Anda di halaman 1dari 66

RANGKUMAN

HUKUM PERDATA I
OLEH: BAGOES PRASETYO (2018-088), BUGIE REWALD MAULANA (2018-107),
MOH. BAYU FIRDAUS AL HIKAMI (2017-232)

HUKUM ORANG
(Personenrecht)

A. Konsep Dasar
Istilah Hukum tentang orang berasal dari terjemahan kata (Personenrecht)
Belanda atau (Personal Law) Inggris. Pengertian hukum orang menurut Subekti
adalah peraturan tentang manusia sebagai subjek dalam hukum, peraturan-
peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak dan kewajiban untuk bertindak
sendiri, melaksanakan hak haknya serta hal yang mempengaruhi kecakapannya
itu. Pengertian ini merujuk pada hukum orang dari segi ruang lingkupnya, yang
meliputi subjek hukum, kecakapan hukum, serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Tetapi apabila dikaji secara mendalam, definisi tersebut
kurang lengkap karena dalam hukum orang diatur juga tentang domisili dan
catatan sipil. Sementara menurut Algra, yang diartikan hukum orang
(Personenrecht) adalah keseluruhan peraturan hukum mengenai keadaan
(boedanigheden) dan wewenang (bevoegdheden) seseorang.
Adapun Salim H. S., mendefinisikan hukum orang sebagai keseluruhan
kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang subjek hukum dan wewenangnya,
kecakapanya, domisilinya, dan catatan sipil. Dalam definisi ini mengandung dua
cakupan yaitu wewenang subjek hukum dan ruang lingkup pengaturan hukum
orang. Wewenang dan hakikatnya merupakan hak dan kekuasaan dari seseorang
melakukan perbuatan hukum. Wewenang seseorang dalam hukum dapat di
klasifikasikan menjadi dua macam yaitu (1) wewenang untuk mempunyai hak “
rechtbevoegdheid” dan (2) wewenang untuk melakukan perbuatan hukum dan
faktor faktor yang mempengaruhinya.
Hukum (Orang) dalam BW diatur dalam buku I yang berjudul “ Van
Personen ” Menurut Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan,
menyatakan bahwa pemberian judul tersebut pada dasarnya kurang tepat dan lebih
tepatnya berjudul “ Personenen Family Recht ”. Dasar pemikiran tersebut bahwa
melihat keberadaaan seseorang tidak lepas dari keluarga, selain itu dalam buku I
tersebut juga diatur tentang hukum keluarga.

Dalam hukum perkataan orang atau persoon berarti pembawa hak, yaitu segala
sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban dan disebut pula sebagai subjek
hukum. Sebagaimana pasal 1 BW berbunyi “ Menikmati hak hak keperdataan
tidaklah bergantung pada hak hak kenegaraan ”.
Bunyi pasal tersebut mempunyai arti, bahwa semua orang baik yang alam /
manusia ( Naturlijk Persoon ) Maupun yang badan hukum ( Recht Persoon )
didalam melaksanakan hak nya adalah sama baik mengenai luasnya maupun
wewenangnya.
1

B. Subjek Hukum
Subjek hukum memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting
dalam bidang hukum, khususnya dalam hukum keperdataan karena subjek hukum
tersebut yang dapat mempunyai wewenang hukum.
Menurut ketentuan hukum, dikenal dua macam subjek hukum yaitu :
A). Manusia
B). Badan Hukum
Selain subjek hukum dikenal objek hukum sebagai lawan dari subjek
hukum. Objek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum
( Manusia dan Badan hukum ) dan yang dapat menjadi pokok ( Objek ) suatu
hubungan hukum ( Hak ) karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subjek hukum.2
A). Manusia
1. Manusia Sebagai Subjek Hukum ( RechtPersoon)

1
Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H. 2008. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta,
PRENAMEDIA GROUP.
2
Ibid. Hal. 41
Secara Biopsikologis manusia adalah bagian dari fenomena semesta,
sebagai makhluk ciptaan tuhan yang memiliki pancaindra dan budaya, sedangkan
secara hukum / yuridis, manusia sebagai orang / Persoon adalah gejala / fenomena
yang hidup secara sosial. Setiap orang dengan demikian dianggap pribadi dapat
diakui sebagai orang yaitu sebagai subjek hukum yang berarti sebagai subjek yang
mendukung atau membawa hak dan kewajiban yang melekat pada diri setiap
orang. Personalitas ini secara hukum dapat dibedakan menjadi subjek hukum
personal/orang dan badan hukum ( Abdul Kadir Muhammad, 2011, Hal 27 ).
Kedudukan manusia secara personal merupakan makhluk hidup ciptaan
tuhan yang memiliki panca indera atau memiliki akal, perasaan kehendak serta
makhluk hidup yang berbudaya.
Sebaliknya badan hukum memiliki hak dan kewajiban karena ditentukan
eksistensinya berdasarkan undang undang yang berarti kedudukannya mengikuti
kebutuhan manusia yang berdasarkan atas aturan yuridis dimana ia memiliki hak
hak dan kewajiban kewajiban yang tertulis dalam peraturan korporasi tersebut
sebagaimana manusia. Hal yang membedakan badan hukum pribadi dengan orang
adalah orang secara pribadi mendapat warisan sedangkan badan hukum pribadi
tidak memiliki hak tersebut.3
2. Diakuinya Manusia Sebagai Subjek Hukum
Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa berakhirnya seseorang sebagai
pendukung hak dan kewajiban dalam perdata apabila ia meninggal dunia. Artinya
selama seseorang masih hidup selama itu pula ia mempunyai kewenangan hak.
Meskipun menurut hukum manusia sebagai orang, dapat memiliki hak dan
kewajiban atau subjek hukum, namun tidak semuanya cakap untuk melakukan
perbuatan hukum. 4
Pengakuan manusia sebagai subjek ada pada pasal 3 KUHPer. Dalam
Pasal 3 KUHPer tersebut ditentukan dengan adanya pernyataan ketiadaan hukum
manapun yang berakibat hilangnya hak perdata seseorang (Burgerlijkedood).5
Orang orang yang menurut undang undang dinyatakan tidak cakap untuk
melakukan perbuatan hukum adalah :
3
Dr. Kelik Wardiono, S.H., M.H. Septarina Budiwati, S.H., M.Kn,Nuswardhani, S.H., S.U. Saepul
Rochman,S.H., M.H. 2018. HUKUM PERDATA. Surakarta. Muhammdyah University Press.
4
Ibid Hal.44
5
Ibid Hal. 31
1. Orang orang yang belum dewasa ( Pasal 1330 BW Jo. Pasal 47 Undang-
Undang No 1 Tahun 1974 )
2. Orang yang sudah dewasa akan tetapi masih dalam pengampuan / pengawasan (
Curatele ) Pasal 1330 BW Jo. Pasal 433 BW )
3. Orang yang dilarang menurut Undang-Undang untuk melakukan perbuatan
hukum, Misalkan seperti orang orang yang dinyatakan pailit ( Pasal 1330 BW Jo
Undang Undang No 37 Tahun 2004 ) dan
Sebagai negara hukum, Negara Indonesia mengakui setiap orang sebagai manusia
terhadap undang undang, artinya setiap orang diakui sebagai subjek hukum oleh
Undang-Undang. Sebagaimana dalam pasal 27 UUD 1945 yang menyebutkan
bahwa “ yang menetapkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukanya
didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan
pemerintahan, dengan tidak ada pengecualian.6
B. Badan Hukum
1. Subyek Hukum Badan Hukum (Rechtspersoon)
Mengenai badan-badan hukum sebagai subyek hukum (rechspersoon),
menurut ajaran badan hukum yang lama mengatakan bahwa suatu badan barulah
badan hukum bila keberadaannya berdasarkan undang-undang dimintakan
pengesahannya kepada pemerintah. Berdasarkan pendapat ini sebagai badan
hukum adalah Perseroan Terbatas, Yayasan, dan Koperasi. Sedangkan menurut
ajaran badan hukum yang belakangan (yang banyak dianut), menyatakan bahwa
bila badan itu memiliki harta terpisah dari pemiliknya dan ada yang bertindak
sebagai pengurus untuk dan atas nama badan itu didalam maupun di luar
pengadilan dapat disebut badan hukum. Berdasarkan pendapat ini yang termasuk
badan hukum adalah PT, Yayasam, Koperasi, Firma, CV dan lain-lain. Menurut
Mochtar Kusumatmaja (2010: 82) mengatakan bahwa suatu badan hukum
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
 memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang-orang yang
menjalankan kegiatan dari badan-badan hukum tersebut.
 memiliki hak dan kewajiban-kewajiban orang-orang yang menjalankan
kegiatan badan-badan tersebut.

6
Ibid Hal 45.
 memiliki tujuan tertentu.
 berkesinambungan (memiliki kontinuitas) dalam arti keberadaannya tidak
terikat pada orang-orang tertentu, karena hak-hak dan kewajiban
kewajibannya tetap ada meskipun orang-orang yang menjalankannya
berganti.7
Suatu badan dikatakan Badan Hukum harus memenuhi syarat materiil dan syarat
formal. Syarat materiil itu adalah harus adanya kekayaan yang terpisah,
mempunyai tujuan tertentu, mempunyai kepentingan sendiri dan adanya
organisasi yang teratur. Sedangkan syarat formalnya ada hubungannya dengan
permohonan untuk mendapatkan status sebagai Badan Hukum.
Menurut Pasal 1653 KUHPerd Badan Hukum itu dapat dibedakan sebagai Badan
Hukum yang didirikan oleh pemerintah (propinsi, bank-bank pemerintah), badan
hukum yang didirikan oleh pemerintah (perseroan, gereja), dan Badan Hukum
yang didirikan untuk maksud tertentu. Menurut sifatnya Badan Hukum dapat
dibedakan sebagai Badan Hukum Publik (propinsi, kabupaten dan lain-lain) dan
Badan Hukum keperdataan, yayasan, firma dan lain-lain.8

C. Kecakapan Bertindak Dalam Hukum


Kecakapan bertindak dalam hukum dibedakan menjadi 2 macam yaitu :
1. Kemampuan Berbuat
Kemampuan Berbuat Kemampuan (kecukupan) berbuat, karena memenuhi
syarat hukum (bekwaam) atau kemampuan berbuat menurut hukum. Dalam
kalangan hukum perdata yang dikatakan cakap disinonimkan dengan orang yang
telah dewasa. Seperti yang diatur dalam Pasal 330 KUHPerd atau Pasal 50
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974. Tetapi bila orang yang telah dewasa itu
dalam keadaan sakit ingatan/gila dan tidak mampu mengurus dirinya sendiri
karena boros, disamakan dengan orang yang belum dewasa dan oleh hukum
dinyatakan tidak cakap atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum
(onbekwaam). Perbuatan kedua golongan orang yang disebutkan itu adalah
merupakan perbuatan hukum yang tidak sah dan dapat dimintakan pembatalan
7
Prof. Dr. I Ketut Oka Setiawan, SH. MH. CN. 2011. HUKUM PERDATA MENGENAI ORANG DAN
KEBENDAAN. Jakarta. FH UTA MA JAKARTA

8
Ibid Hal. 50
melalui pengadilan. Kepada anak yang belum dewasa menurut hukum diurus oleh
orang tuanya (Pasal 47 UU No. 1 tahun 1974), atau walinya (Pasal 50 UU No. 1
tahun 1974) dan kurandus diurus oleh pengampunya, (Pasal 433 KUHPerd).
2. Berhak Berbuat
Berhak berbuat, karena diakui oleh hukum walaupun tidak memenuhi
syarat hukum (bevoegd).

D. Domisili / Tempat Tinggal


Tempat tinggal manusia atau tempat kedudukan Badan Hukum seseorang
juga disebut alamat rumah atau alamat kantor. Menurut Abdul Kadir Muhammad
(2010:32), tempat tinggal dapat dibedakan menjadi :
1. Tempat tinggal yuridis
2. Tempat tinggal sesungguhnya
3. Tempat tinggal pilihan.
Umumnya dipilih kantor pengadilan setempat. Menurut KUHPerd domisili
(woonplaats) atau tempat tinggal dikenal dua macam yaitu tempat tinggal umum
dan tempat tinggal khusus (pilihan):
1. Tempat Tinggal Umum Tempat tinggal umum juga dapat dibedakan menjadi
tempat tinggal sukarela dan tempat tinggal tergantung pada orang lain:
a. Tempat Tinggal Sukarela Pasal 17 KUHPerd menentukan bahwa setiap
orang dianggap mempunyai tempat tinggal di mana ia menempatkan
kediaman utamanya, dan dalam hal seseorang tidak mempunyai tempat
kediaman utama, maka tempat tinggal di mana ia benar-benar berdiam
adalah tempat tinggalnya.
b. Tempat Tinggal Tergantung pada Orang Lain Mereka ini adalah wanita
yang bersuami, yang tidak pisah meja dan tempat tidur (tidak berlaku lagi
berdasarkan SEMA-RI No. 3 tahun 1963), bertempat tinggal di mana
suami bertempat tinggal (Pasal 21 KUHPerd); Anak yang di bawah umur
bertempat tinggal pada tempat tinggal orang tuanya atau walinya
2. Tempat Tinggal Khusus (Pilihan)
Tempat tinggal pilihan ini diatur dalam pasal 24 KUHPerd dan dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu tempat tinggal yang terpaksa dipilih dan tempat
tinggal yang dipilih secara sukarela. Yang dimaksud terpaksa dipilih adalah
terletak pada ketentuan UU seperti disebutkan dalam pasal 106 ayat 2 KUHPerd
yang menyatakan bahwa setiap isteri harus tunduk patuh kepada suaminya, ia
berwajib tinggal bersama dengan si suami dalam satu rumah, dan berwajib pula
mengikutinya, barang di manapun si suami memandang berguna, memusatkan
pusat kediamannya (ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi berdasarkan Undang-
undang No. 1 tahun 1974).

E. Catatan Sipil
Catatan Sipil (Burgerlijk Stand) adalah suatu lembaga yang dilaksanakan
oleh pemerintah untuk mencatat peristiwa hukum penting yang dialami oleh
warga negara dalam kehidupan pribadinya dari sejak lahir sampai dengan
kematiannya. Peristiwa hukum penting yang dimaksud adalah peristiwa hukum
perdata yang meliputi kelahiran, perkawinan, perceraian, dan kematian.
1. Pencatatan Peristiwa Hukum
berlaku umum (untuk semua WNI), secara struktural berada di dalam
lingkungan Departemen Dalam Negeri. Sedangkan yang berlaku khusus (hanya
untuk mereka yang beragama Islam) secara struktural berada dalam lingkungan
Departemen Agama. Kantor catatan sipil mempunyai tugas sebagai berikut:
a. Mencatat dan menerbitkan kutipan akta kelahiran
b. Mencatat dan menerbitkan kutipan akta perkawinan
c. Mencatat dan menerbitkan kutipan akta perceraian
d. Mencatat dan menerbitkan kutipan akta kematian, dan
e. Mencatat dan menerbitkan kutipan akta pengakuan anak, pengesahan anak dan
akta ganti nama. ( Bab II Bagian 2 Pasal 4 KUHPer9 )

2. Dasar Hukum Catatan Sipil


Catatan Sipil diatur dalam KUHPerd Bab II Buku I yang terdiri atas 13 pasal. Di
luar KUHPerd terdapat berbagai ketentuan seperti:

9
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bab 2 Bagian 2 Pasal 4.
a. Stb. 1849 tentang peraturan Catatan Sipil untuk golongan Eropa
b. Stb. 1917 No. 130 jo Stb. 1919 No. 81 tentang Peraturan Catatan Sipil untuk
golongan Tionghoa
c. Stb. 1920 No. 751 jo Stb. 1927 No. 564 tentang Peraturan Catatan Sipil untuk
golongan Indonesia Asli
d. Stb. 1933 No. 75 jo Stb. 1936 No. 607 tentang Peraturan Catatan Sipil untuk
Indonesia Kristen.10

DAFTAR PUSTAKA

10
Ibid Hal 50-62.
1. Dr. Kelik Wardiono, S.H., M.H. Septarina Budiwati, S.H., M.Kn,Nuswardhani,
S.H., S.U. Saepul Rochman,S.H., M.H. 2018. HUKUM PERDATA. Surakarta.
Muhammdyah University Press.

2. Dr. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H. 2008. HUKUM PERDATA dalam
SISTEM HUKUM NASIONAL. Jakarta, PRENAMEDIA GROUP

3. Prof. Dr. I Ketut Oka Setiawan, SH. MH. CN. 2011. HUKUM PERDATA
MENGENAI ORANG DAN KEBENDAAN. Jakarta. FH UTA MA JAKARTA

4. Himpunan Peraturan Undang-Undang KUHPer (KITAB UNDANG UNDANG


HUKUM PERDATA). 2018. Jakarta. Gramedia. No. Anggota IKAPI
246/DKI/04.

HUKUM KELUARGA
1. Keluarga Sedarah dan Keluarga Semenda

Keluarga sedarah adalah pertalian kekeluargaan antara orang-orang di mana yang


seorang adalah keturunan dan yang lain atau antara orang-orang yang mempunyai
bapak asal yang sama (Pasal 290 KUH Perdata). Pertalian keluarga dihitung
dengan jumlah kelahiran. Tiap-tiap kelahiran dinamakan derajat urutan
Perderajatan (Pasal 291 dan Pasal 293 KUH Perdata). Garis Lurus yang satu
adalah keturunan yang lain dan Garis Menyimpang yang satu adalah bukan
keturunan yang lain, melainkan yang mempunyai nenek moyang yang sama.

Garis lurus dalam keturunan terbagi 2 (dua), yaitu:

1. Garis lurus ke bawah adalah hubungan antara nenek moyang dengan sekalian
keturunannya.

2. Garis lurus ke atas adalah hubungan antara seseorang dengan sekalian mereka
yang menurunkannya (Pasal 292 KUH Perdata).

Pertalian anak dengan bapak adalah garis lurus derajat kesatu. Pertalian bapak
dengan cucumya adalah garis lurus derajat kedua. Pertalian antara bapak dan
kakek terhadap anak dan cucunya adalah garis lurus derajat kesatu dan derajat
kedua (Pasal 293 KUH Perdata).

Kekeluargaan dalam garis menyimpang dihitung dengan menggunakan patokan


yang berasal dari leluhur yang sama atau yang terdekat. Dua saudara adalah
bertalian keluarga dalam derajat kedua. Paman dan Keponakan adalah bertalian
keluarga dalam derajat ketiga. Antara dua anak saudara adalah bertalian keluarga
dalam derajat keempat (Pasal 294 KUH Perdata). Contoh hubungan sedarah,
yaitu:
1. Sedarah lurus, yaitu: Ayah, ibu, anak kandung
2. Sedarah ke samping, yaitu : Saudara kandung

Kekeluargaan Semenda adalah pertalian keluarga yang diakibatkan karena


perkawinan. Hubungan antara seseorang di antara suami istri dengan keluarga
sedarah dari yang lain. Tiada keluarga semenda antara para keluarga sedarah
suami dengan keluarga si istri dan sebaliknya. Perderajatan keluarga semenda
dihitung dengan cara yang sama dengan derajat keluarga sedarah (Pasal 295 dan
Pasal 296 KUH Perdata).
Contoh hubungan keluarga semenda, yaitu :
1. Semenda lurus, yaitu: Mertua, anak tiri
2. Semenda ke samping, yaitu: Saudara Ipar

2. Kekuasaan Orang Tua (ouderlijke macht)

Kekuasaan orang tua adalah kewajiban orang tua untuk memberi pendidikan dan
penghidupan kepada anaknya yang belum dewasa dan sebaliknya anak-anak
dalam umur berapapun juga wajib menghormati kepada bapak dan ibunya.
Apabila orang tua kehilangan hak untuk memangku kekuasaaan orang tua atau
untuk menjadi wali maka hal ini tidak membebaskan mereka dari kewajiban
memberi tunjangan-tunjangan dengan keseimbangan sesuai pendapatan mereka
untuk membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak mereka (Pasal 298 KUH
Perdata).
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa, kekuasaan orang tua
adalah:
1. Kekuasaan orang tua ada pada kedua orang tua.
2. Kekuasaan orang tua ada selama perkawinan berlangsung.
3. Kekuasaan orng tua ada pada orang tua selama tidak dibebaskan atau dicabut/
dipecat dari mereka.

Kekuasaan orang tua di dalam KUH Perdata, terbagi dalam 2 (dua) bagian, yaitu:
1. Kekuasaan orang tua terhadap diri anak.
2. Kekuasaan orang tua terhadap harta benda anak.

Seorang anak yang sah sampai pada waktu ia mencapai usia dewasa atau kawin,
berada di bawah kekuasaan orang tuanya (ouderlijhe macht) oleh kedua orang tua
bersama, tetapi lazimnya dilakukan oleh si ayah. Apabila si ayah tidak mampu
untuk memikulnya, misalnya sedang sakit keras, sakit ingatan, sedang bepergian,
dengan tidak ada ketentuan tentang nasibnya atau sedang berada di bawah
pengawasan (curatele) kekuasaan tersebut dilakukan oleh isterinya. Kekuasaan
orang tua, terutama kewajiban untuk mendidik dan memelihara anaknya, meliputi
pemberian nafkah, pakaian dan perumahan. Pada umumnya seorang anak yang
masih di bawah umur tidak cakap untuk bertindak sendiri, sehingga harus diwakili
oleh orang tua.
Kekuasaan orang tua terhadap harta benda anak, meliputi:
1. Pengurusan (het beheer)
2. Menikmati hasil (het vrucht genot)
3. Pengurusan (het beheer)
4. Pengurusan harta benda anakj bertujuan untuk mewakili anak untuk melakukan
tindakan hukum oleh karena anank itu dianggap tidak cakap (on bekwaam).

Seorang pemangku kekuasaan orang tua terhadap anak yang belum dewasa
mempunyai hak mengurus (baheer) atas harta benda anak itu (Pasal 307 KUH
Perdata). Pemangku kekuasaan orang tua wajib mengurus harta benda naknya dan
harus bertanggung jawab baik atas kepemilikan harta itupun atas hasil barang-
barang yang mana ia perbolehkan menikmatinya. (Pasal 308 KUH Perdata) dan
menurut Pasal 309 KUH Perdata ia tidak memindah tangankan harta benda anak
yang belum dewasa.
Seseorang yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian berhak menikmati
segala hasil harta kekayaan anak-anaknya yang belum dewasa. Apabila orang tua
tersebut dihentikan dari kekuasaan orang tua atau perwalian maka penikmatan itu
beralih kepada orang yang menggantikannya (Pasal 311 KUH Perdata). Hak
penikmatan tersebut adalah meliputi seluruh harta benda si anak, kecuali (Pasal
313 KUH Perdata) yaitu:
1. barang-barang yang diperoleh sianak dari hasil kerja dan usahanya sendiri.
2. barang-barang yang dihasilkan atau diwariskan dengan ketentuan
bahwa si bapak tidak dapat menikmati hasilnya.

Hak penikmatan berakhir apabila:


1. Matinya sianak (Pasal 314 KUH Perdata)
2. Anak menjadi dewasa
3. Pencabutan kekuasaan orang tua.

Kekuasaan orang tua akan berakhirnya, apabila:


1. Pencabutan/pemecatan (on tzet) atau pembebasan (on heven) kekuasaan orang
tua.
2. Anak menjadi dewasa (meerderjaring).
3. Perkawinan bubar.
4. Matinya si anak.

Pencabutan atau pemecatan kekuasaan orang tua berdasarkan alasan tidak cakap
(ongeschikt) atau tidak mampu (oumachlig) untuk me-lakukan kewajiban
memelihara dan mendidik anaknya. Seorang ayah atau ibu mempunyai sifat-sifat
yang menyebabkan ia tidak lagi dapat dianggap cakap untuk melakukan
kekuasaan orang tua. Dalam hal ini hanya dapat dimintakan oleh Dewan
Perwalian (Voogdijraad) atau Kejaksaan dan tidak dapat dipaksakan jika si ayah
atau ibu itu melawannya.
Selanjutnya dapat juga dimintakan pada hakim supaya orang tua itu dicabut
kekuasaannya (ontzet), berdasarkan alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-
undang, antara lain jika:
1. orang tua itu salah mempergunakan atau sangat melalaikan kewajibannya
sebagai orang tua,
2. berkelakuan buruk,
3. dihukum karena sesuatu kejahatan yang ia lakukan bersama-sama dengan
anaknya atau dihukum penjara selama duan tahun atau lebih.

Pencabutan kekuasaan (ont-zetting) dapat dimintakan oleh si isteri terhadap


suaminya atau sebaliknya, dan dapat pula dimintakan oleh anggota-anggota
keluarga yang terdekat, Dewan Perwalian (Voogdij-raad) atau Kejaksaaan.

Pembebasan kekuasaan orang tua didasarkan pada tidak cakapnya orang tua atau
tidak mampu memenuhi kepentingan-kepentingan dasar anak-anaknya. Ada
perbedaan pembebasan kekuasaan orang tua (ontheffing) dan pencabutan
kekuasaan orang tua (onzetting), ontheffing ditujukan pada orang tua yang
melakukan kekuasaan orang tua (biasanya si ayah), sedangkan ontzetting dapat
ditujukan pada masing-masing orang tua.

Menurut Undang-Undang Perkawinan (UUP), kekuasaan orang tua terhadap anak


berlangsung hingga anak itu mencapai umur 18 tahun, atau anak itu kawin, atau
ada pencabutan kekuasaan orang tua oleh pengadilan (Pasal 47 ayat (1) UUP).
Kekuasaan orang tua meliputi :

1. Kekuasaan terhadap pribadi anak, tersimpul dalam Pasal 45 ayat (1) UUP yang
berbunyi : “kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya”. Kekuasaan ini meliputi nafkah, tempat tinggal, pendidikan,

pengarahan kehidupan masa depan anak, menetapkan perkawinan anak;

2. Kekuasaan terhadap perbuatan anak, tersimpul dalam Pasal 47 ayat (2) UUP
yang berbunyi : “orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan
hukum di dalam dan di luar pengadilan”. Kekuasaan ini meliputi perbuatan
hukum di dalam dan di luar pengadilan, akibat hukum yang timbul dari perbuatan
anak, mengarahkan perbuatan anak untuk kebaikan.

3. Kekuasaan terhadap harta benda anak, tersimpul dalam Pasal 48 UUP, meliputi
mengurus, menyimpan, membelanjakan harta anak untuk kepentingan anak
sebelum ia berumur 18 tahun, atau sebelum ia kawin. Dengan pembatasan tidak
boleh memindahkan hak atau manggadaikan barang-barang tetap milik anak.

Pencabutan kekuasaan orang tua apabila orang tua sangat melalaikan


kewajibannya terhadap anak-anak, atau bekelakuan buruk sekali, maka salah satu
atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau
lebih untuk waktu tertentu. Yang mengajukan permintaan pencabutan itu adalah:
(Pasal 49 ayat (1) UUP)

1. orang tua, apabila salah satunya dimintakan pencabutan;

2. keluarga anak berada dalam garis lurus ke atas;


3. saudara kandung yang telah dewasa;

4. pejabat yang berwenang; Permintaan pencabutan kekuasaan orang tua diajukan


kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal orang
tua yang bersangkutan. Dalam pengertian kekuasaan ini, tidak termasuk
kekuasaan wali nikah. Meskipun kekuasaan orang tua dicabut, mereka masih tetap
berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak yang bersangkutan
(Pasal 49 ayat (2) UUP). Mengenai pengertian dari “sangat melalaikaan
kewajiban” dan “berkelakuan buruk sekali”, terserah kepada pertimbangan Hakim
Pengadilan Negeri.
Akibat pencabutan kekuasaan orang tua ialah orang tua kehilangan kekuasaan atas
anaknya, anak ditaruh di bawah perwalian, kekuasaan orang tua akan timbul lagi,
apabila alasan pencabutan sudah hilang atau lenyap.
3. Perwalian (Voogdij)

Perwalian adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak
berada dibawah kekuasaan orang tua. Pada umumnya dalam setiap perwalian
hanya ada seorang wali saja, kecuali apabila seorang wali ibu (moerdervoogdes)
kawin lagi, dalam hal mana suaminya menjadi wali ayah. Jika salah satu dari
orang tua tersebut meninggal, maka menurut undang-undang orang tua yang
lainnya dengan sendirinya menjadi wali bagi anak-anaknya.
1. anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang
tua;
2. anak sah yang orang tuanya telah bercerai;
3. anak yang lahir di luar perkawinan
(natuurlijk kind).

Seorang anak yang lahir di luar perkawinan berada di bawah perwalian orang tua
yang mengakuinya. Apabila seorang anak yang tidak berada di bawah orang tua
ternyata tidak mempunyai wali, hakim akan mengangkat seorang wali atas
permintaan salah satu yang berkepentingan atau karena jabatannya (datieve
voogdij). Ada pula kemungkinan orang tuanya dalam surat wasiat mengangkat
seorang wali untuk anaknya.
Ada beberapa macam wali, yaitu:
1. Wali yang ditunjuk oleh orang tua semasa ia masih hidup (melalui surat
wasiat). Pada masa orang tua masih hidup telah menunjukkan wali dari anak-
anaknya kalau ia meninggal sebelum anak itu dewasa melalui akte notaris.
2. Wali menurut undang-undang. Siapa yang terlama hidup maka ia yang akan
menjadi wali (ayah atau ibunya) (Pasal 345 KUH Perdata).
3. Wali yang diangkat oleh hakim. Orang tuanya meninggal sehingga wali
ditunjuk oleh hakim. Seseorang yang diangkat menjadi wali oleh hakim, harus
menerima pengangkatan itu, kecuali jika ia seorang isteri yang kawin atau jika ia
mempunyai alasan-alasan menurut undang-undang untuk minta dibebaskan dari
pengangkatan itu. Alasan-alasan itu antara lain jika ia, antuk kepentingan negara
harus berada (luar negeri, jika ia seorang anggota tentara dalam dinas aktif

jika ia sudah berusia 60 lebih, jika ia sudah menjadi wali untuk seorang anak lain
atau jika sudah mempunyai 5 (lima) orang anak yang sah.
Ada golongan yang tidak dapat menjadi wali adalah orang yang sakit ingatan,
orang yang belum dewasa, orang berada di bawah curatele, orang yang telah
dicabut kekuasaanya sebagai orang tua, dicabut perwaliannya, kecuali untuk anak-
anaknya.
Cara penunjukkan wali, menurut ketentuan Pasal 51 KUH Perdata ada 3 (tiga)
macam, yaitu:
1. secara lisan di hadapan dua orang saksi;
2. secara tertulis dengan surat wasiat;
3. secara tertulis dengan penetapan hakim, dalam hal terjadi pencabutan
kekuasaan wali.

Pasal 51 ayat (2) UUP, menegaskan bahwa yang dapat ditunjuk sebagai wali
adalah keluarga anak atau orang lain. Namun siapa yang dimaksud dengan
keluarga atau orang lain tidak terdapat penjelasannya. Menurut Pasal 49 ayat (1)
UUP mengenai orang yang dapat mengajukan permohonan pencabutan kekuasaan
orang tua. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan
keluarga adalah :
1. 1. keluarga anak dalam garis lurus ke atas, misalnya kakek baik dari pihak
bapak maupun dari pihak ibu.
2. saudara kandung yang telah dewasa, yaitu kakak anak tersebut.

Di samping kemungkinan orang lain dengan alasan tertentu ditunjuk oleh orang
tua sebagai wali anaknya. Penunjukan dapat dilakukan secara lisan di muka dua
orang saksi atau dengan wasiat. Syarat-syarat seseorang dapat ditunjuk sebagai
wali (Pasal 51 ayat (2) UUP) sebagai berikut:
1. dewasa
2. berpikiran sehat;
3. berprilaku adil
4. jujur
5. berkelakuan baik.

Seorang wali diwajibkan mengurus harta benda anak yang berada di bawah
pengawasannya dengan sebaik-baiknya dan ber-tanggung jawab tentang kerugian-
kerugian karena pengurusan yang buruk. Dalam kekuasaan wali dibatasi oleh
Pasal 393 KUH Perdata yang melarang seorang wali meminjam uang untuk si
anak. Tidak diperkenankan pula menjual, menggadaikan benda-benda yang tak
bergerak, surat-surat sero dan surat-surat penagihan dengan tidak mendapat izin
lebih dahulu dari hakim. Selanjutnya seorang wali diwajibkan memberikan suatu
penutupan pertanggungjawaban, apabila tugasnya telah berakhir.
Pertanggungjawaban ini dilakukan pada si anak, apabila ia telah menjadi dewasa
atau pada warisnya jikalau anak itu telah meninggal.
Kewajiban wali di dalam Pasal 51 UUP, yaitu: 1. Wali wajib mengurus anak yang
berada dibawah kekuasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan
menghormati agama kepercayaan anak itu.
2. Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah
kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua peru bahan-
perubahan harta benda anak tersebut .

3. Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah
perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan kesalahan dan kelalaiannya.

Perwalian akan berakhir, apabila (Pasal 53 UUP):

1. Wali sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak perwalian tersebut.

2. Wali berkelakuan buruk sebagai walinya.

4. Pendewasaan (handlichting)

Pendewasaan adalah suatu upaya yang digunakan untuk meniadakan keadaan


belum dewasa baik untuk tindakan tertentu saja atau secara keseluruhan. Dengan
kata lain, upaya hukum yang menempatkan orang yang belum dewasa menjadi
sama dengan orang dewasa. Seorang anak yang masih di bawah umur dengan
seorang yang sudah dewasa, agar anak mampu bertindak sendiri di dalarn
pengurusan kepentingan-kepentingan sendiri maka dilakukanlah pendewasaan
adalah dengan suatu pernyataan tentang seorang yang, be-lum mencapai usia
dewasa sepenuhnya atau hanya untuk beberapa hal saja dipersamakan dengan
seorang yang sudah dewasa.

Pendewasaan pada umumnya merupakan suatu upaya untuk memberikan


wewenang kepada seorang anak di bawah umur (minderjaring) untuk dapat
wenang berbuat hukum, di luar hal melangsungkan perkawinan. Alat
pendewasaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Alat pendewasaan yang sempurna adalah keadaan di mana anak yang


minderjaring (di bawah umur) menjadi orang yang merderjaring (dewasa), tetapi
dengan syarat orang yang mengajukan permohonan itu telah berumur 20 tahun
genap. Jika seseorang anak yang telah memperoleh alat pendewasaan yang
sempurna, wewenang berbuat hukumnya sama dengan wewenang orang dewasa.
Harus diajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal. Setelah mendapat
persetujuan dengan pertimbangan Mahkamah Agung (Hogerecht shock), baru
dikeluarkan suatu surat keputusan pendewasaan yang disebut Venia Estatis.

2. Alat pendewasaan yang terbatas hanya merupakan kewenangan berbuat dari


seseoarng yang minderjaring yang diizinkan oleh Pengadilan Negeri atas
permintaan yang bersangkutan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu saja.
Sipemohon pendewasaan ini masih berumur di bawah 20 tahun dan tidak boleh
kurang dari 18 tahun. Pemberian pendewasaan ini dapat dicabut apabila si
pemohon melakukan perbuatan hukum selain yang
ditentukan dalam izin pemberiannya.
Permohonan untuk dipersamakan sepenuhnya dengan se-orang yang sudah
dewasa, dapat diajukan oleh seorang anak yang sudah mencapai umur 20 tahun
kepada Presiden dengan melampirkan surat kelahiran atau lain-lain bukti bahwa
telah mencapai umur tersebut. Presiden akan memberikan keputusan setelah
mendapat nasihat dari Mahkamah Agung, untuk itu akan mendengar orang-orang
tua anak tersebut atau anggota keluarga yang dianggapnya perlu. Begitu pun
dalam hal pemohon berada di bawah perwalian, wali dan wali pengawas dapat
juga didengar keterangannya.

Apabila permohonan diluluskan, si pemohon memperoleh kedudukan yang sama


dengan seorang dewasa. Tetapi dalam hal perkawinan masih berlaku Pasal 35 dan
37 KUH Perdata, berkaitan dengan perihal pemberian izin, yaitu harus mendapat
izin dari orang tuanya, atau dari hakim. Pernyataan persamaan yang hanya
meliputi beberapa hal saja, misalnya yang berhubungan dengan pengurusan suatu
perusahaan dapat diberikan oleh pengadilan negeri pada seorang anak yang sudah
berumur 18 tahun.

5. Pengampuan (curatele)

Pengampuan adalah keadaan orang yang telah dewasa yang disebabkan sifat-sifat
pribadinya dianggap tidak cakap mengurus kepentingannya sendiri atau
kepentingan orang lain yang menjadi tanggungannya, sehingga pengurusan itu
harus diserahkan kepada seseorang yang akan bertindak sebagai wakil menurut
undang-undang dari orang yang tidak cakap tersebut. Orang yang telah dewasa
yang dianggap tidak cakap tersebut disebut kurandus, sedangkan orang yang
bertindak sebagai wakil dari kurandus disebut pengampu (kurator).
Orang-orang yang ditempatkan di bawah pengampuan yaitu:
1. orang dungu
2. orang sakit ingatan
3. orang boros

Orang-orang yang berhak mengajukan pengampuan, ialah:


1. Bagi orang dungu adala pihak yang merasa tidak mampu untuk mengurus
kepentingannya sendiri;
2. Bagi orang yang sakit ingatan adalah setiap anggota keluarga sedarah dan istri
atau suami, dan jaksa dalam hal curandus tidak mempunyai istri atau suami
ataupun keluarga sedarah di wilayah Indonesia;
3. Bagi orang yang boros adalah setiap anggota keluarga sedarah dan sanak
keluarga dalam garis ke samping sampai derajat keempat dan/istri atau suaminya.

Permintaan untuk menaruh seorang di bawah pengampuan, harus diajukan kepada


pengadilan negeri dengan menguraikan peristiwa-peristiwa yang menguatkan
persangkaan tentang adanya alasan-alasan untuk menaruh orang di bawah
pengawasan, dengan disertai bukti-bukti dan saksi-saksi yang dapat diperiksa oleh
hakim. Pengadilan akan mendengar saksi-saksi, begitupun anggota-anggota
keluarga dari orang yang dimintakan pengampuan dan akhirnya orang tersebut
akan diperiksa. Jikalau hak, menganggap perlu, ia berwenang untuk selama
pemeriksaan jalan, mengangkat seorang pengawas sementara guna mengurus
kepentingan orang itu.

Putusan pengadilan yang menyatakan bahwa orang itu ditaruh di bawah curatele,
harus diumumkan dalam Berita Negara. Orang yang ditaruh di bawah
pengampuan berhak memperoleh kekuatan tetap, pengadilan negeri akan
mengangkat seorang pengampu atau kurator. Terhadap seorang yang sudah kawin
sebagai pengampu harus diangkat suami atau isterinya, kecuali jika ada hal-hal
yang penting yang tidak mengizinkan pengangkatan itu. Dalam putusan hakim
selalu ditetapkan, bahwa pengawasan atas curatele itu diserahkan pada BHP.
Kedudukan seorang yang telah ditaruh di bawah pengampuan sama seperti
seorang yang belum dewasa, tidak dapat lagi melakukan perbuatan-perbuatan
hukum secara sah. Akan tetapi seorang yang ditaruh di bawah pengampuan atas
alasan boros, menurut undang-undang masih dapat membuat wasiat dan juga
masih dapat melakukan perkawinan serta membuat perjanjian perkawinan,
meskipun untuk perkawinan ini ia selalu harus mendapat izin dan bantuan kurator
serta BHP. Bahwa seorang yang ditaruh di bawah pengampuan atas alasan sakit
ingatan tidak dapat membuat suatu testamen dan juga tidak dapat melakukan
perkawinan karena untuk perbuatan-perbuatan tersebut, diperlukan pikiran yang
sehat dan kemauan yang bebas.
Pengampuan mulai berlaku sejak hari keputusan atau ketetapan pengadilan yang
diucapkan. Dengan diletakkannya seseorang di bawah pengampuan, maka orang
tersebut mempunyai kedudukan yang sama dengan orang yang belum cukup
umur, dalam arti dinyatakan menjadi tidak cakap berbuat hukum dan semua
perbuatan yang dilakukannya dapat dinyatakan batal.
Bagi orang yang berada dibawah pengampuan karena keborosan, maka
ketidakcakapannya berbuat hanya berkaitan dengan perbuatan-perbuatan hukum
dalam bidang harta kekayaan saja. Sedangkan untuk perbuatan-perbuatan hukum
lainnya, misalnya perkawinan, itu tetap sah. Terhadap seorang yang berada di
bawah pengampuan karena dungu maka ia sama dengan orang yang sakit ingatan.

Seseorang yang sakit ingatan jika melakukan perbuatan hukum sebelum ia


dinyatakan di bawah pengampuan, dengan sendirinya perbuatannya dapat pula
dimintakan pembatalan. Meskipun demikian masih ada perkecualiannya, yaitu
jika yang bersangkutan melakukan perbuatan melanggar hukum (onrecht matige
daad, maka tetap bertanggung gugat, artinya ia harus membayar ganti rugi yang
ditimbulkan oleh semua kesalahannya itu.
Pengampuan akan berakhir dengan 2 (dua) macam cara, yaitu:
1. Secara Absolut, karena orang yang berada di bawah pengampuan
meninggal dunia dan adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa sebab-
sebab di bawah pengampuan telah hapus.

2. Secara Relatif, karena:

a. pengampu menanginggal dunia;

b. pengampu dipecat atau dibebastugaskan;

c. suami diangkat sebagai pengampu yang dahulunya berstatus sebagai orang yang
berada dibawah pengampu(dahulu berada di bawah pengampu karena alas an-
alasan tertentu)

Dengan berakhirnya pengampuan, maka berakhirnya tugas dan kewajiban


pengampu. Menurut ketentuan Pasal 141 KUH Perdata bahwa berakhirnya
pengampuan harus diumumkan sesuai dengan formalitas yang harus dipenuhi
seperti pada waktu permulaan pengampuan. Di samping itu bahwa ketentuan-
ketentuan berakhirnya perwalian seluruhnya mutatis mutandis berlaku pula
berakhirnya pengampuan (Pasal 452 ayat (2) KUH Perdata).

F. Ketidakhadiran/Orang yang Hilang

Ketidakhadiran adalah ketidak beradaan seseorang ditempat atau seseorang


meninggalkan tempat dengan tidak memberikan kuasa pada seseorang untuk
mengurus kepentingan-kepentingan harus diurus. Ada 3 (tiga) keadaan tidak hadir
seseorang, yaitu:

1. Pengambilan tindakan sementara, di mana jika ada alasan-alasan yang


mendesak untuk mengurus seluruh

atau sebagian harta kekayaannya. Tindakan sementara ini dimintakan kepada


Pengadilan Negeri oleh orang yang mempunyai kepentingan terhadap harta
kekayaannya. Misalnya istrinya, para kreditur, sesama pemegang saham dan lain-
lain, juga jaksa dapat memohon tindakan sementara tersebut. Dalam tindakan
sementara ini hakim memerintahkan Balai Harta Peninggalan (BPH) untuk
mengurus seluruh harta kekyaan serta kepentingan dari orang tak hadir.
2. Kemungkinan sudah meninggal. Seseorang dapat diputuskan sudah meninggal
jika:

a. Tidak hadir 5 tahun, bila tidak meninggalkan surat kuasa (Pasal 467 KUH
Perdata), dimulai pada hari ia pergi tidak ada kabar yang diterima dari orang
tersebut atau sejak kabar terakhir diterima.

b. Tidak hadir 10 tahun, bila surat kuasa ada tetapi sudah habis berlakunya (Pasal
470 KUH Perdata), dimulai pada hari ia pergi tidak ada kabar yang diterima dari
orang tersebut atau sejak kabar terakhir diterima.

c. Tidak hadir 1 tahun, bila orangnya termasuk awak atau penumpang kapal laut
atau pesawat udara (Stbl. 1922 No. 455), dimulai sejak adanya kabar terakhir dan
jika tidak ada kabar sejak hari berangkatnya.

d. Tidak hadir 1 tahun, jika orangnya hilang pada suatu peristiwa fatal yang
menimpa sebuah kapal laut atau pesawat udara (Stbl. 1922 No. 455), di mulai
sejak tanggal terjadinya peristiwa.

e. Dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975, dikatakan bahwa apabila salah


satu pihak meninggalkannya 2 tahun berturut-turut, pihak yang ditinggalkan boleh
mengajukan perceraian.

3. Masa pewarisan definitif. Masa ini terjadi apabila lewat 30 tahun sejak tanggal
tentang “mungkin sudah meninggal” atas keputusan hakim, atau setelah lewat 100
tahun setelah lahirnya si tak hadir. Akibat-akibat permulaan masa pewarisan
definitif adalah

a. Semua jaminan dibebaskan

b. Para ahli waris dapat mempertahankan pembagian harta warisan sebagaimana


telah dilakukan atau membuat pemisahan dan pembagian definitif.

c. Hak menerima warisan secara terbatas berhenti dan para ahli waris dapat
diwajibkan menerima warisan atau menolaknya.
Seandainya orang yang tidak hadir kembali setelah masa pewarisan definitif, ia
ada hak untuk meminta kembali hartanya dalam keadaan sebagaimana adanya
berikut harga dari harta yang tidak dipindatangankan, semuanya tanpa hasil dan
pendapatannya (Pasal 486 KUH Perdata).

Ketidakhadiran sesorang untuk mgurus kepentingannya, maka atas permintaan


orang yang berkepentingan ataupun atas permintaan jaksa, hakim untuk sementara
dapat memerintahkan BHP untuk mengurus kepentingan-kepentingan orang yang
bepergian tersebut. Jika kekayaan orang tersebut tidak begitu besar maka dapat
diserahkan pada anggota keluarga yang ditunjuk oleh hakim.

Adapun kewajiban BHP, yaitu:

1. Membuat pencatatan harta yang diurusnya

2. Membuat daftar pencatatan harta, surat-surat lain uang kontan, kertas berharga
dibawa ke kantor BHP

3. Memperhatikan segala ketentuan untuk sesorang wali mengenai pengurusan


harta seorang anak (Pasal 464 KUH Perdata)

4. Tiap tahun memberi pertanggung jawaban pada jaksa dengan memperlihatkan


surat-surat pengurusan dan efek-efek (Pasal 465 KUH Perdata)

BHP berhak atas upah yang besarnya sama dengan seorang wali dalam mngurus
kepentingan orang yang tidak hadir (Pasal 411 KUH Perdata).

G. Domisili

Domisili adalah terjemahan dari domicile atau woonplaats yang artinya tempat
tinggal. Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, domisili atau tempat kediaman
itu adalah “tempat di mana seseorang dianggap hadir mengenai hal melakukan
hak-haknya dan memenuhi kewajibannya juga meskipun kenyataannya dia tidak
di situ”. Menurut KUH Perdata, tempat kediaman itu seringkali ialah rumahnya,
kadang-kadang kotanya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa setiap orang
dianggap selalu mempunyai tempat tinggal di mana ia sehari-harinya melakukan
kegiatannya atau di mana ia berkediaman pokok. Kadang-kadang menetapkan
tempat kediaman seseorang itu sulit, karena selalu berpindah-pindah (banyak
rumahnya). Untuk memudahkan hal tersebut dibedakan antara tempat kediaman
hukum (secara yuridis) dan tempat kediaman yang sesungguhnya.

Tempat kediaman hukum adalah “tempat di mana seseorang dianggap selalu hadir
berhubungan dengan hal melakukan hak-haknya serta kewajiban-kewajibannya,
meskipun sesungguhnya mungkin ia bertempat tinggal di lain tempat. Menurut
Pasal 77 dan Pasal 1393 KUH Perdata, tempat tinggal itu adalah “tempat tinggal
di mana sesuatu perbuatan hukum harus dilakukan”.
Bagi orang yang tidak mempunyai tempat kediaman tertentu,maka tenpat tinggal
dianggap di mana ia sungguh-sungguh berada. Arti hukum domisili adalah tempat
di mana seseorang harus dianggap selalu berada untuk memenuhi kewajiban serta
melaksanakan hak-haknya itu. Contoh, seorang Anggota DPR RI yang pada
kenyataannya bertempat tinggal di Kendal akan dikatakan berdomisili di Jakarta
karena meskipun tempat tinggalnya di Kendal namun di Jakarta adalah tempat
dimana ia sewaktu-waktu dapat dipanggil dan melakukan hak-hak serta
kewajibannya.
Berdasarkan KUH Perdata dan undang-undang lainya, domisili ditentukan
berdasarkan tempat di mana perbuatan hukum harus atau dapat dilakukan oleh
kompetensi suatu instansi yang bersangkutan. Misalnya, Pasal 76 KUH Perdata,
perkawinan harus dilangsungkan dihadapan pegawai catatan sipil dari tempat
tinggal salah satu pihak yang hendak kawin.
Domisili juga penting bagi seseorang dalam hal untuk menentukan atau
menunjukkan suatu tempat di mana berbagai perbuatan hukum harus dilakukan,
misalnya mengajukan gugatan, pengadilan mana yang berwenang mengadili. Di
samping itu, juga untuk mengetahui dengan siapakah seseorang itu melakukan
hubungan hukum serta apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing.

Macam-macam domisili, yaitu:


1. Tempat tinggal sesungguhnya yaitu tenpat yang bertalian dengan hak-hak
melakukan wewenang seumumnya. Tempat tinggal sesungguhnya dibedakan
antara tempat tinggal sukarela/bebas yang tidak terikat/tergantung hubungannya
dengan orang lain.
2. Tempat tinggal yang wajib/tidak bebas yaitu yang ditentukan oleh hubungan
yang ada antara seseorang dengan orang lain. Misalnya: tempat tinggal suami istri,
tempat tinggal anak yang belum dewasa di rumah orang tuanya, orang di bawah
pengampuan di tempat curatornya.
3. Tempat tinggal yang dipilih, yaitu tempat tinggal yang berhubungan dengan
hal-hal melakukan perbuatan hukum tertentu saja. Tempat tinggal yang dipilih ini
untuk memudahkan pihak lain atau

untuk kepentingan pihak yang memilih tempat tinggal tersebut.


Tempat tinggal yang dipilih ada 2 (dua) macam, yaitu:
1. Tempat kediaman yang dipilih atas dasar undang-undang, misalnya dalam
hukum acara dalam menentukan waktu eksekusi dari vonis.
2. Tempat kediaman yang dipilih secara bebas misalnya dalam melakukan
pembayaran memilih kantor notaris (Sri Soedewi M. Sofwan).

Menurut subekti ada juga yang disebut “rumah kematian” atau “domisili
penghabisan”, yaitu rumah di mana seseorang meninggal dunia. Rumah
penghabisan ini mempunyai arti penting untuk menentukan hukum waris yang
harus diterapkan, untuk menentukan kewenangan mengadili kalau ada gugatan.
Tempat kediaman untuk Badan Hukum disebut tempat kedudukan badan hukum
ialah tempat dimana pengurusnya menetap.
Menurut KUH Perdata, domisili/tempat tinggal itu ada 2 (dua) jenis, yaitu:
1. Tempat tinggal umum terdiri dari tempat tinggal sukarela atau bebas. Pasal 17
KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang dianggap mempunyai tempat
tinggal di mana ia menempatkan kediaman utamanya. Dalam hal seseorang tidak
mempunyai tempat kediaman utama maka tempat tinggal dimana ia benar-benar
berdiam adalah tempat tinggalnya.
2. Tempat tinggal khusus atau yang dipilih, menurut Pasal 24 KUH Perdata ada 2
(dua) macam, yaitu tempat tinggal yang terpaksa dipilih ditentukan undang-
undang (Pasal 106 (2) KUH Perdata) dan tempat tinggal yang dipilih secara
sukarela harus dilakukan secara tertulis artinya harus dengan akta (Pasal 24 ayat
(1) KUH Perdata), bila ia pindah maka untuk tindakan hukum yang dilakukannya
ia tetap bertempat tinggal di tempat yang lama.
DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonsesia, Citra Aditya Bakti,


Bandung.

Ali Afandi, 1997, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Rineka
Cipta, Jakarta.

Riduan Syahrani, 2004, Seluk Beluk dan Azas-azas Hukum Perdata, Alumni,
Bandung.

Soedharyo Soimin, 2005, Himpunan Yurisprudensi tentang Hukum Perdata,


Cetakan Ke-2, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.

-------------, 2007, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Cetakan Ke-3,


Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.

Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2001, Kitab Undang-undang Hukum Perdata,


Pradnya Paramita, Jakarta.

Subekti, 2003, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta.

Vollmar, 1996, Pengantar Hukum Perdata 1, Rajawali Press, Jakarta.


HUKUM BENDA

PENGERTIAN BENDA

Menurut pasal 499 KUHPerdata, benda adalah segala sesuatu yang dapat menjadi
objek hak milik. Yang dapat menjadi objek hak milik dapat berupa barang dan
dapat pula berupa hak cipta, hak paten, dan lain-lain.11

Didalam KUHPerdata, kata benda mempunyai dua arti, yaitu barang berwujud
dan bagian dari pada harta kekayaan, yang termasuk zaak selain dari pada barang
yang berwujud, juga beberapa hak tertentu sbagai barang yang tak berwujud, juga
sebagai barang yang tak berwujud. Selain pengertian tersebut, benda dapat berarti
bermacam – macam, yaitu :
a. Benda sebagai obyek hukum (Pasal 500KUHPerdata)
b. Benda sebagai kepentingan (Pasal 1354 KUHPerdata)
c. Benda sebagai kenyataan hukum (Pasal 1263 KUHPerdata)
d. Benda sebagai perbuatan hukum (Pasal 1792 KUHPerdata)

PENGERTIAN HUKUM BENDA


Hukum Benda adalah Peraturan –peraturan hukum yang mengatur
tentang benda atau barang-barang dan Hak Kebendaan. Menurut Prof. Soediman
Kartohadiprodjo, hukum kebendaan ialah semua kaidah hukum yang mengatur
apa yang diartikan dengan benda dan mengatur hak – hak atas benda. Adapun
menurut Prof. L.J.Apeldoorn, hukum kebendaan adalah peraturan mengenai hak –
hak kebendaan.

11
Meliala, Djaja S., 2015, Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan,
Bandung, Nuansa Aulia.
DASAR HUKUM BENDA
Pasal 499 KUH Perdata :“ Menurut paham undang-undang yang dinamakan
dengan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap- tiap hak yang dapat dikuasai
oleh hak milik.”

Benda yang dalam hukum perdata diatur dalam Buku II BW, pengaturan tentang
hukum benda dalam Buku II BW ini mempergunakan system tertutup, artinya
orang tidak diperbolehkan mengadakan hak hak kebendaan selain dari yang telah
diatur dalam undang undang ini. Selain itu, hukum benda bersifat memaksa yang
berarti harus dipatuhi,tidak boleh disimpangi, termasuk membuat peraturan baru
yang menyimpang dari yang telah ditetapkan .

SISTEM HUKUM BENDA


Sistem pengaturan hukum benda adalah sistem tertutup, yang berarti orang tidak
dapat mengadakan hak-hak kebendaan baru selain yang sudah ditetapkan dalam
undang-undang. Jadi hanya dapat mengadakan hak kebendaan terbatas pada yang
sudah ditetapkan dalam undang-undang saja (Sri Soedewi Masjchoen Sofwan,
1981: 2)

MACAM-MACAM BENDA

a. Barang – barang yang berwujud dan barang – barang tidak berwujud

b. Barang – barang yang bergerak dan barang – barang yang tidak bergerak

c. Barang – barang yang dapat dipakai habis dan barang – barang yang tidak dapat
dipakai habis

d. Barang – barang yang sudah ada (dan barang – barang yang masih akan ada

e. Barang-barang yang dalam perdagangan dan barang-barang yang diluar


perdagangan

f. Barang-barang yang dapat dibagi dan barang-barang yang tidak dapat dibagi
Menurut Pasal 540 KUHPerdata:

a. Benda bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya atau karena


penetapan undang-undang dinyatakan sebagai benda bergerak, misalnya
kendaraan, suratsurat berharga, dan sebagainya. Dengan demikian kebendaan
bergerak ini sifatnya adalah kebendaan yang dapat dipindah atau dipndahkan
(Pasal 509 KUHPerdata). Menurut Pasal 505 KUHPerdata, benda bergerak ini
dapat dibagi atas benda yang dapat dihabiskan dan benda yang tidak dapat
dihabiskan
b. Benda tidak bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya, tujuan
pemakaiannya atau karena penetapan undang-undang dinyatakan sebagai benda
tak bergerak, misalnya tanah, bangunan, dan sebagainya

ASAS ASAS HUKUM BENDA

A. Asas hukum pemaksa


Artinya berlakunya aturan-aturan itu tidak dapat disimpani oleh para
pihak, sebagimana telah kita ketahui atas suatu benda itu hanya dapat
diadakan hak kebendaan sebagaimana yang telah disebutkan dalam
undang-undang.

B. Dapat dipindahkan
Artinya semua hak kebendaan dapat dipindahtangankan, kecuali hak pakai
dan hak mendiami. Jadi, orang yang berhak tidak dapat menentukan
bahwa tidak dapat dipindahtangankan. Namun orang yang berhak juga
dapat menyanggupi bahwa ia tidak akan memperlainkan barangnya. Akan
tetapi, berlakunya itu dibatasi oleh Pasal 1337 KUHPerdata, yaitu tidak
berlaku jika tujuannya bertentangan dengan kesusilaan.

C. Asas Individualileit
Objek dari hak kebendaan selalu ada barang yang individual bepaald,
yaitu suatu barang yang dapat ditentukan. Artinya orang hanya dapat
sebagai pemilik dari barang yang berwujud yang merupakan kesatuan.
Contoh: rumah, mebel, hewan

D. Asas totaliteit
Hak kebendaan selalu melekat atas keseluruhan daripada obyeknya.
Dengan kata lain, bahwa siapa yang mempunyai hak kebendaan atas suatu
barang, ia mempunyai hak kebendaan itu atas keseluruhan barang itu dan
juga atas bagian bagiannya yang tidak tersendiri.

E. Asas prioriteit
semua hak kebendaan memberikan wewenang yang sejenis dengan
wewenang-wewenang dari eigendom, sekalipun luasnya berbeda-beda.
Sifat ini membawa serta bahwa iuran in realiena didahulukan
(674,711,720,756,1150) KUHPerdata.

F. Asas tidak dapat dipisahkan


Artinya yang berhak tak dapat memindahtangankan sebagian dari pada
wewenang yang termasuk suatu hak kebendaan yang ada padanya,
misalnya pemilik.

HAK KEBENDAAN

Hak kebendaan, ialah hak mutlak atas suatu benda di nama hak itu memberikan
kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapa pun
juga (djaja S. Meliala, 2015 : 8)

Hak kebendaan dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu :


1. Hak menikmati, seperti hak milik, bezit, hak memungut (pakai) hasil, hak pakai
dan mendiami
2. Hak memberi jaminan, seperti gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotek, dan
system resi gudang

Macam-macam hak kebendaan:


Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan adalah :
1. Hak milik
hak milik adalah hak untuk menikmati suatu benda dengan sepenuhnya
dan untuk menguasai benda itu dengan sebebas-bebasnya, asalkan tidak
bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum
2. Bezit
Menurut KUHPerdata, bezit diterjemahkan dengan kedudukan berkuasa,
yaitu kedudukan seseorang yang menguasai suatu kebendaan, baik dengan
diri sendiri mupun dengan perantaraan orang lain, dan yang
mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yang memiliki
kebendaan itu.
3. Hak memungut hasil
hak memungut hasil adalah hak kebendaan untuk menganmbil hasil dari
barang milik orang lain, seakan-akan dia sendiri pemiliknya, dengan
kewajiban memelihara barang tersebut sebaik-baikinya (pasal 756
KUHPerdata)
4. Hak pakai dan mendiami
Pasal 818 KUHPerdata menentukan hak pakai dan hak mendiami
diperoleh dan
berakhir dengan cara yang sama seperti hak pakai hasil

Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan adalah :


1. Gadai
2. Fidusia
3. Hipotek
4. Hak tanggungan
5. System resi gudang
DAFTAR PUSTAKA

Meliala, Djaja S., 2015, Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan
Hukum Perikatan, Bandung, Nuansa Aulia.
Dominikus Rato, 2016, Hukum Benda dan Harta Kekayaan Adat, Yogyakarta,
LaksBang PRESSindo

Muhammad, Abdulkadir .2014. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra


Aditya Bakti

Djamali, Abdoel.2012. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo


Persada
HUKUM PERIKATAN

1.   Ketentuan Umum Perikatan


Perikatan adalah terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda verbintenis.
Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain.
Hal yang mengikat itu adalah peristiwa hukum yang dapat berupa :
a.    Perbuatan, misalnya jual beli, utang-piutang, hibah.
b.   Kejadian, misalnya kelahiran, kematian,  Keadaan, misalnya rumah susun
Peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum antara pihak yang satu
dengan pihak lainnya. Dalam hubungan tersebut, setiap pihak memiliki hak dan
kewajiban timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu
terhadap pihak lainnya dan pihak lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, juga
sebaliknya. Dalam hubungan utang-piutang, pihak berutang disebut debitor,
sedangkan pihak yang memberi utang disebut kreditor. Dalam hubungan jual-beli,
pihak pembeli berposisi sebagai debitor, sedangkan pihak penjual sebagai
kreditor. Dalam perjanjian hibah, pihak pemberi hibah berposisi sebagai debitor,
sedangkan pihak penerima hibah sebagai kreditor.
2. Pengaturan Perikatan
            Perikatan diatur dalam Buku KUH Perdata. Perikatan adalah hubungan
hukum yang terjadi karena perjanjian dan Undang-Undang. Aturan mengenai
perikatan meliputi bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum meliputi
aturan yang tercantum dalam Bab I, Bab II, Bab III (Pasal 1352 dan 1353), dan
Bab IV KUH Perdata yang belaku bagi perikatan umum. Adapun bagian khusus
meliputi Bab III (kecuali Pasal 1352 dan 1353) dan Bab V sampai dengan Bab
XVIII KUH Perdata yang berlaku bagi perjanjian-perjanjian tertentu saja, yang
sudah ditentukan namanya dalam bab-bab bersangkutan.
            Pengaturan nama didasarkan pada “sistem terbuka”, maksudnya setiap
orang boleh mengadakan perikatan apa saja, baik yang sudah ditentukan namanya
maupun yang belum ditentukan namanya dalam Undang-Undang. Sistem terbuka
dibatasi oleh tiga hal, yaitu :

a.    Tidak dilarang Undang-Undang


b.   Tidak bertentangan dengan ketertiban umum
c.    Tidak bertentangan dengan kesusilaan
            Sesuai dengan penggunaan sistem terbuka, maka pasal 1233 KUH Perdata
menetukan bahwa perikatan dapat terjadi, baik karena perjanijian maupun karena
Undang-Undang. Dengan kata lain, sumber peikatan adalah Undang-Undang dan
perikatan. Dalam pasal 1352 KUH Perdata, perikatan yang terjadi karena Undang-
Undang dirinci menjadi dua, yaitu perikatan yang terjadi semata-mata karena
ditentukan dalam Undang-Undang dan perikatan yang terjadi karena perbuatana
orang. Perikatan yang terjadi karena perbuatan orang, dalam pasal 1353 KUH
Perdata dirinci lagi menjadi perbuatan menurut hukum (rechmatig daad) dan
perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
3. Unsur-Unsur Perikatan
a.    Subjek perikatan
            Subjek perikatan disebut juga pelaku perikatan. Perikatan yang dimaksud
meliputi perikatan yang terjadi karena perjanjian dan karena ketentuan Undang-
Undang. Pelaku perikatan terdiri atas manusia pribadi dan dapat juga badan
hukum atau persekutuan. Setiap pelaku perikatan yang mengadakan perikatan
harus:
1)   Ada kebebasan menyatakan kehendaknya sendiri
2)   Tidak ada paksaan dari pihak manapun
3)   Tidak ada penipuan dari salah satu pihak, dan
4)   Tidak ada kekhilafan pihak-pihak yang bersangkutan

b.   Wenang berbuat
          Setiap pihak dalam dalam perikatan harus wenang berbuat menurut hukum
dalam mencapai persetujuan kehendak (ijab kabul). Persetujuan kehendak adalah
pernyataan saling memberi dan menerima secara riil dalam bentuk tindakan nyata,
pihak yang satu menyatakan memberi sesuatau kepada yang dan menerima
seseuatu dari pihak lain. Dengan kata lain, persetujuan kehendak (ijab kabul)
adalah pernyataan saling memberi dan menerima secara riil yang mengikat kedua
pihak. Setiap hak dalam perikatan harus memenuhi syarat-syarat wenang berbuat
menurut hukum yang ditentukan oleh undang-undang sebagai berikut:
1)   Sudah dewasa, artinya sudah berumur 21 tahun penuh
2)   Walaupun belum dewasa, tetapi sudah pernah menikah
3)   Dalam keadaan sehat akal (tidak gila)
4)   Tidak berada dibawah pengampuan
5)   Memiliki surat kuasa jika mewakili pihak lain
           Perstujuan pihak merupakan perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak
untuk saling memenuhi kewajiban dan saling memperoleh hak dalam setiap
perikatan. Persetujuan kehendak juga menetukan saat kedua pihak mengakhiri
perikatan karena tujuan pihak sudah tercapai. Oleh sebab itu, dapat dinyatakan
bahwa perikatan menurut sistem hukum prdata, baru dalam taraf menimbulkan
kewajiban dan hak pihak-pihak, sedangkan persetujuan kehendak adalah
pelaksanaan atau realisasi kewajiban dan pihak-pihak sehingga kedua belah pihak
memperoleh hak masing-masing.
             Bagaimana jika halnya salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya
sehingga pihak lainnya tidak memperoleh hak dalam perikatan ? dalam hal ini
dapat dikatakan bahwa pihak yang tidak memenuhi kewajibannya itu telah
melakukan wanprestasi yang merugikan pihak lain. Dengan kata lain, perjanjian
tersebut dilanggar oleh salah satu pihak.
c.    Objek perikatan
          Objek perikatan dalam hukum perdata selalu berupa benda. Benda adalah
setiap barang dan hak halal yang dapat dimiliki dan dinikmati orang. Dapat
dimilik dan dinikmati orang maksudnya memberi manfaat atau mendatangkan
keuntungan secara halal bagi orang yang memilikinya.
          Benda objek perikatan dapat berupa benda bergerak dan benda tidak
bergerak. Benda bergerak adalah benda yang dapat diangkat dan dipindahkan,
seperti motor, mobil, hewan ternak. Sedangkan benda tidak bergerak adalah benda
yang tidak dapat dipindahkan dan diangkat, seperti rumah, gedung. Apabila benda
dijadikan objek perikatan, benda tersebut harus memenuhi syarat seperti yang
ditetapkan oleh undang-undang. Syarat-syarat tersebut adalah :
1) Benda dalam perdagangan
2) Benda tertentu atau tidak dapat ditentukan
3) Benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud
4) Benda tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang atau benda halal
5) Benda tersebut ada pemiliknya dan dalam pengawasan pemiliknya
6) Benda tersebut dapat diserahkan oleh pemiliknya
7) Benda itu dalam penguasaan pihak lain berdasar alas hak sah
d. Tujuan perikatan
 Tujuan pihak-pihak mengadakan perikatan adalah terpenuhinya prestasi bagi
kedua belah pihak. Prestasi yang dimaksud harus halal, artinya tidak dilarang
Undang-Undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak
bertentangan dengan kesusilaan masyarakat. Prestasi tersebut dapat berbentuk
kewajiban memberikan sesuatu, kewajiban melakukan sesuatu (jasa), atau
kewajiban tidak melakukan sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata).
 4. Ketentuan Umum dan Khusus
   Dalam penerapannya, ketentuan umum dalam Bab I-IV Buku III KUH Perdata
diberlakukan untuk semua perikatan, baik yang sudah diatur dalam Bab III
(kecuali Pasal 1352 dan 1353) dan Bab V-XVIII maupun yang diatur dalam
KUHD. Menurut ketentuan Pasal 1319 KUH Perdata bahwa: “semua perjanjian
yang mempunyai nama tertentu maupun yang tidak mempunyai nama tertentu,
tunduk pada ketentuan umum yang dimuat dalam bab ini dan bab yang lalu”.
Yang dimaksud dengan “bab ini dan bab yang lalu” dalam pasal ini adalah bab
Bab II tentang perikatan yang timbul dari pejanjian dan Bab I tentang perikatan
pada umumnya.
           Penerapan ketentuan umum terhadap hal-hal yang diatur secara khusus,
dalam ilmu hukum dikenal dengan adagium iex specialis deroget legi generali.
Artinya, ketentuan hukum khusus yang dimenangkan dari ketentuan hukum
umum. Maknanya jika mengenai suatu hal sudah diatur secara khusus, ketentuan
umum yang mengatur hal yang sama tidak perlu diberlakukan lagi. Jika suatu hal
belum diatur secara khusus, ketentuan umum yang mengatur hal yang sama
diberlakukan.
B. PRESTASI DAN WANPRESTASI
1. Prestasi
Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitor dalam setiap perikatan.
Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi
prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitor. Dalam Pasal 1131 dan
1132 KUHPdt dinyatakan bahwa harta kekayaan debitor, baik yang bergerak
maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi
jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditor. Namun, jaminan umum ini dapat
dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan dalam
perjanjian antara pihak-pihak.
Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPdt, selalu ada tiga kemungkinan wujud
prestasi, yaitu:
a.    Memberikan sesuatu, misalnya, menyerahkan benda, membayar harga benda,
dan  memberikan hibah penelitian.
b.   Melakukan sesuatu, misalnya, membuatkan pagar pekarangan rumah,
mengangkut barang tertentu, dan menyimpan rahasia perusahaan.
c.    Tidak melakukan sesuatu, misalnya, tidak melakukan persaingan curang,
tidak melakukan dumping, dan tidak menggunakan merek orang lain.
Pasal 1235 ayat (1) KUHPdt menjelaskan pengertian memberikan sesuatu, yaitu
menyerahkan penguasaan nyata atas suatu benda dari debitor  kepada kreditor atau
sebaliknya, misalnya, dalam jual beli, sewa menyewa, perjanjian gadai, dan utang
piutang. Dalam perikatan yang objeknya “melakukan sesuatu”, debitor wajib
melakukan perbuatan tertentu yang telah ditetapkan dalam perikatan, misalnya,
melakukan perbuatan membongkar tembok, mengosongkan rumah, dan
membangun gedung. Dalam melakukan perbuatan tersebbut, debitor arus
mematuhi semua ketentuan dalam perikatan. Debitor bertanggung jawab atas
perbuatannya yang tidak sesuai dengan ketentuan perikatan. Dalam perikatan
yang objeknya “tidak melakukan sesuatu”, debitor tidak melakukan perbuatan
yang telah disepakati dalam perikatan, misalnya, tidak membuat tembok rumah
yang tinggi sehingga menghalangi pemandangan tetangganya. Apabila debitor
melakukan pembuatan tembok yang berlawanan dengan perikatan ini, dia
bertanggung jawab karena melanggar perjanjian dan harus membongkar tembok
atau membayar ganti kerugian kepada tetangganya.
Sebagian besar perikatan yang dialami dalam masyarakat terjadi karena
perjanjian. Karena itu, Undang-Undang mengatur bahwa perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak yang membuatnya
(Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt). Artinya, jika salah satu pihak tidak bersedia
memenuhi prestasinya, kewajiban berprestasi itu dapat dipaksakan.
Jika pihak yang satu tidak memenuhi prestasinya, pihak yang lainnya berhak
mengajukan gugatan ke muka pengadilan dan pengadilan akan memaksakan
pemenuhan prestasi tersebut dengan menyita dan melelang harta kekayaannya
sejumlah yang wajib dipenuhinya kepada pihak lain. Perjanjian yang diakui dan
diberi akibat hukum itu adalah perjanjian yang tidak dilarang Undang-Undang
serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan masyarakat.
Karena itu, ada tiga sumber perikatan, yaitu perjanjian, Undang-Undang, serta
ketertiban umum dan kesusilaan.
2. Sifat Prestasi
            Sifat-sifat prestasi yang perlu diketahui oleh debitor adalah:
a.    Prestasi harus sudah tertentu atau dapat ditentukan. Sifat ini memungkinkan
debitor memenuhi perikatan. Jika prestasi itu tidak tertentu atau tidak dapat
ditentukan, mengakibatkan perikatan itu batal (nietig).
b.   Prestasi itu harus mungkin. Artinya, prestasi itu dapat dipenuhi oleh debitor
secara wajar dengan segala upayanya. Jika tidak demikian, perikatan itu dapat
dibatalkan (vernietigbaar)
c.    Prestasi itu harus dibolehkan (halal). Artinya, tidak dilarang oleh Undang-
Undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan
dengan kesusilaan masyarakat. Jika prestasi tidak halal, perikatan itu batal (nietig)
d.   Prestasi itu harus ada manfaat bagi kreditor. Artinya, kreditor dapat
menggunakan, menikmati, dan mengambil hasilnya. Jika tidak demikian,
perikatan itu dapat dibatalkan (vernietigbaar)
e.    Prestasi itu terdiri atas satu perbuatan atau serentetan perbuatan. Jika prestasi
berupa satu kali perbuatan dilakukan lebih dari satu kali, dapat mengakibatkan
pembatalan perikatan (vernietigbaar). Satu kali perbuatan itu maksudnya
pemenuhan mengakhiri perikatan, sedangkan lebih dari satu kali perbuatan
maksudnya pemenuhan yang terakhir mengakhiri perikatan.

 3. Wanprestasi
Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam
perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitor karena dua kemungkinan
alasan, yaitu:
a.    Karena kesalahan debitor, baik karena kesengajaan maupun kelalaian dan
b.   Karena keadaan memaksa (force majeure, diluar kemampuan debitor.Jadi,
debitor tidak bersalah.
Untuk menentukan apakah seorang debitor bersalah melakukan wanprestasi, perlu
ditentukan dalam keadaan bagaimana debitor diakatakan sengaja atau lalai tidak
memenuhi prestasi. Dalam hal ini, ada tiga keadaan, yaitu:
a.    Debitor tidak memnuhi prestasi sama sekali;
b.   Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak baika atau keliru; dan
c.    Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.
Untuk mengetahui sejak kapan debitor dalam keadaan wanprestasi, perlu
diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan jangka waktu pelaksanaan
pemenuhan prestasi atau tidak? Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan
pemenuhan prestasi tidak ditentukan, perlu memperingatkan debitor supaya dia
memenuhi prestasi. Dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya, menurut
ketentuan Pasal 1238 KUHPdt debitor dianggap lalai dengan lewatnya tenggang
waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan.
Bagaimana cara memperingatkan debitor supaya dia memenuhi prestasinya?
Debitor perlu diberi peringatan tertulis, yang isinya menyatakan bahwa debitor
wajib memenuhi prestasi dalam waktu yang ditentukan. Jika dalam waktu itu
debitor tidak memenuhinya, debitor dinyatakan telah lalai atau wanprestasi.
Peringatan tertulis dapat dilakukan secara resmi dan dapat juga secara tidak resmi.
Peringatan tertulis secara resmi dilakukan melalui pengadilan negeri yang
berwenang, yang disebut sommatie. Kemudian, pengadilan negeri dengan
perantaraan juru sita menyampaikan surat peringatan tersebut kepada debitor yang
disertai berita acara penyampaiannya. Peringatan tertulis tidak resmi, misalnya,
melalui surat tercatat, telegram, faksimile, atau disampaikan senidri oleh kreditor
kepada debitor dengan tanda terima. Surat peringatan ini disebut ingebreke
stelling.
Akibat hukum bagi debitor yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman
atau sanksi hukum berikut ini:
a.    Debitor diwajibkan membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditor
(Pasal 1243 KUHPdt).
b.    Apabila perikatan itutimbal balik, kreditor dapat menuntut pemutusan atau
pembatalan perikatan melalui pengadilan (Pasal 1266 KUHPdt)
c.       Perikatan untuk memberikan sesuatu, risiko beralih kepada debitor sejak
terjadi wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) KUHPdt)
d.   Debitor diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau
pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPdt)
e.    Debitor wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka pengadilan
negeri dan debitor dinyatakan bersalah
4. Keadaan Memaksa
Keadaan memaksa (force majeure) adalah keadaan tidak dipenuhinya prestasi
oleh debitor karena terjadi peristiwa yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat
diduga akan terjadi ketika membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa debitor
tidak dapat disalahkan karena keadaan ini timbul di luar kemauan dan kemampuan
debitor. Unsur-unsur keadaan memaksa adalah sebagai berikut:
a.    Tidak dipenuhi prestasi karena terjadi peristiwa yang membinasakan atau
memusnahkan benda objek perikatan; atau
b.   Tidak dipenuhi prestasi karena terjadi peristiwa yang menghalangi
perbuatandebitor untuk berprestasi
c.    Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu
membuat perikatan
Keadaan memaksa yang memenuhi unsur (a) dan (c), maka keadaan memaksa itu
disebut “keadaan memaksa objektif”. Vollmar menyebutnya absolute
overmacht.Dasarnya adalah ketidakmungkinan (impossinillity) memenuhi prestasi
karena bendanya lenyap/musnah. Dalam hal keadaan memaksa yang memenuhi
unsure (b) dan (c) keadaan memaksa ini disebut “keadaan memaksa subjektif”,
Vollmar menyebutnya relative overmacht. Dasarnya adalah kesulitan memenuhi
prestasi karena ada peristiwa yang menghalangi debitor untuk berbuat.
Perbedaan antara ”perikatan batal” dan “perikatan gugur” terletak pada ada
tidaknya objek perikatan dan objek tersebut harus mungkin dipenuhi. Pada
perikatan batal, objek perikatan tidak ada karena musnah sehingga tidak mungkin
dipenuhi oleh debitor (sifat prestasi). Pada perikatan gugur, objek perikatan ada
sehingga mungkin dipenuhi dengan segala macam upaya debitor, tetapi tidak
mempunyai arti lagi bagi kreditor. Jika prestasi betul-betul dipenuhi oleh debitor,
tetapi kreditor tidak menerima (menolak) karena tidak ada manfaatnya lagi,
perikatan dapat dibatalkan (vernietigbaar).Persamaannya adalah pada perikatan
batal dan perikatan gugur keduanya itu tidak mencapai tujuan.
            Pembentuk Undang-Undang tidak mengatur keadaan memaksa secara
umum dalam KUHPdt. Akan tetapi, secara khusus diatur untuk perjanjian-
perjanjian tertentu saja, misalnya pada:
a.  Perjanjian hibah (Pasal 1237 KUHPdt);
b.   Perjanjian jual beli (Pasal 1460 KUHPdt);
c.    Perjanjian tukar-menukar (Pasal 1545 KUHPdt); dan
d.                                           Perjanjian sewa-menyewa (Pasal 1553 KUHPdt).
Oleh karena itu pihak-pihak bebas memperjanjikan tanggung jawab itu dalam
perjanjian yang mereka buat apabila terjadi keadaan memaksa. Risiko keadaan
memaksa pada perjanjian hibah ditanggung oleh kreditor (Pasal 1237 KUHPdt).
Risiko keadaan memaksa pada perjanjian jual beli ditanggung oleh kedua belah
pihak, penjual dan pembeli, (surat edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 1963 mengenai Pasal 1460 KUHPdt). Risiko keadaan memaksa
pada perjanjian tukar menukar ditanggung oleh pemiliknya (Pasal 1545 KUHPdt).
Adapun risiko keadaan memaksa pada perjanjian sewa menyewa ditanggung oleh
pemilik benda (Pasal 1553 KUHPdt). Menurut Pasal1243 KUHPdt, ganti kerugian
karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, baru diwajibkan jika debitor setelah
dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya; atau seseuatu yang
harus diberikan atau dikerjakannyam, hanya dapat diberikan atau dikerjakan
dalam tenggang waktu yang telah dilewatinya.
Yang dimaksud dengan “kerugian” dalam pasal diatas adalah kerugian yang
timbul karena debitor melakukan wanpresatsi (lalai memenuhi perikatan).
Kerugian tersebut wajib diganti oleh debitor terhitung sejak dia dinyatakan lalai.
Ganti kerugian itu terdiri atas tiga unsure, yaitu:
a.  Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkos cetak, biaya
materai, dan biaya iklan
b.   Kerugian sesungguhnya karen kerusakan, kehilangan benda milik kreditor
akibat kelalaian debitor, misalnya, busuknya buah-buahan Karen terlambat
melakukan penyerahan
c.  Bunga atau keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang berjalan selama
piutang terlambat dilunasi
5. Ganti Kerugian
Ganti kerugian hanya berupa uang bukan barang, kecuali jika diperjanjikan lain.
Untuk melindungi debitor dari tuntutan sewenang-wenang dari pihak kreditor,
Undang-Undang memberikan pembatasan terhadap ganti kerugian yang wajib
dibayar oleh debitor sebagai akibat dari kelalainnya (wanprestasi). Kerugian yang
harus diabayar oleh debitor hanya meliputi:
a.    Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan
b.   Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi (kelalaian) debitor
c.    Bunga dalam hal terlambat membayar sejumlah utang.

C. JENIS-JENIS PERIKATAN
1. Perikatan Bersyarat
Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) adalah perikatan yang
digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan
terjadi dan belum pasti terjadi, baik dalam menangguhkan pelaksanaan perikatan
hingga terjadi peristiwa maupun dengan membatalkan perikatan karena terjadi
atau tidak terjadi peristiwa (Pasal 1253 KUHP dt). Perikatan bersyarat di bagi tiga
yaitu :
a.    Perikatan dengan syarat tangguh
Apabila syarat peristiwa itu terjadi, maka perikatan di laksanakan (Pasal 1263
KUHP dt). Misalnya  Oki setuju apabila Ramdan adiknya mendiami pavilium
rumahnya setelah menikah. Nah, nikah adalah peristiwa yang masih akan terjadi
dan belum pasti terjadi. Sifatnya menangguhkan pelaksanaan perikatan. Jika
ramdan menikah, maka Oki wajib menyerahkan pavilium rumahnya untuk
didiami oleh Ramdan.
b.   Perikatan dengan syarat batal
Disini justru perikatan yang sudah ada akan berakhir apabila peristiwa yang
dimaksudkan itu terjadi (Pasal 1265 KUHP dt). Misalnya, Arlita setuju apabila
Regi kakaknya mendiami rumah Arlita  selama dia tugas di Perancis dengan
syarat bahwa Regi harus mengosongkan rumah tersebut apabila Arlita selesai
studi dan kembali ke tanah air. Di sini syarat  “ selesai dan kembali ke tanah air ”
masih akan terjadi dan belom pasti terjadi. Akan tetapi, jika syarat tersebut
terjadim perikatan akan berakhir dalam arti batal.
c.  Perikatan dengan ketetapan waktu
Syarat ketetapan waktu adalah pelaksaan perikatan itu digantungkan pada waktu
yang di tetapkan. Misalnya Anis berjanji kepada Yesi bahwa ia akan membayar
utangnya dengan hasil panen sawahnya yang sedang menguning pada tanggal 1
agustus 2014. Dalam hal ini hasil panen yang sedang menguning sudah pasti
karena dalam waktu dekat, Anis akan panen sawah sehingga pembayaran utang
pada tanggal 1 agustus 2014 sudah dipastikan.
2. Perikatan Manasuka ( Boleh Pilih)
Pada perikatan manasuka, objek prestasi ada dua macam benda. Dikatakan
perikatan mansuka karena, debitor boleh memenuhi prestasi dengan memilih salah
satu dari dua benda yang dijadikan objek perikatan. Namun, debitor tidak dapat
memaksa kreditor untuk menerima sebagian benda yang satu dan benda sebagian
benda yang lainnya. Jika debitor telah memenuhi salah satu dari dua benda yang
ditentukan dalam perikatan, dia dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak memilih
prestasi itu ada pada debitor jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada
kreditor (Pasal 1272 dan 1273 KUHP dt).
Misalnya, Rima memesan barang elektronik berupa radio tape
recorder ataustereo tape recorder di sebuah toko barang elektronik dengan harga
yang sama, yakni Rp 2.500.000,00. Dalam hal ini, pedagang tersebut dapat
memilih yaitu menyerahkan radio tape recorder atau stereo tape recorder. Akan
tetapi, jika diperjanjikan bahwa Rima (Pemesan) yang menentukan pilihan,
pedagang memberitahukan kepada Rima bahwa barang pesanan sudah tiba,
silahkan memilih salah satu dari benda objek perikatan tersebut. Jika Rima telah
memilih dan menerima satu dari dua benda itu, peerikatan berakhir.
3. Perikatan Fakultatif
Perikatan Fakultatif yaitu perikatan dimana debitor wajib memenuhi suatu prestasi
tertentu atau prestasi lain yang tertentu pula. Dalam perikatan ini hanya ada satu
objek. Apabila debitor tidak memenuhi prestasi itu, dia dapat mengganti prestasi
lain. Misalnya, Agung berjanji kepada Rian untuk meminjamkan mobilnya guna
melaksanakan penelitian. Jika Agung tidak meminjamkan Karena rusak, dia dapat
mengganti dengan sejumlah uang transport untuk melaksanakan penelitiannya.
4. Perikatan Tanggung-Menanggung
Pada perikatan tanggung-menanggung dapat terjadi seorang debitor berhadapan
dengan beberapa orang kreditor atau seorang kreditor berhadapan dengan
beberapa orang debitor. Apabila kredior terdiri atas beberapa orang, ini disebut
tanggung-menanggung aktif. Dalam hal ini, setiap kreditor, berhak atas
pemenuhan prestasi seluruh hutang. Jika prestasi tersebut sudah dipenuhi, debitor
dibebaskan dari utangnya dan perikatan hapus (Pasal 1278 KUHP dt).
Jika pihak debitor terdiri atas beberapa orang, ini disebut tanggung menanggung
pasif, setiap debitor wajib memenuhi prestasi seluruh utang dan dan jika sudah
dipenuhi oleh seorang debitor saja, membebaskan debitor –debitor lain dari
tuntutan kreditor dan perikatannya hapus (Pasal 1280 KUHP dt)
Berdasarkan observasi, perikatan yang banyak terjadi dalam praktiknya adalah
perikatan tanggung-menanggung pasif yaitu :
a.    Wasiat
Apabila pewaris memberikan tugas untuk melaksanakan hibah wasiat kepada ahli
warisnya secara tanggung-menanggung.

b.   Ketentuan Undang-Undang
Dalam hal ini undang-undang menetapkan secara tegas perikatan tanggung
menanggung dalam perjanjian khusus.
Perikatan tanggung menanggung secara tegas diatur dengan perjanjian khusus,
yaitu sebagai berikut ;
a.    Persekutuan firma (Pasal 18 KUHD)
Setiap sekutu bertanggung jawab secara tanggung-menanggung untuk seluruhnya
atas semua perikatan.
b.   Peminjaman benda (Pasal 1749 KUHPdt)
Jika bebereapa orang bersama-sama menerima benda karena peminjaman, meka
masing-masing untuk seluruhnya bertanggung jawab terhadap orang yang
memberikan pinjaman benda itu.
c.    Pemberian kuasa (Pasal 1181 KUHPdt)
Seorang penerima kuasa diangkat oleh beberapa orang untuk mewakili dalam
suatu urusan yang menjadi urusan mereka bersama. Mereka bertanggung jawab
untuk seleruhnya terhadap penerima kuasa mengenai segala akibat pemberian
kekuasaan.
d.      Jaminan orang (borgtoch,pasal 1836 KUHPdt)
Jika beberapa orang telah mengikatkan diri sebagai penjamin sebagai seorang
debitor yang sama untuk utang yang sama, mereka itu untuik masing-masing
terikat untuk seluruh utang.
5. Perikatan Dapat Dibagi Dan Tidak Dapat Dibagi
Suatu perikatan dikatakan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi jika benda yang
menjadi objek perikatan dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan, lagi
pula pembagian itu tidak boleh mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Jadi,
sifat dapat atau tidak dapat dibagi itu berdasarkan pada :
a.    Sifat benda yang menjadi objek perikatan.
b.   Maksud perikatannya, apakah itu dapat atau tidak dapat dibagi.
Perikatan dapat atau tidak dapat dibagi bisa terjadi jika salah satu pihak meninggal
dunia sehingga akan timbul maslah apakah pemenuhan prestasi dapat dibagi atau
tidak antara para ahli waris almahrum itu. Hal tersebut bergantung pada benda
yang menjadi objek perikatan yang penyerahannya atau pelaksanaannya dapat
dibagi atau tidak, baik secara nyata maupun secara perhitungan ( Pasal 1296
KUHPdt).
Akibat hukum perikatan dapat atau tidak dapat dibagi adalah bahwa perikatan
yang tidak dapat dibagi, setiap kreditor berhak menuntut seluruh  prestasi kepada
setiap debitor dan setiap debitor wajib memenuhi prestasi tersebut seluruhnya.
Dengan dipenuhinya prestasi oleh seorang debitor , membebaskan debitor lainnya
dan perikatan menjadi hapus. Pada perikatan yang dapat dibagi, setiap kreditor
hanya dapat menuntut suatu bagian prestasi menurut perimbangannya, sedangkan
setiap debitor hanya wajib memenuhi prestasi untuk bagiananya saja menurut
perimbangan.
6. Perikatan dengan Ancaman Hukuman
Perikatan ini memuat suatu ancaman hukuman terhadap debitor apabila dia lalai
memenihi prestasinya. Ancaman hukuman ini bermaksut untuk memberikan suatu
kepastian atas pelaksanaan isi perikatan, seperti yang telah ditetapkan dalam
perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak. Disamping itu, juga sebagai upaya untuk
menetapkan jumlah ganti keruguan jika memang terjadi wanprestasi. Hukuman itu
merupakan pendorong debitor untuk memenuhi kewajiban berprestasi dan untuk
membebaskan kreditor dari pembuktian tentang besarnya ganti kerugian yang
telah di deritanya.
Misalnya, dalam perjanjian dengan ancaman hukuman, apabila seorang
pemborong harus menyelesaikan pekerjaan bangunan dalam waktu tiga puluh hari
tidak menyelesaikan pekerjaannya, dia dikenakan denda satu juta rupiah setiap
hari terkampat itu. Dalam hal ini, jika pemborong itu melalaikan kewajibannya,
berarti dia wajib membayar denda satu juta rupiah sebagai ganti kerugian untuk
setiap hari terlambat.
7. Perikatan Wajar
Undang-undang tidak menentukan apa yang dimaksud dengan perikatan wajar
(natuurlijke verbintenis, natural obligation). Dalam undang-undang hanya
dijumpai Pasal 1359 ayat (2) KUHPdt. Karena itu, tidak ada kesepakatan antara
para penulis hukum mengenai sifat dan akibat hukum dari perikatan wajar, kecuali
mengenai satu hal, yaitu sifat tidak ada gugatan hukum guna memaksa
pemenuhannya. Kata wajar adalah terjemaahan dari kata aslinya dalam bahasa
Belanda “natuurlijk” oleh Prof. Koesoemadi Poedjosewojo dalam kuliah hukum
perdata pada  Fakultas Hukum Universitas  Gadjah Mada Yogyakarta.
Perikatan wajar bersumber dari Undang-Undang dan kesusilaan seta kepatutan
(Moral and equity). Bersumber pada Undang-Undang, artinya keberadaan
perikatan wajar karena ditentukasn oleh Undang-Undang. Jika Undang-Undang
tidak menentukan, tidak ada perikatan wajar. Bersumber dari kesusilaan dan
kepatutan, artinya keberadaan perikatan wajar karena adanya belas kasihan, rasa
kemanusiaan, dan kerelaaan hati yang iklas  dari pihak debitor. Hal ini sesuai
benar dengan sila kedua pancasila dan dasar Negara Republik Indonesia.
Ada contoh-contoh yang berasal dari ketentuan undang-undang adalah seperti
berikut ini :
a.    Pinjaman yang tidak diminta bunganya
Jika bunganya dibayar, tidak dapat dituntut pengembaliannya (Pasal 1766
KUHPdt)
b.   Perjudian dan pertaruhan
Undang-Undang tidak memberikan tuntutan hukum atas suatu utang yang terjadi
karena perjudian karena perjudian pertaruhan ( Pasal 1788 KUHPdt).
c.    Lampau waktu
Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun perorangan hapus
karena kadaluarsa (lampau waktu) dengan lewatnya tenggang waktu tiga puluh
hari tahun.
d.   Kepailitan yang di atur dalam undang-undang kepailitan.

D. PERBUATAN MELAWAN HUKUM


1.   Konsep Perbuatan Melawan Hukum
Untuk mengetahui konsep “perbuatan melawan hukum” (onrechtmatige daad),
perlu dibaca Pasal 1365 KUHPdt yang sama rumusannya dengan pasal 1401 BW
Belanda yang menentukan sebagai berikut:
“Setiap perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang
lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.”
Berdasar pada rumusan pasal ini, dapat dipahami bahwa suatu perbuatan
dinyatakan melawan hukum apabila memenuhi empat unsur berikut:
a.    Perbuatan itu harus melawan hukum (onrechtmatig);
b.   Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian;
c.    Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan; dan
d.   Antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal.
Salah satu saja dari unsur-unsur di atas ini tidak terpenuhi, perbuatan itu tidak
dapat digolongkan perbuatan melawan hukum.

a.    Perbuatan (daad)   
Kata “perbuatan” meliputi perbuatan positif dan perbuatan negative. Perbuatan
positif adalah perbuatan yang benar-benar dikerjakan diatur dalam Pasal 1365
KUHPdt atau Pasal 1401 BW Belanda. Perbuatan negatif adalah perbuatan yang
benar-benar tidak dikerjakan, diatur dalam Pasal 1366 KUHPdt. Oleh karena itu,
perbuatan positif dikerjakan oleh orang yang benar-benar berbuat, sedangkan
perbuatan negatif tidak dikerjakan saama sekali oleh orang yang bersangkutan.
Pelanggaran perbuatan dalam dua pasal tersebut  mempunyai akibat hukum sama,
yaitu mengganti kerugian.
Rumusan perbuatan positif dalam Pasal 1365 KUHPdt dan perbuatan negatif
dalam Pasal 1366 KUHPdt hanya digunakan sebelum ada Putusan Hoge Raad
Nederlands 31 Januari 1919 karena pada waktu itu pengertian “melawan hukum”
hanya bagi perbuatan positif, dalam arti sempit. Setelah keluar Putusan Hoge
Raad 31 Januari 1919, pengertian “melawan hukum” diperluas, mencakup juga
perbuatan negatif, tidak berbuat.
Dengan demikian, pengertian “perbuatan melawan hukum” Pasal 1365 KUHPdt
diperluas mencakup juga perbuatan negatif Pasal 1366 KUHPdt, yaitu berbuat
atau tidak berbuat. Jadi, perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPdt
adalah berbuat atau tidak berbuat yang merugikan orang lain. Berbuat, contohnya
merusak barang milik orang lain. Tidak berbuat, contohnya tidak mengerjakan
pekerjaan borongan yang telah disanggupi. Kedua perbuatan tersebut
menimbulkan akibat hukum sama, yaitu merugikan orang lain. Contoh lain,
membakar kebun tetangga atau membiarkan bayi tidak diberi susu. Kedua
perbuatan itu berakibat merugikan orang lain.

b.   Melawan hukum (onrechtmatig)


Sejak tahun 1890 para penulis hukum telah menganut paham yang luas tentang
pengertian melawan hukum, sedangkan dunia peradilan (Mahkamah Agung)
masih menganut paham yang sempit. Hal itu dapat diketahui dari Putusan Hoge
Raad Nederlands sebelum tahun1919, yang merumuskan:
“Perbuatan melawan hukum adalah suatu perbuatan yang melanggar hak orang
lain atau jika orang berbuat bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.”
Dalam rumusan ini, yang perlu dipertimbangkan hanya hak dan kewajiban hukum
berdasar pada undang-undang (wet). Jadi, perbuatan itu harus melanggar hak
orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang diberikan
undang-undang (wet). Dengan demikian, melanggar hukum (onrechtmatig) sama
dengan melanggar undang-undang (onwetmatig). Melalui tafsiran sempit ini
banyak kepentingan masyarakat dirugikan, tetapi tidak dapat menuntut apa-apa.

2.   Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Pribadi


Apabila perbuatan melawan  hukum ditujukan kepada diri pribadi orang lain,
perbuatan melawan hukum dapat menimbulkan kerugian fisik ataupun kerugian
nama baik (martabat). Kerugian fisik, misalnya, luka, cedera, dan cacat tubuh.
Kerugian nama baik, misalnya, dijauhi teman dalam pergaulan, hilang
kewibawaan karena tidak dihormati orang lagi, atau putus hubungan baik karena
difitnah pihak lain.
Apabila seseorang mengalami luka atau cacat pada salah satu anggota badan
disebabkan oleh kesengajaan atau kelalaian orang lain, undang-undang
memberikan hak kepada korban untuk memperoleh penggantian kerugian, biaya
pengobatan, dan perawatan. Ganti kerugian itu dinilai menurut kedudukan dan
kemampuan serta keadaan kedua belah pihak. Ukuran ini pada umumnya berlaku
untuk menilai kerugian yang timbul dari suatu kekerasan atau kejahatan terhadap
diri pribadi seseorang, misalnya, ditabrak kendaraan bermotor yang
mengakibatkan luka parah atau cacat (Pasal 1371 KUHPdt).
Penghinaan adalah perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan, yang dapat
dimasukkan perbuatan melawan hukum pencemaran nama baik seseorang. Oleh
karena itu, dapat dituntut berdasar pada Pasal 1365 KUHPdt. Penghinaan itu
menimbulkan kerugian terhadap nama baik, martabat, harga diri, dan kedudukan
dalam masyarakat. Menurut ketentuan Pasal 1372 KUHPdt, gugatan berdasar
pada penghinaan bertujuan untuk memperoleh ganti kerugian serta pemulihan
nama baik. Dalam mempertimbangkan berat ringan ganti kerugian yang dituntut,
pengadilan harus mempertimbangkan  berat ringan penghinaan, kedudukan,
jabatan, keadaan, dan kemampuan pihak-pihak.
3. Implementasi Pasal 1365 KUHPdt
a.    Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
Mahkamah Agung RI dalam putusan perkara perdata ternyata mengikuti juga
konsep perbuatan melawan hukum dalam arti luas. Perbuatan melawan norma
kesusilaan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang merugikan diri atau
nama baik orang lain dapat dituntut secara hukum berdasar pada Pasal 1365
KUHPdt. Hal ini dapat dikaji melalui Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI
Nomor 3191K/Pdt/1984 tanggal 8 Februari 1986  antara Masudiati (penggugat)
melawan I Gusti Lanang Rejeb (tergugat). Dalam perkara tersebut, setelah
penggugat dibawa lari oleh tergugat, tergugat telah berjanji akan menikahi
penggugat, baik menjadi istrinya secara adat maupun secara agama dalam
tenggang waktu empat bulan.
Ternyata, walaupun penggugat telah mendesak pihak tergugat, tergugat tidak mau
juga menikahi penggugat hingga berlangsung sampai 1 tahun 4 bulan mereka
hidup bersama. Selama hidup bersama itu, penggugatlah yang menanggung biaya
penghidupan keluarga (tergugat, anak, dan orang tua tergugat). Karena tergugat
tidak memenuhi perjanjian untuk menikahi penggugat, penggugat merasa bahwa
perbuatan tergugat telah merugikan nama baik atau kehormatannya sehingga
penggugat menuntut ganti kerugian berdasar pada Pasal 1365 KUHPdt sejumlah
uang Rp5.000.000,00 sebagai pemulihan nama baik atau kehormatan penggugat.
Dalam putusannya tanggal 1 Maret 1984 Nomor 073/PN-Mtr/Pdt.1983,
Pengadilan Negeri Mataram (Lombok), antara lain, telah memutuskan:
Mengabulkan gugatan penggugat sebagian. Menyatakan tergugat bersalah
melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak menepati janjinya untuk
menikahi penggugat. Menghukum tergugat untuk membayar ganti kerugian
sebagai pemulihan nama baik atau kehormatan penggugat sejumlah
Rp2.500.000,00.
Karena merasa tidak puas, tergugat mengajukan permohonan banding ke
Pengadilan Tinggi Mataram dengan permohonan agar membatalkan Putusan
Pengadilan Negeri Mataram taggal 1 Maret 1984 Nomor 65/Pdt/1984/PT-Mtr,
Pengadilan Tinggi Maratam, antara lain, memutuskan:
Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Mataram tanggal 1 Maret 1984 Nomor
073/PN-Mtr/Pdt/1983 dan dengan mengadili sendiri menolak gugatan terbanding
seluruhnya.
Karena dalam putusan tingkat banding diperlakukan tidak adil, penggugat
terbanding mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung RI, antara lain,
menyatakan bahwa dari surat bukti yang diajukan pemohon kasasi sebagai
petunjuk terbukti bahwa termohon kasasi telah selalu menyebut pemohon kasasi
sebagai istrinya sehingga dapat disimpulkan bahwa termohon kasasi berkeinginan
untuk mengawininya.
Dengan tidak dipenuhinya janji untuk mengawini pemohon kasasi, termohon
kasasi telah melanggar norma kesusilaan dan kepatutan yang hidup dalam
masyarakat dan perbuatan termohon kasasi itu adalah suatu perbuatan melawan
hukum sehingga menimbulkan kerugian terhadap nama baik atau kehormatan
pemohon kasasi. Maka termohon kasasi wajib memberi ganti kerugian seperti
tertera dalam amar putusan.
Dalam putusannya tanggal 8 Februari 1986 Nomor 3191K/Pdt/1984 Mahkamah
Agung RI, antara lain, memutuskan:
Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Mataram tanggal 26 Juli 1984 Nomor
65/Pdt/1984/PT-Mtr yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Mataram
tanggal 1 Maret 1984 Nomor 073/PN-Mtr/Pdt/1983. Mengadili sendiri
mengabulkan gugatan penggugat sebagian. Menyatakan tergugat telah melakukan
perbuatan melawan hukum. Menghukum tergugat untuk membayar ganti kerugian
sebagai pemulihan nama baik atau kehormatan penggugat sejumlah
Rp2.500.000,00.
Dalam hubungannya dengan Yurisprudensi yang telah diuraikan di atas, Z. Asikin
Kusumah Atmadja seorang hakim agung pada waktu itu menyatakan bahwa
untuk pertama kalinya hal tidak menepati perjanjian untuk melakukan pernikahan
diselesaikan menurut hukum perdata. Sebelumnya selalu diselesaikan menurut
hukum pidana yang selalu tidak memberikan penyelesaian tuntas. Menurut
doktrin, perbuatan melawan hukum termasuk perikatan yang bersumber pada
undang-undang. Namun, jenis lain adalah perbuatan melwan hukum termasuk
perikatan yang termasuk perikatan yang bersumber pada perjanjian seperti pada
kasus yang diuraikan di atas.
Oleh karena itu, beliau menyatakan bahwa dalam memutus perkara yang berkaitan
dengan perjanjian untuk melangsungkan pernikahan, seyogianya diperhatikan
apakah hal tersebut harus dibuktikan secara jelas sudah ditentukan untuk menikah
secara resmi, misalnya, sudah ditentukan hari dan tanggal, jangka waktu
pernikahan akan dilangsungkan, atau dengan penyebutan dalam setiap peristiwa
bahwa wanita yang dibawanya itu adalah istrinya karena sudah hidup bersama.
Selanjutnya Z. Asikin Kusumah Atmadja menyatakan:
“Apabila salah satu pihak tidak datang pada hari yang sudah ditentukan atau
hingga lampau tenggang waktu yang diperjanjikan tidak mau melangsungkan
pernikahan, dalam hal ini perbuatannya merupakan perbuatan melawan hukum.”
Dalam kasus di atas, majelis hakim berpendapat, pihak wanita sesuai dengan
bukti-bukti yang cukup mempunyai alasan untuk mempercayai janji pernikahan
dari pihak pria meskipun lembaga hidup bersama belum diakui di Indonesia.
Namun, pada pihak lainnya hakim wajib menjaga agar pihak yang dinyatakan
sebagai pihak yang lemah (tidak selalu pihak wanita) dilindungi terhadap
“keisengan” pihak lainnya.
b. Pelaku perbuatan melawan hukum
Kembali kepada Pasal 1365 KUHPdt, setiap perbuatan melawan hukum yang
mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena
kesalahannya menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Siapa yang
dimaksud dengan orang yang bersalah menimbulkan kerugian dalam konteks
Pasal 1365 KUHPdt itu? Orang bersalah dimaksud adalah pelaku perbuatan
melanggar hukum, tidak hanya bertanggung jawab karena perbuatannya sendiri,
tetapi juga bertanggung jawab karena perbuatan orang lain yang berada dibawah
kekuasaan atau tanggung jawabnya, serta karena barang yang berada dibawah
pengawasannya (Pasal 1367 KUHPdt).
Pelaku perbuatan melawan hukum dapat berupa manusia pribadi ataupun badan
hukum. Ketentuan Pasal 1367 KUHPdt memberikan rincian orang yang
mempunyai kekuasaan atau tanggung jawab atas perbuatan melanggar hukum
yang dilakukan oleh orang lain seperti diuraikan berikut ini:
a.    Orang tua atau wali terhadap anak yang belum dewasa.
b.   Majikan terhadap orang yang diangkat sebagai bawahannya.
c.    Guru terhadap murid selama berada dibawah pengawasannya.
d.   kepala tukang selama mereka dibawah pengawasannya.
Namun mereka ini dianggap tidak bertanggung jawab atas perbuatan yang
dilakukan oleh orang yang berada dibawah kekuasaan atau pengawasannya jika
dapat membuktikan bahwa mereka tidak mungkin dapat mencegah perbuatan
demikian itu. Siapa yang bertanggung jawab terhadap akibat perbuatan melawan
hukum anak yang belum dewasa? Menurut ketentuan Pasal 1367 jo. KUHPdt,
orang tua atau wali anak yang bersangkutan bertaggung jawab mengganti
kerugian kepada pihak yang dirugikan.
4. Perbuatan Melawan Hukum oleh Badan Hukum
Dilihat dari cara pembentukannya, badan hukum dibedakan antara badan hukum
perdata dan badan hukum publik. Badan hukum perdata dibentuk berdasar pada
hukum perdata, sedangkan pengesahannya dilakukan oleh pemerintah, dalam hal
ini adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal yang disahkan itu adalah
akta pendirian yang memuat anggaran dasar badan hukum. Badan hukum perdata
ini antara lain, perseroan terbatas, yayasan, dan koperasi.
Badan hukum publik adalah badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah
berdasar pada hukum publik, yaitu undang-undang atau peraturan pemerintah.
Badan hukum publik merupakan badan kenegaraan, misalnya Negara Republik
Indonesia, Provinsi (Daerah Tingkat I), Kabupaten/Kota (Daerah Tingkat II),
Lembaga Tinggi Negara, Departemen Pemerintahan, dan Badan Usaha Milik
Negara. Badan hukum publik dibentuk berdasar pada peraturan perundang-
undangan untuk menyelenggarakan kepentingan umum, baik kenegaraan maupun
kemasyarakatan. Jika badan hukum publik melakukan perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige overheidsdaad), dapat digugat berdasar pada Pasal 1365 KUHPdt.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa badan hukum publik dalam
menjalankan kekuasaannya mungkin merugikan orang lain dengan alasan
menjalankn undang-undang. Oleh karena itu, perlu dibedakan antara
kebijaksanaan dan pelanggaran undang-undang. Dalam hal ini pengadilan yang
akan menentukannya. Jika perbuatan yang dilakukan itu merupakan kebijaksanaan
penguasa (pemerintah), hal ini bukan lagi wewenang pengadilan perdata karena
sudah masuk ranah politik.
Dulu orang pernah menyangsikan apakah badan hukum itu dapat melakukan
perbuatan melawan hukum. Alasannya karena badan hukum tidak dapat
melakukan kesalahan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan seperti halnya
manusia pribadi. Akan tetapi, badan hukum bertindak dalam lalu lintas hukum
dengan perantaraan orang-orang yang menjadi alat perlengkapannya (orgaan).
Alat perlengkapan (orgaan) terdiri atas manusia pribadi. Masalahnya adalah
bagaimana cara membedakan antara manusia pribadi yang mewakili badan hukum
dan manusia pribadi yang mewakili dirinya sendiri. Bagaimana cara
mempertanggungjawabkan badan hukum itu dalam lalu lintas hukum jika dia
melakukan perbuatan melawan hukum.
Untuk memecahkan masalah tersebut, terlebih dahulu perlu dikemukakan
berbagai teori mengenai badan hukum. Ada tiga macam teori mengenai badan
hukum, yaitu:
a.    Fictie theorie (teori anggapan);
b.   Orgaan theorie (teori perlengkapan);
c.    Yuridische realiteits theorie (teori kenyataan yuridis).
Ketiga macam teori tesebut akan dijelaskan satu per satu berikut ini :
a.    Fictie theorie (teori anggapan)
Menurut teori fiksi yang dipelopori oleh von Savigny, badan hukum itu dianggap
sebagai badan pribadi yang bersifat fiktif, terpisah dari manusia pribadi yang
menjadi pengurusnya. Oleh karena itu, perbuatan hukum yang dilakukan oleh
pengurusnya tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan badan hukum, tetapi
perbuatan orang lain yang dipertanggungjawabkan kepada badan hukum itu.
Atas dasar ini, badan hukum itu tidak berbuat secara langsung, tetapi melalui
perbuatan orang lain, yaitu pengurusnya. Pengurus tersebut adalah orang yang
bertindak atas kuasa dari badan hukum. Jadi, perbuatan pengurus
dipertanggungjawabkan kepada badan hukum. Segala perbuatan yang dilakukan
oleh pengurus, pengurus bertindak untuk dan atas nama badan hukum yang
sifatnya fiktif.
Berdasar pada teori fiksi ini, badan hukum yang melakukan perbuatan melawan
hukum dapat digugat tidak berdasar pada Pasal 1365 KUHPdt, tetapi berdasar
pada Pasal1367 KUHPdt. Jika mengikuti teori fiksi ini, orang dihadapkan pada
keadaan yang bertentangan dengan kenyataan. Kenyataan bahwa semua orang
yang melakukan perbuatan hukum dapat digugat melalui Pasal 1365 KUHPdt.

b.   Orgaan theorie (teori perlengkapan)


Menurut teori perlengkapan yang dipelopori von Glerke, badan hukum itu sama
dengan manusia pribadi, dapat melakukan perbuatan hukum. Jika badan hukum
melakukan perbuatan melawan hukum, badan hukum itu dapat
dipertanggungjawabkan. Bertindaknya badan hukum itu melalui perlengkapan
(orgaan). Oleh karena itu, badan hukum melalui perlengkapannya secara langsung
bertanggung jawab atas semua perbuatan hukum yang dilakukannya.
Berdasar pada teori ini, badan hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum
dapat digugat melalui Pasan 1365 KUHPdt. Akan tetapi, terhadap bawahan
perlengkapan badan hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum, dapat
dipertanggungjawabkan melalui Pasal 1367 KUHPdt.

c.    Juridische realiteit theorie (teori kenyataan yuridis)


Menurut teori relitas/kenyataan yuridis ini, badan hukum itu adalah kenyataan
yuridis yang dibentuk dan diakui sama seperti manusia pribadi. jadi, badan hukum
itu dapat dipertanggungjawabkan dalam setiap perbuatan hukum yang diatur
dalam undang-undang. Jika badan hukum melakukan perbuatan melawan hukum,
dia dapat digugat berdasar pada Pasal 1365 KUHPdt.
Badan hukum bertanggung jawab secara langsung terhadap setiap perbuatan
melawan hukum yang dilakukannya. Setiap badan hukum memiliki organ badan
hukum yang bertindak  atas nama dan untuk kepentingan badan hukum sesuai
dengan ketentuan undang-undang dan yang dicantumkan dalam anggaran dasar
pendirian badan hukum.
Jika organ yang mewakili badan hukum itu sudah ditentukan dalam undang-
undang dan dituangkan dalam anggaran dasar badan hukum, ini namanya bukn
lagi teori, melainkan sudah merupakan aturan hukum yang bersifat memaksa. Jadi
tidak diikuti, berarti melanggar hukum (undang-undang). Jadi, tidak dapat disebut
teori yang berlaku secara umum tidak terikat dengan situasi dan kondisi setempat.
Ketentuan undang-undang (termasuk anggaran dasar) hanya berlaku pada situasi
dan kondisi tertentu dan terikat pada stu badan tertentu.
E. PERWAKILAN SUKARELA
1.   Konsep Perwakilan Sukarela
Menurut ketentuan Pasal 1354 KUH Perdata, jika seseorang dengan sukarela
tanpa mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa
pengetahuan orang lain itu, secara diam-diam dia mengikatkan dirinya untuk
meneruskan dan menyelesaikan urusan tersebut, sampai orang yang diwakili
kepentingannya itu dapat mengerjakan sendiri urusannya.
Figur hukum yang diatur dalam Pasal 1354 KUH Perdata ini disebut perwakilan
sukarela (zaakwaameming). Penyelenggaraan urusan itu bersifat sukarela tanpa
kuasa dari pihak berkepentingan. Urusan itu dilakukan secara sukarela dengan
tujuan agar memperoleh kemanfaatan bagi pihak yang berkepentingan dan
perbuatan tersebut diakui serta dibenarkan oleh undang-undang. Oleh karena itu,
ketentuan undang-undang tersebut menciptakan perikatan. Jadi, yang meciptakan
perikatan itu bukanlah perbuatan orang, melainkan ketentuan undang-undang itu
sendiri.
2. Unsur-unsur perwakilan sukarela
Berdasarkan ketentuan Pasal 1354 KUH Perdata terdapat beberapa unsur-unsur
konsep perwakilan sukarela, diantaranya:
a.    Sukarela
Perbuatan yang dilakukan dengan sukarela yang artinya, kesadaran sendiri tanpa
mengharapkan suatu apapun sebagai imbalannya.
b.   Tanpa Kuasa
Perbuatan yang dilakukan tanpa mendapatkan perintah (kuasa). Artinya, pihak
wakil sukarela itu bertindak atas inisiatif sendiri tanpa adanya pesan, perintah
ataupun kuasa dari pihak yang berkepentingan baik itu lisan ataupun secara
tertulis.
c.    Mewakili urusan orang lain
Perbuatan dilakukan mewakili urusan orang lain. Artinya pihak wakil sukarela
bertindak untuk kepentingan orang lain bukan kepentingan pribadinya. Urusan
yang diwakilinya dapat berupa perbuatan hukum atau yang lainnya.
d.   Dengan atau tanpa pengetahuan
Perbuatan dilakukan dengan atau tanpa pengetahuan orang itu. Artinya, orang
yang berkepentingan itu tidak mengetahui bahwa kepentingannya diurus oleh
orang lain.
e.    Meneruskan dan menyelesaikan
Wakil sukarela wajib meneruskan dan menyelesaikan urusan itu. Artinya, sekali
wakil sukarela mengurus urusan kepentingan orang lain, dia wajib meneruskan
sampai urusannya selesai sehingga orang yang diurus dapat menikmati
manfaatnya atau dapat mengurus sendiri segala sesuatu mengenai urusannya itu.
f. Bertindak menurut hukum
Wakil sukarela harus bertindak menurut hukum. Artinya, dalam mengurus
kepentingan orang lain itu harus dilakukan berdasar pada kewajiban undang-
undang atau bertindak tidak bertentangan dengan kehendak pihak yang
berkepentingan itu.

2.   Kewajiban dan Hak Wakil Sukarela


Perikatan itu bersumber dari Undang-Undang, maka kewajiban dan Hak Wakil
Sukarela juga ditetapkan dalam Undang-Undang. Kewajiban dan Hak tersebut
adalah wakil sukarela wajib mengerjakan segala sesuatu yang termasuk urusan
yang diwakilinya itu sampai selesai dengan memberikan pertanggungjawabannya.
Wakil sukarela mengurus kepentingan itu, menanggung segala beban biaya atau
ongkos pengurusan kepentingan tersebut. Wakil sukarela yang mengurus
kepentingan itu berhak memperoleh penggantian dari pihak yang berkepentingan
atas segala pengeluaran perikatannya yang dibuat secara pribadi yang bermanfaat
bagi pihak yang berkepentingan (Pasal 1357 KUH Perdata).

3.   Kewajiban dan Hak Pihak Berkepentingan


Pihak berkepentingan wajib memenuhi perikatan yang dibuat oleh wakil sukarela
atas namanya, membayar ganti kerugian atau pengeluaran yang telah dipenuhi
oleh wakil sikarela (Pasal 1357 KUH Perdata). Pihak berkepentingan berhak atas
keringanan pembayaran penggantian atau pengeluaran yang disebabkan oleh
kesalahan/kelalaian wakil sukarela mengurus kepentingan berdasar pada
pertimbangan peengadilan (Pasal 1357 ayat (2) KUH Perdata). Pihak
berkepentingan berhak meminta pertanggungjawaban atas pengurusan
kepentingan itu.
Dalam perikatan perwakilan tidak mengenal yang namanya upah, karena ini
bersifaat sukarela. Undang-undang menentukan bahwa wakil sukarela yang
mengurus kepentingan orang lain tanpa perintah, tidk berhak atas upah (Pasal
1358 KUH Perdata). Perikatan wakil sukarela sesuai dengan falsafah dasar negara
Indonesia Pancasila. Perikatan jenis ini perlu dioper dalam hukum perdata
nasional.
Ada beberapa perbedaan antara perikatan pemberian kuasa (lastgeving) dengan
perikatan perwakilan sukarela (zaakwaarneming), yaitu sebagai berikut :
a.    Pada perwakilan sukarela, perikatan terjadi karena undang-undang,
sedangakan pada pemberian kuasa, perikatan terjadi karena perjanjian.
b.      Pada perwakilan sukarela, perikatan tidak berhenti jika pihak yang
berkepentingan meninggal dunia, sedangkan pada pemberian kuasa, perikatan
berhenti jika pemberi kuasa meninggal.
c.       Pada perwakilan sukarela, tidak dikenal upah karena dilakukan dengan
sukarela, sedangkan pada pemberian kuasa, penerima kuasa berhak atas upah
karena diperjanjikan.
F. PEMBAYARAN TAK TERUTANG (onverschulddigde betaling)     
            Seseorang yang membayar tanpa adanya utang, berhak menuntut kembali
apa yang telah dibayarkan. Dan yang menerima tanpa hak berkewajiban untuk
mengembalikan. Hal ini sejalan dengan apa yang ada dalam Pasal 1359 KUH
Perdata bahwa setiap pembayaran yang ditujukan untuk melunasi suatu hutang
tetapi ternyata tidak ada hutang, pembayaran yang telah dilakukan itu dapat
dituntut kembali. Pembayaran yang dilakukan itu bukanlah bersifat sukarela
namun karena merasa ada kewajiban yang harus dipenuhi yaitu utang. Kekeliruan
bukanlah syarat untuk menuntut pengembalian pembayaran yang tidak terutang.
Oleh karena itu seseorang yang dengan sadar membayar tanpa adanya utang
berhak menuntut pengembalian. Jika seseorang karena kekhilafan mengira bahwa
ia berutang dan telah membayar utang tersebut, dapat menuntut kembali apa yang
ia telah bayarkan. Hak untuk menuntut kepada kreditur hilang, jika surat
pengakuan utang telah dimusnahkan setelah terjadinya pembayaran. Sekalipun
demikian orang yang telah membayar berhak untuk menuntut pengembaliannya
dari orang yang sebenarnya berutang (Pasal 1361 KUH Perdata).
Menurut Pasal 1362 KUH Perdata bahwa barang siapa dengan itikad buruk
menerima sesuatu pembayaran tanpa hak harus mengembalikan hasil dan
bunganya. Selain itu harus pula membayar ganti rugi jika nilai barangnya menjadi
berkurang. Jika barangnya musnah di luar kesalahannya ia harus mengganti harga
barangnya beserta biaya, kerugian dan bunga kecuali jika ia dapat membuktikan
bahwa barangnya tetap akan musnah sekalipun berada pada pihak yang berhak.
Barang siapa dengan itikad baik menerima pembayaran yang tidak terutang dan
telah menjual barang tersebut maka ia hanya wajib membayar kembali harganya.
Jika ia dengan itikad baik menghadiahkan barangnya kepada orang lain maka ia
tidak wajib mengembalikan apapun. Dalam perikatan pembayaran tanpa utang,
tuntutan kembali atas pembayaran yang telah dilakukan itu disebut conditio
indebiti. Tuntutan semacam ini dapat dilakukn terhadap badan-badan pemerintah,
misalnya pembayaran pajak yang kemudian ternyata tidak ada pajak, maka
bisa dilakukan meminta kembali pembayaran tersebut.
G. HAPUSNYA PERIKATAN
Menurut Ketentuan pasal 1381 KUH Perdata, ada sepuluh cara hapusnya
perikatan. Kespeluh cara tersebut diuraikan satu demi satu berikut ini :
1.  Pembayaran
Yang dimaksud dengan pembayaran dalam hal ini tidak hanya meliputi
penyerahan sejumlah uang, tetapi juga penyerahan suatu benda. Dalam hal objek
perikatan adalah pembayaran uang dan penyerahan benda secara timbal balik,
perikatan baru berakhir setelah pembayaran uang dan penyerahan benda.
2. Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Penitipan
Jika debitor telah melakukan penawaran pembayaran dengan perantaraan notaries,
kemudian kreditor menolak penawaran tersebut, atas penolakan kreditor itu
kemudian debitor menitipkan pembayaran itu kepada panitera pengadilan negeri
untuk disimpan. Dengan demikian, perikatan menjadi hapus ( Pasal 1404 KUH
Perdata ). Supaya penawaran pembayaran itu sah perlu dipenuhi syarat-syarat :
a.    Dilakukan kepada kreditor atau kuasanya;
b. Dilakukan oleh debitor yang wenang membayar;
c.    Mengenai semua uang pokok, bunga, dan biaya yang telah ditetapkan;
d.   Waktu yang ditetapkan telah tiba;
e.  Syarat dimana utang dibuat telah terpenuhi;
f.    Penawaran pembayaran dilakukan di tempat yang telah ditetapkan atau
ditempat yang telah disetujui; dan
g.   Penawaran pembayaran dilakukan oleh notaries atau juru sita disertai oleh dua
orang saksi.
3. Pembaruan Utang ( Novasi )
Pembaruan utang terjadi dengan cara mengganti utang lama dengan utang baru,
debitor lama dengan debitor baru. Dalam hal utang lama diganti dengan utang
baru, terjadilah penggantian objek perikatan, yang disebut “ Novasi Objektif”.
Disini utang lama lenyap. Dalam hal terjadi penggantian orangnya (subyeknya),
maka jika debitornya yang diganti, pembaruan ini disebut “Novasi Subjektif
Pasif” jika kreditornya yang diganti, pembaruan ini disebut “novasi subjektif
aktif”. Dalam hal ini utang lama lenyap.
4. Perjumpaan Utang (kompensasi)
Dikatakan ada penjumpaan utang apabila utang piutang debitor dan kreditor
secara timbale balik dilakukan perhitungan. Dengan perhitungan itu utang piutang
lama lenyap. Supaya utang itu dapat diperjumpakan perlu dipenuhi syarat-syarat :
a.    Berupa sejumlah uang atau benda yang dapat dihabiskan dari jenis dan
kualitas yang sama;
b.   Utang itu harus sudah dapat ditagih; dan
c. Utang itu seketika dapat ditentukan atau ditetapkan jumlahnnya (pasal 1427
KUH Perdata)
Setiap utang apapun sebabbnya dapat diperjumpakan, kecuali dalam hal berikut
ini :
a.    Apabila dituntut pengembalian suatu benda yang secara melawan hukum
dirampas dari pemiliknya, misalnya karena pencurian;
b.   Apabila dituntut pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau
dipinjamkan;
c.       Terhadap suatu utang yang bersumber pada tunjangan napkah yang telah
dinyatakan tidak dapat disita (Pasal 1429 KUH Perdata) ;
d.      Utang-utang Negara berupa pajak tidak mungkin dilakukan perjumpaan
utang (yurisprudensi); dan
e.       Utang utang yang timbul dari perikatan wajar tidak mungkin dilakukan
perjumpaan hutang (yurisprudensi).
5. Pencampuran Utang
Menurut ketentuan Pasal 1436 KUH Perdata, Pencampuran utang itu terjadi
apabila kedudukan kreditor dan debitor itu menjadi satu tangan. Pencampuran
utang tersebut terjadi demi hukum. Pada pencampuran hutang ini utang piutang
menjadi lenyap.
6. Pembebasan Utang
Pembebasan utang dapat terjadi apabila kreditor dengan tegas menyatakan tidak
menghendaki lagi prestasi dari debitor dan melepaskan haknya atas pembayaran
atau pemenuhan perikatan dengan pembebasan ini perikatan menjadi lenyap atau
hapus.
Menurut ketentuan pasal 1438 KUH Perdata, pembebasan suatu hutang tidak
boleh didasarkan pada persangkaan, tetapi harus di buktikan. Pasal 1439 KUH
Perdata menyatakan bahwa pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh
kreditor kepada debitor merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
7. Musnahnya benda yang terutang
Menurut ketentuan pasal 1444 KUH Perdata, apabila benda tertentu yang menjadi
objek perikatan itu musnah, tidak dapat lagi diperdangkan, atau hilang bukan
karena kesalahan debitor, dan sebelum dia lalai , menyerahkannya pada waktu
yang telah ditentukan; perikatan menjadi hapus (lenyap) akan tetapi, bagi mereka
yang memperoleh benda itu secara tidak sah, misalnya, kerena pencurian, maka
musnah atau hilangnya benda itu tidak membebaskan debitor (orang yang mencuri
itu) untuk mengganti harganya.
Meskipun debitor lalai menyerahkna benda itu dia juga akan bebas dari perikatan
itu apabila dapat membuktikan bahwa musnah atau hilangnya benda itu
disebabkan oleh suatu keadaan di luar kekuasaannya dan benda itu juga akan
mengalami peristiwa yang sama measkipun sudah berada di tangn kreditor.
8.  Karena pembatalan
Menurut ketentuan pasala 1320 KUH Perdata, apabila suatu perikatan tidak
memenuhi syarat-syarat subjektif. Artinya, salah satu pihak belum dewasa atau
tidak wenang melakukan perbuatan hukum, maka perikatan itu tidak batal, tetapi
“dapat dibatalkan” (vernietigbaar, voidable). Perikatan yang tidak memenuhi
syarat subjektif dapat dimintakan pembatalannya kepada pengadilan negeri
melalui dua cara, yaitu :
a.    Dengan cara aktif
Yaitu menuntut pembatalan melalui pengadilan negeri dengan cara mengajukan
gugatan.
b. Dengan cara pembelaan
Yaitu menunggu sampai digugat di muka pengadilan negeri untuk memenuhi
perikatan dan baru diajukan alasan tentang kekurangan perikatan itu.
Untuk pembatalan secara aktif, Undang-undang memberikan pembatasan waktu,
yaitu lima tahun (pasal 1445 KUH Perdata), sedangkan untuk pembatalan sebagai
pembelaan tidak diadakan pembatasan waktu.
9. Berlaku Syarat Batal
Syarat batal yang dimaksud disini adalah ketentuan isis perikatan yang disetujui
oleh kedua pihak, syarat tersebut apabila dipenuhi mengakibatkan perikatan itu
batal(nietig, void) sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut “syarat
batal”. Syarat batal pada asasnya selalu berlaki surut, yaitu sejak perikatan itu
dibuat. Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak
pernah terjadi perkatan.
10. Lampau Waktu (Daluarsa)
Menurut ketentuan pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah alat untuk
memperolah sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya
suatu waktu tertentu dan syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang. Atas
dasar ketentuan pasal tersebut dapat diketahui ada dua macam lampau waktu yaitu
:
a.       Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu benda
disebut acquisitieve verjaring.
b.      Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari
tuntutan disebut extinctieve verjaring.
Menurut ketentuan pasal 1963 KUH Perdata, untuk memperoleh hak milik atas
suatu benda berdasar pada daluarsa (lampau waktu) harus dipenuhi unsur-unsur
adanya iktkad baik; ada alas hak yang sah; menguasai benda it uterus-menerus
selama dua puluh tahu tanpa ada yang mengggugat, jika tanpa alas hak,
menguasai benda itu secara terus-menerus selama 30 tahun tanpa ada yang
mengugat.
Pasal 1967 KUH perdata menentukan bahwa segala tuntutan, baik yang bersifat
kebendaan maupun yang bersifat perorangan hapus karena daluarsa, dengan lewat
waktu 30 tahun. Sedangkan orang yang menunujukkan adanya daluarsa itu tidak
usah menunjukkan alas hak dan tidak dapat diajukan terhadapnya tangkisan yang
berdasar pada iktikad buruk.    
Benda bergerak yang bukan bunga atau piuatang yang bukan atas tunjuk (niet aan
toonder), siapa yang menguaisainya dianggap sebagai pemiliknya. Walaupun
demikian, jika ada orang yang kehilangan atau kecurian suatu benda, dalam
jangka waktu 3 tahun terhitung sejak hari hilangnya atau dicurigainya benda itu,
dia dapat menuntut kembali bendanya yang hilang atau dicuri itu sebagai miliknya
dari tangan siapapun yang menuasainya. Pemegang benda terakhir dapat menuntut
pada orang terakhir yang menyerahkan atau menjual kepadanya suatu ganti
kerugian (pasal 1977 KUH Perdata).
Daluarsa tidak berjalan atau tertangguh dalam hal-hal seperti tersebut berikut ini:
a.  Terhadap anak yang belum dewasa, orang di bawah pengampuan;
b.   Terhadap istri selam perkawinan (ketentuan ini tidak berlaku lagi)
c.    Terhadap piutang yang digantungkan pada suatu syarat selama syarat itu tidak
terpenuhi; dan
d.   Terhadap seorang ahli waris yang telah menerima suatu warisan dengan hak
istimewa untuk membuat pendaftaran harta peninggalan mengenai hutang-
piutangnya (pasal 1987-1991 KUH Perdata).

DAFTAR PUSTAKA

Djamali, Abdul. 1983. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT Raja Gravindo


Persada.
Setiawan. 1977. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Bina Cipta.
Tirtodiningrat. 1966. Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Jakarta: Gunung Sahari
84.
Abdul Kadir, Muhammad. 1990. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti.
Subekti. 1954. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT Interma

Anda mungkin juga menyukai