Anda di halaman 1dari 4

Negara-negara di dunia secara sosio-historis mempunyai dasar hukum dan

perpolitikan hukum masing-masing yang diberlakukan. Perpolitikan hukum yang


dianut pun beragam. Ada negara yang menyusun secara sistematis
rencana politik hukumnya. Kemudian ada pula yang berkehendak menyusun kembali
secara menyeluruh tatanan hukum yang telah ada, baik karena alasan idiologis atau
karena perubahan sistem politik intenal dan eksternal.

Sebagai contoh, adanya negara jajahan yang berubah menjadi negara merdeka atau
adanya negara kerajaan yang berubah menjadi negara republik. Maka perubahan-
perubahan tersebut, tentu saja pada hakikatnya membuat pembentukan, penerapan dan
penegakan hukum pasca berubahnya bentuk negara akan berbeda dari yang
sebelumnya. Makalah ini membahas hukum islam dan kenyataan sosial Indonesia
dipandang dari sisi politik hukum.

Makna Politik Hukum

Secara tidak langsung, perubahan tatanan perubahan pembentukan, penerapan dan


penegakan hukum pada suatu negara merupakan bukti bahwasanya hubungan tolak
tarik antara politik dan hukum adalah ketika hukumlah yang terpengaruhi oleh politik
yang ada atau mendominasi.Sehingga jika suatu Negara dihadapkan pada politik,
maka hukum secara otomatis berapa pada posisi dan kedudukan yang lebih lemah.[1]
Oleh karena itu hal ini tampaknya selaras dengan kenyataan yang tergambar dari
ungkapan Mochtar Kusumaatmadja, "hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan,
kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman."[2]

Dengan demikian, dari sudut pandang politik hukum diantara keduanya terdapat
keterkaitan yang secara otomatis  menyebabkan suatu hukum menjadi hal yang
menggambarkan kehendak dan keinginan penguasa di sebuah bangsa, atau dengan
kata lain hukum yang telah ada seakan dan seolah sama dengan pengambilan
kebijakan kekuasaan yang sedang mendominasi disana. Hal ini tentu saja bagi
kebanyakan pemerhati hukum seakan menjadi fakta yang sesuai dengan kenyataan
kebanyakan bangsa. Sehingga hal semacam ini sesuai dengan yang diungkapkan
Gumplowics yang dikutip oleh Mahfud MD, "hukum adalah susunan difinisi yang
dibentuk oleh pihak yang kuat, untuk mempertahankan kekuasaannya."[3]

Tinjauan Hukum Islam

Hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh para ushuliyun, dalam konteks
ilmu usul fikih adalah "doktrin Allah yang berhubungan dengan tindakan orang yang
mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan (iqtidha'i), maupun berupa kebebasan untuk
memilih (takhyir) antara melakukan atau tidak melakukan, atau dalam bentuk
penetapan (wadha'i).[1] Berbeda dengan hukum lain yang hanya berasal dari olah
pikir atau interpretasi seseorang berdasarkan tradisi, budaya, atau pengalaman
berfikir, maka Hukum Islam selalu menjadi undang-undang yang suci bersumberkan
wahyu ilahi melalui al-Qur'an dan al-Hadis yang pada akhirnya dikembangkan lebih
lanjut oleh para fuqaha melalui literature fikih. 

Kemudian yang menjadikannya lebih istimewa lagi adalah al-Qur'an yang menjadi
sumber pengambilan hukum merupakan wahyu yang memuat norma dan nilai hukum
yang kaya dan subur, tidak akan pernah mongering dan berselisih faham dengan
fenomena-fenomena yang akan terjadi sepanjang zaman. Hal ini tentu berbeda jika
dibandingkan dengan hukum konvensional manapun yang hanya berkutat pada
persoalan tertentu, yang semakin menampakan keterbatasan ruang lingkupnya dan
hanya mengandalkan budi-daya pikiran manusia sebagai sumber asalnya.[2] Oleh
karena itu perbandingan ini menjadi bukti bahwa Hukum Islam memiliki daya elastis,
keluasan dan solutif bagi para pengamalnya. 

Hukum Islam dalam Kenyataan Sosial 

Hukum Islam di Indonesia sejatinya sudah berlaku dan diberlakukan jauh sejak
belasan yang lalu seiring dengan kehadiran agama Islam itu sendiri. Lebih dalam
penerapannya pun sudah berlangsung selama belasan abad, sejak awal-awal
kehadirannya sejak sekitar 1400 tahun (14 abad) yang lalu. Bahkan penerapannya jauh
diberlakukan sebelum kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun
penerapan tersebut mengalami pasang surut sejalan dengan naik turunnya dan luas
sempitnya bidang Hukum Islam yang berlaku dan diberlakukan dari waktu ke waktu
dari tempat ke tempat di Indonesia. Walau hal ini bisa kita amini bersama, namun
dalam kenyataannya boleh jadi masih teramat banyak masyarakat Indonesia yang
belum mengakui keberlakuan dan pemberlakuannya dalam konteks tata hukum
colonial yang diadopsi oleh Indonesia maupun tata hukum Indonesia itu sendiri.[3]
Pada akhirnya perubahan drastis dialami oleh Hukum Islam mulai awal-awal tahun
1970-an hingga sekarang. Perubahan ini dimulai dengan naik kelasnya Hukum Islam
menjadi Produk Hukum pada peraturan perundang-undangan di Indonesia. Maka hal
ini dibuktikan dengan hadirnya pengundangan UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, kemudian disusul munculnya Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini juga
sebenarnya sudah diperjelas dengan hadirnya terlebih dahulu UU RI No. 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang secara
eksplisit, mengakui eksistensi Peradilan Agama sebagai salah satu badan peradilan
Negara. Dengan pernyataan yang termuat sebagai berikut, "Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan: 

Pengadilan Umum
Pengadilan Agama

Pengadilan Militer

Pengadilan Tata Usaha Negara.[4]

Hal ini terus menunjukan kabar baik perkembangan dan pengenalan pemberlakuan
dan pengundangan Hukum Islam di depan masyarakat Indonesia, ditandai dengan
muncul UU RI No. 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, lalu UU RI
No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Maka sangat jelas, bahwa Hukum
Islam dinegara Indonesia memiliki kedudukan yang kuat. Apalagi jika diikuti
perkembangannya dari sudut pandang sosio-histori. Terlihat jelas dari tataram
konstitusional bahwa Hukum Islam mampu membuktikan dan menegaskan
keberadaannya dengan pemberlakuan hukumnya salah satunya melalui pengundangan
pada tata peraturan perundang-undangan Indonesia. Maka hal yang sangat penting
untuk kemudian dilakukan adalah peningkatan kuantitas maupun kualitas penerapan
pengundangan Hukum Islam tersebut harus semakin diperkuat dan disiarkan secara
meluas dan merata oleh pemerhati ilmu-ilmu syariah secara khusus, maupun
masyarakat muslim Indonesia secara umum.

Kenyataannya di Indonesia, sekalipun ada Peradilan Agama, maka Kesatuan Bangsa


dan Kesatuan Peradilan tetap terjaga, dikarenakan sistem peradilan di Indonesia
memang hanya ada satu seperti yang diatur oleh UU No. 14/1970 tersebut. Jelasnya
adalah sebagaimana kita ketahui sistem pada hakikatnya merupakan  kesatuan dari
komponen terpisah yang membentuk suatu kesatuan bukan?. Sehingga hal ini sudah
terkonfirmasi dengan undang-undang tersebut yaitu, Sistem Peradilan Indonesia
hanya satu dan membentuk kesatuan, dengan komponennya terdiri dari peradilan-
peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer,
dan Peradilan Tata Usaha Negara. Maka singkat kata siapa yang menggugat RUUPA
ataupun Peradilan Agama, dengan kata lain seharusnya juga menggugat peradilan-
peradilan khusus yang lainnya jika terus berdogma bahwa hal tersebut merupakan
sesuatu yang mengancam kesatuan peradilan di Republik ini.

Pandangan-pandang yang bermunculan seputar rencana pengukuhan RUU Peradilan


Agama merupakan sumber analisa masyarakat terhadap warna dan corak dari para
tokoh, baik politikus, ulama maupun akademisi. Semuanya terlihat jelas melalui
media massa elektronik maupun cetak. Masyarakat awwam dan terdidik sejatinya
terbawa suasana dengan menjadikan hal ini perbincangan tambahan dalam rutinitas
mereka. Terlihat jelas dari strategi beberapa media massa cetak yang menjadikan
makalah seputar perbincangan RUU Pearadilan Agama sebagai sampul depan.
Sehingga benar adanya seluruh masyarakat harus mengapresiasi hal ini karena
kehadiran inisiatif pengajuan rancangan undang-undang iniadalah bukti bertambahnya
kesadaran hukum dan kepedulian akan keberlangsungan kekuasaan kehakiman di
Republik ini, bukan malah menjadikannya kambing hitam kemudian seolah menyusun
tali-temali dengan menghubungkan hal ini kepada trauma masa lalu yang beragam.

Sehingga dari sini tercermin bahwa penegakan dan pemberlakuan syariat islam
melalui pengundangan merupakan dorongan dari pemerintah Indonesia sendiri beserta
para pemerhati keislaman yang mengetahui bahwa Hukum Islam patut untuk
diperjuangkan dengan implementasi yang matang di Indonesia. 

Sumber :

[1]Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul Tahqiq al-Haqq
min 'Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h.6.   

[2]Muhammad Amin Suma, Kedudukan dan Peranan Hukum Islam di Negara Hukum
Indonesia, (Jakarta: UIN Jakarta Press, tt.), h.20. Buku merupakan ringkasan Kuliah
Umum yang disampaikan pada seminar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

[3]Muhammad Amin Suma, Kedudukan dan Peranan Hukum Islam di Negara Hukum
Indonesia, h. 40.

[4]UU RI RI No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan


Kehakiman, asal 10 ayat (1).

[1]Daniel, S. Lev, Islamic Courts in Indonesia, (Barkeley: University of California


Press, 1972), h. 2.

[2]Mochtar Kusumaatmaja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan


Nasional, (Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum
Unpad, t.t.), h. 4.

[3]Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada, 2010), h. 21.

Anda mungkin juga menyukai