Anda di halaman 1dari 11

HUKUM PERDATA (BUKU I)

Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang
berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi
terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya.
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan
hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai
lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta
kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-
hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata
mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan
seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan
tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga
mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum
yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang
terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum
komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia
didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain
adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW)yang berlaku
di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas
konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai
1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan
beberapa penyesuaian. Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat
bagian, yaitu:

Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu
hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara
lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan,
perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian
perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di
undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

Orang merupakan subjek hukum, sebagai pendukung hak dan kewajiban, dan setiap orang tersebut
tidak semua cakap, orang yang cakap pun belum tentu wenang.
Kecakapan
a. Menurut UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu berusia 18 tahun.
b. Menurut KUH Perdata, yaitu berusia 21 tahun.
c. Menurut KUH Pidana, yaitu berusia 16 tahun.
d. Menurut hukum adat, yaitu kuat gawe.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kewenangan seseorang dalam hukum, diantaranya:
a. Kewarganegaraan, misalnya hanya WNI yang berhak memilki hak milik atas tanah.
b. Tempat tinggal
c. Jabatan/kedudukan, misalnya hakim dan pejabat hukum lain tidak boleh menerima barang yang
masih dalam perkara.
d. Tingkah laku/perbuatan, misalnya Pasal 49 dan 53 UU No. 1 tahun 1974
Pasal 49
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih
untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas
dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan
dalam hal-hal :
a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. la berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya
pemeliharaan kepada anak tersebut.
Pasal 53
(1) Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49 Undang-undang
ini.
(2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, oleh
Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.

Tempat tinggal
Tempat tinggal ini terdiri dari:
1. Tempat tinggal sesungguhnya
a. Sukarela/berdiri sendiri, yaitu tempat tinggal seseorang yang keberadaanya tidak terikat pada
pihak lain/sesuai dengan keinginan sendiri.
b. Wajib/lanjutan, yaitu tempat tinggal yang tergantung pada hubungan dengan pihak lain.
2. Tempat tinggal yang dipilih
Yaitu tempat tinggal yang ditunjuk sebagai tempat tinggal oleh suatu pihak atau banyak pihak
untuk melakukan perbuatan tertentu.
3. Rumah kematian
Rumah kematian merupakan domisili terakhir yang penting untuk mengadili misalnya tentang
warisan, piutang.
Hukum Keluarga
Perkawinan
Dalam Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membetuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME.
Syarat-syarat perkawinan
Mengenai syarat-syarat perkawinan terdapat dalam Pasal 6-12 UU Perkawinan, diantaranya:
1. Adanya persetujuan dari kedua mempelai (Pasal 6:1)
2. Adanya izin dari orang tua/wali bagi yang belum berusia 21 tahun (Pasal 6:2-6)
3. Usia laki-laik 19 tahun dan perempuan 16 tahun (Pasal 7:1)
4. Antara kedua calon mempelai tidak dalam hubungan darah (Pasal 8)
5. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain (Pasal3:2 dan Pasal 4)
6. Bagi suami istri yang telah bercerai, kawin lagi, dan bercerai kedua kalinya dilarang untuk
menikah lagi kecuali agama menentukan lain (Pasal 10)
7. Tidak berada dalam waktu tunggu calon mempelai yang janda.
Empat akibat hukum atas perkawinan menurut hukum perdata:
1. Akibat hukum bagi suami-istri itu sendiri, misalnya adanya hak dan kewajiban bagi keduanya.
2. Akibat hukum terhadap harta kekayaan suami-istri itu sendiri, yaitu hak atas harta benda di
dalam perkawinan
3. Akibat hukum yang berlaku terhadap keturunan.
4. Akibat hukum bagi pihak ketiga

HUKUM PERORANGAN
Hukum Perorangan dalam arti luas adalah Ketentuan-ketentuan mengenai orang sebagai subyek
hukum dan kekeluargaan. Dalam arti sempit Hukum Perorangan memiliki makna yaitu Ketentuan-
ketentuan orang sebagai subjek hukum saja.

I. Subjek Hukum

Menurut hukum bahwa setiap manusia itu merupakan orang, yang berarti pembawa hak yaitu segala
sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban (pendukung hak dan kewajiban) dan disebut subjek
hokum .Apabila dikatakan bahwa setiap manusia merupakan orang, maka berarti :

1. Bahwa tidak dikenal perbedaan berdasarkan agama, baik manusia itu beragama Islam, Kristen maupun
agama lain, mereka semua merupakan orang.
2. Bahwa antara kelamin yang satu dengan yang lainnya, tidak diadakan pembedaan, jadi baik wanita
maupun pria merupakan orang.
3. Bahwa tidak diadakan pembedaan antara orang kaya dan miskin, semua dinggap sebagai orang
4. Bahwa tidak dibedakan apakah manusia itu warga Negara atau orang asing, jadi kalau semua hokum
perdata barat ini berlaku bagi orang asing, maka ia dinggap orang.
Sebelumnya didalam Buku I BW disebut subjek hukum hanya orang (pribadi kodrati) tidak termasuk
badan hukum, namun selanjutnya dalam perkembangan selanjutnya, badan hukum telah dimasukan
sebagai subjek hukum yang disebut dengan Pribadi Hukum.
Badan Hukum tidak tercantum didalam Buku I BW karena orang mempelajari masalah badan hukum,
setelah kodifikasi BW dibuat dengan demikian badan hukum kedalam golongan subjek hukum, dengan
demikian Subjek Hukum terdiri dari :
1. Orang (Pribadi Kodrati)
2. Badan Hukum (Pribadi Hukum) Subjek Hukum : Setiap penyandang/pendukung hak dan kewajiban,
artinya undang-undang memberi wewenang untuk memiliki, memperoleh dan menggunakan hak-hak
dan kewajiban-kewajiban didalam lalu lintas hukum. Menurut Algra subjek hokum adalah setiap orang
yang mempunyai hak dan kewajiban, jadi mempunyai wewenang hukum (rechtsbevoegheid) Orang
(Pribadi Kodrati) Orang sebagai subjek hukum adalah mulai sejak dilahirkan hidup sampai meninggal
dunia, terdapat perluasan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 2 KUHPer yang menyatakan bayi
yang berada dalam kandungan ibunya dianggap telah dilahirkan hidup, jika ada kepentingan si anak
(bayi) yang menghendakinya. Namun apabila mati sewaktu dilahirkan dianggap tidak pernah ada
(pengertian subjek hukum diperluas). Menurut Chaidir Ali , mengartikan manusia adalah mahkluk
yang berwujud dan rohani, yang berfikir dan berasa, yang berbuat dan menilai, berpengetahuan dan
berwatak, sehingga menempatkan dirinya berbeda dengan makhluk lainnya. Pasal 2 KUHPer tersebut
berlaku apabila memenuhi syarat-syarat :
1. Si anak dibenihkan pada saat adanya kepentingan si anak timbul
2. Si anak harus hidup pada saat dilahirkan, arti hidup bahwa anak itu bernafas.
3. Adanya kepentingan si anak yang menhendaki bahwa anak itu dianggap telah lahir.
Tujuan ketentuan tersebut oleh pembuat undang-undang adalah melindungi kepentingan masa depan
sia anak yang masih didalam kandungan ibunya, dmana pada suatu waktu ada kepentingan anak yang
timbul dan kemudian anak itu dilahirkan hidup.
Walaupun setiap orang adalah subjek hukum namun tidaklah setiap orang dapat melakukan perbuatan
hukum/tidak cakap hukum, menurut pasal 1330 BW ada beberapa golongan orang yang oleh hukum
dianggap tidak cakap dalam arti hukum, yakni :
1. Orang-orang belum dewasa (dibawah umur). Dewasa menurut hukum adalah orang-orang yang telah
berusia 21 (dua puluh satu) tahun keatas atau yang telah/pernah kawin.
2. Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan (curatele), antara lain : Orang-orang yang terganggu
jiwanya , Orang-orang yang tidak normal fisiknya ,Orang-orang tertentu karena pemboros.
3. Wanita yang telah berseuami (golongan ini tidak berlaku di Indonesia berdasarkan SEMA RI No. 3
tahun 1963 yang kemudian dipertegas dengan UU No. 1 tahun 1974 sebagaimana diatur dalam pasal
34,35 dan 36)
Kedudukan seseorang sebagai subjek hukum dapat dipengaruhi oleh beerapa factor, antara lain :
B. Pembagian Badan Hukum Menurut pasal 1653 BW badan hokum dapat dibagi atas 3 macam, yaitu:
1. Badan hukum yang diadakan oleh pemerintah/kekuasaan umum, misalnya pemerintahan daerah
[pemerintahan provinsi, pemerintahan kabupaten/kota], bank bank yang didirikan oleh Negara dan
sebagainya.
2. Badan hokum yang diakui oleh pemerintahan/ kekuasaan umum, misalnya perkumpulan-
perkumpulan, gereja dan organisasi-organisasi agama dan sebagainya. Badan hokum yang didirikan
untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang undang, kesusilaan, seperti
perseroan terbatas, perkumpulan, asuransi, perkapalan,dan lain sebagainya.Jika dipandang dari segi
wujudnya atau sifatnya, badan hokum dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Korporasi (corporatie) adalah gabungan atau kumpulan orang orang yang dalam pergaulan hokum
bertindak bersama sama sebagai subjek hokum tersendiri. Karena itu korporansi ini merupakan badan
hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri yang terpisah dari hak dan
kewajiban para anggotanya. Misalnya: Perseroan Terbatas, perkumpulan asuransi, perkapalan,
koperasi, dan lain sebagainya.
2. Yayasan atau stichting yaitu suatu badan hukum yang didirikan oleh banyak orang namun dikelolah
oleh pengurus atau satu oang sebagai subjek hukum didalamnya. Missal: yayasan panti asuhan, panti
jompo, rehabilitasi narkotika dan sebagainya
C. Syarat syarat Badan HukumSuatu badan hokum bisa dikatakan sebagai badan hukum apabila
memiliki beberapa syarat sebagaai berikut:
1. Adanya harta kekayaan yang terpisah
2. Memiliki tujuan tertentu
3. Memiliki kepentingan sendiri
4. Ada organisasi yang teratur

Pengakuan Sebagai Subyek Hukum


Manusia sebagai subjek hukum, pembawa hak dan kewajiban terjadi sejak manusia itu lahir, dan
berakhir setelah ia meninggal dunia. Bahkan pengakuan manusia sebagai subjek hukum dapat
dilakukan sejak manusia masih di dalam kandungan ibunya, asal ia dilahirkan hidup. Hal ini telah
disebutkan dalam Pasal 2 KUH Perdata, bahwa:

Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah lahir, bila mana juga
kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah telah
ada.

Indonesia sebagai negara hukum, mangakui manusia pribadi sebagai subyek hukum, pendukung hak
dan kewajiban. Di dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) disebutkan bahwa:

Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Kewenangan Berhak dan Berbuat

Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak, mulai dari saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia
meninggal. Bahkan, jika perlu untuk kepentingannya, dapat dihitung surut hingga mulai orang itu
berada di dalam kandungan, asal saja kemudian ia dilahirkan hidup, hal ini penting sehubungan dengan
waris-mewaris yang terjadi pada suatu waktu, di mana orang itu masih berada di dalam kandungan.

Hak dan kewajiban perdata tidak bergantung kepada agama, golongan, kelamin, umur, waganegara
ataupun orang asing. Demikian pula hak dan kewajiban perdata tidak bergantung pula kepada kaya
atau miskin, kedudukan tinggi atau rendah dalam masyarakat, penguasa (pejabat) ataupun rakyat biasa,
semuanya sama.[10]

Berakhirnya seseorang sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam perdata adalah apabila ia
meninggal dunia. Artinya selama seseorang masih hidup selama itu pula ia mempunyai kewenangan
berhak. Pasal 3 BW menyatakan: "Tiada suatu hukumanpun mengakibatkan kematian perdata, atau
kehilangan segala hak perdata".
Akan tetapi, ada beberapa faktor yang mempegaruhi kewenangan berhak seseorang. Yang sifatnya
membatasi kewenangan berhak tersebut antara lain adalah:

1. Kewarga-negaraan; misalnya dalam Pasal 21 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa hanya warganegara
Indonesia yang dapat mempunyai hak milik.

2. Tempat tinggal; misalnya dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1960 dan Pasal I
Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1964 (Tambahan Pasal 3a s.d. 3e) jo Pasal 10 ayat (2) UUPA
disebutkan larangan pemilikan tanah pertanian oleh orang yang bertempat tinggal di luar kecamatan
tempat letaktanahnya.

3. Kedudukan atau jabatan; misalnya hakim dan pejabat hukum lainnya tidak boleh memperoleh
barang-barang yang masih dalam perkara.

4. Tingkahlaku atau perbuatan; misalnya dalam Pasal 49 dan 53 Undang-undang No. 1 Tahun 1974
disebutkan, bahwa kekuasaan orang tua dan wali dapat dicabut dengan keputusan pengadilan dalam hal
ia sangat melalaikan kewajibannya sebagai orang tua/wali atau berkelakuan buruk sekali.
5. Akibat Ketidak Cakapan
Setiap penyandang hak dan kewajiban tidak selalu berarti mampu atau cakap melaksanakan sendiri hak
dan kewajibannya. Ada beberapa golongan orang yang oleh hukum telah dinyatakan tidak cakap atau
kurang cakap untuk nertindak sendiri dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, mereka harus
diwakili atau dibantu orang lain untuk melkaukannya.

Mereka yang oleh hukum telah dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan hukum
ialah:
a. Orang yang masih di bawah umur (belum dewasa)

b. Orang yang di taruh di bawah pengampuan

c. Seorang wanita yang bersuami.

Bagi mereka yang tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum, maka dalam melakukan perbuatan
hukum di dalam dan di luar pengadilan diwakili oleh orang lain yang ditunjuk oleh hakim pengadilan,
yakni bisa orang tuanya, walinya, atau pengampunya.

6. Pendewasaan dan Akibat Hukumnya


Dalam sistem hukum perdata (BW), mereka yang belum dewasa tetapi harus melakukan perbuatan-
perbuatan hukum seorang dewasa, terdapat lembaga hukum pendewasaan (handlichting), - yang diatur
pada Pasal-pasal 419 s.d. 432.

Pendewasaan merupakan suatu cara untuk meniadakan keadaan belum dewasa terhadap orang-orang
yang belum mencapai umur 21 tahun. Jadi, maksudnya adalah memberikan kedudukan hukum (penuh
atau terbatas) sebagai orang dewasa kepada orang-orang yang belum dewasa. Pendewasaan penuh
hanya diberikan kepada orang-orang yang telah mencapai umur 18 tahun, yang diberikan dengan
Keputusan Pengadilan Negeri.

Akan tetapi, lembaga pendewasaan (handlichting) ini sekarang tidak relevan lagi dengan adanya
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 (Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (2) yang menentukan bahwa
seseorang yang telah mencapai umur 18 tahun adalah dewasa. Ketentuan Undang-undang Perkawinan
yang menetapkan umur seorang dewasa 18 tahun itu dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam
putusannya tanggal 2 Desember 1976 No. 477 K/Sip/76 dalam perkara perdata antara Masul Susano
alias Tan Kim Tjiang vs Nyonya Tjiang Kim Ho.

7. Domisili dan Keadaan Tak Hadir

Domisili mempunyai arti yang sangat penting dalam menentukan tempat tinggal seseorang, tempat
seseorang melakukakn perbuatan hukum, tempat pejabat melaksanakan jabatannya, atau badan hukum
untuk melakukan perbuatan hukum. Secara konseptual domiili diartikan sebagi:
That place where a man has his true, fixed and permanent home and principal establishment, and to
which he is absent he has the intention of returning.

Artinya, sebuah tempat yang dimiliki seseorang secara benar, tetap, dan permanen. Setiap kali ia tidak
ada di tempat tersebut, ia mempunyai niat untuk kembali. Sedangkan menurut Sri Soedewi
menyebutkka domisili sebagai tempat kediaman, yakni tempat seseorang melakukan perbuatan hukum.

Domisili disebut pula domicile (Latin), atau domiciie (Belanda/ Inggris), merupakan tempat yang sah
sebagai tempat kediaman yang tepat bagi seseorang, atau bisa disebut juga tempat tinggal resmi.

Sedangkan perbuatan hukum itu sendiri merupakan suatu perbuatan yang menimbulkan akibat hukum.
Seperti jual beli, sewa menyew, tukar menukar, hibah, beli sewa dan lain-lain.tujuan dari penentuan
domisili ini adalah untuk mempermudah para pihak dalam mengadakan hubungan hukum dengan
pihak lain.
Di Indonesia, domisili diatur dalam pasal 17 KUH Perdata sampai dengan Pasal 25. Di sana domisili
dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a. Domisili yang sesungguhnya, dan

b. Domisili yang dipilih.

Domisili yang sesungguhnya adalah tempat melakukan perbuatan hukum yang sesungguhnya.
Domisili yang sesungguhnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a. Domisili sukarela atau yang berdiri sendiri adalah tempat kediaman yang tidak bergantung/
ditentukan oleh hubungannya dengan orang lain.

b. Domisili yang wajib, yaitu tempat kediaman yang ditentukan oleh hubungan yang ada antara
seseorang dengan orang lain. Misalnya, antara istri dengan suaminya, antara anak dengan walinya, dan
antara curatele dengan curator-nya (pengampunya).

Mengenai domisili sesungguhnya diatur dalam Pasal 20 sampau dengan Pasal 23 KUH Perdata,
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pasal 20: Domisili pegawai.

b. Pasal 21: Domisili Istri, Anak di bawah umur, dan curatele.

c. Pasal 22: Domisili Buruh.

d. Pasal 23: Tempat kediaman orang meninggal.

Domicile of choice (domisili yang dipilih) merupakan domisili yang dipilih oleh peraturan perundang-
undangan maupun yang ditentukan secara bebeas. Domisili ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Domisili yang ditentukan oleh undang-undang, yaitu tempat kediaman yang dipilih berdasarkan
ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Biasanya terdapat dalam hukum acara,
waktu melakukan eksekusi, dan orang yang akan mengajukan eksepsi (tangkisan). Hal ini dapat dilihat
dalam Pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang berbunyi: seorang suami yang
ingin menggugat istrinya, maka ia harus mengajukan gugatan di tempat tinggal istrinya.

b. Domisili secara bebas, yaitu tempat kediaman yang dipi;ih secara bebas oelh para pihak yang
akan mengadakan kontrak atau hubungan hukum.

Keadaan tidak hadir adalah suatu keadaan tida adanya seseorang di tempat kediamannya karena
kepergian atau meninggalkan tempat tingganya, baik dengan izin maupun tanpa izin dan tidak
diketahui dimana tempat dia berada.

Keadaan tidak hadir yang berlangsung lama dapat menimbulkan persoalan, yaitu dugaan telah
meninggal dunia. Dugaan ini tombul apabila pencarian telah dilakukan dengan segala upaya, dengan
perantara orang lain, dengan bantuan pejabat negara, atau dengan bantuan media massa, tetapi tidak
juga ditemukan keberadaan yang bersangkutan. Berlangsung lama, menurut KUH Perdata, tidak ada
kabar beritanya sekurang-kurangnya 5 tahun dan sampai 10 tahun.

Selain itu, keadaan tak hadir ini juga berpengaruh pada:


a. Penyelenggaraan kepentingan yang bersangkutan.

b. Status hukum yang bersangkutan sendiri, atau status hukum anggota keluarga yang ditinggalkan
mengenai perkawinan dan perwarisan. 7. Pencatatan Sipil
Catatan sipil, atau dalam bahasa lain disebut the civil registry (Inggris), het maatschappelijk (Belanda),
burgerkring beachten (Jerman), mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Hal ini dikarenakan lembaga ini berperan di dalam kerangka memberikan kepastian
hukum tentang kelahiran, perkawinan, pengakuan terhadap anak luar kawin, perceraian, dan kematian.
Catatan sipil diatur di dalam Bab II Buku KUH Perdata Indonesia, yang terdiri atas tiga bagian dan 13
pasal, dan dimulai dari Pasal 4 KUH Perdata Indonesia sampai dengan Pasal 16 KUH Perdata
Indonesia. Di sana dijelaskan ada lima jenis register atau catatan sipil, yang meliputi:

a. Daftar kelahiran
b. Daftar pemberitahuan kawin

c. Daftar izin kawin

d. Daftar perkawinan dan perceraian

e. Daftar kematian.

Lembaga yang berwenang mengeluarkan kelima jenis register tersebut adalah Kantor Catatan Sipil
Kabupaten/ Kotamadya. Yang diberikan kepada yang bersangkutan hanya salinannya saja, sedangkan
aslinya tetap disimpan di Kantor Catatan Sipil.

Adapun tujuan dari Lembaga Catatan Sipil adalah:


a. Agar setiap warga masyarakat dapat memiliki bukti-bukti otentik.

b. Memperlancar aktifitas pemerintah di bidang kependudukan.

c. Memberikan kepastian hukum bagi kedudukan hukum setiap warga masyarakat, misalnya
kelahiran, perkawinan, perceraian, pengakuan, kematian dan lainnya.

Perbuatan Badan HukumMengacu pada pasal 1656 BW, yang menyatakan bahwa segala perbuatan,
untuk mana pengurusnya tidak berkuasa melakukannya, hanyalah mengikat perkumpulan sekedar
perkumpulan itu sungguh sungguh telah mendapat manfaat karenanya atau sekedar perbuatan
perbuatan itu terkemudian telah disetujui ecara sah
Kemudian pasal 45 menyatakan Tanggungjawab para pengurus adalah tak lebih daripada untuk
menunaikan tugas yang diberikan kepada mereka dengan sebaik baiknya, merekapun karena segala
perikatan dari perseroan, dengan sendiri tidak terikat kepada pihak ketiga.Sementara itu, apabila meeka
melanggar sesuatu ketentuan dalam akta, atau tentang perubahan yang kemudian
diadakannyamengenai syarat syarat pendirian, maka, atas kerugaian karenanya telah diderita oleh
pihak ketiga, mereka itupun masing masing dengan diri sendiri bertanggungjawabuntuk seluruhnya.

Anda mungkin juga menyukai