Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH

“ASPEK HUKUM TELEMEDECINE


ATAS LAYANAN KLINIK PRAKTIK KEDOKTERAN”.

Tugas Mata Kuliah


Hukum dan Etika Kesehatan
Dosen Pengampu: Ikhsan Yusda, M.SH., LLM., Ph.D

DISUSUN OLEH:
ERMAYETI
ASRIDA DAYANG

PROGRAM PASCA SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS FORT DE KOCK
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti sampaikan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
“Aspek Hukum Telemedecine atas Layanan Klinik Praktik Kedokteran”.
Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengingatkan kepada para pembaca
tentang dasar hukum dari tenaga kesehatan itu sendiri serta untuk memenuhi tugas mata
kuliah Hukum dan Etika Kesehatan,
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada bapak Ikhsan Yusda, M.SH,
LLM,Ph.D selaku Dosen Mata Kuliah yang telah memberikan bimbingan dan arahan
kepada kami, serta teman-teman di dalam kelompok yang solid ini turut menyelesaikan
makalah ini.
Semoga makalah ini dapat menjadi suatu yang berguna bagi kita bersama dan dapat
memberikan manfaat bagi mahasiswa/i Stikes Fort De Kock Bukittinggi. Apabila banyak
kekurangan dalam penulisan, peneliti mohon kritik dan saran yang membangun untuk
kedepan. Atas perhatian yang diberikan, peneliti mengucapkan terima kasih.

Padang, Desember 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
D. Manfaat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Pelayanan Kesehatan
1. Pengertian Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Medis
2. Sumber Hukum Kesehatan
3. Bentuk-bentuk Pelayanan Kesehatan
B. Hubungan Hukum Antara Dokter dan Pasien
1. Pengertian Perjanjian Baku
2. Dasar Hukum Perjanjian
3. Keberadaan Kontrak dengan Media Elektronik
4. Perlindungan Pasien dengan Kontrak Elektronik
5. Hubungan Hukum Dokter-Pasien dalam Kontrak Teraupetik secara
Online
6. Kekuatan Hukum Kontrak Melalui Elektronik
BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
B. Sumber Data
C. Metode Pengumpulan Data
D. Metode Analisis Data
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Telemedicine Dalam Praktek Kedokteran
1. Pengertian Telemedicine
2. Tipe Praktek Telemedicine
3. Jenis-Jenis Telemedicine
B. Prinsip Penggunaan Telemedicine Dalam Praktek Kedokteran Di Indonesia
1. Prinsip Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
2. Prinsip Tanggung Jawab Negara dan Masyarakat
3. Prinsip Kompetensi, Integritas, dan  Kualitas
4. Prinsip Kesamaan, Itikad Baik, Kemandirian, dan Kesukarelaan serta
Kepastian Hukum
5. Prinsip Keamanan dan Kerahasiaan Data serta Standarisasi
6. Prinsip Otonomi Pasien Dan Kebebasan Memilih Teknologi Atau   Netral
Teknologi.
7. Prinsip Kepentingan pasien diutamakan, Proteksi Data, Forensic IT,
Penerapan Terbaik (bestpractices), dan  Standar Pemeriksaan Hukum
(Legal Audit) serta Keadilan.
8. Prinsip Perlindungan Hukum
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan...............................................................................110
B. Saran.........................................................................................113
Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Memasuki abad ke-21, dunia dihadapkan pada munculnya teknologi baru dalam
bidang kedokteran yang mendukung dokter untuk berpraktek dalam ruang
virtual. Revolusi teknologi inovatif yang dikenal dengan Telemedicine. Berkat
telemedicine kini pelayanan medis dapat diberikan melalui telekomunikasi, audio,
visual dan data yang dapat menghubungkan fasilitas pelayanan kesehatan meskipun
secara geografis terpisah. Sehingga perbedaan waktu, tempat dan jarak sudah tidak
lagi menjadi kendala dalam hubungan terapeutik dan pasien. Dalam milenium
mendatang, perawatan kesehatan seperti ini diperkirakan akan berkembang dengan
cepat di Indonesia sehingga pada beberapa negara, perkembangan telemedicine telah
diikuti pula dengan kesiapannya.
Munculnya berbagai fenomena baru yang merupakan implikasi dari kemajuan
teknologi dan informasi. Perkembangan yang saat ini sangat mempengaruhi
kehidupan masyarakat global adalah perkembangan teknologi dan informatika yang
ditandai dengan memperkenalkan dunia maya (cyberspace) dengan hadirnya
interconnected network (internet) yang mempengaruhi komunikasi tanpa kertas.

Adanya kemajuan di bidang teknologi terdapat dampak negatif dan positif bagi
manusia, ada yang bersifat membantu dan ada juga yang bersifat merugikan jika
manusianya tidak berhati-hati mengelola teknologi tersebut. Kebutuhan manusia
akan teknologi salah satunya juga berdampak pada bidang kesehatan, karena
teknologi bisa membantu manusia dalam bidang kesehatan dengan kemajuan di
dalam segala aspek dalam bidang kesehatan. Dampak kemajuan di bidang teknologi
mengakibatkan adanya suatu jenis pelayanan baru pada bidang kesehatan salah
satunya dengan adanya Telemedicine.
Telemedicine merupakan praktek kedokteran dari jarak jauh di mana tindakan,
keputusan - keputusan diagnostik dan pengobatan, serta rekomendasi didasarkan atas
data, dokumen, dan informasi lain yang ditransmisikan melalui sistem
telekomunikasi.1 Salah satu bagian dari Telemedicine adalah dengan adanya klinik
online, dimana pasien dan dokter dapat berkonsultasi melalui internet mengenai
masalah penyakit yang diderita oleh pasien dan bahkan dokter bisa mendiagnosa
keadaan pasien tanpa harus bertemu secara langsung dan tanpa memeriksa atau
merabanya, selain itu pasien juga bisa membeli obat langsung dari klinik online
tersebut dengan anjuran dari dokter yang mendiagnosa pasien yang bersangkutan,
dan pengiriman obatnya pun dilakukan melalui jasa titipan kilat. Proses pembayaran
serta pembelian obatnya pun dilakukan lewat transfer tanpa harus bertatap muka
antara dokter dan pasien. Adapun tahapan-tahapan pemberian pelayanan praktik
dokter secara online ini yaitu;
1. Pasien berkonsultasi kepada staf dokter juga melalui email, BBM, WhatsApp,
telefon;
2. Dari hasil konsultasi, dokter akan mendiagnosa penyakit pasien, misalkan jika
pasien sakit kulit bisa memfotokan dan mengirimkan secara online;
3. Jika pasien menghendaki obat dari klinik online tersebut dan dikirimkan obatnya,
maka terlebih dahulu pasien tersebut harus melakukan pembayaran dengan cara
mentransfer dana terlebih dahulu ke rekening milik klinik online tersebut;
4. Obat akan dikirimkan melalui jasa titipan barang yaitu berupa JNE,POS, dsb;
5. Jika pasien menghendaki pembelian obat di apotek terdekat dengan pasien, maka
klinik online tersebut akan mengkirimkan secara online surat resep kepada pasien
tersebut;
6. Jika belum ada perubahan, pasien diarahkan untuk berkonsultasi langsung ke
alamat klinik online tersebut.2
Adanya layanan praktik kedokteran secara online ini, berdampak positif dan negatif
bagi dunia kesehatan. Disatu sisi memudahkan proses pemberian pelayanan dan
upaya kesehatan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien dengan tidak adanya
batasan jarak, namun disisi lain dengan adanya praktik kedokteran secara online

1
Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
Jakarta, 2001, hlm. 72.
2
“Layanan Klinik Online Dihubungkan Dengan Tanggung Jawab Dokter Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Dan Uudang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
TentangInformasiDanTransaksiElektronik”,https://www.blogger.com/profile/180671974906881032
39, 2014, diakses tanggal 11 Juli 2018, Pukul 14.50 Wib.
tersebut yang menggunakan perangkat internet sebagai media penghubung, tanpa
kita sadari akan timbul berbagai persoalan yang terjadi akibat praktik kedokteran
secara online tersebut.
Salah satunya kerahasian pasien dalam hal ini (rekam medis) kemungkinan
tidak terlindungi dengan baik. Selain itu, jika melihat praktik kedokteran standard
yang dilakukan di dalam klinik pada umumnya tentu hal ini menimbulkan
permasalahan tersendiri, karena proses pendiagnosaan secara online oleh dokter
dilakukan dengan tidak bertatap muka secara langsung dengan pasien, sehingga tidak
menutup kemungkinan terjadi kesalahan pendiagnosaan terhadap pasien.
Besarnya persentase kesalahan pendiagnosaan oleh dokter kepada pasien di
dalam pelayanan praktik kedokteran secara online, hal tersebut merupakan salah satu
tantangan yang harus dihadapi untuk kemajuan di bidang kesehatan. Jika kesalahan
pendiagnosaan oleh dokter terjadi maka, sudah seharusnya dokter bisa atau dapat
diminta pertanggungjawabannya, dan bagaimana bentuk pertanggungjawaban dokter
yang melakukan praktik secara online tersebut apabila terjadi kerugian terhadap
pasiennya berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia.
Berdasarkan permasalahan akibat pelayanan praktik kedokteran secara online
ini, dapat terlihat dinamika hukum kesehatan di Indonesia masih kurang mencukupi
untuk mengantisipasi perkembangan di dalam dunia kesehatan, dimana teknologi
yang berkembang cepat tidak dapat di ikuti dengan perkembangan hukum di bidang
kesehatan. Oleh karena itu, seharusnya Undang-Undang Kesehatan sudah
mengakomodir Undang-Undang ITE tentang perkembangan pelayanan kesehatan
dengan memanfaatkan internet khususnya dengan adanya pelayanan praktik
kedokteran secara online ini, tetapi pada nyatanya hal tersebut tidak diatur di dalam
Undang-Undang Kesehatan.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik membuat makalah dengan judul:
“Aspek Hukum Telemedecine atas Layanan Klinik Praktik Kedokteran”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang akibat praktik kedokteran dengan menggunakan layanan
klinik secara online tersebut diatas, yang menjadi pokok permasalahan dalam
penulisan ini adalah:
1. Bagaimanakah keberadaan pelayanan praktik kedokteran dengan menggunakan
layanan klinik secara online berdasarkan Undang-Undang Kesehatan dikaitkan
dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ?
2. Bagaimana pertanggungjawaban dokter secara hukum yang melakukan
pelayanan kesehatan secara online apabila terjadi kerugian yang dialami oleh
pasien ditinjau dari KUH Perdata, KUH Pidana, dan Undang-Undang
Administrasi ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimanakah keberadaan pelayanan praktik kedokteran
dengan menggunakan layanan klinik secara online berdasarkan Undang-Undang
Kesehatan dikaitkan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban dokter secara hukum yang melakukan
pelayanan kesehatan secara online apabila terjadi kerugian yang dialami oleh
pasien ditinjau dari KUH Perdata, KUH Pidana, dan Undang-Undang
Administrasi.

D. Manfaat
a. Manfaat Teoritis
1. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum,
khususnya dalam bidang hukum kesehatan terkait sarana kesehatan.
2. Diharapkan dapat memberikan bahan bacaan dan refrensi bagi kepentingan
akademis, dan juga sebagai tambahan bagi kepustakaan.
b. Manfaat Praktis
1. Diharapkan dapat memberikan informasi kepada penyelenggara sarana
kesehatan klinik secara online untuk menjalankan profesinya sesuai
dengan standard profesi kedokteran dan sesuai dengan perizinan klinik.

2. Diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai sisi


positif dan sisi negatif serta bagaimana pertanggungjawaban dokter akibat
dari pada praktik kedokteran dengan layanan klinik secaraonline.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Pelayanan Kesehatan


1. Pengertian Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Medis
Pengaturan pelayanan kesehatan untuk masyarakat di Indonesia, secara filosofis
berasal dari Pasal 34 Ayat (1) UUD 1945 yang menetapkan pelayanan kesehatan
sebagai tanggung jawab Negara, dan Pasal 28 H Ayat (1) yang menetapkan
mengenai hak warga negara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Penyediaan
pelayanan kesehatan berkaitan dengan nilai yang menjunjung harkat martabat
manusia Indonesia, sedangkan penetapan hak untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan merupakan perwujudan dari sila keadilan sosial yang mewujudkan
pemerataan.3
Berikut ini pengertian pelayanan kesehatan menurut para ahli dan institusi
kesehatan dalam bloknya, A.A. Maulana, dengan judul Pelayanan Kesehatan
Pasien, Tujuan Bentuk Jenis Syarat Serta Tugas dan Fungsi Rumah Sakit Dalam
Memberi Pelayanan adalah:4
a. Menurut Soekidjo Notoatmojo
“Pelayanan kesehatan adalah sub sistem pelayanan kesehatan yang tujuan
utamanya adalah pelayanan preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan
kesehatan) dengan sasaran masyarakat.
b. Menurut Azwar
Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau
secara bersama-sama dalamn suatu organisasi untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan perseorangan, keluarga kelompok, dan ataupun masyarakat.

Zahir Rusyad, Hukum Perlindungan Pasien, konsep perlindungan hukum terhadap pasien dalam
3

4
pemenuhan hak kesehatan oleh dokter dan rumah sakit, Setara Press, Malang, 2018, hlm. 1.
A.A. Maulana,http://aamaulana96.blogspot.com2013/03/sosiologi_16html?m=1, Pengertian Pelayanan
Kesehatan Pasien Tujuan Bentuk Jenis Syarat Serta Tugasdan Fungsi Rumah Sakit Dalam Memberi
Pelayanan, diakses tanggal 11 Juli 2018, Pukul 17.15 Wib.
c. Menurut Depkes RI

Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau


secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun
masyarakat.

d. Menurut Levey dan Loomba


Pelayanan Kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan sendiri/secara
bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan, mencegah, dan mencembuhkan penyakit serta memulihkan
kesehatan perorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat.”
Dari pengertian di atas menggambarkan bahwa pelayanan kesehatan mencakup
semua upaya yang bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah dan mengobati penyakit, serta memulihkan kesehatan perorangan atau
masyarakat, sedangkan upaya yang dilakukan tersebut dapat diselenggarakan
sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi.5
Selanjutnya, pelayanan medis merupakan suatu upaya atau kegiatan untuk
mencegah, mengobati penyakit, serta memulihkan kesehatan atas dasar hubungan
antara pelayanan medis dan individu yang membutuhkan.6 Pelayanan medis
sebagai suatu upaya untuk mencegah, mengobati penyakit, memulihkan kesehatan
atas dasar hubungan individu tersebut.
Menyimak uraian di atas dapat dikatakan bahwa sebetulnya pelayanan kesehatan
tampaknya mempunyai cakupan lebih luas bila dibandingkan dengan pelayanan
medis. Meskipun demikian, antara pelayanan kesehatan dan pelayanan medis
pada prinsipnya mempunyai tujuan yang sama yaitu keduanya sama-sama untuk
memenuhi kebutuhan individu atau masyarakat untuk mengatasi, menetralisir atau
menormalisasi semua penyimpangan terhadap keadaan kesehatan.

5
Marcel Seran dan Anna Maria Wahyu Setyowati,Dilema Etika dan Hukum Dalam Pelayanan Medis,
Mandar Maju, Bandung, 2010, hlm. 7.
6
Ibid.
2. Sumber Hukum Kesehatan

Hukum kesehatan merupakan cabang dari ilmu hukum yang secara relatif baru
berkembang di Indonesia. Hukum kesehatan ini merupakan cakupan dari aspek-
aspek hukum perdata, hukum administratif, hukum pidana dan hukum disiplin
yang tertuju pada subsistem kesehatan dalam masyarakat. Salah satu unsur dalam
hukum kesehatan, merupakan pengertian- pengertian tersebut, yaitu subjek
hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, objek hukum,
dan masyarakat hukum.7
Berikut beberapa pengertian hukum kesehatan:
a. Anggaran Dasar
Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI)8 “adalah semua
ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini menyangkut
hak dan kewajiban baik dari perorangan dan segenap lapisan masyarakat
sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara
pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya, organisasi, sarana, pedoman
standar pelayanan medik, ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum, serta
sumber-sumber hukum lainnya.”
b. H. J. J. Lennen9
“Hukum kesehatan adalah semua peraturan hukum yang berhubungan
langsung pada pemberian layanan kesehatan dan penerapannya pada
hubungan perdata, hukum administrasi dan hukum pidana. Arti peraturan
disini tidak hanya mencakup pedoman internasional, hukum kebiasaan,
hukum yurisprudensi, namun ilmu pengetahuan dan kepustakaan
dapat juga merupakan sumber hukum.”
c. Van der Mijn10
“Hukum kesehatan dapat dirumuskan sebagai kumpulan peraturan yang
berkaitan dengan pemberian perawatan dan juga penerapannya kepada

7
Muhamad Sadi Is, Etika Hukum Kesehatan, Teori dan Aplikasinya di Indonesia, Prenadamedia Group,
Jakarta, 2015, hlm. 1.
8
Ibid.
9
Ibid, hlm. 2.
10
Ibid, hlm. 3.
hukum perdata, dan hukum administrasi. Hukum medis yang mempelajari
hubungan yuridis dimana dokter menjadi salah satu pihak, merupakan bagian
dari hukum kesehatan.”

Dan yang menjadi sumber-sumber hukum kesehatan menurut Maskawati dalam


bukunya Hukum Kesehatan adalah:11
a. Pedoman Internasional
Konfrensi Helsinki pada tahun 1964 merupakan kesepakatan para dokter
sedunia mengenai penelitian kedokteran, khususnya eksperimen pada manusia,
yakni ditekankan pentingnya persetujuan tindakan medik (informed consent).
b. Hukum Kebiasaan
Biasanya tidak tertulis dan tidak dijumpai dalam peraturan perundang-
undangan. Kebiasaan tertentu telah dilakukan dan pada setiap operasi yang
akan dilakukan dirumah sakit harus menandatangani izin operasi, kebiasaan ini
kemudian dituangkan kedalam peraturan tertulis dalam bentuk informed
consent.
c. Hukum Otonom
Suatu ketentuan yang berlaku untuk suatu daerah tertentu. Ketentuan yang
dimaksud berlaku bagi anggota profesi kesehatan, misalnya kode etik
kedokteran, kode etik keperawatan, kode etik bidan, dan kode etik fisioterapi.
d. Literatur
Pendapat ahli hukum yang berwibawa menjadi sumber hukum kesehatan.
Misalnya mengenai pertanggungjawaban hukum (liability), perawat tidak
boleh melakukan tindakan medis kecuali atas tanggungjawab dokter
(prolonged arm doktrine).

3. Bentuk-bentuk Pelayanan Kesehatan


Jenis pelayanan kesehatan menurut Pasal 52 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan diantaranya adalah:

11
Maskawati, et. al, Hukum Kesehatan, Dimensi Etis dan Yuridis Tanggungjawab Pelayanan Kesehatan,
Litera, Yogyakarta, 2018, hlm. 2.
1). Pelayanan kesehatan perseorangan,
Pelayanan kesehatan perseorangan maupun masyarakat meliputi kegiatan
dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
a. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan
yang bersifat promosi kesehatan.
b. Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap
suatu masalah kesehatan/penyakit.
c. Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit,
pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau
pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal
mungkin.
d. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat
sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna
untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuannya.
2). Pelayanan kesehatan masyarakat
Pelayanan kesehatan masyarakat dilihat dari bentuk pelayanannya yaitu
pelayanan klinik, puskesmas, dan rumah sakit.
a. Klinik
Berdasarkan Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 028/ MENKES/PER/I/2011 Tentang Klinik “klinik adalah fasilitas
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau
spesialistik, diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan
dan dipimpin oleh seorang tenaga medis”. “Tenaga medis adalah dokter,
dokter spesialis, dokter gigi atau dokter gigi spesialis”.
b. Puskesmas
Setiap Puskesmas mempunyai jenis pelayanan yang standar sesuai wilayah
kerja masing- masing. Beberapa Puskesmas melaksanakan jenis kegiatan
pengembangan dan penunjang sesuai kemampuan sumber daya manusia
dan sumber daya material yang dimilikinya.
c. Rumah Sakit
Pelayanan rumah sakit ditunjukkan untuk : pasien/penderita dan
keluarganya, orang sehat, masyarakat luas, dan institusi (asuransi,
pendidikan, dunia usaha, kepolisian dan kejaksaan). Pelayanan terhadap
pasien meliputi : pemeriksaan, penegakan diagnosis, tindakan terapeutik
(pengobatan), tindakan pembedahan, penyinaran dan lain-lain.
3). Pelayanan kesehatan tradisional.
Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan
dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan
turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan
diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

B. Hubungan Hukum Antara Dokter dan Pasien


1. Pengertian Perjanjian Baku
Perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah bahasa Belanda: standard
voorwaarden. Di berbagai negara, belum terdapat keseragaman mengenai istilah
yang digunakan untuk perjanjian baku. Kepustakaan Jerman menggunakan
istilah Allgemeine Geschafts Bedingun, Standaardvertrag, Standaard
konditionen. Hukum Inggris menyebut sebagai Standard Contract.12 Mariam
Darus Badrulzaman menerjemahkan dengan istilah “perjanjian baku”. Baku
berarti patokan, ukuran, acuan.13 Secara teoretis, pengertian kontrak tercantum
dalam Pasal 1 Restatement (Second) of Contracts Amerika Serikat. A Contract
is:”A promise or a set of promises for the breach of which the law gives a
remedy, or the permormance of which the law in some way recognizes as a
duty”.Dalam konstruksi ini, kontrak dipahami sebagai sebuah kesepakatan atau
janji atau seperangkat janji. Janji (promise) dikonsepkan sebagai perwujudan niat
untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan cara yang
ditentukan, sehingga para pihak membenarkan apa yang telah dilakukan.14
12
Dhanang Widijawan, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Bisnis, Transaksi & SistemElektronik, Keni

Media, Bandung, 2018, hlm. 99.


13
Ibid.
14
H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi Dan
Tesis, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015, hlm. 239.
Pengertian perjanjian atau kontrak diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang
berbunyi: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Defenisi perjanjian dalam
Pasal 1313 ini adalah: tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut
perjanjian; tidak tampak asas konsensualisme, dan bersifat dualisme.

Tidak jelasnya defenisi ini disebabkan di dalam rumusan tersebut disebutkan


perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan
perjanjian. Untuk memperjelas pengertian itu, maka harus dicari dalam doktrin.
Menurut doktrin (teori lama), yang disebut perjanjian adalah: “Perbuatan hukum
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. Dalam defenisi ini,
telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum
(tumbuh/ lenyapnya hak dan kewajiban). Unsur-unsur perjanjian menurut teori
lama adalah sebagai berikut:
a. adanya perbuatan hukum;
b. persesuaian kehendak ini harus dipublikasikan/ dinyatakan;
c. perbuatan hukum itu terjadi karena kerjasama antara dua orang atau lebih
d. akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau
timbal balik;
e. persesuaian kehendak itu harus dengan mengingat peraturan perundang-
undangan.15
f. Perjanjian baku lazimnya dibuat oleh organisasi-organisasi perusahaan, hal
inilah yang membuat perjanjian baku telah distandarisasi isinya oleh pihak-
pihak ekonomi yang kuat, sedangkan pihak lainnya hanya diminta menerima
atau menolak isinya. Apabila debitur menerima isi perjanjian tersebut ia
menandatangani perjanjian tersebut, tetapi apabila ia menolak, maka
perjanjian itu dianggap tidak ada karena debitur tidak menandatangani
perjanjian itu, perjanjian ini dikenal juga dengan istilah “take it or leave it
contract”. Pengertian perjanjian standar menurut pandangan para ahli
diantaranya:16

15
H. Salim HS, et. al,Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika,
Jakarta, 2014, hlm. 7.
16
AprianWibowo, Perjanjian Baku, http://aprian Wibowo.blog.ugm.ac.id/2012/06/02/prrjanjian-baku-
standard, 2012, diakses tanggal 11 Juli 2018, Pukul 19.35 Wib.
1). Treitel :
“ the term of many contract are set out in printed standard form which are
used for all contract of the some kind, and are only varied so for as the
circumstance of each contact required”.
2). Hondius :
“perjanjian tertulis yang disusun tanpa pembicaraan isinya dan lazimnya di
tuangkan ke dalam sejumah perjanjian tidak terbatas yang sifatnya
tertentu”.

3). Mariam Darius Badruzaman :


“Perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan
dalam bentuk formulir”.
Dari uraian di atas maka perjanjian standar adalah perjanjian yang memuat di
dalamnya klausa-klausa yang sudah dibakukan dan dicetak dalam bentuk formulir
dengan jumlah yang banyak serta dipergunakan untuk semua perjanjian yang
sama jenisnya.

2. Dasar Hukum Perjanjian


Sebagai negara hukum maka segala sesuatunya di Indonesia harus berdasarkan
hukum (asas legalitas). Undang-undang adalah produk hukum yang berlaku bagi
masyarakat ataupun individu. Dalam konsep Negara Hukum diidealkan bahwa
yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan bernegara adalah
Hukum, bukan Politik ataupun Ekonomi. “Dalam sistem B.W. hukum perjanjian
merupakan bagian dari hukum perikatan yang diatur dalam Buku III
(Verbintenissentecht).”17 Buku ketiga disamping mengatur tentang perikatan yang
timbul dari perjanjian, juga mengatur perikatan yang timbul dari undang undang.
Buku ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut sistem terbuka,
maksud dari sistem terbuka adalah orang dapat mengadakan perjanjian tentang
apapun juga (meski menyimpang dari yang telah ditetapkan buku ketiga) sesuai

17
R. Subekti, Perbandingan Hukum Perdata, Pradnya Pramita, Jakarta, 1986, hlm. 43.
kehendaknya (baik mengenai bentuk ataupun isinya) sepanjang tidak bertentangan
dengan undang undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Jadi aturan buku ketiga
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan hukum pelengkap yang
berlaku bagi para pihak sepanjang tidak mengesampingkan perjanjian mereka.
Dasar-dasar dari hukum kontrak nasional terdapat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, karena itu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan
sumber utama dari suatu kontrak.

Selain dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata tersebut, menurut Salim H.S
dalam bukunya Hukum Kontrak, yang menjadi sumber hukum kontrak yang
berasal dari peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:18
a. ”Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB)
b. KUH Dagang
c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
d. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.”

3. Keberadaan Kontrak dengan Media Elektronik


a. Bentuk-bentuk Kontrak Elektronik
Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 1 Angka
17 menyatakan :
“Kontrak elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem
elektronik.”Dalam Pasal 19 Undang-undang Informasi dan Transaksi
Elektronik No. 11 Tahun 2008 dijelaskan bahwa para pihak yang melakukan
transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati.
Selanjutnya didalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) Pasal 47 Angka
(2), kontrak elektronik dianggap sah, apabila:
1. Terdapat kesepakatan para pihak
2. Dilakukan oleh subjek hukum yang cakap (yang berwenang mewakili)
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
18
Salim H.S, Op. cit, hlm. 15.
3. Terdapat hal tertentu
4. Objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.”
Salah satu bentuk perkembangan dari hukum perjanjian adalah munculnya
kontrak elektronik (e-contract) yang diperkenalkan dalam UNCITRAL Model
Law on Electronic Commerce pada tahun 1996. Kemudian pada tahun
2008, dengan diundangkannya UU-ITE ketentuan tentang e-contract diakui
dalam hukum positif. Namun jika dicermati, model law UNCITRAL dan
UU-ITE tidak menjelaskan secara eksplisit bentuk dari e-contract. Alhasil,
pemahaman tentang e-contract menjadi berbeda dan bisa menimbulkan
kekeliruan. Secara umum, banyak orang berpendapat bahwa e-contract adalah
kontrak elektronik, tetapi pernyataan di atas belum menjawab secara utuh,
karena muncul pertanyaan turunannya, yaitu seperti apa bentuknya? Banyak
pendapat yang mengatakan bahwa suatu perjanjian yang di digitalisasi
dokumennya/di-scan atau dibuat dalam bentuk soft-copy maka itulah e-
contract. Pandapat di atas adalah pendapat yang keliru, karena e-contract tidak
sesederhana itu.
Kekeliruan pemahaman lainnya juga terjadi dalam mengartikan tanda tangan
elektronik, berangkat dari kesalahan persepsi di atas, maka penjelasan tentang
e-contract, jenisnya dan tanda tangan elektroik menjadi penting.
Untuk mengenal konsep e-contract, maka rujukan awalnya harus mengacu
pada UNCITRAL sebagai penggagasnya, meski UNCITRAL juga tidak
menyebut seperti apa bentuk e-contract, akan tetapi pasal 4 UNCITRAL
memberi petunjuk, yaitu:19
“as between parties involved in generating, sending, receiving, storing or
otherwise processing data messages, and except as otherwise provided, the
provisions of chapter III may be varied by agreement.”
Dalam suatu perjanjian, prinsip utamanya adalah kesepakatan (agreement).
Meski secara prinsipil bentuk kesepakatan di dalam transaksi elektronik secara
umum adalah sama, akan tetapi bentuknya memiliki perbedaan.

19
Dian Mega Erianti Renouw, Perlindungan Hukum E- Commerce, Yayasan Taman Pustaka, Jakarta, 2017,
hlm. 53.
Bertolak dari perbedaan bentuk maka UNCITRAL mengaturnya dengan
sebutan “variation by agreement”. Dalam konsep perjanjian, kebebasan
menentukan kesepakatan ini adalah bagian dari lingkup proses offer and
acceptance yang perbedaan bentuknya harus diakomodir oleh hukum. Dalam
e-contract, bentuk offer and acceptance- dilakukan dengan menggunakan
jaringan elektronik, atau dikenal dengan sebutan electronic data interchange
(EDI). Dengan adanya bentuk baru dari offer and acceptance maka sebutan
variasi dari kesepakatan yang ditetapkan UNCITRAL menjadi menjadi sangat
beralasan.
Jika penjelasan di atas dikorespondensikan dengan UU-ITE, pengaturan
tentang offer and acceptance diatur dalam pasal 8 UU-ITE, yaitu tentang
“waktu pengiriman” dan “waktu penerimaan” informasi elektronik. Perlu
disampaikan bahwa para pihak yang ingin membuat perjanjian bisa
menentukan sendiri ketentuan tentang waktu di atas. Setelah dicapainya suatu
kesepakatan, maka rumusan esentialia perjanjian bisa dibaca oleh salah satu
pihak sampai pada akhirnya perjanjian selesai dibuat.
Secara umum telah diterima bahwa yang dimaksud kontrak adalah perjanjian
tertulis. Bentuk suatu perjanjian adalah bebas (vormvrij), dapat lisan atau
tertulis. Dengan bentuk tertulis, pembuktian perjanjian tertulis lebih mudah
dari pada dengan lisan.Menurut Abdul Rauf dalam bloknya yang berjudul
kontrak elektronik, bentuk-bentuk kontrak elektronik yang umum dilakukan
dalam transaksi perdagangan secara online yaitu;20

1. Kontrak melalui elektronik mail adalah suatu kontrak yang dibentuk secara
sah melalui komunikasi email. Penawaran dan penerimaan dapat
dipertukarkan melalui email atau dikombinasi dengan komunikasi
elektronika lainnya, dokumen tertulis atau faks.
2. Suatu kontrak dapat juga dibentuk melalui website dan jasa online lainnya,
yaitu suatu website menawarkan penjualan barang dan jasa, kemudian
konsumen dapat menerima penawaran dengan mengisi suatu formulir yang
terpampang pada layar monitor dan mentransmisikannya.

20
Abdul Rauf, Kontrak Elektronik, http://mentarvision.blogspot.com/2011/11/kontrak-elektronik.html,

diakses tanggal 12 Juli, Pukul 12.35Wib.


3. Kontrak yang mencakup direct online transfer dari informasi dan jasa.
Website digunakan sebagai medium of communication dan sekaligus sebagai
medium of exchange.
4. Kontrak yang berisi Electronic Data Interchange (EDI), suatu pertukaran
informasi bisnis melalui secara elektronik melalui komputer milik para
mitra dagang (trading partners).
5. Kontrak melalui internet yang disertai dengan lisensi click wrap dan shrink
wrap. Software yang di download melalui internet lazimnya dijual dengan
suatu lisensi click wrap. Lisensi tersebut mucul pada monitor pembeli pada
saat pertama kali software akan dipasang (Iinstall) dan calon pembeli
ditanya tentang kesediannya menerima persyaratan lisensi tersebut.
Pengguna diberikan alternativ “ I accept” atau “I don’t accept”.
Sedangkan shrink wrap lazimnya merupakan lisensi software yang dikirim
dalam suatu bungkusan (package) misalnya disket atau compact disc.

b. Sifat-sifat Kontrak Elektronik


Kontrak elektronik, meskipun berbeda bentuk fisik dengan kontrak
konvensional, namun keduanya tunduk pada aturan Hukum Kontrak/Hukum
Perjanjian/Hukum Perikatan. Kedua jenis kontrak tersebut juga harus
memenuhi “syarat-syarat sah perjanjian” dan “azas-azas perjanjian”.
Disamping itu, meskipun kontrak elektronik kebanyakan berbentuk kontrak
standard (kontrak baku) yang sudah ditentukan oleh pihak penjual, kontrak
standard tersebut tidak boleh melanggar aturan Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya kompilasi hukum
perikatan, dalam kontrak elektronik selain terkandung ciri-ciri kontrak baku
juga terkandung ciri-ciri kontrak elektronik, yaitu:21
a. “ada kontrak dagang;
b. kontrak itu dilaksanakan dengan media elektronik (digital);
c. kehadiran fisik dari para pihak tidak diperlukan;

21
Mariam Darus Badrulzaman, et. al, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001,
hlm. 284.
d. kontrak itu terjadi dalam jaringan publik;
e. sistemnya terbuka, yaitu dengan internet atau WWW
f. kontrak itu terlepas dari batas, yuridiksi nasional.”

4. Perlindungan Pasien dengan Kontrak Elektronik


Kita saat ini telah memasuki evolusi akhir manusia, yaitu dari Homo Erectus
menjadi Homo Informaticus. Manusia yang tadinya cukup berdiri tegak, menjadi
manusia yang setiap bangun tidur langsung cek dan update status di media sosial
digitalnya. Semua itu berdampak secara nyata kepada karakter filosofis, historis,
humanis, sosiologis, psikologis, dan ekonomis. Bahkan berujung pula pada
perbuatan melawan hukum seperti penipuan, hoax, perundungan/bullying,
penculikan dan pemerkosaan, termasuk juga terorisme dan radikalisme.
Pendekatan secara teoritis memberikan justifikasi bahwa yang dapat
mengantisipasi permasalahan akibat pemanfaatan teknologi adalah sistem hukum,
bukan teknologinya itu sendiri.

Gregory N. Mandel memberikan ketegasan hal dimaksud sebelum membahas


pemikirannya dalam:22
“History Lessons for a General Theory Of Law and Technology”, bahwa
kemajuan yang pesat dari teknologi tidaklah bebas dari resiko. Resiko-resiko
tersebut seringkali memunculkan permasalahan-permasalahan baru dan sengketa-
sengketa yang baru pula sehingga harus direspon oleh suatu sistem hukum.”
Pemerintah Republik Indonesia berupaya mendorong dan melindungi insan media
sosial untuk tetap aman dan nyaman berselancar di dunia virtual, melalui
instrumen legislasi yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
Pasien sama halnya dengan konsumen, dimana keduanya menikmati suatu
jasa atau benda yang ditawarkan oleh produsen dalam hal ini adalah kinik,
22
Danrivanto Budhijanto, Revolusi Cyberlaw Indonesia, Pembaruan dan Revisi Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik 2016, Refika Aditama, Bandung, 2017, hlm. 134.
ataupun rumah sakit tempat dokter untuk melakukan pelayanan praktik kedokteran
secara online.
Dalam hal ini, klinik menawarkan jasa praktik/konsultasi dokter secara online
melalui website klinik tersebut sehingga mudah diakses siapapun. Ketika seorang
pasien mengakses situs/webside dari klinik dokter online tersebut dan klinik
tersebut melayani konsultasi secara online maka sudah terjadi hubungan hukum
antara pasien dengan dokter yang ada dalam klinik online tersebut.Perlindungan
hukum terhadap pasien atas pelayanan yang baik diatur dalam pasal 32 huruf q
UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Transaksi teraupetik, dan informed
consent, menjadi acuan perlindungan hak pasien menggugat pertanggungjawaban
apabila terjadi malpraktik oleh dokter.

5. Hubungan Hukum Dokter-Pasien dalam Kontrak Teraupetik secara Online

Pada hakikatnya hubungan antara dokter dengan pasien merupakan suatu


hubungan perdata yang terjadi cukup dengan adanya kesepakatan. Hal ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 39 UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran yang menyatakan bahwa praktik kedokteran diselenggarakan
berdasarkan kesepakatan antara dokter dan pasien. Dengan demikian baik dokter
maupun pasien mempunyai hak dan kewajiban di bidang hukum keperdataan.
Demi memahami hakekat hubungan hukum antara dokter dengan pasien biasanya
disebut transaksi teraupetik yang didalamnya terdapat Informed Consent,maka
hukum dikonsepkan sebagai norma.

Transaksi berarti perjanjian atau persetujuan, yaitu hubungan timbal balik antara
dua pihak yang bersepakat dalam satu hal. Terapeutik adalah terjemahan dari
bahasa Inggris, yakni therapeutic yang berarti dalam bidang pengobatan. Ini tidak
sama dengan therapy atau terapi yang berarti pengobatan. Persetujuan yang terjadi
di antara dokter dengan pasien bukan di bidang pengobatan saja tetapi lebih luas,
mencakup bidang diagnostik, preventif, rehabilitasi maupun promotif, maka
persetujuan ini disebut persetujuan terupetik atau transaksi terapeutik.23
23
Jusuf Hanafiah dan Amri Amir,Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran

Di dalam Mukadimah pada Kode Etik Kedokteran Indonesia, juga tercantum


tentang transaksi terapeutik. Yang dimaksud dengan transaksi terapeutik adalah
hubungan antara dokter dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling
percaya (konfidensial), serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan
kekhawatiran makhluk insani. Berdasarkan pengertian tentang transaksi terapeutik
di atas, bahwa dalam transaksi terapeutik tersebut mempunyai subjek perjanjian
dan objek perjanjian.

Pada dasarnya, perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia


memuat subjek dan objek dari perjanjian. Subjek dari perjanjian, yakni para
pihak dalam perjanjian tersebut dan objek dari perjanjiannya adalah melaksanakan
suatu hal. Maka, dalam transaksi terapeutik tersebut, subjek perjanjian dalam
transaksi terapeutik adalah pihak dokter dan pihak pasien. Sedangkan objek dari
transaksi yaitu bukan “kesembuhan” pasien, melainkan upaya maksimal yang
tepat untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien dalam transaksi tersebut.24

Yang menjadi pembeda dari transaksi terapeutik dengan transaksi atau perjanjian
lainnya seperti perjanjian sewa menyewa atau perjanjian jual beli atau kontrak
antara biro bangunan atau pemborong dengan masyarakat yang ingin membuat
rumah atau bangunan lainnya, yakni dokter hanya dapat memberikan upaya
maksimal. Hubungan dokter dengan pasien ini dalam perjanjian hukum perdata
termasuk kategori perikatan berdasarkan daya upaya atau usaha maksimal
(inspannings verb intenis).Ini berbeda dengan ikatan yang termasuk kategori
perikatan yang berdasarkan hasil kerja (resultaats verb intenis).25

Dalam transaksi terapeutik terjadi akibat adanya hubungan hukum antara pihak-
pihak yang terlibat dalam transaksi terapeutik. Seperti yang disebutkan di atas
bahwa pihak-pihak tersebut antara lain dokter dan pasien, dan pihak-pihak
tersebut berperan sebagai subjek dari transaksi terapeutik. Hubungan hukum
dokter dan pasien adalah hubungan antara subjek hukum dengan subjek hukum.

24
Adami Chazawi, Malpraktik Kedokteran, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hlm. 37. EGC, Jakarta, 2007,
hlm. 43.
25
Jusuf Hanafiah dan Amri Amir,Op. cit, hlm. 4.
Dokter sebagai subjek hukum dan pasien juga sebagai subjek hukum secara sukarela
dan tanpa paksaan saling mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian atau kontrak
yang disebut kontrak terapeutik. Dalam hubungan hukum ini maka segala sesuatu
yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya dalam upaya penyembuhan
penyakit pasien adalah merupakan perbuatan hukum yang kepadanya dapat
dimintai pertanggungjawaban hukum.

Timbulnya hubungan hukum antara dokter dan pasien, dalam praktek sehari-hari
dapat disebabkan dalam berbagai hal. Hubungan itu terjadi antara lain disebabkan
pasien yang mendatangi dokter untuk meminta pertolongan agar menyembuhkan
penyakit yang dideritanya. Keadaan ini terjadi adanya persetujuan kehendak di
antara kedua belah pihak. Hubungan hukum ini bersumber pada kepercayaan si
pasien kepada dokter, sehingga si pasien bersedia memberikan persetujuan
kepada dokter untuk melakukan tindakan medis (informed consent).
Secara yuridis, informed consent dalam pelayanan kesehatan telah memperoleh
pembenaran melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik. Di sisi lain,
alasan lain yang menyebabkan timbulnya hubungan antara dokter dengan pasien
adalah karena keadaan mendesak untuk segera mendapatkan pertolongan dari
dokter. Misalnya, dalam keadaan terjadinya kecelakaan lalu lintas ataupun karena
adanya situasi lain yang menyebabkan keadaan pasien sudah gawat (emergency)
dimana dokter langsung dapat melakukan tindakan. Keadaan seperti ini yang
disebut dengan zaak waarneming sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1354
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
Dengan demikian, selain hubungan hukum antara dokter dan pasien terbentuk
karena transaksi terapeutik (ius contracto), maka hubungan hukum antara dokter
dan pasien juga bisa terbentuk didasarkan pada zaakwaarneming dan atau
disebabkan karena undang-undang (ius delicto). Hubungan hukum antara dokter
dan pasien yang seperti ini merupakan salah satu ciri dari transaksi terapeutik
yang membedakan dengan perjanjian (transaksi) pada umumnya sebagaimana
yang diatur dalam KUH Perdata.
Dari hubungan antara dokter dan pasien dalam transaksi terapeutik tersebut,
masing- masing pihak mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
kedua pihak tersebut harus dilakukan dan dipenuhi. Dalam Pasal 50 dan Pasal
51 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, berikut
adalah hak dan kewajiban dari dokter:
1) Hak dokter
a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional;
c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya
d. menerima imbalan jasa.
2) Kewajiban dokter
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian
atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan;
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan
juga setelah pasien itu meninggal dunia;
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.
Selain itu, dalam undang-undang yang sama pada Pasal 52 dan Pasal 53, berikut
adalah hak dan kewajiban dari pasien:
1) Hak pasien
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis, yakni:
b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. menolak tindakan medis; dan
e. mendapatkan isi rekam medis.
2) Kewajiban pasien
a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya;
b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Dari penjelasan diatas hubungan dokter dengan pasien adalah hubungan yang
unik, dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan dan pasien sebagai penerima
pelayanan kesehatan. Hubungan hukum dokter dan pasien menempatkan
keduanya sebagai subjek hukum yang masing-masing pihak mempunyai hak-hak
dan kewajiban-kewajiban yang harus di hormati. Dokter sebagai subjek hukum
mempunyai kewajiban untuk memenuhi segala sesuatu yang menjadi hak-hak
pasien dan sebaliknya pasien mempunyai kewajiban yang sama untuk memenuhi
hak-hak dokter.

6. Kekuatan Hukum Kontrak Melalui Elektronik


Bab III UU ITE No. 19 Tahun 2016 berisi ketentuan tentang Informasi, Dokumen
dan Tanda-tangan Elektronik. Isi pokok ketentuan ini mengatur tentang Informasi
Elektronik dan Dokumen Elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah.
Misalnya, Pasal 5 ayat (1) UU ITE No. 19 Tahun 2016 berbunyi: “Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat
bukti hukum yang sah”. Pasal 5 ayat (2) UU ITE No.19 Tahun 2016 menyatakan
bahwa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat
bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.”
Namun, sebagai alat bukti hukum yang sah, setiap Informasi Elekronik dan
Dokumen Elektronik harus memenuhi syarat-syarat legal. Misalnya, Pasal 5 ayat
(3) UU ITE No. 19 Tahun 2016 menyatakan: “Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.”
Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik tidak dapat digunakan sebagai alat
bukti hukum yang sah untuk sejumlah keadaan tertentu. Perihal ini, Pasal 5 ayat
(4) UU ITE No. 19 Tahun 2016 berbunyi: ketentuan mengenai Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaiman dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku untuk:

a. “surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumenya yang menurut Undang-Undang harus dibuat
dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.”

c. selain itu, Pasal 6 UU ITE No. 19 Tahun 2016 menyatakan: “Dalam hal
terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang
mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli,
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang
informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin
keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu
keadaan.”
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup dalam penelitian judul makalah “Aspek Hukum Telemedecine atas
Layanan Klinik Praktik Kedokteran” adalah Bagaimanakah keberadaan pelayanan
praktik kedokteran dengan menggunakan layanan klinik secara online berdasarkan
Undang-Undang Kesehatan dikaitkan dengan Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik, dan bagaimana pertanggungjawaban dokter secara hukum yang
melakukan pelayanan kesehatan secara online apabila terjadi kerugian yang dialami
oleh pasien ditinjau dari KUH Perdata, KUH Pidana, dan Undang-Undang
Administrasi.

B. Sumber Data
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum
Primer, Sekunder, dan Tertier.26
1). Bahan Hukum Primer, yaitu peraturan perundang-undangan, antara lain:
a. Undang- Undang Dasar Tahun 1945, Amandemen ke IV.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
c. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
d. ndang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen.
e. Undang- Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
f. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
g. Undang- Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi Elektronik
h. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 28 Tahun 2011 Tentang
Klinik.

2). Bahan HukumSekunder adalah buku-buku dan tulisan-tulisan ilmiah hukum


yang terkait dengan objek penelitian ini, yaitu berupa skripsi, jurnal-jurnal
hukum dan juga artikel-artikel yang diperoleh dari internet.
26
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 106.
3). Bahan Tertier adalah petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer
atau bahan hukum yang berasal dari, kamus Bahasa Inggris, Kamus Bahasa
Belanda, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

C. Metode Pengumpulan Data


Metode dalam penulisan ini adalah Metode Penelitian Kepustakaan, data
kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari
peraturan perundang- undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi, dan hasil
penelitian.27

D. Metode Analisis Data


Penelitian yang dilakukan terkait dengan judul yang telah dipilih adalah penelitian
yang bersifat deskriptif analitis, analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan
kualitatif terhadap data primer dan data sekunder.28

Data-data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis secara sistematis, sehingga


diperoleh kesimpulan tentang permasalahan dalam penelitian yakni untuk
mengetahui bagaimanakah keberadaan pelayanan praktik kedokteran dengan
menggunakan layanan klinik secara online berdasarkan Undang-Undang Kesehatan
dikaitkan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan
bagaimana pertanggungjawaban dokter secara hukum yang melakukan pelayanan
kesehatan secara online apabila terjadi kerugian yang dialami oleh pasien ditinjau
dari KUH Perdata, KUH Pidana, dan Undang-Undang Administrasi.

27
Ibid, 107.
28
Ibid.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Telemedicine Dalam Praktek Kedokteran


1. Pengertian Telemedicine
Secara umum telemedicine adalah penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi yang digabungkan dengan kepakaran medis untuk memberikan
layanan kesehatan, mulai dari konsultasi, diagnosa dan tindakan medis, tanpa
terbatas ruang atau dilaksanakan dari jarak jauh. Untuk dapat berjalan dengan
baik, sistem ini membutuhkan teknologi komunikasi yang memungkinkan transfer
data berupa video, suara, dan gambar secara interaktif yang dilakukan secara real
time dengan mengintegrasikannya ke dalam teknologi pendukung video-
conference. Termasuk sebagai teknologi pendukung telemedicine adalah
teknologi pengolahan citra untuk menganalisis citra medis.27
Tujuan telemedicine adalah mengusahakan tercapainya pelayanan kesehatan
secara merata di seluruh populasi negara, meningkatkan kualitas pelayanan
terutama untuk daerah terpencil dan penghematan biaya dibandingkan cara
konvensional. Telemedicine juga ditujukan untuk mengurangi rujukan ke dokter
atau pelayanan kesehatan di kota-kota besar, sarana pendidikan kedokteran dan
juga untuk kasus-kasus darurat. Perluasan manfaat telemedicine bisa menjangkau
daerah-daerah bencana, penerbangan jarak jauh, dan bagi wisatawan asing yang
sedang berada di daerah wisata.28  Pendapat yang sama juga dikemukan oleh
Soegijardjo Soegijoko, bahwa telemedika atau telemedicine yaitu penggunaan
teknologi informasi dan komunikasi termasuk pula elektronika, tele-komunikasi,
komputer, informatika untuk men-transfer (mengirim dan/atau menerima)
informasi kedokteran, guna meningkatkan pelayanan klinis (diagnosa dan terapi)
serta  pendidikan.

27
Sri Kusumadewi, dkk, 2009, Informatika Kesehatan, Graha Ilmu dan Rumah Produksi Informatika,
Yogyakarta, hlm 41.
28
Erik Tapan, Implementasi telemedicine, Makalah disampaikan dalam Sidang Ilmiah Penjajakan Peluang
Aplikasi dan Implementasi Telemedicine dalam Dunia Kedokteran, Pusat Studi Informatika Kedokteran
Universitas Gunadarma, Jakarta 10 November 2006.
Kata “tele” dalam bahasa Yunani berarti: jauh, pada suatu jarak, sehingga
telemedika dapat diartikan sebagai pelayanan kedokteran, meskipun dipisahkan
oleh jarak.29  
2. Tipe Praktek Telemedicine
Pemanfaatan telemedicine sangat tergantung pada tipe praktek telemedicine. Tipe
atau bentuk praktek Telemedicine dapat berupa Telekonsultasi, Teleassistansi,
Teleedukasi dan Telemonitoring serta Telesurgery.30
Dengan ditunjang peralatan kedokteran yang dapat mengubah citra video menjadi
citra digital, maka kini, penggunaan Telemedicine dalam praktek kedokteran
sudah dimanfaatkan secara luas. Sampai sekarang Telemedicine telah
diaplikasikan di banyak negara didunia seperti Amerika, Yunani, Israel,
Jepang, Italia, Denmark, Belanda, Norwegia, Jordan,India, dan Malaysia.
3. Jenis-Jenis Telemedicine
Adapun Jenis-jenis telemedicine dalam pelaksanaannya diterapkan dalam dua
konsep yaitu real time (synchronous) dan store-and-forword (asynchronous).
Telemedicine secara real time (synchronous telemedicine) bisa berbentuk
sederhana seperti penggunaan telepon atau bentuk yang lebih kompleks seperti
penggunaan robot bedah. Synchronous telemedicine memerlukan kehadiran
kedua pihak pada waktu yang sama, untuk itu diperlukan media penghubung
antara kedua belah pihak yang dapat menawarkan interaksi real time sehingga
salah satu pihak bisa melakukan penanganan kesehatan. Bentuk lain dalam 
Synchronous telemedicine adalah penggunaan peralatan kesehatan yang
dihubungkan ke komputer sehingga dapat dilakukan inspeksi kesehatan secara
interaktif. Contoh penggunaan teknologi ini adalah tele–otoscope yang
memberikan fasilitas untuk seorang dokter melihat kedalam pendengaran seorang
pasien dari jarak ‘jauh’. Contoh yang lain adalah tele-stethoscope yang membuat
seorang dokter mendengarkan detak jantung pasien dari jarak jauh.31

29.
Soegijardjo Soegijoko, Perkembangan Terkini Telemedika dan E Health serta Prospek Aplikasinya di
Indonesia, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2010 (SNATI
2010) Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia (TI FTI UII) di
Yogyakarta, 19 Juni 2010.
30.
Johan Harlan, “Dasar-Dasar Implementasi Telemedicine,” Makalah Pusat Studi Informatika Kedokteran
Universitas Gunadarma.
31.
Sri Kusumadewi,  dkk, Op Cit, hlm 129
Telemedicine dengan store-and-forword (asynchronous telemedicine) mencakup
pengumpulan data medis dan pengiriman data ini ke seorang dokter (specialist)
pada waktu yang tepat untuk evaluasi secara offline. Jenis  telemedicine ini tidak
memerlukan kehadiran kedua belah pihak dalam waktu yang sama. Dermatolog,
radiolog, dan patalog adalah spesialis yang biasanya
menggunakan asynchronous telemedicine ini. Rekaman medis dalam struktur
yang tepat seharusnya adalah komponen dalam transfer ini.32

B. Prinsip Penggunaan Telemedicine Dalam Praktek Kedokteran Di Indonesia


1. Prinsip Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatantelah merancang Jaringan
Sistem Informasi Kesehatan Nasional (SIKNAS).33 Jaringan ini adalah sebuah
koneksi/jaringan virtual sistem informasi kesehatan elektronik yang dikelola oleh
Kementerian Kesehatan dan hanya bisa diakses bila telah dihubungkan. Jaringan
SIKNAS merupakan infrastruktur jaringan komunikasi data terintegrasi dengan
menggunakan Wide Area Network (WAN), jaringan telekomunikasi yang
mencakup area yang luas serta digunakan untuk mengirim data jarak jauh
antara Local Area Network (LAN) yang berbeda, dan arsitektur jaringan lokal
komputer lainnya. Namun jaringan ini masih sebatas pengumpulan data kesehatan
untuk keperluan statistik kesehatan, belum dirancang dalam kapasitas khusus
untuk keperluan  layanan klinis dalam fungsinya sebagai telemedicine. Jadi masih
bersifat sebagai layanan adminsitrasi kesehatan (e-health). Sementara untuk
pengembangan e-health terutama telemedicine masih memerlukan master patient
indexagar data dapat bertransaksi, dan yang akan dikumpulkan dari fasilitas
kesehatan.  Apabila sistem informasi kesehatan elektronikini telah berfungsi
maksimal diharapkan dapat memenuhi asas kemanfaatan bagi masyarakat. 

32.
Z. Wang, et al, 2008, “A Wireless Medical Information Query System Based on Unstructured
supplementary Service Data (USSD),”   dalam  Sri Kusumadewi,  dkk, Op Cit, hlm 142.
33.
Kepmenkes 837 tahun 2007 tentang Kebijakan Pengembangan SIKNAS Online
2. Prinsip Tanggung Jawab Negara dan Masyarakat
Dokter sebagai penyelenggara praktek kedokteran memperoleh kewenangan untuk
melakukan praktek kedokteran berdasarkan izin yang diberikan oleh pemerintah.
Izin dari pemerintah, adalah merupakan bentuk tanggung jawab negara untuk
mengatur, dan membina praktek kedokteran di Indonesia.
Praktek kedokteran dengan menggunakan telemdicine mengandung potensi
kerawanan yang dapat menyebabkan terjadi perubahan orientasi, baik dalam tata
nilai maupun pemikiran karena dipengaruhi faktor-faktor politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan dan keamanan serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perubahan orientasi tersebut akan mempengaruhi proses penyelenggaraan
pembangunan kesehatan.34  Apalagi sejauh ini belum ada aturan perizinan yang
dibuat khususnya bagi fasilitas pelayanan kesehatan yang menggunakan
telemedicine baik oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Demikian pula
ketentuan tentang akreditasinya.
Fasilitas pelayanan kesehatan semacam ini tidak dapat disamakan dengan fasilitas
pelayanan kesehatan biasa. Dengan demikian maka sertifikat atau lisensinya juga
harus berbeda. Adanya perbedaan ini memerlukan pengaturan hukum yang
berbeda pula. Oleh sebab itu perlu ditetapkan standar dan pedoman nasional
penggunaan telemedicine sehingga dapat tercipta penyelengaraan pelayanan
kesehatan yang bertanggung jawab, aman, bermutu, dan merata serta tidak
diskriminatif. Semunyanya ini merupakan tanggung jawab bersama antara
pemerintah, praktisi kesehatan dan masyarakat.
3. Prinsip Kompetensi, Integritas, dan  Kualitas
Mengingat praktek medis dengan telemedicine memerlukan keterampilan dan
keahlian khusus maka tentu tenaga kesehatan tersebut perlu dibekali dengan ilmu
dan kemampuan khusus pula dalam bidang telemedicine. Penguasaan standar
kualitas minimum oleh tenaga kesehatan harus dapat dibuktikan dengan sistem
sertifikasi yang terpercaya.
Standar Profesi adalah batasan kemampuan (knowledge, skill and professional

34.
H. Hendrojono Soewono, Batas Pertanggung Jawaban Hukum Malpraktik Dokter dalam Transaksi
Terapeutik, Srikandi, Surabaya, 2007, hlm 3
attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat
melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat
oleh organisasi profesi. Demikian pula terhadap pelayanan medis dengan
menggunakan telemedicine, hanya dapat dilakukan jika hak penggunaannya sudah
mendapatkan kepastian hukum terlebih dahulu dan sudah tidak ada keraguan atas 
profesionalitasnya. Di Indonesia, sejauh ini, organisasi profesi kedokteran belum
mengatur secara spesifik tentang standar profesi dalam penggunaan telemedicine.
Untuk itu, standar profesi yang terukur harus menjadi bagian dari  prinsip hukum
penggunaan telemedicine baik oleh dokter Indonesia maupun bagi dokter asing.
4. Prinsip Kesamaan, Itikad Baik, Kemandirian, dan Kesukarelaan serta Kepastian
Hukum.
Jika pelayanan kesehatan dari fasilitas kedokteran yang berada di luar negeri
sebagai penyelenggara telemedicine ingin membuka jaringan virtualnya agar
dapat menjangkau pasien yang berada di Indonesai maka untuk menjalin
kerjasama tersebut diperlukan ketentuan yang mengatur tentang kerjasama khusus
antara kedua negara dengan dilandasi prinsip kesamaan, itikad baik dan saling
menghargai diantara kedua negara. Agar kerja sama tersebut lebih mudah
dilakukan maka sebaiknya kerjasama tersebut dilakukan dengan negara yang telah
memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia. Demikianpun antara fasilitas
kesehatan kedua negara harus didasarkan pada kerjasama yang baik tentang teknis
operasionalnya maupun teknis pertanggungjawabannya kepada publik/pasien.   
Seperti halnya pada hubungan dokter pasien secara tradisional, hubungan dokter
dan pasien dengan menggunakan telemedicine juga harus memenuhi syarat yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.
Pasal 39 menyebutkan bahwa praktik kedokteran dilaksanakan berdasarkan pada
kesepakatan berdasarkan hubungan kepercayaan antara dokter atau dokter gigi
dengan pasien dalam upaya pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.
Kesepakatan sebagaimana dimaksud merupakan upaya maksimal pengabdian
profesi kedokteran yang harus dilakukan dokter dan dokter gigi dalam
penyembuhan dan pemulihan kesehatan pasien sesuai dengan standar pelayanan,
standar profesi, standar prosedur operasional dan kebutuhan medis pasien.
Begitu pula bentuk kerjasama antara rumah sakit di Indonesia dengan fasilitas
pelayanan kesehatan diluar negeri yang hendak menjalin kerjasama dengan
menggunakan jaringan telemedicine harus dilandasi prinsip kesetaraan dan itikad
baik
5. Prinsip Keamanan dan Kerahasiaan Data serta Standarisasi
Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah
dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan (Pasal 57 ayat (1) UU
No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan). Dalam penggunaan telemedicine,
Perlindungan hak-hak privasi pasien atas data kesehatannya yang terekam secara
elektronik pada fasilitas pelayanan kesehatan, perlu diatur agar tidak mudah
diakses oleh pihak-pihak yang tidak berkepentingan. Untuk itu, harus
dilaksanakan oleh petugas yang berwenang dan memiliki izin khusus untuk hal
itu.
Jaminan kerahasiaan atas data medis pasien tersebut dituangkan dalam bentuk
perjanjian tertulis dengan pasiennya, sehingga dapat berimplikasi hukum bila
terjadi penyalahgunaannya.
Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyelenggarakan sistem
elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya
sistem elektronik sebagaimana mestinya (Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik). Jaminan
keamanan dan kehandalan sistem elektronik dalam praktek telemedicine perlu
dilakukan oleh suatu badan hukum  atau lembaga yang berkompeten yang
mendapat pengakuan baik nasional maupun internasional.  
6. Prinsip Otonomi Pasien Dan Kebebasan Memilih Teknologi Atau   Netral
Teknologi.
Setiap pasien berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan atas
tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan
memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap (Pasal 56  ayat
(1) UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan).Pasien juga memiliki kebebasan
memilih teknologi atau netral teknologi. setelah diberikan informasi tentang
manfaat dan resiko penggunaan teknologi tersebut. Sehingga apapun keputusan
yang diambil oleh pasien dapat sama-sama memberikan rasa aman, keadilan, dan
kepastian hukum  
7. Prinsip Kepentingan pasien diutamakan, Proteksi Data, Forensic IT, Penerapan
Terbaik (best practices), dan  Standar Pemeriksaan Hukum (Legal Audit) serta
Keadilan.
Bila timbul sengketa maka Setiap Orang dapat mengajukan gugatan terhadap
pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan
Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian (Pasal 38 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik)
Dalam proses pembuktian di pengadilan sangat penting sekali data medis pasien
dijadikan alat bukti. untuk itu, maka pelayanan kesehatan menggunakan
telemedicine harus memperhatikan ketentuan tentang proteksi data agar bilamana
diperlukan dikemudian hari dapat dijadikan bukti. Disamping itu harus disediakan
tenaga ahli dalam bidang Forensik IT. Forensik IT atau dikenal dengan computer
forensic adalah suatu disiplin ilmu turunan yang mempelajari tentang keamanan
komputer dan membahas tentang temuan bukti digital setelah suatu peristiwa
terjadi.  
Menurut Edmon Makarim,35 prinsip penerapan yang terbaik (best practices)
adalah hal yang sangat penting dan sering dikemukakan oleh para teknolog,
terutama pada saat suatu sistim informasi dan/atau sistem komunikasi berinteraksi
dengan kepentingan publik. Prinsip ini merupakan bentuk pertanggungjawaban
hukum penyelenggara sistem elektronik tentang akuntabilitas sistem elektronik
yang mereka ciptakan. Oleh sebab itu, dibutuhkan tata kelola yang baik
berdasarkan perspektif konvergensi hukum telematika.
Perlawanan atau pembebasan terhadap tanggung jawab tersebut hanya dapat
terjadi apabila si penyelenggara dapat membuktikan bahwa kesalahan itu terjadi
bukan karena dirinya melainkan karena terjadinya keadaan memaksa (force
majeure) atau justru terjadi karena kesalahan pengguna, dan/atau kelalaian pihak
pengguna sistem elektronik itu sendiri. Hal ini hanya dapat dibuktikan apabila
terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan hukum (legal audit) terhadap
penyelenggaraan sistem elektronik tersebut.

35.
Makarim, Edmon, 2010, Tanggung Jawab Hukum Penyelnggara Sistem Elektronik, Rajagrafindo 
Persada, Jakrta,  hlm 11.
Tujuan legal audit secara umum adalah adanya keterbukaan (disclosure)
informasi di mana hal ini dikaitkan dengan jaminan keabsahan (legalitas) obyek
terkait, dalam hubungannnya dengan pihak ketiga. Dengan adanya legal
audit dapat disajikannya fakta-fakta hukum mengenai sistem elektronik secara
utuh menyeluruh tanpa ada fakta yang bersifat materiil yang ditutupi (full
disclosure) sehingga pihak investor atau pengguna (bonholders) terjamin
memperoleh informasi yang akurat (tidak menyesatkan).
Dalam mekansime penyelesian sengketa. Para pihak memiliki kewenangan untuk
menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa
alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul.
Namun sebaiknya, diprioritaskan agar pihak yang dirugikan dalam hal ini pasien,
memiliki kepentingan yang harus lebih dahulu diutamakan, maka untuk
membantu kelancaran proses peradilan, hukum yang berlaku adalah hukum
dimana pasien bertempat tinggal. Atau bila tidak ditentukan lain maka dapat
diselesaikan berdasarkan asas hukum perdata internasional.
Pembagian beban tanggung jawab bilamana terbukti dokter melakukan
malpraktek adalah dapat dilihat dari dua hal yang pertama berdasarkan pada
seberapa besar letak kesalahan yang dibuat oleh dokter. Dalam pengertian ini,
kalau kesalahan berada pada dokter ahli yang memberikan nasehat maka dokter
yang melaksanakan nasehat sedapat mungkin dikurangi beben untuk menanggung
kesalahan tersebut. Yang kedua berdasarkan pada pihak mana yang memperoleh
kontribusi yang paling besar atas penerimaan pembayaran jasa. Dokter yang
menerima pembayaran jasa yang lebih besar sebagai konsekwensinya juga harus
bersedia untuk mau menerima tanggung jawab yang lebih besar termasuk
tanggung jawab hukum bilamana terjadi kesalahan malpraktek.     
8. Prinsip Perlindungan Hukum
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, setiap orang yang
melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik
yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum
Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di
luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia dapat
dihukum. Jadi bilamana praktisi medis melakukan malpraktek sehingga
menimbulkan kerugikan terhadap pasien di Indonesia meskipun hal itu dilakukan
di luar negeri dapat dihukum berdasarkan undang-undang ini.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan memberikan
tantangan tersendiri dalam pembangunan kesehatan karena selain menimbulkan high
cost dalam pembangunan infrastruktur juga diperhadapkan pada beragam
permasalahan kesehatan yang identik dengan probelamatik negara berkembang,
maka dibutuhkan pendekatan khusus dalam pembangunan kesehatan di Indonesia
sesuai dengan karakteristiknya.
2. Aplikasi telemedicine dapat dijadikan salah satu solusi dalam mengatasi
permasalahan kesehatan di Indonesia. Untuk itu, sebagai konsekwensinya penyiapan
regulasi mutlak dibutuhkan untuk menjawab isu hukumnya
3. Isu hukum penggunaan telemedicine dalam praktek kedoteran
adalah pemberian lisensi, akreditasi, privasi dan kerahasiaan catatan medis
elektornik pasien, SOP, tanggung gugat bila terjadi malpraktek, dan kewenangan
yurisdiksi, 
4. Prinsip dan aturan penggunaaan telemedicine dalam praktek kedokteran 
adalah: kemudahan akses, tanggung jawab negara, kompetensi, integritas, dan
kualitas, itikad baik, keamanan dan kerahasiaan data, standarisasi, otonomi pasien
dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi. manfaat, keadilan,
kemanusiaan, keseimbangan, perlindungan hukum,
5. Penyelesaian sengketa telemedicine atas dugaan malpraketek dokter
dilakukan berdasarkan prinsip hukum bahwa hukum yang berlaku adalah hukum
dimana pasien bertempat tinggal karena kepentingan pasien sebagai pihak yang
dirugikan harus diutamakan. Dalam hal pembuktian maka berlaku prinsip proteksi
data, prinsip forensic IT, prinsip penerapan terbaik (best practices), dan  Standar
Pemeriksaan Hukum (Legal Audit), serta keadilan.

B. Saran
1. Hukum tentang penggunaan telemedicine perlu dibuat secara
specifik karena norma hukum pada berbagai peraturan yang telah ada belum dapat
mengatur dan mengikuti perkembangan  isu hukumnya.
2. Pembuatan regulasi tentang telemedicine perlu memperhatikan
prinsip-prinsip hukum telemedicine dengan tetap memperhatikan nilai-nilai
agama dan sosial di masyarakat.
3. Pada dasarnya, dengan konseling atau informasi yang memadai dari
dokter, pasien atau keluarganya bisa menilai setiap langkah yang dilakukan
dokter. Melalui  Informed consent (persetujuan tindakan medis) perlu
diperhatikandan penting disediakan oleh dokter serta dipahami sepenuhnya oleh
pasien/keluarganya sehingga tidak setiap kekecewaan dari hasil pelayanan
medis dengan menggunakan telemedicine menjadi kasus malapraktek.
4. Mengingat praktek kedokteran menggunakan telemedicine dapat
melibatkan dokter dan pasien dari kewarganegaraan yang berbeda  maka perlu
dan penting sekali untuk terlebih dahulu memahami sistem hukum yang berlaku,
latar belakang budaya, sosial dan ekonomi serta bahasa setempat.
5. Walaupun banyak keuntungan yang ditawarkan dari manfaat
telemedicine, namun perlu juga di dipertimbangkan penggunaannya secara bijak,
karena penggunaan teknologi dapat berdampak pada menguatnya paradigma
mekanistik dan pendekatan instrumentalistik terhadap tubuh manusia. Sehingga
dapat membuat manusia termanipulasi sebagai sarana dan kepentingan diluar
dunia kedokteran. Oleh sebab itu, hubungan terapeutik dokter dan pasien dalam
penggunaan telemedicine harus dilandasi nilai-nilai luhur filsafat kedokteran yang
memandang manusia sebagai mahkluk yang mulia. Spiritualitas atau kesehatan
spiritual diharapkan dapat menjadi bagian dari pengembangan telemedicine dalam
praktek kedokteran.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta, 2001, hlm. 72.
2. “Layanan Klinik Online Dihubungkan Dengan Tanggung Jawab Dokter
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan Dan Uudang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
Dan Transaksi
Elektronik”,https://www.blogger.com/profile/18067197490688103239,2014,
diakses tanggal 11 Juli 2018, Pukul 14.50 Wib.
3. Zahir Rusyad, Hukum Perlindungan Pasien, konsep perlindungan hukum terhadap
pasien dalam pemenuhan hak kesehatan oleh dokter dan rumah sakit, Setara Press,
Malang, 2018, hlm. 1.
4. A.A.Maulana,http://aamaulana96.blogspot.com2013/03/sosiologi_16html?m=1,
Pengertian Pelayanan Kesehatan Pasien Tujuan Bentuk Jenis Syarat Serta
Tugasdan Fungsi Rumah Sakit Dalam Memberi Pelayanan, diakses tanggal 11 Juli
2018, Pukul 17.15 Wib.
5. Marcel Seran dan Anna Maria Wahyu Setyowati,Dilema Etika dan Hukum Dalam
Pelayanan Medis, Mandar Maju, Bandung, 2010, hlm. 7.
6. Ibid.
7. Muhamad Sadi Is, Etika Hukum Kesehatan, Teori dan Aplikasinya di Indonesia,
Prenadamedia Group, Jakarta, 2015, hlm. 1.
8. Ibid.
9. Ibid, hlm. 2.
10. Ibid, hlm. 3.
11. Maskawati, et. al, Hukum Kesehatan, Dimensi Etis dan Yuridis Tanggungjawab
Pelayanan Kesehatan, Litera, Yogyakarta, 2018, hlm. 2.
12. Dhanang Widijawan, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Bisnis, Transaksi &
SistemElektronik, Keni Media, Bandung, 2018, hlm. 99.
13. Ibid.
14. H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Disertasi Dan Tesis, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015, hlm. 239.
15. H. Salim HS, et. al,Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding
(MoU), Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 7.
16. AprianWibowo, Perjanjian Baku, http://aprian
Wibowo.blog.ugm.ac.id/2012/06/02/prrjanjian-baku- standard, 2012, diakses
tanggal 11 Juli 2018, Pukul 19.35 Wib.
17. R. Subekti, Perbandingan Hukum Perdata, Pradnya Pramita, Jakarta, 1986, hlm.
43.
18. Salim H.S, Op. cit, hlm. 15.
19. Dian Mega Erianti Renouw, Perlindungan Hukum E- Commerce, Yayasan Taman
Pustaka, Jakarta, 2017, hlm. 53.
20. Abdul Rauf, Kontrak Elektronik,
http://mentarvision.blogspot.com/2011/11/kontrak-elektronik.html, diakses tanggal
12 Juli, Pukul 12.35Wib.
21. Mariam Darus Badrulzaman, et. al, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001, hlm. 284.
22. Danrivanto Budhijanto, Revolusi Cyberlaw Indonesia, Pembaruan dan Revisi
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik 2016, Refika Aditama,
Bandung, 2017, hlm. 134.
23. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir,Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Penerbit
Buku Kedokteran
24. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 106.
25. Adami Chazawi, Malpraktik Kedokteran, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hlm. 37.
EGC, Jakarta, 2007, hlm. 43.
26. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir,Op. cit, hlm. 4.
27. Sri Kusumadewi, dkk, 2009, Informatika Kesehatan, Graha Ilmu dan Rumah
Produksi Informatika, Yogyakarta, hlm 41.
28. Erik Tapan, Implementasi telemedicine, Makalah disampaikan dalam Sidang Ilmiah
Penjajakan Peluang Aplikasi dan Implementasi Telemedicine dalam Dunia
Kedokteran, Pusat Studi Informatika Kedokteran Universitas Gunadarma, Jakarta
10 November 2006.
29. Soegijardjo Soegijoko, Perkembangan Terkini Telemedika dan E Health serta
Prospek Aplikasinya di Indonesia, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional
Aplikasi Teknologi Informasi 2010 (SNATI 2010) Teknik Informatika, Fakultas
Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia (TI FTI UII) di Yogyakarta, 19
Juni 2010.
30. Johan Harlan, “Dasar-Dasar Implementasi Telemedicine,” Makalah Pusat Studi
Informatika Kedokteran Universitas Gunadarma.
31. Sri Kusumadewi,  dkk, Op Cit, hlm 129
32. Z. Wang, et al, 2008, “A Wireless Medical Information Query System Based on
Unstructured supplementary Service Data (USSD),”   dalam  Sri Kusumadewi, 
dkk, Op Cit, hlm 142.
33. Kepmenkes 837 tahun 2007 tentang Kebijakan Pengembangan SIKNAS Online
34. H. Hendrojono Soewono, Batas Pertanggung Jawaban Hukum Malpraktik Dokter
dalam Transaksi Terapeutik, Srikandi, Surabaya, 2007, hlm 3
35. Makarim, Edmon, 2010, Tanggung Jawab Hukum Penyelnggara Sistem Elektronik,
Rajagrafindo  Persada, Jakrta,  hlm 11.

Anda mungkin juga menyukai