Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

HUKUM PERDATA

TENTANG MANUSIA SEBAGAI SUBJEK HUKUM

Di Susun oleh Kelompok II :

1. ABDUL GHAFUR 1913040109


2. FATHUL GANI 1913040112
3. WINESIA PUTRI 1913040126
4. MERI WAHYUNI 1913040105

Dosen Pembimbing:

Muhammad Yenis SH,M.Pd,MH

HUKUM EKONOMI SYARI’AH (HES C)

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG

1442 H/2021 M
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat dan salam senantiasa kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
membawa kita dari alam yang gelap gulita menuju alam yang terang benderang. Dan semua
perkataan, perbuatan, pengakuan dan sifatnya adalah panutan bagi semua umatnya.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Hukum Perdata" pada
jurusan Muamalah, Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang. Makalah ini berjudul
“Manusia sebagai Subjek Hukum” yang akan membahas tentang bagaimana kedudukan manusia
di mata hukum sebagai subjek hukum.

Demikianlah yang dapat kami sampaikan, kurang lebihnya kami mohon maaf bila ada
salah-salah kata. Sesungguhnya segala kekurangan dan kesalahan itu datangnya dari kami
sendiri. Sedangkan segala kelebihan itu datangnya dari Allah SWT semoga Allah SWT meridhai
kita. Tiada gading yang tak retak. Sekian.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Padang, 12 September 2020


PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Pengaturan Manusia Sebagai Subjek Hukum


Isrilah Subjek Hukum berdasarkan dari terjemahan rechtsubjec (Belanda) atau
law of subject (Inggris)1. Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban yang
disebut orang. Orang menurut konsep hukum terdiri atas manusia (persoon) dan badan
hukum (rechtpersoon). Manusia adalah subjek hukum menurut konsep biologis,
sebagai gejala alam, sebagai makhluk budaya ciptaan Tuhan yang dilengkapi dengan
akal, perasaan, dan kehendak. Badan hukum adalah subjek hukummenurut konseb
yuridis, sebagai gejala hidup bermasyarakat, sebagai badan ciptaan manusia
berdasarkan hukum, memiliki hak dan kewajiban seperti manusia.
Secara prinsipil,badan hukum berbeda dengan manusia.perbedaan tersebut
adalah:
1. Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan,mempunyai akal,perasaan dan
kehendak. Badan hukum adalah badan ciptaan manusia berdasarkan pada
undang-undang diwakili oleh pengurusnya..
2. Manusia memiliki kelamin,dapat kawin dan beranak. Sedangkan badan hukum
tidak memiliki semua itu.
3. Manusia dapat menjadi ahli waris,sedangkan badan hukum tidak dapat. 2

B. Awal dan Akhirnya Manusia sebagai Subjek Hukum


Pengakuan terhadap manusia sebagai subjek hukum sejak masih di dalam
kandungan ibunya dengan ketentuan dilahirkan hidup. Sebagaimaa dalam pasal 2
KUHPerdata sebagai berikut.
“Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah
dilahirkan bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu
dilahirkan , dianggaplah ia tak pernah ada”. (Pasal 2 KUHPerdata)

1
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata, (Jakarta:Sinar Grafika, 2014),hlm. 5
2
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, ( Bandung: PT CITRA Aditya Bakti, 2014),hlm. 24
Pengakuan terhadap manusia sebagai subjek hukum yang menyatakan bahwa
tidak ada satu hukumanpun yang dapat mengakibatkan kehilangan hak perdata manusia
sebagai subjek hukum.3
Sebagaimana dalam pasal 3 KUHPerdata sebagai berikut.
“Tiada satu hukumanpun mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan segala hak
kewarganegaraan”. (Pasal 3 KUHPerdata)
C. Kewenagan berhak
Unsur hak:
Kekuasaan atau wewenang yang diberikan oleh hukum kepada seseorang
untuk dapat melakukan sesuatu dan yang menjadi tantangannya ialah unsurkewajiban
dari orang lain untuk mengakui kekuasaan itu.

Hak merupakan potensi yang pada suatu saat dapat dimintakan perwujudannya
oleh pemegang hak. Oleh karena itu penyandang hak tentunya hanyalah mereka
yang mampu untuk membuat pilihan antara ‘mewujudkan’ atau ‘tidak
mewujudkan’ haknya tersebut. Kemampuan yang demikian tersebut hanya ada
pada manusia. Dengan demikian, hukum hanya menerima manusia sebagai
jawaban atas pertanyaan “siapa yang bisa menjadi penyandang hak” di atas.
Disamping itu, hukum masih membuat konstruksi fiktif yang kemudian diterima,
diperlakukan, dan dilindungi sebagaimana hukum memberikan perlindungan
terhadap manusia. Konstruksi yang demikian disebut Badan Hukum. Karena
badan hukum itu ciptaan hukum, maka hukum selain mengatur pembentukan atau
pendiriannya juga menentukan kematian atau lenyapnya suatu badan hukum. Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi penyandang hak sekaligus
diiringi dengan kewajiban ialah MANUSIA dan BADAN HUKUM.
Manusia sebagai subjek hukum mempunyai hak dan mampu menjalankan haknya,
dan dijamin oleh hukum yang berlaku. Berlakunya manusia sebagai pendukung
hak ialah mulai saat dia dilahirkan dan berakhir pada saat dia mati, kecuali :

3
Simanjuntak, Hukum Perdata, (Jakarta:Kencana, 2016),hlm. 20.
1. Berdasarkan pasal 2 BW
Setiap anak dalam kandungan dianggap telah lahir apabila kepentingannya
menghendakinya, apabila anak tersebut meninggal pada saat dilahirkan maka
dianggap tidak pernah ada.
Contohnya : Untuk harta warisan.
2. Berdasarkan pasal 467 BW
Seseorang yang meninggalkan tempat kediamannya selama waktu ditentukan
minimal 5 tahun, tidak ada kepastian bahwa dia masih hidup, maka oleh
pengadilan dapat dinyatakan bahwa ia telah mati.
Kewenangan berhak adalah :
Kewenangan untuk mendapatkan segala sesuatu yang dapat memenuhi
kebutuhan asasinya yang diberikan orang lain dari dia lahir sampai dia mati.
Kewenangan berhak tidak sekaligus ada dengan kewenangan berbuat.
Kewenangan berbuat ada ketika seseorang sudah dewasa (pasal 330 BW) atau
sudah kawin.
Adapun batasan kewenangan berhak dan berbuat adalah :
o Kebangsaan
o Jabatan
o Domisili
o Kelakuan yang tidak hormat.
D. Kecakapan Bertindak dalam Hukum
Meskipun menurut hukum sekarang ini, setiap orang/manusia tanpa kecuali dapat
memiliki hak-haknya, akan tetapi di dalam hukum, tidak semua orang/manusia
dibolehkan bertindak sendiri dalam melaksanakan hak-haknya itu.hukum. Atau biasa
juga disebut dengan tidak cakap
Ada beberapa golongan orang/manusia yang oleh hukum telah dinyatakan tidak
cakap atau kurang cakap untuk bertindak sendiri dalam melakukan perbuatan-perbuatan
hukum, sehingga mereka itu harus diwakili atau dibantu oleh orang lain. menurut pasal
1330 KUH Perdata,
Mereka yang oleh hukum dinyatakan telah dinyatakan tidak cakap untuk
melakukan sendiri perbuatan hukum ialah:
1. Orang/manusia yang belum dewasa,
Orang/manusia yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele), dan
a) Orang/manusia perempuan dalam pernikahan (wanita kawin).
b) Orang/manusia yang belum dewasa
c) Orang/manusia yang belum dewasa hanya dapat menjalankan hak dan
kewajibannya dengan perantara orang lain, atau sama sekali dilarang.
Kecakapan untuk bertindak di dalam hukum bagi orang-orang yang belum dewasa ini
diatur dalam ketentuan sebagai berikut.
Menurut pasal 330 KUH Perdata, orang yang dikatakan belum dewasa apabila ia
belum mencapai usia 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila ia telah
menikah, maka ia akan dianggap telah dewasa dan ia tidak akan menjadi orang yang di
bawah umur lagi, meskipun perkawinannya diputuskan sebelum ia mencapai usia 21
tahun4.
“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu
tahun dan tidak lebih dulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan
sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali
lagi dalam kedudukan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak
berada dalam kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan
dengan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga, keempat, dan kelima bab
ini. Penentuan arti istilah “belum dewasa” yang dipakai dalam beberapa
peraturan.
Ordonansi 31 Januari 1931. L. N. 1931-’54.
Untuk menghilangkan segala keragu-raguan yang timbul karena ordonansi 21
Desember 1917, L.N. 1917-138, dengan mencabut ordinansi ini, ditentukan
sebagai berikut:
1) Apabila peraturan undang-undang memakai istilah “belum dewasa”, maka
sekedar menganai bangsa Indonesia segala orang yang belum mencapai
umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
2) Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur dua puluh dua tahun,
maka tidaklah mereka kembali lagi dalam istilah “belum dewasa”
4
Simanjuntak , Hukum Perdata, (Jakarta:Kencana, 2016),hlm. 21.
3) Dalam paham perkawinan tidaklah termasuk perkawinan anak-anak.
(Pasal 330 KUH Perdata)5
2. Untuk melangsungkan perkawinan
a) Menurut pasal 29 KUH Perdata, bagi seorang laki-laki harus berumur 18
tahun dan bagi seorang wanita harus berumur 15 tahun.
b) Menurut pasal 7 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, bagi
seorang laki-laki harus berumur 19 tahun dan bagi seorang wanita harus
berumur 16 tahun.
c) Dalam hukum waris, seseorang yang belum mencapai umur 18 tahun tidak
dapat membuat wasiat .
d) Menurut pasal 19 UU No. 8 tahun 2012 tentang tentang pemilu, untuk
dapat memilih di dalam pemilihan umum harus sudah berumur 17 tahun.
3. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan
Menurut pasal 433 KUH Perdata orang yang ditaruh di bawah pengampuan
adalah orang yang dungu, sakit ingatan atau mata gelap, dan orang boros.
Mengenai hal ini diatur dalam ketentuan-ketentuan berikut ini:
a. Seseorang yang karena ketaksempurnaan akalnya ditaruh di bawah
pengampuan, telah mengikatkan dirinya dalam suatu perkawinan, dapat
diminta pembatalan perkawinan (Pasal 88 ayat 1 KUH Perdata)
b. Untuk dapat membuat atau mencabut suatu surat wasiat, seseorang harus
mempunyai akal budinya (Pasal 895 KUH Perdata)
c. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan dianggap tak cakap untuk
membuat suatu perjanjian (Pasal 1330 KUH Perdata)
4. Kedudukan wanita dalam hukum
Khusus untuk perempuan yang dinyatakan tidak cakap dalam perbuatan
hukum, dalam hal:
a. Membuat perjanjian, memerlukan bantuan atau izin dari suami.
b. Menghadap di muka hakim harus dengan bantuan suami (Pasal 110 KUH
Perdata)

5
KUHPerdata (Permata Press, 2010), hlm. 84-85.
Untuk sekarang ini, ketentuan pasal 108 KUH Perdata ini telah dicabut
dengan surat edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963.
Hal ini ditegaskan lagi dalam pasal pasal 31 UU No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, di mana hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam masyarakat. Dan masing-masing pihak berhak untuk
melakukan perbuatan hukum. Selanjutnya menurut pasal 36 ayat (2) UU No. 1
tahun 1974 mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri
mempunyaihak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya.
Namun dalam hal tertentu, meskipun seorang istri yang dianggap cakap
melakukan perbuatan hukum oleh UU No. 1 tahun 1974, dalam melakukan
perbuatan terhadap harta bersama perkawinan, harus dengan persetujuan suami
(karena suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga)6.
5. Pendewasaan
Pendewasan atau perlunakan (handlichting) adalah suatu daya upaya
hukum untuk menempatkan seorang yang belum dewasa menjadi sama menjadi
orang yang telah dewasa, baik untuk tindakan tertentu ataupun untuk semua
tindakan. Dengan demikian, menurut pasal 424 KUH Perdata anak yang dewasa,
dalam segala-galanya mempunyai kedudukan yang sama dengan orang dewasa.
a. Macam-macam bentuk pendewasaan
Pada dasarnya, ada dua macam bentuk pendewasaan yaitu:
1) Pendewasaan terbatas
Dengan pendewasaan terbatas, maka anak yang di bawah umur (yang
belum dewasa) dinyatakan dewasa untuk melakukan tindakan hukum tertentu.
Syarat untuk mengajukan pendewasaan terbatas adalah harus sudah berusia 18
tahun dan permohonan ini diajukan ke Pengadilan Negeri (Pasal 426 KUH
Perdata)
2) Pendewasaan penuh
Dengan pendewasaan penuh, maka anak di bawah umur (yang belum
dewasa), dinyatakan ewasa untuk melakukan segala tindakan. Syarat untuk
6
Simanjuntak, Hukum Perdata, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 22.
mengajukan pendewasaan penuh yaitu harus sudah berusia 20 tahun dan
permohonan ini diajikan kepada presiden (dalam hal ini Menteri Kehakiman pasal
420-421 KUH Perdata)
b. Pencabutan hak pendewasaan
Pendewasaan ini dapat dicabut atau ditarik kembali oleh pengadilan
Negeri apabila anak yang belum dewasa ini menyalahgunakan kewenangan yang
diberikan kepadanya atau suatu alasan tertentu (pasal 432 KUH Perdata). Segala
bentuk pendewasaan dan pencabutan pendewasaan ini, harus diumumkan dalam
berita Negara agar berlaku bagi umum7.
Untuk masa sekarang ini, lembaga pendewasaan ini sudah tidak
mempunyai arti lagi, karena batas usia dewasa menurut UU No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan adalah 18 tahun.
6. Pengampuan
Pengampuan (curatele) adalah suatu daya upaya hukum untuk
menempatkan seorang yang telah dewasa menjadi sama seperti orang yang belum
dewasa. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan disebut curandus,
pengampunya disebut curator dan pengampuannya disebut curatele.
Menurut pasal 433 KUH Perdata setiap orang dewasa yang mempunyai
sakit ingatan, boros, dungu dan mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan.
Setiap anak yang belum dewasa yang berada dalam keadaan dungu, sakit ingatan
atau mata gelap, tak boleh ditaruh di bawah pengampuan, melainkan tetaplah ia di
bawah pengawasan bapak dan ibunyaatau walinya (pasal 462 KUH Perdata).
a. Pengajuan permohonan pengampuan
Pengampuan ini terjadi karena adanya keputusan hakim yang didasarkan
dengan adanya permohonan pengampuan. Yang dapat mengajukan permohonan
pengampuan adalah:
1) Keluarga sedarah terhadap keluarga sedarahnya, dalam hal keadaannya
dungu, sakit ingatan atau mata gelap (pasal 462 KUH Perdata).
2) Keluarga sedarah dalam garis lurus sampai dengan derajat keempat, dalam
hal keborosannya (pasal 434 ayat 2 KUH Perdata).

7
Simanjuntak, Hukum Perdata, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 23
3) Suami dan istri boleh meminta pengampuan akan istri atau suaminya
(pasal 434 ayat 3 KUH Perdata).
4) Diri sendiri, dalam hal ia tidak cakap mengurus kepentingannya sendiri
(pasal 434 ayat 4 KUH Perdata).
5) Kejaksaan, dalam hal mata gelap, keadaandungu atau sakit ingatan (pasal
435 KUH Perdata)
Setiap permintaan akan pengampuan harus diajukan ke Pengadilan Negeri
di mana orang yang dimintakan pengampuannya itu berdiam (pasal 436 KUH
Perdata). Pengampuan mulai berlaku sejak putusan atau penetapan diucapkan
(pasal 446 KUH Perdata).
b. Akibat hukum pengampuan
Akibat hukum dari orang yang ditaruh di bawah pengampuan:
a) Ia sama dengan orang yang belum dewasa (pasal 452 ayat 1 KUH Perdata)
b) Segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang yang ditaruh di bawah
pengampuan, batal demi hukum (pasal 446 ayat 2 KUH Perdata)
Di samping dua hal di atas terdapat pengecualiannya, yaitu:
1) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan karena boros, masih boleh
membuat surat wasiat (pasal 446 ayat 2 KUH Perdata)
2) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan karena boros, masih bisa
melangsungkan perkawinan dan membuat perjanjian kawin yang dibantu
oleh pengampunya (pasal 452 ayat 2 KUH Perdata)
7. Berakhirnya pengampuan
Pengampuan ini berakhir apabila sebab-sebab yang mengakibatkannya
telah hilang (pasal 460 KUH Perdata) pengampuan juga berakhir apabila si
corundus meninggal dunia8.

E. Domisili
Berbicara mengenai domisili, ternyata domisili memiliki 2 aspek umum, yaitu
manusia dan badan hukum. Dalam aspek manusia, domisili diartikan sebagai tempat
tinggal atau bisa disebut dengan kediaman yang sah. Sedangkan dalam aspek hukum,

8
Simanjuntak, Hukum Perdata, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 25.
pengertian domisili adalah tempat di mana seseorang dianggap senantiasa berada atau
hadir untuk melaksanakan kewajibannya dan juga mendapatkan hak-haknya.
Domisili dalam aspek hukum sangatlah penting, ada 3 alasan kenapa domisili
sangat penting dalam aspek hukum, yaitu :
Berguna dalam menentukan dimana subjek hukum (seseorang) harus dipanggil dan
ditarik di muka pengadilan.
Domisili juga berguna untuk menentukan pengadilan mana yang berhak berkuasa
terhadap subjek hukum (seseorang) tersebut. Hal ini berhubungan dengan suatu peraturan
bahwa pengadilan yang berwenang mengadili seseorang dalam perkara perdata adalah
pengadilan dalam wilayah hukum di mana penggugat atau tergugat berdomisili (Pasal
118 ayat 1 dan 2 H.I.R).
Dalam perkawinan ternyata domisili juga diperlukan karena domisili digunakan
untuk menentukan dimana seseorang harus melakukan sebuah perkawinan, hal ini
terhubung dengan suatu peraturan bahwa perkawinan harus dilaksanakan di tempat salah
satu pihak (Pasal 76 KUH Perdata).
Selain memiliki 2 aspek, ternyata domisili juga memiliki 2 macam bentuknya, antara lain:
1. Domisili Terikat atau Wajib
Sebuah tempat kediaman yang tidak bergantung kepada keadaan orang A itu
sendiri, melainkan bergantung kepada keadaan orang lain yang ada hubungannya dengan
orang A itu.
2. Domisi Bebas atau Berdiri Sendiri
Dijelaskan sebagai saat seseorang dengan bebas yang sesuai dengan kehendaknya
dapat menentukan sebuah tempat kediaman di tempat tertentu. Domisili bebas juga
tersusun menjadi 2 bagian anatara lain :
a. Domisili yang sesungguhnya, dapat dijelaskan sebagai tempat yang
bertalian dengan hal yang melakukan wewenang perdata pada umumnya.
b. Domisili pilihan, dapat dijelaskan sebagai tempat yang ditunjuk sebagai
tempat kediaman oleh satu pihak atau lebih dalam hubungannnya dengan
melakukan perbuatan tertentu.
3. Jenis-jenis Domisili
Ditinjau dari terjadinya peristiwa hukum, tempat tinggal atau domisili
digolongkan menjadi 4 jenis, yaitu :
1) Tempat tinggal yuridis
Tempat tinggal yuridis terjaid karena peristiwa hukum, seperti kelahiran,
perpindahan, ataupun mutasi. tempat tinggal yuridis dibuktikan dengan KTP
atau bukti-bukti lain, seperti paspor. Apabila peristiwa hukum itu pembentukan
badan hukum, tempat kedudukan dibuktikan dengan akta pendirian (anggaran
dasar) yang di buat di muka notaris. Tempat tinggal yuridis adalah tempat
tinggal utama.
2) Tempat tinggal nyata
Tempat tinggal nyata terjadi karena peristiwa hukum kehadiran (berada) di
suatu tempat sesungguhnya. Tempat tinggal nyata dibuktikan dengan selalu
hadir atau ada di tempat itu. Tempat tinggal nyata sifatnya sementara karena ada
perbuatan atau keperluan tertentu yang tidak terus-menerus untuk jangka waktu
lama. Misalnya, seorang dosen memiliki KTP Jakarta melaksanakan penelitian
selama dua minggu di Kota Manggala, Kabupaten Tulangbawang sehingga dia
bertempat tinggal di Manggala.
3) Tempat tinggal pilihan
Tempat tinggal pilihan terjadi karena peristiwa hukum pembuatan
perjanjian dan tempat tinggal itu dipiliholeh pihak-pihak yang membuat
perjanjian itu. Tempat tinggal itu dibuktikan dengan akta autentik yang dibuat di
muka notaris. Tempat tinggal yang dipilih adalah kantor pengadilan negeri yang
berwenang, misalnya, Pengadilan Negeri kelas 1 Tanjungkarang.
4) Tempat tinggal ikutan
Tempat tinggal ikutan (tergantung) terjadi karena peristiwa hukum yang
menciptakan keadaan status hukum seseorang yang ditentukan undang-undang,
misalnya :
5) Perkawinan
Tempat tinggal istri sama dengan tempat tinggal suami (Pasal 32 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974).
6) Kelahiran
Tempat tinggal anak mengikuti tempat tinggal orang tua (Pasal 47
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974).
F. Catatan Sipil
Catatan Sipil (Burgelijke Stand) artinya catatan mengenai peristiwa perdata yang
dialami oleh seseorang atau untuk memastikan status perdata seseorang. Ada lima
peristiwa hukum dalam kehidupan manusia yang perlu dilakukan pencatatan, yaitu :
1. Akta Kelahiran
Akta yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, yang berkaitan dengan
adanya kelahiran. Akta ini bermanfaat untuk memudahkan pembuktian dalam hal
kewarisan, persyaratan untuk diterima di lembaga pendidikan dan persyaratan
bagi seseorang untuk masuk sebagai pegawai negeri.
2. Akta Perkawinan
Akta yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, yang berkaitan dengan
adanya perkawinan. Pejabat yang berwenang mengeluarkan akta perkawinan
meliputi:
 Kepala KUA bagi yang beragama Islam.
 Kepala Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama non Islam.
3. Akta Perceraian
Akta yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang setelah adanya putusan
pengadilan. Pejabat yang berwenang untuk menerbitkan akta perceraian bagi yang
beragama Islam adalah panitera pengadilan agama atas nama ketua pengadilan,
dan bagi orang non-Islam adalah kantor Catatan Sipil.
4. Akta Pengakuan dan Pengesahan Anak
Akta yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang, yang berkaitan dengan
pengakuan dan pengesahan terhadap anak luar kawin.
5. Akta Kematian
Akta yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang, yang berkaitan dengan
meninggalnya seseorang.
Adapun tujuan dari Lembaga Catatan Sipil adalah:
 Agar setiap warga masyarakat dapat memiliki bukti-bukti otentik.
 Memperlancar akti=tas pemerintah di bidang kependudukan.
 Memberikan kepastian hukum bagi kedudukan hukum setiap warga
masyarakat, misalnya kelahiran, perkawinan, perceraian, pengakuan,
kematian dan lainnya.

Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio

”Burgelijke Stand (Belanda), Catatan Sipil, suatu lembaga yang ditugaskan untuk
memelihara daftar-daftar atau catatan-catatan guna pembuktian status atau
peristiwa-peristiwa penting bagi para warga negara, seperti kelahiran, perkawinan,
dan kematian”.

Menurut Vollmar

Catatan sipil adalah suatu lembaga yang diadakan oleh penguasa yang bermaksud
membuktikan selengkap mungkin dan karena itu memberikan kepastian sebesar-
besarnya tentang semua peristiwa yang penting bagi status keperdataan seseorang
mengenai kelahiran, pengakuan, perkawinan, perceraian,dan kematian. Peristiwa-
peristiwa ini dicatat, agar mengenai itu baik bagi yang berkepentingan maupun
bagi pihak ketiga setiap saat ada buktinya. Sementara itu

Menurut Nico Ngani dan I Nyoman Budi Jaya

Catatan sipil adalah suatu lembaga yang bertugas untuk mencatat atau mendaftar
setiap peristiwa yang dialami oleh warga masyarakat, misalnya kelahiran,
perkawinan, kematian dan sebagainya. Tujuannya untuk mendapatkan data
selengkap mungkin agar status warga masyarakat dapat diketahui”.
Menurut Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang.

Catatan sipil adalah suatu lembaga yang sengaja diadakah oleh pemerintah yang
bertugas untuk mencatat, mendaftarkan, serta membukukan selengkap mungkin
tiap peristiwa penting bagi status keperdataan seseorang, misalnya perkawinan,
kelahiran, pengakuan/pengesahan anak, perceraian dan kematian serta ganti nama.

Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan catatan sipil atau pencatatan
sipil merupakan suatu lembaga yang sengaja dibentuk oleh pemerintah dengan
tugas menyelenggarakan pencatatan, penerbitan, penyimpanan dan pemeliharaan
data keperdataan seseorang, seperti kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian,
pengakuan dan pengesahan anak., serta pergantian nama.

G. Keadaan tidak Hadir


Keadaan tidak hadir adalah suatu keadaan dimana, seseorang tidak
berada di tempat kediaman dan tidak diketahui keberadaannya.
Dengan tidak diketahui keberadaan seseorang, maka akan timbul suatu persoalan-
persoalan hukum, mengenai status hukum orang tersebut. Hal ini berhubungan dengan
kepentingan orang lain, seperti status hukum keluarga dan juga berbagai aspek hukum
antara lain mengenai harta kekayaan dari orang tersebut.
Ketidakhadiran seseorang yang relatif lama dan tidak diketahui keberadaannya,
akan menimbulkan persoalan hukum yaitu:
1) Keadaan tidak hadir, menimbulkan ketidakpastian terhadap dirinya, hal ini
disebabkan tidak adanya bukti fisik apakah ia masih hidup atau sudah meninggal
dunia. Tidak adanya bukti fisik mengakibatkan kesulitan untuk menentukan
seseorang tersebut masih memiliki hak-hak sebagai subjek hukum (hak dibidang
keluarga, hak dibidang hukum harta benda, hak untuk melakukan tindakan hukum
dan sebagainya) atau keadaan tidak hadir mengakibatkan seseorang kehilangan
semua hak-haknya.
2) Seseorang yang pergi meninggalkan tempat tinggal tersebut yang sebelumnya tidak
memberikan kuasa apapun kepada orang lain untuk mewakili dirinya maupun untuk
mengurus harta kekayaan dan segala kepentingannya, maka keadaan tidak di tempat
akan menimbulkan persoalan, siapakah yang berhak mewakili dirinya dan
bagaimana mengurus harta kekayaannya?
Seseorang dinyatakan dalam keadaan tidak hadir juga berpengaruh terhadap harta
kekayaan.Salah satu hak yang dimiliki oleh ahli waris yaitu hak saisine yang artinya
orang yang mati berpegang teguh pada orang yang masih hidup. Hak ini
mengandung arti bahwa setiap benda harus ada pemiliknya. Hal ini ditujukkan pada
Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata,“ahli waris dengan sendirinya karena hukum
memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang si yang
meninggal” dan Pasal 874 KUHPerdata, “segala harta peninggalan seseorang yang
meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya, artinya setiap benda
harus ada pemiliknya yaitu dalam hal ini ada peralihan harta warisan ketika
seseorang telah meninggal kepada ahli warisnya.” 10 Persoalannya adalah ketika
seseorang dinyatakan dalam keadaan tidak hadir apakah harta kekayaan orang yang
tidak hadir sudah dapat dialihkan kepada ahli warisnya?
Berdasarkan uraian tersebut, tampak bahwa keadaan tidak hadir
menimbulkan ketidak pastian terhadap status personal, keluarganya dan harta
kekayaan yang dimiliki orang tersebut.

Anda mungkin juga menyukai