Anda di halaman 1dari 7

“POLITIK HUKUM PLURALISME HUKUM”

1
I. Pendahuluan
I.1. Latar Belakang
Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan dari bahasa
Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari
dua kata yaitu rech dan politiek.1 Menurut Moh. Mahfud MD menjelaskan bahwa
politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang
akan diberlakukan baik dengan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama,
dalam rangka pencapaian tujuan negara.2 Sedangkan menurut LJ. Van Appeldoorn
dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum menyebutka dengan politik perundang-
undangan.3 Indonesia adalah negara kesatuan dengan karakteristik kebangsaan yang
sangat plural. Terdiri dari berbagai pulau, suku bangsa, agama dan budaya. Pluralisme
hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat Indonesia yang
sangat plural dan beragam. Politik Pluralisme Hukum atau Pluralisme Hukum Negara,
dalam kerangka pembahasan Keebet von Benda-Beckmann, disebut sebagai
pluralisme hukum sebagai konsep politik hukum, menunjuk pada sebuah konstruksi
hukum yang di dalamnya aturan hukum yang dominan memberi ruang, entah secara
implisit atau eksplisit, bagi jenis hukum yang lain, misalnya hukum adat atau hukum
agama. Hukum yang dominan itu adalah hukum negara yang mengesahkan dan
mengakui adanya hukum lain dan memasukkannya dalam sistem hukum negara.4
Pluralisme hukum di Indonesia mulai disadari sejak masa pemerintahan Hindia
Belanda.5 Pluralisme hukum masih mewarnai sistem hukum Indonesia saat ini karena
setelah Indonesia merdeka, keadaan itu ikut terbawa dan berlaku dalam sistem hukum
Indonesia, yaitu melalui ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang
menyatakan bahwa “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Salah
satu maksud diadakannya aturan peralihan ini adalah untuk menjadi dasar terus
berlakunya peraturan perundangan yang sudah ada pada saat undang-undang dasar
tersebut diberlakukan. Dengan demikian kevakuman (kekosongan) hukum yang bisa
menimbulkan ketidakpastian dan kekacauan dalam masyarakat dapat dihindari.
Dengan adanya aturan peralihan tersebut di atas, maka segala peraturan hukum
peninggalan Pemerintah Hindia Belanda dahulu (seperti IS, Burgerlijke Wetboek,
Wetboek van Kopehandel dan sebagainya) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Meskipun di dalam hukum positif Indonesia masih tetap terjadi pluralisme
hukum, yaitu hukum barat, hukum adat dan hukum Islam, tetapi keberadaan hukum-
hukum yang beragam tersebut tidak lagi ditujukan kepada golongan penduduk
tertentu, melainkan ditujukan secara umum kepada warga negara Indonesia. Sehingga
semua warga negara Indonesia bebas untuk memilih hukum perdata mana yang akan
dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan atau hubungan hukumnya. Dengan
kata lain untuk mempergunakan Hukum Adat, Hukum barat ataupun hukum Islam
tidak diperlukan lagi institusi dan tindakan tertentu seperti lembaga penundukan diri
(vrijwillige onderperping) yang mengesankan ketidaksejajaran kedudukan hukum,
melainkan cukup dengan melakukan pilihan hukum (rechtkeuze).
1
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, (1999), Dasar-Dasar Hukum Politik, Jakarta: PT. RajaGrafindo,
h.19.
2
Moh. Mahfud MD, (2009), Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, h.2.
3
LJ. Van Appeldooen, (1981), Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PradnyaParamitha, h.390.
4
Gede Marhaendra Wija Atmaja, dkk, (2017), Pluralisme Konstitusional Dalam Pengakuan Masyarakat
Hukum Adat, Yogyakarta: Andi, h.7.
5
Suhrawati K dan Komis Simanjuntak, (2008), Hukum Waris Islam, Jakarta: Sinar Grafika, h. 8.

2
I.2. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Pluralisme Hukum ?
2. Bagaimana Politik Hukum Pluralisme di Indonesia ?
II. Pembahasan
II.1.1. Pluralisme Hukum
Secara terminology pluralisme berasal dari bahasa Inggris “pluralism”, terdiri
dari dua kata yaitu “plural” (beragam) dan “isme” (paham) yang berarti beragam
pemahaman, atau bermacam-macam paham. Untuk itu kata ini termasuk kata yang
ambigu (bermakna lebih dari satu). Sedangkan hukum diartikan sebagai perangkat
kaidah-kaidah dan asas-asas berdasarkan keadilan yang mengatur kehidupan manusia
dalam masyarakat.
Pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai situasi dimana terdapat
dua atau lebih sistem hukum yang berada dalam suatu kehidupan social.
Diterapkannya lebih dari satu hukum oleh masyarakat Indonesia (hukum Adat,
Agama, dan Barat) inilah yang oleh para ahli hukum disebut sebagai Pluralisme
Hukum.6 Politik Pluralisme Hukum atau Pluralisme Hukum Negara, dalam kerangka
pembahasan Keebet von Benda-Beckmann, disebut sebagai pluralisme hukum
sebagai konsep politik hukum, menunjuk pada sebuah konstruksi hukum yang di
dalamnya aturan hukum yang dominan memberi ruang, entah secara implisit atau
eksplisit, bagi jenis hukum yang lain, misalnya hukum adat atau hukum agama.
Hukum yang dominan itu adalah hukum negara yang mengesahkan dan mengakui
adanya hukum lain dan memasukkannya dalam sistem hukum negara.
Isu maupun kajian seputar pluralisme hukum bukan isu baru ataupun ranah
studi baru di Indonesia. Secara sederhana, pluralisme hukum hadir sebagai kritikan
terhadap sentralisme dan positivisme dalam penerapan hukum kepada rakyat.
Pluralisme hukum menjelaskan relasi berbagai sistem hukum yang bekerja dalam
masyarakat. John Griffiths mengemukakan konsep pluralisme hukum yang lemah
(weak pluralism) dan pluralisme hukum yang kuat (strong pluralism). Pluralisme
hukum disebut sebagai pluralisme hukum yang lemah ketika negara mengakui
kehadiran anasir sistem hukum lain di luar hukum negara, tetapi sistem-sistem
hukum non negara tersebut tunduk keberlakuannya di bawah hukum negara.
Sementara itu, pluralisme hukum yang kuat hadir ketika negara mengakui
keberadaan hukum non negara dan sistem hukum tersebut mempunyai kapasitas
keberlakuan yang sama dengan hukum negara.
II.1.2. Politik Hukum Pluralisme Di Indoensia
Politik hukum Pluralisme di Indonesia dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian,
antara lain:
a. Hukum Adat
Dalam sistem ketatanegaraan, hukum adat sudah tercermin di dalam aturan
perundang-undangan, antara lain adalah pasal 5 dalam Undang-Undang Nomor 5
tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang menyatakan
bahwa "Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia
serta dengan peraturan-peraturan yang tercantun dalam Undang-Undang ini dan
dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bsersandar pada hukum agama.” Dengan adanya

6
Hendra Nurtcahyo, (2010), Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Jakarta: Salemba
Humanika, h. 15.

3
perturan tersebut di harapkan dapat mengurangi terjadinya sengketa serta dapat
memberikan keadilan untuk masyarakat adat.
Setelah amandemen Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945,
dimana keberadaan hukum adat semakin diakui keberadaannya, dimana hal
tersebut terbukti dalam Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan bahwa “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
Undang-Undang.” Berdasarkan dengan penjelasan tersebut, maka hukum adat
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara Indonesia. Selain UUD 1945,
beberapa Undang-Undang sektoral juga memberikan jaminan hak-hak masyarakat
hukum adat, antara lain adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
b. Hukum Islam
Secara umum kedudukan hukum Islam di Indonesia tidak hanya ada dalam
Pasal 20 atau 24 UUD 1945 saja, akan tetapi secara khusus tercantum dalam Pasal
29 ayat (1) UUD 1945. Selain itu pengaturan terhadap hukum Islam terdapat di
beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain adalah Undang-Undng
Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Hukum Perkawinan, Ketetapan MPRS No.
II/MPRS/1960 yang menyatakan bahwa “Penyempurnaan hukum perkawinan dan
hukum waris hendaknya juga memperhatikan fator-faktor agama.” Selanjutnya
pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Hukum Negara tahun 1999 menegaskan
bahwa arah kebijakan hukum nasional secara garis besar bersumber hukum adat,
hukum agama (hukum Islam) dan hukum barat. Rencana Pembangunan Jangka
Panjang nasional (RPJPN) 2005-2025, dijelaskan bahwa pembangunan hukum
nasional harus memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat, dimana
penjelasan tersebut mengandung penertian bahwa pembentukan hukum nasional
harus merujuk pada hukum yang hidup di masyarakat, dalam hal ini adalah
hukum Islam yang dianut oleh mayoritas warga Negara Republik Indonesia.
Dengan melihat posisi hukum Islam dari aspek politik yang demikian kokoh,
maka dalam prakteknya dapat dilihat bahwa peran hukum Islam dalam mengisi
kekosongan hukum positif dan peran hukum Islam memberikan dalam sumber
nilai terhadap pembuatan hukum nasional. Selain itu politik hukum terlihat pula
pada TAP MPRS No. II Tahun 1960, yang menyatakan bahwa penyempurnaan
hukum perkawinan dan hukum waris hendaknya juga memperhatikan faktor-
faktor agama. Sampai dengan tanggal 27 Maret 1968 TAP MPRS No II Tahun
1960 tidak lagi berlaku, tidak satupun muncul undang-undang dalam bidang
hukum perkawinan dan hukum waris walaupun Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional telah menyiapkan RUU Peraturan Pelengkap Pencatat Perkawinan, RUU
Hukum Perkawinan dan RUU Hukum Waris. Sebaliknya dalam bidang
Jurisprudensi, dengan keputuan Mahkamah Agung, sejak tahun 1959 di ciptakan
beberapa keputusan dalam bidang hukum waris nasional menurut sistem bilateral
secara judge made law. Disini terlihat bahwa bidang hukum waris nasional yang
bilateral lebih mendekati hukum Islam dari pada hukum adat. Terhitung sejak

4
tahun 1970-an sampai sekarang arah dinamika hukum Islam dan proses
transformasi hukum Islam telah berjalan sinergis searah dengan dinamika politik
di Indonesia.
c. Hukum Barat
Faktor penyebab terjadinya pluralisme hukum perdata adalah karena
diadakannya penggolongan penduduk pada masa Hindia Belanda, yaitu semasa
Indonesia masih berada dalam penjajahan Belanda. Setidaknya ada 3 (tiga) faktor
yang menjadi penyebab timbulnya pluralisme dalam sistem hukum yang berlaku
di Indonesia tersebut, yaitu politik pemerintahan Hindia Belanda, belum adanya
ketentuan hukum yang berlaku secara nasional dan faktor etnisitas.7
1. Politik Pemerintahan Hindia-Belanda
Pemerintah Hindia-Belanda membagi golongan penduduk di daerah
jajahannya menjadi 3 (tiga) golongan, antara lain adalah (1) golongan Eropa
dan dipersamakan dengannya, (2) golongan Timur Asing yang terdiri dari
Timur Asing golongan Tionghoa dan bukan Tionghoa, seperti Arab, India,
dan lain-lain, dan (3) golongan Bumi Putera, yaitu orang Indonesia asli yang
terdiri atas semua suku bangsa yang ada di wilayah Indonesia.
Berdasarkan Pasal 163 Indischestaats Regeling (IS) dan Pasal 131 IS
yang membedakan berlakunya ketentuan hukum bagi ketiga golongan
tersebut, yaitu:
a) Golongan Eropa di Hindia Belanda berdasarkan Pasal 131 IS ayat (2) sub
a berlaku seluruh hukum Eropa dan berlaku sejak 1 Mei 1848
sebagaimana tertuang dalam Stbl. 1848 dan Stbl. 1917.
b) Golongan Timur Asing terdapat perbedaan: 91) bagi golongan Timur
Asing TiongHoa semenjak tahun 1917 dengan Stbl. 1917- 129 jo. Stbl
1924-557 diperlakukan seluruh Hukum Eropa (BW dan WvK) dengan
pengecualian mengenai tata cara perkawinan dan hal mencegah
perkawinan; dan (2) bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa bagi
golongan Timur Asing bukan Tionghoa, berdasar Stbl. 1855-79 jo. Stbl.
1924-557 diperlakukan sebagian dari Hukum Eropa (hukum harta
kekayaan dan hukum waris dengan tastement) untuk lainnya berlaku
hukum adat masing-masing (menurut yurisprudensi hukum adat tersebut
meliputi hukum keluarga dan hukum waris tanpa surat wasiat).
c) Golongan Bumiputera, berlaku hukum adat yang telah direseptio dari
hukum Islam (vide Pasal 131 IS Ayat (2) sub b juncto Pasal 131 IS ayat
(6).
2. Belum adanya ketentuan hukum yang berlaku secara nasional
Hukum yang berlaku saat ini pada dasarnya merupakan produk
pemerintah Hindia-Belanda yang berlaku berdasarkan atas asas konkordansi,
artinya bahwa hukum yang berlaku di Indonesia sama dengan ketentuan
hukum yang berlaku di negeri Belanda. Oleh karena itu, ketentuan hukum
yang mengatur mengenai ketentuan secara khusus di Indonesia belum ada,
maka yang menjadi dasar hukum adalah undang-undang dan peraturan-
peraturan lain yang bersifat sektoral. Selain itu hukum yang berlaku pun
menjadi beraneka ragam.

3. Faktor Etnisitas
Dari segi etnisitas, suku bangsa yang hidup dan berkembang di wilayah
Indonesia banyak sekali jumlahnya. Masing-masing suku bangsa tersebut
7
Subekti, (2003), Pokok-Pokok Hukum Perdata di Indonesia, Jakarta: PT. Intermasa, hal. 9.

5
memiliki adat istiadat dan hukum adat yang beraneka ragam. Hukum Perdata
hakikatnya merupakan hukum yang mengatur kepentingan antara warga
perseorangan yang satu dengan warga perseorangan lainnya. Kenyataannya
para ahli hukum mendefinisikan hukum perdata sesuai dengan sudut pandang
mana mereka melihat. Van Dunne mengartikan hukum perdata sebagai suatu
aturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat esensial bagi kebebasan
individu, seperti orang dan keluarganya, hak milik, dan perikatan. Definisi ini
mengkaji hukum perdata dari aspek pengaturannya, yaitu kebebasan individu
seperti orang dan keluarganya, hak milik, dan perikatan..
Sistem hukum Perdata di Indonesia sangat beragam, keberanekaragaman
hukum perdata dalam sistem hukum Indonesia antara lain adalah hukum perdata
barat atau Eropa yang bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau
Burgerlijike Wetboek (BW), hukum perdata adat atau hukum perdata tidak tertulis
yang merupakan hukum asli orang Indonesia atau pribumi, dan hukum adat dari
golongan Timur Asing. Keragaman hukum perdata yang masih terjadi sampai
sekarang itu merupakan akibat penggolongan penduduk Indonesia pada masa Hindia
Belanda. Meskipun secara politis Indonesia tidak lagi mengenal pembedaan
golongan penduduk, namun dalam kenyataan dan dalam kehidupan seharihari kita
masih menjumpai istilah-istilah seperti: warga negara Indonesia asli, warga negara
Indonesia keturunan Tionghoa dan sebagainya.
III. Kesimpulan
III.1.Pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai situasi dimana terdapat dua
atau lebih sistem hukum yang berada dalam suatu kehidupan social. Diterapkannya
lebih dari satu hukum oleh masyarakat Indonesia (hukum Adat, Agama, dan Barat)
inilah yang oleh para ahli hukum disebut sebagai Pluralisme Hukum.
III.2.Politik hukum Pluarisme di Indonesia ada 3 (tiga), yaitu hukum adat, hukum Islam,
dan hukum barat. Politik hukum adat dalam sistem ketatanegaraan, hukum adat
sudah tercermin di dalam aturan perundang-undangan, antara lain adalah pasal 5
dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria, maka dengan adanya perturan tersebut di harapkan dapat mengurangi
terjadinya sengketa serta dapat memberikan keadilan untuk masyarakat adat. Politik
hukum Islam dengan melihat posisi hukum Islam dari aspek politik yang demikian
kokoh, maka dalam prakteknya dapat dilihat bahwa peran hukum Islam dalam
mengisi kekosongan hukum positif dan peran hukum Islam memberikan dalam
sumber nilai terhadap pembuatan hukum nasional. Politik hukum barat dari sistem
hukum Perdata di Indonesia sangat beragam antara lain hukum perdata barat atau
Eropa yang bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijike
Wetboek (BW), hukum perdata adat atau hukum perdata tidak tertulis yang
merupakan hukum asli orang Indonesia atau pribumi, dan hukum adat dari golongan
Timur Asing.

DAFTAR PUSTAKA

6
Appeldooen, V, LJ, (1981), Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PradnyaParamitha

Atmaja, G, M, W, (2017), Pluralisme Konstitusional Dalam Pengakuan Masyarakat Hukum


Adat, Yogyakarta: Andi.
K, S & Simanjuntak, K, (2008), Hukum Waris Islam, Jakart: Sinar Grafika.

MD, M, M, (2009), Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Nurtcahyo, H, (2010), Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Jakarta: Salemba
Humanika.
Syaukani, I & Thohari, A, A, (1999), Dasar-Dasar Hukum Politik, Jakarta: PT. RajaGrafindo.

Subekti, (2003), Pokok-Pokok Hukum Perdata di Indonesia, Jakarta: PT. Intermasa.

Anda mungkin juga menyukai