Anda di halaman 1dari 25

PERTEMUAN KE-8

BAHASA HUKUM KEPERDATAAN

A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu mengetahui dan mengenal istilah-istilah atau penamaan
dalam Hukum Perdata.
B. URAIAN MATERI

Dalam kurikulum Pendidikan Tinggi Ilmu Hukum di Indonesia pada


awal berdirinya telah ditemui berbagai istilah dan atau penamaan dari “hukum
perdata”, baik itu pada Fakultas Hukum, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum maupun
Akademi Hukumnya.

Istilah dan atau penamaan hukum perdata dimaksud, dikenalkan dengan


berbagai istilah dan atau penamaan hukum perdata di dalam kurikulum
pendidikannya. Demikian juga halnya dengan kalangan sarjana hukum, namun
demikian, dengan adanya  Konsorsium Ilmu Hukum, menurut Z. Ansori
Ahmad "dalam khazanah ilmu hukum di Indonesia, pernah dikenal adanya
istilah dan pembedaan antara Hukum Perdata BW dan Perdata Adat (Z.A.
Ahmad, 1986 : 1).

HUKUM PERDATA DAN KOLONIAL

Pembedaan sebagaimana dimaksudkan, dapat diartikan erat


hubungannya dengan sejarah dan sisa-sisa politik masa lampau dari Penjajahan
Kolonial Belanda, yang sampai saat ini masih tetap berlaku sebagai hukum
positif berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Sementara itu dalam
penamaan istilahnya, konsorsium ilmu hukum, mempergunakan istilah "hukum
perdata" ditujukan untuk "hukum perdata BW" dan hukum adat untuk "hukum
perdata adat".
Kenyataan ini dapat diartikan, bahwa dibidang hukum perdata terjadi
dualisme, di mana untuk golongan Eropa diberlakukan hukum perdata (BW)
sebaliknya untuk golongan bumi putera diberlakukan hukum adat mereka,
sementara itu mengenai hukum perdata BW di maksud, diberlakukanlah di
daerah Hindia Belanda dengan menggunakan asas konkordansi.

ISTILAH HUKUM PERDATA

Kata-kata perdata sebagaimana dimaksudkan pertama kali secara resmi


terdapat dalam perundang-undangan Indonesia ditemui dalam Konstitusi RIS
yakni pada Pasal 15 ayat 2, Pasal 144 ayat 1 dan Pasal 158 ayat 1. Dalam
UUDS RI Tahun 1950 istilah perdata dapat dilihat pada pasal 15 ayat 2, Pasal
101 ayat 1 dan Pasal 106 ayat 3.

Beranjak dari ketentuan –ketentuan tersebut, terutama penggunaan istilah


hukum perdata merupakan alih bahasa dari bahasa Belanda yakni burgerlijk
recht, hal ini secara resmi dapat dilihat dalam Pasal 102 UUDS, demikian juga
dapat dilihat dalam Undang-undang Darurat No. 5 Tahun 1952 Tentang Bank
Industri Negara yang termuat dalam Lembaran Negara RI Tahun 1952 No. 21
pada tanggal 20 Pebruari Tahun 1952 dan diundangkan pada tanggal 28
Pebruari Tahun 1952. Padanan istilah yang sama dengan burgerlijk recht
tersebut adalah civiel recht dan atau privat recht, dalam hal mana  burger
diartikan sebagai warga masyarakat, sedangkan privat diartikan dengan pribadi,
sebaliknya civiel berarti warga masyarakat.

Keadaan tersebut, jika dilihat dalam bahasa Inggrisnya, hukum perdata


dikenal dengan istilah civil law. Kata civil berasal dari bahasa Latin yakni
“civis”yang berarti warga negara. Hal tersebut berarti, bahwa civil law atau
hukum sipil itu merupakan hukum yang mengatur tentang masalah-masalah
yang berkaitan dengan hak-hak warga negara dan atau perseorangan. Beranjak
dari itu, jika dilihat  dari berbagai literatur yang ditulis para sarjana, juga
dijumpai berbagai macam  definisi hukum perdata, terkadang satu sama
lainnya berbeda-beda, namun tidak menunjukan perbedaan yang tidak terlalu 
prinsipil.
Kebanyakan para sarjana menganggap hukum  perdata sebagai hukum
yang mengatur kepentingan perseorangan (pribadi) yang berbeda dengan
"hukum publik" sebagai hukum yang mengatur kepentingan umum
(masyarakat).

Dalam uraian berikut dikemukakan beberapa pandangan dari para ahli


hukum berkaitan dengan pengertian hukum perdata dimaksud, antara lain;
H.F.A. Vollmar memberikan suatu pengertian tentang hukum perdata sebagai
berikut, hukum perdata adalah :

 “Aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh


karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan-kepentingan
perseorangan dalam perbandingan yang tepat  antara kepentingan yang satu
dengan kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat
tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas”
(H.F.A. Vollmar, 1989: 2).

Selanjutnya Sudikno Mertokusumo juga memberikan pengertian dari


hukum perdata, menurut beliau, hukum perdata adalah “hukum antar
perseorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang perseorangan yang satu
terhadap yang lain di dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan
masyarakat” (S. Mertokusumo, 1986: 108). Sementara itu menurut Sri Soedewi
Masjhoen Sofwan," bahwa  hukum perdata adalah hukum yang mengatur
kepentingan antara warga negara perseorangan yang satu dengan warga negara
perseorangan yang lain (Sri Soedewi, 1975: 1). Demikian juga Van Dunne
memberikan pengertian hukum perdata sebagai berikut :

“hukum perdata merupakan suatu aturan yang mengatur tentang hal-hal yang
sangat esensial bagi kebebasan individu seperti orang dan keluarganya, hak
milik dan perikatan. Sedangkan hukum publik memberikan jaminan yang
menimal bagi kehidupan pribadi” (Van Dunne, 1987:1).

Dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli hukum di


atas, maka secara umum dapat dikelompokkan kedalam dua konsep
pemahaman, dikatakan demikian karena pengertian yang dikemukakan lebih
memfokuskan kepada pengaturan ketentuannya seperti apa yang dikemukakan
oleh Sri Soedewi dan Van Dunne. Sebaliknya pemahaman pengertian lainnya
lebih menitik beratkan kepada aspek perlindungan hukum dan ruang lingkup
pembahasannya. Dikatakan demikian, karena perlindungan hukum
sebagaimana dimaksudkan sangat erat berkaitan dengan perlindungan
perseorangan dalam melakukan hubungan hukum dengan perseorangan yang
lainnya. Selanjutnya dalam hal ruang lingkup perhatiannya juga  menitik
beratkan kepada  adanya hubungan kekeluargaan di dalam pergaulan
masyarakat.

Beranjak dari pemahaman pengertian hukum perdata di atas, dapat


dikatakan bahwa pada prinsipnya hukum perdata itu adalah;
Keseluruhan aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur
hubungan kepentingan orang (persoon) yang satu dengan kepentingan orang
(persoon) lainnya yang terjadi karena hubungan kekeluargaan maupun akibat 
pergaulan dalam masyarakat. Sementara itu, orang (persoon) sebagaimana
dimaksudkan adalah dalam pengertian yuridis, artinya disamping manusia
sebagai subjek hukum, termasuk  juga kedalam pengertian orang (persoon)
tersebut adalah badan hukum walaupun hanya terbatas dalam lalu lintas hukum
saja.

HUKUM PERORANGAN

Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi pendukung hak
dan kewajiban. Subjek hukum terdiri atas :

1. Manusia / Perorangan ( Natuurlijk Persoon )

2. Badan Hukum ( Rechtpersoon )

Status manusia sebagai subjek hukum merupakan kodrat / bawaan dari


lahir, sedangkan status badan hukum sebagai subjek hukum ada karena
pemberian oleh hukum.
Manusia dan badan hukum sama-sama manyandang hak dan kewajiban.
Hal-hal yang membatasi kewenangan hukum manusia adalah tempat tinggal,
umur, nama dan perbuatan seseorang.

NAMA, KEWARGANEGARAAN DAN DOMISILI

Kewarganegaraan dapat mempengaruhi kewenangan berhak seseorang,


contoh : dalam pasal 21 (1) UUPA ? hanya WNI yang dapat mempunyai hak
milik.

Domisili / tempat tinggal adalah tempat dimana seseorang melakukan


kegiatannya sehari-hari.

Macam-macam domisili :

A. tempat kediaman sesungguhnya, terbagi atas :

– tempat kediaman bebas (bebas memilih tanpa dipengaruhi pihak manapun).


– tempat kediaman tidak bebas (terikat oleh pihak lain, mis: rumah dinas).

B. tempat kediaman yang dipilih, terbagi atas :

– dipilih atas dasar ketetapan UU (dalam hukum acara, waktu melakukan


eksekusi dari vonis).

– Dipilih secara bebas (misal dalam waktu melakukan pembayaran, dipilih


kantor notaries).

KEWENANGAN BERHAK

Kewenangan berhak manusia ada sejak dia dilahirkan hidup ( jika


dilahirkan meninggal, tidak ada kewenangan berhak ? pasal 2 BW ) sampai ia
meninggal tanpa tergantung pada faktor agama, jenis kelamin, keadaan ekonomi,
serta kedudukan dalam masyarakat. Sedangkan kewenangan berhak badan
hukum diawali sejak berdiri dan diakhiri dengan dibubarkannya badan hukum
tersebut.
Tempat tinggal

Contoh: seseorang yang berdomosili di kota Batam tidak dapat menjadi pemilih
pada Pemilu walikota Tanjungpinang.

Kedudukan / jabatan

Contoh : hakim dan pejabat hukum tidak boleh memiliki barang-barang dalam
perkara yang dilelang atas dasar keputusan pengadilan.

Tingkah Laku / Perbuatan

Contoh : kekuasaan orangtua / wali dapat dicabut oleh pengadilan jika


orangtua/wali tersebut pemabuk, suka aniaya anak, dsb.

Jenis Kelamin dan hal tiada ditempat antara laki-laki dan wanita terdapat
perbedaan hak dan kewajiban. Dikatakan hal tiada ditempat / keadaan tidak
hadir apabila tidak ada kabar atau pemberitahuan untuk waktu yang cukup lama
(5 tahun berturut-turut). Bisa disebabkan meninggal, tidak tahu asal usul, dsb.

KECAKAPAN BERBUAT

Orang yang cakap (wenang melakukan perbuatan hukum ) menurut UU


adalah :
1. orang yang dewasa ( diatas 18 tahun) atau pernah melangsungkan perkawinan

2. tidak dibawah pengampuan, yaitu orang dewasa tapi dalam keadaan dungu,
gila, pemboros, dll.

3. tidak dilarang oleh UU, misal orang yang dinyatakan pailit oleh UU dilarang
untuk melakukan perbuatan hukum.

Pendewasaan meniadakan keadaan belum dewasa kepada seseorang agar


dapat melakukan perbuatan hukum.
Macam pendewasaan

a. penuh (sempurna), anak dibawah umur memperoleh kedudukan sama dengan


orang dewasa dalam semua hal.

b. terbatas, hanya disamakan dalam hal perbuatan hukum, namun tetap berada
dibawah unmur.

PENGAMPUAN

Keadaan dimana seseorang tidak dapat mengendalikan emosinya, karena


sifat-sifat pribadinya sehingga oleh hukum dianggap tidak cakap untuk bertindak
sendiri dalam hukum.

 Curandus orang yang dibawah pengampuan


 Curator orang yang ditunjuk sebagai wakil dari seorang curandus
 Curatele lembaga pengampuan

Pengampuan terjadi karena adanya keputusan hakim yang didasarkan


pada adanya permohonan, yang dapat diajukan oleh :

 Keluarga sedarah
 Keluarga semenda dalam garis menyimpang sampai derajat keempat
 Suami terhadap istri dan sebaliknya
 Diri sendiri
 Kejaksaan

Akibat pengampuan :

 Orang tersebut kedudukannya sama dengan anak dibawah umur


 Perbuatan hukum yang dilakukan dapat dibatalkan ( dapat dimintakan
pembatalannya oleh curator)
 Pengampuan berakhir apabila keputusan hakim tersebut dicabut atau
karena meninggalnya curandus
BADAN HUKUM ( RECHTPERSOON)

Adalah persekutuan orang-orang, dapat melakukan perbuatan hukum


mempunyai harta kekayaan sendiri, mempunyai pengurus, mempunyai hak dan
kewajiban, dapat menggugat dan digugat di pengadilan

Istilah badan hukum tidak ada dalam KUHPerdata, namun dalam Buku
III KUHPerdata, terdapat istilah perkumpulan, yang terbentuk oleh adanya suatu
perjanjian khusus. Perkumpulan itu dapat kita artikan dengan badan hukum.

Pembagian badan hukum menurut jenisnya :

A.     Badan Usaha berbentuk Badan Hukum


Karakteristik suatu badan hukum yaitu terdapat pemisahan kekayaan
pemilik dengan kekayaan badan usaha, sehingga pemilik hanya bertanggung
jawab sebatas harta yang dimilikinya.
Badan Usaha yang berbentuk Badan Hukum terdiri dari :
(1)     Perseroan Terbatas (“PT”)
 Memiliki ketentuan minimal modal dasar, dalam UU 40/2007
minimum modal dasar PT yaitu Rp50.000.000 (lima puluh juta
rupiah). Minimal 25% dari modal dasar telah disetorkan ke dalam
PT;
 Pemegang Saham hanya bertanggung jawab sebatas saham yang
dimilikinya;
 Berdasarkan peraturan perundang-undangan tertentu diwajibkan
agar suatu badan usaha berbentuk PT.
(2)     Yayasan
 Bergerak di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang
tidak mempunyai anggota;
 Kekayaan Yayasan dipisahkan dengan kekayaan pendiri yayasan.
(3)     Koperasi
 beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi
dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi
sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat berdasar atas asas
kekeluargaan.
 Sifat keanggotaan koperasi yaitu sukarela bahwa tidak ada
paksaan untuk menjadi anggota koperasi dan terbuka bahwa tidak
ada pengecualian untuk menjadi anggota koperasi.
B.       Badan Usaha bukan berbentuk Badan Hukum
Lain halnya dengan badan usaha yang bukan berbentuk badan hukum,
pada bentuk badan usaha ini, tidak terdapat pemisahan antara kekayaan badan
usaha dengan kekayaan pemiliknya.
Badan usaha bukan berbentuk badan hukum terdiri dari:
(1)     Persekutuan Perdata
 Suatu perjanjian di mana dua orang atau lebih mengikatkan diri
untuk memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan dengan
maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya;
 Para sekutu bertanggung jawab secara pribadi atas Persekutuan
Perdata.
(2)     Firma

 Suatu Perseroan yang didirikan untuk melakukan suatu usaha di


bawah nama bersama;
 Para anggota memiliki tanggung jawab renteng terhadap Firma.

(3)     Persekutuan Komanditer (“CV”)

 Terdiri dari Pesero Aktif dan Pesero Pasif/komanditer.


 Pesero Aktif bertanggung jawab sampai dengan harta pribadi,
sedangkan pesero pasif hanya bertanggung jawab sebesar modal
yang telah disetorkan ke dalam CV. 

Teori-Teori Badan Hukum

Teori Fictie ( F.C. von Savigny; da Houwing; C.W. Opzoomer) Badan


hukum merupakan orang buatan yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti
manusia.

Teori Harta Kekayaan (A. Brinz; E.J.J. van der Heyden). Hanya manusia
yang bisa menjadi subjek hukum, namun ada kekayaan yang terikat dengan
tujuan tertentu yang dinamakan badan hukum.

Teori Milik Bersama (Planiol; Molengraaff). Hak dan kewajiban badan


hukum adalah hak dan kewajiban para anggota bersama. Badan hukum hanya
suatu konstruksi yuridis saja.

Teori Kenyataan Yuridis (Mejers). Badan hukum merupakan suatu


realiteit, konkrit, riil walaupun tidak bisa diraba. Mejers menekankan agar dalam
mempersamakan badan hukum dengan manusis hanya pada bidang hukum saja.
Teori Organ (Otto van Gierke; Mr. L.C. Polano). Badan hukum bukan
abstrak dan bukan kekayaan yang tidak bersubjek, tetapi merupakan sesuatu
yang riil yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantaraan alat-alat
yang ada (pengurus & anggota) sama seperti manusia lainnya.

HUKUM KELUARGA

1. Keturunan

Seorang anak sah (wettig kind) ialah anak yang dianggap lahir dari
perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Kepastian seorang anak sungguh-
sungguh anak sang ayah tentunya sulit untuk ditentukan secara sederhana. Untuk
mengatasi hal tersebut KUHPerdata menetapkan suatu tenggang kandungan
yang paling lama, yaitu 300 hari dan suatu tenggang kandungan yang paling
pendek, yaitu 180 hari. Seorang anak yang lahir 300 hari setelah perkawinan
orangtuanya dihapuskan, maka anak tersebut adalah anak yang tidak sah. Namun
jika seorang anak dilahirkan sebelum lewat 180 hari setelah perkawinan
orangtuanya, maka ayahnya (suami) berhak menyangkal sahnya anak tersebut,
kecuali jika sudah mengetahui bahwa istrinya mengandung sebelum perkawinan
berlangsung atau jika si ayah (suami) hadir pada waktu dibuatnya surat kelahiran
dan ditandatanganinya.

Anak yang lahir di luar perkawinan dinamakan “naturlijk kind”. Ia dapat


diakui atau tidak diakui oleh ayah atau ibunya. Menurut sistem KUHPerdata
dengan adanya keturunan di luar perkawinan saja belum terjadi suatu hubungan
keluarga antara anak dengan orangtuanya. Barulah dengan “pengakuan”
(erkenning) lahir suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat diterimanya harta
warisan dari orangtua yang mengakuinya. Tetapi suatu hubungan kekeluargaan
antara anak dengan keluarga si ayah atau ibu yang mengakuinya belum juga ada,
kecuali apabila telah dilakukannya “pengesahan” anak (wettiging) yang
merupakan suatu langkah lanjutan setelah pengakuan. Untuk pengesahan ini
diperlukan kedua orangtua yang telah mengakui anaknya, melakukan
perkawinan secara sah. Pengakuan yang dilakukan pada hari perkawinan juga
membawa pengesahan anak. Jika pada saat perkawinan tersebut kedua orangtua
itu belum melakukan pengakuan terhadap anaknya yang lahir sebelum
perkawinan, maka pengesahan anak hanya dapat dilakukan dengan “surat-surat
pengesahan” (brieven van wettiging) dari kepala negara.

Perlu diketahui bahwa KUHPerdata tidak membolehkan pengakuan


terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perbuatan zina (overspel) atau anak
yang dilahirkan dari hubungan antara dua orang yang dilarang kawin.

2. Kekuasaan orangtua

Seorang anak yang sah sampai pada waktu ia mencapai usia dewasa atau
kawin, berada di bawah kekuasaan orangtuanya selama kedua orangtua itu
terikat dalam hubungan perkawinan. Kekuasaan orangtua itu tidak saja meliputi
diri si anak, tetapi juga meliputi benda atau kekayaan si anak itu. Kekuasaan
orangtua terhadap anak dapat dibebaskan manakala orangtua tersebut dianggap
tidak cakap/mampu untuk memelihara serta mendidik anak.Namun jika orangtua
melakukan perlawanan maka kejaksaan tidak dapat memaksa.  Selain itu
kekuasaan orangtua dapat dicabut berdasarkan keputusan Hakim dengan alasan
sesuai UU.

3. Perwalian

Perwalian (voorgdij) adalah pengawasan terhadap anak di bawah umur


yang tidak berada di bawah kekuasaan orangtuanya serta pengurusan benda atau
kekayaan anak itu diatur oleh UU. Anak yang berada di bawah perwalian
adalah : (1) anak sah yang kedua orangtuanya telah dicabut kekuasaanya sebegai
orangtua,(2)anak sah yang orangtuanya telah bercerai,(3) anak yang lahir di luar
perkawinan.

4. Pendewasaan

Dalam hal-hal yang sangat penting, adakalanya dirasakan perlu untuk


mempersamakan anak yang masih di bawah umur dengan orang dewasa agar
anak tersebut dapat bertindak sendiri di dalam mengurus kepentingannya. Untuk
memenuhi hal tersebut diadakanlah peraturan tentang “handlichting”, yaitu
suatu pernyataan tentang seorang anak yang belum dewasa sepenuhnya atau
beberapa hal saja dipersamakan dengan orang dewasa. Permohonan untuk
dipersamakan dengan orang dewasa dapat dilakukan oleh anak yang telah
berusia 20 tahun dan diajukan kepada Presiden yang akan memberikan
keputusannya setelah mendengar nasehat dari MA. Namun untuk persoalan
perkawinan, tetap masih memerlukan izin orangtua.

5.Pengampuan

Orang dewasa yang menderita sakit ingatan harus berada di bawah


pengampuan atau curatele. Permintaan untuk berada di bawah pengampuan ini
harus diajukan kepada Pengadilan Negeri dan jika diterima akan diumumkan
dalam Berita Negara.

6. Orang yang hilang

Jikalau seseorang meninggalkan tempat tinggalnya tanpa memberikan


kuasa kepada orang lain untuk mengurus kepentingannya, maka atas permintaan
orang yang berkepentingan atau atas permintaan jaksa, Hakim untuk sementara
dapat memerintahkan Balai Harta Peninggalan (weeskamer) untuk mengurus
kepentingan tersebut. Jika kekayaan orang yang hilang tersebut tidak terlalu
besar maka pengurusannya dapat diserahkan kepada keluarganya. Jika telah
lewat 5 tahun terhitung sejak hilang, maka orang-orang yang berkepentingan
dapat meminta pada Hakim untuk mengeluarkan pernyataan yang menerangkan
orang yang hilang tersebut telah meninggal.

Untuk orang hilang yang disebabkan mengurus kepentingannya, maka


untuk meminta surat pernyataan Hakim harus terlebih dahulu menunggu selama
10 tahun. Hal ini juga biperuntukan bagi suami atau istri yang ditinggal pergi itu
untuk dapat meminta izin kawin lagi.

HUKUM PERKAWINAN

Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang
perempuan untuk waktu yang lama.KUHPerdata hanya memandang perkawinan
dalam hubungan keperdataan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 BW. Dalam
pasal tersenut dinyatakan bahwa perkawinan akan sah manakala memenuhi
syarat-syarat dalam BW dan mengesampingkan syarat-syarat lainnya termasuk
peraturan agama. Asas yang berlaku dalam BW adalah asas monogamy. Artinya
apabila ada sesorang yang berpoligami maka hal tersebut masuk dalam
pelanggaran ketertiban umum dan dibatalkan. Adapun syarat-syarat perkawinan
dalam BW adalah :

1. Kedua pihak telah cukup umur, yakni 18 tahun untuk lelaki dan 15 tahun
untuk perempuan;
2. Harus ada persetujuan kedua belah pihak;
3. Untuk perempuan yang pernah kawin maka harus melewati terlebih dahulu
300 hari untuk dapat kawin lagi;
4. Tidak ada larangan dalam UU bagi kedua pihak;
5. Untuk pihak yang masih di bawah umur harus ada izin dari orangtua atau
walinya.

Sebelum perkawinan dilangsungkan harus dilakukan terlebih dahulu :

1. Pemberitahuan (aangifte) tentang kehendak akan kawin kepada pegawai


pencatatan sipil;
2. Pengumuman (afkondiging).

BW memberikan kepada beberapa orang untuk mencegah atau menahan


(stuiten) dilangsungkannya perkawinan, yaitu :

1. Suami atau istri serta anak-anak dari pihak yang hendak kawin;
2. Orangtua kedua pihak;
3. Jaksa.

Di negara kita yang masih menjunjung tinggi adat ketimuran, menjadi


persoalan yang sensitif ketika salah seorang calon pasangan berniat
mengajukan untuk membuat perjanjian pra nikah. perjanjian pranikah
(Prenuptial Agreement) menjadi suatu hal yang tidak lazim dan dianggap tidak
biasa, kasar, materialistik, juga egois, tidak etis, tidak sesuai dengan
adat timur dan lain sebagainya

Karena pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang sakral, maka


perjanjian pranikah masih dianggap sebagai urusan duniawi yang tidak
sepantasnya dibicarakan dan dilakukan. Karena kalau dilakukan, lalu akan
muncul pertanyaan apa bedanya dengan perjanjian-perjanjian yang biasa
dilakukan oleh dua orang yang melakukan transaksi bisnis.

1. Apa yang dimaksud dengan perjanjian pra nikah?

Prenuptial Agreement atau perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang


dibuat sebelum dilangsungkannya pernikahan dan mengikat kedua calon
mempelai yang akan menikah, isinya mengenai masalah pembagian harta
kekayaan diantara suami istri yang meliputi apa yang menjadi milik suami atau
isteri dan apa saja yang menjadi tanggung jawab suami dan isteri, ataupun
berkaitan dengan harta bawaan masing-masing pihak agar bisa membedakan
yang mana harta calon istri dan yang mana harta calon suami, jika terjadi
perceraian atau kematian disalah satu pasangan.

Biasanya perjanjian pra nikah dibuat untuk kepentingan perlindungan


hukum terhadap harta bawaan masing-masing, suami ataupun istri. Memang
pada awalnya perjanjian pranikah banyak dipilih oleh kalangan atas yang yang
memiliki warisan besar.

2. Apakah membuat perjanjian pra nikah dibenarkan secara hukum dan agama?

Membuat perjanjian pra nikah diperbolehkan asalkan tidak bertentangan


dengan hukum, agama dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat. Hal ini
telah diatur sesuai dengan pasal 29 ayat 1 UU No.1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, yaitu:”Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan,
keduabelah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian
tertulis yang disahkan oleh pegawai Pencatat perkawinan setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut”. dalam penjelasan pasal 29 UU
No.1/1975 tentang perkawinan, dikatakan Yang dimaksud dengan perjanjian
dalam pasal ini tidak termasuk Taklik Talak.

Dalam ayat 2 dikatakan: perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilman


melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan.

Selain itu Kompilasi Hukum Islam juga memperbolehkan Perjanjian pra


nikah sebagaimana dikatakan dalam pasal 47 ayat : “Pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian
tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta
dalam perkawinan”

Konsep perjanjian pra nikah awal memang berasal dari hukum perdata
barat KUHPer. Tetapi UU No.1/1974 tentang Perkawinan ini telah mengkoreksi
ketentuan KUH Per (buatan Belanda) tentang perjanjian pra nikah. Dalam pasal
139 KUHPer: “Dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami isteri
adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan perundang-
undangan sekitar persatuan harta kekayaan asal perjanjia itu tidak menyalahi tata
susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala
ketentuan di bawah ini, menurut pasal berikutnya”.

Bila dibandingkan maka KUH Per hanya membatasi dan menekankan


perjanjian pranikah hanya pada persatuan harta kekayaan saja, sedangkan dalam
UU Perkawinan bersifat lebih terbuka, tidak hanya harta kebendaan saja yang
diperjanjikan tetapi juga bisa diluar itu sepanjang tidak bertentangan
dengan hukum, agama dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat.

3. Apa Saja Isi Perjanjian Pranikah?

Isi Perjanjian pra nikah diserahkan pada pihak calon pasangan yang akan
menikah dengan syarat isinya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, hukum dan agama, Seperti telah dijelaskan diatas dalam
point 1.
Bahwa perjanjian pra nikah dasarnya adalah bentuk kesepakatan maka ia
termasuk dalam hukum perjanjian buku III KUHPer, sebagaimana Pasal 1338 :
para pihak yang berjanji bebas membuat perjanjian selama tidak melanggar
kesusilaan, ketertiban umum dan undang-undang.

Biasanya berisi pengaturan penyelesaian dari masalah yang kira-kira


akan timbul selama masa perkawinan, antara lain :

– Tentang pemisahan harta kekayaan.

Pemisahan harta kekayaan yang diperoleh sebelum pernikahan yaitu


segala harta benda yang diperoleh sebelum pernikahan dilangsungkan atau yang
biasa disebut harta bawaan yang didalamnya bisa termasuk harta warisan atau
hibah, disebutkan dalam harta apa saja yang sebelumnya dimiliki suami atau
isteri. Pemisahan harta pencaharian/pendapatan yang diperoleh selama
pernikahan atau mengenai tidak adanya percampuran harta pendapatan maupun
aset-aset baik selama pernikahan itu berlangsung maupun apabila terjadi
perpisahan, perceraian, atau kematian.

– Pemisahaan harta juga termasuk pemisahan utang, jadi dalam


perjanjian pranikah bisa juga diatur mengenai masalah utang yang akan tetap
menjadi tanggungan dari pihak yang membawa atau mengadakan utang itu.
Utang yang dimaksud adalah utang yang terjadi sebelum pernikahan, selama
masa pernikahan, setelah perceraian, bahkan kematian.

HUKUM WARIS

Pembahasan kita kali ini adalah sistem pewarisan menurut hukum


perdata Barat, yang terutama berlaku untuk warga negara Indonesia yang
beragama selain Islam, atau yang bagi yang beragama Islam namun
“menundukkan ” diri ke dalam hukum pewarisan perdata Barat.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum perdata barat (untuk selanjutnya


akan lebih mudah jika kita sebut “BW” atau Burgerlijk Wetboek”, prinsip dari
pewarisan adalah:
1. Harta Waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila
terjadinya suatu kematian. (pasal 830 BW)

2.Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk
suami atau isteri dari pewaris. (pasal 832 BW)

Sebagai konsekwensi dan kedua hal tersebut maka, dapat diartikan


bahwa dalam hal pemilik harta masih hidup, dia tidak dapat mewariskan apapun
kepada ahli warisnya. Sehingga, dalam hal terjadi suatu pemberian atas suatu
barang kepada keturunannya yang ditujukan agar keturunannya dapat memiliki
hak atas barang tersebut setelah meninggal dunia (dalam bentuk hibah misalnya)
maka hal tersebut dianggap sebagai “Hibah Wasiat”. Dimana barang tersebut
baru beralih pada saat pemberi hibah telah meninggal dunia.. Dalam hal
pemberian barang tersebut diberikan pada saat si pemberi barang masih hidup,
tanpa diberikan suatu imbalan berupa uang, maka hal tersebut disebut sebagai
“Hibah” saja. Mengenai hibah ini akan saya bahas lebih detil pada section
tersendiri.

Kembali lagi kepada prinsip pewarisan, yaitu mengenai “hubungan


darah”/ Berdasarkan Prinsip tersebut, maka yang berhak mewaris hanyalah
orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Baik itu berupa
keturunan langsung. maupun orang tua, saudara, nenek/kakek atau keturunannya
dari saudara-saudaranya. Sehingga, apabila dimasukkan dalam kategori, maka
yang berhak mewaris adalah:

1. Golongan I, yang terdiri dari: suami/isteri yang hidup terlama dan


anak2 serta cucu (keturunan) pewaris (dalam hal anak pewaris meninggal
dunia). (pasal 852 BW)

2. Golongan II adalah: orang tua dan saudara kandung dari pewaris


termasuk keturunan dari saudara kandung pewaris. (pasal 854 BW) Golongan II
ini baru bisa mewarisi harta pewaris dalam hal golongan I tidak ada sama sekali.
Jadi, apabila masih ada ahli waris golongan I, maka golongan I tersebut
“menutup” golongan yang diatasnya
3.Golongan III :

Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris
(pasal . Contohnya: kakek dan nenek pewaris, baik dari pihak ibu maupun dari
pihak bapak. Mereka mewaris dalam hal ahli waris golongan I dan golongan II
tidak ada

4.GolonganIV
-Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu
-keturunan paman dan bibi sampai derajat ke enam dihitung dari pewaris
– saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat ke enam di
hitung
dari pewaris.

Bagaimana dengan anak angkat ?

Karena prinsip dari pewarisan adalah adanya hubungan darah, maka


secara hukum anak angkat atau anak tiri (yang bukan keturunan langsung dari
pearis ) tidak berhak mendapatkan warisan secara langsung dari pewaris. Namun
dimungkinkan bagi anak angkat tersebut untuk menerima warisan dengan cara
pemberian Hibah atau “Hibah wasiat” (pasal 874 BW).

Hubungan persaudaraan bisa berantakan jika masalah pembagian harta


warisan seperti rumah atau tanah tidak dilakukan dengan adil. Untuk
menghindari masalah, sebaiknya pembagian warisan diselesaikan dengan adil.
Salah satu caranya adalah menggunakan Hukum Waris menurut Undang-
Undang (KUH Perdata).

Banyak permasalahan yang terjadi seputar perebutan warisan, seperti


masing-masing ahli waris merasa tidak menerima harta waris dengan adil atau
ada ketidaksepakatan antara masing-masing ahli waris tentang hukum yang akan
mereka gunakan dalam membagi harta warisan.

Kategori pertama adalah orang yang dengan putusan hakim telah telah
dinyatakan bersalah dan dihukum karena membunuh atau telah mencoba
membunuh pewaris. Kedua adalah orang yang menggelapkan, memusnahkan,
dan memalsukan surat wasiat atau dengan memakai kekerasan telah
menghalang-halangi pewaris untuk membuat surat wasiat menurut kehendaknya
sendiri. Ketiga adalah orang yang karena putusan hakim telah terbukti
memfitnah orang yang meninggal dunia dan berbuat kejahatan sehingga
diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih. Dan keempat, orang yang telah
menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat dari pewaris.

Dengan dianggap tidak patut oleh Undang-Undang bila warisan sudah


diterimanya maka ahli waris terkait wajib mengembalikan seluruh hasil dan
pendapatan yang telah dinikmatinya sejak ia menerima warisan.

Pengurusan Harta Warisan

Masalah warisan biasanya mulai timbul pada saat pembagian dan


pengurusan harta warisan. Sebagai contoh, ada ahli waris yang tidak berbesar
hati untuk menerima bagian yang seharusnya diterima atau dengan kata lain
ingin mendapatkan bagian yang lebih. Guna menghindari hal tersebut, ada
beberapa tahapan yang perlu dilakukan oleh Anda yang kebetulan akan
mengurus harta warisan, khususnya untuk harta warisan berupa benda tidak
bergerak (tanah dan bangunan).

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat Surat


Keterangan Kematian di Kelurahan/Kecamatan setempat. Setelah itu membuat
Surat Keterangan Waris di Pengadilan Negeri setempat atau Fatwa Waris di
Pengadilan Agama setempat, atau berdasarkan Peraturan Daerah masing-
masing. Dalam surat/fatwa tersebut akan dinyatakan secara sah dan resmi siapa-
siapa saja yang berhak mendapatkan warisan dari pewaris.

Apabila di antara para ahli waris disepakati bersama adanya pembagian


warisan, maka kesepakatan tersebut wajib dibuat dihadapan Notaris. Jika salah
satu pembagian yang disepakati adalah pembagian tanah maka Anda harus
melakukan pendaftaran di Kantor Pertanahan setempat dengan melampirkan
Surat Kematian, Surat Keterangan Waris atau Fatwa Waris, dan surat Wasiat
atau Akta Pembagian Waris bila ada.

Empat Golongan yang Berhak Menerima Warisan

A. GOLONGAN I.

Dalam golongan ini, suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris
yang berhak menerima warisan. Dalam bagan di atas yang mendapatkan warisan
adalah istri/suami dan ketiga anaknya. Masing-masing mendapat ¼ bagian
adalah : Ayah, Ibu, Pewaris, Saudara, Saudara.

B. GOLONGAN II

Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila pewaris


belum mempunyai suami atau istri, dan anak. Dengan demikian yang berhak
adalah kedua orangtua, saudara, dan atau keturunan saudara pewaris.

Dalam contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu,
dan kedua saudara kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada
prinsipnya bagian orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian

C. GOLONGAN III

Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga


yang mendapatkan waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari
garis ibu maupun ayah.

Contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah kakek atau nenek
baik dari ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian untuk garis
ayah dan ½ bagian untuk garis ibu.

D. GOLONGAN IV
Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga
sedarah dalam garis atas yang masih hidup. Mereka ini mendapat ½ bagian.
Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain dan derajatnya paling dekat dengan
pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya.

HUKUM PERIKATAN

Dalam Buku III BW istilah yang dipergunakan adalah “Perikatan”.


Istilah “Perikatan” mempunyai arti yang lebih luas dari istilah “Perjanjian”.
Dalam “Perikatan” diatur juga hubungan hukum yang sama sekali tidak
bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang
timbul dari perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal
perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak
berdasarkan persetujuan  (zaakwaarneming).

Apabila kita coba membuat perbedaan sederhana antara perikatan dengan


perjanjian, maka perikatan merupakan suatu pengertian abstrak, sedangkan
perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang konkrit.

Definisi perikatan menurut BW ialah suatu hubungan hukum (mengenai


kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu
untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya
diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut dinamakan
pihak berpiutang atau “kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi
tuntutan dinamakan pihak berhutang atau “debitur”. Adapun barang sesuatu
yang dapat dituntut dinamakan “prestasi”. Prestasi menurut UU dapat berupa :

1. Menyerahkan suatu barang;

2. Melakukan suatu perbuatan;

3. Tidak melakukan suatu perbuatan.

Sumber-sumber perikatan :

1. Persetujuan (perjanjian)

2. UU, dimana terbagi lagi kepada :


            1.2. UU saja, yaitu perikatan yang timbul oleh hubungan kekeluargaan.

            2.2. UU karena suatu perbuatan orang, yang terbagi lagi :

                        2.2.1. Perbuatan yang diperbolehkan

                        2.2.2. Perbuatan yang berlawanan hukum.

Dalam BW terdapat suatu macam perikatan yang dinamakan “naturlijke


vebintenis”, yaitu suatu perikatan yang berada di tengah-tengah antara perikatan
moral atau kepatutan dan suatu perikatan hukum, atau boleh dikatakan sebagai
suatu perikatan hukum yang tidak sempurna. Contoh perikatan ini antara lain
ialah : hutang-hutang yang terjadi karena perjudian, oleh pasal 1788 BW tidak
dizinkan untuk menuntut pembayaran.

Buku III BW menganut asas “kebebasan”, sebagaimana tersimpul dalam


pasal 1338 BW yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara
sah, berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya.

Macam-macam perikatan:

1. Perikatan bersyarat, yaitu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian


dikemudian hari yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi.

2. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu.

3. Perikatan yang membolehkan memilih.

4. Perikatan tanggung menanggung.

5. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi.

6. Perikatan dengan penetapan hukuman.

Hapusnya perikatan :

1. Pembayaran;
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan barang yang hendak
dibayarkan itu di suatu tempat.

3. Pembaharuan hutang;

4. Kempensasi atau perhitungan hutang timbal balik;

5. Percampuran hutang;

6. Pembebasan hutang;

7. Hapusnya barang yang dimaksud dalam perjanjian;

8. Pembatalan perjanjian;

9. Akibat berlakunya suatu syarat pembatalan;

10. Lewat waktu.

Beberapa perjanjian khusus yang penting

1. Perjanjian jual beli, yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang satu
menyanggupi akan menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan
pihak lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang sebagai
harganya.
2. Perjanjian sewa-menyewa, yaitu suatu perjanjian diaman pihak yang satu
menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama suatu
jangka waktu tertentu, sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan
membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-
waktu yang ditentukan. Pihak penyewa memikul dua kewajiban poko, yaitu :
(1) membayar uang sewa pada waktunya, (2) memelihara barang yang
disewa sebaik-baiknya, seolah-olah barang miliknya sendiri.
3. Pemberian atau hibah (schenking), yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang
satu menyanggupi dengan cuma-cuma dengan secara mutlak memberikan
suatu benda pada  pihak yang lainnya yang menerima pemberian itu.
4. Persekutuan (maatschap), yaitu suatu perjanjian dimana beberapa orang
bermufakat untuk bekerja bersama dalam lapangan ekonomi, dengan tujuan
membagi keuntungan yang akan diperoleh. Persekutuan merupakan suatu
bentuk kerjasama yang paling sederhana, bahkan diperbolehkan seorang
anggota hanya menyumbangkan tenaga saja.Untuk perjanjian model ini tidak
diperlukan adanya suatu akte. Perjanjian ini dikenla juga dengan sebutan
“perjanjian consensueel” yaitu perjanjian yang dianggap sudah cukup jika
ada kata sepakat.
5. Penyuruhan (lastgeving), yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang satu
memberikan perintah kepada pihak yang lain untuk melakukan suatu
perbuatan hukum.
6. Perjanjian pinjam, meliputi 2 aspek, yaitu : (1) perjanjian pinjam barang
yang tidak dapat diganti, seperti peminjaman mobil, motor dan lain-lain, (2)
perjanjian pinjaman barang yang dapat diganti, seperti meminjam uang,
beras dan lain-lain.
7. Penangguhan hutang, yaitu suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi
pada pihak lainnya, bahwa ia menanggung pembayaran suatu hutang, apabila
si berhutang tidak menepati kewajibannya.
8. Perjanjian perdamaian, yaitu suatu perjanjian dimana dua pihak membuat
suatu perdamaian untuk mengakhiri suatu perkara, dalam perjanjian mana
masing-masing melepaskan sementara hak-hak atau tuntutannya. Perjanjian
semacam ini harus tertulis.
9. Perjanjian kerja, terbagi 3 macam, yaitu :(1) perjanjian perburuhan yang
sejati, adalah suatu perjanjian yang menerbitkan suatu hubungan terbatas
antara buruh dan majikan, diperjanjikan suatu upah, dan dibuat untuk waktu
tertentu,(2) pemborongan pekerjaan, ialah suatu perjanjian dimana satu pihak
menyanggupi untuk keperluan pihak lainnya, melakukan suatu pekerjaan
tertentu dengan pembayaran upah yang ditentukan pula, (3) perjanjian untuk
melakukan suatu pekerjaan terlepas, seperti seorang kuli mengangkut barang
atau seorang dokter gigi yang mencabut gigi pasiennya..

C. LATIHAN SOAL/TUGAS
Buatlah resume istilah-istilah Bahasa Indonesia tentang Hukum Perdata yang
berada dalam sebuah jurnal nasional (bebas)

D. DAFTAR PUSTAKA
 Ahmad, Z. Ansori. 1986. Sejarah dan kedudukan BW di Indonesia.
Jakarta: Rajawali.
 H.F.A. Vollmar. 1989. Pengantar Studi Hukum Perdata, Jilid II.
Jakarta: Rajawali.
 Mertokusumo, Sudikno. 1986. Mengenal Hukum (suatu pemgantar).
Yogyakarta: Liberty
 M. Soefwan, Sri Soedewi. 1975. Hukum Perutangan. Hukum Perdata
FH UGM, Yogyakarta.
 Dunne, Van. 1987. Diklat Khusus Hukum Perikatan, Terjemahan oleh
Sudikno Mertokusumo, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai