Hal tersebut secara tegas diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, baik sebelum
maupun sesudah diamandemen. Keberadaan kekuasaan kehakiman menunjukkan
bahwa Negara Indonesia sebagai Negara hukum (rechtsstaat). Pasal 1 ayat (3)
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa Negara Indonesia
adalah Negara hukum. Salah satu syarat Negara hukum adalah perlu adanya
Peradilan Tata Usaha Negara. Untuk mewujudkan hadir Peradilan Tata Usaha
Negara, maka pada tanggal 29 Desember 1986 Presiden mensahkan Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Kemudian
pada tanggal 29 Maret 2004 disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam perubahan tersebut tidak semua pasal diubah.
Bahkan, pasal-pasal yang mengatur tentang kompetensi Peradilan Tata Usaha
Negara tetap dipertahankan dan masih tetap berlaku.
Bagi Indonesia keinginan untuk memiliki Peradilan Tata Usaha Negara yang pada
mulanya disebut Peradilan Administrasi Negara kemudian berubah nama Peradilan
Tata Usaha Pemerintahan kemudian setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 istilah yang digunakan adalah Peradilan Tata Usaha Negara, sudah
lama dicita-citakan sejak zaman pemerintahan jajahan Belanda. Namun, keinginan
itu selalu kandas di tengah jalan karena berbagai alasan. Keinginan itu baru
terwujud pada penghujung Tahun 1986, yakni dengan diundangkannya UU Nomr 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pada tanggal 29 Desember
1986.
Meskipun UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara berlaku pada
saat diundangkan , namun UU tersebut belum berlaku secara efektif karena
penerapan UU ini akan diatur lebih lanjut engan peraturan pemerintah selambat-
lambatnya 5 tahun sejak UU diundangkan ( pasal 145 UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara ). Karena itu hingga akhir tahun 1990, meskipun
lembaganya sudah terbentuk, namun belum bisa menyelesaikan perkata TUN yang
timbul. Bila ditelaah lebih lanjut, beberapa pasal dalam UU NO. 5 Tahun 1986
masih memerlukan peraturan pelaksanaan . Selain itu Peradilan TUN adalah sutu
lembaga baru yang masih memerlukan persiapan. Oleh karena itu pemerintah
diberikan waktu ancang-ancang untuk melakukan persiapan seperlunya , baik yang
menyangkut prasarana dan sarana maupun personalianya. Waktu yang diberikan
oleh UU No. 5 Tahun 1986 paling lambat 5 tahun.
Harus kita akui bahwa kelahiran UU tersebut adalah suat langkah maju dalam era
pembangunan hukum yang dicanangkan pemerintah dan juga menunjukkan adanya
itikad baik dari pemerintah, karena pihak pemerintahlah yang menjadi tergugat tetepi
pihak pemerintah jugalah yang mengajukan Rancangan UU tersebut ke Dewn
Perwakilan Rakyat. Keberadaan Peradilan TUN merukan salah satu jalur yudisial
dalam rangka pelaksanaan asas perlindungan hukum, di samping pengawasan jalur
Administratif yang berjalan sesuai dengan jalur yang ada dalam lingkungan
pemerintahan sendiri. Karena itu Peradilan TUN membrikan landasan pada badan
yudikatif untuk menilai tindakan eksekutif serta mengatur mengenai perlindungan
hokum kepada masyarakat.
Apabila kita telusuri Peradilan TUN telah menempuh perjalanan yang cukup panjang
dan berliku. Oleh karena itu, kita harus menelusuri dari zaman pra-kemerdekaan
hingga sesudah kemerdekaan. Pada zaman pemerintahan Belanda tidak dikenal
adanya Peradilan TUN sebagai suatu lembaga yang berdiri sendiri, yang diberi
kewenangan untuk memeriksa dan menyelesaikan sengketa di bidang Tata Usaha
Negara. Peradilan Administrasi Negara (TUN ) pada waktu itu dilakukan baik oleh
hakim administrasi Negara (TUN ), yaitu hakim khusus yang memeriksa perkara
administrasi Negara ( TUN ), maupun hakim perdata. Ketentuan yang digunakan
pada waktu itu adalah pasal 134 IS jo ( Indische Staatsregeling ) , pasal 2 RO
( Reglement op de Rechter Iijke Organisatie en het beleid der justitie in Indonesia ) .
Inti dari pasal 134 ayat (1) IS jo da pasal 2 RO adalah bahwa peradilan hanya
dilakukan oleh kekuasaan kehakiman semata. Selain itu, ada pul pasal yang
menyinggung masalah itu, yakni pasal 138 ayat (1) IS dan pasal 2 ayat 2 RO . Inti
dari kedua psal tersebut adalah bahwa perkara-perkara yang menurut sifatnya atau
berdasarkan UU termasuk dalam wewenang pertimbangan kekuasaan administrasi,
tetap ada dalam kewenangannya. Apabila kita telaah lebih lanjut kedua pasal
tersebut sebenarnya belum menunjukkan keberadaan Peradilan TUN . Pasal ini
sekedar menunjukkan penyelesaiaan sengketa administrasi Negara ( TUN ) yang
dilakukan oleh pihak administrasi Negara di Indonesia. Pasal 2 Ro bukanlah dasar
hokum atau yang menentukan batas-batas kewenangan Peradilan administrasi
Negara di Indonesia, tetapi hanya menentukan bahwa sengketa-sengketa yang telah
ditetapkan termasuk dalam kewenangan hakim tertentu, akan tetap menjadi
kewenangan mereka. Pasal tersebut juga tidak memberikan pengertian Peradilan
Tata Usaha Negara. Namun kedua pasal itu bisa dikatakan merupakan konsep
dasar atau cikal bakal dari Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia.
Pada Tahun 1942, pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada
Jepang. Dengan jatuhnya pemerintah Belanda maka berakhirlah riwayat pemerintah
Hindia Belanda dan mulailah zaman pemerintahan Jepang dengan menerapkan
pemerintahan militernya. Pada masa pendudukan Jepang ini, pemerintahan militer
yang lebih sibuk berperang, tidak begitu banyak menaruh perhatian terhadap
kelengkapan perangkat kenegaraan. Namun, untuk menjaga kelangsungan roda
pemerintahan, diundangkanlah UU Nomor 1 tanggal 7 Maret 1942. Pasal 3 dari UU
ini, yang merupakan aturan peralihan yakni :
Apabila kita telusuri, pada kurun waktu di atas, yakni sejak Indonesia merdeka
hingga penghujung tahun 1986 , Indonesia belum mempunyai suatu lembaga
Peradilan Administrasi Negara (TUN) yang berdiri sendiri. Memang dalam praktek
telah banyak perkara administrasi Negara (TUN) yang dapat diselesaikan . Namun
dalam penyelesaiannya bukan dilakukan oleh lembaga Peradilan TUN, melainkan
diselesaikan oleh berbagai macam badan yang masing-masing mempunyai batas
kompetensi tertentu dengan prosedur pemeriksaan yang berbeda pula. Dalam
praktek, kita mengetahui adanya 3 lembaga yang melakukan fungsi seperti lembaga
Peradilan TUN yaitu Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), Peradilan Pegawai Negeri,
dan Peradilan Bea Cukai. Tetapi yang betul-betul menjalankan hanya MPP saja dan
yang lainnya tidak pernah berfungsi . Satu-satunya lembaga yang dianggap sebagai
Peradilan TUN adalah Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), Majelis ini merupakan
hakim yang mandiri, yang mengadili antara sengketa yang memungut pajak
(pemerintah) dengan pembayar pajak (rakyat) . Dalam hal ini kedua pihak
mempunyai kedudukan yang sederajat dan hak yang sama.
Apabila kita telusuri dokumen yang berkenaan dengan masalah Peradilan Tata
Usaha Negara, maka upaya kearah perwujudan Peradilan TUN memang sudah
sejak lama dirintis . Untuk kali pertam pada tahun 1946 Wirjono Prodjodikoro
membuat Rancangan Undang Unang tentang Acara Perkara Dalam Soal Tata
Usaha Pemerintahan. Di samping itu masih ada usaha lain yang mendukung
perwujudan Peradilan TUN. Misalnya kegiatan-kegiatan yang berupa penelitian ,
symposium , seminar , penyusunan RUU , dan sebagainya. Perintah untuk
mewujudkan Peradilan TUN untuk kali pertama dituangkan dalam Ketetapan MPRS
Nomor II/MPRS/1960. Kemudian perintah itu ditegaskan kembali dalam UU Nomor
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang
dituangkan dalam pasal 10 ayat (1) jo. Pasal 12. Selanjutnya perintah ini diperkuat
dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978, yang menyatakan “Mengusahakan
terwujudnya Peradilan TUN”. Di samping itu, Presiden Soeharto dalam pidato
kenegaraannya di depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 16 Agustus
1978 menegaskan bahwa : “akan diusahakan terbentuknya pengadilan administrasi,
yang dapat menampung dan menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan
dengan pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat atau aparatur Negara, maupun
untuk memberikan kepastian hukum untuk setiap pegawai negeri”.
Selanjutnya untuk merealisasikan kehadiran Peradilan TUN maka ditetapkan
Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1982 tentang GBHN. Selanjutnya dalam Ketetapan
MPR Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN untuk Pelita IV, yang merupakan
kelanjutan dari Pelita III, memeng tidak disebutkan secara jelas tantang perwujudan
Peradilan TUN. Namun karena rencana pembangunan merupakan rencana yang
berkesinambungan maka sudah sepantasnya untuk tetap mengupayakan Peradilan
TUN. Seiring dengan itu pada tanggal 16 April 1986 pemerintah melalui Surat
Presiden Nomor R.04/PU/IV/1986 mengajukan kembali RUU Peradilan Administrasi
ke DPR. Rancangan tersebut merupakan penyempurnaan dari RUU Peradilan
Administrsi 1982.
Kekuasaan kehakiman diatur dlm Bab VII yg berjudul “Van de Justitie” ISR
(Indische Staatsregeling) Stb. 1925:415 jo 577 berlaku sejak 1 Jan 1926. Di
samping itu juga berlaku: RO (Reglement op de Rechterlijke Organisatie en
het Beleid der Justitie in Indonesia) Stb. 1847:23 jo 1848:57 Peraturan
mengenai susunan pengadilan dan pengurusan justisi di pulau Jawa dan
Mandura. RBg (Reglement Buitengewesten) Stb. 1927: 277 Peraturan
mengenai pengadilan di luar pulau Jawa dan Madura.
Masa Kemerdekaan
UUD 1945 Konstitusi RIS 1949 UUD Sementara 1950 kembali ke UUD 1945
(Juli 1959) Pasca Amandemen UUD 1945
Kekuasaan kehakiman diatur dlm UUD 1945 Bab IX (Pasal 24 dan 25) UU
No. 19 Tahun 1948 ttg Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman
dan Kejaksaan. Pasal 66 dan 67 Peradilan Tata Usaha Pemerintah: -
Perkara TUP diperiksa dan diputus PT (Tk.1) dan MA (Tk.2) jika tidak
ditentukan lain o/ UU. - Badan Peradilan Tata Usaha Pemerintahan berada
dlm pengawasan MA. Pengadilan Negeri…?
Bagian III UUDS (pasal 101 – 108) mengatur ttg pengadilan. Pasal 101 ayat
1: Bhw hak mengadili atas perkara (pidana sipil dan militer) sematamata
dilakukan oleh pengadilan yg diadakan dan diakui atas kuasa UU. Pasal 108:
Sengketa tata usaha yg diserahkan kpd hakim biasa atau alat-alat
perlengkapan negara lain dgn syarat berupa jaminan yg serupa ttg keadilan
dan kebenaran.
Orde Lama (5 Juli 1959 – 11 Maret 1966) pada pasal 24 dan 25 UUD 1945 jo
pasal 2 RO kalimat kedua dan pasal 7 (1) sub d. UU 19 Thn 1964 juga TAP
MPRS II/1960 Lampiran A di Bagian III. Orde Baru (11 Maret 1966 sampai
sekarang) pada pasal 24 dan 25 UUD 1945 jo pasal 2 RO kalimat kedua dan
pasal 10 (1) sub d-nya. UU 14 Thn 1970, TAP MPR IV/1973 jo Repelita II,
pada Bab 27 serta TAP MPR IV/1978 pada Bab IV sub d-nya di bagian
“HUKUM”. Repelita III pada Bab 23 dan Repelita IV pada Bab 27. Serta UU 5
Thn 1986 ttg Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
[1] P
Subyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara sering disebut dengan para pihak,
yaitu:
1. Penggugat adalah Setiap Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.
Jadi pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara adalah:
- Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN);
- Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
2.Tergugat adalah jabatan yang ada pada Badan Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan KTUN berdasarkan wewenang dari Badan Tata Usaha Negara itu
atau wewenang yang dilimpahkan kepadanya. Hal ini mengandung arti bahwa
bukanlah orangnya secara pribadi yang digugat tetapi jabatan yang melekat
kepada orang tersebut. Sebagai jabatan TUN yang memiliki kewenangan
pemerintahan, sehingga dapat menjadi pihak Tergugat dalam Sengketa TUN dapat
dikelompokkan menjadi:
a. Instansi resmi pemerintah yang berada di bawah Presiden sebagai Kepala
eksekutif.
b. Instansi-instansi dalam lingkungan kekuasaan negara diluar lingkungan
eksekutif yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, melaksanakan suatu
urusan pemerintahan.
c. Badan-badan hukum privat yang didirikan dengan maksud untuk melaksanakan
tugas-tugas pemerintahan.
d. Instansi-instansi yang merupakan kerja sama antara pemerintahan dan pihak
swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
e. Lembaga-lembaga hukum swasta yang melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan.