Anda di halaman 1dari 12

MATA KULIAH HUKUM KEPERDATAAN

UJIAN TENGAH SEMESTER HUKUM KEPERDATAAN

Dosen Pengampu
Dr. Lis Julianti, S.H., M.H.
Putu bagus Dananjaya, S.H., M.Kn

Oleh

Putu Bagus Redika Janasuta


NPM. 2304742010158

PROGRAM STUDI HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR
DENPASAR
2024
UJIAN TENGAH SEMESTER HUKUM KEPERDATAAN

A. PENDAHULUAN
Kodrat kehidupan manusia adalah hidup berdampingan, yang berarti setiap manusia tidak
dapat hidup sendiri-sendiri. Setiap individu manusia akan hidup bersamaan dalam suatu
lingkup yang terorganisir dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Hubungan antar kehidupan
manusia tersebut dinyatakan dalam golongan masyarakat. Bahkan dalam beberapa
literature, para ahli membedakan definisi masyarakat itu sendiri tergantung dari sudut mana
kita melihatnya.1
Banyak aturan-aturan hidup bersama di dalam masyarakat, tetapi sedikit sekali yang ada
hubungannya dengan hukum. Karenanya bila dilanggar hanya mengakibatkan timbulnya
hal-hal yang kurang enak bagi orang yang melanggar di dalam masyarakat itu. Aturan-
aturan ini tergolong aturan-aturan kesopanan, kepatutan, kesusilaan dan lain-lain. Lain
halnya dengan suatu aturan hukum yaitu suatu aturan yang sebanyak mungkin bila
dilanggar, pelanggarnya akan diberikan sanksi.2
Pengklasifikasian hukum yang sudah hampir dikatakan klasik. Pengklasifikasian ini
didasarkan atas ada atau tidaknya campur tangan pemerintah dalam hukum.
Pengklasifikasian hukum berdasarkan ada atau tidaknya campur tangan pemerintah Ini,
terdiri dari Hukum Privat dan Hukum Publik. Yang dimaksudkan dengan Hukum Privat
adalah hukum yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap yang
lainnya dalam hubungan keluarga dan masyarakat tanpa adanya campur tangan pemerintah,
Sedangkan Hukum Publik adalah hukum yang mengatur dan menentukan kepentingan
perorangan dan mengatur hubungan pemerintah dengan warganya. Pengklasifikasian
hukum menjadi Hukum Publik dan Hukum Privat tersebut dapat dilihat dalam bagan
berikut.3

1
Elina B, Hukum Perdata Indonesia, Universitas Bandar Lampung Press, Bandar Lampung, 2021, h. 1.
2
Ketut Oka S, Hukum Perdata Mengenai Orang dan Kebendaan Edisi Revisi, Penerbit FH Utama
Jakarta, Jakarta, 2011, h. 14.
3
Elina B, Op Cit, h. 1.
Bagan 1: Klasifikasi Hukum

Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hubungan antara perorangan di dalam
masyarakat, atau mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam
masyarakat. Kadang kala dalam teori hukum perdata disinonimkan dengan hukum sipil dan
hukum privat. Dengan istilah hukum sipil tampaknya kurang begitu tepat karena kata “sipil”
biasanya selalu dilawankan dengan istilah “militer” yang artinya kalau mempergunakan
“hukum sipil” maka tentunya harus ada “hukum militer” (di bidang keperdataan). Ruang
lingkup hukum perdata dapat diartikan secara luas, dan dapat juga diartikan secara sempit.
Dalam artian luas hukum perdata bisa juga meliputi hukum dagang, sedangkan dalam artian
sempit hanya menyangkut hukum perdata saja.4
Hukum Perdata menentukan, bahwa di dalam hubungan, orang harus menundukkan diri
kepada apa saja dan aturan-aturan apa saja yang harus mereka indahkan. Di samping itu
Hukum Perdata memberi wewenang di satu pihak dan dilain pihak membebankan
kewajiban. Dalam hal ini yang dimaksud dengan “hukum” adalah keseluruhan aturan-
aturan, sedangkan “hak” ialah wewenang yang timbul dari aturan-aturan itu.5

4
Zaeni Asyhadie, Hukum Keperdataan (Dalam Perspektif Hukum Nasional, KUH Perdata (BW), Hukum
Islam dan Hukum Adat, Rajawali Pers Grafindo Persada, Jakarta, 2018, h. 6.
5
Ketut Oka S, Op Cit, h. 15.
Para sarjana atau para ahli memberikan batasan tentang Hukum Perdata sebagai berikut: 6
1. Subekti berpendapat bahwa hukum perdata dalam arti luas mencakup semua
hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan
perseorangan.7
2. menurut Sri Soedawi Masjchoen Sofwan, hukum perdata adalah hukum yang
mengatur kepentingan antara warga negara perseorangan yang satu dengan warga
negara perseorangan yang lain.8
3. Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa hukum perdata merupakan hukum
perorangan yang mengatur hak dan kewajiban seseorang dengan orang lain dimana
didalamnya berkaitan dengan hubungan kekeluargaan dan kemasyarakatan.
Pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing pihak. 9
4. Van Dunne mengemukakan pengertian hukum perdata adalah “Suatu peraturan
yang mengatur tentang hal – hal yang sangat esensial bagi kebebasan individu,
seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan, sedangkan hukum publik
memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi”
Merujuk dari pendapat para ahli diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa hukum perdata
merupakan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang atau badan hukum yang
satu dengan orang atau badan hukum yang lain di dalam masyarakat dengan
menitikberatkan kepada kepentingan perorangan baik itu secara pribadi atau badan hukum.
Hukum perdata mengatur dan menentukan pergaulan masyarakat dalam menentukan hak
dan kewajiban antar sesama. Tolak ukur hukum perdata menurut Sudikno Mertokusumo
berbeda dengan hukum publik, hal ini dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut10

6
Sri Mulyani d.k.k, Hukum Benda, FH UNTAG Semarang, Semarang, 2009, h. 3-4.
7
Subekti, Pokok-Pokok Gukum Perdata, PT Intermassa, Jakarta, 2017, h. 11.
8
Elina B, Op Cit, h. 1.
9
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 2017, h. 105.
10
Ibid. h. 108.
Tabel 2. Perbedaan Hukum Publik dan Hukum Privat

Hukum perdata dalam arti luas merupakan bahan hukum sebagaimana tertera dalam Hukum
Perdata (BW), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (WvK) beserta sejumlah Undang-
Undang yang disebut Undang-Undang Tambahan Lainnya. Hukum perdata meliputi semua
hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan
perseorangan.11 Sedangkan Hukum Perdata dalam arti sempit merupakan hukum perdata
sebagaimana terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) dan juga
terkadang dianggap sebagai lawan hukum dagang. Soedawi Masjchoen Sofwan menyatakan
bahwa hukum perdata merupakan dalam arti luas termasuk di dalamnya adalah hukum
dagang. 12
Berdasarkan hal tersebut diatas maka hukum perdata dalam arti luas meliputi semua
peraturan-peraturan hukum perdata baik yang tercantum dalam KUH Perdata (BW) maupun
dalam KUHD dan Undang-Undang Lainnya. Hukum perdata mempunyai hubungan erat
dengan hukum dagang (KUHD). Hal itu tampak jelas dalam ketentuan KUHD Pasal 1 yaitu
mengenai hubungan kedua hukum yang dikenal dengan asal lex specialis derogat legi
generali. 13
B. SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA
Pada masa pemerintahan Napoleon Bonaparte di Perancis, pernah menjajah Belanda, dan
Code Civil Perancis diberlakukan di Belanda. Setelah Belanda merdeka dari Perancis,
Belanda menginginkan pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Bugerlijk
Wetboek) sendiri yang bebas dari pengaruh kekuasaan Perancis.14

11
Subekti, Op Cit, h. 11.
12
Elina B, Op Cit, h. 12.
13
Ibid. h. 12.
14
Ketut Oka S, Op Cit, h. 20.
Keinginan ini direalisasikan dengan membentuk panitia yang diketuai oleh Mr. J. M. Kemper
tahun 1814. Pada tahun 1816 Kamper menyampaikan rencana Code Hukum kepada pemerintah
Belanda yang memuat hukum kebiasaan/Hukum Belanda Kuno yang disebut “Ontwerp
Kemper”. Akan tetapi rencana tersebut mendapat tantangan keras dari anggota parlemen yang
bernama Nicolai. Pada tahun 1824 Mr. J.M. Kemper meninggal dunia, penyusunan kodifikasi
Code Hukum Perdata diserahkan kepada Nicolai. Nicolai menyusun Code Hukum Perdata
Belanda tidak saja berdasarkan hukum kebiasaan atau Hukum Belanda Kuno, tetapi sebagian
besar didasarkan pada Code Civil Perancis, sedangkan Code Civil Perancis meresepsi hukum
Romawi. 15
Berdasarkan atas gabungan dari ketentuan tersebut pada tahun 1838 kodifikasi Hukum Perdata
Belanda tersebut ditetapkan dengan Stb. 1838.16 Karena Belanda pernah menjajah Indonesia
(Hindia Belanda) maka BW Belanda diberlakukan pula di Indonesia. Caranya adalah dibentuk
BW Indonesia yang susunan dan isinya serupa dengan BW Belanda. Jadi, berlakunya BW
Belanda di Indonesia berdasarkan atas asas konkordasi (persamaan), yang disahkan oleh raja
tanggal 16 Mei 1846, yang diundangkan melalui Stb. 23 tahun 1847 dan dinyatakan berlaku
tanggal 1 Mei 1848.
Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, BW Indonesia
tersebut masih tetap berlaku sebelum digantikan oleh undang-undang yang baru berdasarkan
UUD ini. Kemudian BW Indonesia ini disebut Kitab UndangUndang Hukum Perdata Indonesia
yang lazim disingkat KUHPerd sebagai induk Hukum Perdata Indonesia.17 Hukum Perdata
yang dimaksud adalah Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia yaitu Hukum Perdata barat
yang berinduk pada KUH Perdata, yang dalam bahasa aslinya disebut Bugerlijk Wetboek yang
disingkat BW.
C. KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda Hukum Perdata Indonesia pada waktu itu bersifat
pluralistis (pluralisme hukum), yang artinya dalam satu tempat (wilayah) dan waktu yang
sama, berlaku beberapa stelsel hukum yang berbeda-beda. Pluralisme hukum ini bisa terjadi
karena 2 (dua) faktor, yaitu faktor Ethnis dan faktor Yuridis.18

15
Ibid. h. 20.
16
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) Cetakan ke-5, Sinar Grafika, Yogyakarta, 2009,
h. 12.
17
Abdul Kadir, Muhammad, Pengantar Hukum Perdata Indonesia Cetakan IV, Aditya Bakti Bandung,
2010, h. 7.
18
Ketut Oka S, Op Cit, h. 22.
a. Faktor Ethnis : suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai
suku bangsa yang mempunyai corak hukum adat yang berbeda-beda. Misalnya
dalam sistem kewarisan. Masyarakat hukum adat Batak menganut sistem
kewarisan secara Patrilinial. Sistem masyarakat hukum adat Minangkabau,
menganut sistem kewarisan Matrilinial, sedangkan masyarat Jawa menganut
sistem warisan secara bilateral.
b. Faktor Yuridis: dilihat dari segi hukumnya menyebabkan suatu keadaan hukum
perdata di Indonesia bersifat pluralistis. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda
diadakan penggolongan penduduk berdasarkan kententuan Pasal 163 IS
(Indische Staatsregling) dan penggolongan hukum berdasarkan ketentuan Pasal
131 IS (Indische Staatsregling) atau Hukum Dasar Pemerintah Hindia Belanda.
Penggolongan Penduduk diatur dalam Pasal 163 IS (Indische Staatsregling) atau Hukum
Dasar Pemerintah Hindia Belanda.yang terdiri dari 3 (tiga) golongan, yaitu : 19
1. Golongan Eropa, dan yang dipersamakan dengan Eropa. Golongan Eropa adalah
orang Belanda, orang Eropa lainnya yang mempunyai hukum kekeluargaan
seasas dengan Belanda. Sedangkan golongan yang disamakan dengan Eropa
adalah orang Jepang (Asia), yang maksudnya untuk mempermudah hubungan
perdagangan pada saat itu.
2. Golongan Timur Asing, golongan ini dibagi lagi menjadi 2 golongan, yaitu
golongan Timur asing Tionghoa (orang-orang Cina), golongan Timur asing non
Tionghoa (orang Arab, India, Pakistan).
3. Golongan Bumiputra (pribumi), yaitu golongan orangorang Indonesia Asli
(bumiputra).
Pada masa ini yang perlu menjadi perhatian adalah UndangUndang Dasar 1945, Konstitusi
RIS 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 50). Di dalam UUD 1945
Pasal II Aturan Peralihan menyatakan bahwa segala badan Negara dan peraturan yang ada
masih langsung/tetap berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang
Dasar ini. Berdasarkan ketentuan ini Burgerlijk Wetboek (BW) masih tetap berlaku.
Pernyataan tersebut diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tanggal 10
Oktober 1945 (yang lazim disebut maklumat X), yang pada pokoknya menyatakan segala
badan Negara dan peraturan yang berlaku masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan UUD 1945. Ketentuan itulah yang menjadi dasar hukum berlakunya hukum Hindia

19
Elina B, Op Cit, h. 21.
Belanda termasuk BW itu. Dalam Konstitusi RIS 1959 pada Pasal 192 dan Pasal 142 UUDS
1950 juga mengatur hal yang sama. Kini di era reformasi ini, walau 4 (empat) kali diadakan
perubahan UUD 1945 menjadi namanya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun1945 (Pasal 7 UUNo.10 Tahun 2004), ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
tidak diadakan perubahan, sehingga berarti sampai saat buku ini ditulis, BW masih tetap
berlaku sebagai hukum pokok hukum perdata di Indonesia.20
D. PERIHAL ORANG DALAM HUKUM
Para sarjana atau para ahli memberikan sebuah prndapat mengenai orang dalam Hukum
sebagai berikut:
1. Menurut Subekti, Dalam hukum, perkataan orang (persoon) bearti membawa hak
atau subyek di dalam hukum.21
2. menurut Tan Thong Kie, setiap makhluk yang berhak mempunyai hak dan kewajiban
(tiap subyek hukum). 22
3. Abdul Kadir Muhammad, orang mengatakan bahwa subyek hukum adalah
pendukung hak dan kewajiban yang disebut orang.23
Pada masa yang lalu “budak” bukanlah subyek hukum, melainkan objek hukum, karena
tidak memiliki hak, kecuali kewajiban saja. Begitu juga bila seseorang dinyatakan
“kematian perdata”, yaitu suatu hukuman yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat
memiliki sesuatu hak lagi. Hal ini tidak terdapat dalam hukum sekarang, sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 3 KUHPerd : “Tiada suatu hukuman pun mengakibatkan kematian
perdata, atau kehilangan segala hak kewargaan”. Hanyalah mungkin seseorang, sebagai
hukuman, dicabut sementara haknya. Misalnya kekuasaannya sebagai orang tua terhadap
anak-anaknya, kekuasaannya sebagai wali, hak untuk bekerja sebagai TNI, POLRI, dan
lain-lain.24
Kapan seseorang itu memiliki hak? Dengan kata lain kapankah orang itu sebagai “subyek
hukum”? Pertanyaan ini lazim diikuti dengan pertanyaan “kapankah hak itu berakhir dan
kemanakah hak itu beralih”? Para sarjana umumnya menjawab, hak itu mulai dimiliki oleh
seseorang pada saat ia dilahirkan. Hal ini berarti, seseorang berstatus subyek hukum saat ia
dilahirkan. Kepemilikan hak ini berakhir pada saat ia meninggal dunia. Dengan meninggal

20
Ibid. h. 21.
21
Subekti, Op Cit, h. 19.
22
Tan Thong Kie, Diktat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Buku Kesatu) Untuk Para Mahasiswa
Notariat FH UI, Jakarta, 1985, h. 1.
23
Abdul Kadir, Op Cit, h. 23.
24
Subekti, Op Cit, h. 19.
pemiliknya (subyek hukumnya), haknya demi hukum beralih kepada seseorang atau
beberapa orang yang lazim disebut ahli waris. Penjelasan tersebut di atas bersifat umum,
karena dinyatakan hanya setelah seseorang lahir disebut sebagai pembawa hak (subyek
hukum). Dalam keadaan tertentu pernyataan umum itu dapat dikecualikan. Hal ini diatur
dalam Pasal 2 KUHPerd yang menyatakan “Anak yang ada dalam kandungan seorang
perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak
menghendakinya”. Mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tidak pernah ada. 25
E. PERIHAL BADAN HUKUM DALAM HUKUM
Di samping orang yang memiliki hak, badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan juga
dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti seorang
manusia. Badan-badan dan perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai kekayaan tersendiri,
ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dapat
juga menggugat di muka hakim. Badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan itu
disebutnya Badan Hukum atau Rechtspersoon, karenanya juga sebagai subyek hukum,
misalnya PT, CV, Koperasi dan lain - lain.26
Mengenai badan-badan hukum sebagai subyek hukum (rechspersoon), menurut ajaran
badan hukum yang lama mengatakan bahwa suatu badan barulah badan hukum bila
keberadaannya berdasarkan undang-undang dimintakan pengesahannya kepada pemerintah.
Berdasarkan pendapat ini sebagai badan hukum adalah Perseroan Terbatas, Yayasan, dan
Koperasi. Sedangkan menurut ajaran badan hukum yang belakangan (yang banyak dianut),
menyatakan bahwa bila badan itu memiliki harta terpisah dari pemiliknya dan ada yang
bertindak sebagai pengurus untuk dan atas nama badan itu didalam maupun di luar
pengadilan dapat disebut badan hukum. Berdasarkan pendapat ini yang termasuk badan
hukum adalah PT, Yayasam, Koperasi, Firma, CV dan lain-lain.27
F. KECAKAPAN BERTINDAK DALAM HUKUM
Menurut B.W., orang dikatakan masih di bawah umur apabila ia belum mencapai usia 21
tahun, kecuali jikalau ia sudah kawin. Kalau ia sudah kawin ia tidak akan menjadi orang
yang di bawah umur lagi, meskipun perkawinannya itu diputuskan sebelum ia mencapai
usia 21 tahun itu.Selanjutnya menurut B.W. seorang perempuan yang telah kawin pada
umumnya juga tidak diperbolehkan bertindak sendiri dalam hukum, tetapi harus dibantu
oleh suaminya. Ia termasuk golongan orang yang oleh hukum dianggap kurang cakap untuk

25
Ketut Oka S, Op Cit, h. 44.
26
Subekti, Op Cit, h. 21.
27
Ketut Oka S, Op Cit, h. 45.
bertindak sendiri. Selain itu, di dalam B.W. terdapat berbagai pasal yang secara khusus
memperbedakan antara keakapan-kecakapan orang lelaki dan orang perempuan, misalnya:28
1. Seorang perempuan dapat kawin, jika ia sudah berumur 15 tahun dan seorang
lelaki jika ia sudah berumur 18
2. Seorang perempuan tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat 300 hari
setelah perkawinan diputuskan, sedangkan untuk seorang lelaki, tidak terdapat
larangan semacam
3. Seorang lelaki baru diperbolehkan mengakui seorang ananya, jika ia sudah
berusia paling sedikit 19 tahun, sedangkan untuk seorang perempuan tiada suatu
pembatasan umur seperti ini.
G. HUKUM BENDA
Pengertian yang paling luas dari perkataan "benda" ("zaak") ialah segala sesuatu yang dapat
dihaki oleh orang. Di sini benda berarti obyek sebagai lawan dari subyek atau "orang" dalam
hukum. Ada juga perkataan benda itu dipakai dalam arti yang sempit, yaitu sebagai barang
yang dapat terlihat saja. Ada lagi dipakai, jika yang dimaksudkan kekayaan seseorang.29
Jika perkataan benda dipakai dalam arti kekayaan seseorang, maka perkataan itu meliputi
juga barang-barang yang tak dapat terlihat yaitu: hak-hak, misalnya hak piutang atau
penagihan. Sebagaimana seorang dapat menjual atau menggadaikan barang-barang yang
dapat terlihat, ia juga dapt menjual dan menggadaikan hak-haknya. Begitu pula perkataan
"penghasilan" (uruchten") telah mempunyai dua macam pengertian, yaitu selain berarti
penghasilannya sendiri dari sesuatu benda (kuda yang beranak, pohon yang berbuah, modal
yang berbunga), ia dapat berarti juga hak untuk memungut penghasilan itu, misalnya hak
memungut uang sewa atau bunga dari suatu modal. Penghasilan semacam yang belakangan
inilah yang oleh undang-undang dinamakan "burgerlijke vruchten" sebagai lawan dari
"natuurlijke”.30
Undang-undang membagi benda-benda dalam beberapa macam: 31
a. benda yang dapat diganti (contoh: uang) dan yang tak dapat diganti (contoh: seekor
kuda);
b. benda yang dapat diperdagangkan (praktis tsetiap barang dapat diperdagangkan) dan
yang tidak dapat diper-dagangkan atau "di luar perdagangan" (contoh: jalan-jalan
dan lapangan

28
Subekti, Op Cit, h. 21.
29
Abdul Kadir, Op Cit, h. 30.
30
Subekti, Op Cit, h. 61.
31
Elina B, Op Cit, h. 105.
c. benda yang dapat dibagi (contoh: beras) dan yang tidak dapat dibagi (contoh: seekor
kuda);
d. benda yang bergerak (contoh: perabot rumah) dan yang tak bergerak (contoh: tanah).
1. BENDA TAK BERGERAK
Suatu benda dapat tergolong dalam golongan benda yang tak bergerak
("onroerend") pertama karena sifatnya, kedua ka-rena tujuan pemakaiannya dan
ketiga karena memang demikian ditentukan oleh undang-undang. Adapun benda
yang tak bergerak karena sifatnya ialah tanah, termasuk segala sesuatu yang secara
langsung atau tidak langsung, karena perbuatan alam atau perbuatan manusia,
digabungkan secara erat menjadi satu dengan tanah itu. Jadi, misalnya sebidang
perkarangan, beserta segalaapa yang didapatnya di dalam tanah tersebut dan segala
apa yang di bangun disitu secara tetap (rumah) dan yang ditanam di situ (pohon),
terhitung buah-buahan di pohon yang belum diambil. Tak bergerak karena tujuan
pemakaiannya, ialah segala apa yang meskipun tidak secara sungguh-sungguh
digabungkan dengan tanah atau bangunan dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau
bangunan itu untuk waktu yang agak lama, yaitu misalnya mesin-mesin dalam suatu
pabrik. Selanjutnya, ialah tak bergerak karena memang demikian ditentukan oleh
undang-undang, segala hak atau penagihan yang mengenai suatu benda yang tak
bergerak, misalnya ruchtgebruik atas suatu benda yang tak bergerak,
erfdienstbaarheden, hak opstal, hak erfpacht dan hak penagihan untuk pengembalian
atau penyerahan benda yang tak bergerak. 32
2. BENDA BERGERAK
Suatu benda dihitung termasuk golongan benda yang ber-gerak karena sifatnya atau
karena ditentukan oleh undang-undang. Suatu benda yang bergerak karena sifatnya,
ialah benda yang tidak tergabung dengan tanah atau dimaksudkan untuk mengikuti
tanah atau bangunan, jadi misalnya barang perabot rumah (meubilair). Tergolong
benda yang bergerak karena penetapan undang-undang, ialah misalnya
uruchtgebruik dari suatu benda yang bergerak, lufrenten,penagihan mengenar
sejumlah uang atau suatu benda yang bergerak, surat-surat sero dari suatu perseroan
perdagangan, surat-surat obligasi Negara dan sebagainya. Selanjutnya dalam
Auteurswet dan Octrooiwet, ditetapkan bahwa hak atas suatu karangan tulisan

32
Sudikno Mertokusumo, Op Cit, h. 115.
(auteursrecht) dan hak atas suatu pendapatan dalam ilmu pengetahuan
(octrooirecht) adalah benda yang bergerak.33
H. TENTANG HAK – HAK KEBENDAAN
Suatu hak kebendaan (zakelijk recht) ialah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung
atas suatu benda, yang dapat dipertahankan terhadap tiap orang. Ilmu hukum dan
perundang-undangan, telah lama mem-bagi segala hak-hak manusia atas hak-hak
kebendaan dan hak-hak perseorangan, Suatu hak kebendaan, memberikan kekuasaan atas
suatu benda, sedangkan suatu hak perseorangan (persoonlijkrecht) memberikan suatu
tuntutan atau penagihan terhadap seorang. Suatu hak kebendaan dapat dipertahankan
terhadap tiap orang yang melanggar hak itu, sedangkan suatu hak perseorangan hanyalah
dapat dipertahankan terhadap sementara orang tertentu saja atau terhadap sesuatu pihak.
Pembagian hak-hak tersebut berasal dari hukum Rumawi. Orang Rum telah lama membagi
hak penuntutan dalam dua macam, ialah "actiones in rem" atau pe-nuntutan kebendaan dan
"actiones in personam" atau penuntutan perseorangan. Kemudian mereka melihat di
belakang pembagian hak penuntutan itu, suatu pembagian dari segala hak manusia. Dan
pembagian ini, hingga sekarang mash lazim dipakai dalam sistim hukum Barat.34

33
Subekti, Op Cit, h. 62.
34
Ibid. h. 63.

Anda mungkin juga menyukai