Anda di halaman 1dari 12

Sejarah PTUN

Pada prinsipnya kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung


dan badan peradilan yang ada di bawahnya, dalam lingkungan Peradilan sebuah
Mahkamah Konstitusi.

Hal tersebut secara tegas diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945,  baik sebelum
maupun sesudah diamandemen. Keberadaan kekuasaan kehakiman menunjukkan
bahwa Negara Indonesia sebagai Negara hukum (rechtsstaat). Pasal 1 ayat (3) 
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa Negara Indonesia
adalah Negara hukum. Salah satu syarat Negara hukum adalah perlu adanya
Peradilan Tata Usaha Negara. Untuk mewujudkan hadir Peradilan Tata Usaha
Negara, maka  pada tanggal 29 Desember 1986 Presiden mensahkan  Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Kemudian
pada tanggal 29 Maret 2004 disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor  9
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam perubahan tersebut tidak semua pasal diubah.
Bahkan, pasal-pasal yang mengatur tentang kompetensi Peradilan Tata Usaha
Negara tetap dipertahankan dan masih tetap berlaku.

Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, memberikan kompetensi absolut


kepada Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengontrol tindakan pemerintah dan
menyelesaikan, memeriksa, serta memutuskan sengketa Tata Usaha Negara.

Perlu diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok


Kekuasaan Kehakiman telah disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 1999. Namun pada Tanggal 15 Januari 2004 kedua undang-undang tersebut
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Kemudian, diganti dengan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Demikian pula dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pada
masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri diubah dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang kemudian disahkan pada tanggal 29 Maret
2004.

2. Lahirnya Perdilan Tata Usaha Negara


 

Bagi Indonesia keinginan untuk memiliki Peradilan Tata Usaha Negara yang pada
mulanya disebut Peradilan Administrasi Negara kemudian berubah nama Peradilan
Tata Usaha Pemerintahan kemudian setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 istilah yang digunakan adalah Peradilan Tata Usaha Negara, sudah
lama dicita-citakan sejak zaman pemerintahan jajahan Belanda. Namun, keinginan
itu selalu kandas di tengah jalan karena berbagai   alasan. Keinginan itu baru
terwujud pada penghujung Tahun 1986, yakni dengan diundangkannya UU Nomr 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pada tanggal 29 Desember
1986.

Meskipun UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara berlaku pada
saat diundangkan , namun UU tersebut belum berlaku secara efektif karena
penerapan UU ini akan diatur lebih lanjut engan peraturan pemerintah selambat-
lambatnya 5 tahun sejak UU diundangkan ( pasal 145 UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara ). Karena itu hingga akhir tahun 1990, meskipun
lembaganya sudah terbentuk, namun belum bisa menyelesaikan perkata TUN yang
timbul.  Bila ditelaah lebih lanjut, beberapa pasal dalam UU NO. 5 Tahun 1986
masih memerlukan peraturan pelaksanaan . Selain itu Peradilan TUN adalah sutu
lembaga baru yang masih memerlukan persiapan. Oleh karena itu pemerintah
diberikan waktu ancang-ancang untuk melakukan persiapan seperlunya , baik yang
menyangkut prasarana dan sarana maupun personalianya. Waktu yang diberikan
oleh UU No. 5 Tahun 1986 paling lambat 5 tahun.

Harus kita akui bahwa kelahiran UU tersebut adalah suat langkah maju dalam era
pembangunan hukum yang dicanangkan pemerintah dan juga menunjukkan adanya
itikad baik dari pemerintah, karena pihak pemerintahlah yang menjadi tergugat tetepi
pihak pemerintah jugalah yang mengajukan Rancangan UU tersebut ke Dewn
Perwakilan Rakyat. Keberadaan Peradilan TUN merukan salah satu jalur yudisial
dalam rangka pelaksanaan asas perlindungan hukum, di samping pengawasan jalur
Administratif  yang berjalan sesuai dengan jalur yang ada dalam lingkungan
pemerintahan sendiri. Karena itu Peradilan TUN membrikan landasan pada badan
yudikatif untuk menilai tindakan eksekutif serta mengatur mengenai perlindungan
hokum kepada masyarakat.

Apabila kita telusuri Peradilan TUN telah menempuh perjalanan yang cukup panjang
dan berliku. Oleh karena itu, kita harus menelusuri dari zaman   pra-kemerdekaan
hingga sesudah kemerdekaan. Pada zaman pemerintahan Belanda tidak dikenal
adanya Peradilan TUN sebagai suatu lembaga yang berdiri sendiri, yang diberi
kewenangan untuk memeriksa dan menyelesaikan sengketa di bidang Tata Usaha
Negara. Peradilan Administrasi Negara (TUN ) pada waktu itu dilakukan baik oleh
hakim administrasi Negara (TUN ), yaitu hakim khusus yang memeriksa perkara
administrasi Negara ( TUN ), maupun hakim perdata. Ketentuan yang digunakan
pada waktu itu adalah pasal 134 IS jo ( Indische Staatsregeling ) , pasal 2 RO
( Reglement op de Rechter Iijke Organisatie en het beleid der justitie in Indonesia ) .
Inti dari pasal 134 ayat (1) IS jo da pasal 2 RO adalah bahwa peradilan  hanya
dilakukan oleh kekuasaan kehakiman semata. Selain itu, ada pul pasal yang
menyinggung masalah itu, yakni pasal 138 ayat (1) IS dan pasal 2 ayat 2 RO . Inti
dari kedua psal tersebut adalah bahwa perkara-perkara yang menurut sifatnya  atau
berdasarkan UU termasuk dalam wewenang pertimbangan kekuasaan administrasi,
tetap ada dalam kewenangannya. Apabila kita telaah lebih lanjut kedua pasal
tersebut sebenarnya belum menunjukkan keberadaan Peradilan TUN . Pasal ini
sekedar menunjukkan penyelesaiaan sengketa administrasi Negara ( TUN ) yang
dilakukan oleh pihak administrasi Negara di Indonesia. Pasal 2 Ro bukanlah dasar
hokum atau yang menentukan  batas-batas kewenangan  Peradilan administrasi
Negara di Indonesia, tetapi hanya menentukan bahwa sengketa-sengketa yang telah
ditetapkan  termasuk dalam kewenangan hakim tertentu, akan tetap menjadi
kewenangan mereka.  Pasal tersebut juga tidak memberikan pengertian Peradilan
Tata Usaha Negara. Namun kedua pasal itu bisa dikatakan merupakan konsep
dasar atau cikal bakal dari Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia.

Pada Tahun 1942, pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada
Jepang. Dengan jatuhnya pemerintah Belanda maka berakhirlah riwayat pemerintah
Hindia Belanda dan mulailah zaman pemerintahan Jepang dengan menerapkan
pemerintahan militernya. Pada masa pendudukan Jepang ini, pemerintahan militer
yang lebih sibuk berperang, tidak begitu banyak menaruh perhatian terhadap
kelengkapan perangkat kenegaraan. Namun, untuk menjaga kelangsungan roda
pemerintahan, diundangkanlah UU Nomor 1 tanggal 7 Maret 1942. Pasal 3 dari UU
ini, yang merupakan aturan peralihan yakni :

“Semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hokum dan


      undang-undang dari pemerintah yang dahulu, tetap diakui sah bagi
      sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan
       pemerintah militer”
Dengan perkataan lain, selama pendudukan Jepang masih tetap digunakan system
IS dan RO, yakni system banding administratif (administratief beroep). Setelah itu,
pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikanlah kemerdekaan Negara RepubLik
Indonesia. Untuk kali pertama diberlakukan UUD 1945 dari tanggal 18 Agustus 1945
– 27 Desember 1949. Kemudian dari tanggal 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950
diberlakukanlah Konstitusi Indonesia Serikat. Selanjutnya sejak tanggal 17 Agustus
1950 – 5 Juli 1959 diberlakukanlah UUD Sementara tahun 1950. Dan terkhir sejak
tanggal 5 Juli 1959 dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 berlakulah kembali
UUD 1945.

Apabila kita telusuri, pada kurun waktu di atas, yakni sejak Indonesia merdeka
hingga penghujung tahun 1986 , Indonesia belum mempunyai suatu lembaga
Peradilan Administrasi Negara (TUN) yang berdiri sendiri. Memang dalam praktek
telah banyak perkara administrasi Negara (TUN) yang dapat diselesaikan . Namun
dalam penyelesaiannya bukan dilakukan oleh lembaga Peradilan TUN, melainkan
diselesaikan oleh berbagai macam badan yang masing-masing mempunyai batas
kompetensi tertentu dengan prosedur pemeriksaan yang berbeda pula. Dalam
praktek, kita mengetahui adanya 3 lembaga yang melakukan fungsi seperti lembaga
Peradilan TUN yaitu Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), Peradilan Pegawai Negeri,
dan Peradilan Bea Cukai. Tetapi yang betul-betul menjalankan hanya MPP saja dan
yang lainnya tidak pernah berfungsi . Satu-satunya lembaga yang dianggap sebagai
Peradilan TUN adalah Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), Majelis ini merupakan
hakim yang mandiri, yang mengadili antara sengketa yang memungut pajak
(pemerintah) dengan pembayar pajak (rakyat) . Dalam hal ini kedua pihak
mempunyai kedudukan yang sederajat dan hak yang sama.

Apabila kita telusuri dokumen yang berkenaan dengan masalah Peradilan Tata
Usaha Negara, maka upaya kearah perwujudan Peradilan TUN memang sudah
sejak lama dirintis . Untuk kali pertam pada tahun 1946  Wirjono       Prodjodikoro
membuat Rancangan Undang Unang tentang Acara Perkara Dalam Soal Tata
Usaha Pemerintahan. Di samping itu masih ada usaha lain yang mendukung
perwujudan Peradilan TUN. Misalnya kegiatan-kegiatan yang berupa penelitian ,
symposium , seminar , penyusunan RUU , dan sebagainya. Perintah untuk
mewujudkan Peradilan TUN untuk kali pertama dituangkan dalam Ketetapan MPRS
Nomor II/MPRS/1960. Kemudian perintah itu ditegaskan kembali dalam UU Nomor
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang
dituangkan dalam pasal 10 ayat (1) jo. Pasal 12. Selanjutnya perintah ini diperkuat
dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978, yang menyatakan “Mengusahakan
terwujudnya Peradilan TUN”. Di samping itu, Presiden Soeharto dalam pidato
kenegaraannya di depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 16 Agustus
1978 menegaskan bahwa : “akan diusahakan terbentuknya pengadilan administrasi,
yang dapat menampung dan menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan
dengan pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat atau aparatur Negara, maupun
untuk memberikan kepastian hukum untuk setiap pegawai negeri”.
Selanjutnya untuk merealisasikan kehadiran Peradilan TUN maka ditetapkan
Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1982 tentang GBHN. Selanjutnya dalam Ketetapan
MPR Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN untuk Pelita IV, yang merupakan
kelanjutan dari Pelita III, memeng tidak disebutkan secara jelas tantang perwujudan
Peradilan TUN. Namun karena rencana pembangunan merupakan rencana yang
berkesinambungan maka sudah sepantasnya untuk tetap mengupayakan Peradilan
TUN. Seiring dengan itu pada tanggal 16 April 1986 pemerintah melalui Surat
Presiden Nomor R.04/PU/IV/1986 mengajukan kembali RUU Peradilan Administrasi
ke DPR. Rancangan tersebut merupakan penyempurnaan dari RUU Peradilan
Administrsi 1982.

Akhirnya pada tanggal 20 Desmber 1986, DPR secra aklamasi menerima


Rancangan Undang Undang tentang Peradilan TUN menjadi UU. UU tersebut
adalah UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN yang diundangkan pada
tanggal 29 Desember 1986 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344.
Dengan demikian terwujudlah sudah badan atau wadah tunggal yang bebas dari
pengaruh dan tekanan siapapun, yang diserahi tugas dan kewenangan untuk
memeriksa , memutus , dan menyelesaikan sengketa TUN. Setelah itu melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991 dinyatakan bahwa Pengadilan Tata
Usaha Negara dan UU No. 5 Tahun 1986 mulai berlaku. Kemudian pada tanggal 29
Maret 2004 disahkan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Masa Penjajahan dan Pendudukan  Masa Kemerdekaan

Masa Penjajahan dan Kependudukan 

Indonesia belum merupakan negara yg mandiri, masih merupakan bagian


dari kerajaan negara Belanda. Indonesia merupakan koloni negara penjajah
dgn HTN yg merupakan hukum jajahan yg bersifat otokratis dan rakyat tidak
mempunyai pengaruh terhadap pemerintahan
Masa Penjajahan Belanda

Kekuasaan kehakiman diatur dlm Bab VII yg berjudul “Van de Justitie” ISR
(Indische Staatsregeling) Stb. 1925:415 jo 577 berlaku sejak 1 Jan 1926. Di
samping itu juga berlaku: RO (Reglement op de Rechterlijke Organisatie en
het Beleid der Justitie in Indonesia) Stb. 1847:23 jo 1848:57  Peraturan
mengenai susunan pengadilan dan pengurusan justisi di pulau Jawa dan
Mandura. RBg (Reglement Buitengewesten) Stb. 1927: 277  Peraturan
mengenai pengadilan di luar pulau Jawa dan Madura.

ISR, RO, dan RBg

Peradilan sbg wujud pelaksanaan kekuasaan kehakiman hanya mungkin bila


ditentukan oleh undang-undang; Perkara yg menurut sifatnya atau
berdasarkan ketentuan UU termasuk wewenang kekuasaan Adm.Negara,
tetap diadili oleh kekuasaan itu.

Masa Pendudukan Jepang

Pasal 3 Osamu Seirei No.1/1942: Semua badan-badan pemerintahan dan


kekuasaannya hukum dan undangundang dari pemerintah terdahulu tetap
diakui sah utk sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dgn aturan
pemerintahan militer.

Masa Kemerdekaan

UUD 1945 Konstitusi RIS 1949 UUD Sementara 1950 kembali ke UUD 1945
(Juli 1959) Pasca Amandemen UUD 1945

Masa UUD 1945

(18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949)

Kekuasaan kehakiman diatur dlm UUD 1945 Bab IX (Pasal 24 dan 25) UU
No. 19 Tahun 1948 ttg Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman
dan Kejaksaan. Pasal 66 dan 67 Peradilan Tata Usaha Pemerintah: -
Perkara TUP diperiksa dan diputus PT (Tk.1) dan MA (Tk.2) jika tidak
ditentukan lain o/ UU. - Badan Peradilan Tata Usaha Pemerintahan berada
dlm pengawasan MA. Pengadilan Negeri…?

Mengapa PN tidak diberi kompetensi…? Sudikno Mertokusumo:  PN


dianggap tidak cukup cakap untuk memberi batas apa yg tercakup dlm PTUN;
 PN dianggap tidak mampu dan sangat sukar utk menafsirkan peraturan-
peraturan TUN yg jumlahnya tdk sedikit.  UU akan menetapkan badan
kehakiman lain yg diberi wewenang utk memeriksa dan memutus sengketa
TUN.
Masa Konstitusi RIS

(27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950)

Peradilan diatur dlm Konstitusi RIS (Bab IV ttg “Pemerintahan” di bawah


Bagian III dan Peradilan Administrasi ditetapkan dlm pasal 161 dan 162 jo
pasal 2 RO. Pasal 161  Hakim biasa atau alat-alat perlengkapan lain dgn
syarat jaminan yg serupa ttg keadilan dan kebenaran berhak memutus
sengketa hukum tata usaha. Pasal 162  Cara memutus sengketa tata usaha
dpt diatur dlm UU federal.

UUD Sementara 1950 ( 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959)

Bagian III UUDS (pasal 101 – 108) mengatur ttg pengadilan. Pasal 101 ayat
1: Bhw hak mengadili atas perkara (pidana sipil dan militer) sematamata
dilakukan oleh pengadilan yg diadakan dan diakui atas kuasa UU. Pasal 108:
Sengketa tata usaha yg diserahkan kpd hakim biasa atau alat-alat
perlengkapan negara lain dgn syarat berupa jaminan yg serupa ttg keadilan
dan kebenaran.

Implikasi Pasal 108 UUDS

Menentukan bhw segala perkara tata usaha pemerintahan secara peraturan


umum diserahkan kpd Pengadilan Perdata; Menentukan bagi satu macam
soal sengketa tertentu, bhw pemutusannya diserahkan kpd Pengadilan
Perdata; Menentukan bhw segala perkara tata usaha pemerintahan secara
peraturan umum diserahkan kpd suatu badan pemutus, bukan pengadilan
perdata yg dibentuk secara istimewa; Menentukan bagi suatu macam soal
sengketa tertentu, bhw pemutusannya diserahkan kpd suatu badan pemutus,
bukan pengadilan perdata yg dibentuk secara istimewa.

Oemar Seno Adji ttg Pasal 108

Penyerahan peradilan tata usaha kpd pengadilan umum (perdata) ataupun


kpd alat perlengkapan lain memang dimungkinkan. Alat perlengkapan lain ini
dpt berupa majelis atau panitia (collegien) yg diberi wewenang memutus
sengketa tata usaha.

Kembali ke UUD 1945 (5 Juli 1959 sampai sekarang)

Pada tahun 1964 diterbitkan UU Nomor 19 Thn 1964 ttg Ketentuan-ketentuan


Pokok Kekuasaan Kehakiman, yg bercorak “peradilan terpimpin”. Dalam
Pasal 19: “Demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau
kepentingan masyarakat mendesak Presiden dpt turun tangan atau campur
tangan dalam soal-soal pengadilan”. Diterbitkan pula UU Nomor 13 Thn 1965
ttg Peradilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung.
“……… UUD 1945”

Dilakukan penggantian terhadap UU 19 Thn 1964 dan UU 13 Thn 1965 dgn


menerbitkan UU 6 Thn 1969 dan UU 14 Thn 1970. Dalam perkembangan
selanjutnya, bidang hukum mendapat cukup perhatian sbg mana terlihat dlm
TAP MPR IV/1973 jo Repelita II.

Kronologi Landasan Hukum PTUN

Orde Lama (5 Juli 1959 – 11 Maret 1966) pada pasal 24 dan 25 UUD 1945 jo
pasal 2 RO kalimat kedua dan pasal 7 (1) sub d. UU 19 Thn 1964 juga TAP
MPRS II/1960 Lampiran A di Bagian III. Orde Baru (11 Maret 1966 sampai
sekarang) pada pasal 24 dan 25 UUD 1945 jo pasal 2 RO kalimat kedua dan
pasal 10 (1) sub d-nya. UU 14 Thn 1970, TAP MPR IV/1973 jo Repelita II,
pada Bab 27 serta TAP MPR IV/1978 pada Bab IV sub d-nya di bagian
“HUKUM”. Repelita III pada Bab 23 dan Repelita IV pada Bab 27. Serta UU 5
Thn 1986 ttg Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Awal Berlakunya UU 5/1986

Meskipun UU 5/1986 mulai berlaku sejak tanggal pengundangan (19


Desember 1986) namun penerapannya secara efektif 5 tahun kemudian
(1991). Melalui PP 7 Thn 1991 ttg Penerapan UU 5/1986 ttg PTUN tertanggal
14 Januari 1991. Penanganan perkara TUN dlm masa tsb diselesaikan oleh
berbagai macam lembaga yg masing-masing mempunyai batas-batas
kompetensi tertentu dgn pemeriksaan yg berbeda pula.

Tiga Macam Prosedur Pemeriksaan Pra-UU-PTUN 1. Pemeriksaan perkara


TUN yg kewenangannya diserahkan kpd pejabat/panitia/badan di lingkungan
pemerintah sendiri; 2. Pemeriksaan perkara TUN yg kewenangannya
diserahkan kpd badan-badan yg ada di luar lingkungan pemerintah; 3.
Pemeriksaan perkara TUN yg kewenangannya diserahkan kpd kekuasaan
kehakiman.

Masa Pasca Amandemen UUD 1945

Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagaimana diatur dlm UU 5 Thn


1986 dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum
masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut UUD 1945. Pada 29
Maret 2004 diterbitkan UU 9 Thn 2004 ttg Perubahan Atas UU 5 Thn 1986
tentang PTUN (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 35).
1. Unsur-Unsur Peradilan Tata Usaha Negara;

Jika melihat aturan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986


tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (“UU 5/1986”) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Pertama atas
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (“UU 9/2004”) dan terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU 51/2009”) bahwa tata usaha
negara (“TUN”) didefinisikan sebagai berikut:
 
Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi
untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.
 
Sementara itu, sengketa Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU
51/2009 didefinisikan sebagai berikut:
 
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha
negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata
usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya
keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 
Kemudian, kami akan jelaskan beberapa ciri sengketa tata usaha negara, di
antaranya adalah sebagai berikut:
 
1. Para Pihak yang Bersengketa
Jika melihat rumusan Pasal 1 angka 10 UU 51/2009 di atas, yang bersengketa
adalah orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha
negara, baik di pusat maupun di daerah. Tergugat adalah badan atau pejabat tata
usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada
padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan
hukum perdata.[1]
 
Menurut Rozali Abdullah dalam bukunya Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara (hal.5), Peradilan TUN hanya berwenang mengadili sengketa TUN, yaitu
sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata
usaha negara.
 
2. Diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara
Pengadilan adalah pengadilan tata usaha negara dan pengadilan tinggi tata usaha
negara di lingkungan peradilan tata usaha negara.[2] Pengadilan bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.
[3]
 
3. Keputusan Tata Usaha Negara sebagai Objek Sengketa
Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU
51/2009 didefinisikan sebagai berikut:
 
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha
negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.
 
Menurut Yuslim dalam bukunya Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (hal.
47) bahwa rumusan Keputusan Tata Usaha Negara menurut Pasal 1 angka 9 UU
51/2009 mengandung unsur-unsur:
 penetapan tertulis,
 Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara,
 tindakan hukum tata usaha negara,
 peraturan perundang-undangan yang berlaku,
 konkret,
 individual,
 final, dan
 akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
 
4. Dengan Mengajukan Gugatan Tertulis
Kita dapat pahami bahwa Sengketa Tata Usaha Negara diselesaikan di Pengadilan
Tata Usaha Negara dengan mengajukan gugatan tertulis yang berisi tuntutan agar
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak
sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.[4]
 
Alasan yang dapat digunakan dalam gugatan tertulis disebutkan dalam Pasal 53
ayat (2) UU 9/2004 sebagai berikut:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-
asas umum pemerintahan yang baik.
 
5. Terdapat Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan
Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung
sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara.[5]
 
Bagi pihak yang namanya tersebut dalam Keputusan Tata Usaha Negara yang
digugat, maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung sejak hari
diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat.[6]
 
Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan keputusan menurut ketentuan:[7]
a. Pasal 3 ayat (2) UU 5/1986, tenggang waktu sembilan puluh hari itu di hitung
setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan dasarnya,
yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan;
b. Pasal 3 ayat (3) UU 5/1986, maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu
dihitung setelah lewatnya batas waktu empat bulan yang dihitung sejak tanggal
diterimanya permohonan yang bersangkutan.
 
Dalam hal peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu keputusan itu harus
diumumkan, maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung sejak hari
pengumuman tersebut.[8]
 
6. Asas Praduga Tak Bersalah
Menurut Rozali Abdullah (hal. 6) bahwa di peradilan Tata Usaha Negara juga
diberlakukan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) seperti yang kita
kenal dalam hukum acara pidana. Di mana seorang pejabat Tata Usaha Negara
tetap dianggap tidak bersalah di dalam membuat suatu Keputusan Tata Usaha
Negara sebelum ada putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
yang menyatakan ia salah di dalam membuat Keputusan Tata Usaha Negara atau
dengan kata lain suatu Keputusan Tata Usaha Negara tetap dianggap sah (tidak
melawan hukum), sebelum adanya putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap yang menyatakan keputusan tersebut tidak sah (melawan hukum).
Sehingga digugatnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara, tidak akan
menyebabkan tertundanya pelaksanaan keputusan tersebut.
 
7. Peradilan In Absentia
Dalam Pasal 72 UU 5/1986 dijelaskan mengenai peradilan in absentia atau sidang
berlangung tanpa hadirnya tergugat. Selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
 
1. Dalam hal tergugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan dua kali sidang
berturut-turut dan/atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat
dipertanggung jawabkan meskipun setiap kali telah dipanggil dengan patut,
maka Hakim Ketua Sidang dengan Surat penetapan meminta atasan tergugat
memerintahkan tergugat hadir dan/atau menanggapi gugatan.
2. Dalam hal setelah lewat dua bulan sesudah dikirimkan dengan Surat tercatat
penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diterima berita, baik
dari atasan tergugat maupun dari tergugat, maka Hakim Ketua Sidang
menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa
dilanjutkan menurut acara biasa, tanpa hadirnya tergugat.
3. Putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya setelah
pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya dilakukan secara tuntas.
 
8. Pemeriksaan Perkara Dengan Acara Biasa, Acara Cepat, dan Acara
Singkat
Sebagaimana pernah dijelasakan dalam artikel Perbedaan Acara Biasa, Acara
Cepat, dan Acara Singkat Pada Peradilan TUN, hukum acara formal TUN (hukum
acara dalam arti sempit) berupa langkah-langkah atau tahapan yang terbagi atas:
1.
a. Acara biasa
Dalam pemeriksaan sengketa TUN dengan acara biasa, tahapan penanganan
sengketa adalah:[9]
 Prosedur dismisal, pemeriksaan administratif untuk menetapkan apakah
suatu gugatan dapat diterima atau tidak dapat diterima.
 Pemeriksaan persiapan, pada tahap ini dimaksudkan untuk melengkapai
gugatan yang kurang jelas.
 Pemeriksaan di sidang pengadilan
b. Acara cepat
pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan apabila terdapat kepentingan
penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan
permohonannya.[10]
1.
c. Acara singkat
pemeriksaan dengan acara singkat dilakukan terhadap perlawanan.[11]
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha
Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara dan terakhir kali diubah dengan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5
tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
 
Referensi:
1. Rozali Abdullah.2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada;
2. Yuslim. 2015.Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar
Grafika.
 

[1] P

3. Para Pihak dalam Peradilan Tata Usaha Negara

Subyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara sering disebut dengan para pihak,
yaitu:

1. Penggugat adalah Setiap Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.
Jadi pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara adalah:
- Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN);
- Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).

Menurut Yurisprudensi Administratieve Rechtspraak Overheidsbeslissingen, untuk


adanya suatu perkumpulan yang dianggap sebagai badan hukum perdata
diperlukan beberapa persyaratan sebagai berikut:
a. Adanya lapisan anggota-anggota, hal ini dapat dilihat pada pengadministrasian
anggota-anggotanya;
b. Merupakan suatu organisasi dengan tujuan tertentu, diadakan rapat anggota,
diadakan pemilihan pengurus, adanya kerja sama antara para anggota dengan
tujuan fungsionalnya secara kontinu;
c. Ikut dalam pergaulan lalu lintas hukum sebagai suatu kesatuan.

2.Tergugat adalah jabatan yang ada pada Badan Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan KTUN berdasarkan wewenang dari Badan Tata Usaha Negara itu
atau wewenang yang dilimpahkan kepadanya. Hal ini mengandung arti bahwa
bukanlah orangnya secara pribadi yang digugat tetapi jabatan yang melekat
kepada orang tersebut. Sebagai jabatan TUN yang memiliki kewenangan
pemerintahan, sehingga dapat menjadi pihak Tergugat dalam Sengketa TUN dapat
dikelompokkan menjadi:
a. Instansi resmi pemerintah yang berada di bawah Presiden sebagai Kepala
eksekutif.
b. Instansi-instansi dalam lingkungan kekuasaan negara diluar lingkungan
eksekutif yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, melaksanakan suatu
urusan pemerintahan.
c. Badan-badan hukum privat yang didirikan dengan maksud untuk melaksanakan
tugas-tugas pemerintahan.
d. Instansi-instansi yang merupakan kerja sama antara pemerintahan dan pihak
swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
e. Lembaga-lembaga hukum swasta yang melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan.

Anda mungkin juga menyukai