Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Hukum Orang Dalam Hukum Perdata

Oleh :

NAMA :

NIM :

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NUSA NIPA

i
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini tepat pada
waktunya. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai “Hukum Perorangan”

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata. dengan
berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan
tugas makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar - besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karena itu kami mengajak pembaca untuk memberikan saran serta kritik atau sanggahan
bila ada kekurangan yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat
kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata dari kami semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................ii
BAB I....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................................1
B. Rumusan masalah......................................................................................................................2
C. Tujuan........................................................................................................................................2
BAB II...................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN....................................................................................................................................3
A. Hukum Orang............................................................................................................................3
1. Pengertian Hukum Orang.......................................................................................................3
2. Aspek-aspek hukum orang.....................................................................................................3
B. Manusia sebagai subjek hukum.................................................................................................4
1. Manusia.................................................................................................................................4
2. Perwalian...............................................................................................................................6
3. Pendewasaan..........................................................................................................................6
4. Catatan Sipil...........................................................................................................................7
5. Domisili.................................................................................................................................8
6. Keadaan tidak hadir...............................................................................................................9
BAB III................................................................................................................................................11
PENUTUP...........................................................................................................................................11
A. Kesimpulan..............................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil. Jika hukum publik
mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum, misalnya
politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum
administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata
mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti
kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda,
kegiatan usaha, dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) terdiri dari empat bagian,
yaitu:
1) Buku I : berisi tentang Orang.
2) Buku II : berisi tentang Kebendaan.
3) Buku III : berisi tentang Perikatan/Perjanjian.
4) Buku IV : berisi tentang Pembuktian dan Kadaluarsa.

Namun, seperti yang tertulis dalam judul makalah, kami hanya akan membahas
Buku I KUH Perdata tentang orang yang lebih spesifik lagi tentang hukum
perorangan atau pribadi.

Pengertian hukum perorangan menurut subekti adalah Peraturan - peraturan


perihal kecakapan untuk memiliki hak dan kewajiban untuk bertindak sendiri,
melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan itu.

Definisi ini terlalu sempit karena hukum perorangan tidak hanya mengkaji ketiga
hal tersebut, namun juga mengkaji tentang domisili dan catatan sipil. Jadi, hukum
perorangan adalah keselurah kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang subyek
hukum dan kewenangan, kecakapan, domisili, dan catatan sipil. Definisi ini
dititikberatkan pada wewenang subyek hukum dan ruang lingkup peraturan hukum
perorangan.
Berdasarkan uraian di atas kami sangat tertarik untuk membahas mengenai hukum
orang (personanreacht) yang menjadi salah satu subjek hukum untuk dipahami secara
mendalam tujuannya untuk melindungi hak maupun kewajiban seorang manusia.

B. Rumusan masalah
1. Apa itu hukum orang?
2. Bagaimana hukum orang (personenrecht) memandang manusia sebagai subjek
hukum?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahuai pengertian hukum orang
2. Untuk mengetahui hukum orang sebagai bagian dari subjek hukum
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hukum Orang

1. Pengertian Hukum Orang


Hukum orang dapat diartikan dalam arti luas dan arti sempit. Hukum (tentang)
orang dalam arti luas : Hukum orang adalah hukum yang memuat tentang
peraturan-peraturan tentang diri manusia sebagi subyek dalam hukum, peraturan
perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri
melaksanakan haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan
Hukum (tentang) orang dalam arti sempit : Hukum yang mengatur tentang orang
sebagai subjek hukum.
Dari pengertian di atas merujuk hukum orang dari aspek ruang lingkupnya,
yang meliputi peraturan tentang manusia, subjek hukum, kecakapan hukum, dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya.
2. Aspek-aspek hukum orang

Hukum Perorangan adalah yang memuat kaidah-kaidah hukum yang mengatur


Orang (pribadi) dalam hukum disebut sebagai subjek hukum, subjek hukum artinya
setiap pendukung hak dan kewajiban.
1) Subjek Hukum
Didalam buku I KUH Perdata yang disebut subjek hukum ialah hanya orang
yang disebut pribadi kodrat tidak termasuk badan hukum yang disebut dengan
pribadi hukum. Namun dalam perkembangan selanjutnya badan hukum tidak
dimasukkan menjadi subjek hukum yang diatur dalam kitab undang-undang
hukum dagang, sehingga subjek hukum itu meliputi :
a. Orang disebut pribadi kodrati
b. Badan hukum disebut pribadi hukum Orang sebagai subjek hukum mulai
sejak lahir hingga meninggal dunia. Namun ada pengecualian yaitu
sebagai perluasan yang diatur dalam pasal 2 KUH perdata yang
mengatakan : “bayi yang masih berada dalam kandungan ibunya dianggap
telah dilahirkan hidup apabila ada kepentingan bayi itu yang
menghendaki”. Jadi walaupun anak itu belum lahir dapat dianggap sebagai
subjek hukum. Terhadap asas ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
(1) Anak telah dibenihkan pada saat timbul kepentingan anak.
(2) Anak dilahirkan hidup pada saat dilahirkan walaupun sekejap dan
meninggal.
(3) Ada kepentingan anak yang menghendaki bahwa anak dianggap telah
lahir.
Pengakuan Sebagai Subyek Hukum Manusia sebagai subjek hukum,
pembawa hak dan kewajiban terjadi sejak manusia itu lahir, dan berakhir
setelah ia meninggal dunia. Bahkan pengakuan manusia sebagai subjek hukum
dapat dilakukan sejak manusia masih di dalam kandungan ibunya, asal ia
dilahirkan hidup. Hal ini telah disebutkan dalam Pasal 2 KUH Perdata, bahwa:
“Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah
lahir, bila mana juga kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu
dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah telah ada.”Indonesia sebagai negara
hukum, mangakui manusia pribadi sebagai subyek hukum, pendukung hak dan
kewajiban.
Di dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) disebutkan bahwa: “Segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Selain subyek hukum dikenal juga objek hukum, sebagai lawan dari
subyek hukum. Objek hukum adalah benda yang tidak mempunyai hak dan
kewajiban dan berguna bagi subyek hukum yang mana djadikan pokok
hubungan hukum oleh subyek hukum. Yang menjadi objek hukum adalah
ialah benda dan barang.
B. Manusia sebagai subjek hukum

1. Manusia

Manusia adalah pengertian biologis ialah gejala dalam alam, gejala biologika
yaitu makhluk hidup yang mempunyai pancaindera dan mempunyai budaya.
Sedangkan orang adalah pengertian yuridis ialah gejala dalam hidup
bermasyarakat. Dalam hukum yang menjadi pusat perhatian adalah orang atau
person.2 Menurut hukum modern,3 seperti hukum yang berlaku sekarang di
Indonesia, setiap manusia diakui sebagai manusia pribadi. Artinya diakui sebagai
orang atau persoon. Karena itu, setiap manusia diakui sebagai subyek hukum
(rechtspersoonlijkheid) yaitu pendukung hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban
perdata tidak bergantung kepada agama, golongan, kelamin, umur, waganegara
ataupun orang asing. Demikian pula hak dan kewajiban perdata tidak bergantung
pula kepada kaya atau miskin, kedudukan tinggi atau rendah dalam masyarakat,
penguasa (pejabat) ataupun rakyat biasa, semuanya sama.
Manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban mulai sejak lahir dan baru
berakhir apabila mati atau meningal dunia. Pengecualian mulainya mendukung hak
dan kewajiban dalam BW disebut pada Pasal 2 yang menentukan sebagai berikut:
(1) "Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah
dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya". (2) "Mati
sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tidak pernah telah ada". Ketentuan yang
termuat dalam Pasal 2 BW di atas ini sering disebut "rechtsfictie". Ketentuan ini
sangat penting dalam hal warisan misalnya. Dalam Pasal 638 BW ditentukan
bahwa seseorang hanya dapat menjadi ahli waris kalau ia telah ada pada saat
pewaris meninggal dunia. Ini berarti bahwa seseorang hanya dapat menjadi ahli
waris kalau ia hidup sebagai manusia biasa pada saat pewaris meninggal dunia.
Akan tetapi, dengan adanya Pasal 2 BW, seorang anak yang masih dalam
kandungan ibunya sudah dianggap seolah-olah sudah dilahirkan, manakala
anggapan ini menjadi keuntungan si anak. Tapi kalau anak dalam kandungan itu
kemudian dilahirkan mati, maka ia dianggap sebagai tidak pernah telah ada.
Artinya kalau anak (bayi) itu lahir hidup, meskipun hanya sedetik dan ini dapat
ditentukan, maka ia ketika dalam kandungan dianggap sudah hidup, sehingga
dalam kandunganpun ia sudah merupakan orang yakni pendukung hak. 4

Pentingnya Pasal 2 BW terlihat pada contoh kasus sebagai berikut. Seorang ayah
pada tanggal 1 Agustus 1984 meninggal dunia. Pada saat meninggal dunia ini ia
mempunyai dua orang anak, sedangkan isterinya dalam keadaan hamil
(mengandung).
2. Perwalian
Seperti diketahui bahwa dalam KUH Perdata ada juga disebutkan pengertian dari
Perwalian itu, yaitu: Pada Pasal 330 ayat 3 menyatakan: " Mereka yang belum
dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian
atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga,keempat, kelima dan
keenam bab ini".
Ada 3 (tiga) macam perwalian, yaitu: 1. Perwalian oleh suami atau isteri yang hidup
lebih lama, pasal 345-354 KUH Perdata. Pasal 345 KUH Perdata menyatakan: "
Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka perwalian terhadap
anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang
hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang
tuanya." Namun pada pasal ini tidak dibuat pengecualian bagi suami-istri yang
hidup terpisah disebabkan perkawinan putus karena perceraian atau pisah meja dan
ranjang. Jadi, bila ayah -setelah perceraian menjadi wali maka dengan meninggalnya
ayah maka si-lbu dengan sendirinya (demi hukum) menjadi wali atas anak-anak
tersebut. 2. Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau
akta tersendiri. Pasal 355 ayat 1 KUH Perdata menyatakan bahwa: " Orang tua
masing-masing yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian atas seorang
anak atau lebih berhak mengangkat seorang wali atas anak itu apabila sesudah ia
meninggal dunia perwalian itu tidak ada pada orang tua yang lain baik dengan
sendirinya ataupun karena putusan hakim seperti termasuk dalam pasal 353 ayat 5
KUH Perdata. Dengan kata lain, orang tua masing-masing yang menjadi wali atau
memegang kekuasaan orang tua berhak mengangkat wali kalau perwalian tersebut
memang masih terbuka. 3. Perwalian yang Diangkat oleh Hakim. Pasal 359 KUH
Perdata menentukan: " Semua minderjarige yang tidak berada dibawah kekuasaan
orang tua dan yang diatur perwaliannya secara sah akan ditunjuk seorang wali oleh
Pengadilan.

3. Pendewasaan

Menurut Konsep hukum perdata barat, istilah Pendewasaan adalah menunjuk


pada keadaan belum dewasa yang oleh hukum dinyatakan sebagai dewasa. Untuk
dapat mengetahui apakah batasan dewasa dan belum dewasa dapat kita lihat dalam
Pasal 330 KUHPerdata, yang kurang-lebih berbunyi : “Belum dewasa adalah
mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun, dan tidak terlebih dahulu telah
kawin. Apabila perkawinan tersebut dibubarkan sebelum umur mereka genap 21
tahun, maka mereka tidak kembali dalam keadaan belum dewasa”. Keadaan
dewasa yang memenuhi syarat Undang-undang ini maka disebut sebagai
kedewasaan, maka orang yang berada dalam keadaan dewasa ini telah cakap untuk
melakukan semua perbuatan hukum. Dari keterangan ini maka jelas bahwa
KUHPerdata menggunakan kriteria umur dalam menentukan dewasa atau belum
dewasanya seseorang. Namun akan lain lagi apabila dalam keadaan- keadaan
sangat penting tertentu, ada kalanya diperlukan bahwa kedudukan orang yang
belum dewasa ini disamakan dengan orang yang telah dewasa, maksudnya agar
orang tersebut mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan atau mengurus
kepentingannya sendiri dan melakukan beberapa perbuatan hukum tertentu yang
dapat dipertanggungjawabkan. Maka pengertian inilah yang disebut sebagai
Pendewasaan(Handlichting).
Terdapat dua macam handlichting yaitu:
(1) Pendewasaan penuh (Ps. 421) dengan cara pengajuan surat pernyataan sudah cukup
umur (venia aetatis) dengan syarat berumur 20 tahun dan mengajukan permohonan
kepada Presiden RI
(2) Pendewasaan terbatas (Ps. 426-431) yaitu orang dinyatakan dewasa apabila berumur
18 tahun dan orang tuanya (wali) tidak merasa keberatan. Diajukan ke Pengadilan
Negeri dan dapat ditarik kembali misalkan untuk membuat surat wasiat.

4. Catatan Sipil

Catatan Sipil (Burgelijke Stand) artinya catatan mengenai peristiwa perdata yang
dialami oleh seseorang atau untuk memastikan status perdata seseorang. Ada lima
peristiwa hukum dalam kehidupan manusia yang perlu dilakukan pencatatan, yaitu :
1. Kelahiran, menentukan status hukum seseorang sebagai subyek hukum
pendukung hak dan kewajiban.
2. Perkawinan, menentukan status hukum seseorang sebagai suami atau isteri
dalam ikatan perkawinan menurut hukum.
3. Perceraian, menentukan status hukum seseorang sebagai janda atau duda
yang bebas dari ikatan suatu perkawinan.
4. Kematian, menentukan status hukum seseorang sebagai ahli waris, sebagai
janda atau duda dari almarhum/almarhumah.
5. Penggantian nama, menentukan status hukum seseorang dengan identitas
tertentu dalam hukum perdata.
 
.

5. Domisili

Tiap orang menurut hukum, harus mempunyai tempat tinggal yang dapat
dicari. Tempat tersebut dinamakan Domisisili. Bahwa domisili adalah tempat
kediaman mana seseorang melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah
segala perbuatan yang menimbulkan akibat hukum, yang termasuk perbuatan
hukum adalah jual-beli, tukar-menukar, beli sewa, leasing, sewa-menyewa, hibah
dll. Tujuan daripada domisili ini adalah untuk mempermudah para pihak dalam
mengadakan hubungan hukum dengan pihak-pihak lain yang terkait. Unsur-unsur
daripada domisili, meliputi :
(1) Adanya tempat tertentu (baik tetap maupun sementara)
(2) Adanya orang yang selalu hadir dalam tempat tersebut
(3) Adanya hak dan kewajiban
(4) Adanya prestasi.

Menurut sistem Common Law (Hukum Inggris), perihal domisili dibagi ke


dalam tiga macam domisili, yaitu : 1.

(1) Domicili of Origin, yaitu tempat tinggal seseorang yang mana sesuai
tempat kelahiran ayahnya yang sah
(2) Domicili of Dependence, yaitu tempat tinggal disesuaikan dengan tempat
tinggal ayah bagi anak yang belum dewasa, domisili ibu bagi anak yang
tidak sah, dan bagi seorang istri ditentukan oleh domisili suaminya
(3) Domicili of Choice, yaitu tempat tinggal yang ditentukan oleh/ dari pilihan
seseorang yang telah dewasa, disamping tindak tan-duknya sehari-hari.

Ketentuan-ketentuan yang mengatur tempat kediaman yang dipilih,


dibedakan ke dalam dua macam seperti dikemukakan berikut ini : 1.

(1) Domisili yang ditentukan oleh Undang-undang, adalah tempat kediaman


yang ditentukan ditentukan oleh Peraturan Perun- dang-undangan. Hal ini
biasa terjadi di dalam hukum acara, ketika melakukan eksekusi dan
orang.

yang akan mengajukan eksepsi/ keberatan (Pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989


Tentang Pengadilan Agama, yang berbunyi kurang lebih :“Seorang suami
yang ingin menggugat istrinya maka ia harus mengajukan gugatan di
tempat tinggal istrinya”.
(2) Domisili secara bebas, adalah tempat kediaman yang dipilih secara bebas
oleh para pihak yang mengadakan hubungan kontrak atau hubungan
hukum lainnya.

6. Keadaan tidak hadir

Ketentuan mengenai keadaan tidak di tempat atau keadaan tidak hadir


(afwezigheid) termuat dalam BW Buku I Pasal 463 s.d. 495 dan dalam Stb. 1946
No. 137 jo Biblad V dan Stb. 1949 No. 451. Undang-undang mengatur keadaan
tidak di tempat atas tiga masa atau tingkatan, yaitu masa persiapan (Pasal 463 s.d.
466), masa yang berhubungan dengan pernyataan bahwa, orang yang
meninggalkan tempat itu mungkin meninggal dunia (Pasal 467 s.d. 483) dan masa
pewarisan secara definitif (484).
Dalam masa persiapan (tindakan sementara) tidak perlu ada keraguan apakah
orang yang meninggalkan tempat tinggal itu masih hidup atau sudah meninggal
dunia; tetapi ada alasan yang mendesak guna mengurus seluruh atau sebagian harta
kekayaannya atau guna mengadakan seorang wakil baginya. Pada masa ini itu
menunjuk Balai Harta Peninggalan (weeskamer) untuk menjadi pengurus harta
kekayaan dan kepentingan orang yang tidak di tempat tidak banyak, maka untuk
mengurus harta kekayaan dan mewakili kepentingannya itu, Pengadilan Negeri
dapat memerintahkan kepada seorang atau lebih dari keluarga sedarah atau
semenda atau kepada isteri atau suaminya.
Masa yang berhubungan dengan pernyataan bahwa orang yang meninggalkan
tempat itu mungkin meninggal dunia, yaitu setelah lewat 5 tahun sejak
keberangkatannya dari tempat tinggalnya atau 5 tahun sejak diperolehnya kabar
terakhir yang membuktikan bahwa pada waktu itu masih hidup, setelah diadakan
pemanggilan secara umum dengan memuat di surat kabar sebanyak tiga kali. Hak-
hak dan kewajiban-kewajiban orang yang tidak di tempat beralih kepada ahli
warisnya, tetapi ini hanya bersifat sementara dan dengan pembatasan-pembatasan.
Sedangkan masa pewarisan secara definitif adalah masa dimana persangkaan
bahwa orang yang tidak di tempat itu telah meninggal dunia semakin kuat yaitu
setelah lampau 30 tahun sejak hari pernyataan kemungkinan meninggal dunia atau
setelah lampau 100 tahun terhitung sejak hari lahir orang yang tidak di tempat itu.
Meskipun demikian, dalam setiap masa itu orang yang tidak di tempat tersebut
tetap mempunyai wewenang berhak dan wewenang bertindak atas harta kekayaan
yang ditinggalkannya, dimana kalau ia muncul kembali, maka hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya kembali kepadanya dengan pembatasan-pembatasan
tertentu (Pasal 486 dan Pasal 487). Kemudian dalam Pasal 489 s.d. 492 diatur
tentang akibatakibat keadaan tidak di tempat yang berhubungan dengan
perkawinan, tetapi dengan berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, pasal-pasal BW mengenai afwezigheid yang berhubungan dengan
perkawinan ini kiranya sudah tidak relevan lagi.
Pentingnya pengaturan mengenai keadaan tidak di tempat atau keadaan tidak
hadir terutama adalah pada masa dahulu dimana hubungan antar daerah masih
sukar. Berbeda dengan zaman modern sekarang dimana hubungan antar daerah
maupun antar negara sudah lancar. Untuk masa sekarang pengaturan mengenai
keadaan tidak di tempat tetap ada gunanya, satu dan lain hal bila terjadi perang atau
terjadi kekacauan-kekacauan, dimana orang banyak yang hilang dan perhubungan
dengan beberapa daerah atau negara terputus.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

a. Hukum orang adaah hukum yang mengatru orang sebagai subyek hukum. Hukum
perorangan adalah kaidah hukum yang mengatur kedudukan hukum (status
orang) berkaitan dengan wewenang hukum dan kecakapan bertindak dalam lalu
lintas hukum.
b. Buatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap untuk bertindak dalam
hukum. Pada dasarnya yang dapat menjadi subyek hukum manusia atau orang
atau person. Ada dua pengertian orang atau person sebagai subyek hukum :
a) Natuurlijk person (orang atau manusia pribadi)
b) Recht person (badan hukum)

Secara hukum termasuk hukum perdata semua manusia adalah subyek hukum
sejak dilahirkan sampai meninggal dunia, bahkan dalam kandunganpun, menurut
pasal 2 KUHPerdata sudah dianggap manusia dan karenanya menjadi subyek
hukum perdata apabila ada kepentingan hukumnya dan pada saat lahir dia hidup.
Namun apabila ketika lahir meninggal, maka dianggaplah dia tidak pernah ada.
Status manusia sebagai subyek hukum perdata disandang sampai meninggal
dunia, sejalan dengan logika hukum yang ditentukan pasal 3 KUHPerdata: “Tiada
suatu hukumanpun yang mengakibatkan seseorang kehilangan hak
keperdataannya.”
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ichsan. S.H. cet. I, (1969).Hukum Perdata. Pembimbing Masa.

Cahyono, Akhmad Budi and Surini Ahlan Sjarif (2008). Mengenal Hukum Perdata. Depok:
CV Gitama Jaya.

Darmabrata, Wahyono (2003). Asas-asas Hukum Perdata, Jakarta : Fakultas Hukum


Universitas Indonesia.

Prof. Sudiman Kartohadiprodjo, S.H. cet. VII, (1977). Pengantar Tata Hukum Indonesia.
Ghalia Indonesia, Jakata.

Sri Soedewi M. Sofwan, S.H., Prof. Dr. Ny (1980). Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-
pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta.

Subekti, (2003). Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta:Intermas

Anda mungkin juga menyukai