Anda di halaman 1dari 11

Sejarah dan Latar Belakang

terbentuknya PTUN
Marjan Miharja. SH.,MH
Bagi Indonesia keinginan untuk memiliki Peradilan Tata Usaha Negara
yang pada mulanya disebut Peradilan Administrasi Negara kemudian
berubah nama Peradilan Tata Usaha Pemerintahan kemudian setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 istilah yang
digunakan adalah Peradilan Tata Usaha Negara, sudah lama dicita-
citakan sejak zaman pemerintahan jajahan Belanda. Namun, keinginan
itu selalu kandas di tengah jalan karena berbagai alasan. Keinginan itu
baru terwujud pada penghujung Tahun 1986, yakni dengan
diundangkannya UU Nomr 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, pada tanggal 29 Desember 1986.
Meskipun UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara berlaku
pada saat diundangkan , namun UU tersebut belum berlaku secara efektif
karena penerapan UU ini akan diatur lebih lanjut engan peraturan
pemerintah selambat-lambatnya 5 tahun sejak UU diundangkan ( pasal 145
UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ). Karena itu
hingga akhir tahun 1990, meskipun lembaganya sudah terbentuk, namun
belum bisa menyelesaikan perkata TUN yang timbul. Bila ditelaah lebih
lanjut, beberapa pasal dalam UU NO. 5 Tahun 1986 masih memerlukan
peraturan pelaksanaan . Selain itu Peradilan TUN adalah sutu lembaga baru
yang masih memerlukan persiapan. Oleh karena itu pemerintah diberikan
waktu ancang-ancang untuk melakukan persiapan seperlunya , baik yang
menyangkut prasarana dan sarana maupun personalianya. Waktu yang
diberikan oleh UU No. 5 Tahun 1986 paling lambat 5 tahun.
harus kita akui bahwa kelahiran UU tersebut adalah suat langkah maju
dalam era pembangunan hukum yang dicanangkan pemerintah dan
juga menunjukkan adanya itikad baik dari pemerintah, karena pihak
pemerintahlah yang menjadi tergugat tetepi pihak pemerintah jugalah
yang mengajukan Rancangan UU tersebut ke Dewn Perwakilan Rakyat.
Keberadaan Peradilan TUN merukan salah satu jalur yudisial dalam
rangka pelaksanaan asas perlindungan hukum, di samping pengawasan
jalur Administratif yang berjalan sesuai dengan jalur yang ada dalam
lingkungan pemerintahan sendiri. Karena itu Peradilan TUN membrikan
landasan pada badan yudikatif untuk menilai tindakan eksekutif serta
mengatur mengenai perlindungan hokum kepada masyarakat.
Apabila kita telusuri Peradilan TUN telah menempuh perjalanan yang cukup panjang dan berliku.
Oleh karena itu, kita harus menelusuri dari zaman pra-kemerdekaan hingga sesudah
kemerdekaan. Pada zaman pemerintahan Belanda tidak dikenal adanya Peradilan TUN sebagai
suatu lembaga yang berdiri sendiri, yang diberi kewenangan untuk memeriksa dan menyelesaikan
sengketa di bidang Tata Usaha Negara. Peradilan Administrasi Negara (TUN ) pada waktu itu
dilakukan baik oleh hakim administrasi Negara (TUN ), yaitu hakim khusus yang memeriksa perkara
administrasi Negara ( TUN ), maupun hakim perdata. Ketentuan yang digunakan pada waktu itu
adalah pasal 134 IS jo ( Indische Staatsregeling ) , pasal 2 RO ( Reglement op de Rechter Iijke
Organisatie en het beleid der justitie in Indonesia ) . Inti dari pasal 134 ayat (1) IS jo da pasal 2 RO
adalah bahwa peradilan hanya dilakukan oleh kekuasaan kehakiman semata. Selain itu, ada pul
pasal yang menyinggung masalah itu, yakni pasal 138 ayat (1) IS dan pasal 2 ayat 2 RO . Inti dari
kedua psal tersebut adalah bahwa perkara-perkara yang menurut sifatnya atau berdasarkan UU
termasuk dalam wewenang pertimbangan kekuasaan administrasi, tetap ada dalam
kewenangannya. Apabila kita telaah lebih lanjut kedua pasal tersebut sebenarnya belum
menunjukkan keberadaan Peradilan TUN . Pasal ini sekedar menunjukkan penyelesaiaan sengketa
administrasi Negara ( TUN ) yang dilakukan oleh pihak administrasi Negara di Indonesia. Pasal 2 Ro
bukanlah dasar hokum atau yang menentukan batas-batas kewenangan Peradilan administrasi
Negara di Indonesia, tetapi hanya menentukan bahwa sengketa-sengketa yang telah
ditetapkan termasuk dalam kewenangan hakim tertentu, akan tetap menjadi kewenangan
mereka. Pasal tersebut juga tidak memberikan pengertian Peradilan Tata Usaha Negara. Namun
kedua pasal itu bisa dikatakan merupakan konsep dasar atau cikal bakal dari Peradilan Tata Usaha
Negara di Indonesia.
Pada Tahun 1942, pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada
Jepang. Dengan jatuhnya pemerintah Belanda maka berakhirlah riwayat
pemerintah Hindia Belanda dan mulailah zaman pemerintahan Jepang
dengan menerapkan pemerintahan militernya. Pada masa pendudukan
Jepang ini, pemerintahan militer yang lebih sibuk berperang, tidak begitu
banyak menaruh perhatian terhadap kelengkapan perangkat kenegaraan.
Namun, untuk menjaga kelangsungan roda pemerintahan, diundangkanlah
UU Nomor 1 tanggal 7 Maret 1942. Pasal 3 dari UU ini, yang merupakan
aturan peralihan yakni :
“Semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hokum dan
undang-undang dari pemerintah yang dahulu, tetap diakui sah bagi
sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan
pemerintah militer”
Dengan perkataan lain, selama pendudukan Jepang masih tetap
digunakan system IS dan RO, yakni system banding administratif
(administratief beroep). Setelah itu, pada tanggal 17 Agustus 1945
diproklamasikanlah kemerdekaan Negara RepubLik Indonesia. Untuk
kali pertama diberlakukan UUD 1945 dari tanggal 18 Agustus 1945 – 27
Desember 1949. Kemudian dari tanggal 27 Desember 1949 – 17
Agustus 1950 diberlakukanlah Konstitusi Indonesia Serikat. Selanjutnya
sejak tanggal 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959 diberlakukanlah UUD
Sementara tahun 1950. Dan terkhir sejak tanggal 5 Juli 1959 dengan
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 berlakulah kembali UUD 1945.
Apabila kita telusuri, pada kurun waktu di atas, yakni sejak Indonesia merdeka
hingga penghujung tahun 1986 , Indonesia belum mempunyai suatu lembaga
Peradilan Administrasi Negara (TUN) yang berdiri sendiri. Memang dalam praktek
telah banyak perkara administrasi Negara (TUN) yang dapat diselesaikan . Namun
dalam penyelesaiannya bukan dilakukan oleh lembaga Peradilan TUN, melainkan
diselesaikan oleh berbagai macam badan yang masing-masing mempunyai batas
kompetensi tertentu dengan prosedur pemeriksaan yang berbeda pula. Dalam
praktek, kita mengetahui adanya 3 lembaga yang melakukan fungsi seperti lembaga
Peradilan TUN yaitu Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), Peradilan Pegawai Negeri,
dan Peradilan Bea Cukai. Tetapi yang betul-betul menjalankan hanya MPP saja dan
yang lainnya tidak pernah berfungsi . Satu-satunya lembaga yang dianggap sebagai
Peradilan TUN adalah Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), Majelis ini merupakan
hakim yang mandiri, yang mengadili antara sengketa yang memungut pajak
(pemerintah) dengan pembayar pajak (rakyat) . Dalam hal ini kedua pihak
mempunyai kedudukan yang sederajat dan hak yang sama.
Apabila kita telusuri dokumen yang berkenaan dengan masalah Peradilan Tata Usaha
Negara, maka upaya kearah perwujudan Peradilan TUN memang sudah sejak lama dirintis .
Untuk kali pertam pada tahun 1946 Wirjono Prodjodikoro membuat Rancangan
Undang Unang tentang Acara Perkara Dalam Soal Tata Usaha Pemerintahan. Di samping itu
masih ada usaha lain yang mendukung perwujudan Peradilan TUN. Misalnya kegiatan-
kegiatan yang berupa penelitian , symposium , seminar , penyusunan RUU , dan
sebagainya. Perintah untuk mewujudkan Peradilan TUN untuk kali pertama dituangkan
dalam Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960. Kemudian perintah itu ditegaskan kembali
dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, yang dituangkan dalam pasal 10 ayat (1) jo. Pasal 12. Selanjutnya perintah ini
diperkuat dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978, yang menyatakan “Mengusahakan
terwujudnya Peradilan TUN”. Di samping itu, Presiden Soeharto dalam pidato
kenegaraannya di depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 16 Agustus 1978
menegaskan bahwa : “akan diusahakan terbentuknya pengadilan administrasi, yang dapat
menampung dan menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan pelanggaran
yang dilakukan oleh pejabat atau aparatur Negara, maupun untuk memberikan kepastian
hukum untuk setiap pegawai negeri”.
Selanjutnya untuk merealisasikan kehadiran Peradilan TUN maka
ditetapkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1982 tentang GBHN.
Selanjutnya dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN
untuk Pelita IV, yang merupakan kelanjutan dari Pelita III, memeng
tidak disebutkan secara jelas tantang perwujudan Peradilan TUN.
Namun karena rencana pembangunan merupakan rencana yang
berkesinambungan maka sudah sepantasnya untuk tetap
mengupayakan Peradilan TUN. Seiring dengan itu pada tanggal 16 April
1986 pemerintah melalui Surat Presiden Nomor R.04/PU/IV/1986
mengajukan kembali RUU Peradilan Administrasi ke DPR. Rancangan
tersebut merupakan penyempurnaan dari RUU Peradilan Administrsi
1982.
Akhirnya pada tanggal 20 Desmber 1986, DPR secra aklamasi menerima
Rancangan Undang Undang tentang Peradilan TUN menjadi UU. UU tersebut
adalah UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN yang diundangkan pada
tanggal 29 Desember 1986 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3344. Dengan demikian terwujudlah sudah badan atau wadah
tunggal yang bebas dari pengaruh dan tekanan siapapun, yang diserahi tugas
dan kewenangan untuk memeriksa , memutus , dan menyelesaikan sengketa
TUN. Setelah itu melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991
dinyatakan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara dan UU No. 5 Tahun 1986
mulai berlaku. Kemudian pada tanggal 29 Maret 2004 disahkan UU No. 9
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Anda mungkin juga menyukai