Anda di halaman 1dari 12

Pengertian tentang Viktimologi, Ruang lingkup viktimologi, pengertian korban,

masalah viktimisasi, sejarah viktimologi, dan hubungan viktimologi dan bidang


ilmu yang lain.

PROGRAM STUDY JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN KALI JAGA

YOGYAKARTA

2013

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan


penegakan hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana
untuk direalisasikan. Banyak peristiwa dalam kehidupan masyarakat
menunjukkan bahwa kedua hal tersebut kurang memperoleh perhatian yang
serius dari pemerintah padahal sangat jelas dalam Pancasila, sebagai
falsafah hidup bangsa Indonesia, masalah perikemanusiaan dan perikeadilan
mendapat tempat yang sangat penting sebagai perwujudan dari Sila
Kemanusiaan yang adil dan beradab serta sila Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Dalam berkehidupan di dalam masyarakat, setiap orang tidak
akan lepas dari adanya interaksi antara individu yang satu dengan individu yang
lain. Sebagai mahluk sosial, manusia tidak akan dapat hidup apabila tidak
berinteraksi dengan manusia yang lain. Dengan seringnya manusia melakukan
interaksi satu sama lain, sehingga dapat menimbulkan hubungan antara dua
individu atau lebih yang bersifat negative dan dapat menimbulkan kerugian di
salah satu pihak. Hal tersebut pada saat ini sering disebut dengan tindak pidana.
Terjadinya suatu tindak pidana terdapat 2 (dua) pihak yang terlibat didalamnya,
yaitu Pelaku dan Korban.

Salah satu contoh kurang diperhatikannya masalah keadilan dan hak asas
dalam penegakan hukum pidana adalah berkaitan dengan perlindungan hukum
terhadap korban tindak kejahatan. Korban kejahatan yang pada dasarnya
merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, justru tidak
memperoleh perlindungan sebagaimana yang diberikan oleh undang-
undang. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana
oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak
dipedulikan sama sekali. Padahal, masalah keadilan dan
penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku
kejahatan saja, tetapi juga korban kejahatan.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Viktimologi

Cara pandang tentang penanggulangan kejahatan tidak hanya terfokus pada


timbulnya kejahatan atau metode yang digunakan dalam penyelesaian para
pelaku kejahatan. Namun, hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk dipahami
adalah masalah korban kejahatan itu sendiri, yang dalam keadaan tertentu dapat
menjadi pemicu munculnya kajahatan. Saat berbicara tentang korban kejahatan,
maka kita tidak terlepas dari Victimologi.

Victimologi berasal dari bahasa latin “Victima” yang berarti korban


dan “Logos”yang berarti ilmu. Secara terminologi Victimologi berarti suatu
studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-
akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai kenyataan
sosial, korban dalam lingkup Victimologi mempunyai arti yang luas sebab tidak
hanya terbatas pada individu yang nyata menderita kerugian, tapi juga
kelompok, korporasi, swasta maupun pemerintah.[1] Akibat penimbulan korban
adalah sikap atau tindakan terhadap korban dan/atau pihak pelaku serta mereka
yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam terjadinya suatu
kejahatan.
Menurut Kamus Chrime Dictionary yang orang ahli dikutip seorang ahli
(Abdussalam, 2010: 5) bahwa victim adalah “orang yang telah medapat
penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau
mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan
oleh pelaku tindak pidana dan lainya[2]. Dalam kamus ilmu pengetahuan social
disebutkan bahwa victimologi adalah studi tentang tingkah laku victim sebagai
salah satu penentu kejahatan. [3](Hugo Reading, Kamus Ilmu-ilmu social,
Jakarta, Rajawali, 1986, hlm.457).

Pendapat Arif Gosita mengenai pengertian victimologi ini sangat luas, yang
dimaksud korban disini adalah mereka yang menderita jmaniah dan rohaniah
sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri dalam
konteks kerakusan individu dalam memperoleh apa yang diingingkan secara
tidak baik dan sanggat melanggar ataupun bertentangan dengan kepentingan
dan hak asasi yang menderita, Sebab dan kenyataan sosial yang dapat disebut
sebagai korban tidak hanya korban perbuatan pidana (kejahatan) saja tetapi
dapat korban bencana alam, korban kebijakan pemerintah dan lain-lain.[4] (Arif
Gosita, 1985, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta. )

Korban dalam pengertian yurdis yang termaktub dalam perundang-undangan


No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban adalah seseorang
yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana”. Menurut Peraturan pemerintah No.2
Tahun 2002 tentang tata cara perlindungan terhadap saksi-saksi dalam
pelanggaran HAM yang berat, Korban adalah orang perseorangan atau
kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak
asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari
ancaman gangguan, terror, dan kekerasan pihak manapun. Undang-undang
No.23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah
“orang yang mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan dalam ruang
lingkup rumah tangga”. Undang-undang No.27 Tahun 2004 tentang komisi
kebenaran dan rekonsiliasi, Korban adalah orang perseorangan atau kelompok
orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental maupun emosional,
kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian pengurangan atau perampasan
hak-hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat
termasuk korban atau ahli warisnya.”

B. Ruang Lingkup Viktimologi


Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti peranan
korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan
korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam sistem
peradilan pidana.

Menurut J. E. Sahetapy [5], ruang lingkup viktimologi meliputi


bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh suatu
victimity yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan,
termasuk pola korban kecelakaan, dan bencana alam selain dari korban
kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Objek studi atau ruang lingkup viktimologi menurut Arief Gosita adalah
sebagai berikut :

a. Berbagai macam viktimisasi kriminal atau kriminalistik.

b. Teori-teori etiologi viktimisasi kriminal.

c. Para peserta terlibat dalam terjadinya atau eksistensi suatu


viktimisasi kriminal atau kriminalistik, seperti para korban,
pelaku, pengamat, pembuat undang-undang, polisi, jaksa, hakim, pengacara
dan sebagainya.

d. Reaksi terhadap suatu viktimisasi kriminal.

e. Respons terhadap suatu viktimisasi kriminal argumentasi kegiatan-


kegiatan penyelesaian suatu viktimisasi atau viktimologi, usaha-
usaha prevensi, refresi, tindak lanjut (ganti kerugian), dan pembuatan
peraturan hukum yang berkaitan.

f. Faktor-faktor viktimogen/
kriminogen.Ruang lingkup atau objek studi viktimologi dan kriminologi da
pat dikatakan sama, yang berbeda adalah titik tolak pangkal pengamatannya
dalam memahami suatu viktimisasi kriminal, yaitu viktimologi dari sudut
pihak korban sedangkan kriminologi dari sudut pihak pelaku. Masing-
masing merupakan komponen-komponen suatu interaksi (mutlak) yang hasil
interaksinya adalah suatu viktimisasi kriminal atau kriminalitas.[6]

Suatu viktimisasi antara lain dapat dirumuskan sebagai suatu


penimbunan penderitaan (mental,fisik, sosial, ekonomi, moral) pada pihak
tertentu dan dari kepentingan tertentu. Menurut J.E. Sahetapy, viktimisasi
adalah penderitaan, baik secara
fisik maupun psikis atau mental berkaitan dengan perbuatan pihak lain.
Lebih lanjut J.E. Sahetapy berpendapat mengenai paradigma viktimisasi
yang meliputi :[7]

a. Viktimisasi politik, dapat dimasukkan aspek penyalahgunaan


kekuasaan, perkosaan hak-hak asasi manusia, campur tangan angkatan
bersenjata diluar fungsinya, terorisme, intervensi, dan peperangan lokal atau
dalam skala internasional;

b. Viktimisasi ekonomi, terutama yang terjadi karena ada kolusi


antara pemerintah dan konglomerat, produksi barang-barang
tidak bermutu atau yang merusak kesehatan, termasuk aspek lingkungan
hidup;

c. Viktimisasi keluarga, seperti perkosaan, penyiksaan, terhadap


anak dan istri dan menelantarkan kaum manusia lanjut atau orang tuanya
sendiri;

d. Viktimisasi media, dalam hal ini dapat disebut penyalahgunaan


obat bius, alkoholisme, malpraktek di bidang kedokteran dan lain-lain;

e. Viktimisasi yuridis, dimensi ini cukup luas, baik yang


menyangkut aspek peradilan dan lembaga pemasyarakatan
maupun yang menyangkut dimensi diskriminasi perundangundangan,
termasuk menerapkan kekuasaan dan stigmastisasi kendatipun sudah
diselesaikan aspek
peradilannya.Viktimologi dengan berbagai macam pandangannya memperlu
as teori-teori etiologi kriminal yang diperlukan untuk memahami eksistensi
kriminalitas sebagai suatu viktimisasi yang struktural maupun nonstruktural
secara lebih baik. Selain pandangan-pandangan dalam
viktimologi mendorong orang memperhatikan dan melayani setiap pihak
yang dapat menjadi korban mental, fisik, dan sosial.

C. Korban Kejahatan

Pengertian korban dalam pembahasan disini adalah untuk sekedar


membantu dalam menentukan secara jelas batas yang dimaksud oleh pengertian
tersebut sehingga diperoleh kesamaan cara pandang.
Secara luas, pengertian korban Yang dimaksud korban tidak langsung di s
ini seperti, istri kehilangan suami, anak yang kehilangan bapak, orang tua
yang kehilangan anaknya, dan lainnya.[8] Korban diartikan bukan hanya
sekedar korban yang menderita langsung, akan tetapi korban tidak langsung pun
juga mengalami penderitaan yang dapat diklarifikasikan sebagai korban
suatu kejahatan tidaklah harus berupa individu atau perorangan, tetapi bisa
berupa kelompok orang, masyarakat atau juga badan hukum. Bahkan pada
kejahatan tertentu, korbannya bisa juga berasal dari bentuk kehidupan lainnya.
Seperti tumbuhan, hewan atau ekosistem. Korban semacam ini lazimnya kita
temui dalam kejahatan terhadap lingkungan. Namun, dalam pembahasan ini
korban sebagaimana dimaksud terkahir tidak termasuk didalamnya.[9]

Selanjutnya secara yuridis, pengertian korban termaktub dalam


Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, yang dinyatakan bahwa korban adalah “seseorang yang mengalami
penderitaan fisik, mental, dan/atau, kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh
suatu tindak pidana. Melihat rumusan tersebut, yang disebut korban adalah:

a. Setiap orang;

b.Mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau;

c. Kerugian ekonomi;

d. Akibat tindak pidana

Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan oleh para ahli maupun


sumber dari konvensi-konvensi sebagaimana diantaranya adalah sebagai berikut
:

1. Arik Gosita

Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat
tindakan orang lain yang mencari pemenuhan, kepentingan diri sendiri atau
orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang
dirugikan.

2. Muladi

Korban (Victim) adalah orang-orang yang baik secara individu maupunkolektif


telah menderita kerugian termasuk kerugian fisik atau mental, emosional,
ekonomi atau gangguan subtansial terhadap hak-haknya yang fundamental,
melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing
negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.
3. UU No 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga.Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman
kekerasan dalam lingkup rumah tangga.

4. UU No. 27 tahun 2004 tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Korban


adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan
baik fisik, mental, maupun emosional. Kerugian ekonomi atau mengalmi
pengabdian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat
pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli
warisnya.[10]

5. Peraturan pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara


Perlindungan terhadap Korban dan Saksi Pelanggaran Hak AsasiManusia yang
Berat.Korban adalah orang perseoranganatau kelompok orang mengalami
penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan
kekerasan pihak manapun.

Dengan mengacu pada pengertian diatas bahwa dapat dilihat bahwa


korban tidak hanya perseorangan atau kelompok yang secara langsung
menderita akibat dari perbuatan tindak pidana–tindak pidana. Korban kejahatan
diartikan sebagai seseorang yang telah menderita kerugian
sebagai akibat suatu kejahatan dan atau yang rasa keadilannya secara
langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannyaa sebagai target
(sasaran) kejahatan.[11]

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan


Kekerasan Dalam Rumah Tangga, korban adalah orang yang mengalami
kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Menurut
Mendelsohn[12], berdasarkan derajat kesalahannya korban dibedakan menjadi
lima macam, yaitu:

a. Yang sama sekali tidak bersalah;

b. Yang jadi korban karena kelalaiannya;

c. Yang sama salahnya dengan pelaku;

d. Yang lebih bersalah dari pelaku;


e. Yang korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku
dibebaskan).

Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban diatas, dapat dilihat


bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau
kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan perbuatan
yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan lebih
luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari
korban dan orang-orang yang mengalami
kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk
mencegah viktimisasi.

3. Sejarah Viktimologi

Perkembangan Victimologi tidak terlepas dari pemikir terdahulu


yaitu hans Von Henting seorang ahli kriminologi pada tahun 1941 menulis
sebuah makalah yang berjudul “Remark on the interaction of perpetrator and
victim.”dan Tujuh Tahun kemudian beliau menerbitkan buku yang berjudul The
Criminal and his victim yang menyatakan bahwa korban mempunyai peranan
yang menentukan dalam timbulnya kejahatan. Mendelsohn pada tahun 1947
pemikiran ahli ini sangat mempengaruhi setiap fase perkembangan
Victimologi. Pada Tahun 1947 atau setahun sebelum buku von Hentig terbit,
Mendelsohn menulis sebuah makalah dengan judul “New bio-psycho-sosial
horizons: Victimology.” Pada saat inilah istilah victimology pertama kali
digunakan.. Perkembangannya dapat dibagi dalam tiga fase yaitu :

1. fase Pertama Victimologi hanya mempelajari korban kejahatan saja (Penal


or Special Victimology) .

2. fase kedua Victimologi tidak hanya mengkaji masalah korban kejahatan


tetapi juga meliputi korban kecelakaan (General Victimology) .

3. fase ketiga Victimologi lebih luas lagi yaitu mengkaji permasalahan korban
penyalahgunaan kekuasaan dan hak-hak asasi manusia (New Victimology).[13]

Dari pengertian diatas, nampak jelas yang menjadi objek kajian Victimologi
diantaranya adalah pihak-pihak mana saja yang terlibat atau mempengaruhi
terjadinya suatu Victimisasi, faktor-faktor respon, serta upaya penanggulangan
dan sebagainya.

Setelah itu para sarjan-sarjana lain mulai melakukan studi tentang


hubungan psikologis antara penjahat dengan korban, bersama H. Mainheim,
Schafser, dan Fiseler. Setelah itu pada Tahun 1949 W.H. Nagel juga melakukan
pengamatan mengenai viktimologi yang dituangkan dalam tulisannya dengan
judul “de Criminaliteit van Oss, Gronigen.”, dan pada Tahun 1959 P.Cornil
dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa si korban patut mendapatkan
perhatian yang lebih besar dari kriminologi dan viktimologi. Pada Tahun 1977
didirikanlah World Society of Victimology. World Society of Victimology (WSV)
dipelopori oleh Schneider dan Drapkin. Perubahan terbesar dari
perkembangan pembentukan prinsip-prinsip dasar tentang perlindungan
korban terwujud pada saat diadakannya kongres di Milan, pada tanggal 26
Agustus 1985 yang menghasilkan beberapa prinsip dasar tentang korban
kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan yang selanjutnya diadopsi oleh
Perserikatan Bangsa-Bansa pada tanggal 11 Desember 1985 dalam suatu
deklarasi yang dinamakan Decleration of Basic Principle of Justice for Victims of
Crime and Abuse Power.

4. Hubungan Viktimologi dan Ilmu pengetahuan

Adanya hubungan antara kriminologi dan viktimologi sudah tidak dapat


diragukan lagi, karena dari satu sisi Kriminologi membahas secara luas
mengenai pelaku dari suatu kejahatan, sedangkan viktimologi disini
merupakan ilmu yang mempelajari tentang korban dari suatu kejahatan.
Seperti yang dibahas dalam buku Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan,
karangan Dikdik M.Arief Mansur . Jika ditelaah lebih dalam, tidak berlebihan
apabila dikatakan bahwa viktimologi merupakan bagian yang hilang dari
kriminologi atau dengan kalimat lain, viktimologi akan membahas bagian-
bagian yang tidak tercakup dalam kajian kriminologi. Banyak dikatakan bahwa
viktimologi lahir karena munculnya desakan perlunya masalah korban dibahas
secara tersendiri.

Akan tetapi, mengenai pentingnya dibentuk Viktimilogi secara terpisah dari


ilmu kriminologi mengundang beberapa pendapat, yaitu sebagai berikut :
1. Mereka yang berpendapat bahwa viktimologi tidak terpisahkan dari
kriminologi, diantaranya adalah Von Hentig, H. Mannheim dan Paul Cornil.
Mereka mengatakan bahwa kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang
menganalisis tentang kejahatan dengan segala aspeknya, termasuk korban.
Dengan demikian, melalui penelitiannya, kriminologi akan dapat membantu
menjelaskan peranan korban dalam kejahatan dan berbagai persoalan yang
melingkupinya.

2. Mereka yang menginginkan viktimologi terpisah dari kriminologi,


diantaranya adalah Mendelsohn. Ia mengatakan bahwa viktimologi merupakan
suatu cabang ilmu yang mempunyai teori dalam kriminologi, tetapi dalam
membahas persoalan korban, viktimologi juga tidak dapat hanya terfokus pada
korban itu sendiri.

Khusus mengenai hubungan antara kriminologi dan hukum pidana


dikatakan bahwa keduanya merupakan pasangan atau dwi tunggal yang saling
melengkapi karena orang akan mengerti dengan baik tentang penggunaan
hukum terhadap penjahat maupun pengertian mengenai timbulnya kejahatan
dan cara-cara pemberantasannya sehingga memudahkan penentuan adanya
kejahatan dan pelaku kejahatannya. Hukum pidana hanya mempelajari delik
sebagai suatu pelanggaran hukum, sedangkan untuk mempelajari bahwa delik
merupakan perbuatan manusia sebagai suatu gejala social adalah kriminologi.

J.E Sahetapy juga berpendapat bahwa kriminologi dan viktimologi


merupakan sisi dari mata uang yang saling berkaitan. Perhatian akan kejahatan
yang ada tidak seharusnya hanya berputar sekitar munculnya kejahatan akan
tetapi juga akibat dari kejahatan, karena dari sini akan terlihat perhatian
bergeser tidak hanya kepada pelaku kejahatan tetapi juga kepada posisi
korban dari kejahatan itu. Hal ini juga dibahas oleh pakar hukum lainnya dalam
memperhatikan adanya hubungan ini, atau setidaknya perhatian atas
terjadinya kejahatan tidak hanya dari satu sudut pandang, apabila ada orang
menjadi korban kejahatan, jelas terjadi suatu kejahatan, atau ada korban ada
kejahatan dan ada kejahatan ada korban. Jadi kalau ingin menguraikan dan
mencegah kejahatan harus memperhatikan dan memahami korban suatu
kejahatan, akan tetapi kebiasaan orang hanya cenderung memperhatikan
pihak pelaku kejahatan.
[1] Didik M. Arif Mansur, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Hal. 34

[2] Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Hal. 9

[3] Hugo Reading, Kamus Ilmu-ilmu social, Hal.457

[4] Arif Gosita, 1985, Masalah Korban Kejahatan, Akademika


Pressindo, Jakarta. Hal.75-76

[5] Rena Yulia, 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap K


orban KejahatanHal.45

[6] Arif Gosita, 1985, Masalah Korban Kejahatan, Hal.39

[7] Muhadar, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, hlm 22

[8] Dikdik M. Arief Mansur & Elisatri Gultom, Hal.39

[9] R. Wiyono, Pengadilan HAM di Indonesia, Hal. 78

[10] Mansur, Urgensi Perlindungan, Hal. 47 – 48

[11] Dikdik M. Arief Mansur & Elisatri Gultom, Hal.51

[12] Ibid Hlm.52

[13]Didik M. Arif Mansur, Urgensi Perlindungan Korban


Kejahatan, Hal. 35

Anda mungkin juga menyukai