Anda di halaman 1dari 14

PERTEMUAN KE-4

PEMBENTUKAN HUKUM

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Mahasiswa memahami dan mengerti tentang pembentukan hukum.

B. URAIAN MATERI

Sebelum kita membahas tentang pembentukan hukum kita harus


memahami lebih dahulu pengertian pembentukan hukum. Pembentukan
hukum (rechtsvorming) adalah merumuskan peraturan-peraturan yang
berlaku secara umum bagi setiap orang lazimnya dilakukan oleh
pembentuk undang-undang. Hakim juga dimungkinkan sebagai
pembentuk hukum (judge made law) jika putusannya menjadi
jurisprudensi tetap (vaste jurisprudence) yang diikuti oleh para hakim
dan merupakan pedoman bagi kalangan hukum pada umumnya.

Satjipto Rahardjo (2006: 175), dalam bukunya yang berjudul Ilmu


Hukum, menggunakan istilah pembuatan hukum tidak dengan sebutan
pembentukan hukum.

Hukum sebagaimana diterima dan dijalankan di negara-negara di dunia


sekarang ini, pada umumnya termasuk kategori hukum modern.
Modernitas ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (Satjipto Rahardjo,
2006: 213-214)

a. mempunyai bentuk tertulis;


b. hukum itu berlaku untuk seluruh wilayah negara;
c. hukum merupakan instrumen yang dipakai secara sadar untuk
mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya.

Hukum dalam wujud bahasa tertulis ini adalah: perundang-undangan.

Menurut Bagir Manan (1995:17), hukum perundang-undangan adalah


hukum tertulis yang dibentuk dengan cara-cara tertentu, oleh pejabat
yang berwenang dan dituangkan dalam bentuk tertulis. Disebut hukum
perundang-undangan karena dibuat atau dibentuk dan diterapkan oleh
badan yang menjalankan fungsi perundang-undangan (legislasi).

Dalam pembentukan hukum, bahasa merupakan hal yang utama dalam


penyusunan peraturan perundang-undangan, sebab lemahnya pemahaman
masyarakat terhadap hukum bermula dari lemahnya penggunaan bahasa
hukum yang benar dalam perancangan sarana hukum sebagai kaidah
yang mengatur kehidupan manusia.

Perlu dipahami bahwa di dalam kehidupan masyarakat, UU berfungsi


sebagai komponen dasar untuk menata dan menertibkan masyarakat,
memberikan kepastian, memberikan jaminan akan hak dan kewajiban.
Pemahaman seperti ini mempunyai justifikasi atau pembenaran bila
peraturan perundang-undangan dapat dipahami dengan baik oleh
masyarakat. Oleh karena itu, UU sebagai komponen dasar dalam
kehidupan manusia, harus dijelmakan dalam wujud keserasian antara
nilai yang terkandung dalam kaidah hukum dengan perilaku nyata dalam
masyarakat.

Berkaitan dengan pembentukan hukum secara benar, pembentuk UU


harus dapat menguasai bahasa dengan baik, baik sebagai penguasaan
ilmiah maupun sebagai penguasaan seni yang menyangkut retorika
(keterampilan menggunakan bahasa secara efektif sehingga
menimbulkan keindahan). Dalam arti, pembentuk UU harus menguasai
ilmu pengetahuan mengenai perancangan UU dengan memenuhi kaidah-
kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar serta memahami dan
menguasai teknik penguasaan bahasa Indonesia yang tersusun baik, yakni
berbahasa secara efektif dan efisien. Dengan demikian, pengetahuan
dan penguasaan bahasa sangat penting bagi perancangan UU, sebab
dalam merancang UU sebagai sarana hukum penekanannya tidak
semata-mata mengenai pengetahuan teknik tentang RUU tersebut,
melainkan yang lebih penting adalah penguasaan bahasa (Bahder Johan
Nasution & Sri Warjiyati, 2001: 63).

Bahasa hukum memiliki ciri khas tersendiri dibadingkan dengan bahasa


yang dipergunakan oleh masyarakat pada umumnya. Beberapa kata dapat
diartikan lain oleh praktisi hukum. Lilis Hartini (2014: 143) mengambil
contoh: kata mengikuti mempunyai pengertian ‘menguntit (selalu dari
belakang)’ sehingga pada umumnya masyarakat mempunyai pengertian
yang sama tentang kata tersebut. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
(KUBI) mengikuti berarti ‘menyertai dari belakang’, Pengertiannya
menjadi luas ketika berhubungan dengan bahasa hukum. Dalam hukum
tercapai kespakatan umum melalui suatu putusan hakim, bahwa kata
mengikuti tidak harus berada di belakang orang yang diikuti. Bisa di
sebelah kanan, kiri, atas, atau di depannya. Bagi praktisi hukum rumusan
dalam KUHPidana yang berbunyi: “Barangsiapa yang mengikuti orang
lain terus menerus sehingga orang tersebut terganggu, maka orang
tersebut dihukum 12 (dua belas) bulan.”. Kata mengikuti mempunyai
pengertian mengawasi karena tidak hanya menguntit tetapi memonitor
dari segala arah.

Sayangnya hanya praktisi hukumlah yang mengerti tentang kata-kata


yang mempunyai pengertian berbeda dari bahasa pada umumnya. Mereka
pun pakar-pakar yang selalu berkecimpung dalam praktik-praktik hukum
di pengadilan.

Sebenarnya seseorang yang berkecimpung dalam di dunia hukum harus


cerdas dan fasih berbahasa karena hukum merupakan produk pemikiran
para praktisi hukum yang terkadang maknanya berbeda dari makna
kamus. Kesepakatan mereka tentang bahasa tidak terlepas dari
kepentingan penggunaan bahasa dalam aturan-aturannya. Agar pemikiran
itu mantap seyogyanya ditunjang oleh struktur bahasa secara sintaksis.
Di samping itu, tugas bahasa yang terutama ialah menunjukkan makna.
Makna di dalam ilmu hukum adalah denotatif dan bukan konotatif. Di
samping, makna dan sintaksis bahasa perlu mempunyai nilai praktis bagi
pemakainya, Oleh karena itu, bahasa hukum membersitkan nilai
pragmatis.

Bahasa dan hukum mempunyai hubungan yang sangat erat, karena


hukum tanpa bahasa akan tumpul. Aturan-aturan hukum dibuat dengan
menggunakan bahasa, baik secara tertulis, lisan, maupun dengan isyarat
(seperti pada rambu-rambu lalu lintas). Bahasa memegang peranan
penting dalam kehidupan hukum, Bahasa dijadikan alat vital (sangat
penting dan sangat diperlukan) oleh pembentuk UU dalam
mengungkapkan gagasan-gagasan hukum. Pembentuk UU harus fasih
berbahasa untuk mengolah daya nalarnya menjadikan hukum yang
bertaat asas dan diakui masyarakat.

Suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa produk hukum dalam
berbagai macam jenisnya dirumuskan ke dalam bentuk bahasa hukum.
Terkadang bahasa hukum kaku, seperti yang kita lihat pada UUDNRI
Tahun 1945.

Bahasa hukum berbeda dari bahasa-bahasa keilmuan lainnya. Sebagai


bahasa, bahasa hukum mempunyai kelebihan dalam istilah-istilahnya.
Bahasa hukum sarat dengan makna harfiah dan pembatasan yang akurat,
sehingga diharapkan hilangnya ambiguitas dan diperolehnya kepastian
hukum. Jadi arti kata yang tidak terbawa tetapi tidak dikendaki harus
ditinggalkan. Hal ini dilakukan demi menunjang kepastian hukum yang
normatif, melembaga, dan mempunyai daya paksa. Tujuannya adalah
untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, agar kehidupan di
masyarakat tertib, teratur, tentram, dan damai.

Lilis Hartini (2014: 114) mengemukakan, kecirikhasan hukum


sebenarnya terletak pada bentuk peraturan perundang-undangan yang
sistematik dan berpola. Coba perhatikan naskah peraturan perundang-
undangan, pada umumnya di dalamya terdapat bab, pasal, ayat. Bentuk
bab memang dipergunakan tidak hanya dalam peraturan perundang-
undangan, tetapi juga dalam karya tulis ilmiah. Demikian pula bentuk
ayat tidak hanya terdapat dalam peraturan perundang-undangan, tetapi
juga dalam kitab suci. Sementara bentuk pasal, hanya kita temui dalam
peraturan perundang-undangan.

Lebih lanjut, Lilis Hartini (2014: 115) menjelaskan, dikatakan sistematik,


karena hanya gagasan pakar hukumlah yang mengatur bahasa hukumnya
seperti itu (bab, pasal, ayat). Keistimewaan ini pun ternyata tidak hanya
terdapat dalam peraturan perundang-undangan, tetapi ternyata dalam
setiap tulisan hukum terdapat kesamaan yang mendasar, yaitu segala
persoalan hukum selalu diungkapkan secara kronologis (berurutan).
Kemudian kecirikhasan yang lain terdapat pada istilah-istilah hukum
yang diadopsi dari bahasa asing, terutama bahasa Belanda dan Inggris.
Masyarakat mengenal inilah bahasa hukum, tetapi sebagian masyarakat
tidak tahu mana sesunguhnya dari istilah-istilah yang diadopsi tersebut.

Demikian pula dengan bahasa isyarat, seperti pada rambu-rambu lalu


lintas. Kecirikhasan hukum di sini adalah dapat memberikan pelayanan
kepada masyarakat bagaimana mematuhi aturan-aturan hukum di jalan
raya. Masyarakat tahu bahwa ketika mereka berada di persimpangan
selalu ada rambu yang mengisyaratkan jalan (lampu hijau), hati-hati
(lampu kuning), dan berhenti (lampu merah). Gagasan-gagasan inilah
yang merupakan ciri khas hukum.

Bahasa hukum sebagai bahasa ilmiah harusnya disusun secara cermat


dan tepat, mudah dipahami dan mempunyai kesatuan makna yang jelas.
Apabila bahasa perundang-undangan atau bahasa putusan pengadilan
disusun secara jelas dengan kalimat yang tidak terlalu panjang serta
menghindari pemuatan berbagai istilah asing yang terjemahannya
mempunyai arti ganda, orang akan mudah mengerti dan memahmi apa
yang dimaksud oleh peraturan atau putusan pengadilan tesebut, tidak
menimbulkan berbagai interpretasi di kalangan masyarakat (Bahder
Johan Nasution & Sri Warjiyati, 2001: 66).

Hukum sebagai aturan-aturan yang berlaku di masyarakat, hendaknya


disusun dengan bahasa hukum yang mudah dimengerti, yaitu bahasa
yang benar meliputi unsur-unsur ketepatan, kecermatan, dan kejelasan
ungkapan. Bahasa hukum bukan bahasa lain, tetapi bahasa khusus
dalam arti bahasa Indonesia umum yang hanya dipergunakan dalam
bidang hukum. Hal ini berarti bahwa bahasa Indonesia hukum tidak
boleh meninggalkan tata bahasa, ilmu asal-usul kata, arti kata maupun
ilmu tentang kalimat dari bahsa Indonesia (Bahder Johan Nasution & Sri
Warjiyati, 2001: 67).

Kelugasan pemakaian bahasa dalam menetapkan aturan-aturan hukum


memerlukan berbagai pendekatan. Pertama: pendekatan dari sudut
bahasa, yaitu harus dipahami kaidah-kaidah bahasa yang baik dan benar,
sehingga setiap kata dan kalimat mempunyai pengertian yang jelas,
runtut, dan mudah dipahami; Kedua: pendekatan dari sudut hukum,
yakni memahami dengan sesungguhnya pokok substansi hukum yang
dibicarakan menyangkut berbagai fenomena masyarakat; Ketiga:
pendekatan dari segi psikologi massa, yaitu perlu diketahui dengan siapa
hukum itu dibicarakan atau dengan kata lain harus dilihat dan dinilai
apakah orang yang menerima komunikasi tersebut memahami apa yang
dibicarakan. Jika ketiga pendekatan ini digunakan, kita tidak akan
mengalami kesuitan untuk mengkomunikasikan hukum (Bahder Johan
Nasution & Sri Warjiyati, 2001: 68).

Keresmian di dalam penggunaaan bahasa sudah dimulai sejak lahirnya


Sumpah Pemuda yang menyatakan “Berbahasa satu yaitu bahasa
Indonesia”, implikasi dari Sumpah Pemuda tersebut menunjukkan
bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa resmi yang digunakan sebagai
bahasa kenegaraan, bahasa perundang-undangan. Mengingat fungsinya
yang demikian, maka bahasa hukum yang digunakan seyogyanya
merupakan bahasa resmi, yaitu yang kata-kata dan susunan kalimatnya
terbentuk dari kata-kata yang sudah dibakukan ke dalam bahasa
Indonesia (Bahder Johan Nasution & Sri Warjiyati, 2001: 69).

Bahasa Indonesia hukum, di samping tersusun dalam bentuk peraturan


perundang-undangan juga dimuat dalam bentuk perjanjian; kontrak;
akta; dan putusan pengadilan. Bahasa perundang-undangan ataupun
bahasa putusan pengadilan yang kalimatnya disusun panjang-panjang
dan bertele-tele, sulit untuk dipahami dan dihayati oleh masyarakat.
Apabila kita telaah lebih lanjut berbagai istilah hukum yang ada dalam
putusan pengadilan, banyak sekali putusan pengadilan tersebut yang
menggunakan bahasa Latin atau bahasa Belanda. Bahasa asing tersebut
sebagian diantaranya sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Pada masa yang akan datang, produk hukum yang dibuat oleh para pakar
hukum harus diungkapkan dengan bahasa yang lebih sederhana, tidak
banyak membuat penafsiran, karena sebaiknya hukum itu bermakna
denotatif (tunggal) daripada bermakna konotatif (ambigu).

Pembentukan Hukum
Pembentukan hukum perundang-undangan dan keputusan-keputusan
hukum untuk masyarakat modern harus menggunakan istilah-istilah dan
bahasa hukum yang modern, baik bahasa hukum yang bersifat nasional
maupun yang bersifat internasional. Dengan demikan, jika peraturan-
peraturan itu dibaca oleh orang asing dapat dimengeri maksudnya,
sehingga diharapkan akan terwujud kepatuhan hukumnya.

Untuk merumuskan kata-kata dalam bentuk kalimat yang baik


dibutuhkan pula sarjana bahasa Indonesia. Di samping itu, agar peraturan
yang akan ditetapkan itu dapat berlaku sesuai dengan kebutuhan dan
keadaan masyarakat, diperlukan ahli antropologi dan sosiologi yang
akan melihat masalahnya dari segi manusia dan perkembangan
masyarakat.
Faktor-faktor yang menentukan pembentukan hukum dalam masyarakat
modern menurut Hilman Hadikusuma (2005: 21) dapat dilihat dari segi
formal dan materialnya:

 Dari segi formal yang membentuk hukum adalah perundang-


undangan, administrasi negara, peradilan, adat, kebiaaan, dan ilmu
pengetahuan.
 Dari segi material yang membentuk hukum adalah perasaan hukum
seseorang dan pendapat umum.

Untuk dapat mengetahui kehendak pembuat peraturan perundang-


undangan dan bagaimana menerapkan hukum dan perundang-undangan
agar sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat, maka hakim,
penegak hukum, dan pelaksana hukum perlu menggunakan cara-cara
penafsiran hukum.

Menurut Prof. Padmo Wahyono (Sri Soemantri M, 2014: 123), politik


hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, dan isi
hukum yang akan dibentuk.

Sri Soemantri M (123-126) mengemukakan, untuk memahami politik


hukum di atas perlu dimengerti lebih dahulu, apa yang dimaksud dengan:

a. kebijakan dasar;
b. arah (hukum), bentuk (hukum), dan isi (hukum);
c. makna “akan dibentuk”.

Lebih lanjut, Sri Soemantri M (2014: 125-127) menguraikan mengenai arti


kebijakan dasar, arti arah hukum, bentuk hukum, dan isi Hukum, serta
makna “akan dibentuk” sebagai berikut:

Arti Kebijakan Dasar

Perkataan kebijakan dasar menunjukkan adanya suatu kebijakan yang


merupakan landasan berpijak. Kebijakan tersebut berada atau terdapat
dalam peraturan atau putusan yang dikeluarkan oleh badan atau alat
perlengkapan negara yang mempunyai kedudukan dan tugas yang sangat
strategis. Dalam sistem ketatanegaraan yang berlaku, kebijakan dasar
tersebut dapat ditemukan dalam konstitusi negara, yaitu dalam UUD 1945.
Contoh: kebijakan dasar tentang kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945
(sesudah Perubahan) dapat ditemukan dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat
(2), yang berbunyi:

(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.

Selain ditemukan dalam Pasal 24 tersebut, politik hukum juga dapat kita
temukan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 (sesudah
Perubahan), yang berbunyi:

“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku,
selama belum didakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”

Pasal II tersebut dinamakan transitoir recht (hukum transitor).

Contoh lain tentang kebijakan dasar ditemukan dalam Pasal 101 dan Pasal
102 Undang-Undang Dasar Sementara 1950, yang berbunyi:

Pasal 101

(1) Perkara perdata, perkara pidana sipil dan perkara pidana militer
semata-mata masuk perkara yang diadili oleh pengadilan-pengadilan
yang diadakan atau diakui dengan undang-undang atau atas kuasa
undang-undang.

Pasal 102

Hukum perdata dan hukum dagang, hukum sipil maupun hukum pidana
militer, hukum acara perdata dan hukum acara pidana, susunan dan
kekuasaan pengadilan diatur dengan undang-undang dalam kitab-kitab
hukum.

Dalam Pasal 102 Undang-Undang Dasar Sementara 1950 tersebut dapat


kita temukan politik hukum kodifikasi. Hal ini dapat diketahui dari anak
kalimat yang berbunyi “dalam kitab-kitab hukum.”

Arti Arah Hukum, Bentuk Hukum, dan Isi Hukum

Arah hukum (Sri Soemantri M, 2014: 125) mengandung arti tujuan yang
hendak diwujudkan atau dicapai. Apakah arah yang hendak dituju itu
unifikasi hukum atau pluralisme hukum?

Bentuk hukum (Sri Soemantri M, 2014: 125) menunjukkan adanya


berbagai bentuk (jenis) peraturan perundang-undangan beserta tata
urutannya. Mengenai bentuk (jenis) peraturan perundang-undangan dan
tata urutannya saat ini diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemeritah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi;
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Isi hukum (Sri Soemantri M, 2014: 125-126) berkenaan dengan


substansi yang akan diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan,
oleh Prof. Hamid S. Attamimi dinamakan materi muatan. Dengan
demikian, setiap bentuk hukum (dalam arti peraturan perundang-
undangan) mempunyai materi muatan yang berbeda.

Selain berkenaan dengan substansi atau materi muatan yang akan diatur,
isi hukum juga berkenaan dengan materi hukum yang akan diatur dalam
berbagai cabang hukum. Soerjono Soekanto (Sri Soemantri M, 2014: 126)
dalam uraiannya pada Rapat Subkonsorsium Ilmu Hukum di Jakarta, pada
tahun 1983, mengemukakan sebuah ilmu, yang disebutnya The science
tree of law (pohon ilmu tentang hukum). Menurutnya, hukum diibaratkan
sebuah pohon. Oleh karena pohon itu mempunyai cabang dan cabang
mempunyai anak cabang dan anak cabang mempunyai ranting dan
seterusnya, pohon hukum juga mempunyai cabang hukum, cabang hukum
mempunyai anak cabang hukum, dan ank cabang hukm mempunyi raning
hukum, demikian seterusnya. Dengan demikian, suatu negara akan
memiliki pohon hukum yang sangat rindang, yang dapat mengayomi
mereka yang bertempat tinggal dalam wilayah sebuah negara.

Sesuai dengan sistem hukum yang berlaku, cabang hukum tersebut


meliputi: HTN, Hukum Perdata, Hukum Pidana, dan Hukum Tata
Pemerintahan atau HAN.

Makna “akan dibentuk”

Padmo Wahyono berpendapat bahwa politik hukum itu berkenaan dengan


sesuatu yang akan diwujudkan, akan tetapi berdasarkan sesuatu; dan
sesuatu itu merupakan landasan berpijak hukum yang akan dibuat.

Dalam bahasa Latin, hukum yang akan dibentuk/dibuat ini dinamakan jus
constituendum (het wenselijk geachterecht), sebagai lawan dari jus
constitutum (het bestaanderecht).

Dengan demikian, berdasarkan pendapat Padmo Wahyono, politik hukum


ini berkenaan dengan hukum yang akan datang. Dengan dan berdasarkan
politik hukum yang sudah ditetapkan hendak dibuat/ditetapkan hukum.
Itulah sebabnya, sesuai dengan pendapat Padmo Wahyono, contoh politik
hukum terdapat dalam pasal-pasal berikut:

a. Pasal II Aturan Peralihan;


b. Pasal 101 UUDS 1950;
c. Pasal 102 UUDS 1950.
Apabila hasil rancangan UU tersebut diharapkan dapat berlaku secara
efektif di dalam masyarakat, maka UU harus mampu dijadikan sebagai
sarana komunikasi yang berisi pesan yang dapat dimengerti oleh semua
orang. Oleh karena itu, rumusan UU tersebut harus disusun dalam bahasa
yang mudah dimengerti, yaitu bahasa Indonesia yang baik dan benar
yang mempunyai makna yang jelas.

Mengenai ukuran kejelasan makna ini Montesquieu mengajukan


persyaratan sebagai berikut (Satjipto Rahardjo, 2006: 94-95)

a. Gaya panuturannya hendaknya padat dan sederhana. Pengutaraan


dengan ungkapan-ungkapan kebesaran (grandiose) dan retorik hanya
mubazir dan menyesatkan.
b. Istilah-istilah yang dipilih, hendaknya sedapat mungkin bersifat
mutlak dan tidak nisbi, sehingga mempersempit kemungkinan
perbedaan pendapat individual.
c. Peraturan hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang nyata dan
aktual dengan menghindari hal-hal yang bersifat metaforis dan
hipotesis.
d. Peraturan hendaknya jangan terlampau tinggi, karena ditujukan untuk
orang-orang dengan kecerdasan tengah-tengah saja. Peraturan itu
bukan latihan dalam penggunaan logika, melainkan hanya penalaran
sederhana yang bisa dilakukan oleh orang-orang biasa.
e. Janganlah masalah pokok dikacaukan dengan kekecualian,
pembatasan atau modifikasi, kecuali dalam hal-hal yang sangat
diperlukan.
f. Peraturan tidak boleh mengandung argumentasi; berbahaya sekali
memberikan alasan yang rinci suatu peraturan, karena hal itu hanya
akan membuka pintu untuk pertentangan pendapat.
g. Semuanya itu harus dipertimbangkan secara matang dan mempunyai
kegunaan praktis, jangan membingungkan pemikiran serta rasa
keadilan biasa dan bagaimana umumnya sesuatu itu berjalan secara
alami. Peraturan-peraturan yang lemah, yang tidak perlu dan tidak adil
akan menyebabkan orang tidak menghormati perundang-undangan
dan menghancurkan otoritas negara.

Mengacu kepada hal tersebut di atas, kejelasan makna dalam bahasa


hukum memegang peranan yang sangat penting, karena dengan adanya
kejelasan makna tersebut masyarakat dapat memahami dengan baik
maksud dari UU yang dikeluarkan. Pemahaman ini pada akhirnya akan
menumbuhkan kesadaran dan kapatuhan hukum masyarakat.

C. LATIHAN SOAL/TUGAS
1. Apakah yang dimaksud dengan pembentukan hukum?
2. Sebutkan ciri-ciri hukum modern!
3. Mengapa dalam pembetukan hukum pengetahuan dan penguasaan
bahasa sangat penting?
4. Coba Saudara jelaskan arti arah hukum, bentuk hukum, dan isi hukum!
D. DAFTAR PUSTAKA

Buku

Hadikusuma, Hilman. 2005. Bahasa Hukum Indonesia. Bandung: Alumni.

Hartini, Lilis.2014. Bahasa & Produk Hukum. Bandung: Refika Aditama.

Manan, Bagir. 1995. Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu


Negara. Bandung: Mandar Maju.

Nasution, Bahdera Johan & Warjiyati, Sri. 2001. Bahasa Indonesia


Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Rahardjo, Satjipto. 2006. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Soemantri M, Sri. 2014. Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan


Pandangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Undang- Undang Dasar Sementara 1950.

Anda mungkin juga menyukai