Anda di halaman 1dari 20

Halaman |1

SEJARAH HUKUM PIDANA


DI INDONESIA

Ujian Tengah Semester


Mata Kuliah Sejarah Indonesia
Program Studi Magister Ilmu Hukum

WILDAN MUKHLISIN
NPM : 218040077

PASCASARJANA UNIVERSITAS PASUNDAN


Halaman |2

PENDAHULUAN

Hukum adalah sebuah aturan mendasar yang dibuat oleh penguasa demimewujudkan kehidupan
bermasyarakat yang damai dan teratur. Dalam hukumdikenal istilah perbuatan pidana yang merupakan
suatu istilah yang mengandungsuatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, Perbuatan pidana
(tindak pidana/delik) dapat terjadi kapan saja dan dimana saja.
Berbagai bentuk tindak kejahatan terus berkembang baik modus maupun skalanya, seiring
berkembangnyasuatu masyarakat dan daerah seiring juga perkembangan sektor perekonomiandemikian
pula semakin padatnya populasi penduduk maka perbenturan berbagaikepentingan dan urusan diantara
komunitas tidak dapat dihindari.
Berbagai motiftindak pidana dilatarbelakangi berbagai kepentingan baik individu
maupunkelompok.Hukum Pidana muncul di Indonesia mulai dari masa Pra Sejarah, Hindia
Belanda,Jepang, Kemerdekaan Indonesia dan sampai saat ini
KUHP atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah kitab undang-undang hukum yang berlaku
sebagai dasar hukum di Indonesia. KUHP merupakan bagian hukum politik yang berlaku di Indonesia,
dan terbagi menjadi dua bagian: hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Semua hal yang
berkaitan dengan hukum pidana materiil adalah tentang tindak pidana, pelaku tindak pidana dan pidana
(sanksi). Sedangkan, hukum pidana formil adalah hukum yang mengatur tentang pelaksanaan hukum
pidana materiil.
KUHP atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai perbuatan pidana secara materiil di Indonesia. KUHP yang sekarang
diberlakukan adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda, yakni Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor
732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Setelah kemerdekaan, KUHP tetap diberlakukan
disertai penyelarasan kondisi berupa pencabutan pasal-pasal yang tidak lagi relevan. Hal ini berdasarkan
pada Ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Segala badan negara dan
peraturan yang masih ada langsung diberlakukan selama belum diadakan yang baru menurut Undang-
Undang Dasar ini.” Ketentuan tersebutlah yang kemudian menjadi dasar hukum pemberlakuan semua
peraturan perundang-undangan pada masa kolonial pada masa kemerdekaan.

Untuk menegaskan kembali pemberlakuan hukum pidana pada masa kolonial tersebut, pada tanggal
26 Februari 1946, pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana. Undang-undang inilah yang kemudian dijadikan dasar hukum
perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS),
yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Meskipun demikian, dalam
Pasal XVII UU Nomor 1 Tahun 1946 juga terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa: “Undang-
undang ini mulai berlaku buat pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya dan buat daerah lain
Halaman |3

pada hari yang akan ditetapkan oleh Presiden.” Dengan demikian, pemberlakuan Wetboek van Strafrecht
voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht hanya terbatas pada wilayah jawa dan Madura.
Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di seluruh wilayah Republik Indonesia baru
dilakukan pada tanggal 20 September 1958, dengan diundangkannya UU No. 73 Tahun 1958 tentang
Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan
Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1958 yang berbunyi:
“Undang-Undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan
berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.” Jadi, per tanggal 1 Januari 2013, KUHP tersebut
sudah berlaku selama 95 (sembilan puluh lima) tahun.Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
telah diberlakukan secara nasional tidak berarti bahwa upaya untuk membuat sistem hukum pidana yang
baru terhenti. Upaya melakukan pembaruan hukum pidana terus berjalan semenjak tahun 1958 dengan
berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional sebagai upaya untuk membentuk KUHP Nasional
yang baru.

Seminar Hukum Nasional I yang diadakan pada tahun 1963 telah menghasilkan berbagai resolusi
yang antara lain adanya desakan untuk menyelesaikan KUHP Nasional dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya. Sebenarnya sudah beberapa kali ada usaha perbaikan KUHP dengan pembuatan Rancangan
KUHP. Rancangan tersebut antara lain:

1. Konsep Rancangan Buku I KUHP tahun 1968.


2. Konsep Rancangan Buku I KUHP tahun 1971.
3. Konsep Tim Harris, Basaroeddin, dan Situmorang tahun 1981.
4. Konsep RKUHP tahun 1981/1982 yan diketuai oleh Prof. Soedarto.
5. Konsep RKUHP tahun 1982/1983.
6. Konsep RKUHP tahun 1982/1983 yang mengalami perbaikan.
7. Konsep RKUHP tahun 1982/1983 yang merupakan hasil penyempurnaan tim sampai 27 April
1987 dan disempurnakan lagi sampai pada November 1987.
8. Konsep RKUHP tahun 1991/1992 yan diketuai oleh Prof. Marjono Reksodiputro

A. ZAMAN MASA PRASEJARAH

Pada masa kerajaan Nusantara banyak kerajaan yang sudah mempunyai perangkat aturan hukum.
Aturan tersebut tertuang dalam keputusan para raja ataupun dengan kitab hukum yang dibuat oleh para
ahli hukum. Tidak dipungkiri lagi bahwa adagium ubi societas ibi iussangatlah tepat. Karena di
Halaman |4

manapun manusia hidup, selama terdapat komunitas dan kelompok maka akan ada hukum. Hukum
pidana yang berlaku dahulu kala berbeda dengan hukum pidana modern. Hukum pada zaman dahulu
kala belum memegang teguh prinsip kodifikasi. Aturan hukum lahir melalui proses interaksi dalam
masyarakat tanpa ada campur tangan kerajaan. Hukum pidana adat berkembang sangat pesat dalam
masyarakat.
Hukum pidana yang berlaku saat itu belum mengenal unifikasi. Di setiap daerah berlaku aturan hukum
pidana yang berbeda-beda. Kerajaan besar macam Sriwijaya sampai dengan kerajaan Demak pun
menerapkan aturan hukum pidana. Kitab peraturan seperti Undang-undang raja niscaya, undang-
undang mataram, jaya lengkara, kutara Manawa, dan kitab Adilullah berlaku dalam masyarakat pada
masa itu. Hukum pidana adat juga menjadi perangkat aturan pidana yang dipatuhi dan ditaati oleh
masyarakat nusantara. (Aruan Sakidjo & Bambang Poernomo, Hukum Pidana, hal 8)
Hukum pidana pada periode ini banyak dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan masyarakat. Agama
mempunyai peranan dalam pembentukan hukum pidana di masa itu. Pidana potong tangan yang
merupakan penyerapan dari konsep pidana Islam serta konsep pembuktian yang harus lebih dari tiga
orang menjadi bukti bahwa ajaran agam Islam mempengaruhi praktik hukum pidana tradisional pada
masa itu.
Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara hukum pidana dengan hukum
perdata (privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang bersifat privat dan hukum pidana
yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di Indonesia.

Hukum dalam arti ilmu pengetahuan yang disebut ilmu hukum. Ilmu hukum berasal dari Bangsa
Romawi, karena bangsa ini telah dianggap mempunyai hukum yang paling baik dan sempurna bila
dibandingkan dengan hukum yang ada dan berkembang di negara-negara lain. Konsekuensinya
perkembangan dan penyempurnaan hukum di negara-negara lain selalu dipengaruhi oleh Hukum
Romawi.
Bahwa, ilmu hukum adalah pengetahuan mengenai masalah yang bersifat manusiawi, pengetahuan
tentang yang benar dan tidak benar menurut harkat kemanusiaan. Ilmu yang formal tentang hukum
positif sintesa ilmiah tentang asas- asas yang pokok dari hukum. Ilmu hukum adalah nama yang
diberikan untuk mempelajari hukum suatu penyelidikan yang bersifat abstrak, umum dan teorotis, yang
berusaha mengungkapkan asas–asas yang pokok dari hukum.
Awal mula timbulnya ilmu hukum berawal dari tradisi peradaban barat. Peradaban barat bersumber
kepada peradaban Yunani dimana negara dipandang lebih penting dari semua organisasi yang dibuat
oleh manusia.
Dalam peradaban Barat hukum dipandang sebagai prinsipsentral kehidupan. Peristiwa itu terjadi tidak
lama setelah tahun 1200 SM yaitu bermula sejak Dorian yang datang dari utara menduduki pusat
kekuasaan Mysia (sebuah daerah di Asia kecil). Mereka tidak membawa pola pemerintahan mereka,
Halaman |5

sehingga mereka mendirikan negara-negarakota yang dalam bahasa Yunani disebut Polis (dari kata
polis inilah timbul kata policy, politics dan police yang semuanya berkaitan dengan polis atau negara).
Penemuan hukum lahir dari proses pergulatan dua paham besar yang saling tarik-menarik antara
kepentingan kepastian hukum menurut undang-undang dan keadilan sesuai denyut nadi kehidupan
masyarakat.

Di Indonesia, penemuan hukum memiliki kecenderungan pola seperti negara-negara yang menganut
sistem hukum Eropa Kontinental.
Namun dalam perkembangan sejarah penemuan hukum, posisi hakim bukan lagi heteronom dalam
pengertian tidak menjalankan peran secara mandiri. Hakim dapat melakukan penemuan hukum
(penemuan hukum oleh Hakim “Rechtvinding“,-pen.) secara otonom dengan memberi bentuk pada isi
undang-undang sesuai kebutuhan hukum.
Sejarah ilmu hukum adalah sejarah ilmu untuk mengungkapkan fakta-fakta hukum tentang masa lampau
dalam kaitannya dengan masa kini. Hal di atas merupakan suatu proses, suatu kesatuan, dan satu
kenyataan yang dihadapi, yang terpenting bagi ahli sejarah data dan bukti tersebut adalah harus tepat,
cenderung mengikuti pentahapan yang sistematis, logika, jujur, kesadaran pada diri sendiri dan imajinasi
yang kuat.

Sejarah hukum dapat memberikan pandangan yang luas bagi kalangan hukum, karena hukum tidak
mungkin berdiri sendiri, senantiasa dipengaruhi oleh berbagai aspek kehidupan lain dan juga
mempengaruhinya. Hukum masa kini merupakan hasil perkembangan dari hukum masa lampau, dan
hukum masa kini merupakan dasar bagi hukum masa mendatang. Sejarah hukumakan dapat melengkapi
pengetahuan kalangan hukum mengenai hal-hal tersebut.
Hukum dalam arti ilmu pengetahuan yang disebut ilmu hukum.
Ilmu hukum berasal dari Bangsa Romawi, karena bangsa ini telah dianggap mempunyai hukum yang
paling baik dan sempurna bila dibandingkan dengan hukum yang ada dan berkembang di negara-negara
lain. Konsekuensinya perkembangan dan penyempurnaan hukum di negara-negara lain selalu
dipengaruhi oleh Hukum Romawi.
Bahwa, ilmu hukum adalah pengetahuan mengenai masalah yang bersifat manusiawi, pengetahuan
tentang yang benar dan tidak benar menurut harkat kemanusiaan. Ilmu yang formal tentang hukum
positif sintesa ilmiah tentang asas- asas yang pokok dari hukum. Ilmu hukum adalah nama yang
diberikan untuk mempelajari hukum suatu penyelidikan yang bersifat abstrak, umum dan teorotis, yang
berusaha mengungkapkan asas–asas yang pokok dari hukum.
Awal mula timbulnya ilmu hukum berawal dari tradisi peradaban barat. Peradaban barat bersumber
kepada peradaban Yunani dimana negara dipandang lebih penting dari semua organisasi yang dibuat
oleh manusia. Dalam peradaban Barat hukum dipandang sebagai prinsipsentral kehidupan. Peristiwa itu
Halaman |6

terjadi tidak lama setelah tahun 1200 SM yaitu bermula sejak Dorian yang datang dari utara menduduki
pusat kekuasaan Mysia (sebuah daerah di Asia kecil). Mereka tidak membawa pola pemerintahan
mereka, sehingga mereka mendirikan negara-negarakota yang dalam bahasa Yunani disebut Polis (dari
kata polis inilah timbul kata policy, politics dan police yang semuanya berkaitan dengan polis atau
negara).
Penemuan hukum lahir dari proses pergulatan dua paham besar yang saling tarik-menarik antara
kepentingan kepastian hukum menurut undang-undang dan keadilan sesuai denyut nadi kehidupan
masyarakat.

Di Indonesia, penemuan hukum memiliki kecenderungan pola seperti negara-negara yang menganut
sistem hukum Eropa Kontinental. Namun dalam perkembangan sejarah penemuan hukum, posisi hakim
bukan lagi heteronom dalam pengertian tidak menjalankan peran secara mandiri. Hakim dapat
melakukan penemuan hukum (penemuan hukum oleh Hakim “Rechtvinding“,-pen.) secara otonom
dengan memberi bentuk pada isi undang-undang sesuai kebutuhan hukum.
Sejarah ilmu hukum adalah sejarah ilmu untuk mengungkapkan fakta-fakta hukum tentang masa lampau
dalam kaitannya dengan masa kini. Hal di atas merupakan suatu proses, suatu kesatuan, dan satu
kenyataan yang dihadapi, yang terpenting bagi ahli sejarah data dan bukti tersebut adalah harus tepat,
cenderung mengikuti pentahapan yang sistematis, logika, jujur, kesadaran pada diri sendiri dan imajinasi
yang kuat.

Sejarah hukum dapat memberikan pandangan yang luas bagi kalangan hukum, karena hukum tidak
mungkin berdiri sendiri, senantiasa dipengaruhi oleh berbagai aspek kehidupan lain dan juga
mempengaruhinya.
Hukum masa kini merupakan hasil perkembangan dari hukum masa lampau, dan hukum masa kini
merupakan dasar bagi hukum masa mendatang. Sejarah hukumakan dapat melengkapi pengetahuan
kalangan hukum mengenai hal-hal tersebut.
Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat ditentukan oleh aturan-
aturan yang diwariskan secara turun-temurun dan bercampur menjadi satu.
Di beberapa wilayah tertentu, hukum adat sangat kental dengan agama yang dijadikan agama resmi
atau secara mayoritas dianut oleh masyarakatnya. Sebagai contoh, hukum pidana adat Aceh,
Palembang, dan Ujung Pandang yang sangat kental dengan nilai-nilai hukum Islamnya. Begitu juga
hukum pidana adat Bali yang sangat terpengaruh oleh ajaran - ajaran Hindu.
Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh mayoritas
penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana adat tidak berwujud
dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga secara turun-
temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang
Halaman |7

bersangkutan.
Namun, di beberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam
bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayak umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab
Kuntara Raja Niti yang berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat
Sumatera Selatan, dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali.

B. ZAMAN VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie)


Pada masa ini selain hukum-hukum adat pidana yang berlaku bagi kaum pribumi di Indonesia, penguasa
VOC mulai memberlakukan plakat-plakat yang berisi hukum pidana. Tahun 1642, Joan Maetsuycker
mantan Hof van Justitie di Batavia yang mendapat tugas dari Gubernur Jenderal van Diemen
merampungkan suatu himpunan plakat-plakat yang dinamakan Statuten van Batavia, kemudian pada
tahun 1650 himpunan ini disahkan oleh Heeren Zeventien. Menurut Utrecht, hukum yang berlaku di
daerah yang dikuasai oleh VOC, ialah :

1. Hukum statuta yang termuat di dalam Statuten van Batavia


2. Hukum Belanda Kuno
3. Asas-asas Hukum Romawi
Hubungan hukum Belanda kuno ialah sebagai pelengkap jika statuta tidak dapat menyelesaikan masalah,
hukum Belanda kuno diaplikasikan. Sedangkan hukum Romawi berlaku untuk mengatur kedudukan
hukum budak (Slaven Recht)

Statuta Betawi itu berlaku bagi daerah Betawi dan sekitarnya, Tetapi ini merupakan teori saja karena
pada prakteknya orang pribumi tetap tinduk pada hukum adat. Di daerah lainnya pun tetap berlaku
hukum adat pidana. Campur tangan VOC hanya dalam masalah pidana yang berkaitan dengan
kepentingan dagangnya. Di daerah Cirebon berlaku Papakem Cirebon yang mendapat pengaruh VOC.

Pada tahun1848 dibentuk lagi intermaire strafbepalingen, barulah pada tahun 1866 muncul kodifikasi
yang sistematis. Mulai tanggal 10 Februari 1866 berlakulah dua KUHP di Indonesia :

1. Het Wetbook van Starftrecht voor Europeanen (Stbl. 1866 No. 55) yang berlaku bagi golongan
Eropa mulai 1 Januari 1867. Kemudian dengan Ordonansi tanggal 6 Mei 1872 berlaku KUHP
untuk golongan Bumiputera dan Timur Asing.
2. Het Wetbook van Starftrecht voor Inlands en daarmede gelijkgestelde (Stbl. 1872 No. 85) mulai
berlaku 1 Januari 1873.
Kitab undang-undang 1809 memuat ciri modern di dalamnya menurut Vos, yaitu :
1. Pemberian kebebasan yang besar kepada hakim di dalam pemberian pidana;
Halaman |8

2. Ketentuan-ketentuan khusus untuk penjahat remaja;


3. Penghapusan perampasan umum.
Tetapi kodifikasi ini umumnya singkat, karena masuknya Perancis dengan Code Penalnya
Negeri Belanda pada tahun 1811.
Sistem pidana di dalam Code Penal lain sekali jika dibanding dengan kodefikasi 1809. Diperkanalkan
lagi perampasan umum. Dengan Gouf, Besluit 11 Desember 1813 diadakan beberapa perubahan
misalnya tentang perampsan umum, tapi diperkenalkan lagi geseling, dan pelaksanaan pidana mati
dengan cara Prancis guillotine dig anti dengan penggantungan menurut sistem Belanda kuno.
Belanda terus berusaha mengadakan perubahan-perubahan, juga mengusahakan KUHP nasional,
tetapi tidak berhasil, kecuali perubahan-perubahan sebagian-sebagian. Pidana sistem sel yang brlaku
dengan undang-undang 28 Juni 1851 Stbl 68 diperluas dengan undang-undang 29 Juni 1854 Stbl 102,
pidana badan dihapus, jumlah pidana mati dikurangi, sejumlah kejahatan dijadikan kejahatan ringan
( wanbedrijf ), pidana terhadap percobaan diperingan dibanding dengan delik selesai. Kemudian, 17
September 1870 Stbl 162 pidana mati dihapus.
Dengan KB tanggal 28 September 1870 dibentuklah Panitia Negara yang menyelesaikan rancangan
pada tahun 1875.
Pada tahun 1879 Menetri Smidt mengirim rancangan tersebut ke Tweede Kamer. Diperdebatkan
didalam Staten Generaal dengan Menteri Modderman yang sebelumnya adalah anggota Panitia Negara
itu. Dan pada tanggal 3 Maret 1881 lahirlah KUHP Belanda yang baru,yang mulai berlaku pada tanggal
1 September 1886.
Jarak antara disahkan dan berlakunya KUHP Belanda selama 5 tahun karena dengan sistem pidana sel
perlu dibangun sel-sel dan gedung-gedung baru, di samping perlu diciptakan undang-undang baru
seperti undang-undang kepenjaraan dan lain-lain.
Setelah berlakunya KUHP baru di Negeri Belanda pada tahun 1886 dipikirkanlah oleh Pemerintah
Belanda, bahwa KUHP di Hindia Belanda yaitu 1866 dan 1872 yang banyak persamaannya dengan
Code Penal Prancis, perlu diganti dan di sesuaikan dengan KUHP baru Belanda tersebut.
Berdasarkan asas konkordansi ( concordantie ) menurut pasal 75 Regerings Reglement, dan 131
Indische Staatsregeling, maka KUHP di Negeri Belanda harus di berlakukan pula didaerah jajahan
seperti di Hindia Belanda dengan penyesuaian pada situasi dan kondisi setempat.
Semula direncanakan tetap adanya dua KUHP, masing-masing untuk golongan Eropa dan golongan
Bumiputera yang baru. Dengan Koninklijk Besluit tanggal 12 April 1898 dibentuklah Rancangan
KUHP untuk golongan Eropa.
Setelah selesai kedua rancangan tersebut, menteri jajahan Belanda Mr Idenburg berpendapat bahwa
sebaiknya ada 1 KUHP di Hindia – Belanda, jadi berupa unifikasi. Sesuai dengan ide Menteri Edinburg
tersebut maka dibentuklah komisi yang menyelesaikan tugasnya pada tahun 1913.
Dengan K.B tanggal 15 Oktober 1915 dan diundangkan pada September 1915 Nomor 732 lahirlah
Halaman |9

Wesboek van strafrecht voor Nederlandsch Indie yang baru untuk seluruh golongan penduduk. Dengan
Invoeringsverordening berlakulah pada tanggal 1 Januari WvSI tersebut.
Peralihan dari masa dualisme, yaitu 2 macam WvS untuk 2 golongan penduduk menurrut Jonkers lebih
brsifat formel daripada materiel. Ide unifikasi bukan hal yang baru.
Statuta Betawi 1642 dan ketentuan pidana interimair 1848 berlaku untuk semua golongan penduduk.
Sebenarnya kedua WvS 1866 dan 1872 tersebut juga hampir sama, yang kedua merupakan salinan dari
yang pertama kecuali sistem pidananya. Tetapi perbedaan antara kedua golongan penduduk, yaitu
golongan Eropa dan Bumiputera – Timur Asing mewarnai juga perumusan-perumusan delik di dalam
WvS tersebut, misalnya pasal 284 (mukah = overspel) bagi laki-laki hanya belaku bagi golongan Eropa
(yang tinduk pada Pasal 27 BW).

C. ZAMAN HINDIA BELANDA


Berdasarkan sejaragh dari tahun 1811 sampai 1814 Indonesia pernah dibawah kepemimpinan Inggris.
Berdasarkan Konvensi London 13 Agustus 1814, maka bekas koloni Belanda dikembalikan kepada
Belanda lagi. Dengan Regerings Reglement 1815 dengan tambahan (Supletoire Instructie 23 September
1815)maka hukum dasar colonial tercipta.

Agar tidak terjadi kesenjangan peraturan, maka dikeluarkan proklamasi 19 Agustus 1816 , Stbl.1816
No. 5 yang mengatakan bahwa untuk sementara waktu semua peraturan bekas pemerintahan Inggris
tetap dipertahankan. Untuk orang pribumi hukum adat pidana masih diakui asalkan tidak bertentangan
dengan undang-undang dari pemerintah.

Kepada bangasa Indonesia ditetapkan pidana berupa kerja paksa di perkebunan yang didasarkan pada
Stbl. 1828 No. 16, mereka dibagi atas dua golongan, yaitu:

1. Yang dipidana kerja rantai

2. Yang dipidana kerja paksa

Yang terdiri atas yang diberi upah dan yang tidak diberi upah[6]. Tetapi dalam prakteknya pidana kerja
paksa dikenakan dengan tiga cara:
1. Kerja paksa dengan dirantai dan pembuangan
2. Kerja paksa dengan dirantai tetapi tidak dibuang
3. Kerja pakasa tanpa rantai tetapi dibuang
KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa tersebut pada dasarnya adalah salinan Code Penal yang
berlaku di Negeri Belanda tetapi berbeda dari sumbernya tersebut, yang berlaku di Indonesia terdiri atas
2 buku, sedangkan Code Penal terdiri atas 4 buku. KUHP yang berlaku bagi golongan bumiputera juga
H a l a m a n | 10

saduran dari KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa, tetapi diberi sanksi yang lebih berat sampai pada
KUHP 1918 pun, pidananya lebih berat daripada KUHP Belanda 1886. Oleh karena itu perlu ditinjau
secara sekilas lintas perkembangan kodifikasi di Negeri Belanda.
Pertama kali ada kodifikasi di bidang hukum pidana terjadi sejak adanya Crimineel Wetbook voor het
koninglijk Holland 1809. Kitab undang-undang 1809 memuat ciri modern di dalamnya, menurut vos,
yakni:

1. Pemberian kebebasan yang besar kepada hakim di dalam pemeberian pidana.


2. Ketentuan-ketentuan khusus untuk penjahat remaja.
3. Penghapuaan perampasan umum.
Akan tetapi kodifikasi ini berumur singkat karena masuknya Code Penal Perancis ke Belandatahun
1811.Belanda terus berusaha untuk mengadakan perubahan juga usaha untuk menciptakan KUHP
nasional, tetapi tidak berhasil, kecuali perubahan sebagian.Dengan KB tanggal 28 September 1870
duibentuklah panitia negara yang menyelesaikan rancangan pada tahun 1875.Pada tahun 1879 Menteri
Smidt mengirim rancangan tersebut ke Tweede Kamer. Diperdebatkan dalam Staten Generaal dengan
Menteri Moddermanyang sebelumnya adalah anggota panitia negara. Pada tanggal 3 maret 1881 lahirlah
KUHP Belanda yang baru dan berlaku mulai tanggal 1 september 1886. Setelah KUHP baru muncul,
barulah KUHP Hindia Belanda, yaitu 1866 dan 1872 yang banyak persamaan dengan Code Penal
Perancis diganti dan disesuaikan dengan KUHP baru,

Berdasarkan asas konkordansi KUHP Belanda harus diberlakukan pula di daerah jajahan seperti Hindia
Belanda. Semula direncanakan tetap ada dua KUHP, masing-masing untuk golongan Eropa dan
Bumiputera. Setelah selesai kedua rancangan tersebut Menteri jajahan Belanda Mr. Idenburg
berpendapat sebaiknya hanya ada satu KUHP di Hindia Belanda. Sesuai usul Mr. Idenburg maka
dibentuklah komisi yang menyelesaikan tugasnya tahun 1913dengan KB tanggal 15 oktober 1915 dan
diundangkan pada September 1915nomor 732 lahirlah Wesboek van straftrecht voor Nederlandsch Indie
untuk seluruh golongan penduduk dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1918. Peralihan dari masa
dualisme, yaitu dua macam WvKuntuk dua golongan penduduk menurut Jonkers lebih bersifat formil
daripada materiel.
H a l a m a n | 11

D. ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG

Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya hukum pidana yang berlaku di
wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai
Nippon) memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu dengan dasar Gun Seirei melalui
Osamu Seirei.
Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3
undang-undang tersebut menyebutkan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan
undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan tidak
bertentangan dengan pemerintahan militer.
Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain,
termasuk hukum pidananya, masih tetap menggunakan hukum pidana Belanda yang didasarkan pada
Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatregeling. Dengan demikian, hukum pidana yang diberlakukan bagi
semua golongan penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-
golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische Staatregeling. Untuk melengkapi hukum pidana
yang telah ada sebelumnya, pemerintahan militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei.
Nomor istimewa 1942, Osamu Seirei N omor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942.
Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang hukum
pidana umum dan hukum pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur
tentang pengadilan di Hindia Belanda. Pada masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana
karena wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan penguasa militer yang tidak
saling membawahi. Wilayah Indonesia timur dibawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang
berkedudukan di Makasar, dan wilayah Indonesia barat di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang
yang berkedudukan di Jakarta. Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat perbedaan peraturan yang berlaku
di masing-masing wilayah.
WvSI tetap berlaku pada zaman pendudukan Jepang, hal ini didasarkan pada undang-undang (Osamu
Serei) No. 1 Tahun 1942 yang mulai berlaku tanggal 7 Maret 1942 sebagai peraturan peralihan Jawa
Madura. Jadi hanya pasal-pasal yang menyangkut pemerintah Belanda, misalnya penyebutan Raja/Ratu
yang tidak berlaku lagi. Peraturan ini juga dikeluarkan di daerah selain Jawa dan Madura.

Dibanding dengan hukum pidana materiel, maka hukum acara pidana lebih banyak berubah, karena
terjadi unifikasi acara dan susunan pengadilan. Ini diatur dalam Osamu Serei No.3 tahun 1942 tanggal
20 September 1942.
H a l a m a n | 12

E. ZAMAN KEMERDEKAAN

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, pemberlakuan


hukum pidana di Indonesia dibagi menjadi 4 (empat) masa sebagaimana sejarah dalam tata hukum
Indonesia yang didasarkan pada berlakunya 4 (empat) konstitusi Indonesia yaitu:

1. Periode atau masa pasca kemerdekaan dengan Konstitusi Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945);
2. Periode atau masa setelah Indonesia menggunakan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS);
3. Periode atau masa Indonesia menggunakan Konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia Tahun 1950 (UUDS 1950); dan
4. Periode atau masa Indonesia kembali kepada Konstitusi Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Bangsa Indonesia mengalami perjalanan sejarah panjang dengan mengalami penjajahan dari bangsa
asing yang sangat lama, hal mana mempengaruhi tatanan hukum yang diberlakukan di Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) khususnya terhadap hukum pidana sebagai hukum publik yang memiliki
peranan penting dalam tatanan hukum bernegara sebagaimana peraturan dalam hukum pidana yang
mengatur tatanan sosial yang damai dan sesuai dengan keinginan masyarakat. Dengan mempelajari
sejarah hukum kita akan mengetahui kapan, dimana dan bagaimana suatu hukum hidup dalam
masyarakat, oleh karena itu sejarah hukum mempunyai pegangan penting untuk mengenal budaya dan
pranata hukum.

Untuk mengisi kekosongan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia setelah bangsa Indonesia
menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, maka dengan berdasarkan ketentuan Pasal
II peraturan peralihan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945), Wetboek van Strafrecht Nederlandsch Indie (WvSNI) tetap diberlakukan. Hal mana untuk
pemberlakuannya menjadi hukum pidana Indonesia ini menggunakan Undang - Undang (UU) Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia. Dalam ketentuan yang
diatur pada Pasal VI Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa
nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) diubah menjadi Wetboek van Strafrecht
(WvS) dan dapat disebut dengan “Kitab Undang-undang Hukum Pidana disingkat KUHP”.

Berdasarkan hal tersebut, pemberlakuan undang-undang ini tidak memberlakukan kembali peraturan-
peraturan pidana yang dikeluarkan sejak tanggal 8 Maret 1942, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah
jepang maupun oleh Panglima Tertinggi Hindia Belanda. Namun pada tahun 1946, muncul dualisme
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sehingga pada tahun 1958 dikeluarkan Undang-Undang
H a l a m a n | 13

Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 yang memberlakukan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Keadaan pada zaman pendudukan Jepang dipertahankan sesudah proklamasi kemedekaan. Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku tanggal 18 Agustus 1945. Untuk memperkuat aturan peralihan
tersebut, maka Presiden mengeluarkan peraturan tanggal 10 Oktober 1945 yang dinamakan Peraturan
No.2. Barulah dengan UU no. 1 Tahun 1946 diadakan perubahan yang mendasar atas WvSI. Ditentukan
dalam UU No.1 Tahun 1946 tersebut bahwa hukum pidana yang berlaku mulai tahun 1946 ialah hukum
pidana yang berlaku tanggal 8 Maret 1942 dengan pelbagai perubahan dan penambahan yang disesuakan
dengan keadaan Negara Republik Indonesia dengan nama Wetbook van Strafrecht voor
NederlandschIndie diubah menjadi Wetbook van Strafrecht yang dapat disebut Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP).

Tentulah harus diingat bahwa teks asli Wetbook van Strafrecht sampai kini masih dalam bahasa Belanda
, kecuali penambahan-penambhan kemudian sesudah tahun 1946 itu yang teksnya sudah tentu dalam
bahasa Indonesia. Jadi apa yang sering dipegang oleh pelaksana hukum adalah terjemahan dalam bahasa
Indonesia, yang corak ragamnya tergantung pada selera penerjemah.

Sebagai sejarah perlu diingat bahwa Belanda pada tahun 1945 sampai 1949 kembali ke Indonesia
menduduki beberapa wilayah. Untuk wilayah yang diduduki Belanda itu de facto tidak diberlakukan UU
no.1 tahun 1946, kecuali untuk wilayah Sumatera yang diduduki Belanda sesudah Agresi Militer 1,
ditetapkan bahwa peraturan lama masih tetap berlaku (Peraturan RI). Untuk daerah yang diduduki
Belanda tersebut diberlakukan Wetbook van Straftrecht voor Nederlandsch Indie yang diubah namanya
menjadi Wetbook van Strafrecht voor Indonesieberdasarkan ordonansi tanggal 21 September 1948 Stbl
1948 No.224 mulai berlaku tanggal 22 September 1948 dan semua kata Nederlandsch Indie di dalam
WvS diganti dengan Indonesie. Kalau pemerintah Republik Indonesia mengubah Wetbook vab
Strafrecht Maka Belanda juga melakukan perubahan-perubahan di dalam Wetbook van Strafrecht voor
Indonesie. Dengan adanya penambahan dan perubahan , maka jumlah pasal dalam WvSI berakhir
dengan pasal 570, sedangkan KUHP hanya 569. Dengan adanya du macam WvS yang berlaku di dua
wilayah yang berbeda ditambah perubahan dan penambahan yang berbeda pula menimbulkan kerancuan
dalam penerapannya. Terlebih dengan perubahan wilayah akibat Agresi Militer I, menambah wilayah
kedudukan Belanda, yang dengan perjanjian Renville 17 januari 1948 disebut daerah terra Neerlandica.
Dengan Berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 untuk seluruh Indonesia berdasarkan UU No. 73 Tahun 1958,
maka hilanglah dualisme berlakunya dua macam hukum pidana di Indonesia.
H a l a m a n | 14

Adapun runtutan sejarah terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia dapat
diilustrasikan sebagai berikut:

1. Pada tahun 1810 Code Penal diberlakukan di negara Prancis dengan selisih waktu 1 (satu) tahun;
2. Pada tahun 1811 Code Penal diberlakukan di negara Belanda dengan selisih waktu 56 (lima
puluh enam) tahun;
3. Pada tahun 1867 Wetboek van Strafrecht voor Europeanen berlaku di wilayah Hindia Belanda
dengan selisih waktu 6 (enam) tahun;
4. Pada tahun 1873 Wetboek van Strafrecht voor Inlander berlaku di wilayah Hindia Belanda
dengan selisih waktu 8 (delapan) tahun;
5. Pada tahun 1881 Wetboek van Strafrecht (WvS) disahkan di negara Belanda dengan selisih waktu
5 (lima) tahun;
6. Pada tahun 1886 Wetboek van Strafrecht (WvS) diberlakukan di negara Belanda dengan selisih
waktu 29 (dua puluh sembilan) tahun;
7. Pada tahun 1915 Wetboek van Strafrecht Nedherlands Indie (WvSNI) disahkan untuk wilayah
Hindia Belanda dengan selisih waktu 3 (tiga) tahun;
8. Pada tahun 1918 Wetboek van Strafrecht Nedherlands Indie (WvSNI) diberlakukan di wilayah
Hindia Belanda dengan selisih waktu 28 (dua puluh delapan) tahun;
9. Pada tahun 1946 Wetboek van Strafrecht Nedherlands Indie (WvSNI) disebut sebagai Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia.

Dengan demikian total selisih waktu terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di
Indonesia yaitu selama 136 (seratus tiga puluh enam) tahun.
Pada Tahun 1986 diadakan Lokakarya Khusus mengenai sanksi pidana di tempat yang sama. Dan
terakhir Lokakarya mengenai delik komputer dan delik terhadap penyelenggaraan peradilan. Perbedaan
yang mencolok antara Rancangan dan KUHP (lama) ialah rancangan hanya terdiri atas dua buku
sedangkan KUHP (lama) yang sama dengan WVS Belanda terdiri atas tiga buku. Dengan sendirinya
perbedaan antara delik kejahatan dan delik pelanggaran di dalam Rancangan telah ditiadakan.

Melalui aksi teror yang dilancarkan oleh NICA Belanda maupunnegara-negara boneka yang berhasil
dibentuknya, Belanda sebenarnya belum selesaiatas aksi kolonialismenya di Indonesia.

Bahkan pada tanggal 22 September 1945,Belanda mengeluarkan kembali aturan pidana yang berjudul
TijdelijkeBiutengewonge Bepalingen van Strafrecht (Ketentuan-ketentuan Sementara yang Luar Biasa
Mengenai Hukum Pidana) dengan Staatblad Nomor 135 Tahun 1945 yangmulai berlaku tanggal 7
Oktober 1945. Ketentuan ini antara lain mengatur tentangdiperberatnya ancaman pidana untuk tindak
pidana yang menyangkut ketatanegaraan,keamanan dan ketertiban, perluasan daerah berlakunya pasal-
H a l a m a n | 15

pasal tertentu dalam KUHP, serta dibekukannya Pasal 1 KUHP agar peraturan ini dapat berlaku
surut. Nampak jelas bahwa maksud ketentuan ini untuk memerangi pejuang kemerdekaan.Dengan
adanya dua peraturan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia oleh dua “penguasa” yang
bermusuhan ini, maka munculah dua hukum pidana yangdiberlakukan bersama-sama di Indonesia. Oleh
para ahli hukum pidana, adanya duahukum pidana ini disebut masa dualisme KUHP.17 b.

Tahun 1949-1950Tahun 1949-1950 negara Indonesia menjadi negara serikat, sebagai konsekuensiatas
syarat pengakuan kemerdekaan dari negara Belanda. Dengan perubahan bentuknegara ini, maka UUD
1945 tidak berlaku lagi dan diganti dengan KonstitusiRepublik Indonesia Serikat. Sebagai aturan
peralihannya, Pasal 192 Konstitusi RIS menyebutkan : Peraturan-peraturan undang-undang dan
ketentuan-ketentuan tata usaha yangsudah ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku
dengan tidak berubahsebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketntuan Republik Indonesia
Serikatsendiri, selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidakdicabut,
ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuanketentuan tatausaha atas kuasa Konstitusi ini.
Dengan adanya ketentuan ini maka praktis hukum pidana yang berlaku pun masihtetap sama dengan
dahulu, yaitu Wetboek van Strafrecht yang berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1946 dapat
disebut sebagai Kitab Undang-undangHukum Pidana. Namun demikian, permasalahan dualisme KUHP
yang munculsetelah Belanda datang kembali ke Indonesia setelah kemerdekaan masih tetap berlangsung
pada masa ini.

Tahun 1950-1959Setelah negara Indonesia menjadi negara yang berbentuk negara serikat selama
7 bulan 16 hari, sebagai trik politik agar Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, maka pada tanggal 17
Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara republik-kesatuan.Dengan perubahan ini, maka
konstitusi yang berlaku pun berubah yakni digantidengan UUD Sementara.Sebagai peraturan peralihan
yang tetap memberlakukan hukum pidana masasebelumnya pada masa UUD Sementara ini, Pasal 142
UUD Sementara menyebutkan: Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha
yangsudah ada pada tanggal 17 Agustus 1050, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-
peraturan dan ketentuanketntuan Republik Indonesia sendiri, selama dansekedar peraturanperaturan
dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah ataudiubah oleh undang-undang dan ketentuan-
ketentuan tata usaha atas kuasa UndangUndang Dasar ini.Dengan adanya ketentuan Pasal 142 UUD
Sementara ini maka hukum pidanayang berlaku pun masih tetap sama dengan masa-masa sebelumnya,
yaitu Wetboekvan Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
Namundemikian, permasalahan dualime KUHP yang muncul pada tahun 1945 sampai akhir masa berl
akunya UUD Sementara ini diselesaikan dengan dikeluarkannya UU Nomor 73Tahun 1958 tentang
Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentangPeraturan Hukum Pidana untuk Seluruh
H a l a m a n | 16

Wilayah Republik Indonesia dan MengubahUndang-undang Hukum Pidana. Dalam penjelasan undang-
undang tersebutdinyatakan:
“Adalah dirasakan sangat ganjil bahwa hingga kini di Indonesia masih berlaku
dua jenis Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yakni Kitab Undang-undang HukumPidana menurut
UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Wetboek Strafrecht voor Indonesia(Staatblad 1915 Nomor 732 seperti
beberapa kali diubah), yang sama sekali tidak beralasan. Dengan adanya undang-undang ini maka
keganjilan itu ditiadakan. DalamPasal 1 ditentukan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 dinyatakan berlaku
untuk seluruhwilayah Republik Indonesia”. Dengan demikian, permasalahan dualisme KUHP yang
diberlakukan di Indonesiadianggap telah selesai dengan ketetapan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946
tentangPeraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.

Tahun 1959-sekarangSetelah keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang salah satunya
berisimengenai berlakunya kembali UUD 1945, maka sejak itu Indonesia menjadi negarakesatuan yang
berbentuk republik dengan UUD 1945 sebagai konstitusinya.
Oleh karena itu, Pasal II Aturan Peralihan yang memberlakukan kembali aturan
lama berlaku kembali, termasuk di sini hukum pidananya. Pemberlakuan hukum pidanaIndonesia
dengan dasar UU Nomor 1 Tahun 1946 pun kemudian berlanjut sampaisekarang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa walaupun Indonesia telahmengalami empat pergantian
mengenai bentuk negara dan konstitusi, ternyata sumberutama hukum pidana tidak mengalami
perubahan, yaitu tetap pada Wetboek vanStrafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) walaupun
pemberlakuannya tetapmendasarkan diri pada ketentuan peralihan pada masing-masing konstitusi.
bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bebas dan berdaulat. Selain itu, proklamasi kemerdekaan dijadi
kan tonggak awal mendobraksistem hukum kolonial menjadi sistem hukum nasional yang sesuai dengan
jiwa dankepribadian bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bebas dalam menentukan nasibnya,mengatur
negaranya, dan menetapkan tata hukumnya. Konstitusi yang menjadi dasardalam penyelenggaraan
negara kemudian ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Konstitusi itu adalah Undang Undang Dasar 1945. Mewujudkan cita-cita bahwa proklamasi adalah awal
pendobrakan sistem tata hukum kolonial menjadi sistem tatahukum nasional bukanlah hal yang mudah
dan secara cepat dapat diwujudkan. Ini berarti bahwa membentuk sistem tata hukum nasional perlu
pembicaraan yang lebihmatang dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada
sekedarmemproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka.
Oleh karena itu, untuk mengisikekosongan hukum (rechts vacuum) karena hukum nasional belum
dapatdiwujudkan, maka UUD 1945 mengamanatkan dalam Pasal II Aturan Peralihan agar segala badan
negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku.
H a l a m a n | 17

selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini. Ketentuan ini
menjelaskan bahwa hukum yang dikehendaki untuk mengatur penyelenggaraan negara adalah peratura
n-peraturan yang telah ada dan berlaku sejak masa Indonesia belum merdeka.
Sambil menunggu adanya tata hukum nasional yang baru, segala peraturan hukumyang telah diterapkan
di Indonesia sebelum kemerdekaan diberlakukan sementara.Hal ini juga berarti funding fathers bangsa
Indonesia mengamanatkan kepadagenerasi penerusnya untuk memperbaharui tata hukum kolonial
menjadi tata hukumnasional.14 Presiden Sukarno selaku presiden pertama kali mengeluarkan
kembaliPeraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tangal 10 Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal,
yaitu: Pasal 1 : Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yangada sampai berdirinya negara
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945,sebelum diadakan yang baru menurut Undang
Undang Dasar, masih tetap berlakuasal saja tidak bertentangan dengan dengan Undang Undang Dasar
tersebut. Pasal 2: Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945. Sekilas ini Penpres ini
hampirsama dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, namun dalam Penpres ini dengantegas
dinyatakan tanggal pembatasan yaitu 17 Agustus 1945. Sebagai dasar
yuridis pemberlakuan hukum pidana warisan kolonial sebagai hukum pidana positif diIndonesia,
keluarlah UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Pasal 1 undang-undang tersebut secara tegas menyatakan :
Dengan menyimpangseperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober
1945 Nomor 2 menetapkan bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang berlakusekarang adalah
peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret1942.
Dengan titik tonggak waktu penyerahan kekuasaan Belanda kepada Jepang atas wilayah Indonesia ini
berarti semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkanoleh pemerintahan militer Jepang dan yang
dikeluarkan oleh panglima tertinggi balatentara Hindia Belanda (NICA) setelah tanggal 8 Maret 1942
dengan sendirinya tidak berlaku.
Pasal 2 undangundang tersebut juga dinyatakan bahwa semua peraturanhukum pidana yang
dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belandadicabut. Pasal 2 ini diperlukan karena
sebelum tanggal 8 Maret 1942 panglimatertinggi bala tentara Hindia Belanda mengeluarkan
Verordeningen van het militergezag.
Secara lengkap bunyi Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1946 adalah sebagai berikut.Semua peraturan hukum
pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentaraHindia Belanda dulu (Verordeningen van het
militer gezag) dicabut.16 Pemberlakuanhukum pidana Indonesia dengan ditetapkannya UU Nomor 1
Tahun 1946 tentangPeraturan Hukum Pidana ternyata belum menjawab persoalan. Kenyataan
inidisebabkan karena perjuangan fisik bangsa Indonesia atas penjahahan Belanda belumselesai.
Secara de jure memang Indonesia telah memproklamirkan diri sebagai bangsayang merdeka, namun
secara de facto penjajahan Belanda atas Indonesia masih saja berkelanjutan.
H a l a m a n | 18

Melalui aksi teror yang dilancarkan oleh NICA Belanda maupunnegara-negara boneka yang berhasil
dibentuknya, Belanda sebenarnya belum selesaiatas aksi kolonialismenya di Indonesia. Bahkan pada
tanggal 22 September 1945,Belanda mengeluarkan kembali aturan pidana yang berjudul
TijdelijkeBiutengewonge Bepalingen van Strafrecht (Ketentuan-ketentuan Sementara yangLuar Biasa
Mengenai Hukum Pidana) dengan Staatblad Nomor 135 Tahun 1945 yangmulai berlaku tanggal 7
Oktober 1945. Ketentuan ini antara lain mengatur tentangdiperberatnya ancaman pidana untuk tindak
pidana yang menyangkut ketatanegaraan,keamanan dan ketertiban, perluasan daerah berlakunya pasal-
pasal tertentu dalamKUHP, serta dibekukannya Pasal 1 KUHP agar peraturan ini dapat berlaku
surut. Nampak jelas bahwa maksud ketentuan ini untuk memerangi pejuang kemerdekaan.Dengan
adanya dua peraturan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia oleh dua
“penguasa” yang bermusuhan ini, maka munculah d
ua hukum pidana yangdiberlakukan bersama-sama di Indonesia. Oleh para ahli hukum pidana, adanya
duahukum pidana ini disebut masa dualisme KUHP.17 b.

Tahun 1949-1950Tahun 1949-1950 negara Indonesia menjadi negara serikat, sebagai konsekuensiatas
syarat pengakuan kemerdekaan dari negara Belanda. Dengan perubahan bentuknegara ini, maka UUD
1945 tidak berlaku lagi dan diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
Setelah negara Indonesia menjadi negara yang berbentuk negara serikat selama 7 bulan 16 hari, sebagai
trik politik agar Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, maka pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia
kembali menjadi negara republik-kesatuan. Dengan perubahan ini, maka konstitusi yang berlaku pun
berubah yakni diganti dengan UUD Sementara.
Sebagai peraturan peralihan yang tetap memberlakukan hukum pidana masa sebelumnya pada masa
UUD Sementara ini, Pasal 142 UUD Sementara menyebutkan:
Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17
Agustus 1050, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuanketntuan
Republik Indonesia sendiri, selama dan sekedar peraturanperaturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak
dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa
Undang Undang Dasar ini.
Dengan adanya ketentuan Pasal 142 UUD Sementara ini maka hukum pidana yang berlaku pun masih
tetap sama dengan masa-masa sebelumnya, yaitu Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang
Hukum Pidana). Namun demikian, permasalahan dualime KUHP yang muncul pada tahun 1945 sampai
akhir masa berlakunya UUD Sementara ini diselesaikan dengan dikeluarkannya UU Nomor 73 Tahun
1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk
Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-undang Hukum Pidana. Dalam penjelasan
undang-undang tersebut dinyatakan:
“Adalah dirasakan sangat ganjil bahwa hingga kini di Indonesia masih berlaku dua jenis Kitab Undang-
H a l a m a n | 19

undang Hukum Pidana, yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana menurut UU Nomor 1 Tahun 1946
dan Wetboek Strafrecht voor Indonesia (Staatblad 1915 Nomor 732 seperti beberapa kali diubah), yang
sama sekali tidak beralasan. Dengan adanya undang-undang ini maka keganjilan itu ditiadakan. Dalam
Pasal 1 ditentukan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik
Indonesia”.
Dengan demikian, permasalahan dualisme KUHP yang diberlakukan di Indonesia dianggap telah selesai
dengan ketetapan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku
untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.

F. RANCANGAN KUHP BARU


Keinginan untuk mengadakan kodifikasi KUHP Nasional yang disusun oleh putera Indonesia sendiri
yang sumbernya digali dari bumi Indonesia dengan memperhatikan perkembnagan dunia modern di
bidang hukum pidana sudah lama dicetuskan. Usaha nyata menuju tercapainya keinginan tersebut antara
lain dapat dikemukakan usaha Basaruddin SH dan Iskandar Situmorang SH yang menyusun Rancangan
Buku I KUHP Tahun 1971 dan Buku II KUHP Tahun 1976.
Kemudian sejak tahun 1979 telah dibentuk Tim Pengkajian Hukum Pidana, yang diberikan tugas
menyusun Rancangan KUHP baru oleh Pemerintah (Menteri Kehakiman dalam hal ini Badan
Pembinaan Hukum Nasional). Pada tahun ini disusunlah materi-materi yang diperlukan. Tahun 1980-
1981 mulailah disusun Rancangan Buku I yang antara lain juga memakai KUHP lamadan Rancangan
Basaruddin dab rekan sebagai bahan perbandingan. Tahun 1981-1982 konsep Rancangan Buku I telah
diselesaikan dalam arti masih kasar. Pada Tahun 1982 diadakanlah Lokakarya di BABINKUMNAS
membahas rancangan tersebut. Sesudah itu, terus-menerus tim berkumpul untuk memperhalus rumusan
Rancangan Buku I tersebut dan menyususn Rancangan Buku II sampai Tahun 1985, dan pada tahun ini
juga diadakan Lokakarya di tempata yang sama guna membahas Buku II. Sebagai aturan peralihannya,
Pasal 192 Konstitusi RISmenyebutkan:Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan
tata usaha yangsudah ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak
berubahsebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketntuan Republik Indonesia Serikatsendiri, selama
dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidakdicabut, ditambah atau diubah oleh
undang-undang dan ketentuanketentuan tatausaha atas kuasa Konstitusi ini.Dengan adanya ketentuan
ini maka praktis hukum pidana yang berlaku pun masihtetap sama dengan dahulu, yaitu Wetboek van
Strafrecht yang berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut sebagai Kitab
Undang-undangHukum Pidana. Namun demikian, permasalahan dualisme KUHP yang munculsetelah
Belanda datang kembali ke Indonesia setelah kemerdekaan masih tetap berlangsung Setelah keluarnya
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang salah satunya berisi mengenai berlakunya kembali UUD 1945,
maka sejak itu Indonesia menjadi negara kesatuan yang berbentuk republik dengan UUD 1945 sebagai
H a l a m a n | 20

konstitusinya. Oleh karena itu, Pasal II Aturan Peralihan yang memberlakukan kembali aturan lama
berlaku kembali, termasuk di sini hukum pidananya. Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan
dasar UU Nomor 1 Tahun 1946 pun kemudian berlanjut sampai sekarang. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa walaupun Indonesia telah mengalami empat pergantian mengenai bentuk negara dan
konstitusi, ternyata sumber utama hukum pidana tidak mengalami perubahan, yaitu tetap pada Wetboek
van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) walaupun pemberlakuannya tetap mendasarkan
diri pada ketentuan peralihan pada masing-masing konstitusi.
Hukum pada zaman dahulu kala belum memegang teguh prinsip kodifikasi. Aturan hukum lahir
melalui proses interaksi dalam masyarakat Hukum pidana adat berkembang sangat pesat dalam
masyarakat.Hukum pidana yang berlaku saat itu belum mengenal unifikasi. Di setiap daerah berlaku
aturan hukum pidana yang berbeda-beda.
Pada zaman Hindia Belanda Dengan Reegerings Reglement 1815 dengan tambahan (Supletoire
Instructie 23 September 1815) maka hukum dasar pemerintah colonial tercipta.Pada Saat ingin
mengubah dari tatanan hukum Inggris ke tatanan hukum Hindia Belanda membuat sebuah peraturan
agar tidak terjadi kesenjangan peraturan, maka dikeluarkan proklamasi 19 Agustus 1816, Stbl. 1816
Nomor 5 yang mengatakan bahwa untuk sementara waktu semua peraturan-peraturan bekas
pemerintah Inggris tetap dipertahankan
Pada zaman Jepang ( Nippon) pada hakekatnya hukum pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak
mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai Nippon)
memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu
Seirei.
Pada zaman kemerdekaan Indonesia sampai sekarang pada zaman ini KUHP terjadi dualisme.periode
perubahan hukum pidana indonesia dibagi menjadi empat yaitu pertama masa pasca kemeredekaan
dengan konstitusi UUD 1945, kedua masa setelah Indonesia menggunakan konstitusi negara serikat
(Konstitusi Republik Indonesia Serikat), ketiga masa Indonesia menggunakan konstitusi sementara
(UUDS 1950), dan keempat masa Indonesia kembali kepada UUD 1945 setelah dikeluarkannya dekrit
presiden pada tahun 1959.

Anda mungkin juga menyukai