Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH HUKUM PERDATA

MANUSIA SEBAGAI SUBJEK HUKUM

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Hukum Perdata”

Dosen Pengampu: Dr. Hj. Teti Indrawati P. M.Hum

1. WAHIDATUL HUMAINI (220201068)


2. M.HAQQAN AKBAR (220201036)
3. GHILAM FATEH RIZAK HARAHAP(220201038)

JURUSAN MUAMALAH

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM

2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat dan salam senantiasa kita haturkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa kita dari alam yang gelap gulita menuju alam yang terang
benderang. Dan semua perkataan, perbuatan, pengakuan dan sifatnya adalah panutan
bagi semua umatnya.

 Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Hukum Perdata" pada
jurusan Muamalah, Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram. Makalah ini berjudul
“Manusia sebagai Subjek Hukum” yang akan membahas tentang bagaimana kedudukan
manusia di mata hukum sebagai subjek hukum.

Demikianlah yang dapat kami sampaikan, kurang lebihnya kami mohon maaf
bila ada salah-salah kata. Sesungguhnya segala kekurangan dan kesalahan itu datangnya
dari kami sendiri. Sedangkan segala kelebihan itu datangnya dari Allah SWT semoga
Allah SWT meridhai kita. Tiada gading yang tak retak. Sekian.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Mataram, 4 September 2023

Kelompok 01

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1

A. Latar Belakang........................................................................................................1

B. Rumusan Masalah..................................................................................................1

C. Tujuan.....................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................2

A. Pengertian Manusia Subjek Hukum.......................................................................2

B. Pengakuan Manusia sebagai Subjek Hukum..........................................................2

C. Kecakapan Bertindak dalam Hukum......................................................................3

BAB III PENUTUP.........................................................................................................10

A. Kesimpulan...........................................................................................................10

B. Saran.....................................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum perdata sebagai sebuah cabang ilmu ilmu hukum memiliki peran
fungsi dan manfaatnya sendiri bagi manusia. Seperti yang kita kenal bahwa
hukum memang telah menjadi hal yang tak terpisahkan bagi kehidupan manusia.
Karena dengan hukum, hidup dapat menjadi terara, tentram dan damai.
Hukum meliputi segala aspek kehidupan manusia salah satunya adalah
aspek keperdataan. Yang di Negara kita telah di atur dengan hukum perdata
yang bersumberkan KUHPerdata (Bugerlijk Wetboek). Hukum perdata
termasuk ked lam hukum privaat. Karena hukumperdata mengatur ketentuan-
ketentuan yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan pribadi tiap individu.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita ketahui bahwa subjek dari
hukum perdata adalah manusia itu sendiri ataupun orang. Yang kemudian orang
ini berkembang menjadi badan hukum pula.
Pada makalah kami ini, kami akan membahas seputar manusia sebagai
subjek hukum. Bagaimana kemudian manusia dapat menjadi subjek hukum dan
bagaimanakah kedudukan manusia tersebut sebagai subjek hukum di hadapan
hukum.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan manusia sebagai subjek hukum?
2. Bagaimana pengakuan terhadap manusia sebagai subjek hukum?
3. Bagaimana kedudukan manusia sebagai subjek hukum?
C. Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan subjek hukum.
2. Mengetahui bagaimana pengakuan terhadap manusia sebagai subjek hukum.
3. Mengetahui magaimana kedudukan manusia sebagai subjek hukum.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Manusia Subjek Hukum


Istilah subjek hukum berdasarkan dari terjemahan rechtsubject (Belanda)
atau law of subject (Inggris).1 Subjek hukum adalah pendukung hak dan
kewajiban yang disebut orang. Orang menurut konsep hukum terdiri atas
manusia (persoon) dan badan hukum (rechtpersoon). Manusia adalah subjek
hukum menurut konsep biologis, sebagai gejala alam, sebagai makhluk budaya
ciptaan Tuhanyang dilengkapi dengan akal, perasaan, dan kehendak. Badan
hukum adalah subjek hukum menurut konsep yuridis, sebagai gejala hidup
bermasyarakat, sebagai badan ciptaan manusia berdasarkan hukum, memiliki
hak dan kewajiban seperti manusia.
Secara prinsipil, badan hukum berbeda dengan manusia. Perbedaan
tersebut adalah:
1. Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan, mempunyai akal, perasaan
dan kehendak. Badan hukum adalah badan ciptaan manusia berdasar pada
undang-undang, diwakili oleh pengurusnya.
2. Manusia memiliki kelamin, dapat kawin, dapat beranak. Badan hukum tidak
memiliki kelamin, tidak dapat kawin, tidak dapat beranak.
3. Manusia dapat menjadi ahli waris, sedangkan badan hukum tidak dapat.2
B. Pengakuan Manusia sebagai Subjek Hukum

Pengakuan terhadap manusia sebagai subjek hukum sejak masih di


dalam kandungan ibunya dengan ketentuan dilahirkan hidup. Sebagaimaa
dalam pasal 2 KUHPerdata sebagai berikut.

1
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 5.
2
Abdulkadir MMuhammad, Hukum Perdata Indonesia, ( Bandung: PTCitra Aditya Bakti,
2014), hlm. 24.

2
“Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah
dilahirkan bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu
dilahirkan , dianggaplah ia tak pernah ada”. (Pasal 2 KUHPerdata)

Pengakuan terhadap manusia sebagai subjek hukum yang menyatakan


bahwa tidak ada satu hukumanpun yang dapat mengakibatkan kehilangan hak
perdata manusia sebagai subjek hukum.3 Sebagaimana dalam pasal 3
KUHPerdata sebagai berikut.

“Tiada satu hukumanpun mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan


segala hak kewarganegaraan”. (Pasal 3 KUHPerdata)

C. Kecakapan Bertindak dalam Hukum


Meskipun menurut hukum sekarang ini, setiap orang/manusia tanpa
kecuali dapat memiliki hak-haknya, akan tetapi di dalam hukum, tidak semua
orang/manusia dibolehkan bertindak sendiri dalam melaksanakan hak-haknya
itu.hukum. Atau biasa juga disebut dengan tidak cakap
Ada beberapa golongan orang/manusia yang oleh hukum telah
dinyatakan tidak cakap atau kurang cakap untuk bertindak sendiri dalam
melakukan perbuatan-perbuatan hukum, sehingga mereka itu harus diwakili atau
dibantu oleh orang lain. menurut pasal 1330 KUH Perdata,
Mereka yang oleh hukum dinyatakan telah dinyatakan tidak cakap untuk
melakukan sendiri perbuatan hukum ialah: a) Orang/manusia yang belum
dewasa, b) Orang/manusia yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele), dan c)
Orang/manusia perempuan dalam pernikahan (wanita kawin).
1. Orang/manusia yang belum dewasa

Orang/manusia yang belum dewasa hanya dapat menjalankan hak


dan kewajibannya dengan perantara orang lain, atau sam asekali dilarang.
Kecakapan untuk bertindak di dalam hukum bagi orang-orang yang belum
dewasa ini diatur dalam ketentuan sebagai berikut.
3
Simanjuntak, Hukum Perdata, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 20.

3
a. Menurut pasal 330 KUH Perdata, orang yang dikatakan belum dewasa
apabila ia belum mencapai usia 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah
kawin. Apabila ia telah menikah, maka ia akan dianggap telah dewasa
dan ia tidak akan menjadi orang yang di bawah umur lagi, meskipun
perkawinannya diputuskan sebelum ia mencapai usia 21 tahun.4
“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua
puluh satu tahun dan tidak lebih dulu telah kawin. Apabila perkawinan
itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka
mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Mereka yang
belum dewasa dan tidak berada dalam kekuasaan orang tua, berada di
bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur dalam
bagian ketiga, keempat, dan kelima bab ini. Penentuan arti istilah “belum
dewasa” yang dipakai dalam beberapa peraturan.
Ordonansi 31 Januari 1931. L. N. 1931-’54.
Untuk menghilangkan segala keragu-raguan yang timbul karena
ordonansi 21 Desember 1917, L.N. 1917-138, dengan mencabut
ordinansi ini, ditentukan sebagai berikut:
(1) Apabila peraturan undang-undang memakai istilah “belum dewasa”,
maka sekedar menganai bangsa Indonesia segala orang yang belum
mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
(2) Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur dua puluh dua
tahun, maka tidaklah mereka kembali lagi dalam istilah “belum
dewasa”
(3) Dalam paham perkawinan tidaklah termasuk perkawinan anak-anak.
(Pasal 330 KUH Perdata)5
2. Untuk melangsungkan perkawinan
a. Menurut pasal 29 KUH Perdata, bagi seorang laki-laki harus berumur 18
tahun dan bagi seorang wanita harus berumur 15 tahun.

4
Simanjuntak, Hukum Perdata, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 21.
5
KUHPerdata, (Permata Press, 2010), hlm. 84-85.

4
b. Menurut pasal 7 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, bagi
seorang laki-laki harus berumur 19 tahun dan bagi seorang wanita harus
berumur 16 tahun.
c. Dalam hukum waris, seseorang yang belum mencapai umur 18 tahun
tidak dapat membuat wasiat .
d. Menurut pasal 19 UU No. 8 tahun 2012 tentang tentang pemilu, untuk
dapat memilih di dalam pemilihan umum harus sudah berumur 17 tahun.
3. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan
Menurut pasal 433 KUH Perdata orang yang ditaruh di bawah
pengampuan adalah orang yang dungu, sakit ingatan atau mata gelap, dan
orang boros. Mengenai hal ini diatur dalam ketentuan-ketentuan berikut ini:
a. Seseorang yang karena ketaksempurnaan akalnya ditaruh di bawah
pengampuan, telah mengikatkan dirinya dalam suatu perkawinan, dapat
diminta pembatalan perkawinan (Pasal 88 ayat 1 KUH Perdata)
b. Untuk dapat membuat atau mencabut suatu surat wasiat, seseorang harus
mempunyai akal budinya (Pasal 895 KUH Perdata)
c. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan dianggap tak cakap untuk
membuat suatu perjanjian (Pasal 1330 KUH Perdata)
4. Kedudukan wanita dalam hukum

Khusus untuk perempuan yang dinyatakan tidak cakap dalam


perbuatan hukum, dalam hal:

a. Membuat perjanjian, memerlukan bantuan atau izin dari suami.


b. Menghadap di muka hakim harus dengan bantuan suami (Pasal 110
KUH Perdata)

Untuk sekarang ini, ketentuan pasal 108 KUH Perdata ini telah
dicabut dengan surat edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963 tanggal 4
Agustus 1963. Hal ini ditegaskan lagi dalam pasal pasal 31 UU No. 1 tahun
1974 tentang perkawinan, di mana hak dan kedudukan istri adalah seimbang

5
dengan hak dan kedudukan suami dalam masyarakat. Dan masing-masing
pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Selanjutnya menurut
pasal 36 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 mengenai harta bawaan masing-
masing, suami dan istri mempunyaihak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Namun dalam hal tertentu, meskipun seorang istri yang dianggap


cakap melakukan perbuatan hukum oleh UU No. 1 tahun 1974, dalam
melakukan perbuatan terhadap harta bersama perkawinan, harus dengan
persetujuan suami (karena suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah
ibu rumah tangga).6

5. Pendewasaan

Pendewasan atau perlunakan (handlichting) adalah suatu daya upaya


hukum untuk menempatkan seorang yang belum dewasa menjadi sama
menjadi orang yang telah dewasa, baik untuk tindakan tertentu ataupun
untuk semua tindakan. Dengan demikian, menurut pasal 424 KUH Perdata
anak yang dewasa, dalam segala-galanya mempunyai kedudukan yang sama
dengan orang dewasa.

a. Macam-macam bentuk pendewasaan


Pada dasarnya, ada dua macam bentuk pendewasaan yaitu:
1) Pendewasaan terbatas
Dengan pendewasaan terbatas, maka anak yang di bawah umur (yang
belum dewasa) dinyatakan dewasa untuk melakukan tindakan hukum
tertentu. Syarat untuk mengajukan pendewasaan terbatas adalah
harus sudah berusia 18 tahun dan permohonan ini diajukan ke
Pengadilan Negeri (Pasal 426 KUH Perdata)
2) Pendewasaan penuh

6
Simanjuntak, Hukum Perdata, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 22.

6
Dengan pendewasaan penuh, maka anak di bawah umur (yang belum
dewasa), dinyatakan ewasa untuk melakukan segala tindakan. Syarat
untuk mengajukan pendewasaan penuh yaitu harus sudah berusia 20
tahun dan permohonan ini diajikan kepada presiden (dalam hal ini
Menteri Kehakiman pasal 420-421 KUH Perdata)
b. Pencabutan hak pendewasaan

Pendewasaan ini dapat dicabut atau ditarik kembali oleh


pengadilan Negeri apabila anak yang belum dewasa ini
menyalahgunakan kewenangan yang diberikan kepadanya atau suatu
alasan tertentu (pasal 432 KUH Perdata). Segala bentuk pendewasaan
dan pencabutan pendewasaan ini, harus diumumkan dalam berita Negara
agar berlaku bagi umum.7

Untuk masa sekarang ini, lembaga pendewasaan ini sudah tidak


mempunyai arti lagi, karena batas usia dewasa menurut UU No. 1 tahun
1974 tentang perkawinan adalah 18 tahun.

6. Pengampuan

Pengampuan (curatele) adalah suatu daya upaya hukum untuk


menempatkan seorang yang telah dewasa menjadi sama seperti orang yang
belum dewasa. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan disebut curandus,
pengampunya disebut curator dan pengampuannya disebut curatele.
Menurut pasal 433 KUH Perdata setiap orang dewasa yang mempunyai sakit
ingatan, boros, dungu dan mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan.
Setiapanak yang belum dewasa yang berada dalam keadaan dungu, sakit
ingatan atau mata gelap, tak boleh ditaruh di bawah pengampuan, melainkan
tetaplah ia di bawah pengawasan bapak dan ibunyaatau walinya (pasal 462
KUH Perdata).

7
Simanjuntak, Hukum Perdata, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 23.

7
a. Pengajuan permohonan pengampuan

Pengampuan ini terjadi karena adanya keputusan hakim yang


didasarkan dengan adanya permohonan pengampuan. Yang dapat
mengajukan permohonan pengampuan adalah:

1) Keluarga sedarah terhadap keluarga sedarahnya, dalam hal


keadaannya dungu, sakit ingatan atau mata gelap (pasal 462 KUH
Perdata).
2) Keluarga sedarah dalam garis lurus sampai dengan derajat keempat,
dalam hal keborosannya (pasal 434 ayat 2 KUH Perdata).
3) Suami dan istri boleh meminta pengampuan akan istri atau suaminya
(pasal 434 ayat 3 KUH Perdata).
4) Diri sendiri, dalam hal ia tidak cakap mengurus kepentingannya
sendiri (pasal 434 ayat 4 KUH Perdata).
5) Kejaksaan, dalam hal mata gelap, keadaandungu atau sakit ingatan
(pasal 435 KUH Perdata)

Setiap permintaan akan pengampuan harus diajukan ke


Pengadilan Negeri di mana orang yang dimintakan pengampuannya itu
berdiam (pasal 436 KUH Perdata). Pengampuan mulai berlaku sejak
putusan atau penetapan diucapkan (pasal 446 KUH Perdata).

b. Akibat hukum pengampuan


Akibat hukum dari orang yang ditaruh di bawah pengampuan:
1) Ia sama dengan orang yang belum dewasa (pasal 452 ayat 1 KUH
Perdata)
2) Segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang yang ditaruh di
bawah pengampuan, batal demi hukum (pasal 446 ayat 2 KUH
Perdata)

Di samping dua hal di atas terdapat pengecualiannya, yaitu:

8
1) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan karena boros, masih boleh
membuat surat wasiat (pasal 446 ayat 2 KUH Perdata)
2) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan karena boros, masih bisa
melangsungkan perkawinan dan membuat perjanjian kawin yang
dibantu oleh pengampunya (pasal 452 ayat 2 KUH Perdata)
7. Berakhirnya pengampuan
Pengampuan ini berakhir apabila sebab-sebab yang
mengakibatkannya telah hilang (pasal 460 KUH Perdata) pengampuan juga
berakhir apabila si corundus meninggal dunia.8

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

8
Simanjuntak, Hukum Perdata, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 25.

9
Istilah subjek hukum berdasarkan dari terjemahan rechtsubject (Belanda)
atau law of subject (Inggris). Subjek hukum adalah pendukung hak dan
kewajiban yang disebut orang. Orang menurut konsep hukum terdiri atas
manusia (persoon) dan badan hukum (rechtpersoon).

Pengakuan terhadap manusia sebagai subjek hukum tertuang dalam


pasal 2 dan 3 KUHP. Dimana pasal2 berisi tentang bahwa manusia telah
menjadi subjek hukum sejak dalam kandungan dan pasal 3 berisi tentang bahwa
tidak ada hukuman apapun yang dapat merenggut hak perdata seseorang.

Meski manusia sebagai subjek hukum memiliki hak-hak keperdataan


yang telah diakui. Namun tetap ada pengecualian tertentu. Hal ini berlaku apaila
manusia tersebut tidak cakap dalam hukum. Penyebab terjadinya ketidakcakapan
dalam hukum ini bisa disebabkan oleh misalnya gangguan jiwa ataupun lainnya.
Yang oleh itu maka dibutuhkan seorang pengampu untuknya.

B. Saran

Sesungguhnya makalah kami ini pastilah tidak luput dari kesalahan.


Karenanya kami sungguh sangat mengharapkan kritik dan saran dari segala
pihak. Yang dapat lebih membangun kami lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir, Muhammad. 2014, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya


Bakti

10
Salim,2014, Pengantar Hukum Perdata tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika.

Simanjuntak, 2016, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Kencana

KitabUndang-undang Hukum Perdata, 2010, Permata Press

11

Anda mungkin juga menyukai