Anda di halaman 1dari 10

Tugas Pengantar Hukum Indonesia

HUKUM ADAT

Kelompok 4 :
I Gede Yohanes Dananjaya (1904551024)
Ni Wayan Mita Saskarani (1904551025)
I Gede Khrisna Dharma Putra (1904551026)
Ni Luh Putu Ngurah Bunga Dirgantari (1904551027)
Ni Nyoman Nia Oktaviani (1904551028)
Tadya Ikhtiar Rizki (1904551029)
Putu Laksmi Noviyana (1904551030)
I Kadek Gaga Astika (1904551031)
Putu Anggina Agistya Budiardianti (1904551032)
Ricky Sitanggang (1904551033)

PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
BUKIT JIMBARAN
2019
1. Pengertian Hukum Adat

a. Soepomo, di dalam “Beberapa Catatan Mengenai Kedudukan Hukum Adat” mengartikan hukum
adat sebagai sinonim dari “hukum yang tidak tertulis didalam peraturan legislatif (non satatutory
law) hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum negara (parlemen, dewan
provinsi dan sebagainya) hukum yang timbul karena keputusan-keputusan hakim (judge made
law) hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahan di dalam pergaulan hidup,
baik di kota-kota maupun desa-desa (cutomary law) semua ini merupakan adat atau hukum yang
tidak tertulis yang disebut oleh Pasal 32 UUDS Tahun 1950. Di dalam bukunya “Bab-Bab
tentang Hukum Adat” Soepomo menyatakan, bahwa hukum adat adalah hukum non statutory
yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum islam. Hukum adat itu
pun melingkupi hukum yang bersandarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas
hukum dalam lingkungan dimana ia memutuskan perkara. Hukum adat adalah suatu hukum yang
hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yanh nyata dari rakyat. Dari uraian tersebut,
Soepomo mengartikan hukum adat sebagai hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan yang tidak
tertulis.

b. Sukanto dalam bukunya “Meninjau Hukum Adat Indonesia” mengemukakan, bahwa hukum adat
adalah hukum yang tidak dibukukan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan (dwang)
mempunyai akibat hukum atau reschtsgevolg. Dalam hal ini Sukanto mengartikan hukum adat
sebagai keseluruhan adat yang tidak tertulis dan hidup dalam masyarakat yang bersifat memaksa
serta mempunyai akibat hukum.

c. Menurut Ter Haar (dalam pidato Dies pada tahun 1930), hukum adat adalah hukum yang lahir
dari dan dipelihara oleh keputusan-keputusan, keputusan pada warga masyarakat hukum,
terutama keputusan berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-
perbuatan hukum, atau dalam hal pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas
mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu tidak bertentangan dengan keyakinan
hukum rakyat, melainkan senapas seirama dengan kesadaran tersebut, diterima/diakui atau tidak
di toleransikan oleh nya. Selanjutnya dalam orasi pada tahun 1937, Ter Haar memberikan
pengertian hukum adat adalah “keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-
keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas ) yang mempunyai wibawa (macht,
authority) serta pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku serta merta (spontan) dan
dipatuhi dengan sepenuh hati”

Dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan, bahwa hukum adat adalah keseluruhan kaidah-kaidah
atau norma baik tertulis maupun tidak tertulis yang berasal dari adat istiadat atau kebiasaan masyarakat
indonesia untuk mengatur tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, terhadap yang melanggarnya
dapat dijatuhi sanksi. Bagian terbesar dari hukum adat masih tidak tertulis. Hukum adat hanya dapat
diketahui dari dan dipertahankan dalam keputusan-keputusan para ketua-ketua atau penguasa adat.

Peristilahan Hukum Adat


Istilah hukum adat yang dipakai sekarang adalah terjemahan dari bahasa Belanda yakni Adatrecht. Istilah
adatrecht ini dikemukakan oleh Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya “De Ajehers” untuk memberi
nama pada sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup pada masyarakat indonesia kata “adat”
berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan, sedang kata “recht” diartikan sebagai hukum, sehingga
adatrecht diterjemahkan menjadi “Hukum Adat”
Istilah Adatrecht ini selanjutnya digunakan oleh Prof. Mr. Cornelis Van Vollenhoven dalam bukunya
“Het adatrecht Van Nederland Indie” (1930-1933) “Een Adatwetboekje Voor Heel Indie” (1910) dan “De
Ontdekking Van Het Adatrecht” (1928). Akhirnya pada tahun 1929 pemerintah kolonial Belanda mulai
memakai istilah Adatrecht (hukum adat) secara resmi dalam peraturan perundang-undangan

2. Unsur-Unsur Hukum Adat

1. Keberlakuan Hukum Adat


Menurut Soerodjo Wignjodipoero, S.H. ada dua unsur penting untuk berlakunya hukum adat.
Kedua unsur tersebut adalah psikologis dan kenyataan. Unsur psikologis, adalah bahwa ada
keyakinan dalam hati masyarakat bahwa memang adat itulah hukumnya, atau dengan kata lain
adanya keyakinan masyarakat bahwa adat dimaksud adalah mempunyai kekuatan hukum. Unsur
kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat. Artinya
hukum adat itu dilaksanakan dan diikuti oleh masyarakat pendukungnya. Kedua unsur inilah yang
menimbulkan adanya kewajiban hukum (opinion necessitatis).
2. Teori Receptio in Complexu
Seorang sarjana Belanda Mr. L.W.C. van den Berg, mengemukakan suatu teori tentang
hukum adat, yakni “teori receptio in complexu”. Inti dari teori itu adalah sebagai berikut: “selama
bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika
memeluk agama harus juga mengikuti hukum-hukum agama itu dengan setia ”. Jadi van den Berg
menyimpulkan bahwa kalau suatu masyarakat memeluk suatu agama tertentu, maka hukum adat
dari masyarakat tersebut adalah hukum agama yang dianutnya itu. Bila ada hal-hal yang
menyimpang dari hukum agama yang dianutnya, maka hal ini dianggap sebagai
“pengecualian/penyimpangan” dari hukum agama yang telah diterima secara keseluruhan ( in
complexu gerecipieerd).
Salah satu kritik terhadap teori van den Berg ini adalah kritik dari van Vollenhoven,
sebagai berikut:-Kalau ditanyakan apa sebabnya hukum agama merupakan dasar dari hukum adat,
jawaban van den Berg adalah bahwa secara garis besar ada persamaan-persamaan antara hukum
adat dengan hukum agama. Misalnya, peraturan-peraturan hukum agama Islam sudah meresap
dalam kesadaran hukum rakyat yang beragama Islam. Kalau ditanyakan, apa sebabnya
diperkenankan ada penyimpangan-penyimpangan, jawab van den Berg adalah karena akibat
masih adanya kekurang pengetahuan, kebodohan atau kehendak-kehendak individu yang semau-
maunya (“onkunde of individuele willekeur”), tetapi sekali-kali bukan karena akibat adanya
keyakinan hukum yang lain.
Van Vollenhoven mengakui, bahwa di dalam hukum adat banyak dipakai istilah-istilah
yang berasal dari hukum Islam, seperti milik, adat, ijab/kabul, hibah dan lain sebagainya. Tetapi
sesungguhnya istilah-istilah ini sesungguhnya hanya ditempelkan saja, seperti halnya istilah-
istilah Latin yang terdapat di dalam hukum Belanda. Oleh van Vollenhoven diakui bahwa di
dalam hukum adat banyak dipakai istilah-istilah yang berasal dari hukum Islam (bahasa Arab),
seperti: milik, ijab/kabul, hibah, dan sebagainya. Sesungguhnya di dalam bahasa Indonesia
sendiri terdapat istilah yang sama arti dan maknanya, seperti: serah/terima untuk ijab/kabul,
diberikan untuk diibahkan, kebiasaan untuk adat, dan lain sebagainya.
Van Vollenhoven tidak membenarkan teori dari van den Berg yang menyatakan bahwa
hukum adat itu adalah hukum agama dengan penyimpangan-penyimpanannya, karena hal ini
sangat berbeda dengan kenyataan yang ada. Oleh van Vollenhoven dikatakan bahwa hukum adat
itu adalah terdiri atas hukum asli (Melayu-Polynesia) dengan di sana-sini ketentuan hukum
agama.

3. Hukum yang Tidak Tertulis


Sesuai dengan definisi dari hukum adat ini sendiri, salah satunya menurut Hilman Hadikusumah
bahwa hukum adat adalah semua hukum yang tidak tertulis dalam bentuk perundang – undangan
yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Walaupun memang ada hukum adat yang
tertulis tetapi itu hanya sebagai awig – awig atau peraturan adat yang disepakati bersama oleh
masyarakat sebagai simbolis bahwa hukum tersebut ada dan berlaku dalam lingkungan
masyarakat tertentu.

4. Berisi Ketentuan Adat Istiadat Seluruh Bangsa Indonesia


Menurut A. Ridwan Halim bahwa hukum adat adalah keseluruhan peraturan hukum yang berisi
ketentuan adat – istiadat seluruh bangsa Indonesia yang sebagian besarnya merupakan hukum
yang tidak tertulis, dalam keadaannya yang berbhineka mengingatkan bangsa Indonesia terdiri
dari ratusan suku bangsa yang masing – masing suku bangsa tersebut memiliki adat – istiadat
berdasarkan pandangan hidup masing – masing.

5. Berurat dan berakar pada nilai – nilai budaya rumpun bangsa Indonesia yang sepanjang
perjalanan sejarah selalu mengalami penyesuaian dengan keadaan (tumbuh dan berkembang di
dalam masyarakat). Menarik inti sari dari pendapat menurut Moh, Koesnoe menjelaskan bahwa
hukum adat adalah suatu hukum yang berurat dan berakar pada nilai – nilai budaya rumpun
bangsa ini yang sepanjang perjalanan sejarah selalu mengalami penyesuaian dengan keadaan.
6. Ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat hukum (sanksi).
Hal ini ada dalam pendapat Soerojo Wignjodipoero bahwa hukum adat adalah suatu komplek
norma – norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta
meliputi peraturan – peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari – hari dalam
masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena
mempunyai akibat hukum (sanksi).
7. Untuk memahami bentuk dan unsur – unsur Hukum Adat bisa dipahami melalui definisi hukum
adat yang disepakati oleh para ahli dalam Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional
di Yogyakarta pada tahun 1975. Dalam kesimpulan hasil seminar tersebut dinyatakan bahwa
hukum adat adalah “… hukum Indonesia Asli, yang tidak tertulis dalam bentuk peraturan
perundang – undangan Republik Indonesia, yang disana – sini mengandung unsur agama.”…
Dari rumusan pengertian hukum adat dalam Seminar Yogyakarta 1975 dapat diketahui unsur –
unsur hukum adat sekaligus dapat dipahami relasi antara hukum adat dengan hukum agama.
Definisi diatas menyebutkan dua unsur pembentuk hukum adat, yaitu:
- Unsur hukum asli Indonesia
- Unsur agama
Soleman B. Taneko pernah membuat skema yang menunjukkan bahwa sebagian besar dari unsur
hukum adat itu adalah hukum asli sedangkan unsur agama hanyalah bagian kecilnya saja.
Pengaruh agama ke dalam hukum adat memang tidak dapat diabaikan, namun untuk mengatakan
bahwa hukum adat itu identik dengan hukum agama juga bukan pandangan yang tepat.

3. Sifat dan Karakter Hukum Adat dan Lingkungan Hukum Adat

1. SIFAT/KARAKTER HUKUM ADAT

Hukum adat sebagai suatu model hukum dari masyarakat rumpun suku bangsa melayu yang tidak
terkodifikasi, dan merupakan pernyataan hukum dari budaya suku bangsa itu yang mana secara umum
mempunyai beberapa sifat, yaitu konkret, supel, dan dinamis.

Konkret, maksudnya segala sikap tindak itu selalu dilakukan secara terang-terangan nyata,
dengan memakai tanda-tanda yang mengerti oleh para warga masyarakat lainnya dalam lingkungan
hukum adat itu sendiri.
Supel, maksudnya hukum adat itu dalam dirinya dibangun dengan asas asas pokok saja. Soal-soal
yang detail diserahkan kepada pengolahan asas-asas pokok itu dengan memerhatikan situasi, kondisi, dan
waktu yang dihadapi.

Dinamis, artinya hukum adat itu pada prinsipnya terus-menerus berubah dan berkembang melalui
keputusan-keputusan atau penyelesaian penyelesaian yang dikeluarkan oleh masyarakat sebagai hasil
temu rasa dan temu pikir melalui permusyawaratan. Dalam pepatah adat melayu, hal ini pun telah
dinyatakan pula "sekali air bah, sekali tepian berubah", maksudnya menjelaskan bahwa, hukum adat akan
selalu bersifat dinamis sesuaidenganperkembangan masyarakatnya.

Sifat hukum adat yang ada di beberapa belahan dunia memiliki perbedaannya masing-masing.
Hukum adat yang terselenggara di Indonesia tidaklah sama dengan hukum adat yang ada di luar negeri
atau di Negara selain Indonesia. Karena sifat dari hukum adat tergantung dari kebudayaan dari Negara
tersebut. Adapun hukum adat di Negara kita (Indonesia) mempunyai sifat antara lain:

a) Kebersamaan (komunal/kolektif), artinya orang Indonesia suka hidup bersama dalam


keterikatan masyarakat yang sangat erat. Rasa komunal inilah yang dapat mempengaruhi materi
hukum adatnya.

b) Bersifat relogio-magis, masyarakat Indonesia masih mempunyai kepercayaan yang tinggi


terhadap hal-hal gaib, misalnya terhadap adanya mahluk halus atau roh-roh yang menunggu alam
sekitar. Maka dari itu hal kepercayaan ini dapat membuat suatu hukum untuk bisa mengontrol
tindakan dari masyarakat.

c) Sifat konkret atau nyata, artinya sifat berpikir bangsa Indonesia serba nyata (konkret) tidak
abstrak. Cara berpikir ini mempengaruhi hukum adat yang ada, misalnya ketika uang panjar
sebagai muka pembelian, peningset/penyancang sebagai tanda pertunangan.

d) Bersifat kontan atau tunai, artinya bahwa suatu perbuatan simbolis atau dengan pengucapan
bahwa tindakan yang dilakukan selesai atau terjadi seketika itu juga dalam waktu yang bersamaan
antara ucapan dan perbuatan.

Sifat tersebut berbeda dengan sifat dan sistem hukum eropa (hukum barat). Perbedaannya adalah:

a) Hukum barat mengenal perbedaan zakelijk rechten (hak kebendaan yang bersifat mutlak) dan
persoonlijke rechten (hak perorangan yang timbul karena perikatan yang bersifat nisbi/relatif).

b) Hukum adat tidak mengenal perbedaan antara hak kebendaan dengan hak perorangan seperti
pada hukum barat.
c) Hukum barat mengenal perbedaan antara hukum publik dan hukum privat. Dalam hukum adat
tidak dikenal adanya hukum publik dan privat.

d) Hukum adat tidak mengenal perbedaan antara pelanggaran pidana diperiksa oleh hakim
(pengadilan) pidana, dan pelanggaran perdata diadili/diperiksa oleh hakim (pengadilan) perdata,
sebagaimana dikenal dalam hukum barat.

e) Hukum adat tidak mengenal adanya benda bergerak dan benda tidak bergerak, sebagaimana
yang ada dalam hukum barat

2. LINGKUNGAN HUKUM ADAT

Van Vollenhoven dalam bukunya Adatrecht I, membagi wilayah adat Indonesia dalam 19
lingkungan hukum (rechtskring), yakni:

1. Aceh (Aceh Besar, Aceh Barat, Singkel, Simeulue);

2. Tanah Gayo, Alas dan Batak serta pulau Nias dan Batu (Tanah Batak adalah Tapanuli Utara dan
Selatan);

3. Daerah Minangkabau dan Mentawai;

4. Sumatra Selatan dan Enggano;

5. Daerah Melayu (Sumatra Timur, Jambi-Riau dan Indragiri);

6. Bangka dan Belitung;

7. Minahasa;

8. Kalimantan (Tanah Dayak);

9. Gorontalo;

10. Daerah Toraja;

11. Sulawesi Selatan;

12. Kepulauan Ternate;

13. Kepulauan Ambon dan Maluku;

14. Irian;
15. Kepulauan Timur;

16. Bali dan Lombok;

17. Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura;

18. Daerah-daerah Swaparadja Istimewa (Yogyakarta dan Surakarta);

19. Jawa Barat.

Pembagian/pembedaan hukum adat ke dalam 19 lingkungan hukum tersebut bukan merupakan


yang asasi, melainkan bersifat kedaerahan atau lokalistik. Pada zaman modern ini, pembedaan hukum
adat ke dalam 19 linkungan hukum, berangsur-angsur akan lenyap. Hal ini disebabkan oleh pergaulan
antara 19 lingkungan hukum adat tersebut semakin lama semakin erat, pengaruh kota-kota besar dan
modernisasi serta semakin meresapnya dijawa dan semangat kewarganegaraan sebagai satu kesatuan
Negara nasional.

4. Struktur Persekutuan Hukum (Masyarakat Hukum)

Pemahaman struktur persekutuan hukum atau masyarakat hukum yang terdapat di seluruh kepulauan
Nusantara perlu kiranya dipahami dan dimengerti faktor – faktor apa saja yang merupakan dasar
mengikat dari anggota – anggota kelompok atau masyarakat hukum tersebut.

Menurut A. Siti Soetami, bahwa faktor yang menjadi dasar ikatan yang mengikat anggota – anggota
persekutuan hukum itu dikenal 3 macam tipe, yaitu;

1. Tipe Genealogis
2. Tipe territorial
3. Tipe Genealogis – Teritorial

1. Tipe Genealogis
(keturunan) yakni tipe yang dalam susunan masyarakat hukum berdasarkan atas pertalian darah atau
pertalian suatu keturunan. Persekutuan hukum secara genealogis ini dapat dibedakan atas tiga macam
tipe, yaitu:
a. Pertalian darah menurut garis bapak (patrilineal)
Di mana anggota – anggotanya menarik garis keturunan dari pihak Bapak saja terus keatas
(vartikal), sehingga berakhir pada suatu kepercayaan bahwa mereka semua berasal dari satu Bapak
asal. Contoh; suku Batak, Bali, Nias, dan Sumba.
b. Pertalian darah menurut garis ibu (matrilineal)
Di mana anggotanya menarik garis keturunan dari pihak Ibu saja, terus menerus ke atas (vertical)
sehingga berakhir pada suatu k epercayaan bahwa mereka berasal dari seorang Ibu asal. Contoh;
Minangkabau, Kerinci, dan Samendo.
c. Pertalian darah menurut garis ibu dan garis bapak (parental/bilateral)
Garis keturunan dari kedua pihak yaitu Bapak dan Ibu. Seperti yang terjadi pada suku Jawa,
Sunda, Madura, Aceh, Dayak dan lingkungan hukum Melayu.

2. Tipe Teritorial
yaitu tipe masyarakat hukum yang berdasarkan atau bertalian dengan tempat tinggal / daerah.
Persekutuan – persekutuan territorial merupakan pokok pangkal tata susunan yang terpenting bagi
masyarakat Indonesia.
Persekutuan hukum territorial dapat dibagi atas tiga golongan, yaitu:
a. Persekutuan Desa
yaitu segolongan orang yang terikat pada satu tempat kediaman, sebagai contoh desa di Jawa dan
Bali.
b. Persekutuan Daerah
yaitu jika di dalam suatu daerah tertentu terletak beberapa desa yang masing – masing mempunyai
tata susunan dan pengurus sendiri – sendiri, tetapi semuanya merupakan bagian bawahan dari
daerah. Contoh; daerah – daerah Datukkaya di Riau beserta kampong di dalamnya, marga di
Sumatera Selatan dengan dusun – dusun di dalam daerahnya.
c. Perserikatan Desa
yaitu gabungan dari beberapa persekutuan desa di mana mereka mengadakan pemufakatan untuk
melakukan kerja sama. Di mana untuk melakukan kerjasama itu diadakan suatu badan pengurus
yang terdiri dari pengurus – pengurus desa tersebut. Contoh; perserikatan huta – huta di tanah
Batak, kemudian Subak di Bali.
3. Tipe Genealogis – Territorial yaitu pertalian masyarakat yang terjadi dalam hal ini adalah di
samping pertalian darah, juga berdasarkan daerah / wilayah. Contoh persekutuan hukum yang
demikian terdapat di berbagai daerah, yaitu;
 Pulau Mentawai (UMA)
 Pulau Nias (EURI)
 Tapanuli (KURIA dan HUTA)
 Miangkabau (NAGARI)
 Palembang (MARGA)
 Maluku (NEGORIJ)

DAFTAR PUSTAKA

Sugiarto, SS. 2017. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika


Ishaq, H. 2014. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Wirawan, I Ketut, dkk. 2017. Buku Ajar Pengantar Hukum Indonesia (PHI). Denpasar.
H. Ishaq. 2014. Pengantar Hukum Indonesia. Cetakan Kelima. Depok: RajaGrafindo Persada
Sudantra, I Ketut. Hukum Adat sebagai Perwujudan Kearifan Lokal dan Pekerjaan Rumah
dalam Pengembangan Ilmu Hukum Adat. Tersedia pada:
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/46c397ce3a3b8e31dfdbbd6dc082bb02.pd
f. Diakses pada tanggal 24 November 2019 pukul 12.56 WITA
Ishaq.2016. Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta. Rajawali Pers

Sugiarto,Umar Said 2017. Pengantar Hukum Indonesia. Rawamangun: Sinar Grafika

Anda mungkin juga menyukai