Anda di halaman 1dari 5

Untung Rugi RUU KUHP

Seperti yang kita ketahui di dalam suatu negara tidak mungkin tidak ada yang namanya suatu
landasan hukum atau pun peraturan pemerintah. Setiap negara perlu adanya tata hukum yang berlaku
untuk mendisiplinkan serta membuat warga negara mematuhinya. Namun dilihat dari segi dibentuknya
tata hukum di suatu negara tidak sepenuhnya dapat dijalankan dan diterima dengan baik, masih harus ada
pertimbangan-pertimbangan dari berbagai kalangan untuk mencapai mufakat agar adil serta pelaksanaan
yang dibuat cukup panjang.

Dalam kehidupan bermasyarakat, ada peraturan berupa norma dan sanksi yang dibuat dengan
kesepakatan bersama. Hukum dibuat dengan tujuan mengatur dan menjaga ketertiban, keadilan sehingga
kekacauan bisa terkendali atau dicegah. Setiap negara memiliki peraturan hukum yang berbeda-beda,
termasuk negara Indonesia. Sesuai dengan pasa 1 ayat 3, Indonesia merupakan negara hukum dan setiap
warga negara Indonesia harus mematuhi aturan hukum yang berlaku di Indonesia.

Hukum di setiap negara merupakan peraturan yang secara adat, resmi dianggap mengikat dan
diresmikan oleh penguasa negara atau pemerintah. Ada banyak sekali hukum di Indonesia, Undang-
Undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, sampai peraturan daerah. Jika ada warga negara
Indonesia yang tidak mematuhi hukum-hukum tersebut, maka akan dikenakan sanksi, bisa berupa penjara
atau membayar denda.

Peraturan adalah ketentuan yang dengan sendirinya memiliki suatu makna normatif; ketentuan
yang menyatakan bahwa sesuatu harus (tidak harus) dilakukan, atau boleh (tidak boleh) dilakukan.
Peraturan merupakan pedoman agar manusia hidup tertib dan teratur.

Hukum adalah undang-undang yang dibuat dan ditegakkan melalui lembaga sosial atau
pemerintah untuk mengatur perilaku masyarakat. Hukum yang ditegakkan oleh negara dapat dibuat oleh
legislatif kelompok atau oleh seorang legislator tunggal, yang menghasilkan undang-undang; oleh
eksekutif melalui keputusan dan peraturan; atau ditetapkan oleh hakim melalui presiden. Penciptaan
hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh konstitusi, tertulis atau diam-diam, dan hak-hak yang dikodekan
di dalamnya. Hukum membentuk politik, ekonomi, sejarah, dan masyarakat dalam berbagai cara dan
berfungsi sebagai mediator hubungan antar manusia.

Tujuan dari adanya hukum yaitu; untuk melindungi kepentingan manusia dari bahaya yang
mengancam, mengatur hubungan antara sesama manusia agar tercipta ketertiban dan diharapkan bisa
mencegah terjadinya konflik di antara manusia, melindungi kepentingan manusia baik secara individu
ataupun kelompok, untuk mewujudkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk semua orang, serta
untuk memelihara dan menjamin ketertiban.

Di Indonesia sendiri terdapat suatu hukum pidana yang dikenal dengan Rancangan Undang-
Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). RUU KUHP ini bertujuan melakukan
penataan ulang bangunan sistem hukum pidana nasional. Tetapi banyak hal kontroversi mengenai
peraturan hukum tersebut. Adanya kontroversi inilah yang menjadi salah satu penyebab masalah
kependudukan yang harus dihadapi di Indonesia. Hal-hal mengenai kontroversi dan dampak yang
disebabkan oleh disahkannya RUU KUHP ini akan dibahas lebih detail di sub bab berikut ini.
A. KEADAAN DI INDONESIA
Sebelum adanya KUHP, Hukum Acara Pidana yang berlaku di Indonesia adalah Het
Herziene Inlandsh Reglement atau H.I.R (Staatsblad Tahun 1941 No. 44). Didalam HIR, proses
pembuktian secara umum lebih ditekankan pada pengakuan tersangka semata, sehingga pencarian
alat bukti lain kurang dilaksanakan. Akibat penekanan pencarian alat bukti atas pengakuan
tersangka, sering terjadi salah tangkap atau tersangka mengaku akibat keterpaksaan atas dasar
tidak tahan menerima siksaan dari Penyidik, hal ini telah melanggar Hak-hak Asasi tersangka.

Belajar dari pengalaman ini, Pemerintah dan MPR menetapkan dalam Ketetapan MPR RI
No. IV/MPR/1978 Bab IV Bidang Hukum sebagai cerminan pelaksanaan GBHN untuk
meningkatkan atau menyempurnakan Produk Hukum dengan cara kodifikasi dan unifikasi
Hukum dibidang-bidang tertentu, sehingga pada tanggal 31 Desember 1981 diberlakukanlah
Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana di Indonesia sebagai Dasar Alat-
alat Negara Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) melaksanakan wewenangnya.

Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, adanya perubahan perundang-undangan di


Negeri Belanda yang dengan asas konkordansi diberlakukan pula di Indonesia pada tanggal 1 Mei
1848. Pada masa itu di Indonesia dikenal beberapa kodifikasi peraturan hukum acara pidana,
seperti reglement op de rechterlijke organisatie (RO. Stb 1847-23 jo Stb 1848-57) yang mengatur
mengenai susunan organisasi kehakiman; Inladsch reglement (IR Stb 1848 Nomor 16) yang
mengatur tentang hukum acara pidana dan perdata di persidangan bagi mereka yang tergolong
penduduk Indonesia dan Timur Asing; reglement op de strafvordering (Stb. 1849 nomor 63) yang
mengatur ketentuan hukum acara pidana bagi golongan penduduk Eropa dan yang dipersamakan;
landgerechtsreglement (Stb 1914 Nomor 317 jo Stb. 1917 Nomor 323) mengatur acara di depan
pengadilan dan mengadili perkara-perkara sumir untuk semua golongan penduduk. Disamping itu
diterapkan pula ordonansi-ordonansi untuk daearah luar Jawa dan Madura yang diatur secara
terpisah.

Dalam perkembangannya ketentuan “Inlandsch Reglement” diperbaharui menjadi “Het


Herzien Inlandsch Reglement” (HIR), yang mendapat persetujuan Volksraad pada tahun 1941.
HIR ini memuat reorganisasi atas penuntutan dan pembaharuan peraturan undang-undang
mengenai pemeriksaan pendahuluan. Dengan hadirnya HIR ini, muncullah Lembaga Penuntut
Umum (Openbare Ministrie) yang tidak lagi dibawah pamongpraja, tetapi langsung berada
dibawah Officer van Justitie dan Procucuer General.

Pada pendudukan Jepang pada umumnya tidak terjadi perubahan yang fundamental
kecuali hapusnya Raad van Justitie sebagai pengadilan unttuk golongan Eropa. Dengan demikian
acara pidanapun tidak berubah. HIR dan reglement voor de Buitengewesten serta
Landgerechtreglment berlaku untuk pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan pengadilan agung.

Setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945, dilakukan berbagai upaya perubahan dengan


mencabut dan menghapus sejumlah peraturan masa sebelumnya, serta melakukan unifikasi hukum
acara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara semua pengadilan negeri
dan pengadilan tinggi. Dalam hal ini, melalui penerapan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Drt
tahun 1951 ditegaskan, untuk hukum acara pidana sipil terhadap penuntut umum semua
pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, masih berpedoman pada HIR dengan perubahan dan
tambahan.

Pada tahun 1981, melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), segala peraturan yang sebelumnya berlaku dinyatakan dicabut. KUHP
yang disebut-sebut sebagai “karya agung” bangsa Indonesia merupakan suatu unifikasi hukum
yang diharapkan dapat memberikan suatu dimensi perlindungan hak asasi manusia dan
keseimbangannya dengan kepentingan umum. Dengan terciptanya KUHP, maka untuk pertama
kalinya di Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap. Dalam arti, seluruh proses
pidana dari awal (mencari kebenaran) penyelidikan sampai pada kasasi dan peninjauan kembali di
Mahkamah Agung.

Pembahasan RKUHP sendiri sudah sangat panjang, dimulai sejak tahun 1958 sampai
dengan saat ini. Media sosial juga memiliki pengaruh terhadap penundaan penyelesaian RKUHP.
RKUHP sendiri merupakan masterpiece dan legacy dalam proses perubahan dari KUHP
peninggalan kolonial menjadi hukum nasional. RKUHP disusun dengan nilai-nilai keindonesiaan
(Indonesian Way) yang merupakan sebuah upaya dekolonialisasi dalam sistem pidana Indonesia.
Selain itu RKUHP juga mengedepankan demokratisasi dimana setiap pembahasan substansinya
yang telah melalui periode 7 Presiden, 15 Menteri, serta 17 profesor dan ahli hukum pidana yang
telah meninggal dunia dalam membahas RUU ini. RKUHP juga menganut modernisasi sehingga
nantinya kejahatan yang ancaman pidananya kurang dari 5 tahun tidak dipenjara namun hanya
dikenakan pidana pengawasan atau kerja sosial untuk pidana di bawah 6 (enam) bulan dalam
rangka mengurangi overcapacity hunian Lembaga Pemasyarakatan. KUHP juga tidak hanya fokus
pada pelaku dan perbuatan yang dilakukan tetapi juga menyesuaikan dengan prinsip yang terdapat
dalam Undang-Undang tentang Pemasyarakatan.

B. Penyebab
Penyebab KUHP menjadi problematik dikalangan masyarakat ini ialah karena adanya
pasal-pasal yang kurang masuk akal dan diperkirakan tidak etis. Contoh-contoh pasal yang
menjadi kontroversi dan hubungannya dengan masalah kependudukan di Indonesia ialah:

1. Pasal RUU KUHP terkait Alat Kontrasepsi

Pasal kontroversial lainnya di RUU KUHP ialah soal pemidanaan promosi kontrasepsi. Pasal 414
mengatur: orang yang mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, menunjukkan untuk bisa
memperoleh alat pencegah kehamilan [kontrasepsi] kepada Anak dipidana denda maksimal Rp1 juta
(kategori I)."

Aliansi menganggap pasal 414 menghambat penyebaran info soal alat kontrasepsi dan
kesehatan reproduksi. Pasal ini pun bertentangan dengan program KB pemerintah. Apalagi, pasal ini
bisa menjerat pengusaha retail yang memajang alat kontrasepsi di toko. Jurnalis yang menulis konten
soal alat kontrasepsi pun bisa terkena pidana. Sekalipun pasal 416 mengecualikan 'pejabat berwenang'
dan aktivitas pendidikan, pidana ini dinilai tidak sesuai era keterbukaan informasi. Disisi lain, di
Indonesia terdapat 6 peraturan tentang penanggulangan HIV/AIDS yang memuat aturan “kampanye
penggunaan kondom” yang isinya mengizinkan penyebaran luas info soal alat kontrasepsi. Jaksa Agung
(tahun 1978) dan BPHN (1995) juga telah mendekriminalisasi perbuatan ini mengingat kondom menjadi
salah satu alat efektif untuk mencegah penyebaran HIV.

2. Pasal RUU KUHP soal Aborsi

Pemidanaan terkait aborsi diatur pasal 251, 415, 469 dan 470. Misalnya, pasal 469 mengatur
hukuman bagi perempuan yang menggugurkan kandungannya, maksimal 4 tahun bui. Orang yang
menggugurkan kandungan perempuan dengan persetujuannya juga bisa dibui maksimal 5 tahun, sesuai
isi pasal 470 RUU KUHP.

Pasal ini dinilai berpotensi mengkriminalisasi korban perkosaan yang hamil dan memutuskan
untuk menggugurkan kandungannya. “Kondisi mental korban perkosaan seharusnya menjadi perhatian
bagi negara untuk memberikan perlindungan hukum seadil-adilnya, bukan malah melakukan
kriminalisasi,” tulis Aliansi Reformasi KUHP dalam siaran persnya, 12 September lalu. Isi pasal-pasal itu
pun tidak sesuai dengan UU Kesehatan pasal 75 ayat 2 yang mengecualikan tindakan aborsi jika dalam
keadaan darurat medis atau mengalami kehamilan sebab perkosaan. Pasal ini juga dinilai mengabaikan
fakta tingginya angka kematian ibu akibat aborsi tidak aman.

3. Pasal RUU KUHP soal Gelandangan

RUU KUHP juga mengatur pemidanaan gelandangan. Pasal 431 mengancam gelandangan
dengan denda maksimal Rp1 juta. Direktur Program ICJR Erasmus Napitupulu mendesak penghapusan
pasal ini sebab ia warisan kolonial yang menilai gelandangan sebagai: Orang tidak berguna akibat
kesalahan dalam hidupnya. Adapun Peneliti hukum Mappi FH UI Andreas Marbun menilai pasal ini
bukan solusi atas masalah gelandangan, sekaligus aneh. "Lagipula gelandangan, kan, miskin, mana
sanggup mereka bayar denda. Kalau enggak mampu, terus gimana?" Kata Andreas.

Dari contoh pasal-pasal Undang-undang RKUHP yang kontroversi tersebut dapat kita simpulkan
bahwa tindakan hukum yang dicantumkan belum tepat untuk menyelesaikan permasalahannya. Serta
masalah kependudukan di Indonesia juga dapat terlaksana dari pengaruh pengesahan UU RKUHP
dengan pasal yang kontroversi ini, karena dianggap tidak berbanding lurus dengan program KB
pemerintah untuk mencegah melonjaknya angka kelahiran (natalitas), membuat rendahnya kesadaran
masyarakat akan aborsi yang dapat membahayakan nyawa individu dan dapat menekan angka
kematian (mortalitas) akibat sewenang-wenang boleh mengaborsi.

Dan yang terakhir terlihat dari adanya hukuman untuk para gelandangan yang dimana kualitas
dan kuantitas hidup mereka belum terealisasikan dengan baik, dikarenakan sulit untuk menghasilkan
uang dan hidup layak. Jika diberlakukannya RUU KUHP tersebut maka akan berdampak ke kehidupan
gelandangan tersebut, bukan malah mendapatkan hal yang lebih dari sebelumnya tetapi harus
menanggung hukuman pidana yang memberatkan mereka.

C. Dampak

Dampak yang disebabkan oleh disahkannya RUU KUHP ini dapat dibagi menjadi dampak positif
dan negatif. Dampak-dampak tersebut yaitu sebagai berikut:
1. Dampak Positif RUU KUHP
 Adanya alternatif-alternatif sanksi. Pidana penjara bisa diganti pidana denda, pidana
denda bisa diganti dengan pengawasan atau kerja sosial.
 Melindungi masyarakat dari kejahatan, serta sebagai penjaga keseimbangan dan keselarasan
hidup di masyarakat.
 Dekolonisasi hukum pidana di Indonesia, konsolidasi dan harmonisasi hukum pidana di
Indonesia.
 RUU tersebut mencoba menyesuaikan KPK dan KUHP dengan tantangan kebutuhan masa
kini.
2. Dampak Negatif RUU KUHP
 Kehadiran RUU tersebut justru tidak menimbulkan kepastian dan penegakan hukum.
 Adanya hukuman yang belum tepat dan tidak menyingkirkan pokok permasalahan.
 Masih kurangnya kesadaran akan aspirasi masyarakat yang memang diperlukan.
 Implementasi kasus masih sedikit dan belum banyak yang berubah.
 Berlakunya hukum yang dianggap memberatkan warga sipil.

D. Solusi
Jika kita lihat lebih dalam, parlemen sebetulnya mengeluarkan RUU KUHP ini sebagai
upaya agar landasan hukum pidana Indonesia lepas dari bayang-bayang kolonial, juga sebagai
usaha menanamkan nilai-nilai nusantara pada tatanan hukum Indonesia. Para wakil rakyat
menganggap UU KUHP perlu direvisi karena UU KUHP merupakan turunan dari hukum Belanda
sudah tidak relevan dengan nilai-nilai nusantara.
Namun, kurangnya sosialisasi dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) menyebabkan RUU
KUHP menjadi kontroversi di tengah masyarakat. Ada baiknya sebagai wakil rakyat, para
anggota DPR lebih banyak mendengar suara rakyat agar terjadi mufakat, sehingga dapat
menjadi jawaban bagi permasalahan-permasalahan yang ada dalam masyarakat.
Sama seperti Kontrak Hukum yang memiliki visi menjadi jawaban bagi berbagai
permasalahan hukum dengan cara menjadi penyedia layanan hukum terlengkap, tercepat, dan
termurah. Misinya, membuka akses masyarakat awam kepada layanan hukum, juga membantu
dan melindungi Usaha Kecil Menengah (UKM) dari sisi hukum.
Upaya penyempurnaan dan perbaikan draf KUHP yang dianggap kontroversial harus
tetap dan terus dilakukan, baik oleh Pemerintah, DPR maupun oleh masyarakat.
Hal tersebut bisa dilakukan melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) atau melalui
diskusi-diskusi dan kajian keilmuan oleh para ahli yang kemudian diteruskan kepada lembaga
Pemerintah dan DPR untuk dijadikan sebagai bahan evaluasi dan revisi draf KUHP.
Menurut saya, solusi yang tepat ialah pemerintah dapat membuat laman atau web untuk
membuka ruang kepada seluruh masyarakat untuk berpartisipasi dalam menyampaikan
masukan dan aspirasi terhadap berbagai pasal di RKUHP maupun untuk berbagai UU lainnya
yang ingin disahkan. Serta adanya keterbukaan antara pemerintah dan masyarakat dalam
sidang pembuatan UU, hal seperti ini dapat disampaikan secara transparan kepada masyarakat
agar mereka dapat melihat prosesnya dan tidak terjadi miss komunikasi.

Anda mungkin juga menyukai