Anda di halaman 1dari 14

1

BEBERAPA MASALAH SUKSESI NEGARA DALAM KASUS TIMOR TIMUR

Huala Adolf

ABSTRACT

This article discusses the background of the doctrine of the


succession of state and its development in international law. A
particular attention is given to the issue of succession of
states following the separation of East Timor from Indonesia. A
number of problems that appear in relation to the separation of
East Timor from Indonesia are the status of the Indonesian
government’s assets and the status of the agreement on Timor Gap.
The article concludes that East Timor case is a unique
development in relation to the succession of state.

Pendahuluan

Suksesi negara adalah salah satu obyek pengkajian klasik


dalam hukum internasional publik. Oscar Schachter mengungkapkan
bahwa "State succession is one of the oldest subjects of
1
international law." Meskipun sudah menjadi obyek kajian yang
telah lama, namun hukum internasional masih belum jelas mengatur
masalah ini. Czaplinski menyatakan bahwa hukum suksesi negara
“... is one of the underdeveloped areas of international law.”2

Dewasa ini kajian terhadap bidang ini kembali menarik


perhatian cukup besar dari para sarjana hukum internasional.
Sebab utamanya adalah cukup banyaknya negara baru yang lahir.
Tercerai-berainya Uni Sovyet (Rusia) dan pecahnya Yugoslavia
menjadi beberapa negara baru pada tahun 1991 adalah keadaan di
mana perhatian terhadap suksesi negara menjadi signifikan.

1
Oscar Schachter, "The Once and Future Law,", 33 Va.J.Int'l.L., 253
(1993), terkutip dalam Carter and Trimble, Carter and Trimble,
International Law, Boston: Little, Brown and Co., 2nd.ed., 1995, hlm.
480.
2
Wladyslaw Czaplinski, “Equity and Equitable Principles in the Law of
State Succession,” dalam: Mojmir Mrak (ed.), Succession of States, The
Hague: Martinus Nijhoff, 1999, hlm. 61; Budi Lazarusli dan Syahmin
A.H., Suksesi negara dalam Hubungannya dengan Perjanjian Internasional,
2

Indonesia sendiri juga menghadapi masalah ini. Pertama


adalah lepasnya Timor Timur dari Indonesia dan kemudian
menyatakan kemerdekaannya (dengan bantuan masyarakat
internasional yang tergabung dalam PBB). Kedua, adalah masalah
suksesi negara yang terkait dengan perjanjian internasional
ketika Mahkamah Internasional memeriksa sengketa pulau Sipadan-
Ligitan antara Indonesia melawan Malaysia (1997-2002).3

Hukum Internasional mengenai Suksesi Negara

Hukum internasional positif yang mengatur bidang ini masih


belum ada. Belum ada aturan baku yang menjadi acuan atau mengikat
bagi negara-negara.4 Praktek telah pula menunjukkan bahwa tidak
ada aturan yang dapat diterima umum sebagai hukum internasional.5
Hal ini agak mengherankan, mengingat hukum internasional telah
lama berupaya mengatur bidang ini.6

Hukum yang ada dari sejak awal perkembangan di bidang hukum


ini adalah berbagai perjanjian bilateral antara negara baru dan
lama. Contoh klasik mengenai perjanjian bilateral ini adalah
Perjanjian tahun 1919 yakni the Treaty of Paris yang mengatur

Bandung: Remadja Karya, 1986, hlm. 2; lihat pula: John O’Brien,


International Law, London: Cavendish, 2001, hlm. 587
3
Dalam sengketa pulau Sipadan-Ligitan, baik Indonesia maupun Malaysia
menyatakan bahwa mereka masing-masing berhak atas kepemilikan kedua
pulau kecil ini berdasarkan suksesi. Argumen ini ditoleh oleh Mahkamah
Internasional (Lihat paras. 93, 94 dan 96, ICJ, Case Concerning
Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia),
(Report).
4
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam
Era Dinamika Global, Bandung: Alumni, cet.2., 2001, hlm. 40.
5
D.J. Harris, Cases and Materials on International Law, London: Sweet
and Maxwell, 5th., ed., 2000, hlm. 128.
6
Menurut Santiago Torres Bernandez, para sarjana telah berupaya
menggambarkan pengaturan bidang ini sejak tahun 1880. Pada waktu itu
sarjana berkebangsaan Perancis Selosse telah menulis karyanya berjudul
Traité de l'annexion au territoire francais et de son déinembrement,
Paris (1880). (Lihat: Santiago Torres Bernandez, "Succession of
States," dalam: R. Bedjaoui (ed.), International Law: Achievements and
Prospects, the Netherlands: Martinus Nijhoff Publ. - UNESCO, 1991, hlm
392.
3

utang-utang publik (negara lama) yang beralih kepada negara baru,


yaitu Hungaria.7

Upaya pembentukan hukum atau perjanjian internasional


mengenai hal ini bukannya tidak ada. Kekosongan hukum mengenai
bidang hukum ini telah mendorong Komisi Hukum Internasional PBB
(International Law Commission atau ILC) untuk mengkodifikasi
hukum internasional di bidang hukum ini.

Tahun 1978, ILC mengesahkan Konvensi Wina mengenai suksesi


negara dalam kaitannya dengan perjanjian. Lalu pada tahun 1983,
ILC juga mengesahkan Konvensi Wina mengenai Suksesi Negara dalam
kaitannya dengan Harta Benda, Arsip-arsip dan Utang-utang Negara.
Khususnya untuk Konvensi Wina 1983, Konvensi ini mensyaratkan 15
ratifikasi agar Konvensi dapat berlaku efektif. Namun hingga ini
8
baru diketahui hanya 5 negara saja yang meratifikasi

Mengapa bidang ini begitu sulit untuk mendapat pengaturan


hukum internasional? Masalahnya adalah, pertama, di dalam suksesi
negara terkait di dalamnya berbagai faktor hukum dan faktor-
faktor non-hukum lainnya yang melekat. Faktor-faktor ini tampak
cukup banyak mengingat kasus-kasus yang menyangkut lahirnya
suksesi negara ini satu sama lainnya tidak sama.

Karena itu, untuk memahami masalah ini, pertama-tama perlu


terlebih dahulu memahami sifat hukum daripada negara: yakni
batasan dan sifat negara, fungsi-fungsi hukum dari unsur-unsur
negara, akibat-akibat hukum dari perubahan suatu wilayah, dll.

Pertimbangan faktor-faktor lainnya yang berperan penting di


samping faktor hukum, misalnya, adalah akibat-akibat yang lahir
sehubungan dengan terjadinya suksesi negara. Sesungguhnya,
terdapat berbagai masalah yang lahir yang perlu mendapat

7
The Treaty of Paris atau the Treaty of St Germain, Trianon and Paris
adalah perjanjian yang menentukan status Rumania sebagai suatu negara
baru (Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Oxford:
Clarendon press, 5th.ed., 1998., hlm. 657 [n]).
4

pengaturan yang tegas. Misalnya, masalah nasionalitas atau status


hukum seseorang, masalah perbatasan, dll.

Kedua, dalam praktek ternyata tidak jarang suatu negara


(baru) menganggap dirinya bukanlah negara baru dalam arti
sebenarnya. Sehingga karenanya suksesi negara sebenarnya tidak
ada atau tidak terjadi. Misalnya, pada tahun 1991, negara baru
Federasi Rusia menyatakan bahwa negaranya sebenarnya bukanlah
negara baru, tetapi merupakan kelanjutan dari Uni Sovyet (negara
lama yang bubar).9 Sama halnya dengan kasus Timor Timur. Ketika
Timor Timur memisahkan diri dari RI, Konstitusinya masih
menganggap bahwa hari kemerdekaannya bukanlah pada tahun 1999
ketika lepas dari RI, tetapi tahun 1975.

Suksesi Negara dan Timor Timur

Terlepasnya Timor Timur dari wilayah Republik Indonesia dan


kemudian membentuk negara baru (Timor Leste), melahirkan berbagai
masalah baru. Masalah utamanya adalah adanya dua pendapat yang
saling bertentangan antara Indonesia dan negara-negara luar.

Indonesia menganggap Timur Timur adalah wilayah yang


sebelumnya telah resmi menjadi bagian wilayah Indonesia pada
tahun 1976. Karena itu, ketika Timor Timur kemudian memisahkan
diri dari Indonesia pada tahun 1999, maka telah terjadi suksesi
negara pada waktu itu.

Pandangan kedua dari negara-negara lain, termasuk PBB, yang


menganggap peristiwa tahun 1976 tersebut adalah tindakan
pendudukan dengan kekerasan terhadap wilayah Timor Timur. Karena
itu, ketika Timor Timur lepas dari wilayah Indonesia, yang

8
Ibrain F.I. Shihata, “Matters of State Succession in the World Bank
Practice,” dalam: Mojmir Mrak (ed.), Succession of States, The Hague:
Martinus Nijhoff, 1999, hlm 76.
9
John O’Brien, Op.cit., hlm 588.
5

terjadi bukanlah suksesi negara, tetapi “pengembalian


10
kedaulatan”.

Terlepas apakah telah terjadi suksesi negara atau tidak,


masalah mengenai status aset harta kekayaan pemerintah Indonesia
yang berada di wilayah Timor Timur (Timor Leste) ternyata
kemudian menjadi masalah kedua negara. Dari fakta ini, menurut
penulis, suksesi negara telah terjadi. Wilayah Timor Timur
sebelumnya adalah wilayah pendudukan (Portugis sebelum diambil
alih Indonesia), bukan wilayah merdeka. Karena itu dengan
lepasnya Timor Timur dari Indonesia pada tahun 1999, telah
terjadi pemisahan wilayah dan kemudian telah lahirnya suatu
negara baru. Artinya, telah terjadi suatu proses suksesi negara.

Aset Pemerintah RI

Sewaktu Timor Leste menyatakan “perpisahannya” dari RI,


masalah yang segera timbul adalah bagaimanakah status hukum aset-
aset pemerintah RI yang ada di dalam wilayah negara tersebut.
Pendirian RI dan Timor Leste berbeda. RI berpendapat bahwa aset-
asetnya di wilayah itu tidak secara otomatis beralih, tetapi
status tersebut harus atau tunduk kepada aturan-aturan hukum
internasional yang berlaku.

Sebaliknya Timor Leste berpendapat bahwa aset tersebut


adalah milik negaranya sesuai dengan Konstitusinya.11

Sudah diakui umum, suksesi terhadap harta benda (aset)


publik dari negara yang diambil alih adalah suatu prinsip hukum

10
Boer Mauna, Op.cit., hlm. 48.
11
Penulis tidak menemukan satu pasal pun dalam Konstitusi Timor Leste
yang baru (2001). Namun ada satu pasal dalam Konstitusi yang mungkin
menjadi penafsiran pemerintah Timor Leste yang digunakan untuk
pendirian tersebut. Section 139 dari Konstitusi Timor Leste
menyebutkan: “The resources of the soil, the subsoil, the territorial
waters, the continental shelf and the exclusive economic zone, which
are essential to the economy, shall be owned by the State and shall be
used in a fair and equitable manner in accordance with national
interests.”
6

kebiasaan internasional. Praktek negara-negara mengakui suksesi


negara baru terhadap aset atau harta kekayaan milik negara
sebelumnya.

Sarjana terkemuka yang memiliki otoritas di bidang kajian


ini, yakni D.P. O'Connell, mengemukakan bahwa negara pengganti
(successor state) memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari
hak milik dari negara yang digantikannya.

Konvensi Wina 1983 tidak membedakan harta benda publik dan


privat. Konvensi lebih menekankan kepada perlakuan yang seragam
dari harta benda negara (State property). Tampaknya yang menjadi
alasan Konvensi untuk tidak memberikan pembedaan ini karena tidak
adanya kriteria dalam hukum kebiasaan internasional mengenai
pengertian harta negara ini.

Berdasarkan Konvensi 1983, harta benda negara (State


property) adalah "property, rights and interests (in a legal
sense) which, at the date of the succession of State, were owned
by that State." Dengan kata lain, harta benda negara adalah harta
benda, hak dan kepentingan (dalam arti hukum) yang dimiliki oleh
negara pada waktu terjadinya suksesi negara.

Dalam hal negara pengganti (succession States) tersebut


bukan suatu negara baru merdeka, maka para negara akan berupaya
mencari kesepakatan (agreement). Manakala para pihak tidak
berhasil mencapai kesepakatan, pada prinsipnya benda-benda
bergerak yang berada di dalam wilayah negara pengganti beralih
kepada negara tersebut.

Pasal 17 (1) (b) Konvensi 1983 menjelaskan lebih lanjut


bahwa harta benda bergerak yang beralih tersebut adalah harta
benda yang ada kaitannya dengan kegiatan negara yang diganti
(lama) di wilayah yang sekarang menjadi milik negara pengganti.
Tidak termasuk dalam hal ini adalah harta benda yang diperoleh
oleh negara yang digantikan sebelum, misalnya, terjadinya
kolonisasi atas wilayah yang sekarang menjadi negara pengganti
(baru). Sedangkan harta benda bergerak lainnya di mana suatu
7

bagian wilayah terpisah harus dibagi berdasarkan pembagian yang


adil ("equitable proportion").12

Namun dalam hal negara pengganti adalah suatu negara yang


baru merdeka (newly independent State), maka kesepakatan di
antara para pihak tidak diperlukan (Pasal 15 (1) (b)). Demikian
pula negara baru merdeka ini juga mewarisi harta benda bergerak
yang semula "milik" wilayah yang sekarang menjadi negara baru
meredeka selama jangka waktu wilayah tersebut masih dimiliki
negara lama.13

Ketentuan yang sama juga berlaku terhadap harta benda


bergerak yang semula dimiliki atau dibentuk oleh wilayah yang
sekarang merdeka.14

Dari uraian di atas tampak bahwa Konvensi internasional


memberi hak kepada negara yang baru merdeka untuk mengklaim
dirinya sebagai pemilik baru atas aset negara lama. Dalam hal
ini, Timor Leste sebagai negara baru merdeka menjadi pemilik atas
aset negara RI yang berada di sana.

Pada umumnya, negara-negara mempunyai hukum nasional-nya


yang mengatur masalah suksesi negara ini. Hukum nasional Timor
Leste telah dikemukakan di atas. Hukum Indonesia mengatur suksesi
negara dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 mengenai
Perjanjian Internasional. Namun UU ini hanya mengatur suksesi
negara dalam kaitannya dengan status hukum perjanjian
internasional di negara baru (pasal 20). RI tidak punya aturan
susesi negara mengenai status aset negara di suatu wilayah negara
baru.

Contoh lain sebagai perbandingan adalah hukum Amerika


Serikat (AS). Pengaturan Suksesi Negara dalam hukum AS terdapat
dalam the Foreign Relations Law. Menurut Section 209 UU ini,
"Subject to agreement between the predecessor and successor

12
Pasal 17 (1) (c) Konvensi 1983.
13
Pasal 15 (1) (b) Konvensi 1983.
14
Pasal 15 (1) d-f Konvensi 1983.
8

states, title to state property passes as follows: ... (c) where


part of a state becomes a separate state, property of the
predecessor state located in the territory of the new state
passes to the new state."

Hukum Amerika Serikat tersebut tampak senada dengan hukum


nasional (Konstitusi) Timor Leste. Namun yang menarik dari hukum
AS ini adalah bahwa kepemilikan tersebut akan beralih apabila ada
kesepakatan di antara para pihak. Artinya, ia tidak beralih
secara otomatis.

Dari ulasan di atas, tampak ada persamaan berikut. Aset


negara lama (RI) yang terdapat di dalam wilayah negara yang baru
merdeka pada prinsipnya beralih menjadi milik negara yang baru
merdeka. Ketentuan ini ditegaskan dalam Konvensi Wina 1983, hukum
AS dan hukum Timor Leste [Sic!].

Permasalahannya adalah, apakah Konvensi Wina 1983 bersifat


mengikat? Dan, apakah hukum nasional dapat dipakai sebagai
pedoman dalam sengketa sekarang ini?

Pertama, Konvensi 1983 pada prinsipnya tidak berlaku


terhadap Indonesia karena Indonesia tidak meratifikasinya.
Meskipun demikian, Konvensi 1983 dapat berfungsi atau dianggap
sebagai sumber hukum berupa doktrin. Dalam hal ini ketentuan
dalam Konvensi 1983 adalah hasil dari pendapat dari para ahli
hukum internasional terkemuka (para anggota ILC).

Kedua, status hukum nasional yang mengatur masalah suksesi


negara. Hukum nasional Timor Leste dan hukum AS sudah barang
tentu tidak berlaku keluar atau mengikat pihak lainnya. Hukum
nasional tersebut tidak mengikat RI.

Namun demikian, apabila dilihat seksama, tampak bahwa bunyi


ketentuan mengenai suksesi negara antara hukum nasional
(Konstitusi Timor Leste) dengan hukum internasional tidak jauh
beda. Artinya, klaim pemerintah Timor Leste terhadap aset negara
RI memiliki dasar hukum yang cukup kuat.
9

Status Perjanjian Timor Gap

Masalah hukum lain yang mendapat sorotan di tanah air


adalah status Perjanjian Timor Gap (Timor Gap Treaty) antara RI
dan Australia. Masalah hukum yang lahir adalah:

1) Apakah Perjanjian Timor Gap masih berlaku setelah Timor Timur


lepas dari wilayah RI? dan

2) Kalau jawaban pertanyaan 1) di atas adalah negatif, apakah


Timor Barat mempunyai hak atas sumber daya alam di landas
kontinen di wilayah Timor Gap berdasarkan hukum internasional,
khususnya Konvensi Hukum Laut 1982?

Perjanjian Timor Gap mengikat Indonesia setelah diundangkan


dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1991. Perjanjian ini merupakan
pengaturan sementara antara RI – Australia yang ditempuh
mengingat upaya kedua negara dalam menetapkan garis batas landas
kontinennya di wilayah Timor Gap gagal meskipun perundingan untuk
itu telah berlangsung cukup lama (sekitar 10 tahun).

Kendala utamanya adalah perbedaan pandangan para pihak


mengenai prinsip hukum yang diterapkan di Timor Gap dan mengenai
situasi geomorfologis landas kontinen di wilayah Timor Gap.
Daripada masalah penetapan garis batas berlarut-larut, kedua
pihak sepakat untuk mengadakan pengaturan sementara. Pengaturan
sementara ini sesuai dengan ketentuan Pasal 83 ayat 3 Konvensi
Hukum Laut 1982 yang antara lain menyatakan:

“Pending agreement as provided for in paragraph 1, the


Sates concerned, in a spirit of understanding and co-
operation, shall make every effort to enter into
provisional arrangements of a practical nature and, during
this transitional period, not to jeopardize or hamper the
reaching of the final agreement. Such arrangements shall be
without prejudice to the final delimitation ... “
Wilayah yang menjadi sengketa dibagi ke dalam tiga zona,
yakni zona A, B, dan C. Zona A adalah wilayah tumpang tumpang
tindih (overlapping) atau daerah sengketa (disputed area). Di
10

zona ini kedua pihak sepakat untuk membagi keuntungan “fifty-


fifty”. Zona ini adalah daerah landas kontinen yang di Selatan
dibatasi oleh klaim maksimum Indonesia (median line), dan di
utara dibatasi oleh klaim maksimum Australia (di Palung Timor
atau Timor Trough). Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982, dan
sesuai dengan praktek negara, negara-negara yang bersangkutan
dapat membuat perjanjian untuk menjadikan disputed area tersebut
sebagai joint development zone atau zona pengembangan bersama
15
dengan pembagian keuntungan “fifty-fifty”.

Zona B adalah zona di mana Indonesia menuntut bagian dari


keuntungan yang diperoleh Australia atas daerah landas kontinen
yang memang berada di bawah yurisdiksi Australia karena terletak
di luar batas klaim maksimal Indonesia (terletak di sebelah
selatan median line). Hal ini dimaksudkan untuk kompensasi bagi
garis batas landas kontinen berdasarkan Perjanjian tahun 1972
yang kurang menguntungkan Indonesia (terlalu dekat dengan pantai
Indonesia). Sebabnya adalah ketentuan hukum laut yang berlaku
waktu itu kurang menguntungkan Indonesia. Karena itu, Zona B
merupakan keuntungan tambahan bagi Indonesia karena di samping
memperoleh separuh dari hasil di Zona A, Indonesia memperoleh 16%
dari hasil yang diperoleh Australia di daerah yang seharusnya
merupakan daerah yurisdiksi eksklusif Australia.16

Namun untuk dapat menerima usulan Indonesia mengenai Zona B


tersebut, dan atas dasar permintaan Australia untuk keseimbangan,
Australia menuntut agar ada daerah kecil di sebelah utara klaim
maksimal Australia (di utara Palung Timor) di mana Australia akan
“memperoleh” 10% dari “keuntungan” di daerah tersebut, yang
kemudian dinamakan Zona C yang sejak semula sudah diketahui oleh
kedua belah pihak sebagai daerah yang tidak prospektif. Jadi
sebenarnya Zona C ditetapkan dan disepakati sekedar untuk

15
Deplu, Tentang Traktak Celah Timor, dalam: < http://www.dfa-deplu.go.
id/policy/releases/2001/celahtimor.htm>.
16
Deplu, Ibid.
11

menampung keinginan Australia untuk menciptakan suatu


keseimbangan tanpa merugikan Indonesia.

Menyusul jejak pendapat di Timor Timur tanggaal 30 agustus


1999 di mana penduduk Timor Timur memilih untuk berpisah dari RI,
pemerintah mengeluarkan TAP MPR No V/MPR/1999 yang menerima jejak
pendapat tersebut. TAP MPR ini sekaligus juga mencabut TAP MPR No
VI/MPR/1976 tentang integrasi Timor Timur ke dalam wilayah RI.
Dengan keluarnya TAP MPR tahun 1999 tersebut, pemerintah RI
berpendapat Perjanjian Timor Gap telah kehilangan hukumnya.

Dasar hukum yang digunakan pemerintah untuk pendapatnya


tersebut adalah berdasarkan pada sumber hukum perjanjian
internasional tentang berakhirnya perjanjian internasional.
Pemerintah berpendapat bahwa apabila obyek dari suatu perjanjian
berubah, maka perubahan tersebut dapat dijadikan dasar oleh kedua
belah pihak untuk mengakhir perjanjian.17

Menurut hemat penulis, pendapat pemerintah RI ini kurang


tepat. Memang benar salah satu alasan untuk mengakhiri perjanjian
internasional adalah karena berubahnya obyek perjanjian {Sic!].18
Namun masalahnya adalah, obyek perjanjian ini yaitu wilayah Timor
Gap tidak berubah. Alasan yang tampaknya lebih tepat adalah
alasan suksesi negara, yaitu terpisahnya wilayah Timor Timur dari
wilayah RI dan hilangnya kedaulatan RI atas wilayah Timor Timur.
Dengan beralihnya kedaulatan atas wilayah Timor Timur ini kepada
Timor Leste, maka kejadian ini dapat dijadikan alasan untuk
19
mengakhiri Perjanjian Timor Gap.

Kedua negara melalui penandantangan Exchange of Letters


tanggal 1 Juni 2000 sepakat untuk mengakhiri Timor Gap Treaty
yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Juni 2000. Dengan demikian,

17
Deplu, Ibid.
18
Cf., pasal 61 Konvensi Wina 1969 menggunakan istilah ‘destruction’
atau ‘disappearance’ of the object of the treaty.
19
D.J. Harris, Op.cit., hlm. 844 (beliau menyatakan bahwa:”the law of
state succession applies where a state party to a treaty ceases to
exist”).
12

perjanjian tersebut tidak berlaku lagi dan wilayah Timor Gap


karenanya bergantung kepada perjanjian atau kesepakatan antara
Timor Timor dan Australia. Terserah kepada kedua negara ini
apakah mereka akan merundingkan penetapan garis batas landas
kontinennya atau juga membuat pengaturan sementara seperti yang
dilakukan antara RI – Australia.

Masalah hukum kedua adalah apakah Timor Barat mempunyai hak


atas sumber daya alam di wilayah landas kontinen Timor Gap
berdasarkan hukum internasinal, khususnya Konvensi Hukum Laut
1982.

Daerah yang dinamakan Timor Gap adalah daerah landas


kontinen di antara Timor-Timur dan Australia, yaitu daerah yang
terletak di antara dua titik dasar pada pulau Timor, yaitu di
sebelah timur pada titik median line antara pulau Leti
(Indonesia) dan pulau Yako (Timor-Timur), dan di sebelah barat
pada titik mulut sungai Mota Masin di perbatasan Timor-Timur dan
NTT, yang ditetapkan berdasarkan Perjanjian RI-Australia tahun
1972. Daerah tersebut dinamakan Timor Gap karena adanya gap atau
celah di mana garis batas landas kontinen kedua negara belum
dapat ditetapkan karena adanya perbedaan posisi antara Portugal -
dan kemudian Indonesia- dengan Australia mengenai cara menarik
garis batas landas kontinen di daerah itu.20

Dengan demikian daerah di sebelah Barat dan Timur dari


Timor Gap tidak termasuk Timor Gap, dan garis batas landas
kontinen antara kedua negara di kedua daerah tersebut sudah
ditetapkan berdasarkan Perjanjian tahun 1972.

Dari uraian tersebut di atas, tampak bahwa dengan lepasnya


Timor-Timur dari wilayah RI, Indonesia (termasuk Timor Barat)
tidak lagi mempunyai hak terhadap landas kontinen di daerah
21
“Timor Gap” berdasarkan hukum internasional.

20
Deplu, Ibid.
13

Penutup

Dari uraian di atas, tampak bahwa terlepasnya Timor Timur


dari wilayah RI merupakan masalah suksesi negara. Dua masalah
yang serta merta lahir daripadanya, yakni masalah status aset
pemerintah RI di wilayah Timor Leste dan status Perjanjian Timor
Gap merupakan sebagian kecil saja masalah yang timbul dari
terlepasnya Timor Timur dari RI.

Kasus Timor Timur juga menunjukkan bahwa masalah suksesi


negara ini semakin relevan dewasa ini. Kasus ini sekaligus juga
menunjukkan bahwa hukum mengenai suksesi negara ini berkembang
dan kasus ini memiliki kekhasannya. Kasus ini di samping masalah
klasik yang melekat setelah terjadinya proses suksesi negara,
yakni masalah status aset negara lama, juga terdapatnya
perjanjian yang jenisnya bukan perjanjian perbatasan, tetapi
pengaturan sementara. Karena itu, doktrin atau prinsip hukum yang
berlaku umum untuk masalah perbatasan ini, yakni doktrin uti
possidetis, tidak berlaku dalam kasus ini.

Daftar Pustaka

Bernardez, Santiago Torres, "Succession of States," dalam: R.


Bedjaoui (ed.), International Law: Achievements and
Prospects, the Netherlands: Martinus Nijhoff Publ. - UNESCO,
1991.
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi
dalam Era Dinamika Global, Bandung: Alumni, cet.2., 2001.
Brownlie, Ian, Principles of Public International Law, Oxford:
Clarendon press, 5th.ed., 1998.
Budi Lazarusli dan Syahmin S.K., Suksesi Negara dalam Hubungannya
dengan Perjanjian Internasional, Bandung: Remadja Karya,
1986.
Carter, Barry E., and Phillip R. Trimble, International Law,
Boston: Little, Brown and Co., 2nd.ed., 1995.

21
Deplu, Ibid.
14

Czaplinski, Wladyslaw, “Equity and Equitable Principles in the


Law of State Succession,” dalam: Mojmir Mrak (ed.),
Succession of States, The Hague: Martinus Nijhoff, 1999.
Deplu, Tentang Traktak Celah Timor, dalam: < http://www.dfa-
deplu.go.id/policy/releases/2001/celahtimor.htm>
Harris, D.J., Cases and Materials on International Law, London:
Sweet and Maxwell, 5th.ed., 2000.
Mrak, Mojmir (ed.), Succession of States, The Hague: Martinus
Nijhoff Publ., 1999.
O’Brien, John, International Law, London: Cavendish, 2001.
Parry and Grant, Encyclopaedic Dictionary of International Law,
New York: Oceana Publ., 1986.
Schachter, Oscar, "The Once and Future Law,", 33 Va.J.Int'l.L.,
253 (1993), dalam: Carter and Trimble, International Law,
Boston: Little, Brown and Co., 2nd.ed., 1995.
Watson, Geoffrey R., “The Law of State Succession,” dalam: Ellen
G. Schaffer and Randall J. Snyder, Contemporary Practice of
Public International Law, New York: Oceana, 1997.

Anda mungkin juga menyukai