Anda di halaman 1dari 10

HUKUM KEKELUARGAAN DAN PERJANJIAN ADAT

HUKUM ORANG

Disusun Oleh :

Yogi Dwi Astorino (20150610227)

Mayda Nita Sari (20170610305)

Aulia Rahman AK (20170610419)

Zakaria Ahmad (20170610426)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Hukum orang adalah keseluruhan kaidah hukum yang mengatur tentang subjek hukum dan
wewenangannya, kecakapannya, domisili, dan catatan sipil. Pengertian wewenang adalah hak dan
kekuasaan dari seseorang untuk melakukan perbuatan hukum. Wewenang seseorang dalam hukum dapat
dibedakan menjadi dua: (1) wewenang untuk mempunyai hak (rechtsbevoegdheid), dan (2) wewenang
untuk melakukan perbuatan hukum dan faktor-faktor mempengaruhinya.
Pada dasarnya semua orang mempunyai hak, namun tidak semua orang mempunyai kewenangan
hukum (hak dan kewajiban). Orang yang berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang
yang sudah dewasa atau sudah menikah. Sedangkan faktor yang mempengaruhi seseorang dalam
melakukan perbuatan hukum adalah kebangsaan, umur, jenis kelamin, kedudukan tertentu, kelakuan, dan
domisili.
Dalam membina keluarga yang harmonis manusia sering kali menjadikan hidup sebagai wadah
untuk saling mengasihi. Namun terkadang dalam keluarga yang dianggap harmonis tidak didasari dengan
hukum Islam didalam rumah tangga, mestinya terdapat hal yang mampu menjadikan hidup tersebut penuh
dengan keridhaan Allah. Yang pertama ditekankan dalam keluarga Islam itu adalah bagaimana
pernikahan tersebut, apakah didasari syariat Islam atau tidak. Karena pernikahanlah yang menjadi dasar
untuk menjadikan keluarga Islam. Namun ada kalanya dalam negara terjadi perselisihan dalam pandangan
hukum, ada yang memandang hukum keluarga itu begini dan ada pula yang memandang hukum orang itu
begitu. Dalam makalah ini kami akan membahas sedikit mengenai hukum tentang orang. Yang
InsyaAllah dengan adanya pemahaman dalam masalah ini, manusia akan lebih menghargai diri sendiri
maupun orang lain.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa pengertian hukum orang ?


1.2.2 Apa pengertian dan pembagian subyek hukum ?
1.2.3 Apa hubungan antara hukum, hak dan kewajiban ?
1.2.4 Apa kewenangan hukum ?
1.2.5 Apa kecakapan hukum ?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Melatih mahasiswa menyusun paper dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan kreatifitas
mahasiswa.

1.3.2 Agar mahasiswa lebih memahami dan mendalami pokok bahasan khususnya mengenai hukum
perdata, tentang orang.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hukum Orang


Hukum orang dapat diartikan dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas meliputi ketentuan-
ketentuan mengenai orang sebagai subjek hukum dan kekeluargaan. Sedangkan dalam arti sempit
meliputi ketentuan orang sebagai subjek hukum.

Hukum tentang orang (personen recht) dalam burgerlijk wetboek (BW) diatur dalam buku 1 yang
berjudul Van Personen yang terdiri atas peraturan-peraturan mengenai hubungan keluarga, yaitu
mengenai:

- Perkawinan dah hak-hak kewajiban suami


- Kekayaan perkawinan
- Kekuasaan orang tua
- Perwalian dan pengampunan[1]

2.2 Subyek Hukum


Istilah subyek hukum berasal dari belanda yaitu recht subject atau law of subject (Ingggris).
Subyek hukum secara umum bermakna segala sesuatu yang mempunyai atau memegang hak dan
kewajiban yang disebut orang. Sedangkan Orang menurut konsep hukum terdiri atas manusia dan badan
hukum.[2]

Didalam buku I KUH Perdata yang disebut subjek hukum ialah hanya orang yang disebut pribadi
kodrat tidak termasuk badan hukum yang disebut dengan pribadi hukum. namun dalam perkembangan
selanjutnya badan hukum dimasukkan menjadi subyek hukum yang diatur dalam kitab undang-undang
hukum dagang, sehingga subjek hukum itu meliputi :

1) Orang disebut pribadi kodrati


2) Badan hokum disebut pribadi hokum

Pembagian subyek hukum

Berdasarkan konsep dalam dunia hukum, subyek hukum dapat diartikan sebagai pembawa hak, yaitu[3]:

1) Manusia (individu)
Manusia adalah subyek hukum menurut konsep biologis, sebagai gejala alam, sebagai makhluk
budaya ciptaan tuhan yang dilengkapi dengan akal, perasaan dan kehendak.
2) Badan hukum (perusahaan, organisasi, institusi)
Badan hukum adalah subjek hukum menurut konsep yuridis, sebagai gejala hidup bermasyarakat,
sebagai badan ciptaan manusia berdasar pada hukum,memiliki hak dan kewajiban seperti
manusia.
Secara prinsipal, badan hukum berbeda dengan manusia. Perbedaan tersebut dapat dinyatakan sebagai
berikut:

a. Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan, mempunyai akal, perasaan dan kehendak.
Badan hukum adalah badan ciptaan manusia berdasar pada undang-undang , diwakili oleh
pengurusnya
b. Manusia memiliki kelamin, dapat kawan, dapat beranak. Badan hukum tidak memiliki
kelamin, tidak dapat kawin dan tidak dapat beranak.
c. Manusia dapat menjadi ahli waris, sedangkan badan hukum tidak dapat.

2.3 Hubungan antara hukum, hak dan kewajiban


Hukum itu mengatur hubungan hukum antara tiap orang, tiap masyarakat, tiap lembaga, bahkan
tiap negara. Hubungan hukum tersebut terlaksana pada hak dan kewajiban yang diberikan oleh hukum.
Setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum selalu mempunyai dua sisi. Sisi yang satu ialah hak
dan sisi lainnya adalah kewajiban. Tidak ada hak tanpa kewajiban sebaliknya tidak ada kewajiban tanpa
hak. Karena pada hakikatnya sesuatu pasti ada pasangannya.

Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah dalam kehidupan bersama,
keseluruhan peraturan yang mengatur kehidupan bersama yang pelaksanaanya dapat dipaksakan melalui
sanksi. Hak adalah suatu kewenangan atau kekuasaan yang diberikan oleh hukum. Suatu kepentingan
yang dilindungi oleh hukum. Baik pribadi maupun umum. Dapat diartikan bahwa hak adalah sesuatu
yang patut atau layak diterima. Contoh hak: hak untuk hidup, hak untuk mempunyai keyakinan dan lain-
lain.

Sedangkan Kewajiban adalah suatu beban atau tanggungan yang bersifat kontraktual. Dengan
kata lain kewajiban adalah sesuatu yang sepatutnya diberikan. Contoh kewajiban :Dalam jual beli, bila
kita membeli suatu barang, maka kita wajib membayar barang tersebut[4].

Perwujudan hukum menjadi hak dan kewajiban itu terjadi dengan adanya perantaraan peristiwa
hukum. Segala peristiwa atau kejadian dalam keadaan tertentu adalah peristiwa hukum. Untuk terciptanya
suatu hak dan kewajiban diperlukan terjadinya peristiwa yang oleh hukum dihubungkan sebagai akibat.
Karena pada umumnya hukum itu bersifat pasif. Contoh: Terdapat ketentuan "barangsiapa mencuri, maka
harus dihukum". Maka bila tidak terjadi peristiwa pencurian maka tidaklah ada akibat hukum.

2.4 Kewenangan Hukum


1. Kewenanagn Berhak

Hukum perdata memandang bahwa setiap manusia mempunyai hak yang sama. Baik itu manusia
yang sudah dewasa ataupun manusia yang masih belum dewasa, maka hak-haknya tetaplah sama.
Berakhirnya seseorang sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam hukum perdata adalah apabila ia
meninggal dunia.
Namun apabila terdapat pertanyaan, apakah manusia yang tidak normal memiliki kewenangan
berhak? Dalam kenyataan setiap manusia atau setiap individu itu mempunyai atau mampu
bertanggungjawab atas segala perbuatan yang dilakukan. Kewenangan berhak adalah mengandung
pengertian kewenangan setiap manusia pribadi yang berlangsung terus menerus hingga akhir hayatnya.
Kewenangan berhak setiap manusia tidak dapat ditiadakan oleh suatu ketentuan hukum apapun.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kewenanagan berrhak seseorang yang sifatya membatasi,
diantaranya:

a) Tempat tinggal, misalnya dalam pasal 3 PP No.24 Th.1960 dalam pasal 1 PP No. 41 Th. 1964
(tambahan pasal 3a s/d 3c) jo pasal 1 ayat 2 UUPA disebutkan larangan pemilikan tanah pertanian oleh
orang yang bertempat tinggal diluar kecamtan tempat letak tanahnya (tanah absensi).

b) Kewarganegaraan, misalnya dalam pasal 21 UUPA disebutkan bahwa hanya WNI yag berhak memiliki
hak milik (berupa tanah).

2. Kewenangan Berbuat

Kewenangan Berbuat/Bertindak.

Pada dasarnya, setiap manusia memliki kewenangan berhak, yakni kewenangan berhak untuk dilakukan
(dikenai) atau melakukan apa saja sesuai dengan ketentuan aturan. Hanya saja kewenangan berbuat atau
kewenangan bertindak adalah kewenangan yang tidak harus dilakukan oleh setiap manusia. Sebab hal ini
dibatasi oleh beberapa faktor. Kesimpulannya, setiap manusia yang mempunyai kewenangan berhak
belum tentu mempunyai kewenangan berbuat atau bertindak.

Contohnya adalah, adat Jawa yang mengatakan seseorang yang sudah mandiri dikatakan cakap untuk
melakukan perbuatan hukum. Sebaiknya dikatakan belum dewasa apabila orang tersebut belum mandiri
dan belum berkeluarga.

Undang-Undang Dasar 1945 melalui pasal 2 aturan peralihan menyatakan bahwa: Ketentuan produk
kolonial masih dapat diberlakukan sebelum dibentuk undang-undang yang baru. Sampai sekarang belum
ada undang-undang baru yang meneruskan pengertian dewasa dan belum dewasa. Oleh harena itu
ketentuan dewasa dan belum dewasa produk kolonial masih berlaku. Misalnya: - Pasal 330 BW, untuk
golongan eropa. Stablad 1924 No. 556, untuk golongan orang timur asing.

Untuk mengetahui apakah seseorang itu wenang berbuat atau tidak, ada beberapa faktor yang
membatasiya itu umur, kesehatan, perilaku.

Wenang berbuat ada 2 pengertian:

1. cakap atau mampu berbuat karena memenuhi syarat hukum (bekwaam)

2. kuasa/ berhak berbuat karena diakui oleh hukum walaupun tidak memenuhi syarat hukum (bevoegd)
2.5 Kecakapan Hukum
Meskipun hukum setiap orang tiada yang terkecuali dapat memiliki hak-hak, akan tetapi didalam
hukum tidak semua orang diperbolehkan bertindak sendiri dalam melaksanakan hak-haknya itu.
Disamping wewnang untuk dapat melakukann perbuatan hukum, orang harus cakap melakukan hukum.
Seseorang adalah cakap hukum, apabila ia telah dianggap cukup cakap mempertanggung jawabkan
sendiri atas segala tindakan-tindakannya sendiri. Pada dasarnya, setiap orang yang telah dewasa adalah
cakap untuk melakukan perbuatan hukum, karena memenuhi syarat umur menurut hukum. Akan tetapi
apabila orang dewasa tersebutsakit ingatan atau boros sehingga tidak dapat mengurus dirinya
sendiri,maka ia tidak bisa dikatakan cakap menurut hukum. Ini dinyatakan dalam Pasal 330 KUHPerdata
yang menjelaskan anak baru cakap membuat perjanjian apabila berumur minimal 21 tahun atau
sebelumnya sudah melangsungkan perkawinan.

Perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang yang belum dewasa adalah tidak sah menurut
hukum, perbuatan hukum yang tidak sah ini dapat dimintakan pembatalannya melalui hakim. Tidak setiap
perbuatan orang yang belum dewasa itu tidak sah menurut hukum, ada perbuatan-perbuatan tertentu yang
meskipun dilakukan oleh seorang yang belum cakap untuk melakukan perbuatan hukum, namun diakui
oleh hukum. Salah-satunya adalah anak perempuan yang berusia 16 tahun dan anak laki-laki berusia 19
tahun dapat melakukan perkawinan, meski belum dewasa menurut hukum, akan tetapi hukum mengakui
perbuatan mereka itu, menurut pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seseorang laki-laki
baru boleh kawin apabila sudah berumur 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun.

Orang dewasa yang tidak berkepentingan, tidak wenang melakukan perbuatan hukum. Misalnya
seorang penyewa rumah, ia tidak wenang untuk menjual rumah tersebut kepada pihak lain, karena rumah
itu bukan miliknya. Terkecuali apabila orang tersebut diberikan izin oleh pemilik rumah. Jadi, meski
orang dewasa, tetapi belum tentu ia wenang melakukan perbuatan hukum dalam segala hal. Dari segi
perbuatan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Yang cakap melakukan perbuatan hukum. Dalam pasal 1320 KUHPerdata dimyatakan bahwa
untuk sahnya perjanjian diperlukan antara lain syarat adanya kecakapan untuk membuat perkataan
(verbintenis). Kecakapan bagi seorang anak, berlaku untuk keadaan tertentu, seperti berikut: a) Anak baru
cakap membuat perjanjian apabila berumur minimal 21 tahun atau sebelumnya sudah melangsungkan
perkawinan (pasal 330 KUHPerdata). b) Untuk dapat melangsungkan perkawinan bagi seorang laki-laki
harus berumur minimum 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun (pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan).

2. Yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum, golongan ini dibagi lagi dalam: a)
Ketidakcakapan sungguh-sungguh ialah orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan (curatele),
karena gangguan jiwa seperti sakit syaraf atau gila, perbuatan mereka akan tidak normal, pemabuk atau
pemboros, perbuatannya akan merugikan dan menelantarkan keluarga terutama bagi anak-anak, baik
dalam kehidupan, pendidikan dan lain-lain (pasal 433 KUHPerdata).b) Ketidakcakapan menurut hukum
ialah orang-orang yang belum dewsa dan wanita yang berstatus dalam perkawinan ditentukan oleh pasal
1330 KUHPerdata menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian ialah:

• Orang yang belum dewasa


• Orang yang ditaruh dalam pengampuan

• Wanita yang dalam perkawinan atau berstatus sebagai istri

Tapi menurut pasal 1330 KUHPerdata yang menyatakan bahwa wanita yang dalam perkawinan
tidak cakap melakukan pebuatan hukum sudah tidak berlaku lagi, karena menurut undang-undang
Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 31 menjelaskan bahwa, kedudukan istri dan suami adalah sama
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, masing-masing pihak
berhak melakukan perbuatan hukum. Hanya tugasnya dibagi, suami sebagai kepala rumah tangga dan istri
sebagai ibu rumah tangga.

Hukum perdata di Indonesia sebagai akibat dari warisan zaman kolonial dikaitkan dengan
golongan penduduk sehingga berlaku bermacam macam patokan umur dewasa bagi masing-masing
golongan penduduk. Menurut pasal 2 KUH Perdata manusia menjadi pendukung hak dan kewajiban
dalam hukum sejak ia lahir sampai ia meninggal. Tetapi Undang-undang menentukan tidak semua orang
sebagai pendukung hukum (recht) adalah cakap (bekwaan) adalah kriteria umum yang di hubungkan
dengan keaadaan diri seseorang, sedangkan berwenang (bevoegd) merupakan kriteria khusus yang di
hubungkan dengan suatu perbuatan atau tindakan tertentu.

Seseorang yang cakap belum tentu berwenang tetapi yang berwenang sudah pasti cakap.
Undang-undang menentukan bahwa untuk dapat bertindak dalam hukum, seseorang harus telah cakap
dan berwenang. Seseorang dapat di katakan telah cakap dan berwenang, harus memenuhi syarat-syarat
yang di tentukan oleh Undang-undang yaitu telah dewasa, sehat pikiranya (tidak di bawah pengampuan)
sreta tidak bersuami bagi wanita. Menurut pasal 330 KUH Perdata seseorang telah dewasa apabila telah
berumur 21 tahun, dan telah kawin sebelum mencapai umur tersebut.

Kecakapan berbuat dam kewengan bertindak menurut hukum ini adalah di benarkan dalam
ketentuan Undang-undang itu sendiri, yaitu

1. Seseorang anak yang belum dewasa (belum mencapai umur 21 tahun) dapat melakukan seluruh
perbuatan hukum apabila telah berusia 20 tahun dan telah mendapat surat pernyataan dewasa (venia
aetatis) yang di berikan oleh presiden, setelah mendengar nasihat Mahkama Agung (pasal 419 dan 420
KUH Perdata).

2. Anak yang berumur 18 tahun dapat melakukan perbuatan hukum tertentu setelah mendapat surat
pernyataan dewasa dari pengadilan, (pasal 426 KUH Perdata).

3. Seseorang yang berumur 18 tahun dapat membuat surat wasiat . (pasal 897 KUH Perdata).

4. Orang laki-laki yang telah mencapai umur 15 tahun dan perempuan yang telah berumur 15 tahun
dalam melakukan perkawinan.(pasal 29 KUH Perdata).

5. Pengakuan anak dapat di lakukan oleh orang yang telah berumur 19 tahun, (pasal 282 KUH
Perdata).

6. Anak yang telah berumur 15 tahun dapat menjadi saksi. (pasal 1912) KUH Perdata).

7. Seseorang yang telah di taruh di bawah pengampuan karena boros dapat :


a. Membuat surat wasiat (paslal 446 KUH Perdata ).

b. Melakukan perkawinan. (pasal 452 KUH Perdata).

8. Istri cakap bertindak dalam hukum dalam hal :

a. Dituntut dalam perkara pidana, menuntut perceraian perkawinan, pemisahan meja dan
ranjang serta menuntut pemisahan harta kekayaan. (pasal 111 KUH Perdata).

b. Membuat surat wasiat. Pasal (118 KUH Perdata).

Kecakapan bertindak merupakan kewenangan umum untuk melakukan tindakan hukum.


Setelah manusia dinyatakan mempunyai kewenangan hukum maka selanjutnya kepada mereka
diberikan kewenangan untuk melaksanakan hak dan kewajibannya oleh karenanya diberikan
kecakapan bertindak. Di satu sisi, manusia adalah subyek hukum sebagai pengemban hak dan
kewajiban hukum yang kemudian diejawantahkan ke dalam bentuk kewenangan hukum. Terkait
dengan hak terdapat kewenangan untuk menerima, sedangkan terkait dengan kewajiban terdapat
kewenangan untuk bertindak (disebut juga kewenangan bertindak).Kewenangan hukum dimiliki oleh
semua manusia sebagai subyek hukum, sedangkan kewenangan bertindak dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, misalnya faktor usia, status (menikah atau belum), status sebagai ahli waris, dan lain-
lain.

Cakap Tetapi Tidak Berwenang

Seseorang yang telah cakap menurut hukum mempunyai wewenang bertindak dalam hukum.
Tetapi di samping itu Undang-undang menentukan beberapa perbuatan yang tidak berwenang di lakukan
oleh orang cakap tertentu.

1. Tidak boleh mengadakan jual beli antara suami dan istri (pasal 1467 KUH perdata) disini suami
adalah cakap, tapi tidak berwenang menjual apa saja kepada istrinya.

2. Larangan kepada pejabat umum (hakim, jaksa, panitera, advocat, juru sita, notaris) untuk menjadi
pemilik karena penyerahan hak-hak, tuntutan-tuntutan yang sedang dalam perkara (pasal 1468 KUH
Perdata).

3. Apabila hakim terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda dengan ketua, seorang hakim
anggota, jaksa, penasihat hukum, panitera, dalam suatu perkara tertentu ia wajib mengundurkan diri dari
pemeriksaan perkara itu, begitu pula ketua, hakim anggota, jaksa panitera, terikat hubungan keluarga
dengan yang diadili ia wajib mengundurkan diri. (pasal 28 UU. No.14/1970).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum orang dapat diartikan dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas meliputi ketentuan-
ketentuan mengenai orang sebagai subjek hukum dan kekeluargaan. Sedangkan dalam arti sempit
meliputi ketentuan orang sebagai subjek hukum.

Istilah subyek hukum berasal dari belanda yaitu recht subject atau law of subject (Ingggris).
Subyek hukum secara umum bermakna segala sesuatu yang mempunyai atau memegang hak dan
kewajiban yang disebut orang. Sedangkan Orang menurut konsep hukum terdiri atas manusia dan badan
hukum. Berdasarkan konsep dalam dunia hukum, subyek hukum dapat diartikan sebagai pembawa hak,
yaitu manusia dan badan hukum.

3.2 Kritik dan Saran


Demikianlah makalah yang kami susun. Mungkin banyak sekali kekurangan atau kekeliruan dan
kesalahan dalam makalah yang kami susun. Apa bila ada kesalahan itu semua datangnya dari kami selaku
manusia yang penuh kesalahan, dan apabila ada kebenaran itu semua tak lain datangnya dari Allah Swt.
Maka untuk itu kami tak lupa mohon dengan sangat kritik dan saran guna perbaikan makalah kami
selanjutnya. Mudah-mudahan banyak manfaat dalam makalah ini bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
[1] http://www.academia.edu/7279189/RESUME_HUKUM_TENTANG_ORANG Diakses: 12/09/2015

[2] Abdulkadir Muhammad, Hukum perdata indonesia, cet.5, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014),
hlm. 23.

[3]https://id.wikipedia.org/wiki/Subyek_hukum Diakses: 12 Agustus 2015, 00.01. Diakses: 12/09/2015

[4] http://belajarhukumindonesia.blogspot.co.id/2010/02/hak-dan-kewajiban.html Diakses: 12/09/2015

Soebekti, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, Cet.33

Journal ADHAPER http://www.jhaper.org/index.php/JHAPER

http://juniverganaplaw.blogspot.com/2016/02/cakap-hukum-bekwaanheid-dan-wewenang.html

Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2007

Subekti, Kitab Undang-Undang hukum perdata, Jakarta : PT Pradnya Paramita, 1995

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2005

Anda mungkin juga menyukai