Oleh
KELOMPOK V
AHMAD RIZAI 1606857412
DR. TRIMARTANI 1606857684
HARYMAN U S 1606857803
SRI MULYANI 1606858314
I. LATAR BELAKANG
Kepedulian atau caring merupakan isu besar dalam profesionalisme tenaga
kesehatan terutama keperawatan. Kepedulian tampaknya telah memainkan
bagian penting yang paling disorot. Sejak dulu, keperawatan selalu meliputi
empat konsep yaitu merawat adalah apa yang dikerjakan ; manusia adalah
sasaran dari apa yang di kerjakan ; kesehatan adalah tujuannya; dan lingkungan
adalah tempat merawat. Inti dari semua teori tentang keperawatan adalah
memeriksa dan menguraikan empat konsep tersebut untuk memberi penjelasan
dan panduan dalam hal merawat. Tetapi sekarang, merawat juga didefinisikan
sebagai kepedulian atau caring, yang sudah menjadi konsep paradigma yang
kelima.
Caring merupakan suatu sikap rasa peduli, hormat, menghargai orang lain,
artinya memberi perhatian dan mempelajari kesukaan-kesukaan seseorang dan
bagaimana seseorang berpikir dan bertindak. Karena caring merupakan
perpaduan antara pengetahuan biofisik dengan pengetahuan mengenai perilaku
manusia yang berguna dalam peningkatan derajat kesehatan dalam membantu
klien yang sakit. Caring sangatlah penting untuk pelayanan pasien dan menjadi
fokus pemersatu dalam tim yang terlibat dalam pelayanan kesehatan dan
keperawatan terhadap pasien.
Menurut J Duffy dan L M Hoskins, 2003 model kepedulian mutu
pelayanan keperawatan di pengaruhi oleh 3 faktor yaitu faktor struktur, proses
dan serta hasil dimana ketiganya sangat berkaitan satu sama lainnya, faktor
struktur menggambarkan penyedia layanan, pasien/keluarga dan system
pelayanan yang berlaku di rumah sakit, sementara untuk proses
menggambarkan bagaimana pola hubungan antara perawat dengan
pasien/keluarga, hubungan antara perawat dengan tim kesehatan (mutidisiplin)
kemudian produknya dapat dilihat pada hasil akhir.
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit merupakan layanan yang bersifat
integrative dengan melibatkan sejumlah tenaga kesehatan yang bersama
sama dalam memberikan pelayanan kepada pasien selama 24 jam yang datang
dengan kondisi gawat darurat sehingga membutuhkan pelayanan yang cepat
dan tepat dengan tetap mempertahankan standar mutu kualitas pelayanan gawat
darurat.
Berdasarkan latar belakang diatas maka kami kelompok V mengambil
tema tugas UTS Manajemen Keperawatan dan Pelayanan Pasien yaitu The
Quality-Caring Model, Blending Dual Paradigm: studi kasus IGD RS X
III. TUJUAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
e. Mengetahui struktur para partisipan di IGD RS X (penyedia layanan,
pasien / keluarga dan system yang berjalan)
f. Mengetahui pola hubungan yang berpusat baik hubungan independen
maupun hubungan kolaboratif
g. Mengetahui hasil akhir dari pelayanan gawat darurat yang dipengaruhi
oleh struktur dan proses
h. Mengetahui intermediate outcome yang merupakan hasil gabungan antara
ketiga faktor (struktur, proses dan hasil akhir)
Model Kepedulian Mutu
Struktur Proses
Hasil
(masa lalu kausal) Hubungan Asuhan
(masa depan)
Dari The Quality- Caring Model, Blending Dual Paradigm, oleh J. Duffy dan L
M Hoskins, 2003, Advances in Nursing Science, 26 (11, 77- 88)
BAB II
PEMBAHASAN
I. STRUKTUR
A. PENYEDIA LAYANAN
Rumah Sakit X adalah rumah sakit Pemerintah tipe A pendidikan
yang berada di daerah Jakarta, rumah sakit ini oleh Kementerian
Kesehatan sebagai rumah sakit rujukan nasional baik rujukan kasus,
rujukan pelayanan, rujukan ilmu dan penelitian. Sebagai rumah sakit
rujukan nasional maka rumah sakit ini harus mampu memberikan
pelayanan yang bermutu dan berkualitas kepada masyarakat baik kepada
pasien yang sedang berobat dan dirawat maupun peserta didik yang
sedang menjalani pendidikan dan pelatihan.
IGD RS X menempati gedung dengan 5 lantai, lantai 1 berfungsi
untuk melayani pasien gawat darurat yang baru datang, lantai 2 digunakan
untuk pelayanan emergency haemodialysis dewasa dan anak, emergency
intensive care anak dan dewasa, lantai 3 untuk kasusu gawat darurat
kebidanan dan anak, lantai 4 digunakan untuk pelayanan operasi gawat
darurat sedangkan lantai 5 sebagai kantor administrasi, keuangan,
pendidikan dan pelatihan.
SDM yang bertugas di IGD RS terdiri dari tenaga keperawatan,
dokter penanggung jawab pasien, dokter umum, dokter program
pendidikan spesialis, tenaga farmasi, tenaga gizi klinik, radiologi,
laboratorium, bidan dan tenaga kesehatan lainnya seperti porter dan
housekeeping. Tenaga keperawatan terbagi dalam 3 shift, shift pagi dari
jam 08.00 sampai dengan jam 14.30, shift sore dari jam 14.00 sampai
dengan jam 21.00 dan shift malam mulai dari jam 21.00 sampai dengan
jam 08.00. Berdasarkan pola pengaturan jam belum mengakomodasi
waktu yang seharusnya digunakan untuk overran dari setiap shift jaga.
Model keperawatan yang digunakan IGD RS X dalah model
keperawatan primer, yang terdiri dari Head Nurse (HN), Nurse Officer
(NO), Perawat Primer (PP) dan Perawat Assosiate (PA). jumlah tenaga
perawat di lantai 1 IGD RS X sejumlah 75 orang.
Budaya yang berlaku IGD RS X sesuai dengan nilai budaya rumah
sakit yaitu profesionalisme, integritas, kepedulian penyempurnaan
berkesinambungan, belajar dan mendidik dengan senatiasa berkomitmen
untuk menolong memberikan yang terbaik, senantiasa memberikan
pelayanan paripurna yang prima untuk meningkatkan kepuasan dan
menumbuhkan kepercayaan pasien sebagai pelanggan utama kami Nilai
utama RS X adalah pasien adalah pelanggan yang utama dan Good
Corporate Culture.
B. PASIEN / KELUARGA
Berdasarkan data kunjungan pasien di IGD RS X tahun 2014 -2015
didapatkan rata - rata kunjungan perhari antara 89 92, kunjungan pasien
baru meningkat di tahun 2015 sementara kunjungan pasien lama menurun,
hal ini menggambarkan adanya trend peningkatan angka pasien yang baru
sakit di masyarakat. (table 1.1)
Tabel 1.1. Kunjungan pasien di IGD RS X 2014 - 2015
No Jenis Pasien 2014 2015 Selisih
1. Baru 18413 19175 762
2. Lama 15230 13225 -2005
3. TOTAL 33643 32400 -1243
4. Rata-rata kunjungan 92 89 -3
per/hari
*Sumber: Rekam Medis IGD RS X
C. SISTEM
Pelayanan gawat darurat (emergency care) adalah bagian dari
pelayanan kedokteran dan keperawatan yang dibutuhkan oleh pasien
dalam waktu segera (imediately) untuk menyelamatkan kehidupannya (life
saving). Instalasi kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan gawat
darurat disebut dengan nama Instalasi Gawat Darurat (emergency unit).
Untuk mengelola kegiatan IGD memang tidak mudah penyebab utamanya
adalah karena IGD adalah salah satu dari unit kesehatan yang padat modal,
padat karya dan padat teknologi (Margaretha, 2013).
Kegiatan pelayanan kesehatan yang menjadi tanggung jawab IGD
RS X secara umum dapat dibedakan menhadi tiga macam (Djemari,
2011):
1. Menyelenggarakan Pelayanan Gawat Darurat
Kegiatan pertama yang menjadi tanggung jawab Instalasi Gawat
Darurat (IGD) adalah menyelenggarakan pelayanan gawat darurat.
Pelayanan gawat darurat sebenarnya bertujuan untuk menyelamatkan
kehidupan pasien (life saving) sering dimanfatkan hanya untuk
memperoleh pelayanan pertolongan pertama (first aid) dan bahkan
pelayanan rawat jalan (ambulatory care).
Pengertian gawat darurat yang di anut oleh anggota masyarakat
memang berbeda dengan petugas kesehatan. Oleh anggota masyarakat
setiap gangguan kesehatan yang dialaminya dapat saja di artikan
sebagai keadaan darurat (emergency) dan karena itu mendatangi
Instalasi Gawat Darurat (IGD) untuk meminta pertolongan. Tidak
mengherankan jika jumlah pasien rawat jalan yang mengunjungi
Instalasi Gawat Darurat (IGD) dari tahun ke tahun tampak semakin
meningkat.
II. PROSES
Proses melibatkan intervensi / praktek praktek dimana IGD RS X
menawarkan pelayanan kesehatan dan keperawatan pasien gawat darurat,
secara ringkas IGD RS X membagi dalam 2 kategori besar yaitu kegiatan
teknik pengelolaan pasien mulai dari pasien pertama kali masuk ke IGD
sampai dengan pasien mendapatkan disposisi untuk pulang, dirawat atau di
rujuk ke rumah sakit lainnya. Pada pengelolaan ini melibatkan berbagai unsur
yang terlibat dalam pelayanan pasien mulai dari tim triage, tim ruang merah,
tim ruang kuning, tim ruang hijau yang mana masing masing tim terdiri dari
dokter dan perawat sehingga hubungan interpersonal dalam tim menjadi
penting dan kunci sukses dalam pelayanan pasien di IGD RS X.
Dalam menjalankan tugasnya tim keperawatn mempunyai 3 tugas yaitu
independent, dependen dan interdependen. Tugas independent mencakup 14
tugas pokok sesuai dengan teori Henderson dan sesuai dengan kebutuhan
pasien berdasarkan tingkat kegawatdaruratannya. Untuk fungsi dependent dan
interdependent dijalankan secara simultan dengan menggunakan close loop
communication, sedangkan komunikasi dengan pasien dan keluarga
dilaksanakan dengan menggunakan komunikasi efektif dan komunikasi
terapeutik.
Komunikasi merupakan suatu hal yang sangat penting bagi setiap
pekerjaan, termasuk pada pelayanan kesehatan khususnya pada bagian
keperawatan (Nursalam, 2014). Walaupun bersifat sangat kompleks, memiliki
begitu banyak teori dan cara untuk mendeskripsikannya, termasuk jenis-
jenisnya, komunikasi dianggap dapat memberikan efek kepada kesehatan
pasien langsung. Terdapat hasil penelitian yang menunjukkan bahwa dengan
komunikasi yang baik antar tenaga kesehatan, maka jaminan atau peluang
untuk pasien lebih baik adalah semakin tinggi pula (Korniewicz & Duffy, n.d.;
Nursalam, 2014).
Terdapat beberapa metode untuk melakukan komunikasi yaitu komunikasi
secara langsung, Nonverbl, Via elektronik dan tertulis. Tentunya dengan
seiring berkembangnya teknologi yang mempermudah pekerjaan (efektif)
maka komunikasi via elektronik seperti telepon, program software merupakan
hal yang paling sering digunakan di rumah sakit (Nursalam, 2014).
Dalam berkomunikasi faktor internal dan eksternal sangat mempengaruhi
efektivitas dan kelancaran dari komunikasi tersebut. Proporsi informasi yang
tersampaikan secara jelas merupakan target dari komunikasi. Semakin banyak
informasi yang tersampaikan dalam periode waktu tertentu dan membuat para
pendengar (penerima pesan) atau target komunikasi menjadi lebih paham,
maka dapat dikatakan bahwa komunikasi tersebut telah berhasil. Sebagai
contoh faktor yang dapat mempengaruhi komunikasi adalah bahasa
komunikasi. Dalam contoh ini perbedaan bahasa akan membuat risiko
penyampaian informasi menjadi sangat kecil karena setiap orang belum tentu
memahami bahasa tersebut (Nursalam, 2014).
B. HASIL PERANTARA
Salah satu yang mempengaruhi dari tingkat pelayanan di
keperawatan adalah komunikasi yang efektif yang dilakukan perawat,
baik dengan tenaga kesehatan lainnya maupun dengan pasien
(Korniewicz & Duffy, n.d.). Tuntutan pelayanan keperawatan sesuai
dengan Caring Dimensions Inventory (CDI) yang terkait dengan
komunikasi yaitu (Muhlisin & Ichsan, 2004) :
1) Memberikan pengetahuan kepada klien sebagai individu
2) Melaporkan kondisi klien kepada perawat senior
3) Mengorganisasi pekerjaan dengan perawat lain untuk klien
4) Mendengarkan klien
5) Konsultasi dengan dokter mengenai klien
6) Menganjurkan klien mengenai aspek self care
7) Melakukan sharing mengenai masalah pribadi dengan klien
8) Memberikan informasi mengenai klien
9) Melibatkan klien dalam keperawatan
10) Mengobservasi efek medikasi kepada klien
Tuntutan-tuntutan tersebut membuat bahwa betapa pentingnya
ilmu komunikasi bagi perawat yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup dari pasien atau klien. Komunikasi yang baik akan
membuat kualitas hidup pasien akan makin membaik karena seluruh
informasi telah tersampaikan dengan benar, risiko pengobatan akan
menjadi lebih kecil, kondisi pasien mudah dipantau, pencatatan dan
dokumentasi pasien lengkap, dan terutama bahwa perawat telah
memberikan kesan positif kepada pasien agar pasien dapat
meningkatkan semangat hidup mereka untuk melawan penyakit yang
mereka derita (Korniewicz & Duffy, n.d.; Muhlisin & Ichsan, 2004).
Pasien yang masuk ke rumah sakit tentu saja memiliki suatu
harapan agar penyakitnya sembuh dan teratasi atau setidaknya kualitas
hidup mereka membaik, tetapi apabila sistem komunikasi yang tidak
berjalan dengan baik maka hasil kunjungan pasien ke rumah sakit pun
akan menjadi biasa saja. Komunikasi antar pasien-perawat yang
terbatas hanya sesuai dengan kebutuhan tanpa empati akan membuat
kesan yang sangat umum bagi rumah sakit saat pasien keluar dari
rumah sakit. Komunikasi perawat-tenaga kesehatan lainnya yang baik
dapat memberikan keputusan pengobatan yang tepat, tetapi apabila
dokumentasi tertulis perawat yang tidak cukup baik, maka risiko dalam
kesalahan memutuskan pengobatan juga akan tinggi. Sehingga perawat
di rumah sakit diharapkan mampu memberikan pelayanan keperawatan
yang berempati, dokumentasi yang lengkap dan kerja sama yang baik
dengan tenaga kesehatan lainnya.
Tetapi di sisi lain, RS X melayani pasien dalam jumlah yang sangat
tinggi. Hal ini tentu saja dapat mempengaruhi tingkat kinerja atau
komunikasi dari pada perawat. Perawat tidak memiliki cukup waktu
untuk melakukan empati, wawancara kondisi pasien, atau perawat
hanya memiliki waktu yang sedikit untu berdiskusi dengan tenaga
kesehatan lainnya seolah terkesan bahwa komunikasi tersebut hanya
terjadi dalam 1 arah. Sementara itu komunikasi yang baik adalah yang
terjadi 2 arah, yaitu saling memberikan feedback, sehingga tidak ada 1
pihak yang merasakan dirugikan atau seperti diperintah.
Dengan kapasitas kerja yang cukup tinggi, menjadi masalah utama
di RS X, sehingga dibutuhkan suatu inovasi perbaikan atau solusi
untuk mengatasi hal tersebut. Perhitungan kebutuhan jumlah
kebutuhan perawat dapat menjadi salah satu solusi, tetapi solusi yang
lainnya juga dapat berupa perubahan sistem, perbaharuan teknologi
ataupun adanya kebijakan-kebijakan baru yang dapat mengatasi hal
tersebut. Misalnya solusi yang dapat membantu keperawatan yaitu
dengan penggunaan teknologi komputerisasi, software program-
program keperawatan seperti program penilaian faktor risiko per
pasien, elektronik rekam medis, elektronik dokumentasi dan
administrasi pengobatan, dll. Sehingga ini akan mempengaruhi dan
mempermudah pekerjaan perawat terhadap pasien. Program-program
tersebut lebih membantu dalam komunikasi melalui via komputerisasi
berupa penyediaan data yang lengkap dan akurat sehingga tenaga
kesehatan lainnya mampu ikut memberikan pelayanan yang sesuai dan
terdokumentasi secara lengkap pula.
Pembentukan tim dalam keperawatan juga dapat menjadi suatu
kebijakan yang diambil rumah sakit agar perawat dapat saling
berdiskusi dan berkomunikasi untuk mengembangkan kemampuan
mereka masing-masing. Pengembangan kemampuan pengatahuan dan
berkomunikasi menjadi hal yang penting dan dapat dimasukkan
menjadi program berkelanjutan bagi rumah sakit dalam peningkatan
kualitas pelayanan keperawatan. Direksi rumah sakit juga dapat
membuat kebijakan terkait melatih emotional intelligence perawat,
agar perawat dapat memberikan empati kepada pasien ataupun dengan
perawat lainnya dan diharapkan dapat mengontrol emosional mereka.
Investasi yang dilakukan dibidang keperawatan bukan hal yang sia-
sia, karena dengan melihat tanggung jawab dari perawat, jalur
komunikasi dari perawat yang sangat lebar, telah menuntut perawat
untuk mampu melakukan suatu intervensi atau tindakan yang tepat dan
berkualitas bagi pelayanan kesehatan. Dengan membantu jalur
komunikasi bagi perawat dengan pasien ataupun tenaga kesehatan
lainnya, maka berarti rumah sakit telah berperan aktif dalam
meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan, berperan dalam
memastikan bahwa informasi telah tersampaikan dengan tepat dan
jelas, yang dapat meningkatkan outcomes dari kesehatan pasien
(Korniewicz & Duffy, n.d.).
B. Dimensi Pasien
IGD merupakan salah satu lini utama sebagai jalan masuknya
pasien, untuk kemuadian dilakukan triage dan diberikan pertolongan. IGD
ialah suatu instalasi, bagian dari rumah sakit yang melakukan tindakan
berdasarkan triage terhadap pasien. Salah satu syarat perawat di instalasi
gawat darurat haruslah yang memiliki kecekatan, keterampilan, dan
kesiagaan setiap saat, serta teliti untuk mencegah adanya kecacatan
ataupun kematian pada pasien.
Dalam penanganan pasien gawat darurat di instalasi gawat darurat
ada filosofinya yaitu Time Saving is Life Saving artinya bahwa semua
tindakan yang dilakukan pada saat kondisi gawat darurat haruslah benar-
benar efektif serta efisien. Hal ini dikarenakan bahwa pasien dapat
kehilangan nyawa hanya dalam hitungan menit saja. Berhenti nafas selama
2-3 menit pada manusia dapat menyebabkan kematian yang fatal
(Sutawijaya, 2009).
Berdasarkan analisis kesenjangan/gap tingkat harapan dan
kenyataan yang dilakukan oleh manajemen IGD RS X menunjukkan
bahwa tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan di IGD RS X pada
dimensi daya tanggap (responsiveness), kepastian (assurance), dan
berwujud (tangible) dan dimensi empati (empathy) adalah sedang,
sedangkan pada dimensi keandalan (reliability) adalah tinggi.
Selain analisis kesenjangan IGD RS X juga melakukan evaluasi
untuk mengetahui berapa tingkat capaian dari realisasi kinerja atas sasaran
yang ditentukan, kemajuan serta kendala dalam mencapai target dari
dimensi pasien melalui survey kepuasan pelanggan yang menunjukkan
hasil sebesar 82 % dari target sebesar 80 %.
Beberapa upaya yang telah dilakukan dalam meningkatkan capaian
Survey Kepuasan Pelanggan (SKP) sebagai berikut :
1. Menciptakan rasa aman pasien untuk berobat
2. Lingkungan yang bersih dan nyaman
3. Memberikan informasi yang jelas tentang prosedur pelayanan
4. Petugas (dokter, perawat dan petugas lainnya yang 3 S (senyum, sapa
dan salam), komunikatif, selalu sigap dan siap menolong, empati dan
peduli
Pada akhirnya, bahwa keberhasilan pencapaian target indikator
SKP merupakan hasil kerja keras dan dukungan pelaksanaan berbagai
program yang dilakukan oleh IGD RS X.
1. Faktor pendukung keberhasilan :
a) Adanya dukungan dan komitmen dari manajemen dan tim
keperawatan pada kegiatan SKP ini.
b) Adanya program kegiatan yang dilakukan untuk survey kepuasan
masyarakat
c) Meningkatnya peran serta dan kesadaran masyarakat
(pasien/keluarga pasien) dalam memberikan jawaban terhadap
survey ini.
2. Faktor penghambat keberhasilan
a) Kondisi pasien yang tidak memungkinkan saat dilakukan
wawancara.
b) Waktu pelaksanaan harus disesuaikan dengan waktu pelayanan,
jangan sampai mengganggu dokter saat memberikan pelayanan.
3. Alternatif pemecahan masalah
Untuk mengatasi hambatan di atas, beberapa alternatif intervensi yang
memiliki daya ungkit dalam menyelesaikan hambatan, sebagai berikut
a) Koordinasi yang aktif dengan tim keperawatan yang akan
melakukan survey untuk menentukan sampel (pasien) yang akan
diwawancarai
b) Tentukan waktu yang tepat dalam melakukan survey (setelah
pasien diperiksa oleh dokter), supaya tidak mengganggu proses
pelayanan.
C. Dimensi Sistem
Dimensi sistem pelayanan kesehatan, dari data kualitas pelayanan
didapatkan hasil bahwa Emergency Respon Time I yaitu waktu yang
dibutuhkan pasien untuk bertemu dengan dokter dan perawat triage 5
menit (300 detik). Rata-rata emergency respon time I sampai dengan
Semester I tahun 2017 rata rata waktunya adalah 190 detik (3 menit 10
detik). Bila dibandingkan dengan capaian di tahun 2016, terjadi
peningkatan yang siginifikan. Rata-rata di tahun 2016 adalah 5 menit 37
detik, sedangkan di semester I ini 2 menit lebih cepat.
Hal ini menujukkan kinerja yang efektif dan efesien dari tim triage
yang terdiri dari dokter dan perawat dalam merespon pasien pertama kali
datang ke IGD RS X
Kesimpulan
1. Faktor struktur dan proses sangat mendukung dalam mendapatkan hasil
akhir yang optimal di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit X
2. Tingkat harapan pasien di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit X
sebagian besar adalah sangat puas.
3. Tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan perawat di IGD RS X
sebagian besar adalah sedang yaitu pada dimensi empati (empathy), daya
tanggap (responsiveness), kepastian (assurance), dan berwujud (tangible),
sedangkan pada dimensi keandalan (reliability) adalah sangat puas.
4. Didalam proses IGD RS X sudah menerapkan berbagai metode
komunikasi dan koordinasi dengan baik sehingga peran perawat baik
independen, dependen dan interdependen tergambar dengan jelas.
Saran
1. Bagi Pasien
Pasien hendaknya berani mengemukakan pendapatnya atau keinginannya,
sehingga perawat dapat segera merespon keinginan pasien.
2. Bagi Rumah Sakit
Manajemen rumah sakit hendaknya berusaha melakukan upaya-upaya
meningkatkan pelayanan kesehatan, misalnya dengan meningkatkan
fasilitas kerja, sehingga disatu sisi meningkatkan kecepatan kerja
perawat disisi lain memudahkan perawat dalam melakukan pelayanan.
Meningkatkan kemampuan komunikasi terapeutik perawat baik
terhadap pasien maupun keluarga pasien dengan melaksanakan
seminar, workshop dan training pelatihan kepuasan pelanggan.
DAFTAR PUSTAKA
1 Korniewicz, D. M., & Duffy, J. (n.d.). Essential Concepts for Staff Nurses: The
Outcomes Imperative, 118.
2 Muhlisin, A., & Ichsan, B. (2004). Aplikasi Model Konseptual Caring dari Jean
Watson dalam Asuhan Keperawatan, 147150.
3 Nursalam. (2014). Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik
Keperawatan Profesional.
4 Kemenkes. (2011). Standart Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat di
Rumah Sakit. Jakarta: Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan dan
Teteknisan Medik, Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan.
5 Dinh, M., Enright, N., & Parameswaran, A. (2012). Evaluating the quality of
care delivered by an emergency department fast track unit with both nurse
practicioners and doctors. Australasian Emergency Nursing Journal 15, 188-
194.
6 Marquis, N. L., & Huston, C. J. (2012). Leadership Roles and Management
Function in Nursing; Seventh Edition.Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.
7 Pribadi, A. (2009). Anilisis pengaruh faktor pengetahuan, motivasi dan
persepsi perawat tentang supervisi kepala ruang terhadap pelaksanaan
dokumentasi asuhan keperawatan di ruang rawat inap RSUD kelet propinsi
Jawa Tengah di Jepara. Jurnal Gizi dan Kesehatan, Vol 1, No 4.
8 Rohmawati. (2006). Hubungan fungsi manajemen kepala ruangan menurut
persepsi perawat pelaksana dan karakteristik individu dengan pelaksanaan
asuhan keperawatan di ruang rawat inap RSUD Sumedang. Jakarta:
Universitas Indonesia, Tesis.
9 Rue, L., & Terry, G. (2010). Principles of management. Illinois: Homewood.
10 Sabarguna, B. (2010). Manajemen Strategik Rumah Sakit. Yogyakarta:
Konsorsium Rumah Sakit Islam Jateng-DIY.
11 Efendi, F., & Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori
dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
12 Donoghue, & Nicholas, G. (2009). Leadership styles of nursing home
administrator and their association with staff turnover. The Gerontologist
49,2: ProQuest, 166.