Williams, Criminal Law: The General Part. (London: Steven & Sons, 1961), hlm 22.
diterapkan. Akibatnya, penelitian dilakukan dengan dua cara. Pertama,
pertanggungjawaban pidana diperkenalkan sebagai kondisi pemidanaan
yang faktual (Conditioning Facts).32 Karenanya mengemban aspek preventif.
Kedua, pertanggung jawaban menurut hukum (Legal Consequences)33 Hal
tersebut merupakan bagian dari sifat opresif hukum pidana karena adanya
prasyarat faktual tertentu. Pidana kesalahan mengacu pada keadaan yang
harus dipenuhi untuk menjatuhkan hukuman, serta akibat hukum dari
perbuatannya.34
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana
Di Indonesia dan Penerapannya. Menjelaskan bahwa unsur mampu
bertanggung jawab mencakup:
1. Keadaan jiwanya:
a) Tidak terganggu oleh penyakit yang sedang berlangsung atau
lewat (temporair)
b) Tidak ada cacat pertumbuhan. (gagu, idiot, imbecile, dan
sebagainya)
c) Tidak terganggu oleh kejutan, hipnotis, ledakan amarah,
tekanan atau reaksi bawah sadar, melindur atau slaapwandel,
demam atau koort, keinginan, dan sebagainya. Dia, dalam
istilah lain, sadar.35
2. Kemampuan jiwanya
a) Dapat memahami pentingnya tindakannya
b) Dapat mengungkapkan keinginannya agar tindakan tersebut
dilakukan atau tidak
c) Dapat menemukan kesalahan tindakan.

32
Alf Ross, on Guilt, Responsbility and Punishment (London: Steven & Sons, 1975), hlm 17.
33
Alf Ross, on Guilt, hlm 23.
34
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan" Menuju Kepada " Tiada Pertanggugjawaban Pidana Tanpa
Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggugjawaban Pidana (Jakarta:
Kencana, 2006), hlm 66.
35
E.Y. Kanter, S.R. Sianturi, Azas-Azas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya (Jakarta: Storia Grafika,
2002), hlm 249.
Tidak dapat menerima tanggung jawab adalah kelainan atau kondisi
mental pencipta yang disebabkan oleh masalah cacat mental atau penyakit
mental, sehingga dia tidak memenuhi standar untuk diselidiki untuk
menentukan apakah dia layak untuk dicela atas tindakannya. Dengan kata
lain, jika persyaratan ini tidak dipenuhi, seseorang dianggap bertanggung
jawab.36

Bukan cacat atau penyakit mental yang penting, tetapi kenyataan


bahwa mereka ada menyebabkan pembuatnya dianggap tidak mampu
menerima tanggung jawab. Karena cacat atau penyakit jiwa bukanlah
masalah hukum, ini adalah pertanyaan tentang status jiwa manusia. Penyakit
mental, penyakit mental, dan keterbelakangan mental, di sisi lain, terutama
bersifat psikologis. Dengan kata lain, disabilitas atau penyakit mental saja
tidak berarti bahwa mereka tidak bertanggung jawab. Ini adalah evaluasi
hukum terhadap pelaku dengan gangguan jiwa.37

Syarat-syarat orang yang dapat mempertanggung jawabkan menurut


G.A. Van Hamel antara lain adalah:

a) Jiwa seseorang harus sedemikian rupa sehingga dia mengetahui atau


mengakui nilai dari kegiatannya
b) Orang harus memahami bahwa tindakan mereka sesuai dengan
proses sosial dilarang.
c) Orang haru dapat menentukan kehendaknya terhadap
perbuatannya.38

Didik Endro Purwoleksono dalam bukunya Hukum Pidana


mengatakan bahwa asas kesalahan green straf zonder schuld (tiada pidana
tanpa kesalahan) adalah hakikat dalam sebuah pertanggung jawaban. Orang
dapat diminta pertanggung jawaban pidana manakala:

36
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan" Menuju Kepada " Tiada Pertanggugjawaban Pidana Tanpa
Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggugjawaban Pidana, hlm 97.
37
Chairul Huda, hlm 99.
38
P.A.F. Laminating, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm 397.
a) Melakukan kejahatan
b) Di atas usia tertentu dan mampu menerima tanggung jawab
c) Sengaja atau tidak sengaja
d) Tidak ada pembenaran.

Menurut Roeslan Saleh bahwa pertanggung jawaban pidana adalah


unsur kesalahan, sedangkan unsur-unsur kesalahan adalah:39

1. Mampu bertanggung jawab, untuk adanya kemampuan bertanggung


jawab harus ada:
a) Kemampuan untuk membedakan antara kegiatan yang legal
dan yang ilegal (faktor pemikiran)
b) Kapasitas untuk memilih kehendaknya berdasarkan
pemahamannya tentang aspek baik dan buruk dari tindakan
tersebut (faktor perasaan/kehendak)
2. Kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa)
a) Kesengajaan (dolus)
Dalam hukum pidana dibedakan tiga macam sengaja, yakni:
 Jika sengaja, tentu saja. Artinya, jika pencipta
sebelumnya sudah tahu bahwa akibat dari tindakannya
tidak akan terwujud, dia tidak akan pernah menyadari
kegiatannya
 Kesengajaan dilakukan dengan keyakinan untuk
mencapai tujuan, terlebih dahulu harus dilakukan
perbuatan lain yang berupa pelanggaran
 Sengaja dilakukan dengan pengetahuan bahwa
kemungkinan besar akan terjadi pelanggaran lain selain
pelanggaran pertama.
b) Kealpaan (culpa)

39
Syarif Black Solphin, “Pertanggungjawaban Pidana,” Wordpress, 11 Januari 2012,
https://syarifblackdolphin.wordpress.com/2012/01/11/pertanggungjawaban-pidana/.
Kelalaian mensyaratkan bahwa terdakwa tidak ingin
melanggar larangan hukum, tetapi dia tidak mengindahkan
larangan tersebut. Dalam melakukan perilaku tersebut, ia lalai,
lalai, dan ceroboh.

Menurut Utrecht, kemampuan untuk bertanggung jawab, serta aspek


melanggar hukum, merupakan komponen tersembunyi dari semua
kejahatan. Jika seorang hakim memiliki keraguan tentang mampu atau
tidaknya seseorang untuk bertanggung jawab, hakim harus menyelidiki, dan
jika masih ada keraguan setelah penyelidikan, hakim harus membebaskan
dari proses hukum.40 Di sisi lain, Jonkers mengklaim bahwa kemampuan
untuk dipertanggungjawabkan tidak dapat dipandang sebagai bagian dari
suatu tindak pidana, tetapi jika tidak ada pertanggungjawaban, kejahatan
tersebut harus dihilangkan. Pandangan Jonkers ini sejalan dengan posisi HR
setelah ditangkap, yang mengatakan bahwa toerekeningsvatbaarheid bukan
merupakan unsur tindak pidana yang perlu dibuktikan. 41 Namun, jika
kurangnya toerekeningsvatbaarhied tersebut merupakan alasan untuk
mengesampingkan kemungkinan seseorang dihukum.42

Moeljatno mengatakan, “hanya terhadap orang yang keadaan jiwa


normal sajalah, dapat kita harapan akan mengatur tingkah lakunya sesuai
dengan pola yang telah dianggap baik dalam masyarakat”. 43 Jika prasyarat
dipenuhi, kegiatan kriminal hanya dapat dipertanggungjawabkan bagi
mereka yang memiliki kesehatan mental normal.

Komponen penalaran pembuatnya, yang dapat diamati dari


pikirannya yang mampu membedakan antara kegiatan yang boleh dilakukan
dan tindakan yang tidak boleh dilakukan, menentukan keadaan mental yang
normal atau sehat. Karena akal yang sehat dapat mengarahkan kehendaknya
agar sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh undang-undang, pembuatnya
40
Utrecht, Hukum Pidana 1 (Bandung: Universitas Bandung, 1968), hlm 279.
41
Adami Chaza, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 148.
42
Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana (Bandung: sinar baru, 1990), hlm 397.
43
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm 160.
dimintai pertanggungjawaban karena ia diharapkan untuk selalu berperilaku
sesuai dengan apa yang ditentukan oleh undang-undang.44

Menurut Van Hamel, kemampuan untuk mempertanggungjawabkan


secara hukum di sini adalah suatu keadaan kedewasaan dan kenormalan
psikologis yang antara lain meliputi tiga kemampuan:

1) Mengetahui arah tujuan faktual aktivitasnya sendiri


2) Memahami bahwa perilaku tersebut dilarang secara sosial
3) Tindakan itu tunduk pada kehendak bebas.45

Sebenarnya tidak ada kesalahan pidana kecuali kejahatan itu dapat


diperkirakan terhadap pelakunya, dan tidak ada perkiraan seperti itu jika
pelaku tidak memiliki kebebasan untuk bertindak, pilihan kebebasan untuk
memilih untuk melakukan atau tidak melakukan apa yang dilarang atau
bahkan diharuskan oleh undang-undang, sehingga pelaku tidak menyadari
bahwa perbuatan tersebut dilarang dan tidak dapat memperhitungkan
akibat dari perbuatannya.46

Simons mendefinisikan tanggung jawab sebagai kondisi psikologis


yang mendasari penempatan sebagai upaya kriminal, baik dari sudut
47
pandang umum maupun pribadi. Seseorang yang dianggap mampu
menerima tanggung jawab jika jiwanya dalam keadaan baik jika:

1) Dia mengerti dan mengakui bahwa tindakannya ilegal


2) Dia mungkin membentuk kehendaknya berdasarkan kesadaran itu. 48

Pasal 44 KUHP mengatur tentang kemampuan


mempertanggungjawabkan, yang berbunyi:

44
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hlm 171.
45
Jan Remmelink, Hukum Pidana (Jakarta: Gramedia, 2014), hlm 213.
46
Jan Remmelink, hlm 213.
47
Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat (Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm 95.
48
Muladi, Dwidja Priyanto, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Jakarta: Kencana, 2010), hlm 74.
1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau
terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
2) Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggung jawabkan
padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau
terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan
supaya dimasukkan kedalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun
sebagai waktu percobaan.

Pasal ini menyatakan bahwa pelaku tindak pidana baru dianggap


dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya apabila salah satu
dari dua faktor tersebut terjadi secara pribadi, yaitu antara lain:

1) Sejak kecil, jiwa pelaku telah lumpuh secara psikologis, membuat


kecerdasannya tidak dapat membedakan antara yang baik dan yang
jahat. Orang bodoh yang melakukan tindak pidana atau melanggar
hukum adalah contohnya
2) Jiwa pelaku mengalami masalah normal yang diakibatkan oleh
penyakit, menyebabkan pikiran bekerja kurang baik dan kurang ideal
dalam membedakan sifat-sifat baik. Misalnya, orang gila atau
penderita epilepsi yang melakukan pembunuhan atau melanggar
hukum.

Masalah pertanggungjawaban, khususnya pertanggungjawaban pidana,


terkait dengan banyak masalah utama. Hal-hal dapat menyebabkan masalah:

1. Indeterminisme dan determinisme menemukan antara lain ada atau


tidaknya kebebasan manusia untuk menentukan kehendaknya.49
Pertanyaannya adalah apakah manusia memiliki kebebasan
untuk memilih kehendaknya sendiri atau tidak. Kehendak adalah
aktivitas spiritual internal yang terlibat dalam pertanggungjawaban
manusia atas tindakannya. Masalah ini muncul sebagai akibat dari

49
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, IV (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm 83.
ketidaksepakatan antara aliran pemikiran klasik, neoklasik, dan
kontemporer.
Aliran klasik percaya pada Indeterminisme, yang menyatakan
bahwa orang dapat dengan bebas memilih keinginan mereka, namun
variabel lain, seperti situasi dan lingkungan mereka, memengaruhi
penentuan ini.
Aliran kontemporer, di sisi lain, percaya pada determinisme
dan mengklaim bahwa manusia tidak dapat dengan bebas
memutuskan kehendak mereka. Beberapa variabel mempengaruhi
motivasi manusia, yang paling signifikan adalah pengaruh pribadi dan
lingkungan. Manusia rentan terhadap aturan aksi dan reaksi dalam
menentukan kehendaknya, terutama keadaan sebab akibat di luar
kendalinya. Variabel pribadi juga rentan terhadap warisan, dan
pengaruh lingkungan memainkan peran penting dalam kehidupan.
Akibatnya, secara ekstrem, beberapa ahli determinis menyangkal
realitas "kesalahan", dan karenanya orang "tidak boleh dihukum". 50
Saat ini, kompromi yang dikenal sebagai teori kontemporer
berusaha untuk menerapkan jalur menengah, yaitu tetap berpegang
pada gagasan determinisme tetapi tetap menjadikan kesalahan
sebagai premis hukum pidana.
2. Kemampuan untuk bertanggung jawab; mampu, kurang mampu, atau
tidak mamp.
a) Kemampuan bertanggung jawab
Salah satu aspek kesalahan yang tidak dapat dipisahkan
dari dua bagian lain dari suatu tindak pidana memang
kapasitas untuk mempertanggungjawabkan. Frasa bahasa
Belandanya adalah "toerekeningsvatbaar", sedangkan Pompe
lebih memilih "toerkenbaar". Pertanggungjawaban merupakan
inti kesalahan yang disinggung dalam hukum pidana,
sebagaimana menurut hukum pidana. Meskipun menurut
50
Teguh Prasetyo, hlm 83-84.
etika, setiap orang bertanggung jawab atas semua kegiatan,
masalah mendasar dalam hukum pidana hanyalah perilaku
yang mengarahkan hakim untuk menjatuhkan hukuman.51
Kecuali ditentukan lain, terdakwa dianggap mampu
untuk bertanggung jawab. Akibatnya, rumusan dalam KUHP
Pasal 44 disajikan secara negatif.
Persyaratan undang-undang tidak mendefinisikan apa
yang dimaksud dengan “tidak dapat bertanggung jawab”, tetapi
ada faktor-faktor yang melekat pada diri pelaku tindak pidana
yang mengakibatkan perbuatan tersebut tidak dapat
dimintakan pertanggungjawaban kepadanya. Alasan berupa
keadaan biologis pribadi dan dinyatakan sebagai "jiwanya
terhambat pertumbuhannya atau terganggu karena
penyakitnya" (pasal 44 KUHP).52
b) Tidak mampu dan tidak mau menerima tanggung jawab
Pasal 44 KUHP merumuskan: “ barangsiapa melakukan
perbuatan yang tidak dipertanggung jawabkan padanya,
disebabkan jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige
ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelije
storing), tidak dipidana”.
Menurut pasal tersebut, kegagalan untuk menerima tanggung
jawab berasal dari beberapa faktor, termasuk perkembangan
mentalnya terhambat atau terpengaruh karena penyakit, dan
sebagai akibatnya, ia tidak dapat menerima tanggung jawab
atas tindakan seseorang. Sebenarnya ada dua poin yang perlu
diingat:
 Menentukan status jiwa pelaku; ini harus ditentukan
secara deskriptif oleh seorang profesional, dalam hal ini
seorang psikiater.

51
Teguh Prasetyo, hlm 85.
52
Teguh Prasetyo, hlm 87.
 Secara normatif, penentuan hubungan sebab akibat
antara kondisi jiwa dengan aktivitasnya dilakukan oleh
hakim.

Akibatnya, KUHP menggunakan metode deskriptif-normatif


untuk menentukan apakah seseorang dapat dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatannya.53

Karena penyakit mental tertentu hanyalah gangguan sebagian,


mereka memang dapat dimintai pertanggungjawaban atas
beberapa konsekuensi dari penyakit mental. Di antara
gangguan tersebut adalah:

 Kleptomania : Orang yang menderita penyakit


mental tidak dapat menahan dorongan untuk mencuri
dari orang lain dan tidak menyadari bahwa kegiatan
mereka ilegal. Biasanya, objek yang diambil tidak
berguna. Individu ini khas dalam disiplin lain.
 Nymphomania : Ketika orang dengan gangguan
jiwa bertemu wanita, mereka lebih suka melakukan
tindakan yang tidak senonoh.
 Pyromania : Gangguan mental ini memiliki
kecenderungan untuk membakar pembenaran.
 Claustrophobia : Gangguan mental ini
memanifestasikan dirinya sebagai fobia berada di ruang
sempit atau gelap. Pasien ini diizinkan untuk melakukan
aktivitas yang tidak dilarang dalam situasi seperti itu.

Tentu saja, mereka tidak boleh dimintai


pertanggungjawaban atas beberapa dari mereka yang terkait
dengan penyakit mental.54

53
Teguh Prasetyo, hlm 89-90.
54
Teguh Prasetyo, hlm 90-91.
Tidak mampu mempertanggungjawabkan hasil dalam
tidak dihukum untuk kejahatan. Artinya, ketika seseorang
dianggap tidak mampu bertanggung jawab secara
konstitusional, proses akuntabilitas berakhir. Orang tersebut
masih dapat dikenakan tindakan disipliner, bukan tuntutan
pidana. Juga tidak perlu untuk menentukan apakah dia
memiliki satu jenis masalah dan alasan untuk menghapus
masalah tersebut.

C. KESIMPULAN
Tidak mampu mempertanggungjawabkan hasil dalam tidak dihukum untuk
kejahatan. Artinya, ketika seseorang dianggap tidak mampu bertanggung jawab
secara konstitusional, proses akuntabilitas berakhir. Orang tersebut masih dapat
dikenakan tindakan disipliner, bukan tuntutan pidana. Juga tidak perlu untuk
menentukan apakah dia memiliki satu jenis masalah dan alasan untuk menghapus
masalah tersebut.
Menurut pandangan saya, perdebatan tentang viktimisasi tidak jauh dari
kata kejahatan dan korban, di mana pengertian viktimisasi mencakup dua unsur:
individu atau korban yang mengalami kerugian atau penderitaan langsung atau
tidak langsung di tangan pelaku kejahatan.
Gangguan bipolar adalah sejenis penyakit dalam psikologi; pada tahap awal,
gangguan bipolar adalah penyakit mental yang diklasifikasikan sebagai gangguan
mental. Gangguan bipolar akhir-akhir ini muncul sebagai kondisi yang parah,
terutama pada remaja, dewasa, dan orang dewasa. Gangguan bipolar merupakan
salah satu gangguan yang saat ini sedang dipelajari dan diteliti oleh para ahli,
psikolog, dokter, dan mereka yang tertarik dengan psikologi.
Berdasarkan kasus yang diangkat pada artikel kali ini yang menjelaskan
bahwa tidak semua penderita bipolar dapat terhindar dan menghindar dari hukum
atau pidana. Dikarenakan, penderita gangguan jiwa akan melewati pemeriksaan
yang dimana jika penderita gangguan jiwa tersebut sebagaimaa dibwah ini:
a) Melanggar hukum
b) Di atas usia tertentu dan mampu menerima tanggung jawabDengan
sengaja atau kealpaan
c) Tidak ada pembenaran.

Maka pelaku tindak pidana dengan gangguan jiwa ini akan tetap dijatuhi hukuman
sebagaimana mestinya.

D.
DAFTAR PUSTAKA

Adami Chaza. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Adami Chazawi. Percobaan dan Penyertaan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Ahmad, Andi Eka Yustika. “Tinjauan Viktimologis Kejahatan Kekerasan dan Penghinaan
Terhadap Penyandang Cacat.” Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makasar,
2015, t.t., hlm 10.
Alf Ross, on Guilt. Responsbility and Punishment. London: Steven & Sons, 1975.
Amir Ilyas. Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Mahakarya Rangkang Offset, 2012.
Arif Gosita. Masalah Korban Kejahatan. 2009 ed. Jakarta: Universitas Trisakti, t.t.
Bambang Poernomo. Hukum Pidana Dan Kumpulan Karangan Ilmiah. 1 ed. Jakarta: Bina
Aksara, 1982.
Bambang Waluyo. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi. 2012 ed. Jakarta: Sinar
Grafika, t.t.
Barbara Krahe. Perilaku Agresif. Yogyakarta: Bumi Aksara, 2005.
C.Georg Boree. Dasar-Dasar Psikologi Sosial. Yogyakarta: Prisma Sophie, 2006.
Chairul Huda. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan" Menuju Kepada " Tiada
Pertanggugjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori
Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggugjawaban Pidana. Jakarta: Kencana, 2006.
Dikdik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan: Antara
Norma dan Realita. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Dr. G. Widiartana, S.H., M.Hum. Viktimologi Perspektif Korban dalam Penanggulangan
Kejahatan. 2014. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, t.t.
E.Y. Kanter, S.R. Sianturi. Azas-Azas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta:
Storia Grafika, 2002.
Glanville Williams. Criminal Law: The General Part. London: Steven & Sons, 1961.
Huda, Misbahul. “Tinjauan Viktimologi Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak
Pidana Main Hakim Sendiri".” Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, 2017,
t.t., 12.
Jan Remmelink. Hukum Pidana. Jakarta: Gramedia, 2014.
Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana. Bandung: sinar baru, 1990.
Leden Marpaung. Asas -teori-praktik hukum pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Lilik Mulyadi. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Viktimologi. Denpasar: Djambatan,
2003.
Mahrus Ali. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2001.
Milion H. Erickson. Mood Disorder. London: Crystal Park, 2004.
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Muladi, Dwidja Priyanto. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Kencana, 2010.
P.A.F. Laminating. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.
Rahmat H Abdullah. “Tinjauan Viktimologi Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking).” Jurnal Yustika, 2019, 22 No. 1. (t.t.): hlm 3.
Rena Yulia. Viktimologi Perlindungan Hukum Terdapat Korban Kejahatan. Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2010.
Roeslan Saleh. Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana. I. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983.
Sambutan Direktur Jendral Bina Kesehatan Masyarakat. Buku Pedoman Kesehatan Jiwa
Departemen Kesehatan R.I. Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat, 2003.
Sarwono Wirawan Sarlito. Teori-Teori Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Sudarto. Hukum dan Perkembangan Masyarakat. Bandung: Sinar Baru, 1983.
Syarif Black Solphin. “Pertanggungjawaban Pidana.” Wordpress, 11 Januari 2012.
https://syarifblackdolphin.wordpress.com/2012/01/11/pertanggungjawaban-
pidana/.
Teguh Prasetyo. Hukum Pidana. IV. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Triantoro Safitri, Nofrans Eka Saputra. Manajemen Emosi Dan Depresi. Jakarta: Bumi
Aksara, 2009.
Utrecht. Hukum Pidana 1. Bandung: Universitas Bandung, 1968.

Anda mungkin juga menyukai