Anda di halaman 1dari 153

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rumah Sakit merupakan sebuah sarana kesehatan yang padat karya dan

padat modal dalam memberikan pelayanan kesehatan pada yang sakit dan

membutuhkan pertolongan, sera berperan penting dalam meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat. Rumah Sakit dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan

yang bermutu sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan.(Undang-Undang No.

44 Tahun 2009, 2009)

Pembangunan dalam bidang kesehatan, merupakan bagian dari

pembangunan Nasional, maka pemerintah sebagai institusi tertinggi Negara dan

penyedia sarana pelayanan kesehatan harus bertanggung jawab atas pemeliharaan

kesehatan. Kesehatan merupakan hak dan kebutuhan dasar setiap individu, untuk

meningkatkan standar kesejahteraan hidup bagi setiap orang baik secara sosial,

ekonomi, budaya, spiritual dan politik. Pelaksanaan pembangunan kesehatan ini

melibatkan seluruh lapisan masyarakat Indonesia, hal ini dapat dipahami karena

pembangunan kesehatan mempunyai hubungan yang dinamis dengan sektor

lainnya.(Kementrian Kesehatan, 2014)

Salah satu amanat Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 adalah

pengembangan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan

masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Amanah tersebut di respons Pemerintah dengan menetapkan UU No.36 Tahun

1
2

2009 tentang Kesehatan dan UU No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial

Nasional (SJSN) yang mencakup jaminan pemeliharaan kesehatan.(Basuki, 2015)

Dalam UUD 1945 pasal 28 ayat (3) dan UU Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan, menetapkan bahwa setiap individu berhak mendapatkan

pelayanan kesehatan. (Undang-Undang No. 44 Tahun 2009)

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), merupakan suatu badan

hukum yang dibentuk dengan UU untuk menyelenggarakan program jaminan

social. Sebagai lembaga negara. BPJS bertugas mengelola dana publik, berupa

dana jaminan sosial untuk kepentingan peserta dan dalam menjalankan tugasnya,

BPJS memiliki berbagai program seperti yang tertulis dalam UU No 40 tahun

2004 bahwa Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) memiliki lima komponen

SJSN, yaitu Jaminan Kesehatan Nasional, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan

Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian. Program yang dapat

memenuhi kebutuhan dan menjamin pelayanan kesehatan secara menyeluruh

adalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Program JKN ini merupakan bentuk

reformasi dibidang kesehatan yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan di

bidang kesehatan. (BPJS, 2014)

Keluhan peserta BPJS di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)

seperti antrian pelayanan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, peserta tidak

dilayani oleh dokter dan obat kosong. Sementara Fasilitas Kesehatan Tingkat

Lanjutan (FKTL), seperti membuat kuota pelayanan peserta, pembatasan

pemberian obat, ketersediaan obat, dan pasien disuruh datang berulang-ulang.

Selain itu dikeluhkan juga jam praktek dokter di FKTP tidak sesuai dengan jadwal
3

yang tertera, kurang adanya informasi mengenai jenis pelayanan yang ada di

Rumah Sakit, adanya kuota ruang rawat inap, informasi ketersediaan kamar hanya

10% dari total Rumah Sakit, keterbatasan ketersediaan ruang rawat intensif

(PICU/NICU, ICU dsb). Selain itu beberapa keluhan juga disampaikan oleh

pengelola fasiltas kesehatan berupa distribusi peserta di FKTP tidak merata,

peserta banyak terdaftar di Faskes tertentu, obat kosong di distributor, sehingga

persediaan obat menjadi sangat terbatas.

Keluhan lain berupa proses pengajuan klaim lama, hal ini menyangkut

kesehatan keuangan rumah sakit (cash flow). Lambat cairnya uang klaim tersebut

dapat menggangu pelayanan karena fasilitas kesehatan seperti rumah sakit swasta

yang tidak mendapat subsidi dari pemerintah mengalami kesulitan dana untuk

pengadaan obat-obatan, sarana medis dan non medis dan hal ini menjadi beban

sebuah Rumah Sakit swasta. Pasien juga tidak memahami prosedur pelayanan

program BPJS kesehatan, tarif kapitasi dan paket tarif INA-CBG’s kurang

memadai serta terlalu banyak aplikasi yang harus di entri dan sebagainya. (Faozi

Kurniawan et al., 2017)

Pada bulan Januari 2014, Pemerintah Indonesia mulai melaksanakan

program Jaminan Kesehatan Nasiomal (JKN) dengan skema asuransi kesehatan

sosial. Program ini bertujuan mencapai Universal Health Care (UHC) atau

Cakupan Kesehatan Semesta ditahun 2019 dan sebagai asuransi kesehatan sosial

terbesar di seluruh dunia. Peningkatan jumlah penduduk yang terjamin, disertai

peningkatan harapan akan pelayanan kesehatan oleh mereka yang terjamin, yang

dapat dilihat dari peningkatan jumlah kunjungan pasien. (Thabrany, H., 2009).
4

Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organisation (WHO),

menetapkan bahwa pada tahun 2018 sebagai tahun Universal Health Care (UHC)

atau Cakupan Kesehatan Semesta. UHC merupakan komitmen semua Pemimpin

Negara di dunia dengan tujuan untuk pembangunan berkelanjutan. Program UHC

menjamin semua penduduk mendapatkan layanan kesehatan sesuai dengan

kebutuhan medis. (Kieny, M.P. and Evans, D.B., 2013).

Hasbullah Thabrany menulis bahwa Indonesia sudah berkomitmen

terhadap UHC sejak tahun1999 ketika UUD 1945 diamandemen dengan pasal

28H (1) bahwa “setiap orang berhak atas layanan kesehatan”. Komitmen itu

ditindaklanjuti dengan rumusan operasional dalam UU No. 40/2004 tentang

sistem Jaminan Sosial Nasional, yang didalamnya mengatur program Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN). (Thabrany and Laborahima, 2016)

Peringatan Hari Kesehatan Sedunia yang dimulai sejak tahun 1950 yang

jatuh setiap tanggal 7 April, untuk memperingati lahirnya Organisasi Kesehatan

Dunia (WHO) dan merupakan sebuah kesempatan yang menarik perhatian dunia

untuk menyadari masalah-masalah besar kesehatan global. World Health

organization (WHO) didirikan dengan tujuan agar semua individu dapat

mewujudkan hak mereka untuk memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya.

(Lubis, 2018)

Tema Hari Kesehatan Sedunia pada tahun 2015 adalah keamanan pangan,

tahun 2016 tentang diabetes, tahun 2017 tentang depresi, dan pada tahun 2018 ini

adalah “Cakupan Kesehatan Semesta” atau Universal Health Coverage (UHC).

Dengan tema tersebut, WHO yakin bahwa negara-negara yang berinvestasi pada
5

UHC, telah membuat investasi yang lebih baik untuk sumber daya manusia. UHC

muncul sebagai strategi utama untuk menciptakan kemajuan menuju tujuan

pembangunan kesehatan dan kemajuan lainnya.(World Health Organization,

2016)

Akses pelayanan kesehatan esensial dan perlindungan pembiayaan

kesehatan tidak hanya meningkatkan kualitas kesehatan dan angka harapan hidup

manusia tetapi juga melindungi Negara dari epidemi, mengurangi kemiskinan dan

resiko kelaparan, menciptakan pekerjaan, mendorong pertumbuhan ekonomi dan

meningkatkan kesetaraan jender. Tiga dimensi dalam pencapaian UHC yang telah

dirumuskan oleh WHO adalah 1) berapa besar prosentasi penduduk yang dijamin,

2) berapa lengkap pelayanan yang dijamin dan 3) berapa besar biaya yang masih

ditanggung oleh penduduk. (Kieny, M.P. and Evans, D.B., 2013).

Sebagai anggota World Health Organitation (WHO), Pemerintah Indonesia

terus berusaha mencapai ketiga dimensi tersebut sehingga seluruh rakyat

Indonesia mendapat akses kesehatan yang lebih baik dan optimal. Dalam

dokumen Pelayanan Menuju Jaminnan Kesehatan Nasional 2012-2019,

Pemerintah berkonsentrasi untuk mencapai UHC dimensi pertama pada tahun

2019, yaitu semua penduduk terjamin kesehatannya sehingga setiap penduduk

yang sakit tidak jadi miskin karena beban biaya yang tinggi. Dimensi kedua

adalah program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) relatif telah menjamin semua

jenis pelayanan kesehatan seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 19

Tahun 2016 tentang Jaminan Kesehatan yaitu pelayanan promotif dan preventif

(pasal 21), pelayanan kesehatan tingkat pertama (Pasal 22 ayat 1a), pelayanan
6

kesehatan rujukan tingkat lanjut (Pasal 22 ayat 1b), dan manfaat akomodasi rawat

inap di Rumah Sakit (Pasal 23). (Janis, N., 2013).

Sudah empat tahun berjalannya program BPJS ini, yakni dari tahun 2014,

BPJS telah mengalami defisit. Jumlah iuran yang diperoleh tidak mampu

mengimbangi beban pembiayaan kesehatan. Sejak proses perencanaannya,

pengelolaan JKN di tahun 2017 sudah mengalami defisit. Pos pendapatan sampai

31 Desember ditargetkan Rp.86,04 triliun, sementara pos pembiayaan ditergetkan

Rp. 94,94 triliun. Iuran yang belum sesuai dengan hitungan adalah akibat dari

ketidakmampuan BPJS Kesehatan melakukan kendali mutu dan kendali biaya

yang menyebabkan defisit terjadi setiap tahun. Persoalan defisit pembiayaan

berdampak langsung terhadap pelayanan kesehatan bagi peserta dan pembiayaan

langsung dari peserta. Beban finansial dan kesehatan penduduk yang menjadi

peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat masih besar. Layanan

kesehatan yang mereka terima dikatakan kurang bermutu akibat program

kekurangan dana. Data BPJS Kesehatan menunjukkan bahwa realisasi pendapatan

BPJS Kesehatan dari iuran peserta tahun 2017 mencapai Rp.74.2 triliun.

Sementara beban biaya layanan kesehatan di fasilitas kesehatan rujukan tingkat

lanjut (FKRTL) pada tahun yang sama sebesar Rp.84.4 triliun dan pembayaran

kapitasi untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) Rp.12.2 triliun. Pada

tahun 2017, Pemerintah telah memberi suntikan dana sebesar Rp.3,6 triliun untuk

memperkuat likuiditas BPJS Kesehatan. Keterbatasan dana BPJS Kesehatan

berdampak pada kelancaran pembayaran tagihan klaim dari Rumah Sakit, maka

terjadi juga keterlambatan pembayaran jasa dokter yang bekerja pada Rumah
7

Sakit swasta, yang seharusnya pembayaran pada awal bulan setelah bekerja, tetapi

Rumah Sakit baru membayarnya setelah 5-6 bulan kemudian karena menunggu

pencairan dana BPJS. (Ahmad Ansyori, Jakarta Kompas, 11 April 2018).

Direktur Utama RSUP Persahabatan Jakarta, Mohamad Ali Toha

menyampaikan bahwa pembayaran tagihan klaim oleh BPJS Kesehatan belum

sesuai harapan. Ada saja tagihan yang terverifikasi dan sudah jatuh tempo tetapi

belum dibayar oleh BPJS seperti tagihan yang jatuh tempo pada Rumah Sakit

Persahabatan sebesar Rp.30 Miliar belum dibayar. Ini baru satu Rumah Sakit,

belum lagi dari Rumah Sakit lain di seluruh Indonesia yang penagihannya belum

di bayar oleh BPJS. Kondisi ini mengakibatkan sejumlah obat kerap kosong dan

RS bekerja keras melakukan efisiensi sehingga pembayaran jasa medis dokterpun

tertunda. Akibatnya mutu pelayanan yang diterima pasien turun meski tetap

standar. (Kompas; Timboel Siregar, 7 April 2018).

Setelah empat tahun berjalam program BPJS, banyak keluhan terkait

dengan pelayanan kesehatan pasien BPJS, baik pada Fasilitas Kesehatan Tingkat

Pertama (FKTP) dan Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKTL), seperti yang

tertulis pada Jakarta, Kompas.com (Kamis 13/11/2014). Pasien BPJS sering

ditolak di rumah yang bekerja sama dengan program BPJS tersebut. Hal yang

sama juga diungkapkan pada Cenderawasih Pos (Senin 29/01/2016). (Hernowo,

H. and Wahyudi, I., 2018).

Kesehatan merupakan kebutuhan dasar setiap individu dan menjadi hak

bagi setiap manusia, sebagaimana diamanatkan dalam UU Dasar 1945 pasal 28 H

dan UU nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan bahwa setiap individu, keluarga
8

dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan

negara bertanggung jawab mengatur agar terpenuhi hak setiap individu untuk

hidup sehat dan produktif termasuk masyarakat miskin dan tidak mampu.

Pembangunan dalam bidang kesehatan merupakan salah satu bagian dari

pembangunan nasional. Pemerintah sebagai institusi tertinggi, bertanggung jawab

atas pemeliharaan kesehatan, harus memenuhi kewajibannya dalam menyediakan

sarana dan prasarana dalam pelayanan kesehatan. (Rahmawati, A.F. and

Supriyanto, S., 2013).

Keberhasilan Pemerintah dalam menerapkan konsep SJSN khususnya

pada jaminan kesehatan nasional bergantung pada kondisi supply dan demand dari

pelayanan kesehatan. Dalam ekonomi kesehatan, secara umum demand terhadap

pelayanan kesehatan diartikan sebagai barang atau jasa yang dibeli (realisasi

penggunaan) oleh pasien.

Beberapa keluhan yang disampaikan oleh pengelola fasilitas kesehatan

berupa distribusi peserta di FKTP tidak merata, peserta banyak terdaftar di Faskes

tertentu. Obat kosong di distributor, sehingga persedian obat sangat terbatas.

Proses pengajuan klaim lama, hal ini menyangkut kesehatan keuangan rumah

sakit (cash flow). Dengan lambatnya pencairan uang klaim tersebut dapat

menggangu pelayanan karena fasilitas kesehatan seperti rumah sakit swasta yang

tidak mendapat subsidi pemerintah, mengalami kesulitan dana untuk pengadaan

obat-obatan, alkes, pembayaran jasa medis dan lain-lain. Pasien tidak memahami

prosedur pelayanan program BPJS kesehatan. Tarif Kapitasi dan paket tarif INA-

CBG’s kurang memadai.


9

Dari jurnal-jurnal yang dibaca, peneliti menemukan bahwa banyak

masalah yang di bahas mengenai program BPJS, tetapi lebih kepada keluhan-

keluhan pasien tentang pelayanan kesehatan berupa kurang puas atau tidak puas

dengan pelayanan dokter, bed penuh, obat kosong dan sebagainya. Peneliti belum

menemukan pembahasan tentang keluhan tentang jasa layanan kesehatan yang

layak diberikan oleh BPJS bagi tenaga kesehtan di Rumah Sakit Swasta,

bagaimana jasa medis yang didapat dari pelayanan pasien BPJS, juga jasa layanan

kesehatan lain. Hal tersebut rasanya tidak seimbang dengan pelayanan yang

diberikan terutama pada complicated case. Oleh sebab itu peneliti merasa tertarik

untuk melakukan penelitian tentang “Alternatif formulasi kebijakan operasional

dalam pembagian berbagai Jasa Layanan Kesehatan atas pendapatan klaim

BPJS di Rumah Sakit tipe C untuk Sustainability Rumah Sakit pada Rumah Sakit

Swasta” (Study Kasus pada RS Sancta Elisabeth Bekasi dan RS Dr. Hafiz

Cianjur), sebab bukan pasien saja yang mengeluh tentang pelayanan yang

diterima, tetapi dokter dan tenaga kesehatan lain juga mengeluh tentang Jasa

Layanan yang layak buat mereka dan layak dibayar oleh BPJS.

1.2. Rumusan Masalah

Penelitian ini membahas tentang “Alternatif formulasi kebijakan

operasional dalam pembagian berbagai Jasa Layanan Kesehatan atas

pendapatan klaim BPJS di Rumah Sakit tipe C untuk Sustainability Rumah Sakit

pada Rumah Sakit Swasta” (Study Kasus pada RS Sancta Elisabeth Bekasi dan

RS Dr. Hafiz Cianjur).


10

Banyak sekali kejadian dalam layanan kesehatan pasien BPJS, yang

didengar atau membaca dari media baik TV, koran-koran, facebook dan lain-lain,

yang menyatakan bahwa pasien mengalami haknya kurang diperhatikan dan

seolah dokter dan atau rumah sakit sudah lalai atau tidak peduli dalam

memberikan layanan kepada pasien BPJS, sedangkan dokter dan tenaga kesehatan

lain juga mengalami bahwa hak mereka berupa jasa layanan kesehatan yang

diterima, sangat kecil dan tidak sesuai dengan apa yang sudah dikerjakan, serta

waktu yang telah terpakai untuk tindakan yang dilakukan misalnya tindakan

bedah besar dengan complicated case.

Apabila pasien mengalami layanan yang kurang atau tidak memuaskan,

maka mereka dapat mengadu ke LSM atau pemerintah setempat untuk menuntut

haknya. Hal tersebut kurang atau tidak adil karena dokter atau tenaga kesehatan

lainnya juga Rumah Sakit selalu dipojokkan atau disalahkan, tetapi mereka tidak

mengetahui kalau dokter dan tenaga kesehatan lain mempunyai keluarga yang

butuh makan dan hidup, juga rumah sakit butuh dana untuk keberlanjutan layanan

kesehatan. Mereka tidak mengetahui seberapa besar BPJS membayar jasa layanan

kesehatan yang telah diberikan.

Sistem INA-CBG’S tidak sesuai dengan pembiayaan yang ada di rumah

sakit. Pembiayaan dengan paket, tidak pas dengan biaya tindakan yang dilakukan

oleh pihak rumah sakit pada pasien BPJS, sementara pasien seharusnya

mendapatkan tindakan lebih, sehingga yang terjadi adalah memperburuk layanan

kesehatan kepada pasien.

Dalam pelaksanaan layanan kesehatan pada pasien BPJS terdapat banyak


11

obat-obat yang tidak masuk dalam Formularium Nasional, sehingga menyebabkan

operasional untuk obat-obatan dan bahan habis pakai menjadi membengkak.

Akibatnya masih banyak didapati tambahan biaya yang dibebankan kepada

peserta untuk membeli obat-obatan yang tidak masuk dalam Formularium

Nasional.(Mendrofa and Suryawati, 2016)

Focus Group Discusion (FGD) yang diadakan oleh Dewan Jaminan Sosial

Nasional (DJSN) yang bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia dan Harian

Pelita dengan tema ”Evaluasi Implementasi Tarif Indonesia Case Based Group

INA-CBGs Dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)” menyimpulkan bahwa

faktor yang mempengaruhi percepatan administrasi klaim adalah, jumlah

kunjungan peserta, jumlah tenaga verifikator dan jumlah tenaga pengkodean serta

sarana dan prasarana termasuk jaringan rumah sakit. (Maharani, 2015)

Klaim BPJS adalah pengajuan biaya perawatan pasien peserta BPJS oleh

pihak rumah sakit kepada pihak BPJS kesehatan, dilakukan secara kolectif dan

ditagih kepada pihak BPJS kesehatan setiap bulannya.(Ardhitya, 2015).

Fasilitas kesehatan Rujukan Tingkat Pertama dalam hal ini adalah rumah

sakit tipe C, berkewajiban untuk melengkapi dokumen klaim BPJS sebelum di

ajukan kepada pihak BPJS Kesehatan untuk mendapatkan penggantian biaya

perawatan sesuai dengan tarif Indonesia Case Base Groups (INA-CBG’s).

(Susan,2016).

Kelengkapan dokumen klaim BPJS yang diajukan oleh rumah sakit

kepada pihak BPJS meliputi rekapitulasi pelayanan dan berkas pendukung pasien

yang terdiri dari surat eligibilitas peserta (SEP), resume medis / laporan status
12

pasien / keterangan diagnosa dokter yang merawat, bukti pelayanan lainnya,

missal terapi dan regimen (jadwal pemberian obat), perincian tagihan rumah sakit

dan berkas pendukung lainnya yang diperlukan. (BPJS, 2014).

Verifikator BPJS Kesehatan akan melakukan verifikasi berkas lewat klaim

BPJS yang diajukan oleh fasilitas kesehatan yang tujuanya untuk menguji

kebenaran pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit kepada pasien

BPJS Kesehatan untuk menjaga mutu layanan dan efisiensi biaya pelayanan

kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan. Jika ditemukan adanya klaim yang tidak

layak atau pending, maka pihak BPJS tidak akan melakukan pembayaran untuk

klaim tersebut. (Nurdiah, 2016).

Rumah Sakit Santa Elisabeth Bekasi merupakan fasilitas kesehatan dengan

jenjang rujukan tingkat pertama setelah puskesmas atau Klinik peserta BPJS yang

melayani rawat jalan, rawat inap, dan pelayanan gawat darurat dengan klasifikasi

rumah sakit kelas C dan sudah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. RS. Santa

Elisabeth Bekasi sudah bekerja sama dengan BPJS sejak Desember 2015 dengan

struktur organisani Tim BPJS bergabung dengan Rekam Medis RS. Pengcodingan

di kelola oleh Rekam Medis dan pengajuan klaim oleh Tim BPJS RS yang di

kepalai oleh seorang dokter. Sedangkan billing system belum ada, semua masih

manual. Klaim BPJS sesuai dengan Diagnosa. Sejak awal kepesertaan BPJS,

pembayaran kepada dokter-dokter terhambat sehingga menimbulkan polemik,

maka pihak managemen mengambil tindakan untuk membayar dahulu jasa

layanan medis.

Sedangkan Rumah Sakit Dr. Hafiz Cianjur merupakan fasilitas kesehatan


13

dengan jenjang rujukan tingkat pertama setelah puskesmas atau Klinik peserta

BPJS yang melayani rawat jalan, rawat inap, dan pelayanan gawat darurat dengan

klasifikasi rumah sakit kelas C dan sudah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan

sejak Juli 2017 dengan struktur organisani Tim BPJS langsung di bawah Direktur

RS. Pengcodingan dilakukan oleh Tim BPJS RS yang di kepalai oleh seorang

dokter melalui billing system. Klaim BPJS sesuai dengan Diagnosa. Sejak awal

kepesertaan BPJS, pembayaran kepada dokter-dokter dan tenaga layanan lain

tidak mengalami kendala karena sudah ada MOU dengan dokter-dokter, hanya

beberapa bulan terakir ini klain RS. Dr. Hafiz belum dibayar oleh BPJS yang

menyebabkan penundaan pembayaran jasa lananan kesehatan kepada dokter dan

tenaga kesehatan lainnya.

Kedua RS tersebut wajib memberikan pelayanan kesehatan yang telah

dijamin oleh BPJS kesehatan secara paripurna baik ketersediaan tenaga mesdis

terutama tenaga spesialis di dukung oleh fasilitas penunjang medis dan

kefarmasian. Sejak adanya program BPJS kesehatan, kunjungan pasien BPJS di

dua RS ini mengalami peningkatan baik rawat jalan maupun rawat inap mencapai

90%.

Klaim BPJS yang tidak layak di sebabkan oleh ketidak lengkapan

dokumen berkas klaim BPJS dari pihak RS Elisabeth saat diajukan ke pihak BPJS

kesehatan Kota Bekasi. Selain itu juga didapatkan beberapa kasus seperti dokter

yang tidak menulis diagnosa pasien dengan lengkap, berkas yang di ajukan tanpa

mengikut sertakan bukti tindakan yang di lakukan seperti USG tidak terdapat

lembaran hasil USG dan terkadang karna terlalu buru-buru sehingga dokter lupa
14

menandatangani berkas yang harus di tandatangani. Ketidak lengkapan dokumen

seperti inilah yang pada akhirnya BPJS tidak mengeluarkan pembayaran namun

dokter yang praktek tetap meminta jasa mereka untuk dikeluarkan. Hal ini

membuat pihak rumah sakit menjadi kewalahan dan terkadang pihak rumah sakit

harus menyediakan dana lebih untuk mempersiapkan pengeluaran BPJS pada

bulan berikutnya karna biaya yang seharusnya sudah keluar dari BPJS tapi belum

juga keluar. Dan pengeluaran dana yang telah di ajukan tidak jarang mengalami

keterlambatan 1-3 bulan hal ini jelas merugikan pihak rumah sakit yang telah

berusaha memberikan layanan terbaik untuk pasien yang datang berobat di

RS.Santa Elisabeth Bekasi dan RS. Dr. Hafiz Cianjur.

Berdasarkan masalah diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian

yaitu “Alternatif formulasi kebijakan operasional dalam pembagian berbagai

Jasa Layanan Kesehatan atas pendapatan klaim BPJS di Rumah Sakit tipe C

untuk Sustainability Rumah Sakit pada Rumah Sakit Swasta” (Study Kasus pada

RS Sancta Elisabeth Bekasi dan RS Dr. Hafiz Cianjur).

1.3. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana “Alternatif formulasi kebijakan operasional dalam pembagian

berbagai Jasa Layanan Kesehatan atas pendapatan klaim BPJS di Rumah Sakit

tipe C untuk Sustainability Rumah Sakit pada Rumah Sakit Swasta” (Study Kasus

pada RS Sancta Elisabeth Bekasi dan RS Dr. Hafiz Cianjur.


15

1.4. Tujuan Penelitian


1.4.1. Tujuan Umum
Menyusun “Alternatif formulasi kebijakan operasional dalam

pembagian berbagai Jasa Layanan Kesehatan atas pendapatan klaim

BPJS di Rumah Sakit tipe C untuk Sustainability Rumah Sakit pada

Rumah Sakit Swasta” (Study Kasus pada RS Sancta Elisabeth Bekasi dan

RS Dr. Hafiz Cianjur


1.4.2. Tujuan khusus
1.4.2.1. Mengidentifikasi dan mengkaji masalah yang ada dalam tarif

layanan kesehatan di RS. Santa Elisabeth Bekasi dan RS. Dr. Hafiz

Cianjur dan metode yang digunakan untuk menyesuaikan tarif

layanan BPJS kesehatan yang terdapat pada INA-CBG’s.


1.4.2.2. Mengetahui evaluasi kebijakan operasional program pembiayaan

BPJS kesehatan khususnya pada proses pembayaran claim di RS.

Santa Elisabeth Bekasi dan RS. Dr. Hafiz Cianjur.


1.4.2.3. Mendapatkan rekomendasi “Alternatif formulasi kebijakan

operasional dalam pembagian berbagai Jasa Layanan Kesehatan

atas pendapatan claim BPJS di Rumah Sakit tipe C untuk

Sustainability Rumah Sakit pada Rumah Sakit Swasta” (Study

Kasus pada RS Sancta Elisabeth Bekasi dan RS Dr. Hafiz Cianjur).


1.4.2.4. Mengetahui dan mengkaji apakah RS. Santa Elisabeth Bekasi dan

RS. Dr. Hafiz Cianjur telah menggunakan metode perhitungan tarif,

sesuai dengan metode yang berlaku secara umum yaitu sesuai paket

INA-CBG’s.
1.4.2.5. Memberikan alternatif perhitungan tarif dengan metode activity

based costing (ABC), dan hasil perhitungan digunakan sebagai

dasar penetapan tarif layanan.


16

1.4.2.6. Memberikan alternatif metode perhitungan tarif layanan

kesehatan pada pasien dengan complicated case yang ditangani

oleh beberapa spesialis (spesialis Obgyn, spesialis Bedah,

spesialis Jantung, Mata dll).


1.4.2.7. Memberikan “Alternatif formulasi kebijakan operasional dalam

pembagian berbagai Jasa Layanan Kesehatan atas pendapatan

claim BPJS di Rumah Sakit tipe C untuk Sustainability Rumah

Sakit pada Rumah Sakit Swasta” (Study Kasus pada RS Sancta

Elisabeth Bekasi dan RS Dr. Hafiz Cianjur).

1.5. Manfaat penelitian

1.5.1. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan menjadi

masukan bagi pengelola Badan Pelayanan Jaminan Kesehatan (BPJS)

dan Rumah Sakit tempat peneliti melakukan penelitian juga bagi

Rumah Sakit yang berada di kota Bekasi dan kabupaten Cianjur yang

bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

1.5.2. Manfaat Metodologi

Penelitian tersebut akan menghasilkan konsep metodologi

yang baru dalam penelitian dan sebagai masukan serta tambahan

informasi tentang Alternatif formulasi kebijakan operasional dalam

pembagian berbagai Jasa Layanan Kesehatan atas pendapatan klaim

BPJS di Rumah Sakit tipe C untuk Sustainability Rumah Sakit pada


17

Rumah Sakit Swasta bagi penelitian selanjutnya dan untuk

mengembangkan cakupan penelitian.

1.5.3. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini akan menghasilkan teori baru dengan

tujuan untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak BPJS,

RS. Santa Elisabeth Bekasi dan RS. Dr. Hafiz Cianjur agar

memperhatikan jasa layanan yang layak dalam pelayanan kesehatan di

Rumah Sakit.

1.6. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini difokuskan pada pembahasan pokok

penelitian dan untuk menjelaskan analisis penelitian tentang “Alternatif formulasi

kebijakan operasional dalam pembagian berbagai Jasa Layanan Kesehatan atas

pendapatan klaim BPJS di Rumah Sakit tipe C untuk Sustainability Rumah Sakit

pada Rumah Sakit Swasta” (Study Kasus pada RS Sancta Elisabeth Bekasi dan

RS Dr. Hafiz Cianjur).

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustuss 2018. Lokasi Penelitian

dilakukan pada RS. Santa Elisabeth dan RS. Dr. Hafiz Cianjur. Responden

Penelitian yakni Direktur RS, dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis, pihak

managemen Rumah Sakit dan karyawan RS.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kualitatif dengan pendekatan pribadi, wawancara dan kuisioner yang bertujuan


18

untuk memperoleh informasi secara mendalam mengenai “Alternatif formulasi

kebijakan operasional dalam pembagian berbagai Jasa Layanan Kesehatan atas

pendapatan klaim BPJS di Rumah Sakit tipe C untuk Sustainability Rumah Sakit

pada Rumah Sakit Swasta” (Study Kasus pada RS Sancta Elisabeth Bekasi dan

RS Dr. Hafiz Cianjur).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Badan Pelayanan Jaminan Sosial

(BPJS)

2.1.1. Defenisi

Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa

perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat

pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi

kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang

yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh

pemerintah. (Indonesia, M.K.R., 2014).

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang

selanjutnya disingkat BPJS Kesehatan adalah badan hukum

yang dibentuk untuk menyelenggarakan program Jaminan

Kesehatan. (Indonesia, M.K.R., 2014).

Jaminan Kesehatan Nasional merupakan bagian dari Sistem

Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan melalui

mekanisme asuransi yang sifatnya wajib (mandatory), berdasarkan

Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan

untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat Indonesia yang

telah membayar iuran atau iurannya dibayarkan oleh pemerintah.

(Iriani, M.R. and Sutopo, J.K.,2015).

19
20

Beberapa negara telah menerapkan sistem jaminan kesehatan ini

seperti Malaysia, Filipina, Thailand, Korea Selatan, Perancis, Jerman,

Australia, Amerika selatan. (Thabrany, H., 2009).

Setiap negara memiliki sistem dan mekanisme yang berbeda

yang mengacu pada pencapaian tiga tujuan dasar sistem pelayanan

kesehatan, yaitu 1) menjaga agar orang tetap sehat, 2) merawat orang yang

sakit, dan 3) melindungi keluarga dari kebangkrutan finansial akibat

tagihan pelayanan medis. (Iriani, M.R. and Sutopo, J.K.,2015).

Program JKN diselenggarakan secara nasional, agar terjadi

subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan secara

menyeluruh (holistic) bagi masyarakat miskin atau kurang mampu.

Pelayanan kesehatan kepada masyarakat menjadi tanggung jawab

pemerintah dan dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah

daerah. Pemerintah wajib memberikan bantuan agar pelayanan yang

dihasilkan lebih optimal dan bermutu. (Khariza, H.A., 2015).

Program Jaminan Kesehatan ini diselenggarakan berdasarkan

prinsip asuransi sosial dengan tujuan untuk memberikan manfaat

pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan

dasar kesehatan. Prinsip asuransi sosial ini meliputi kepesertaan yang

bersifat wajib bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga ada kegotong-

royongan antara yang kaya dan miskin, sakit berat dan ringan, tua dan

muda, dengan manfaat pelayanan medis yang sama, bersifat komprehensif,

meliputi pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif,


21

termasuk alkes (alat kesehatan) serta obat-obatan. (Khariza, H.A., 2015).

Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional, sesuai dengan

diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (3) mengenai hak terhadap jaminan

sosial dan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945, dan Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Republik yang tertuang dalam TAP MPR Nomor X/MPR/2001, yang

menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional

(SJSN) dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh

(holistic) dan terpadu. Dalam konteks tersebut kajian ini hadir, sebagai

upaya mempertegas, apakah program SJSN dan BPJS sudah

merepresentasikan manisfestasi kesejahteraan seluruh rakyat termasuk

dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan di Rumah Sakit.

(Khariza, H.A., 2015).

2.1.2.Tujuan JKN

Tujuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah untuk

memberikan kepuasan kepada masyarakat dalam layanan kesehatan.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka sebuah penyelenggara layanan

kesehatan dalam negara hukum, tercermin dalam berbagai aspek

pemenuhan kebutuhan publik yaitu:

1) Transparansi adalah pemenuhan yang bersifat terbuka, mudah, dapat

diakses oleh semua pihak yang membutuhkan, dan disediakan secara

memadai serta mudah dimengerti.

2) Akuntabilitas adalah pemenuhan yang dapat dipertanggung-jawabkan


22

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3) Kondisional merupakan pemenuhan yang sesuai dengan kondisi dan

kemampuan pemberi serta penerima pelayanan, dengan tetap

berpegang pada prinsip efisiensi dan efektifitas.

4) Partisipatif adalah pemenuhan yang dapat mendorong peran serta

masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan

memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.

5) Kesamaan hak yaitu pemenuhan yang tidak melakukan diskrimnasi

dari aspek apapun, baik dari suku, ras, agama, golongan, status sosial,

dan lain-lain.

6) Keseimbangan hak dan kewajiban yaitu pemenuhan yang

mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima

pelayanan.

Perwujudan jaminan kesehatan masyarakat, tercermin dalam

konstitusi Indonesia yaitu UUD 1945, baik pada pembukaan maupun pada

beberapa pasal, telah memberikan landasan hukum yang kuat, meskipun

tidak secara eksplisit menyebutkan perlindungan dan jaminan sosial

(kesehatan). Dalam pasal 27 Ayat 2, UUD 1945 pasca Amandemen

disebutkan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Amanat tersebut dipertegas

melalui pasal yang lebih khusus yakni pada pasal 34 ayat 2 perubahan UUD

1945 tahun 2002 yang menyatakan bahwa Negara mengembangkan sistem

jaminan sosial bagi seluruh rakyat. (Kesehatan, K., 2015).


23

Pada tingkat Internasional, secara universal, perlindungan dan

jaminan sosial juga telah dijamin dengan adanya Deklarasi PBB Tahun

1947 tentang Hak Azasi Manusia. Seperti banyak negara lain, pemerintah

Indonesia juga telah ikut menandatangani Deklarasi tersebut. Deklarasi

tersebut menyatakan bahwa, setiap orang, sebagai anggota masyarakat,

mempunyai hak atas jaminan sosial dalam hal menganggur, sakit, cacat,

tidak mampu bekerja, menjanda, hari tua. (Indonesia, M.K.R., 2014).

Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa perlindungan dan

jaminan sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah bersama masyarakat

di tingkat nasional, dapat memberikan perlindungan dan jaminan sosial

bagi seluruh masyarakat, serta membantu untuk menggerakkan roda

pembangunan.

Berdasarkan fakta yang terjadi beberapa tahun terakhir ini,

perlindungan dan jaminan sosial semakin diperlukan terutama pada kondisi

perekonomian global maupun nasional yang sedang mengalami berbagai

krisis (multi dimentional crisis) dan mengancam kesejahteraan rakyat.

Sehingga upaya penyelamatan dari berbagai resiko ini yaitu dikembangkan

suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial yang menyeluruh dan

terpadu, sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh

warga negaranya. (World Health Organization, 2014).

Defenisi perlindungan dan jaminan sosial yang terdapat pada

rencana pembangunan nasional adalah suatu langkah kebijakan yang

dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi masyarakat


24

miskin, terutama kelompok masyarakat yang paling miskin (the poorest)

dan kelompok masyarakat miskin (the poor). (World Health Organization,

2014).

Risks adalah yang menimpa/dialami the poor, dan dapat

dikelompokkan menjadi empat, yaitu 1) Lifecycle misalnya cacat,

kematian, dan lanjut usia; 2) Economic misalnya kegagalan panen,

penyakit hama, pengangguran, peningkatan harga kebutuhan dasar, dan

krisis ekonomi; 3) Environmental misalnya kekeringan, banjir, dan gempa

bumi; 4) Social/governance misalnya kriminalitas, kekerasan domestik,

dan ketidakstabilan politik.

Sedangkan social Insurance programs menurut Folland, Googman

and Stano (1997) dibedakan dalam lima kategori yaitu; 1) Poverty

programs that are directed toward persons experiencing poverty involve

either the provision of cash, or more often the subsidized provisions of

goods “in kind”, such as rent vouchers or food stamps; 2) Old age programs

that are directed toward the elderly include income maintenance, such as

Social Security, as well as services and considerations (such as old age

housing, Meals on Wheels) that may address the generally decreased

mobility of the elderly; 3) Disability programs that generally provide cash

benefits; 4) Health programs that cover illness or well care financing and/or

provide facilities for various segments of population. The individual’s

health care is financed either entirely or in part by the government; 5)

Unemployment program that generally provide short-term cash benefits.


25

(Supriyantoro, S., Hendarwan, H. and Savithri, Y., 2014).

Dari definisi tersebut, sudah memberikan penegasan bahwa

perlindungan dan jaminan sosial termasuk kesehatan, berkaitan erat dengan

masalah kemiskinan, yang berdampak pada penurunan kualitas hidup

manusia maka, demi mendukung upaya pemerintah dalam

memberikan/menciptakan perlindungan dan jaminan sosial, terutama dalam

bidang kesehatan kepada setiap warga negara, maka pemerintah perlu

menata ulang berbagai bentuk perlindungan dan jaminan sosial yang

sudah ada, dan membuatnya menjadi suatu Sistem Perlindungan dan

Jaminan Sosial yang lebih komprehensif dan memberikan efisiensi serta

efektivitas yang lebih optimal yaitu Badan Pelayanan Jaminan Sosial

(BPJS) kesehatan.

Pada tahun 1883, penyelenggaraan sistem jaminan sosial, dirintis

oleh Otto von Bismarck, sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan

masyarakat. Program tersebut dimulai dengan memberikan jaminan

kesehatan kepada kelompok tenaga kerja tertentu sesuai dengan kebutuhan

industrialisasi. Pekerja dan pemberi kerja bergotong-royong membiayai

program jaminan sosial melalui mekanisme asuransi sosial. Apa yang

diperkenalkan Otto von Bismarck ini telah berkembang diseluruh dunia dan

dengan modifikasi, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan di setiap negara.

Seperti Amerika Serikat, memperkenalkan program jaminan sosial melalui

social security Act 1935, sebagai bagian dari program the new dealnya

Presiden Roosevelt mengatasi resesi pada waktu itu. (Supriyantoro, S.,


26

Hendarwan, H. and Savithri, Y., 2014).

Di Indonesia, semangat seperti ini dilihat sejak tahun 1998. Pada

tahun tersebut, pemerintah telah mulai membiayai pemeliharaan kesehatan

dengan memprioritaskan bagi keluarga miskin (Gakin), yaitu melalui

program jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin (JPK-Gakin).

Cakupan JPK-Gakin meliputi pelayanan kesehatan dasar, yang kemudian

diperluas untuk pelayanan pencegahan pemberantasan penyakit menular

(khususnya malaria, diare, dan TB paru).

Akhir tahun 2001, Pemerintah menyalurkan dana subsidi bahan

bakar minyak untuk pelayanan rumah sakit (RS) bagi gakin. Program

tersebut diselenggarakan untuk mengatasi dampak krisis pada waktu itu

dengan cara memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi keluarga miskin

melalui subsidi biaya operasional puskesmas, bidan di desa (BDD), gizi,

posyandu, pemberantasan penyakit menular (P2M), dan rujukan rumah

sakit. (Supriyantoro, S. and Hendarwan, H., 2014).

Dalam rangka memelihara derajat kesehatan masyarakat dengan

keterbatasan pembiayaan kesehatan sebagaimana telah dibahas di atas,

maka dirancang beberapa konsep dan sistem perlindungan dan jaminan

sosial di bidang kesehatan, yaitu:

1) Pembiayaan berbasis solidaritas sosial dalam bentuk Jamkesnas yang

merupakan bentuk jaminan kesehatan prabayar, bersifat wajib untuk

seluruh masyarakat guna memenuhi kebutuhan kesehatan utama setiap

warga negara. Pembiayaan Jamkesnas, berasal dari iuran yang


27

diperhitungkan sebagai persentase tertentu, dari penghasilan setiap

keluarga. Pekerja di sektor formal dan keluarganya akan lebih cepat

dicakup karena kemudahan menghimpun iuran.

2) Pembiayaan berbasis sukarela, dalam bentuk asuransi kesehatan (askes)

komersial, berdasarkan UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransi

dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) sukarela

berdasarkan UU No. 23 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Konstitusi

WHO.

3) Pembiayaan kesehatan bagi sektor informal, dalam bentuk jaminan

kesehatan mikro oleh dan untuk masyarakat, misalnya dalam bentuk

dana sehat dan dana sosial masyarakat yang dihimpun untuk pelayanan

sosial dasar, termasuk kesehatan, misalnya dihimpun dari dana sosial

keagamaan dari semua agama (kolekte, dana paramitha, infaq, dan

sebagainya).

4) Pembiayaan kesehatan bagi keluarga miskin dengan prinsip asuransi,

dalam bentuk pembiayaan premi oleh pemerintah untuk JPK-Gakin.

Selain itu terdapat juga jaminan sosial di bidang kesehatan yaitu

Asuransi Kesehatan yang diselenggarakan oleh PT. Askes. Asuransi

Kesehatan ini memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan

yang berlaku. Ruang lingkup pelayanan yang diberikan oleh Askes berupa

konsultasi medis dan penyuluhan kesehatan, pemeriksaan dan pengobatan

oleh dokter (dokter umum, dokter gigi dan dokter spesialis).

Peserta pembiayaan dengan asuransi pada sistem jaminan kesehatan


28

ini, dibedakan menjadi dua yaitu peserta wajib yaitu pegawai negeri sipil

(PNS) termasuk calon PNS, pejabat negara, dan penerima pensiun (PNS,

TNI/POLRI, PNS di lingkungan TNI/POLRI, dan pejabat negara), Veteran

dan Perintis Kemerdekaan, beserta keluarganya. Sedangkan jenis peserta

lainnya adalah peserta sukarela yaitu pegawai swasta, BUMN/BUMD,

perusahaan daerah, badan usaha lainnya, serta Dokter Pegawai Tidak Tetap

(PTT), perawat dan Bidan Pegawai Tidak Tetap (PTT).

2.1.3.Konsep Sistem Jaminan Kesehatan dalam Negara Hukum

Konsep jaminan kesehatan bagi masyarakat Indonesia, menjadi

satu kesatuan dengan sistem jaminan sosial lainnya untuk memajukan

kesejahteraan umum bagi masyarakat Indonesia dan menjadi cita-cita yang

dirumuskan oleh pendiri bangsa. Kesejahteraan yang diharapkan adalah

dibangunnya masyarakat berkeadilan sosial berdasarkan kegotong-

royongan. Masyarakat sejahtera hanya dapat dibangun oleh manusia yang

memiliki jati diri bangsa, sesuai dengan yang terkandung dalam Pancasila.

Setiap manusia membutuhkan pemenuhan kebutuhan sosial dan pelayanan

kesehatan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, khususnya

dalam bidang kesehatan. Masyarakat akan selalu menuntut pemenuhan

kebutuhan sosial, yang berkualitas dari pemerintah, meskipun tuntutan itu

seringkali tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, karena secara empiris

pemenuhan kebutuhan sosial, yang terjadi selama ini menampilkan ciri-ciri

yang berbelit-belit, lamban, mahal, dan melelahkan. Karena itu dibutuhkan

perwujudan paradigma yang benar di Indonesia, agar cita-cita negara hukum


29

dimaknai dalam tataran yang benar. (Santoso, L., 2015).

Osborne dan Plasterik mencirikan pemerintahan sebagaimana

diharapkan diatas adalah pemerintahan milik masyarakat, yakni

pemerintahan yang mengalihkan wewenang kontrol yang dimiliki kepada

masyarakat. Masyarakat diberdayakan sehingga mampu mengontrol

pemenuhan kebutuhan sosial yang diberikan oleh pemerintah.Dengan

adanya kontrol dari masyarakat, maka pelayanan publik akan menjadi

lebih baik karena mereka memiliki komitmen yang lebih baik, lebih peduli

dan kreatif dalam memecahkan masalah. Pelayanan yang diberikan harus

ditafsir sebagai kewajiban pemerintah, bukan hak, dengan demikian

pemenuhan yang diberikan akan menjadi responsif terhadap kebutuhan

masyarakat. (Heffy, M., 2009).

Menurut Kotler, pemenuhan kebutuhan adalah setiap kegiatan yang

menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan

kepuasan meskipun hasilnya tidak pada suatu produk secara fisik dan

sebagai wujud penyelenggaraan negara terhadap masyarakat guna

memenuhi kebutuhan dari masyarakat itu sendiri dan memiliki tujuan

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam kaitan inilah,

pemenuhan jaminan kesehatan masyarakat hadir di Indonesia.(Hindarto,

P.D., 2013).
30

2.2. Indonesia Case Based Groups (INA-CBG’s)

Case Based Groups (INA-CBG’s) adalah CBG’s yang dikaitkan

dengan tarif, dihitung berdasarkan data costing di Indonesia dan dijalankan

dengan menggunakan United Nation University Grouper (UNU-

GROUPER), berbeda dengan INA-DRG sebelumnya yang memakai

sistem grouper komersial dari PT. 3M Indonesia. UNU adalah institusi

dibawah PBB dengan tujuan utama membantu negara-negara berkembang

untuk mencapai Millenium Development Goals (MDG’s). (Depkes RI,

2011).

Pada sistem ini. perhitungan biaya perawatan dilakukan

berdasarkan diagnosis akhir pasien saat dirawat inap di rumah sakit.

Penerapan case based groups pembayaran berdasarkan rata-rata biaya yang

dihabiskan oleh beberapa rumah sakit untuk suatu diagnosis, besarnya

biaya perawatan pasien dengan diagnosis akan berbeda apabila tipe rumah

sakit .tersebut berbeda. (Tabrany, 2009).

Pembayaran case based groups, rumah sakit maupun pihak

pembayar (asuransi Jamkesmas) tidak lagi merinci tagihan pembayaran

pasien dengan melakukan penagihan pada setiap jenis pelayanan yang

telah diberikan kepada seorang pasien. (Tabrany, 2009).

Diagnosis pasien saat keluar dari rumah sakit merupakan dasar

dalam menentukan biaya perawatan. Diagnosis tersebut kemudian

dilakukan pemberian kode International Statistical Classification of

Diseases and Related Health Problem (ICD-10). (Nur, 2010).


31

Sistem pembayaran case based groups, berdasarkan diagnosis

pasien yang pulang rawat inap. Rumah sakit mendapatkan penggantian

biaya perawatan berdasarkan rata-rata biaya yang yang dihabiskan oleh

rumah sakit dalam penatalaksanaan satu diagnosis penyakit. Sistem INA-

CBG’s (Indonesia Case Based Groups) merupakan solusi pengendalian

biaya pelayanan kesehatan karena berhubungan dengan mutu, pemerataan,

jangkauan dalam sistem kesehatan yang menjadi salah satu unsur dalam

pembelanjaan kesehatan serta mekanisme pembayaran untuk pasien

berbasis kasus campuran. (Kemenkes RI, 2010).

CBG’s merupakan suatu sistem pemberian imbalan jasa pelayanan

kesehatan pada penyedia pelayanan kesehatan (PPK) yang ditetapkan

berdasarkan pengelompokkan diagnosis penyakit. Diagnosis dalam

CBG’s sesuai dengan ICD-9-CM (International Classification Disease

Ninth Edition Clinical Modification) dan ICD-10 ( International Statistical

Classification of Diseases and Related Health Problems Tenth Revision ).

(Hatta, 2008).

Dasar hukum implementasi dan pelaksanaan INA-CBG ‘s di

Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN

dan Surat Keputusan Direktur Jendral Bina Upaya Kesehatan Nomor.

HK.03.05/I/589/2011 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Center for

Casemix Tahun 2011. (Depkes RI, 2011).


32

2.2.1. Sistem INA-CBG’s

Penentuan kode INA-CBG’s dan tarif INA-CBG’s dimulai pada

saat pasien keluar dari rumah sakit. Data yang harus dimasukkan dalam

software INA-CBG’s adalah data variabel yang dapat diambil dari

resume medik dan data pasien. Kedua data ini dapat dikumpulkan

secara manual maupun komputerisasi dari sistem informasi manajemen

rumah sakit (SIM RS) bagi rumah sakit yang telah mempunyai SIM RS.

Setelah data variabel tersebut dimasukkan ke dalam software INA-

CBG’s, lalu dilakukan grouping sehingga menghasilkan kode INA-

CBG’s beserta tarif per pasien. (Depkes RI, 2011).

2.2.2. Sistem Case-Mix CBG ‘s

Case-Mix adalah sistem pembayaran pelayanan kesehatan yang

berhubungan dengan mutu, pemerataan, jangkauan dalam sistem

pelayanan kesehatan yang menjadi salah satu unsur dalam pembiayaan

kesehatan, serta mekanisme pembayaran untuk pasien berbasis kasus

campuran. Case-Mix merupakan suatu format klasifikasi yang berisikan

kombinasi beberapa jenis penyakit dan tindakan pelayanan di rumah

sakit dengan pembiayaan yang dikaitkan dengan mutu dan efektivitas

pelayanan.(Husein, 2008).

Sistem CBG’s sebagai salah satu metode casemix, merupakan

suatu metode pengelompokkan kasus yang dapat digunakan sebagai

acuan estimasi biaya layanan kesehatan yang harus dibayar oleh pasien.

CBG’s dipandang sebagai sebuah objek perhitungan biaya. Terminologi


33

biaya layanan dalam pembahasan ini adalah besaran nilai rupiah yang

dikeluarkan atau dibayarkan oleh pasien maupun penjamin pasien atas

suatu tindakan atau episode perawatan pasien kepada rumah sakit

sebagai penyedia layanan kesehatan. (Osrizal, 2007).

Kandungan biaya pada terminologi biaya layanan kesehatan dari

sudut pandang pasien sebagai pembeli layanan, akan lebih luas

dibanding dengan kandungan biaya pada terminologi biaya perawatan

dari sudut pandang rumah sakit sebagai pembeli sumber daya. Pada

sudut pandang rumah sakit sebagai pembeli sumber daya, kandungan

biaya mencakup besaran nilai rupiah yang dikeluarkan rumah sakit atas

konsumsi seluruh sumber daya yang digunakan baik yang bersifat

recurrent cost maupun capital cost dalam aktivitas-aktivitas operasional

maupun non-operasional rumah sakit dalam rangka penyediaan layanan

kesehatan. (Heru, 2008).

2.2.3. Pengkodean dalam Case-Mix CBG ‘s

Pengkodean dalam Case-Mix merupakan pengkodean dalam

ICD-10 dan ICD-9 CM. Pengelompokkan penyakit dapat didefinisikan

sebagai suatu sistem pengelompokkan dari data morbiditas yang

ditetapkan sesuai dengan kriteria WHO tahun1994. Salah satu pedoman

klasifikasi penyakit yang berlaku di dunia adalah ICD-10 sedangkan

ICD-9 CM merupakan buku yang digunakan untuk mengkode tindakan.

Fungsi ICD-10 menurut Kasim (2008) adalah penerapan pengkodean

ICD yang digunakan untuk:


34

1) Mengindeks pencatatan penyakit dan tindakan pada sarana pelayanan

kesehatan yang merupakan masukan/input bagi sistem pelaporan

diagnosis medis.
2) Memudahkan proses penyimpanan dan pengambilan data terkait

diagnosis karakteristik pasien dan penyedia layanan.


3) Bahan dasar dalam pengelompokkan CBG’s (case based groups)

untuk sistem penagihan pembayaran biaya layanan kesehatan.


4) Pelaporan Nasional dan Internasional morbiditas dan mortalitas.
5) Tabulasi data layanan kesehatan bagi proses evaluasi perencanaan

pelayanan medis.
6) Menentukan bentuk pelayanan yang harus direncanakan dan

dikembangkan sesuai kebutuhan zaman.


2.2.4. Analisis pembiayaan layanan kesehatan dalam Case-Mix INA-

CBG’s kode CBG’s.


Dalam Kemenkes RI 2010, Analisis pembiayaan ini dibagi

dalam 4 sub groups yaitu:


1) Sub groups ke 1 menunjukan CMG’s (Case Main Group’s) yang

ditandai dengan huruf alpabhetik (A-Z). Dalam hal ini huruf “E”

menjadi sub groups pertama sebagai CMG’s (Case Main Group’s)

dari Endocrine System, Nutrition & Metabolism Groups.

Diagnosis diabetes mellitus termasuk di dalamnya, huruf “E”

mengacu pada chapter dalam ICD-10, angka pertama dalam kode

ICD-10 yaitu E10.


2) Sub groups ke 2 menunjukan tipe kasus yang ditandai dengan

angka (1-9), angka “4” dalam tipe kasus disini adalah tipe “rawat

Inap dan bukan prosedur”.


35

3) Sub groups ke 3 menunjukan spesifikasi CBG’s yang ditandai

dengan angka (1-32), dalam hasil penelitian ini, diagnosis diabetes

mellitus ditandai dengan angka 10 untuk spesifikasi CBG’s.


4) Sub groups ke 4 menunjukan severity level yang ditandai dengan

angka romawi (I-III). Severity Level menunjukkan tingkat

keparahan penyakit pasien. Deskripsi dari E-4-10-I, II dan III

berturut-turut adalah diabetes mellitus ringan, diabetes mellitus

sedang dan diabetes mellitus berat. Terjadinya severity level

dipengaruhi oleh beberapa faktor karena adanya diagnosis

sekunder maupun tindakan/prosedur dan umur pasien. Severity

level ini berpengaruh terhadap besarnya tarif yang diterima oleh

rumah sakit.
2.2.5. Mekanisme Pembayaran berdasarkan Case-Mix CBG’s
Ditinjau dari sudut pandang pasien sebagai pembeli layanan

kesehatan, biaya layanan kesehatan, mencakup besaran nilai rupiah

yang dibutuhkan sebagai nilai ganti ekonomis atas layanan kesehatan

yang sudah diberikan rumah sakit, baik yang dibayar oleh pasien

langsung (out of pocket), penjamin (insurance), maupun subsidi. Jika

terminologi ini ditinjau dari sudut pandang rumah sakit sebagai

penyedia layanan kesehatan, maka biaya kesehatan yang dimaksud di

sini adalah tarif (charge) yang dikenakan rumah sakit atas layanan

kesehatan yang diberikannya. (Heru, 2008).


Beberapa peneliti telah menggunakan nilai billing (tarif) sebagai

pengukuran biaya layanan kesehatan. Permasalahan yang terjadi,

seringkali billing (tarif) berbeda dengan biaya aktual yang dikeluarkan


36

rumah sakit sebagai pembeli sumber daya. Selisih beda biaya ini

disebut margin. Pada dasarnya elemen yang terkandung dalam tarif

adalah biaya (sudut pandang rumah sakit sebagai pembeli sumber daya)

dan margin. Nilai margin dapat bernilai positif, yaitu tarif lebih besar

atau seringkali disebut gain, dapat bernilai negatif, yaitu tarif lebih kecil

atau loss dari biaya. (Heru, 2008).


Pihak manajemen rumah sakit, diharapkan telah

mempertimbangkan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh rumah sakit

dalam menyusun tarif, sehingga besaran tarif yang dihasilkan cukup

representative untuk menggambarkan besarnya nilai ganti ekonomis

yang diinginkan rumah sakit. Pasien, asuransi, dan Pemerintah sebagai

pembeli atau penyedia dana layanan kesehatan, berkepentingan untuk

mendapatkan kepastian atas nilai ganti ekonomis yang harus mereka

keluarkan atas layanan kesehatan yang telah diberikan rumah sakit.

(Heru, 2007).
Besaran nilai ganti ekonomis atas layanan kesehatan yang sudah

diberikan tersebut, pihak manajemen rumah sakit telah direpresentasikan

dalam nilai tarif layanan kesehatan. apabila dilihat dari sudut pandang

pembeli atau penyedia dana layanan kesehatan, mekanisme transfer atas

nilai ganti ekonomis antara pembeli layanan kesehatan kepada penyedia

layanan kesehatan, sering disebut sistem pembayaran layanan kesehatan.

Secara umum sistem pembayaran layanan kesehatan dapat digolongkan

menjadi dua yaitu sistem pembayaran prospektif dan sistem pembayaran

retrospektif. (Heru, 2007)


37

2.3. Hubungan Dokter dan Rumah Sakit.

Kunci sukses dari pelayanan kesehatan di rumah sakit, terletak pada dokter

sebagai pemberi pelayanan utama yakni pelayanan medis. Dari sudut manajemen,

dokter merupakan mitra/parner kerja sebuah rumah sakit. Dalam posisi demikian,

manajemen organisasi, tetap mempunyai bargaining power yang kuat karena

beberapa alasan seperti dokter lebih menyukai bentuk kerja sama hospital based

group karena adanya job security (jaminan keamanan dalam bekerja), bentuk

pelayanan yang sudah mempunyai jangkauan pasar pelayanan, sarana yang

lengkap dan siap pakai. Dalam hal ini hubungan yang baik dan sistem yang

kondusif akan menjembatani dokter dengan rumah sakit.

Massie dalam Aditama, mengatakan bahwa dokter sebagai profesional

sangat mempengaruhi pelayanan di rumah sakit. Profesional tersebut cenderung

otonom dan berdiri sendiri, bahkan tidak jarang misinya tidak sejalan dengan visi

misi sebuah rumah sakit sehingga manajer rumah sakit harus mampu

mengintegrasikan kemandirian profesional dokter ke dalam keseluruhan visi-misi

rumah sakit yang sudah ditetapkan. Lebih lanjut, di rumah sakit, bekerja

orang-orang dari berbagai jenis profesi, yang keinginan profesional serta harapan

karirnya tidak selalu sejajar atau sama dengan tujuan berdirinya sebuah rumah

sakit dan secara historis peran dokter lebih dominan. Hal ini menyebabkan

ketidakseimbangan kewenangan yang sering menimbulkan benturan kepentingan

dengan profesi lain.

Siswanto menyampaikan bahwa hubungan kemitraan tenaga profesi dan


38

rumah sakit terbagi dua:

2.3.1. Hubungan tradisional dengan adanya hubungan pemilik rumah sakit,

pengelola rumah sakit dan tenaga profesional dokter yang dapat bersifat

kekeluargaan, teman, pemilik saham, pegawai, orang yang melamar sesuai

prosedur.

2.3.2. Hubungan masa kini dengan adanya hubungan bersifat memayungi, saling

menghormati antara hak dan kewajiban, hubungan profesional serta

memiliki aspek hukum.

Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Yan Med 02.04.35.2301 tahun 1997

tentang Pedoman Hak dan Kewajiban Dokter dan Rumah Sakit, dokter dan rumah

sakit diwajibkan mengadakan perjanjian tertulis dan ini berbeda-beda tergantung

sifat hubungan kerjanya dengan rumah sakit.

Siswanto membedakan tipe dokter berdasarkan hubungan kemitraan dokter

dan rumah sakit ke dalam dokter tetap, dokter honorer/kontrak, dokter tetap bukan

pegawai (jadwal praktek sesuai dengan kesepakatan dan tidak di gaji pokok

perbulan oleh rumah sakit), dokter paruh waktu (hanya berpraktek dengan jadwal

tertentu di rumah sakit), serta dokter tamu (hanya merawat pasien tanpa punya

jadwal praktek).

Smith dalam Gibson menyebutkan bahwa perilaku manusia yang berada

dalam suatu organisasi adalah awal dari perilaku organisasi itu, menyangkut aspek

yang ditimbulkan dari pengaruh organisasi terhadap manusia maupun sebaliknya.

Supaya pelaksanaan kerja organisasi dapat mencapai prestasi maka perlu

dipahami keterlibatan sekelompok orang, perlengkapan, metode kerja, waktu,


39

material sebagai sumber daya maka manajemen perlu mengatur dan mengarahkan

sumber daya yang ada, baik manusia maupun peralatannya, oleh manajemen.

Keefektifan organisasi tercapai.

2.4. Hubungan Dokter dan Pasien

Sistem kekeluargaan yang mendasari hubungan antara dokter dan pasien

seakan sirna. Dengan adanya perkembangan spesialisasi dan subspesialisasi serta

penggunaan berbagai peralatan yang ditunjang dengan kemajuan ilmu dan

teknologi, mengakibatkan meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien

maka membuat pasien menuntut adanya kepastian pengobatan dan penyembuhan

dari penyakitnya. Hal ini diperberat dengan semakin tingginya tingkat pendidikan

pasien selaku pengguna jasa layanan kesehatan, yang mendorong pasien dan

keluarga semakin kritis pemikiran dan pengetahuan mereka tentang masalah

kesehatan. Hal tersebut diatas mendorong para dokter sering melakukan

pemeriksaan yang berlebihan (over utilization), demi kepastian akan tindakan

mereka dalam melakukan pengobatan dan perawatan, dan juga dengan tujuan

mengurangi kemungkinan kesalahan yang dilakukan dalam mendiagnosa penyakit

yang diderita pasien. Konsekuensi yang terjadi adalah semakin tingginya biaya

yang dibutuhkan oleh pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. (Setyawan,

F.E.B., 2018).

2.5. Penyalahgunaan Asuransi Kesehatan

Asuransi kesehatan H(health insurance) merupakan salah satu mekanisme


40

pengendalian biaya kesehatan, sesuai dengan anjuran yang diterapkan oleh

pemerintah. Apabila diterapkan secara tidak tetap sebagaimana yang lazim

ditemukan pada bentuk yang konvensional (third party sistem dengan sistem

mengganti biaya (reimbursement), akan menolong naiknya biaya kesehatan.

(Medis Online, 2009)

Biaya kesehatan berbagai macamnya, hal tersebut tergantung dari jenis

dan kompleksitas pelayanan kesehatan yang diselenggarakan atau yang

dimanfaatkan dan disesuaikan dengan pembagian pelayanan kesehatan, sehingga

biaya kesehatan seperti ini dibedakan menjadi dua macam yakni:

1) Biaya Pelayanan kedokteran

Biaya yang dimaksud adalah biaya yang dibutuhkan untuk

menyelenggarakan dan memanfaatkan pelayanan kedokteran, dengan tujuan

utama untu mengobati penyakit dan memulihkan kesehatan.

2) Biaya pelayanan kesehatan masyarakat

Biaya tersebut dibutuhkan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan masyarakat

dengan tujuan utama untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah

penyakit.

Sama halnya dengan biaya kesehatan secara keseluruhan, masing-masing biaya

kesehtan ini dapat ditinjau dari sudut penyelenggaraan kesehatan (health provider) dan dari

sudut pemakai jasa pelayanan (health consumer). (Setyawan, F.E.B., 2018).

2.6.Evaluasi

2.6.1. Pengertian Evaluasi


41

Evaluasi merupakan sebuah proses untuk menentukan hasil yang

telah dicapai dari beberapa kegiatan yang direncanakan, untuk

mendudkung tercapainya tujuan. Evaluasi adalah kegiatan mencari

sesuatu yang berharga. Evaluasi juga merupakan proses penggambaran,

pencarian, dan pemberian informasi yang sangat bermanfaat bagi

pengambil keputusan dalam menentukan alternatif keputusan. (Arikanto

2012).

Blom et.al (1971) dalam Daryanto (2014), “evaluation, as we see

it, is the sistematic collection of evidance to determine wether in fact

certain change are taking place in the learning as well as to determine

amount or degree of change individual student” yang artinya evaluasi

adalah pengumpulan kenyataan secara sistematis untuk menetapkan

apakah dalam kenyataannya terjadi perubahan dan menetapkan sejauh

mana tingkat perubahan. Evaluasi merupakan suatu rangkaian kegiatan

yang dilakukan untuk melihat tingkat keberhasilan program. Evaluasi

program dimaksudkan untuk melihat seberapa jauh target program yang

telah tercapai. Dalam evaluasi program ini, tujuan yang sudah

dirumuskan dalam tahap perencanaan kegiatan menjadi suatu tolak ukur.

2.6.2. Model evaluasi CIPP (Context, Input, Process, Product).

Model evaluasi CIPP ini adalah model yang paling dikenal dan

model tersebut banyak digunakan oleh para evaluator. Model CIPP

tersebut dikembangkan oleh Stufflebeam di Ohio University pada tahun

1965. CIPP merupakan singkatan dari huruf awal empat buah kata yakni
42

context evaluation (evaluasi konteks), input evaluation (evaluasi

masukan), process evaluation (evaluasi proses), dan product evaluation

(evaluasi hasil). Model evaluasi CIPP merupakan suatu proses siklus, dan

desain evaluasi ini dipandang sebagai suatu proses bukan produk. Model

evaluasi CIPP terdiri dari empat jenis evaluasi, yaitu:

2.6.2.1. Context Evaluation

Context Evaluasi (Evaluasi konteks), untuk menjawab pertanyaan,

apa yang perlu dilakukan (what needs to be done?). Evaluasi

tersebut mengidentifikasi dan menilai kebutuhan-kebutuhan yang

mendasar untuk disusunnya suatu program.

2.6.2.2. Input Evaluation

Input Evaluation (Evaluasi Masukan), untuk mencari jawaban atas

pertanyaan, apa yang harus dilakukan? (what should be done?).

Evaluasi tersebut mengidentifikasi problem, aset, dan peluang

untuk membantu para pengambil keputusan mendefinisikan tujuan,

prioritas dan membantu kelompok-kelompok lebih luas bagi

pemakai untuk menilai tujuan, prioritas, dan manfaat dari program,

menilai pendekatan alternatif, rencana tindakan, rencana staf, dan

anggaran untuk fleksibilitas dan potensi cost effectiveness untuk

memenuhi kebutuhan dan tujuan yang ditargetkan.

2.6.2.3. Process Evaluation

Process Evaluation (Evaluasi Proses), berupaya untuk mencari

jawaban atas pertanyaan, apakah program sedang dilaksanakan? (is


43

it being done?). Evaluasi ini berupaya mengakses pelaksanaan dari

rencana untuk membantu staf program melaksanakan aktivitas dan

kemudian membantu kelompok pemakai yang lebih luas menilai

program dan menginterpretasikan manfaat.

2.6.2.4. Product Evaluation

Evaluasi produk (Evaluasi Hasil), berupaya mengidentifikasi dan

mengakses keluaran dan manfaat, baik yang direncanakan atau

tidak direncanakan, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Keduanya untuk membantu staf menjaga upaya memfokuskan pada

mencapai manfaat yang penting dan akhirnya untuk membantu

kelompok-kelompok pemakai lebih luas mengukur kesuksesan

upaya dalam mencapai kebutuhan-kebutuhan yang ditargetkan.

Berdasarkan beberapa pengertian evaluasi diatas peneliti

menyimpulkan bahwa evaluasi adalah kegiatan yang sistematis dalam

pengumpulan informasi yang dapat digunakan untuk menentukan

alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan.

2.6.3. Konsep Dasar Teori Evaluasi

Evaluasi merupakan alat dari berbagai cabang pengetahuan untuk

menganalisis dan menilai fenomena ilmu pengetahuan dan aplikasi

penerapan dalam praktek profesi. Wirawan (2016) mendefenisikan teori

evaluasi program adalah “A program evaluation theory is a coherent set

of conseptual, hypothetical, pragmatic, and ethical principles forming a


44

general framework to guide the study and practice of program

evaluation”. Menurut Wirawan, teori evaluasi program mempunyai enam

ciri yaitu 1) pertalian menyeluruh, 2) konsep-konsep inti, 3) hipotesis-

hipotesis teruji mengenai bagaimana prosedur-prosedur evaluasi yang

menghasilkan keluaran yang diharapkan, 4) prosedur-prosedur yang

dapat diterapkan, 5) persyaratan-persyaratan etika, dan 6) kerangka

umum untuk mengarahkan praktik evaluasi program dan melaksanakan

penelitian mengenai evaluasi program.

Teori evaluasi dikelompokkan menjadi teori deskriptif dan

preskriptif. Teori desktiptif mengemukakan dan melukiskan tentang

sesuatu dan teori preskriptif mengemukanan hal yang seharusnya

dilakukan. Menurut Chen, sebagian besar teori evaluasi adalah preskriptif

dan menyajikan suatu peraturan, preskriptif, larangan, dan kerangka

pedoman yang menentukan apa yang dimaksud dengan evaluasi yang

baik dan tepat serta bagaimana evaluasi tersebut harus dilakukan. Teori

evaluasi mengemukakan bagaimana memahami objek evaluasi,

bagaimana memberikan nilai terhadap program yang dievaluasi dan

kinerjanya, bagaimana mengembangkan pengetahuan dari hasil evaluasi.

(Wirawan 2016).

Menurut Wirawan, terdapat enam peran dari teori evaluasi, yaitu:

1) Menyediakan suatu bahasa yang dapat dipakai para evaluator untuk

membahas evaluasi satu sama lain.

2) Meliputi banyak hal dalam bidang evaluasi menjadi perhatian


45

mendalam para evaluator.

3) Mendefinisikan tema mayoritas konferensi profesional evaluasi.

4) Meyediakan para evaluator dengan identitas yang berbeda dan

identitas profesional lain.

5) Menyediakan ganbaran yang dikemukakan para evaluator.

6) Menyediakan dasar pengetahuan yang mendefinisikan profesi

evaluator.

Madison mengutip pendapat Syadish, Cook dan Leviton dalam

Wirawan (2016) berpendapat mengenai lima komponen teori evaluasi yaitu

ilmu pengetahuan (knowledge), nilai (value), pemakaian (use), program

sosial (social program), dan praktik (practice).

Chelmsky (2012) dalam Wirawan (2016) berpendapat mengenai

keseimbangan antara teori evaluasi dan praktik evaluasi, bahwa teori

evaluasi merupakan pondasi praktik evaluasi, praktik terbaik tidak mungkin

dapat dikembangkan tanpa melihat secara sistematis dan penuh kehati –

hatian terhadap mengintegrasikan teori dan praktik dalam evaluasi.

Menurutnya praktik terbaik tak dapat dikembangkan secara terpisah sebab

teori evaluasi dan praktik saling ketergantungan, masing-masing terkait

dengan yang lainnya.

2.6.4. Jenis Teori Evaluasi

2.6.4.1. Evaluasi Konstruktivis

1) Pengertian

Guba and Lincoln (2001) dalam Wirawan (2016) mengemukakan


46

teori evaluasi konstruktivis adalah berdasarkan dalil-dalil atau

asumsi-asumsi dasar untuk mendukung paradigma konstruktivis.

Paradigma konstruktivis berbeda dengan paradigma ilmu

pengetahuan lainnya. Konstruktivis berdasarkan tiga asumsi

fundamental yang secara umum dibagi dalam beberapa istilah

sebagai berikut:

a) Asumsi ontologi konstruktivis adalah relativisme, yaitu bahwa

manusia (semiotic) yang mengorganisir pengalaman yang

membuktikannya kepada bentuk komprehensif, dapat dipahami

dan dapat dijelaskan, merupakan tindakan realitas konstruktural,

independen dan fundamental. Dibawah relativisme tidak akan

ada kebenaran objektif.

b) Asumsi epistemologis konstruktivis adalah subjektivisme

transaksional yaitu bahwa pernyataan yang tegas mengenai

realitas dan kebenaran tergantung pada makna sebuah informasi

dan derajat pengalaman dalam hal-hal duniawi yang tersedia

bagi individu dan audiens yang terkait dengan pembetukan

pernyataan tersebut.

c) Asumsi metodologis konstruktivis adalah hermeutika-

dialektisisme yaitu proses dengan apa konstruksi-konstruksi

dijamu oleh individu dan kelompok yang terkait, pertama dibuka

dan disalurkan untuk makna dan kemudian dikonfrontir,

dibandingkan dan dikontraskan dengan situasi yan ditemui.


47

2) Fase Evaluasi Konstruktivis

Evaluasi konstruktivis terdiri dari dua fase yaitu:

a) Fase diskoveri.

Fase diskoveri merupakan evaluasi konstruktivis yang

melukiskan upaya evaluasi untuk menggambarkan apa yang

terjadi dan menjadi evaluand dan konteksnya. Diskoveri,

diperlukan jika ada suatu konstruksi yang ada sebelumnya atau

konstruksi yang terkait dengan evaluand dibangun.

b) Fase asimilasi dari evaluasi konstruktivis.

Fase tersebut melukiskan upaya evaluasi untuk menyatukan

penemuan-penemuan baru ke dalam konstruksi yang ada,

sehingga konstruksi yang baru menjadi lebih rumit.

3) Proses dan Tanggungjawab Evaluator Konstruktivis

Menurut Wirawan (2016), evaluasi konstruktivis adalah

proses melakukan evaluasi memenuhi dua kondisi yaitu diorganisasi

oleh klaim, memperhatikan, dan isu – isu pemangku kepentingan,

terdapat sembilan tanggungjawab evaluator konstruktivis yaitu:

a) Mengidentifikasi para pemangku kepentigan yang berisiko

dengan kebijakan.

b) Menemukan bentuk dan proses evaluand dari para pemangku

kepentingan.

c) Menyediakan konteks dan metodologi hermeneutika, yaitu sains

terkait dengan interpretasi.


48

d) Membangkitkan konsensus dalam kaitannya sebanyak mungkin

konstruksi dan klaim yang berhubungan, perhatian-perhatian, dan

isu-isu.

e) Menyiapkan agenda untuk negosiasi mengenai butir-butir yang

tidak ada, tak lengkap dalam konsensus.

f) Mengumpulkan dan menyediakan informasi yang dibutuhkan

oleh agenda negosiasi.

g) Membangun dan memediasi suatu forum wakil para pemangku

kepentingan dalam melakukan negosiasi.

h) Mengembangkan laporan yang ditargetkan, dikomunikasikan

dengan setiap kelompok pemangku kepentingan setiap

konsensus.

4) Pelaksanaan Evaluasi Konstruktivis

Evaluasi konstruktivis dilaksanakan melalui sutau seri

sebelas langkah yang dimulai dengan kontrak disepakati secara

memuaskan untuk semua pihak (Wirawan, 2016), yaitu:

a) Mengorganisasi evaluasi, memilih tim awal para evaluator,

membuat pengaturan dan menilai faktor-faktor politik atau

kultural.

b) Mengidentifikasi para pemangku kepentingan.

c) Mengidentifikasi agen-agen, mengkomunikasikan dan

melaksanakan evaluand, mengidentifikasi para penerima

manfaat dan korban-korban dari tindakan evaluand, menyusun


49

untuk para pemangku kepentingan, menerima pertukaran dan

sanksi-sanksi, dan memformalisasikan kesepakatan bersama.

d) Mengembangkan konstruksi-konstruksi kelompok para

pemangku kepentingan.

e) Memperluas konstruksi-konstruksi kelompok pemangku

kepentingan internal (intra stakeholder).

f) Memilih konstruksi-konstruksi, klaim, perhatian-perhatian, dan

isu-isu yang diselesaikan dengan menggunakan konsensus

menjadi komponen laporan.

g) Memprioritaskan butir-butir yang tidak terselesaikan melalui

negosiasi. Memprioritaskan proses yang ditentukan dan

mengikutsertakan kelompok-kelompok yang beranggotakan

para pemangku kepentingan.

h) Mengumpulkan tambahan informasi dalam pemakaiannya

melalui pelatihan negosiator-negosiator, mencari informasi baru,

dan melaksanakan studi khusus jika diperlukan.

i) Menyiapkan agenda negosiasi dengan mendefiniskan dan

menguraikan konstruksi-konstruksi, bekerja pada iluminasi,

mendukung, dan mampu mentest agenda yang mengikutinya.

j) Mengembangkan konstruski-konstruksi antar kelompok

k) Melaporkan hasil-hasil konstruksi, resaikel keseluruhan proses

untuk mengambil tanggungjawab khusus elemen dari hasil-hasil

konstruksi yang tidak dapat diselesaikan.


50

5) Kriteria Menilai Evaluasi Konstruktivis

Terdapat dua pendekatan untuk menyelesaikan perbedaan

dalam evaluasi konstruktivis yang bermanfaat dalam proses

evaluasi sebagai ceklist prosedural dan dalam menilai kelengkapan

kualitas laporan evaluasi.

Kriteria paralel, sering disebut sebagai kriteria yang dapat

dipercaya atau kriteria fondasional. Hal ini untuk menghindari upaya

memproduksi kriteria lebih atau kurang paralel dengan yang secara

konvensional dipakai:

a) Credibility.

Kredibiltas; merupakan paralel dengan validitas internal yang

dibangun dengan memperlama keterkaitan dengan dasar evaluasi,

observasi yang terus menerus, debrifing (suatu kritik eksternal),

analisis kasus negative, subjektivitas progresif dan pengecekan

para anggota, mengetes hipotesis terus menerus, kategori data

awal dan interpretasi para anggota dengan audiens pemangku

kepentingan.

b) Transferability.

Pengalihan; merupakan paralel dengan validitas eksternal,

ditentukan bukan oleh evaluator akan tetapi oleh para penerima

laporan evaluasi yang membuat penilaian personal.

c) Dependability.
51

Keteguhan; adalah paralel dengan reliabilitas, dikembangkan

melalui pemakaian dapat dipercayanya audit dengan bantuan

auditor ekternal.

d) Confirmability.

e) Konfirmasi; merupakan paralel dengan objektivitas yang

menentukan seberapa jauh pernyataan tegas, fakta-fakta dan data-

data yang dapat dikonfirmasi kepada sumbernya.

f) Kriteria autensitas

Kriteria paralel melekat dalam asumsi positivisme, kriteria

autensitas berdasarkan secara langsung pada asumsi

konstruktivisme dan responsif kepada hermaneutik aspek dari

paradigma.

g) Keadilan (fairness).

Ini ditentukan oleh suatu asesmen sampai seberapa jauh semua

konstruksi-konstruksi yang berkompetisi telah diakses, diekspos,

dan diambil dalam laporan evaluasi yaitu konstruksi yang muncul

dalam negosiasi.

h) Autensitas ontological.

Hal ini ditentukan oleh suatu asesmen sampai seberapa jauh

konstruksi-konstruksi individual telah menjadi lebih terinformasi.

i) Autensitas edukatif.

Ini ditentukan oleh asesmen mengenai sampai seberapa jauh para


52

individu lebih memahami dari kondisi-kondisi orang lain.

j) Autensitas katalitik.

Ditentukan oleh suatu asesmen mengenai seberapa jauh tindakan

distimulasi dan difasilitasi oleh evaluasi.

k) Autensitas taktis.

Ditentukan oleh asesmen sampai seberapa jauh para individu

diberdayakan untuk mengambil tindakan sehingga evaluasi

meliputi atau mengusulkan.

2.6.4.2. Evaluasi Objektivis

1) Pengertian

Menurut Ayn Rand (2013) dalam Wirawan (2016) realitas

eksis sebagai absolut objektif adalah fakta-fakta, perasaan-perasaan,

keinginan, harapan atau ketakutan. Objektivisme menolak

subjektivisme yaitu kepercayaan bahwa ilmu pengetahuan merupakan

pendapat dan skeptisme, kepercayaan bahwa ilmu pengetahuan tak

mungkin dan tak ada orang dapat memastikan sesuatu. Stufflebeam

dalam Wirawan (2016) berpendapat tentang teori objektivisme

berdasarkan pemikiran bahwa moral yang baik adalah objektif dan

independen personal atau semata-mata perasaan manusia. Teori-teori

ini secara tegas berdasarkan prinsip-prinsip etis, secara ketat

mengontrol bias dan prejudis dalam mencari penentuan nilai-nilai dan

manfaat, meminta, dan menilai ketepatan dan standar-standar nilai dan

manfaat, memperoleh dan memvaliditasi temuan-temuan dari sumber-


53

sumber multiple, dikemukakan dan menilai kesimpulan dan manfaat

evaluand serta melaporkan secara rinci tentang temuan secara jujur

untuk mengidenpenden asesmen standar-standar, memberikan evaluasi

terhadap standar evaluasi.

Secara fundamental, evaluasi objektivis ditujuksn untuk

mengarah pada kesimpulan yang benar ataupun tidak benar, relatif

terhadap posisi seseorang, berdiri atau sudut pandang.

2) Evaluasi Objektivis Menolak bebas Nilai

Menurut Stufflebeam (1994) dalam Wirawan (2016), sejumlah

anggota dari bidang evaluasi berkata bahwa mencapai suatu

kesimpulan evaluasi yang baik terlalu sulit dan penting untuk

diberikan kepada para evaluator. Menurut Alkin dalam Wirawan

(2016), untuk membantu para evaluator menghindari kesalahan, maka

evaluator hanya menyajikan data yang baik dan memberikannya

kepada para pemangku jabatan untuk menginterpretasikan temuan-

temuan dan mengambil keputusan. Secara filosofis, pandangan bebas

nilai dalam melaporkan temuan-temuan, oleh para evaluator beraksi,

dipikirkan dan mendorong pihak manager untuk tumbuh dalam

kemampuan mereka dan kebiasaan memakai data untuk membuat

keputusan.

Para evaluator harus menggunakan penilaian yang dapat di

audit sepanjang temuan evaluasinya. Hal yang merupakan

tanggungjawab evaluator atau tim evaluasi secara hati-hati membuat


54

penilaian mengenai kualitas dan manfaat. Fungsi dari penilaian

profesional oleh para evaluator adalah untuk menilai secara tepat,

menyelesaikan secara efektif melayani dan mendemonstrasikan bahwa

dasar evaluasi yaitu secara profesional dan masuk akal.

3) Rekomendasi Melaksanakan Evaluasi Objektivis

4) Untuk melaksanakan evaluasi objektivitas Sufflebeam (1994) dalam

Wirawan (2016) mengemukakan bahwa untuk memastikan rencana-

rencana evaluasi, proses, dan laporan, meneliti layanan program,

menilai sebuah nilai (merit) dan manfaat (worth), program-program,

melakukan evaluasi formatif, melakukan evaluasi konteks, melakukan

evaluasi input, melakukan evaluasi proses, melakukan evaluasi

produk, pergunakan ukuran-ukuran perspektif multipel, keluaran

multipel baik metode kualitatif dan kuantitatif.

2.6.4.3. Evaluasi Subjektivis

Evaluasi subjektivitas adalah evaluasi yang sepenuhnya

ditentukan oleh peneliti atau judgement evaluator terhadap objek

evaluasi. Penilaian tersebut didasarkan kepada norma, nilai, teori yang

dianut, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman evaluator. Evaluasi

tidak dilaksanakan berdasarkan kriteria dan standar evaluasi yang

dipergunakan oleh evaluator objektivis. Dalam evaluasi subjektivisme

benar atau tidaknya suatu pernyataan nilai-nilai tergantung pada

kepercayaan evaluator. Dalam evaluasi subjektivitas satu objek

evaluasi yang sama dinilai oleh dua orang atau lebih evaluator yang
55

berbeda subjektivitasnya, hasilnya dapat berbeda. Menurut Alkin and

Christina, teori evaluasi ini terdiri dari tiga kelompok besar yaitu

metode-metode (methodes), menilai (valuing), dan pemakaian (use).

(Wirawan, 2016).

Teori evaluasi kelompok pemakaian dipelopori oleh

Stufflebeam dan Egon Guba mengembangkan model evaluasi CIPP

yaitu context evaluation (evaluasi konteks), input evaluation

(evaluasi masukan), process evaluation (evaluasi proses), dan product

evaluation (evaluasi hasil) memfokuskan pada evaluasi dan

pengambilan keputusan. Evaluasi berkaitan dengan informasi hasil

evaluasi, dipergunakan dan difokuskan pada mereka yang akan

mempergunakan informasi tersebut untuk mengambil keputusan.

Evaluasi konteks berkaitan dengan mengidentigikasi kebutuhan-

kebutuhan untuk menentukan objek dari program. Evaluasi masukan

mengarah kepada keputusan-keputusan strategi dan desain. Evaluasi

proses mengidentifikasi kekurangan-kekurangan program dan

memperbaiki implementasinya. Evaluasi produk mengukur keluaran

program. Model evaluasi CIPP merupakan suatu proses, evaluator

memandang desain evaluasi sebagai suatu proses bukan suatu produk.

Evaluasi menyediakan aliran informasi secara terus menerus kepada

para pengambil keputusan untuk memastikan program memperbaiki

layanannya (Wirawan, 2016).

2.6.5. Model Evaluasi


56

2.6.5.1. Model Evaluasi Berbasis Tujuan

Menurut Wirawan (2016), model evaluasi berbasis tujuan

secara umum mengukur pencapaian kebijakan, program atau

proyek yang telah ditetapkan. Model evaluasi ini memfokuskan

pada pengumpulan informasi yang bertujuan mengukur pencapaian

tujuan kebijakan, program, dan proyek untuk pertanggungjawaban

dan pengambilan keputusan. Model evaluasi berbasis tujuan

dirancang dan dilaksanakan dengan proses mengidentifikasi tujuan,

merumuskan tujuan menjadi indikator-indikator, mengembangkan

metode dan instrumen untuk menjaring data, memastikan program

telah berakhir dalam mencapai tujuan, menjaring dan menganalisis

informasi mengenai indikator-indikator program, kesimpulan,

mengambil keputusan mengenai program. Model evaluasi ini

mempunyai keunggulan seperti demokratis, imparsial, sederhana,

suatu tujuan berkaitan dengan ketidakpastian masa depan, efek

sampingan dari tujuan. Konsep evaluasi berorientasi tujuan yang

dikemukakan oleh Tyler sangat berpengaruh terhadap evaluasi

pendidikan. Model evaluasi ini juga mempengaruhi para teoritis

pendidikan yang mengemukakan pentingnya tujuan pendidikan.

2.6.5.2. Model Evaluasi Bebas Tujuan

Model evaluasi bebas tujuan yang dikembangkan oleh

Scriven (1973) merupakan model evaluasi dimana evaluator

melakukan evaluasi tanpa mempunyai pengetahuan atau referensi


57

dari tujuan dan objek serta pengaruh yang diharapkan oleh

perancang program. Tujuan dari program yang dinyatakan dalam

rencana program umumnya sering abstrak dan tidak cukup spesifik

untuk diukur. Pengaruh program yang sesungguhnya mungkin

berbeda, lebih banyak, lebih luas atau mungkin lebih sedikit dari

tujuan yang dinyatakan dalam program. Goal free evaluation

model berupaya mengukur keluaran dan pengaruh yang

sesungguhnya tanpa dipengaruhi oleh tujuan dan pengaruh yang

diharapkan dalam rencana program. Suatu program dapat

mempunyai tiga jenis pengaruh yaitu pengaruh sampingan yang

negatif, pengaruh positif yang ditetapkan oleh tujuan program,

pengaruh positif sesuai dengan tujuan program. (Wirawan, 2016).

Menurut Scriven (1973) dalam Wirawan (2016), jika

menggunakan model evaluasi bebas tujuan ketiga jenis pengaruh

program harus divaluasi untuk menemukan tujuan dan pengaruh

program yang sesungguhnya dengan cara mengidentifikasi

pengaruh sampingan negatif, mengidentifikasi pengaruh positif dari

program yang diharapkan, mengidentifikasi pengaruh sampingan

positif yang tidak masuk tujuan program.

2.6.5.3. Model Evaluasi Formatif dan Sumatif

1) Evaluasi Formatif

Menurut Scriven dalam Wirawan (2016) evaluasi formatif

merupakan loop balikan dalam memperbaiki produk. The Program


58

Evaluation Standars (1994) mendefinisikan evaluasi formatif sebagai

evaluasi yang didesain dan dipakai untuk memperbaiki suatu objek,

terutama ketika objek tersebut sedang dikembangkan. Sepanjang

pelaksanaan kebijakan, program atau proyek dapat dilakukan sejumlah

evaluasi formatif sesuai dengan kebutuhan atau kontrak kerja evaluasi.

Evaluasi formatif dilakukan dengan tujuan mengukur hasil

pelaksanaan program secara periodik, mengukur arah pergerakan

partisipan ke arah yang direncanakan, mengukur sumber-sumber yang

telah digunakan sesuai rencana, menentukan koreksi yang dilakukan

jika terdapat penyimpangan, memberikan umpan balik.

2) Evaluasi Sumatif

Evaluasi sumatif dilakukan pada akhir pelaksanaan program.

Evaluasi ini mengukur kinerja akhir objek evaluasi. Menurut Steven

et.al (Gwendolyn, 2002) dalam Wirawan (2016) tujuan evaluasi

sumatif antara lain menentukan kesuksesan keseluruhan program,

mengkomunikasikan temuan evaluasi kepada para pemangku

kepentingan, menentukan komponen yang paling efektif dan efisien.

2.6.5.4. Model Evaluasi Responsif

Menurut Stake dalam Wirawan (2016), evaluasi responsif

terdiri dari tiga kriteria yaitu orientasi langsung kepada aktivitas

program, respon kebutuhan informasi dari audiens, perpektif nilai

yang berbeda dilaporkan dalam kesuksesan dan kegagalan dari


59

program. Langkah-langkah model evaluasi responsif adalah

mengidentifikasi jenis dan jumlah setiap pemangku kepentingan

(responden), melakukan dengar pendapat dengan pemangku

kepentingan, menyusun proposal evaluasi, melaksanakan evaluasi,

membahas hasil evaluasi dengan para pemangku kepentingan,

pemanfaatan hasil evaluasi.

2.6.5.5. Model Evaluasi CIPP (Context, Input, Process, Product)

Model evaluasi CIPP mulai dikembangkan oleh Daniel

Stufflebeam dengan mendefinisikan evaluasi sebagai proses

melukiskan (delineating), memperoleh (obtaining), dan menyediakan

(providing) informasi yang berguna (useful information) untuk

menilai alternatif-alternatif pembuatan keputusan. Menurut

Stufflebeam (2003) dalam Wirawan (2016), model evaluasi CIPP

merupakan kerangka komprehensif untuk mengarahkan pelaksanaan

evaluasi formatif dan evaluasi sumatif terhadap objek program,

proyek, personalia, produk, institusi, dan sistem. Model ini

dikonfigurasi untuk dipakai evaluator internal yang dilakukan oleh

organisasi evaluator, evaluasi diri yang dilakukan oleh tim proyek atau

penyedia layanan individual yang dikontrak atau evaluator eksternal.

Gambar 2.1. Model Evaluasi CIPP


60

Sumber: Wirawan (2016)

Model evaluasi ini dipakai secara meluas diseluruh dunia dan

digunakan untuk mengevaluasi berbagai disiplin dan layanan. Model

CIPP terdiri dari empat jenis evaluasi yaitu evaluasi konteks (context

evaluasion), evaluasi masukan (input evaluation), evaluasi proses

(process evaluation) dan evaluasi produk (product evaluation).

Menurut Stufflebeam (2003) dalam Wirawan (2016),

evaluasi konteks untuk menjawab hal-hal yang perlu dilakukan,

mengidentifikasi dan menilai kebutuhan-kebutuhan yang mendasari

disusunnya suatu program. Evaluasi masukan untuk mencari jawaban

hal-hal yang harus dilakukan. Evaluasi ini mengidentifikasi probem,

aset, dan peluang untuk membantu para pengambil keputusan

mendefinisikan tujuan, prioritas, manfaat dari program, menilai

pendekatan alternatif, rencana tindakan, rencana staf, dan anggaran.

Evaluasi proses berupaya untuk mencari jawaban atas pertanyaan

program yang sedang dilaksanakan. Evaluasi ini juga berupaya

mengakses pelaksanaan dari rencana untuk membantu staf program

melaksanakan aktivitas dan kemudian membantu kelompok pemakai

yang lebih luas menilai program dan menginterpretasikan manfaat.

Evaluasi produk berupaya mengidentifikasi dan mengakses keluaran

dan manfaat, baik yang direncanakan atau tidak direncanakan, baik

jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya untuk membantu


61

staf menjaga upaya menfokuskan pada mencapai manfaat yang

penting dan akhirnya untuk membantu kelompok-kelompok pemakai

lebih luas mengukur kesuksesan upaya dalam mencapai kebutuhan-

kebutuhan yang ditargetkan.

Menurut Stufflebeam (2003) dalam Wirawan (2016), model

evaluasi CIPP bersifat linear, yaitu evaluasi input harus didahului oleh

evaluasi context, evaluasi proses harus didahului oleh evaluasi input.

Model evaluasi CIPP juga dikenal evaluasi formatif dan sumatif.

Dalam evaluasi formatif CIPP berupaya mencari jawaban tentang hal

yang perlu dilakukan, cara melakukannya, hal yang sedang dilakukan

dan hasilnya. Evaluator sub unit memberikan informasi mengenai

temuan kepada para pemangku kepentingan, membantu mengarahkan

pengambilan keputusan, dan memperkuat kerja staf. Ketika evaluasi

formatif dilaksanakan, dapat dilakukan penyesuaian dan

pengembangan jika yang direncanakan tidak dapat dilaksanakan

dengan baik. Dalam evaluasi sumatif CIPP berupaya mendapatkan

tambahan informasi untuk mengetahui kebutuhan yg penting ditangani

dengan baik.

2.7 Pengambilan Keputusan

2.7.1. Definisi Keputusan

Keputusan adalah proses penelusuran masalah yang berawal dari

latar belakang masalah, identifikasi masalah hingga terbentuknya sebuah

kesimpulan atau rekomendasi. Rekomendasi ini yang selanjutnya akan


62

digunakan sebagai pedoman basis dalam pengambilan keputusan. Oleh

karena itu sangat besar pengaruh yang akan terjadi jika rekomendasi yang

dihasilkan terdapat kekeliruan atau adanya kesalahan-kesalahan yang

tersembunyi karena faktor tidak hati-hati dalam melakukan pengkajian

masalah. (Irham, 2013)

2.7.2. Tahap-tahap Pengambilan Keputusan

Menurut Simon (1960) dalam Fahmi (2016), untuk memberikan

kemudahan pengambilan keputusan maka perlu dibuat langkah-langkah

yang bisa mendorong terciptanya keputusan yang diinginkan. Adapun

langkah-langkahnya adalah:

1) Mendefinisikan masalah secara jelas, gamblang dan mudah dimengerti.

2) Membuat daftar masalah yang akan dimunculkan, menyusun dan

memprioritaskan dengan maksud agar sistematis yang lebih terarah dan

terkendali.

3) Melakukan identifikasi setiap masalah tersebut dengan tujuan agar

memberikan gambaran secara tajam, terarah dan spesifik.

4) Menetapkan setiap masalah berdasarkan kelompok masing-masing yang

kemudian dibarengi dengan menggunakan model alat uji yang akan

dipakai.

5) Memastikan kembali bahwa alat uji yang dipergunakan telah sesuai

dengan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang berlaku.

Disisi lain Simon (1960) menyatakan bahwa pengambilan

keputusan berlangsung melalui empat tahap yaitu intelligence, design,


63

choice dan implementasi. Intelligence adalah proses pengumpulan

informasi yang bertujuan mengidentifikasi permasalah. Design merupakan

tahap perancangan solusi terhadap masalah. Biasanya pada tahap ini dikaji

berbagai alternatif pemecahan masalah. Choice adalah tahap mengkaji

kelebihan dan kekurangan dari berbagai macam alternatif yang ada dan

memilih yang terbaik. Implementation adalah tahap pengambilan

keputusan dan melaksanakannya (Fahmi, 2013).

Manurut Fahmi (2016) dalam teori pengambilan keputusan terdapat

dua jenis keputusan, yaitu 1) Keputusan Terprogram, 2) Keputusan

terprogram merupakan suatu keputusan yang dijalankan secara rutin tanpa

ada persoalan-persoalan yang bersifat krusial. Pada jenis keputusan ini

setiap pengambilan keputusan yang dilakukan hanya berusaha membuat

pekerjaan yang dikerjakan secara baik dan stabil, 3) Keputusan Tidak

Terprogam; Keputusan tidak terprogram diambil dalam usaha memecahkan

masalah-masalah baru yang belum pernah dialami sebelumnya, tidak

bersifat repetitif, tidak terstruktur, sukar mengenal bentuk, hakikat dan

dampaknya. Pada jenis keputusan seperti ini, kebanyakan keputusan

bersifat lebih rumit dan membutuhkan kompetensi khusus untuk

menyelesaikannya.

2.7.3. Proses Pengambilan Keputusan

Keberadaan suatu keputusan tidak serta merta berlangusng secara

sederhana, sebab sebuah keputusan selalu lahir berdasarkan dari proses

yang memakan waktu, tenaga dan fikiran hingga akhirnya terjadi suatu
64

pengkritisan dan lahirlah keputusan. Saat pengambilan keputusan adalah

saat sepenuhnya memilih kendali dalam bertindak sedangkan saat

kejadian. Menurut Robbins and Coulter dalam Fahmi (2016), proses

pengambilan keputusan merupakan serangkaian tahap yang terdiri dari

mengidentifikasi masalah, mengidentifikasi kriteria keputusan, memberi

bobot pada kriteria, mengembangkan alternatif-alternatif, menganalisis

alternatif, memilih suatu alternatif, melaksanakan alternatif, dan

mengevaluasi efektivitas keputusan (Fahmi, 2013).

Terdapat beberapa solusi secara umum yng dapat dilaksanakan

untuk menyelesaikan persoalan atau mebuat suatu keputusan yang lebih

baik, yaitu:

1) Menerapkan konsep keputusan yang cenderung hati-hati dan

memikirkan setiap dampak yang akan timbul secara jangka pendek dan

jangka panjang

2) Menempatkan setiap keputusan berdasarkan alasan-alasan yang

bersifat representatif

3) Menghindari pengambilan keputusan yang bersifat ambigu, yaitu tidak

jelas dan tidak tegas

4) Setiap keputusan yang dibuat oleh pemimpin berdasarkan

pertimbangan empat fungsi manajemen

Tabel 2.1. Metode Pengambilan Keputusan Manajemen

Metode Ilmiah Pengambilan keputusan manajemen


1. Rumusan Masalah 1. Rumuskan masalah keputusan
2. Lakukan penelitian 2. Kumpulkan Informasi
65

3. Kembangkan hipotesis 3. Cari alternatif tindakan


4. Uji Hipotesa 4. Analisis alternatif visibel
5. Analisis Hasil 5. Pilih alternatif terbaik
6. Menarik kesimpulan 6. Laksanakan keputusan dan evaluasi
Sumber: (Mude, 2016)

2.7.4. Pengambilan Keputusan Yang Kompleks

Menurut Mude (2016), keputusan kompleks terjadi ketika

keputusan dihadapkan pada berbagai situasi, bersifat sendiri-sendiri, tetapi

semua situsi tersebut berada dalam kontkes keputusan yang sama sebagai

sebuah dimensi yang harus dipertimbangkan dalam mengambil keputusan.

Pengambil keputusan, mempersepsikan pihak yang menjadi lawannya,

objektif dan relevan dengan sejumlah strategi yang dikembangkan dalam

rangka menghadapi strategi lawan yang telah diperkirakan sebelumnya

dan menentukan probabilitas kondisi alam ayng mungkin dihadapi.

Terdapat tiga jenis pengembilan keputusan yang kompleks, yaitu Soft

System Methodologi (SSM), metagame dan analytical Hierarchy Process.

Menurut Checkland dalam Triono (2012), Soft System Methodologi (SSM)

merupakan pengambil keputusan dalam menghadapi situasi keputusan dan

mempelajarinya secara tidak terstruktur melalui gambaran situasi yang kaya

(rich picture) dan kemudian membangun sebuah model yang mungkin

merupakan penggambaran dari situasi yang dihadapi. Metagame merupakan teori

permainan yang memiliki keterbatasan dalam hal pihak yang diahadapi dan

strategi lawan yang pada umumnya didefiniskan secara ringkas dalam dua

strategi. Analytical Network Process (ANP) merupakan teknik untuk


66

menstruktur dan mamahami sebuah situasi komplkes dari pada memberikan

sebuah resep keputusan yang tepat dalam menghadapi situasi tersebut. Teknik

ANP membantu pengambilan keputusan dengan memilih sebuah alternatif yang

memberikan hasil paling mendekati tujuannya.

2.8. Analysis Network Process

2.8.1. Analisis Pengambilan Keputusan

Menurut Ascarya (2010) dalam Rusyidiana & Devi (2013) adalah

proses analisis keputusan membutuhkan adanya kriteria sebelum

memutuskan pilihan berbagai alternatif yang ada. Kriteria menunjukan

definisi masalah dalam bentuk yang konkret dan kadang-kadang dianggap

sebagai sasaran yang akan dicapai. Analisis atas kriteria penilaian

dilakukan untuk memperoleh seperangkat standar pengukuran, kemudian

dijadikan sebagai alat dalam membandingkan berbagai alternatif. Terkait

dengan metode pengambilan keputusan yang digunakan, dikenal dengan

MCDM. Multi Criteria Decision Making (MCDM) adalah suatu metode

pengambilan keputusan untuk menetapkan alternatif terbaik dari sejumlah

alternatif berdasarkan beberapa kriteria tertentu. Kriteria bisanya dalam

berupa ukuran, aturan atau standar yang digunakan dalam pengambilan

keputusan (Kahraman,Springer, 2001). Terdapat beberapa teknik dalam

memilih keputusan atau alternatif, yaitu:

1) Metode AHP (Analytical Hierarchy Process); merupakan sebuah

hirarki fungsional dengan input utamanya berupa persepsi manusia.

Metode AHP membantu memecahkan persoalan kompleks dengan


67

menstruktur suatu hirarki dan menarik berbagai pertimbangan guna

mengembangkan bobot atau prioritas. Menurut Saaty (1994) ada

beberapai prinsip dalam memecahkan persoalan dengan AHP, yaitu

prinsip menyusun hirarki (Decomposition), prinsip menentukan

prioritas (Comparative Judgement), dan prinsip konsistensi logis

(Logical Consistensy)

2) Metode ANP (Analytical Hierarchy Process), merupakan

pengembangan dari metode AHP, mengijinkan adanya interaksi dan

umpan balik dari elemen-elemen dalam cluster (inner dependence)

dan antar cluster (outer dependence)

3) Metode PROMETHEE (Preference Rangking Organiztion Method for

Enrichment Evaluation) merupakan metode penentuan urutan dalam

analisis multikriteria. Dominasi yang digunakan yaitu penggunaan

nilai dalam hubungan outtranking (Brans et.al., 1986).

4) Metode TOPSIS (Technique for Order Preference by Similarity to Ideal

Solution) merupakan metode pengambilan keputusan multikriteria

yang didasarkan pada laternatif yang terpilih atau terbaik tidak

hanya mempunyai jarak terdekat dari solusi ideal positif, namun

juga memiliki jarak terjauh dari solusi ideal negatif dari sudut

pandang geometris dengan menggunakan jarak euclidean untuk

mentukan kedekatan relatif dari suatu alternatif dengan solusi

optimal.

5) Metode ME-MCDM (Multi Expert Multi Criteria Decision


68

Making) merupakan suatu metode pengambilan keputusan dengan

berbagai ktiteria yang disediakan untuk mencari alternatif paling

baik berdasarkan pendapat expert yang tertuang dalam bentuk non-

numeric (secara kualitatif) terhadap situasi yang dihadapi.

6) Metode ANP

Metode ANP yang merupakan pengembangan dari AHP masih

menggunakan cara Pairwise Comparatio Judgment Matrices (PCJM) antar

elemen yang sejenis. Perbandingan berpasangan ANP dilakukan

antar elemen dalam kluster untuk setiap interaksi dalam network.

Analytic Network Process merupakan teori matematis yang

menganalisa pengaruh dengan pendekatan asumsi-asumsi untuk

menyelesaikan bentuk permasalahan. Metode ini digunakan dalam

bentuk penyelesaian dengan pertimbangan atas penyesuaian

kompleksitas masalah secara penguraian sintesis disertai adanya

skala prioritas yang menghasilkan pengaruh prioritas terbesar. ANP

mampu menjelaskan model faktor-faktor dependence serta

feedbeack secara sistematis. Pengambilan keputusan dalam aplikasi

ANP yaitu dengan melakukan pertimbangan dan validasi atas

pengalaman empirical.

Menurut Saaty (2006), dalam implementasi pemecahan

masalah, ANP bergantung pada alternatif-alternatif dan kriteria

yang ada. Teknis analisis ANP dengan menggunakan perbandingan

berpasangan (pairwase comparison) pada alternatif-alternatif dan


69

kroteria proyek. Pada jaringan AHP terdapat level tujuan, kriteria,

subkriteria, dan alternatifve dengan masing-masing level memiliki

elemen. Sedangkan pada jaringan ANP, level dalam AHP disebut

cluster yang dapat memiliki kriteria dan alternative didalamnya.

Elemen dalam suatu cluster dapat mempengaruhi elemen lain

dalam cluster yang sama (inner dependence), dan dapat pula

mempengaruhi elemen pada cluster lain (outer dependence)

dengan memperharikan setiap kriteria. Yang diiinginkan dalam

ANP adalah mengetahui keseluruhan pengaruh dari semua lemen.

Oleh karena itu, semua kriteria harus diatur dan dibuat prioritas

dalam suatu kerangka kerja hierarki kontrol atau jaringan,

melakukan perbandingan dan sintesis untuk memperoleh urutan

prioritas dari sekumpulan kriteria. Kemudian diturunkan pengaruh

dari elemen dalam sistem feedback dengan memperhatikan

masing-masing kriteria.

2.8.2. Landasan ANP

Menurut Saaty (2006), ANP memiliki empat aksioma yang menjadi

landasan teori, yaitu:

1) Resiprokal, aksioma ini menyatakan bahwa jika PC

(EA,EB) adalah nilai perbandingan pasangan dari elemen

A dan B, dilihat dari elemen induknya C, yang

menunjukan berapa kali lebihbanyak elemen A memiliki

apa yang dimiliki elemen B, maka PC (EB,EA)=1/PC


70

(EA,EB). Jika A lima kali lebih besar dari B, maka B

besarnya 1/5 dari besar A

2) Homogenitas, menyatakan bahwa elemen-elemen yang

dibandingkan dalam struktur kerangka ANP sebaiknya

tidak memiliki perbedaan terlalu besar yang dapat

menyebabkan lebih besarnya kesalahan dalam menentukan

penilaian elemen pendukung yang mempengaruhi

keputusan.

3) Prioritas, yaitu pembobotan secara absolut dengan

menggunakan skala interval (0,1) dan sebagai ukuran

dominatif relatif.

4) Dependence condition, diasumsikan bahwa susunan dapat

dikomposisikan ke dalam komponen-komponen yang

membentuk bagian berupa cluster

Tabel 2.2 Definisi Skala Penilaian dan Skala Numerik

Defenition Intensity of Importance


Equal Importance 1
Weak 2
Moderate Importance 3
Moderate plus 4
Strong Importance 5
Strong plus 6
Very strong or demonstrated Importance 7
Very, very strong 8
Extreme Importance 9
Sumber: Saaty (2009)
71

2.8.3. Prinsip Dasar ANP

Terdapat tiga prinsip dasar ANP yaitu dekomposisi, penilaian

komparasi (comparative judgement), dan komposisi hierarki atau

sintesis dari prioritas (Ascarya, 2005):

1) Prinsip Dekomposisi, yaitu diterapkan untuk menstrukturkan

masalah yang kompleks menjadi kerangka hierarki atau

kerangka ANP yang terdiri dari jaringan-jaringan cluster.

2) Prinsip Penilaian Komparasi, diterapkan untuk membangun

perbandingan pasangan (pairwase comparison) dari semua

kombinasi elemen-elemen dalam cluster dilihat dari cluster

induknya.

3) Prinsip Komposisi Hierarki atau Sintesis, diterapkan untuk

mengalihkan prioritas lokal dari elemen-elemen dalam

cluster dengan prioritas global dari elemen induk yang akan

menghasilkan prioritas global seluruh hierarki dan

menjumlahkannya untuk menghasilkan prioritas global untuk

elemen level terendah (biasanya merupakan alternative)

2.8.4. Prosedur ANP

Menurut Izik et.al (2011) proses ANP memiliki empat langkah

utama, yaitu:

2.8.4.1.Mengembangkan Struktur Model Keputusan

Masalah disusun dan model konseptual dibuat,


72

komponen-komponen penting diidentifikasi. Elemen paling

atas (cluster) didekomposisi menjadi sub-komponen dan

atribut (node). ANP memungkinkan dependensi baik di

dalam sebuah cluster (ketergantungan dalam) dan antar

cluster (ketergantungan luar).

8.1.2. Matriks Perbandingan Berpasangan

Matriks korelasi disusun berdasarkan skala rasio 1-

9. Ketika penilaian dilakukan untuk sepasang, nilai timbal

balik secara otomatis ditetapkan ke perbandingan terbalik

dalam matriks. Setelah perbandingan berpasangan selesai,

vector yang sesuai dengan nilai eigen meksimum dari

matriks yang dibangun dihitung dan vektor prioritas

diperoleh. Rasio konsistensi memberikan penilaian numerik

dari seberapa besar evaluasi ini mungkin tidak konsisten.

Jika rasio yang dihitung kurang dari 0,10, maka konsistensi

dianggap memuaskan.

Perhitungan Supermatriks:

1) Unweighted Supermatrix (supermatriks tanpa

pembobotan), dibuat secara langsung dari semua prioritas

lokal yang berasal dari perbandingan berpasangan antar

elemen yang mempengaruhi satu sama lain.

2) Wieghted Supermatrix (supermatriks berbobot), dihitung

dengan mengalikan nilai dari supermatriks-tanpa-


73

pembobotan dengan bobot cluster yang terkait.

3) Komposisi dari Limtting Supermatrix (supermatrix

terbatas, dibuat dengan memangkatkan supermatriks-

berbobot sampai stabil. Stabilisasi dicapai ketika semua

kolom dalam supermatriks yang sesuai untuk setiap node

memiliki nilai yang sama. Langkah-langkah ini

dilakukan dalam software Super Decision, yang

merupakan pake perangkat lunak yang dikemabngak

untuk ANP

4) Bobot Kepentingan Cluster dan Nodes.

Penetuan bobot kepentingan dari faktor penentu dengan

menggunakan hasil supermatriks-terbatas dari model.

Prioritas keseluruhan dari setiap alternatif dihitung

melalui proses sintesis. Hasil yang diperoleh dari

masing-masing subnetwork disintesis untuk memperoleh

keseluruhan dari alternative.

2.9. Kebijakan

2.9.1. Pengertian Kebijakan

Kebijakan dapat diartikan sebgai aturan dalam bentuk tertulis

dan keputusan resmi suatu organisasi yang mengatur segala aspek

kehidupan manusia, baik dalam lingkup publik maupun privat.


74

2.9.2. Tujuan kebijakan

Tujuan kebijakan adalah mengintegrasikan pengetahuan

kedalam suatu disiplin yang menyeluruh untuk menganalisis pilihan

publik dan pengambilan keputusan sehingga ikut berperan dalam

demokratisasi masyarakat (Parson.2001) dalam Dewi (2016). Oxford

Learner’s Pocket Dictionary mendefinisikan kebijakan sebagai

perencanaan dari berbagai tindakan yang telah disetujui atau dipilih

oleh sebuah organisasi. Dalam konteks yang lain, kebijakan juga dapat

diartikan sebagai kontrak politik asuransi tertulis. Sedangkan menurut

Charles O. Jones, kebijakan (policy term) digunakan dalam praktik

sehari-hari, namun digunakan untuk menggantikan kegiatan atau

keputusan yang sangat berbeda. Istilah tersebut sering dipertukarkan

dengan tujuan (goals), program, keputusan (decisions), standard, proposal

dan grand design. Menurut Ealau dan Prewitt, kebijakan adalah

ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan

berulang, baik dari pihak yang membuatnya maupun pihak yang

menaatinya. Kebijakan senantiasa berorientasi pada masalah (problem-

oriented) dan berorientasi pada tindakan (action-oriented). Oleh

karena itu kebijakan pada dasarnya merupakan ketentuan yang

dijadikan pedoman atau petunjuk bagi setiap usaha untuk mencapai

tujuan sehingga setiap kegiatan memiliki kejelasan dalam bergerak

(Dewi.2016).

2.9.3. Lingkungan Kebijakan


75

Menurut Ali (2012) dalam Dewi (2016), Lingkungan merupakan dasar

pembuatan kebijakan dan variabel yang mempengaruhi perubahan

kebijakan. Terdapat subvariabel lingkungan yang terkait dengan

perubahan kebijakan yaitu:

2.9.3.1 Sub Variabel lingkungan kebijakan

Pembuat kebijakan tidak cukup waktu dan pengetahuan

memahami, mengetahui, dan mempelajari bagian-bagian tertentu

dari lingkungan atau konteks yang terjadi. Lingkungan membatasi

ruang gerak sekaligus memberikan instruksi yang dapat dilakukan

oleh pembuat kebijakan sehingga keijakan tersebut bersifat efektif.

Lingkunag dalam pengertian luas mencakup berbagai faktor, yaitu

geografis, kependudukan, budaya politik, sistem sosial, dan

ekonomi.

2.9.3.2 Sub Variabel budaya politik

Budaya politik merupakan bagian budaya yang umum dari

masyarakat yang dapat diwujudkan sebagai budaya politik dengan

menunjukan nilai, kepercayaan, dan sikap perhatian terhadap

kebijakan pemerintah dan bagaimana pemerintah harus

mengoperasikan, serta hubungan antara masyarakat dan

pemerintah.

2.9.3.3 Sub Variabel kondisi sosial-ekonomi

Tingkat pertumbuhan ekonomi masyarakat akan menentukan batas

bagi pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa bagi


76

masyarakatnya. Faktor sosial ekonomi mempengaruhi kebijakan

karean pembuatan kebijakan tidak dapat dilepaskan dari

lingkungan kebijakan. Tuntutan terhadap suatu tindakan kebijakan

bersumber dari lingkungan yang kemudian mengalir ke dalam

sistem politik dan pada saat yang sama lingkungan memberikan

limits dan constrains terhadap pembuat kebijakan

2.9.4 Pelaku Kebijakan

Pelaku kebijakan (stakeholders) menurut Dunn terdiri atas pembuat,

pelaksana, dan kelompok sasaran kebijakan. Pembuat dan pelaksana

kebijakan adalah orang, sekelompok orang, atau organisasi yang

mempunyai peranan tertentu dalam kebijakan sebab mereka berada dalam

posisi mempengaruhi dalam pembuatan ataupun dalam pelaksanaan dan

pengawasan atas perkembangan pelaksanaanya. Kelompok sasaran (target

group) adalah orang, sekelompok orang, atau organisasi dalam masayarakat

yang perilaku atau keadaannya ingin dipengaruhi oleh kebijakan yang

bersangkutan. Pelaku kebijakan adalah para pemegang otoritas atau lembaga

yang karena otoritas yang dimilikinya dapat menjadi pelaku kebijakan.

Pembuat kebijakan resmi adalah mereka yang memiliki kewenangan legal

untuk terlibat dalam perumusan kebijakan publik yaitu golongan legislatif,

eksekutif, badan administrasi, dan pengadilan. Sedangkan yang termasuk

partisipatoris tidak resmi dalam perumusan kebijakan yaitu kelompok

kepentingan, partai politik, dan warga negara individu.


77

2.9.5. Penetapan Kebijakan

Penetapan kebijakan bergantung pada kepemimpinan yang dalam

memutuskan suatu kebijakan bergantung pada gaya kepemimpinannya.

Praktik dan gaya kepemimpinan yang berbeda dapat diklasifikasikan

menurut pandangan atau filosofi yang dianut pemimpinan kepada

pengikutnya atau atasan kepada bawahannya. Menurut Keith Davis dalam

Abdullah (1990) membedakan tiga tipe pokok kepemimpinan yang

mempengaruhi penetapan kebijakan, yaitu:

1) Authority Leader, merupakan pemimpin yang memusatkan

otoritas dalam pengambilan keputusan pada dirinya sendiri.

Instruksi dan informasi yang disampaikan dalam batas-batas

keperluan pelaksanaan tugas dari bawahan. Petisipasi dari

bawahan hampir tidak ada karena pemimpin memegang seluruh

kekuasaan dan kewenangan.

2) Participative Leader, merupakan pemimpin yang

mendesentralisasi kewenangan manajerial yang dimiliki.

Keputusan dibuat atas dasar konsultasi dan dengan partisipasi para

pengikut atau bawahan. Pemimpin membuat sedemikian rupa

sehingga kelompok yang dipimpinnya merupakan sosial-unit.

3) The Free Rein Leader, merupakan pemimpin dengan gaya yang

cenderung mengarahkan kepada bawahan untuk menetapkan tujuan

serta pelaksanaan rencana-rencana. Pimpinan tipe ini sangat


78

tergantung kepada bawahan atau follower terutama pembantu-

pembantu terdekat.

2.10. Analisis Kebijakan

2.10.1. Konsep Dasar Kebijakan

Kebijakan publik merupakan hasil interaksi intensif antara

para pembuat kebijakan berdasarkan pada fenomena. Kebijakan

publik sering mengikutsertakan partisipasi masyarakat dalam

menghasilkan keputusan yang terbaik. Definisi publik dapat dilihat

dari berbagai perspektif yaitu dalam percakapan sehari-hari publik

mengandung arti negara atau pemerintah. Sedangkan publik menurut

kata sifat dapat berarti segala sesuatu yang menyangkut masyarakat

(Agustino, 2016). Kebijakan publik adalah keputusan yang mengikat

bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang

dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang

mengikat publik, kebijakan publik harus dibuat oleh otoritas politik,

yaitu mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak,

umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama

rakyat banyak. Kebijakan publik dapat mengakomodasi berbagai

kepentingan yang berbeda. Kebijakan publik mampu mengitegrasikan

berbagai kepentingan tersebut dalam suatu produk kebijakan yang

bersifat prioritas, urgen, dan mengarah pada upaya untuk menata

kepentingan yang lebih baik (Anggara, 2014)


79

Kebijakan dapat pula dipandang sebagai sistem. Bila kebijakan

dipandang sebagai sebuah sistem, maka kebijakan memiliki elemen –

elemen pembentukannya. Menurut Thomas R. Dye dalam Dunn

(2000) terdapat tiga elemen kebijakan yang membentuk system

kebijakan. Dye menggambarkan ketiga elemen kebijakan tersebut

sebagai kebijakan publik / publik policy, pelaku kebijakan / policy

stakeholders, dan lingkungan kebijakan / policy environment.

Perilaku

Lingkungan Kebijakan

Gambar 2.2. Tiga Elemen Sistem Kebijakan

Thomas R. Dye dalam Dunn (2009)

Ketiga elemen diatas saling memiliki andil, dan saling

mempengaruhi, sebagai contoh: pelaku kebijakan dapat mempunyai

andil dalam kebijakan, namun mereka juga dapat pula dipengaruhi

oleh keputusan pemerintah. Lingkungan kebijakan juga


80

mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan

kebijakan publik itu sendiri. Dunn (2009) menyatakan, “Oleh karena

itu, sistem kebijakan berisi proses yang dialektis, yang berarti bahwa

dimensi obyektif dan subyektif dari pembuat kebijakan tidak

terpisahkan di dalam prakteknya”.

2.10.2. Proses Pembuatan Kebijakan

Menurut Dunn (2009), proses analisis kebijakan adalah

serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses

kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dijelaskan

sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai

serangkaian tahap yang saling bergantung dan diatur menurut urutan

waktu (Subarsono, 2016). Secara umum proses pembuatan kebijakan

publik meliputi lima tahap sebagai berikut: penentuan agenda (agenda

setting), perumusan alternatif kebijakan (policy formulation),

penetapan kebijakan (policy legitimation), pelaksanaan atau

implementasi kebijakan (policy implementation), Dan penilaian atau

evaluasi kebijakan (policy avaluation).(Hamdi, 2015)

Jika kebijakan dapat dipandang sebagai suatu sistem, maka

kebijakan juga dapat dipandang sebagai proses. Dilihat dari proses

kebijakan, Nugroho menyebutkan bahwa teori proses kebijakan paling

klasik dikemukakan oleh David Easton dalam Nugroho (2008)

menjelaskan bahwa proses kebijakan dapat dianalogikan dengan

biologi.
81

Pada dasarnya sistem biologi merupakan proses interaksi

antara makhluk hidup dan lingkungannya, yang akhirnya menciptakan

kelangsungan perubahan hidup yang relatif stabil. Dalam terminologi

ini Easton menganalogikannya dengan kehidupan sistem politik.

Kebijakan publik dengan model sistem mengandaikan bahwa

kebijakan merupakan hasil atau output dari sistem (politik). Seperti

dipelajari dalam ilmu politik, sistem politik terdiri dari input,

throughput, dan output, seperti digambarkan sebagai berikut:

ENVIRONMENT ENVIRONMENT

DEMANDS DECISIONS O
I
N A U
P
SUPPORT POLITICAL OR POLICIES T
U SYSTEM P
T U
T

FEEDBACK

Gambar 2.3. Proses Kebijakan Publik Menurut Easton

Sumber: David Easton dalam Nugroho (2008)

Model proses kebijakan publik dari Easton mengasumsikan

proses kebijakan publik dalam sistem politik dengan mengandalkan

input yang berupa tuntutan (demand) dan dukungan (support). Model

Easton ini tergolong dalam model yang sederhana, sehingga model

Easton ini dikembangkan oleh para akademisi lain; Anderson, Dye,


82

Dunn, serta Patton dan Savicky.

Menurut James A. Anderson, dkk. Dalam Tilaar dan Nugroho

(2005) proses kebijakan melalui tahap-tahap / stages sebagai berikut:

Stage 1: Policy agenda, yaitu those pblems, among many, which

receive the serious attention of publik officer.

Stage 2: Policy formulation, yaitu development of pertinent and

acceptable proposal courses of action for dealing with

problem.

Stage 3: Policy adoption, yaitu development of support for a specific

proposal so that policy can legitimated or authorized.

Stage 4: Policy implementatoin, yaitu application of the policy by the

government’s administrative machinery to problem.

Stage 5: Policy evaluation, yaitu effort by the government to

determine wether the policy was effective and why, and why

not.

Gambar 2.4. Proses Kebijakan Publik Menurut Anderson, dkk

Sumber: James A. Anderson, dkk. dalam Tilaar dan Nugroho (2005)


83

Pakar lain, Dye mengemukakan tahap proses kebijakan yang

mirip dengan model Anderson, dkk. Menurut Thomas R. Dye dalam

Tilaar dan Nugroho (2008) proses kebijakan publik adalah sebagai

berikut:

Gambar 2.5. Proses Kebijakan Publik Menurut Dye

Sumber: Thomas R. Dye Tilaar dan Nugroho (2008)

Di model Dye terlihat bahwa proses kebijakan Anderson, dkk.

Mendapatkan satu tambahan tahap sebelum agenda setting, yaitu

identifikasi masalah kebijakan. Dalam hal ini Dye melihat tahapan pra

penentuan agenda (agenda setting) yang terlewatkan oleh Anderson,

dkk. Selain itu Dye juga menggantikan tahap policy adoption dengan

policy legitimination. Namun dalam hal ini pergantian ini tidak

memiliki perbedaan mendasar karena baik Anderson, dkk. dan Dye

sama-sama menekankan pada proses legitimasi dari kebijakan itu

menjadi suatu keputusan pemerintah yang sah.

Selain teori proses kebijakan dari Anderson, dkk. dan Dye

terdapat teori lain seperti dari William N. Dunn dan Patton & Savicky.

Baik Dunn maupun Patton & Savicky mengemukakan model – model

proses kebijakan yang lebih bersifat siklis dari pada tahap-tahap /


84

stages. Dunn menambahkan proses forecasting, recommendation, dan

monitoring. Hampir sama seperti Anderson, dkk. maupun Dye, Dunn

membuat analisis pada tiap tahap dari proses kebijakan dari model

Anderson, dkk. dan Dye. Dunn menggambarkan bahwa analisis pada

tiap tahap proses kebijakan sebagai berikut:

Gambar 2.6. Model Analisis Kebijakan Menurut Patton & Savicky

Sumber: Dunn (2009)

2.10.3. Penyusunan Agenda

Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan

dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang

mendasari definisi masalah dan masuki proses pembuatan kebijakan

melalui penyusunan agenda (agenda setting). Perumusan masalah


85

dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi,

mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang

memungkinkan, mamadukan pandangan-pandangan yang

bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru.

(Dunn,2003).

Tahap ini berkaitan dengan penentuan masalah yang

diutamakan atau diprioritaskan. Penentuan agenda merupakan tahap

penting karena berkaitan dengan proses dan politik perumusan

masalah. Pada tahan ini cara suatu masalah yang dirumuskan akan

mempengaruhi spectrum alternantive pemecahannya, yang akan

mempengaruhi kebijakan yang akan ditetapkan dan dilaksanakan.

(Dewi, 2016).

Menurut Cobb dan Elder dalam Dewi (2016), mengidentifikasi

dua jenis policy agenda, yaitu:

1) Agenda Sistemik, yaitu semua isu yang dirasakan oleh para

anggota masyarakat. Agenda sistemik berisi masalah-masalah

yang muncul dan mendapat sorotan dari masyarakat.

2) Agenda Institusional, yaitu semua isu yang patut mendapatkan

perhatian publik dan isu tersebut memang berada dalam juridiksi

kewenangan pemerintah.

2.10.4. Formulasi Kebijakan

Peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan


86

kebijakan tentang masalah yang akan terjadi dimasa mendatang sebagai

akibat dari diambilnya alternatif, termasuk tidak melakukan sesuatu. Ini

dilakukan dalam tahap peramalan kebijakan. Peramalan dapat menguji

masa depan yang plausibel, potensial, dan secara normatif bernilai,

mengestimasi akiat dari kebijakan yang ada atau yang diusulkan,

mengenali kendala-kendala yang mungkin akan terjadi dalam pencapaian

tujuan, dan mengestimasi kelayakan politik dari berbagai pilihan (Dunn,

2013). Tahap ini melibatkan kelompok yang disebut komunitas

kebijakan, yaitu pejabat pemerintah, kelompok kepentingan, akademisi,

profesional, badan penelitian, kelompok cendekia, dan wiraswasta

kebijakan. Tahap ini memerlukan berbagai konsep yang digunakan untuk

menjelaskan hubungan antara pelaku penentu agenda dan perumus

alternatif, seperti subgoverment, iron triangel, dan issue network. (Dewi,

2016).

Perumusan alternatif selalu didasarkan pada kriteria dan sumber

tertentu. Menurut Dunn (1981) dalam Hamdi (2015) mengemukakan

enam kriteria berupa tujuan, biaya, manfaat, kendala, akibat sampingan,

waktu, risiko atau ketidakpastian. Sedangkan terkait dengan sumber

Dunn menyebutkan tujuh sumber, yaitu otoritas (authority), pandangan

(insight), metode (method), teori ilmiah (scientific theories), motivasi

(motivation), kasus paralel (paralel case), pemisalan (analogy), dan sistem

etis (ethical syatem).

2.10.5. Rekomendasi Kebijakan


87

Rekomendasi membuat pengetahuan yang relevan dengan

kebijakan tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang

akibatnya dimasa mendatang telah diestimasikan melalui peramalan. Ini

membantu pengambil kebijakan pada tahap adopsi kebijakan.

Rekomendasi membantu mengestimasikan tingkat risiko dan

ketidakpastian mengenali eksternalitas dan akibat ganda, menentukan

kriteria dalam pembuatan pilihan dan menentukan pertanggungjawaban

administratif bagi implementasi kebijakan (Dunn, 2003).

2.10.6. Pelaksanaan Kebijakan

Pemantauan menyediakan pengetahuan yang relevan dengan

kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya. Ini

membantu pengambil kebijakan pada tahap implementasi kebijakan

(Dunn,2003). Pada tahap ini berkaitan dengan upaya mencapai tujuan

tertentu. Pada dasarnya tahap ini berhubungan dengan cara kerja

pemerintah. Karena makna dan sifat implementasi dapat dipahami dari

berbagai dimensi, tahap ini menunjukan signifikansinya. Pelaksanaan

kebijakan dapat hanya berupa suatu proses sederhana untuk mencapai

tujuan yang telah ditetapkan (Dewi,2016)

2.10.7. Evaluasi Kebijakan

Evaluasi membutuhkan pengetahuan yang relevan dengan

kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang

diharapkan dengan benar-benar dihasilkan. Jadi hal ini membantu

pengambil kebijakan pada tahap penilaian terhadap proses pembuatan


88

kebijakan. Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai

seberapa jauh masalah telah diselesaikan, tetapi juga menyumbang pada

klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan,

membantu dalam penyesuain dan perumusan kembali masalah

(Dunn,2003). Tahap ini berhubungan dengan pembahasan implementasi

kebijakan. Fokus tahap ini adalah identifikasi hasil dan akibat dari

implementasi kebijakan. Secara teoritis, evaluasi kebijakan menyediakan

umpan balik bagi penentuan keputusan untuk menruskan atau

menghentikan kebijakan yang ada. Oleh karena itu, evaluasi kebijakan

dapat bersifat formatif atau sumatif. Penilaian formatif berkenaan dengan

seberapa baik suatu kebijakan dilaksanakan, sedangkan penilaian sumatif

berkaitan dengan hasil dan dampak pelaksanaan kebijakan dalam

memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan kebijakan (Dewi. 2016).

2.11. Landasan Teori Menuju Konsep

Menurut Stufflebeam (2003) dalam Wirawan (2016), model

evaluasi CIPP (Context, Input, Process dan Product) bersifat linear, yaitu

evaluasi input harus didahului oleh evaluasi context, evaluasi proses harus

didahului oleh evaluasi input. Model evaluasi CIPP, juga dikenal evaluasi

formatif dan sumatif. Dalam evaluasi formatif CIPP, berupaya mencari

jawaban tentang hal yang perlu dilakukan, cara melakukannya, hal yang

sedang dilakukan dan hasilnya.

Evaluator sub unit memberikan informasi mengenai temuan kepada

para pemangku kepentingan, membantu mengarahkan pengambilan


89

keputusan, dan memperkuat kerja staf. Ketika evaluasi formatif

dilaksanakan, dapat dilakukan penyesuaian dan pengembangan jika yang

direncanakan tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Dalam evaluasi

sumatif CIPP berupaya mendapatkan tambahan informasi untuk

mengetahui kebutuhan yg penting ditangani dengan baik. Hasil evaluasi

terhadap penerapan MPKP akan ditemukan hambatan-hambatan dan

masalah-masalah yang harus dicari pemecahan masalahnya sehingga

ditemukan strategi-strategi sebagai dasar pengaambilam keputusan dalam

membuat kebijakan oleh pemangku kepentingan.

Pengambilan keputusan adalah proses penelusuran masalah yang

berawal dari latar belakang masalah, identifikasi masalah hingga

terbentuknya kesimpulan atau rekomendasi. Rekomendasi tersebut yang

selanjutnya digunakan sebagai pedoman basis dalam pengambilan

keputusan. Oleh karena itu sangat besar pengaruh yang akan terjadi jika

rekomendasi yang dihasilkan terdapat kekliruan atau adanya kesalahan-

kesalahan yang tersembunyi karena faktor ketidakhati-hatian dalam

melakukan pengkajian masalah (Irham, 2013). Menurut Robbins and

Coulter dalam Fahmi (2016), proses pengambilan keputusan merupakan

serangkaian tahap yang terdiri dari mengidentifikasi masalah,

mengidentifikasi kriteria keputusan, memberi bobot pada kriteria,

mengembangkan alternatif-alternatif, menganalisis alternatif, memilih

suatu alternatif, melaksanakan alternatif, dan mengevaluasi efektivitas

keputusan. (Fahmi, 2013).


90

Analytical Network Process (ANP), merupakan teknik untuk

menstruktur dan mamahami sebuah situasi komplkes dari pada

memberikan sebuah resep keputusan yang tepat dalam menghadapi situasi

tersebut. Teknik ANP, membantu pengambilan keputusan dengan memilih

sebuah alternatif yang memberikan hasil paling mendekati tujuannya

(Ascarya, 2010) dalam Rusyidiana & Devi (2013). Alternatif strategi yang

dihasilkan akan membantu para pemangku kepentingan dalam pembuatan

alternatif kebijakan.

Menurut Dunn (2003), proses analisis kebijakan adalah

serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan

yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses

pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang

saling bergantung dan diatur menurut urutan waktu. (Subarsono.2016).

Secara umum proses pembuatan kebijakan publik meliputi lima

tahap sebagai berikut: penentuan agenda (agenda setting), perumusan

alternatif kebijakan (policy formulation), penetapan kebijakan (policy

legitimation), pelaksanaan atau implementasi kebijakan (policy

implementation), dan penilaian atau evaluasi kebijakan (policy

avaluation). (Hamdi, 2015).

2.12. Model Kebijakan Operasional

Dalam system politik, kebijakan publik diimplementasikan oleh

badan-badan pemerintah. Badan – badan tersebut melaksanakan pekerjaan

pelaksanaan kebijakan tersebut hari demi hari sehingga menuju kinerja


91

kebijakan. Implementasi tersebut dapat melibatkan banyak aktor kebijakan

sehinga sebuah kebijakan bisa menjadi rumit. Kerumitan dalam tahap

implementasi kebijakan bukan hanya ditunjukkan dari banyaknya aktor

kebijakan yang terlibat, namun juga variabel – variabel yang terkait di

dalamnya. Subarsono (2005) menyebutkan berbagai macam variabel

tersebut. Pakar – pakar tersebut antara lain: George C, Edward III, Merilee

S. Grindle, Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier, Donald Van Meter

dan Carl Van Horn, Cheema dan Rondinelli, dan David L. Weimer dan

Aidan R. Vining.

2.13. Model Edward III

Menurut Edward III (1980), implementasi kebijakan dipengaruhi

oleh empat variable, yaitu (1) komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi,

dan (4) struktur birokrasi.

Comunication

Resources
Implementation
Disposition

Bureaucratic
Structure
Gambar 2.6.Faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan menurut
Edward lll (Subarsono, 2005)

Menurut Edward (1980) komunikasi harus ditransmisikan kepada personel


92

yang tepat, dan harus jelas, akurat serta konsisten Edward III menyatakan:

“Orders to implement policies must be transmitted to the appropriate personnel,

and they must be clear accurate, and consistent”. Dalam hal ini Edward

menjelaskan, bahwa jika pembuat keputusan/ decision maker berharap agar

implementasi kebijakan sesuai dengan yang dikehendakinya, maka ia harus

memberikan informasi secara tepat. Komunikasi yang tepat juga menghindari

diskresi / discretion pada para implementor karena mereka akan mencoba

menerjemahkan kebijakan umum menjadi tindakan yang spesifik. Diskresi ini

tidak perlu dilakukan jika terdapat aturan yang jelas serta spesifik mengenai apa

yang perlu dilakukan. Namun, aturan yang terlalu kaku juga dapat menghambat

implementasi karena akan menyulitkan adaptasi dari pada implementor. Dalam

hal ini diperlukan kebijakan yang di transmisikan kepada agen pelaksana yang

tepat, jelas dan konsisten, tetapi tidak menghalangi adaptasi dari para agen

pelaksana tersebut.
Mengenai sumber daya, Edward III (1980) menjelaskan bahwa hal yang

diperlukan agar implementasi berjalan efektif adalah “Important resources

include staff of the proper size and with the necessary expertise; relevant and

adequate information on how to implement policies and on the compliance of

others involved in implementation; the authority to ensure that policies are

carried out as they are intended; and facilities (including buildings, equipment,

land, and supplies) in which or with which to provide services”.


Tanpa memandang seberapapun jelas dan kosistensinya perintah

implementasi dan tanpa memandang seberapapun akuratnya perintah tersebut

ditransmisikan, jika implementor yang mengimplementasikan kebijakan


93

kekurangan sumber daya, maka implementasi tidak akan efektif. Sumber daya

yang dimaksud oleh Edward, sebagaimana disebutkan di atas meliputi: staff,

informasi, otoritas, dan fasilitas.


Selain komunikasi dan sumber daya, Edward III memandang disposisi dari

implementor sebagai faktor yang penting. Edward III (1980) menyatakan “if

implementers are well-disposed toward a particular policy, thay are more likely to

carry it out as the original decisionmakers intended. But when implementors’

attitudes or perspectives differ from the decisionmakers’, the process of

implementing a policy becomes infinitely more complicated”.


Dalam hal ini Edward III menekankan bahwa sikap atau yang beliau sebut

sebagai disposisi merupakan hal yang krusial karena jika implementor kebijakan

memiliki disposisi yang berlawanan dengan arah kebijakan, maka perspektif ini

juga dapat mengakibatkan ketidaksesuaian antara tujuan kebijakan yang

sesungguhnya dengan implementasi kebijakan dilapangan.


Untuk mengatasi kebuntuan implementasi karena adanya resistensi dari

pelaksana, Edward III menawarkan dua alternatif solusi. Alternatif pertama adalah

dengan pergantian personel, sedangkan alternatif kedua adalah dengan

memanipulasi insentif. Alternatif pertama menurut Edward III cenderung lebih

sulit dari pada alternatif kedua. Edward III (1980) menyatakan “Changing the

personnel in government bureaucracies is difficult, and it does not ensure that the

implementation process will proceed smoothly. Another potential technique to

deal with the problem of implementors’ dispositions is to alter the dispositions of

existing implementers through the manipulation of incentives. Since people

generally act in their own interest, the manipulation of incentives by high-level

policymakers may influence their actions”.


94

Alternatif kedua ini sering kita jumpai dalam manajemen organisasi.

Organisasi yang mengutamakan kinerja seperti di dalam perusahaan seringkali

memberikan kenaikan gaji yang berbeda antar karyawan. Karyawan yang

memiliki kinerja lebih bagus akan mendapatkan kenaikan gaji yang lebih besar

dari pada karyawan yang memiliki kinerja dibawahnya.


Faktor keempat yang dikemukakan Edward adalah struktur birokrasi.

Edward III (1980) menyatakan bahwa dua sub variable yang memberikan

pengaruh besar pada birokrasi adalah Standard Procedures Operating (SPO) dan

fragmentasi. Mengenai SPO, Edward III (1980) menjelaskan sebagai: ‘The former

develop as internal respons to the limited time and resources of implementers and

the desire for uniformity in the operation of complex and widely dispersed

organization; they often remain in force due to bureaucratic intertia”. Jika kita

repharase, SPO merupakan respon yang timbul dari implementor untuk menjawab

tuntutan – tuntutan pekerjaan karena kurangnya waktu dan sumber daya serta

kemauan adanya keseragaman dalam operasi organisasi yang kompleks. SPO ini

sering kita jumpai dalam pelayanan masyarakat pada organisasi – organisasi

pelayanan publik. Standarisasi SPO sudah menjadi isu lama pada organisasi

swasta / private sector, dan kemudian diimplementasikan pula pada organisasi –

organisasi pelayanan publik.


Mengenai fragmentasi, Edward III (1980) menjelaskan: ‘The latter results

primarily from pressure outside bureaucratic units as legislative committees,

interest groups, executive officials, state constitutions and city charters, and the

nature of board policies influence the organization of publik bureaucracies”.

Dalam bahasa yang lebih singkat, Edward III (1980) mendefinisikan fragmentasi
95

sebagai “the dispersion of responsibiliyi for a policy area among several

organizational units”. Dengan kata lain, fragmentasi merupakan penyebaran

tanggung jawab dari suatu kebijakan pada beberapa unit organisasi. Edward III

(1980) memberikan ilustrasi bagaimana fragmentasi membuat pemerintah AS

menjadi tidak efisien.


Implementasi kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel dan masing –

masing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain. Dalam pandangan

Edward III (1980), implementasi kebijakan mempunyai 4 variabel yaitu:


1) Komunikasi
Implementasi kebijakan mensyaratkan implementor mengetahui apa yang

harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus

ditransmisikan kepada kelompok sasaran sehingga akan mengurangi distorsi

implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau

bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka

kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran (Subarsono,

2005). Semakin tinggi pengetahuan kelompok sasaran atas program maka

akan mengurangi tingkat penolakan dan kekliruan dalam mengaplikasikan

kebijakan (Indiahono, 2009).


2) Sumber Daya
Walaupun isi kebijakan sudah dikumonikasikan secara jelas dan konsisten,

tetapi apabila implementor kekurangan sumber daya untuk melaksanakan,

implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat

berwujud sumberdaya manusia maupun sumberdaya finansial (Subarsono,

2005). Sumberdaya manusia adalah kecukupan baik kualitas dan kuantitas

implementor yang dapat melingkupi seluruh kelompok sasaran. Sumberdaya

finansial adalah kecukupan modal dalam melaksanakan kebijakan.


96

Keduanya harus diperhatikan dalam implementasi kebijakan. Tanpa

sumberdaya, kebijakan hanya tinggal menjadi kertas dokumen saja

(Indiahono, 2009).
3) Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor

seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor

memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan

dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika

implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat

kebijakan maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif

(Subarsono, 2005). Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada

dalam arah program yang telah digariskan dalam program. Komitmen dan

kejujurannya membawanya semakin antusias dalam melaksanakan tahap –

tahap program secara konsisten. Sikap yang demokratis akan meningkatkan

kesan baik implementor dan kebijakan dihadapan anggota kelompok

sasaran. Sikap ini akan menurunkan resistensi dari masyarakat dan

menumbuhkan rasa percaya dan kepedulian kelompok sasaran terhadap

implementor dan kebijakan (Indiahono, 2009).


4) Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari

aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur

operasi yang standar (SOP dan standar operating procedures). SOP menjadi

pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang

terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan


97

red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini

menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel (Subarsono, 2005).

2.14. Model Van Meter dan Van Horn

Menurut Van Meter dan Van Horn (Subarsono, 2005) terdapat lima

variable yang mempengaruhi implementasi kebijakan yaitu: “1) standard

an sasaran kebijakan; 2) sumber daya; 3) komunikasi antarorganisasi dan

penguatan aktivitas; 4) karakteristik agen pelaksanan; dan 5) kondisi

sosial, ekonomi dan politik”.

Komunikasi antar
organisasi dan agen
pelaksana
Ukuran dan tujuan
kebijakan

Kinerja
implementasi
Karakteristik Disposisi
Gambar 2.8. Faktor yang Mempengaruhi
agen Implementasi
pelaksana Kebijakan Menurut
pelaksana
Sumber daya Van Meter dan Van Horn (Subarsono, 2005)

Selanjutnya variable-variabel yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van


Lingkungan social,
Horn tersebut dijelaskan (Subarsono, 2005): dan politik
ekonomi
1) Standar dan sasaran kebijakan.
Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat

direalisir. Apabila standard an sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi

multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen

implementasi.
2) Sumberdaya
98

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumberdaya

manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia (non human

resources). Dalam berbagai kasus program pemerintah, seperti program Jaring

Pengaman Sosial (JPS) untuk kelompok miskin di pedesaan kurang berhasil

karena keterbatasan kualitas aparat pelaksanan.


3) Hubungan antar organisasi.
Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan

dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan

kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.


4) Karakteristik agen pelaksana.
Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah mencakup

birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi,

yang semuanya itu akan memengaruhi implementasi suatu program.


5) Kodisi sosial, politik, dan ekonomi.
Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat

mendukung keberhasilan implementasi kebijakan; sejauhmana kelompok-

kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan;

karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak; bagaimana sifat

opini publik yang ada dilingkungan, dan apakah elite politik mendukung

implementasi kebijakan.
6) Disposisi implementor.
Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yang penting, yakni: a)

respons implementor terhadap kebijakan, yang akan memengaruhi kemauannya

untuk melaksanakan kebijakan, b) kognisi, yakni pemahamannya terhadap

kebijakan, dan c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang

dimiliki oleh implementor.

Jika kita berpatokan pada teori yang diajukan oleh Edward III, maka
99

seperti terlihat diatas, variabel 1) standard an sasaran kebijakan dapat kita

masukkan dalam variabel “komunikasi” dalam model Edward III. Hal ini karena

dari penjelasan yang ada menunjukkan bahwa diperlukan adanya standard an

sasaran kebijakan yang jelas sehingga tidak menimbulkan multi interpretasi

maupun konflik. Variabel 2) sumber daya sejalan dengan variabel “sumber daya”

pada model Edward III, yaitu mencakup SDM dan non SDM, Variabel 3)

hubungan antar organisasi dapat kita masukkan dalam variabel “struktur

organisasi” dari model Edward III. Variabel 4) karakteristik agen pelaksana dan

variabel 5) disposisi implementor, dapat kita masukkan pada variabel “disposisi”

dalam model Edward III. Hal ini dikarenakan Variabel 6) membicarakan tentang

‘norma-norma’ dan ‘pola-pola hubungan’ yang terjadi pada implementor

merupakan dapat mengacu pada preferensi nilai atau sikap yang ada pada

implementor dalam menyikapi nilai-nilai yang dibawa oleh kebijakan.

Dari keenam variabel yang dikemukakan ole Van Meter dan Van Horn,

yang agak berbeda pada variabel 5) kondisi sosial, politik dan ekonomi, yang

tidak terdapat dalam model Edward III. Pada variabel 6) ini terlihat bahwa model

yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn juga mempertimbangkan faktor

eksternal. Dilihat dari teori sistem kebijakan dari Dye yang melibatkan tiga

elemen dalam system kebijakan, maka faktor sosial, politik dan ekonomi dapat

kita masukkan dalam elemen lingkungan kebijakan/policy environment. Di lain

pihak, barangkali timbul pertanyaan mengapa Edward III tidak memasukkan

elemen lingkungan kebijakan dalam teorinya? Menurut penulis, Edward III tidak

memasukkan elemen lingkungan kebijakan karena beliau memfokuskan teorinya


100

pada actor-aktor kebijakan yang mengimplementasikan kebijakan itu sendiri

(implementor kebijakan) sehingga tidak memfokuskan pembahasan pada apa yang

terdapat diluar implementor kebijakan. Dilain pihak, penelitian dalam tesis ini

“membahas kebijakan operasional pencegahan HIV pada WPS” juga tidak

melibatkan elemen lingkungan kebijakan, sehingga model Edward III masih

relevan dijadikan acuan dalam penelitian ini.

Namun demikian ada satu hal yang terlihat menonjol pada gambar model

implementasi menurut Van Meter dan Van Horn, yaitu model ini memperlihatkan

bahwa implementasi kebijakan akan menuju “kinerja”. Kebanyakan ahli yang

mengemukakan model proses kebijakan (Easton, Anderson, Patton & Savicky dan

Dunn) tidak memasukkan “kinerja kebijakan” dalam model proses kebijakan. Hal

ini dikemukakan oleh Nugroho (2008): Uniknya para akademisi tersebut tidak

memasukkan “kinerja kebijakan”, melainkan langsung pada evaluasi kebijakan.

Salah satu kemungkinannya adalah bahwa para akademisi tersebut menilai bahwa

“kinerja kebijakan” adalah proses yang “pasti terjadi” dalam kehidupan publik,

bahkan tanpa harus disebutkan:

1) Model Grindle
Menurut Merilee S. Grindle (Subarsono, 2005) terdapat dua variabel

besar yang mempengaruhi implementasi kebijakan, yaitu isi kebijakan (content

of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). Masing-

masing variabel tersebut masih dipecah lagi menjadi beberapa item.

Disebutkan oleh Subarsono (2005).


Variabel isi kebijakan ini mencakup 1) sejauh mana kepentingan

kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan, 2) jenis
101

manfaat yang diterima oleh target group, 3) sejauh mana perubahan yang

diinginkan dari sebuah kebijakan, 4) apakah letak sebuah program sudah tepat,

5) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci,

6) apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai.


Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup 1) seberapa besar

kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat

dalam implementasi kebijakan, 2) karakteristik institusi dan rejim yang sedang

berkuasa, 3) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

Model Grindle ini dijelaskan oleh Suwitri (2009). Variabel konten

selanjutnya diperinci lagi kedalam 6 unsur yaitu:

Implementasi kebijakan dipengaruhi


Tujuan A. Isi kebijakan
1) Kepentingan kelompok sasaran Hasil kebijakan
2) Tipe manfaat a. Dampak pada
3) Derajat perubahan yang diinginkan masyarakat,
4) Letak pengambilan keputusan individu &
Tujuan yang 5) Pelaksanaan program kelompok
dicapai ? 6) Sumber daya yang dilibatkan b. Perubahan dan
B. Lingkungan implementasi penerimaan
1. Kekuasaan, kepentingan dan masyarakat
strategi actor yang terlibat
2. Karakteristik lembaga dan
penguasa
Program aksi dan
3. Kepatuhan dan daya tanggap
proyek individu
Gambar
yang 2.9.yang
didesain
Faktor-faktor Faktor yang Mempengaruhi
mempengaruhi Implementasi
kebijakan; Kebijakan
1) Pihak yang Menurut
kepentingannya
dan didanai Merilee S. Grindle (Suwitri,2009)
dipengaruhi (interest affected). Theodore Lowi (dalam Grindle, 1980)
Program yang Mengukur keberhasilan
dilaksanakan sesuai
rencana
102

mengungkapkan bahwa jenis kebijakan publik yang dibuat akan membawa

dampak tertentu terhadap macam kegiatan politik. Dengan demikian, apabila

kebijakan publik dimaksud untuk menimbulkan perubahan – perubahan dalam

hubungan sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya, akan dapat merangsang

munculnya perlawanan dari pihak-pihak yang kepentingannya terancam oleh

kebijakan publik tersebut. 2) Jenis manfaat yang dapat diperoleh (tyoe of

benefits). Program yang memberikan manfaat secara kolektif atau terhadap

banyak orang akan lebih mudah untuk memperoleh dukungan dan tingkat

kepatuhan yang tinggi dari target groups atau masyarakat banyak. 3)

Jangkauan perubahan yang dapat diharapkan (exetent of change envisioned). 4)

Program yang bersifat jangka panjang dan menuntut perubahan perilaku

masyarakat dan tidak secara langsung atau sesegera mungkin dapat dirasakan

manfaatnya bagi masyarakat (target groups) cenderung lebih mengalami

kesulitan dalam implementasinya. 5) Kedudukan pengambil keputusan (site of

decision making). 6) Semakin tersebar kedudukan pengambil keputusan dalam

implementasi kebijakan publik, baik secara geografis maupun orgabisatoris,

akan semakin sulit pula implementasi program. Kerena semakin banyak

satuan-satuan pengambil keputusan yang terlibat didalamnya. 7) Pelaksana-

pelaksana program (program implementers). Kemampuan pelaksana program

akan memengaruhi keberhasilan implementasi program tersebut. Birokrasi

yang memiliki staff yang aktif, berkualitas, berkeahlian dan berdedikasi tinggi

terhadap pelaksanaan dan tugas dan sangat mendukung keberhasilan

implementasi program. 8) Sumber-sumber yang dapat disediakan (resources


103

committed). Tersedianya sumber-sumber secara memadai akan mendukung

keberhasilan implementasi program atau kebijakan publik.


Di samping konten variabel, keberhasilan implementasi kebijakan

publik juga ditentukan oleh variabel konteks. Variabel ini meliputi 3 unsur,

yaitu 1) Kekuasaan, minat dan strategi dari actor-aktor yang terlibat (power,

interest and strategies of actors involved; 2) Strategi, sumber dan posisi

kekuasaan dari implementor akan menentukan keberhasilan implementasi

suatu program. Apabila kekuatan politik merasa berkepentingan terhadap suatu

program, mereka akan menyusun strategi guna memenangkan persaingan yang

terjadi dalam implementasi, sehingga output suatu program akan dapat

dinikmatinya; 3) Karakteristik rejim dan institusi (institution and regime

characteristics); 4) Implementasi suatu program tentu akan mendatangkan

konflik pada kelompok-kelompok yang kepentingannya dipengaruhi.

Penyelesaian konflik akan menentukan who gets what atau “siapa mendapatkan

apa”. 5) Kesadaran dan sifat responsive (compliance and responsiveness); Agar

tujuan program dalam lingkungan khusus dapat tercapai makan para

implementor harus tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan dari beneficiaries.

Tanpa daya tanggap yang cukup dalam implementasi, implementor akan

kehilangan informasi untuk mengevasluasi mencapaian program dan

kehilangan dokumen yang penting bagi keberhasilan implementasi.


Melihat penjelasan mengenai model grindle ini, kita dapat mencermati

bahwa model Grindle ini memiliki aspek yang hamper mirip dengan model

Van Metter dan Van Hon. Aspek yang sama adalah bahwa baik model Van

Metter dan Van Hon maupun model Grindle sama – sama memasukkan elemen
104

lingkungan kebijakan sebagai faktor yang mempengaruhi implementasi

kebijakan. Van Metter dan Van Hon mengikutsertakan “kondisi social, politik

dan ekonomi” sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi implementasi

kebijakan, dan Grindle mengikutsertakan variabel besar “konteks kebijakan

atau lingkungan kebijakan”.


Kelebihan dari model Grindle dalam variabel lingkungan kebijakan

adalah model ini lebih menitikberatkan pada politik dari pada pelaku

kebijakan. Unsur pertama dari varabel lingkungan yaitu: power, interest and

strategies of actors involved, menjelaskan bahwa isi kebijakan sangat

dipengaruhi oleh peta perpolitikan dari para pelaku kebijakan. Aktor-aktor

penentu kebijakan akan berusaha menempatkan kepentingan mereka pada

kebijakan-kebijakan yang melibatkan minat mereka, sehingga kepentingan

mereka terakomodasi di dalam kebijakan. Unsur ke 2 dan Grindle yaitu

institution and regime characteristics memiliki maupun unsur ketiga yaitu

compliance and responsiveness memiliki kesamaan dengan faktor disposisi

dari model Edward III. Pada unsur kedua (karakteristik lembaga dan rejim) ini

dijelaskan oleh Suwitri (2009) bahwa “implementasi suatu program tentu akan

mendatangkan konflik pada kelompok-kelompok yang kepentingannya

dipengruhi”. Dalam hal ini contoh yang terjadi adalah ketika terdapat resistensi

terhadap suatu kebijakan dari suatu kelompok yang kepentingannya terancam

akan menimbulkan konflik. Cara penanganan konflik pada rezim yang otoriter

tentu akan berbeda dengan cara penanganan pada rejim yang demokratis.

Bahkan pada rejim yang demokratis sendiri terdapat berbagai macam cara

penyelesaiannya. Robbins dan Judge (2008) menyebutkan terdapat 6 cara


105

penyelesaiannya konflik: bersaing (tegas dan tidak kooperatif), bekerjasama

(tegas dan kooperatif), menghindar (tidak tegas dan tidak kooperatif),

akomodatif (tidak tegas dan kooperatif), dan kompromis (tengah-tengah antara

tegas dan kooperatif). Unsur ketiga dari variabel lingkungan dari model

Grindle, yaitu compliance and responsiveness selain merujuk pada disposisi.

Perbedaan dengan model Edwards III dalam hal ini adalah Grindle

memfokuskan pada disposisi penguasa/rejim/pembuat kebijakan, sedangkan

Edwards lebih menekankan pada disposisi implementor. Suwitri (2009)

menyatakan “proses pemilihan laternatif yang memuaskan itu besifat obyektif

dan subyektif, dipengaruhi oleh dispotition (Edwards III,1980), compliance

and responsiveness (Grindle, 1980) dari perumus kebijakan”. Selain disposisi,

compliance and responsiveness juga merujuk pada politik. Suwitri (2009)

menyatakan “tanpa daya tanggap yang cukup dalam implementasi,

implementor akan kahilangan informasi untuk mengevaluasi pencapaian

program dan kehilangan dukungan yang penting bagi keberhasilan

implementasi”.
Pelibatan politik dalam unsur ini agaknya masih berkaitan dengan unsur

pertama yang menyebutkan unsur kekuasaan, minat, dan strategi actor-actor,

karena jika suatu isu melibatkan kepentingan dan minat dari pembuat kebijakan

dan atau implementor kebijakan tersebut, maka responsivitas dari pembuat

kebijakan maupun implementor semestinya juga lebih tinggi.


Pada variabel konten atau isi kebijakan, Grindle juga memandang

bahwa implementasi kebijakan masih melibatkan politi. Pada unsur pertama

hingga ke empat, yaitu interest affected, type of benefits, extent of change


106

envisioned, dan site if decision making, kita dapat melihat peran politik masih

kuat. Sebagai contoh pada unsur pertama, Suwitri (2009) menyatakan “…jenis

kebijakan politik yang dibuat akan membawa dampak tertentu terhadap macam

kegiatan politik”. Peran politik juga masih dapat ditelusuri pada unsur ke dua

hingga ke empat.
Pada variabel konten/isi kebijakan, Grindle juga memiliki kesamaan

pandangan dengan Edward III maupun Van Metter dan Van Hon. Pada unsur

kelima yaitu program implementers disebutkan oleh Suwitri (2009), bahwa

“kemampuan pelaksana program akan mempengaruhi keberhasilan

implementasi program tersebut “. Hal ini sebangun dengan faktor sumber daya

yang dikemukakan oleh Edwards III maupun Van Metter maupun Van Horn.

Unsur keenam yaitu resources committed dinyatakan oleh Suwitri (2009)

sebagai “Tersedianya sumber – sumber secara memadai…”. Dengan demikian

dua unsur (unsur kelima dan keenam) dari model Grindle dapat kita simpulkan

sama dengan faktor sumber daya sebagaiman dikemukakan Edwards III

maupun Van Metter dan Van Horn, tetapi Grindle membedakan sumber daya

sebagai SDM dan Non SDM.


1) Model Mazmanian dan Sabatier
Menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Subarsono (2005) dan Tilaar dan

Nugroho (2008), ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan

implementasi :
a) Mudah tidaknya masalah dikendalikan (tractability of the problem).
Kategori tractability of the problem mencakup variable-variabel yang

disebutkan oleh Subarsono (2005): “(1) Tingkat kesulitan teknis dari

masalah yang bersangkutan, (2) Tingkat kemajemukan kelompok sasaran,

(3) Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi, (4) Cakupan


107

perubahan perilaku yang diharapkam”.


b) Kemampuan kebijakan untuk menstrukturisasikam proses implementasi

(ability of statute to structure implementation)


Kategori ability of statute to structure implementation mencakup variable-

variabel yang disebutkan oleh Subarsono (2005): (1) Kejelasan isi

kebijakan; (2) Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis;

(3) Besarnya alokasi sumber daya financial terhadap kebijakan tersebut; (4)

Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar instansi pelaksana;

(5) Kejelasan dan konsisten aturan yang ada pada badan pelaksana; (6)

Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan; (7) Seberapa luas

akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam implementasi

kebijakan.
c) Variabel diluar kebijakan/ variabel lingkungan (nonstatutory variables

affecting implementation).
Kategori nonstatutory variables affecting implementation mencakup

variable-variabel yang disebutkan oleh Subarsono (2005). “(1) Kondisi

social ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi, (2) Dukungan

publik terhadap kebijakan (3) Sikap dari kelompok pemilih (constituent

groups), (4) Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan

implementor “.

Tabel 2.3. Hubungan antara factor-faktor yang mempengaruhi Kebijakan

Operasional

Faktor Edward III Van Meter dan Grindle Mazmanian dan


Van Horn Sabatier
108

Komunikasi Komunikan Standar dan Penjelasan dan


kebijakan sasaran konsistensi tujuan
kebijakan Antar keputusan
dari implementor
Sumber Sumber Sumber Daya Pelaksanaan Ketetapan alokasi
Daya Daya program sumber daya
sumber yang Rekruitmen agen
disediakan pelaksana
Disposisi Disposisi Karakteristik Karakteristik Dukungan publik
agen pelaksana lembaga atau Sikap dan sumber
penguasa – sumber yang
Kepatuhan dan dimiliki konsisten
daya tanggap Komitmen dan
leadership skill
implementor
Struktur Struktur Hubungan Letak Keterpaduan
Birokrasi Birokrasi antar organisasi pengambil hierarkis
keputusan Kesulitan teknis
Keragaman
perilaku
Kondisi sosial, Kepentingan Persentase target
politik, dan kelompok group
ekonomi sasaran Derajat perubahan
Tipe manfaat Akses formal
Derajat pihak luar
perubahan Kondisi sosio
Kekuasaan ekonomi dan
kepentingan, teknologi
dan strategi
aktor
Sumber: Nugroho (2010) dalam judul buku publik policy.
109

2.15. Implementasi kebijakan

2.15.1. Definisi implementasi kebijakan

Menurut Nugroho, 2009 implemtasi kebijakan pada prinsipnya

adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih

kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan

langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk

program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari

kebijakan publik tersebut. Secara umum dapat digambarkan sebagai

berikut:

Gambar 2.9. Sekuensi implementasi kebijakan

Sumber: Nugroho, 2009

Kebijakan publik dalam bentuk undang-undang atau perda adalah

jenis kebijakan publik yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau

yang sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik

yang bisa langsung operasional antara lain: Keppres, Inpres, Kepmen,

Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas, dan lain – lain.


110

Rangkaian implementasi kebijakan, dari gambar diatas, dapat dilihat

dengan jelas, yaitu dimulai dari program, ke proyek, dan kegiatan. Model

tersebut mengadaptasi mekanisme yang lazim dalam manajemen,

khususnya manajemen sektor publik, sebagimana digambarkan dalam

gambar berikut ini:

1) Menurut teori proses implementasi kebijakan menurut Van Meter dan

Horn dalam winarno (2002, h.110), factor-faktor yang mendukung

implementasi kebijakan, yaitu ukuran-ukuran dan tujuan kebijakan,

sumber-sumber kebijakan, komunikasi antar organisasi dan kegiatan-

kegiatan pelaksanaan, karakteristik badan-badan pelaksana, kondisi

ekonomi, sosial dan politik, kecenderungan para pelaksana

(implementers).

Faktor pengambat implementasi kebijakan, informasi, dukungan

dan pembagian potensi. (purnomo dyan, dkk). Menurut Daniel

Mazmanian dan Paul Sabatier dalam bukunya implementation and Publik

Policy (Leo Agustino 2006:139) mendefinisikan implementasi kebijakan

sebagai: pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk

undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau

keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan

peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasi masalah yang

ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin

dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses

implementasinya. Pada dasarnya ada lima ketetapan yang perl dipahami


111

dalam hel keefektifan implementasi suatu kebijakan, sehingga kita dapat

menilai nantinya apakah kebijakan tersebut sudah tepat dan efektif.

(Riant Nugroho 2011). Kelima ketetapan itu adalah 1) Ketetapan

kebijakan, yang dimaksud adalah apakah kebijakan yang dibuat itu sudah

tepat? Pada hal ini ketetapan kebijakan dilihat dari a) Sejauh mana

kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan

masalah yang hendak dipecahkan. Pertanyaannya adalah how excellent is

the policy; b) Apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan sesuai dengan

karakter masalah yang hendak dipecahkan; c) Apakah kebijakan dibuat

oleh lembaga yang mempunyai kewenangan (misi kelembagaan) yang

sesuai dengan karakter kebijakan.

2) Ketetapan pelaksanaan

Aktor implementasi kebijakan tidaklah hanya pemerintah. Ada tiga

lembaga yang dapat menjadi pelaksana, yaitu: pemerintah, kerjasama

antara pemerintah – masyarakat / swasta, atau implementasi kebijakan

yang diswastakan (privatization atau contracting out). Kebijakan –

kebijakan yang bersifat monopoli, seperti kartu identitas penduduk, atau

mempunyai derajat politik keamanan yang tinggi, seperti pertahanan dan

keamanan, sebaiknya diselenggarakan oleh pemerintah. Kebijakan yang

bersifat memberdayakan masyarakat, seperti penanggulangan

kemiskinan, sebaiknya diselenggarakan pemerintah bersama masyarakat.

Kebijakan yang bertujuan mengarahkan kegiatan masyarakat, seperti

bagaimana perusahaan harus dikelola, atau dimana pemerintah tidak


112

efektif menyelenggarkannya sendiri, seperti pembangunan industry –

industri berkala menengah dan kecil yang tidak stategis, sebaiknya

diserahkan kepada masyarakat. Pada ketetapan ini dilihat berdasarkan

faktor-faktor pelaksanaan implementasi.

3) Ketetapan target, dalam hal ini berkenaan dalam tiga hal yaitu 1) Apakah

target yang diintervensi sesuai dengan yang direncanakan, apakah tidak

ada tumpang tindih dengan intervensi lain, atau tidak bertentangan

dengan intervensi kebijakan lain; 2) Apakah targetnya dalam kondisi siap

untuk diintervensi ataukah tidak. Kesiapan bukan saja dalam arti secara

alami, namun juga apakah kondisi target ada dalam kondisi mendukung

atau menolak; 3) Apakah inetervensi implementasi kebijakan bersifat

baru atau memperbarui implementasi kebijakan sebelumnya. Terlalu

banyak kebijakan yang tampaknya baru namun pada prinsipnya

mengulang kebijakan yang lama dengan hasil yang sama tidak efektifnya

dengan kebijakan sebelumnya.

4) Ketetapan lingkungan, dalam ketetapan ini ada dua lingkungan yang

mempengaruhi:

a) Lingkungan kebijakan, yaitu interaksi diantara lembaga perumus

kebijakan dan pelaksana kebijakan dengan lembaga lain yang terkait.


b) Lingkungan eksternal kebijakan yang disebut calista variable eksogen,

yang terdiri atas publik opinion, yaitu persepsi publik akan kebijakan

dan implementasi kebijakan, interpretive instutions, yang berkenaan

dengan interpretasi lembaga – lembaga strategis dalam masyarakat,

seperti media massa, kelompok penekan, dan kelompok kepentingan,


113

dan individuals yakni individu – individu tertentu yang memainkan

peran penting dalam menginterpretasikan kebijakan dan implementasi

kebijakan.
5) Ketetapan proses.
Secara umum, implementasi kebijakan publik dibagi menjadi tiga proses,

yaitu:
a) Policy acceptance, disini publik memahami kebijakan sebagai sebuah

aturan main yang diperlukan untuk masa depan, disisi lain pemerintah

memahami kebijakan tugas yang harus dilaksanakan.


b) Policy adoption, disini publik menerima kebijakan sebagai sebuah

aturan main yang diperlukan untuk masa depan, disisi lain pemerintah

menerima kebijakan tugas yang harus dilaksanakan.


c) Strategic readlines, disni publik siap melaksanakan atau menndakan

terjadi bagian dari kebijakan, disisi lain birokrasi on the street

2.15.2. Rekomendasi Kebijakan

1) Definisi dan tujuan rekomendasi kebjakan

Menurut Dunn W, 1994 dalam Dumilah 2014, mengatakan bahwa

Rekomedasi kebijakan adalah prosedur analisis kebijakan yang digunakan

untuk menghasilkan informasi mengenai konsekuensi yang mungkin dari

serangkaian arah tindakan di masa depan dan nilai – nilai atau manfaat dari

tindakan tersebut. Rekomendasi kebijakan adalah saran – saran kebijakan

secara sederhana yang disiapkan untuk kelompok tertentu yang memiliki

kewenangan untuk membuat keputusan. Rekomendasi memungkinkan analis

menghasilkan informasi tentang kemungkinan serangkaian aksi di masa


114

mendatang untuk menghasilkan konsekuensi berharga bagi individu,

kelompok atau masyarakata seluruhnya. Hal ini dimungkinkan karena

rekomendasi kebijakan menjelaskan konsekuensi di masa dating setelah

berbagai alternatif kebijakan.

Tujuan dari rekomendasi kebijakan adalah menentukan alternatif

terbaik yang harus diambil. Dalam menentukan keputusan, rekomendasi

kebijakan terkait erat dengan masalah moral dan etika. Rekomendasi

kebijakan merupakan kunci utama untuk memutuskan kebijakan di setiap

tingkat pemerintahan.

Rekomendasi kebijakan dimulai dengan pokok persoalan kebijakan

yang akan diambil keputusannya. Bagian kedua terdiri dari analisis

kebijakan dari permasalahan yang akan dipecahkan, kemudian pada bagian

penutup barulah disampaikan rekomendasi kebijakan, boleh satu atau lebih.

Menulis rekomendasi kebijakan pada dasarnya adalah proses pemecahan

masalah yang mengikuti alur sebagai berikut 1) Identifikasi dan klarifikasi

isu kebijakan; 2) Meneliti latar belakang dan konteks yang relevan; 3)

Identifikasi alternatif kebijakan; 4) Melakukan konsultasi yang diperlukan;

5) Menyeleksi opsi kebijakan terbaik; 6) Menyiapkan dokumen

rekomendasi.

Terkait dengan dokumen rekomendasi terdapat dua bentuk yang dibedakan

berdasarkan urutan pemaparan hasil rekomendasi dan analisis:

a) Direct Structur
115

Dikatakan direct structure karena rekomendasi kebijakan disampaikan

langsung setelah pendahuluan singkat yang berupa isu kebijakan dan informasi

penting yang diperlukan. Setelah itu barulah analisis yang meliputi latar belakang,

faktor yang dipertimbangkan dalam mene dintukan alternatif yang dipilih, analisis

opsi, dan informasi penting lain dalam rkomendasi. Yang perlu diperhatikan

dalam analisis rekomendasi dalam penyusunan dokumen direct structure ini

adalah bagaimana penulis dokumen bisa tetap membuat pembaca rekomendasi

untuk fokus inti rekomendasi yang disampaikan, bukan pada pembahasan atau

analisis rekomendasi.
b) Indirect Structure
116

Bagian awal dokumen mengemukakan isu sebagai dokumen pengantar

dokumen rekomendasi. Setelah itu dilanjutkan dengan analisis yang meliputi

konten berikut yaitu: latar belakang, faktor yang dipertimbangkan dalam

menentukan alternatif yang dipilih, analisis opsi, dan informasi penting lainnya.

Analisis yang dilakukan terhadap isu dan permasalahan tersebutlah yang nantinya

akan menghasilkan rekomendasi pada akhir dokumen.


2) Pertimbangan isi rekomendasi

Dalam memaparkan hasil rekomendasi perlu diperhatikan

pertimbangan aspek efektivitas, efisiensi, adekuat, responsivitas, akuitas atau

memiliki kesamaan, dan tentu saja memiliki aspek Appropriatness atau

kelayakan. Efektivitas, berasal dari kata “efektif”, muncul sebagai acuan

agar rekomendasi yang dibuat dapat benar – benar mencapai tujuan yang

telah direncanakan sejak awal pembahasan isu atau masalah kebijakan.

Untuk mencapai tujuan perlu diperhitungkan sumber dayanya sehingga tidak

terjadi pemborosan atau dengan kata lain harus efisien terhadap alokasi

sumber daya. Kefektifan dalam mencapai tujuan itu perlu diukur apakah

sudah cukup memuaskan kebutuhan. Nilai atau peluang yang memunculkan

masalah sehingga aspek adekuat pun menjadi penting. Pertimbangan penting

lain yang harus ada dalam rekomendasi adalah aspek keuitas (Equity) terkait

dengan pemerataan distribusi dampak dari kebijakan yang dibuat,

maksdunya adalah rekomendasi tersebut bisa berlaku dan berdampak

(positif, red) pada setiap lapisan masyarakat.

Pembuat rekomendasi membutuhkan aspek-aspek yang dengannya


117

akan menghasilkan rekomendasi kebijakan yang baik. Peulisan rekomendasi

yang baik harus focus pada isu yang hendak dipecahkan dan alternatif

rekomendasi yang diajukan, meskipun dalam penulisan rekomendasi selalu

ada analisis dan informasi penunjang sebagai pendahuluan, dokumen

rekomendasi harus meruncing pada rekomendasi yang diguliran. Oleh karena

itu, informasi penting dan analisis kebijakan yang melandasi rekomendasi

harus disajikan secra padat oleh data dan argument yang kuat serta jelas arah

atau tujuannya.

Kejelasan dokumen rekomendasi juga perlu diperhatikan karena yang

biasanya menyampaikan rekomendasi tersebut adalah pemimpin dari

organisasi atau penelitian kebijakan, sedangkan penerima dokumen tersebut

biasanya adalah kepala pemerintah atau yang mampu mewakili. Pihak

petama bisa jadi merupakan seorang ahli yang tidak terlibat langsung secara

teknis sehingga diperlukan resume yang sejelas-jelasnya agar rekomendasi

disampaikan secara tepat dan dapat dipertanggung jawabkan. Pihak kedua

bisa jadi tidak memiliki latar belakang pendidikan dan pemahaman yang

sama maka kejelasan dalam penyampaian akan menentukan keputusan yang

akan diambil. Selain itu, rekomendasi harus berdasarkan informasi terkini,

akurat, dan lengkap, serta di dukung oleh informasi yang bersifat evidenced

based. Dengan demikian, rekomendasi yang disampaikan menjadi akurat,

sesuai dengan masalah pokok yang menjadi isu kebijakan dan dapat

menimbulkan biaya yang diperlukan.

2.16. Analisis SWOT


118

Menurut Rangkuti (2008), Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai

faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisa ini

didasarkan pada hubungan atau interaksi antara unsur internal, yaitu kekuatan dan

kelemahan dan unsur eksternal yaitu peluang dan ancaman. Suatu perusahaan atau

organisasi harus membuat analisis SWOT dengan menekankan pada kekuatannya

untuk menutupi kelemahannya (Nainggolan, 2011).

Analisis SWOT merupakan tehnik analisa yang paling tua, yang

pertamakali diperkenalkan oleh Albert Humprey, seorang pemimpin proyek riset

pada Universitas Stanford di tahun 1960. SWOT adalah singkatan dari Strengths

(kekuatan), Weakness (kelemahan), Opportunities (peluang) dan Threats

(ancaman). Strengths dan Weaknesses adalah faktor – faktor lingkungan internal

perusahaan, sedangkan Opportunities dan Treats adalah faktor – faktor lingkungan

eksternal. (Rangkuti, 2008)

Penerapan analisis SWOT harus terus dilakukan oleh perusahaan /

organisasi agar berjalan sesuai dengan keadaan yang dianut. Terlebih bila suatu

perusahaan atau organisasi ingn mengembangkan atau membuat suatu proyek /

kegiatan baru, maka analisis SWOT wajib dilakukan (Rangkuti, 2008).

Analisa SWOT merupakan proses menganalisis organisasi dan

lingkungannya berdasarkan faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman

yang didalamnya mencakup analisa lingkungan eksternal untuk melihat apa saja

peluang dan ancaman dan analisa lingkungan internal untuk melihat apa saja

kekuatan dan kelemahan perusahaan (Ahmed et al., 2006). Gabungan dari

kekuatan dan peluang akan menghasilkan strategi S-O, gabungan dari kelemahan
119

dan peluang akan menghasilkan strategi W-O, gabungan dari kelemahan dan

ancaman menghasilkan strategi W-T.

Setelah mengidentifikasi kekuatan, kelemaha, peluang dan ancaman perlu

dilanjutkan dengan memilih dan menetapkan faktor kunci keberhasilan sebagai

faktor – faktor strategis. Suatu faktor disebut strategis apabila memiliki nilai lebih

dari faktor yang lainnya. Faktor yang telah memberikan nilai dukungan

(kontribusi) tinggi dan keterkaitan tinggi terhadap berbagai keberhasilan yang

diraih organisasi selama ini dan untuk yang akan datang dianggap sebagai faktor

strategis dan selanjutnya disebut menjadi faktor kunci keberhasilan. (Cicilia,

2011). Aspek yang dinilai dari tiap faktor adalah : Urgensi faktor terhadap misi,

meliputi Nilai Faktor (NF) dan Bobot Faktor (BF). Dukungan faktor terhadap

misi, meliputi Nilai Dukungan (ND) dan Nilai Bobot Dukungan (NBD).

Keterkaitan antar faktor terhadap misi meliputi Nilai Keterkaitan (NK). Nilai

Rata-rata Keterkaitan (NRK) dan Nilai Bobot Keterkaitan (NBK). Nilai yang

digunakan adalah skala yang dianjurkan oleh Rensis Linkert yang disebut model

skala nilai yaitu nilai yang diberikan pada suatu faktor secara kualitatif dikonversi

ke dalam angka yaitu:

Sangat Baik : 5, sangat tinggi urgensi / dukungan / keterkaitan


Baik : 4, tinggi nilai urgensi / dukungan / keterkaitan
Cukup : 3,cukup tinggi nilai urgensi / dukungan / keterkaitan
Kurang : 2, kurang nilai urgensi / dukungan / keterkaitan
Buruk : 1, sangat kurang nilai urgensi / dukungan / keterkaitan
Cara penilaiannya adalah sebagai berikut:
1) Nilai Urgensi (NU)
Nilai urgensi diperoleh dengan cara memberikan nilai bobot pada setiap

faktor yang berkisar antara 1-5


2) Bobot Faktor (BF)
Penetapan besaran BF; langkah pertama adalah memberikan Nilai Urgensi
120

(NU) yang berkisar antara 1-5 yakni nilai terendah = paling kurang urgen

dan nilai tertinggi = paling urgen. Selanjutnya BF dihitung berdasarkan

rumus berikut:

NU
BF = ---------------------------- X 100%
∑ NU
3) Nilai Dukungan Faktor (ND)
Nilai dukungan diperoleh dengan cara memberikan nilai bobot pada setiap

faktor yang berkisar antara 1-5


4) Nilai Bobot Dukungan (NBD)
Nilai bobot dukungan adalah suatu nilai yang diperoleh dengan cara

mengalihkan antara bobot faktor (BF) dengan Nilai Dukungan (ND)

dengan demikian rumusan perhitungan NBD adalah sebagai berikut:


Rmusnya: NDB = BF X ND
5) Nilai Keterkaitan (NK)
Menilai keterkaitan antara S1 dan S2, S1 dan W1, S1 dan T1 dan

seterusnya. Nilai keterkaitan berkisar 0-5


6) Nilai Rata – Rata Keterkaitan (NRK)
NRK dapat diperoleh dengan cara rumus perhitungan sebagai berikut:
Rumusnya:
TNK (Total Nilai Keterkaitan)
NRK = ---------------------------------------------
∑ N (jumlah faktor yang dinilai -1)
7) Nilai Bobot Keterkitan (NBK)
Rumus perhitungan NBK adalah sebagai berikut:
NBK = BF X NRK
8) Total Nilai Bobot (TNB)
Cara penetapan TNB adalah dengan menggunakan rumus perhitungan

sebagai beikut TNB = NBK + NBD


9) Menetapkan faktor Kunci Keberhasilan.
Hasil evaluasi faktor internal dan eksternal seperti dalam table 4.4 dapat

digunakan sebagai dasar penetuaan pemilihan Faktor Kunci Keberhasilan

(FKK) dan Peta Posisi Kekuatan Organisasi.


Faktor Kunci Keberhasilan (FKK) adalah faktor yang memiliki
121

Total Nilai Bobot (TNB) terbesar diantara faktor – faktor yang

berpengaruh terhadap sasaran yang akan dicapai. Faktor Kunci

Keberhasilan (FKK) disebut juga sebagai kekuatan kunci atau faktor

strategis. Sesuai dengan keberhasilan penilaian faktor – faktor internal dan

matrik keterkaitan antara Nilai Bobot (NB), Nilai Dukungan (ND) dan

Nilai Keterkaitan (NK). (LAN, 2008).

2.17. Proses Analisis Kebijakan Versi Michael Hill


Menurut Hill (1993) dalam menganalisa kebijakan diperlukan

beberapa persiapan awal dan identifikasi kebutuhan supaya mencapai hasil

analisa yang maksimal. Analisa kebijakan publik tidak hanya bertujuan

menciptakan pengetahuan untuk memahami dan menyelaraskan kebijakan

publik yang akan atau sudah dibuat, lebih dari itu, mampu mendorong proses

advokasi lebih lanjut. Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai sebuah kitab

pedoman yang berisikan langkah – langkah praktis untuk menganalisa

kebijakan. Namun, hanya berisikan sebuah panduan dasar yang dapat

dijadikan framework dalam analisa kebijakan publik.


Pembedaan yang paling nyata dalam varian analisis kebijakan adalah

dalam kaitan dengan sasaran dan / atau tujuan eksplisitnya, memisahkan

antara analysis for policy dari analysis of policy. Dalam kaitan dengan

bentuk riset, hal ini mungkin adalah pembedaan yang paling utama, dan hal

ini juga mencerminkan pembagian suatu penekanan perhatian. Meski terjadi

dikotomi, hal ini masih berada dalam suatu rangkaian aktivasi advokasi

kebijakan.

Analysis for Policy Analysis of Policy

Advokasi Informasi Monitoring & Analisis Analisis isi


Kebijakan untuk Evaluasi determinan Kebijakan
Kebijakan Kebijakan Kebijakan
122

Gambar 2.10. Tipologi Analisis Kebijakan


Sumber: Michael Hill (1993)

Sumber data yang diambil dengan tiga macam metode (TD,

Obeservasi, WM) dengan waktu yang berbeda (sebagai suatu upaya cross

check atau dilaksanakannya triangulasi sumber, metode dan waktu) untuk

dianalisis isinya (content analysis) yang merupakan suatu data kualitatif yang

menyeluruh sebagai suatu hasil penelitian kebijakan untuk disajikan ke dalam

format analysis of policy berupa empat komponen isi, implementasi, hasil dan

lingkungan kebijakan.

Formulasi analysis of policy ini selanjutnya dibuat suatu strategi

sebagai jawaban atau pemikiran untuk mengatasi keadaan tentang keadaan

tentang kebijakan atau status of policy yang telah dianalisis tersebut untuk

disajikan ke dalam format analysis for policy sebagai suatu usulan untuk

kebijakan yang telah ada.

2.17.1. Standar Operasional Prosedur

1). Pengertian SOP

Standard operating procedure adalah satu set instruksi tertulis

yang digunakan untuk kegiatan rutin atau aktifitas yang berulang kali

dilakukan oleh sebuah organisasi. Pengembangan dan penggunaan SOP

merupakan bagian integral dari sebuah sistem mutu yang sukses, karena

menyediakan individu dengan informasi untuk melakukan pekerjaan


123

dengan benar dan memfasilitasi konsistensi dalam kualitas dan integritas

produk atau hasil akhir.

Dalam internasional of standards (ISO) 9001 tentang sistem

manajemen mutu, SOP merupakan nyawa dari sistem manajemen tersebut

dan biasanya diistilahkan dengan dokumen level dua. SOP dalam sistem

manajemen SOP disebut sebagai pedoman, prosedur dan instruksi kerja.

Disebut pedoman karena SOP dapat menjelaskan suatu kebijakan

manajemen dari sebuah prusahaan terkait penerapan suatu sistem

manajemen. Misalnya, pedoman kesehatan dan keselamatan kerja dan

lainnya. Sedangkan, SOP disebut prosedur karena menjelaskan

aturan/instruksi yang berlaku umum untuk semua bagian di dalam sebuah

organisasi serta menjelaskan alur kerja yang melibatkan beberapa

bagian/fungsi didalam sebuah organisasi, misalnya: prosedur pembelian,

penjualan, penanganan order dan lainnya.

Sementara, SOP disebut instruksi/standard/petunjuk karena berisi

aturan atau langkah – langkah untuk melakukan suatu aktifitas tertentu

yang spesifik. Misalnya, instruksi pengoperasian mesin, standard

penyimpanan material, dan lainnya. Jadi, SOP dibuat untuk

menyederhanakan proses kerja supaya memberikan hasil yang optimal

namun tetap efisien (Hartatik, 2014).

2) Manfaat SOP

3) Berikut ini beberapa manfaat SOP:


124

1. Agar karyawan/pegawai dapat menjaga tingkat kinerja yang konsisten

pada unit kerjanya masing – masing.


2. Agar mengetahui dengan jelas peran dan fungsi tiap – tiap posisi

dalam organisasi
3. Memperjelas alur tugas, wewenang, dan tanggungjawab dari

karyawan/pegawai terkait.
4. Melindungi organisasi/unit kerja dan karyawan/pegawai dari

malpraktek atau kesalahan administrasi lain.


5. Untuk menghindari kegagalan/ksalahan, keraguan, duplikasi, dan

inefisiensi.
4) Prinsip penyusunan SOP
Menurut Muhaimin Iskandar dalam Hartatik 2014, dalam menyusun

SOP semua prosedur yang dijadikan standar harus memenuhi prinsip –

prinsip sebagai berikut:


a) Kemudahan dan kejelasan.
Harus dapat dengan mudah dimengerti dan diterapkan oleh semua

pegawai, bahkan pegawai baru pun dapat melaksanakan tugasnya.


b) Efisisensi dan efektivitas.
Merupakan prosedur yang paling efisien dan efektif dalam proses

pelaksanaan tugas. Keselarasan dengan prosedur standar lain yang

terkait. Harus selaras dengan prosedur standar lain yang terkait.


c) Keterukuran.
Output dari segala prosedur yang distandarkan mengandung standar

kualitas (mutu) tertentu yang dapat diukur pencapaian keberhasilan.


d) Dinamis.
Harus cepat dapat disesuaikan dengan kebutuhan peningkatan

kualitas pelayanan yang berkembang dalam penyelenggaraan

pemerintahan.
e) Berorientasi pada pihak yang dilayani.
Harus mempertimbangkan kebutuhan pihak yang dilayani, sehingga

dapat memberikan kepuasan pengguna.


f) Kepatuhan hukum.
125

Harus memenuhi ketentuan dan peraturan-peraturan pemerintah

yang berlaku.
g) Kepastian hukum.
Harus ditetapkan oleh pimpinan sebagai sebuah produk hukum yang

ditaati, dilaksanakan, dan menjadi instrument untuk melindungi

pegawai dari kemungkinan tuntutan hukum.


h) Transparansi dan keterbukaan.
Transparansi bahwa setiap prosedur yang dilaksanakan harus

transparan. Keterbukaan bahwa prosedur yang ada siap untuk

menerima masukan dari masyarakat.


5) Prinsip penerapan SOP
Pelaksanaan SOP harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) Konsisten. SOP harus dialsanakan secara konsisten dari waktu ke

waktu, oleh siapa pun, dan dalam kondisi apa pun oleh seluruh jajaran

organisasi pemerintahan.
b) Komitmen. SOP harus dilaksanakan dengan komitmen penuh dari

seluruh jajaran organisasi, dari level paling rendah sampai tertinggi.

Perbaikan berkelanjutan. Pelaksanaan SOP harus terbuka terhadap

penyempurnaan-penyempurnaan untuk memperoleh prosedur yang

benar-benar efisien dan efektif.


c) Mengikat. SOP harus mengikat pelaksana dalam melaksanakan

tugasnya sesuai dengan prosedur standar yang telah ditetapkan.

Seluruh unsur memiliki peran penting. Seluruh pegawai mempunyai

peran-peran tertentu dalam setiap prosedur ynng distandarkan. Jika

pegawai tersebut tidak melaksanakan perannya dengan baik, maka

akan menggangu keseluruhan proses, yang akhirnya juga berdampak

pada proses penyelenggaraan perusahaan.


126

d) Terdokumentasi dengan baik, seluruh prosedur yang telah

distandarkan harus didokumentasikan dengan baik, sehingga selalu

dapat dijadikan referensi bagi setiap mereka yang memerlukan.


BAB III

KERANGKA BERPIKIR DAN DEFINISI

3.1 Kerangka Berpikir

Kerangka pemikiran penelitian ini dilakukan untuk mengamati

seluruh faktor yang mempengaruhi perilaku dalam membuat program

pembiayaan BPJS pada RS. Santa Elisabeth Bekasi dan RS. Dr. Hafiz

Cianjur, sehingga menghasilkan rekomendasi yang dapat digunakan untuk

meningkatkan kebijakan operasional pada program pembiayaan BPJS pada

RS.Santa Elisabeth Bekasi dan RS. Dr. Hafiz Cianjur, tahun 2019. Dengan

demikian, kasus dapat didefinisikan secara praktis sebagai suatu fenomena

yang harus diteliti dan diinterpretasikan secara praktis sebagai satu kesatuan

yang utuh dan komprehensif pada setiap variabel yang terdapat di dalamnya.

Kerangka berfikir dan definisi istilah akan penulis sesuaikan

berdasarkan kerangka teori yang telah dibahas pada BAB II Tinjauan

Pustaka. Sedangkan untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan untuk

pemecahan masalah menggunakan analisis kebijakan metode klasik proses

pemecahan masalah versi Patton & Savicky.(Deni Darmawan, 2015)

127
128

Gambar 3.1. Analisis Kebijakan Model Patton dan


Savicky
Sumber: Nugroho R. Public Policy

Sehingga dapat diperoleh kerangka fikir sebagai berikut:

Gambar 3.2. Skema Kerangka Fikir Alternatif Formulasi


Kebijakan Layanan Kesehatan operasional pada RS. Santa
Elisabeth dan RS. Dr. Hafiz
129

3.2 Kerangka Analisis

Alternatif formulasi kebijakan operasional dalam pembagian berbagi Jasa

Layanan untuk berbagai setting Layanan Kesehatan di Rumah Sakit tipe C

dibandingkan dengan nilai INA-CBG’s guna Sustainability Rumah Sakit atas

pembayaran klaim di Rumah Sakit Swasta” (Study Kasus pada RS Sancta

Elisabeth Bekasi dan RS Dr. Hafiz Cianjur akan dilakukan dengan menggunakan

pendekatan Hill (2005) yang disajikan dalam format analysis of policy berupa 4

komponen yaitu: 1)isi, 2)implementasi, 3)hasil dan 4) lingkungan kebijakan.

Formulasi analysis of policy ini selanjutnya dibuat suatu strategi sebagai jawaban

atau pemikiran untuk mengatasi keadaan tentang kebijakan atau status of policy

sebagai suatu usulan untuk kebijakan yang telah ada.

Tabel 3.1. Kerangka Analisis

Analysis of Analysis for


Penelitian tentang Isi kebijakan yang hendak Analisis untuk merumuskan kebijakan

dikaj: Analisis untuk mempersiapkan rumusan


alternatif formulasi kebijakan operasional
Penelitian untuk menilai kebijakan Program
dalam pembagian berbagi Jasa Layanan
Pembiayaan BPJS pada RS. Santa Elisabeth
untuk berbagai setting Layanan Kesehatan
Bekasi dan RS. Dr. Hafiz Cianjur.
di Rumah Sakit tipe C dibandingkan
dengan nilai INA-CBG’s guna
Sustainability Rumah Sakit atas
pembayaran klaim pada RS Sancta
Elisabeth Bekasi dan RS Dr. Hafiz Cianjur.
Penelitian tentang implementasi kebijakan Analisis untuk memprediksi dampak

yang hendak dikaji: kebijakan


130

Penelitian tentang bagaimana alternative Terkait dengan pencapaian alternatif


formulasi kebijakan operasional dalam kebijakan yang diambil mengenai
pembagian berbagi Jasa Layanan untuk kebijakan operasional dalam pembagian
berbagai setting Layanan Kesehatan di berbagi Jasa Layanan untuk berbagai
Rumah Sakit tipe C dibandingkan dengan setting Layanan Kesehatan di Rumah Sakit
nilai INA-CBG’s guna Sustainability Rumah tipe C dibandingkan dengan nilai INA-
Sakit atas pembayaran klaim pada RS Sancta CBG’s guna Sustainability Rumah Sakit
Elisabeth Bekasi dan RS Dr. Hafiz Cianju atas pembayaran klaim pada RS Sancta
Elisabeth Bekasi dan RS Dr. Hafiz Cianju
Penelitian tentang lingkungan kebijakan: Analisis untuk memperbaiki implementasi

Terkait dengan pengaruh lingkungan kebijakan:

kebijakan terhadap perumusan kebijakan Memperbaiki isi kebijakan / aturan yang

operasional dalam pembagian berbagi Jasa hendak dikaji tentang kebijakan

Layanan untuk berbagai setting Layanan operasional dalam pembagian berbagi

Kesehatan di Rumah Sakit tipe C Jasa Layanan untuk berbagai setting

dibandingkan dengan nilai INA-CBG’s guna Layanan Kesehatan di Rumah Sakit tipe C

Sustainability Rumah Sakit atas pembayaran dibandingkan dengan nilai INA-CBG’s

klaim pada RS Sancta Elisabeth Bekasi dan guna Sustainability Rumah Sakit atas

RS Dr. Hafiz Cianjur pembayaran klaim pada RS Sancta

Elisabeth Bekasi dan RS Dr. Hafiz Cianjru


Penelitian tentang Proses kebijakan: Analisis untuk memperbaiki proses

Terkait dengan bagaimana kebijakan kebijakan:

operasional dalam pembagian berbagi Jasa Mencakup analisa perbaikan isi,

Layanan untuk berbagai setting Layanan Implementasi dan lingkungan kebijakan

Kesehatan di Rumah Sakit tipe C operasional dalam pembagian berbagi

dibandingkan dengan nilai INA-CBG’s guna Jasa Layanan untuk berbagai setting
131

Sustainability Rumah Sakit atas pembayaran Layanan Kesehatan di Rumah Sakit tipe C

klaim pada RS Sancta Elisabeth Bekasi dan dibandingkan dengan nilai INA-CBG’s

RS Dr. Hafiz Cianjur guna Sustainability Rumah Sakit atas

pembayaran klaim pada RS Sancta

Elisabeth Bekasi dan RS Dr. Hafiz Cianju

3.3 Definisi Istilah

Definisi istilah yang ingin diteliti sebagai berikut:

Tabel 3.2 Definisi Istilah

Istilah Definisi
Level pengaruh Faktor-faktor individu yang mempengaruhi perilaku

Individual untuk melakukan pemeriksaan ANC di Puskesmas

TAPOS DEPOK
Pengetahuann Adalah pengetahuan seputar JKN dalam pemeriksaan

ANC di Puskesmas TAPOS DEPOK


Niat (behavioral Adalah niat untuk melakukan pemeriksaan

intention) kehamilan / ANC secara rutin dan teratur di

puskesmas TAPOS DEPOK


Level pengaruh Faktor – faktor interpersonal yang mempengaruhi

interpersonal Program JKN dalam pemeriksaan ANC di Puskesmas

TAPOS DEPOK
Pengaruh klien Adalah pengaruh langsung dan tidak langsung klien

(klien biasa atau klien tetap) dalam melakukan

pemeriksaan.
132

Level pengaruh Faktor – faktor societal atau kebijakan publik yang

kebijakan publik mempengaruhi program JKN dalam pelayanan ANC

pada fasilitas kesehatan tingakat pertama di

Puskesmas TAPOS DEPOK.


Kebijaka provinsi Adalah segala bentuk produk hukum di tingkat

provinsi, pedoman dan SOP terkait program JKN

dalam pemeriksaan ANC.


Kebijakan SKPD Adalah segala bentuk produk hukum (keputusan

kepala dinas, instruksi kepala dinas, surat edaran atau

himbauan), pedoman dan SOP terkait program JKN

dalam pemeriksaan ANC.


Kebijakan Unit Adalah segala bentuk produk hukum (keputusan

Pelaksana Teknis kepala rumah sakit, instruksi, surat edaran atau

himbauan, pedoman dan SOP terkait program JKN

dalam pemeriksaan ANC.


BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Desain penelitian pada penelitian ini menggunakan metode penelitian

kualitatif untuk memperoleh hasil dengan pemahaman yang mendalam tentang

topik penelitian. Metode penelitian kualitatif dapat digunakan untuk mengkaji,

membuka, menggambarkan atau menguraikan sesuatu dengan apa adanya.

Bertujuan untuk memahami fenomena dan temuan yang diperoleh atau terjadi

dilapangan berdasarkan bukti atau fakta sosial yang ada, misalnya persepsi,

perilaku, motivasi dan lain-lain.

Metode ini, penulis melihat cocok dengan tujuan penelitian yang ada

masalah/pertanyaan penelitian yang hendak diselesaikan dan dijawab, metode

pengumpulan data yang akan dilakukan, jenis data yang perlu dikumpulkan

dan situasi partisipan atau informan penelitian ini.

Melalui metode kualitatif, desain penelitian dan peneliti terbuka, lebih

dari satu pandangan, dalam hal ini pandangan dan informasi dari

partisipan/informan. Hasil penelitan tidak di asumsikan oleh peneliti di awal

penelitian, tetapi diperoleh dari partisipan dan dianalisis oleh peneliti.

Informasi dan input dari partisipan adalah rujukan utama analisis (Raco,

2010).

Menurut Bogdan dan Taylor (1975) dalam Moeloeng (2006)

mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang

133
134

menghasilkan data deskriptif berupa kata – kata tertulis atau lisan dari orang –

orang dan perilaku yang dapat diamati. Secara khusus dalam penelitian ini

akan berusaha menyelesaikan masalah yang dihadapi partisipan dalam bentuk

kolaborasi dan mampu mengangkat permasalahan praktik ke dalam ranah

yang menarik kalangan akademisi. Dalam penelitian ini, penelitian memiliki

potensi untuk menyumbangkan solusi bagi permaslahan yang dihadapi

partisipan.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

4.2.1. Lokasi penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan di Rumah Sakit swasta
4.2.1. Waktu penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli dan

Agustus 2018.

4.3 Informan Penelitian

Menurut Sugiyono (2015), penelitian kualitatif tidak menggunakan

istilah populasi, tetapi dinamakan “social situation” atau situasi sosial yang

terdiri dari tiga elemen, yaitu tempat (place), pelaku (actor), dan aktifitas

(activity) yang terintegrasi secara sinergis. Sedangkan sampel pada penelitian

kualitatif tidak dinamakan sebagai responden, tetapi sebagai narasumber, atau

partisipan atau informan.

Informan penelitian ini dibedakan menjadi dua : informan utama

(key informant) dan informan pendukung. Informan utama penelitian ini

adalah Direktur RS, Kabag. BPJS, Dokter umum, gigi dan spesialis.
135

Sementara informan pendukung adalah: Staff dan Tim yang mengelola data

BPJS.

Cara pemilihan informan kunci dan informan pendukung secara

umum menggunakan purposive sampling, artinya sesuai dengan tujuan dan

data yang dibutuhkan oleh peneliti ini. Keputusan tentang sampel penelitian

tidak hanya untuk informan utama dan informan pendukung, tetapi juga

untuk latar dan kejadian (event) yang ingin diobservasi (Miles dan Huberman,

1994). Di sini informan tidak menekankan pada jumlah atau keterwakilan,

tetapi lebih pada kualitas informasi, kredibilitas (credible) dan kekayaan

informasi (information rich) yang dimiliki informan dan informan kunci,

termasuk kesesuaian dengan konteksnya. (Raco, 2010).

Kriteria lain dalam pengambilan sampel atau pemilihan informan

pendukung dan informan kunci yang akan dilakukan adalah terkait kesesuaian

(appropriateness) dan kecukupan (adequacy). Kesesuaian artinya, informan

pendukung dan informan kunci yang diambil sebagai sample, mempunyai

pengetahuan yang memadai tentang topic penelitian ini. Kecukupan artinya

informan pendukung dan informan kunci yang diambil sebagai sample dapat

menggambarkan fenomena atau berbagai aspek yang dilihat dalam penelitian

ini secara memadai. (Kresno, 2010).

Rancangan penelitian ini dimanfaatkan untuk menambah jumlah

informan, jika memang masih ada informasi yang perlu dikejar sampai tidak

ada informasi baru yang muncul atau telah terjadi kejenuhan atau

pengulangan informasi yang diperoleh.


136

Penelitian kualitatif ini menggunakan purposive dengan kriteria

tertentu yang tujuannya memperoleh informan yang memenuhi kriteria

tertentu dan berguna untuk menjamin kualitas informan. Dalam penelitian

kualitatif tidak menetapkan aturan baku dalam penetapan jumlah minimal

informan. Jumlah informan ini disesuaikan dengan jumlah yang

direkomendasikan oleh Riemen yaitu 3-10 partisipan (1986; dalam Creswell,

1998).

4.4 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan suatu alat yang digunakan untuk

mengukur fenomena alam maupun awal yang diamati. Pada penelitian kualitatif,

instrument utamanya adalah peneliti sendiri dengan menggunakan alat bantu :

1. Panduan wawancara
2. Tape recorder, kamera dan video
3. Checklist (observasi)
4. Buku catatan

4.5 Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini akan dikumpulkan data melalui 3 cara : wawancara

mendalam, observasi dan analisis dokumen. Ketiga cara ini akan saling

melengkapi dan memperkuat satu sama lain dan sebagian dari proses triangulasi.

Wawancara mendalam akan dilakukan menggunakan open-ended. Data

yang diperoleh berupa persepsi, pendapat, perasaan, pengetahuan dan perilaku.

Observasi akan menghasilkan data deskripsi yang ada di lokasi penelitian dalam

bentuk pembicaraan, interaksi interpersonal, sikap dan perilaku/tindakan.

Sedangkan analisis dokumen akan dilakukan dengan menganalisis material yang


137

tersimpan baik berupa dokumen tulisan ataupun audiovisual.

Wawancara Mendalam (WM) adalah proses tanya jawab secara individual

untuk menggali informasi tentang pandangan, keyakinan, pengalaman,

pengetahuan dan perilaku informan mengenai suatu topic secara menyeluruh

(Sudarti, 2010).

Penelitian ini menggunakan jenis WM semi terstruktur, dimana peneliti

akan merancang panduan wawancara terlebih dahulu untuk kemudian ditanyakan

sebagai pertanyaan utama yang akan diprobing terus-menerus sampai peneliti

memahami makna keseluruhannya. Wawancara berlangsung dalam waktu kurang

dari 90 menit.

Tahapan observasi yang akan dilakukan adalah dimulai dengan grand-tour

observation (observasi deskriptif), baru dilakukan mini-tour observation

(observasi terfokus). Hal-hal utama yang akan diobservasi adalah : tempat, benda-

benda disekitar informan, karakteristik orang yang diobservasi, aktifitas sehari-

hari, proses interaksi di lokalisasi, kejadian, waktu dan ekspresi-ekspresi lain dari

informan (Suharti, 2010).

Proses observasi akan dimulai dengan mengidentifikasi tempat/lokasi

observasi, membuat deskripsi pengamatan, mengidentifikasi siapa yang akan

diobservasi, kapan, berapa lama dan bagaimana caranya.(Raco, 2010).

Dengan observasi tersebut diharapkan dapat membantu peneliti untuk

mengerti tentang situasi, konteks dan menggambarkannya secara alamiah

mungkin. Peneliti juga berharap mendapatkan manfaat observasi dalam hal; a)

menangkap hal-hal yang tidak dikatakan oleh informan dalam wawancara


138

mendalam dan b) menangkap hal-hal yang rahasia, tersirat dan menangkap

konteks.

Analisis dokumen akan digunakan terutama karena banyak dokumen

sekunder yang akan dilihat dalam penelitian ini terutama karena tuntutan kerangka

konsep yang mengharuskan peneliti melihat pengaruh pada level komunitas dan

kebijakan publik. Dokumen yang akan dianalisis berupa buku, laporan program,

hasil penelitian, jurnal ilmiah, rekaman foto dan audiovisual.

4.6. Data dan Sumber Data


Untuk mempermudah pengambilan proses pengambilan data, berikut

digambarkan macam-macam data yang ingin dikumpulkan, ruang lingkup atau

definisi data yang dimaksud, sumber datanya (informan, key informant) serta

teknik pengumpulan datanya. Penggambaran ini berguna sebagai bagian dari

proses pengecekan kelengkapan data yang perlu dikumpulkan dan proses

penelurusan jika alat perubahan dari rencana awal ini seperti diindikasikan oleh

situasi lapangan, situasi partisipan dan hasil observasi peneliti.

4.7. Prosedur Pengumpulan Data

Tiga tahapan yang akan dilakukan dalam prosedur pengumpulan dan

penelitian kualitatif ini. Tiga tahapan tersebut adalah tahap persiapan, tahap

pelaksanaan, dan tahap terminasi.

4.7.1. Tahap persiapan

Tahap persiapan dimulai dengan peneliti menyusun panduan

wawancara dan catatan lapangan. Panduan wawancara mencakup : judul,


139

pertanyaan pembuka, pertanyaan peneliti kunci, investigasi untuk

menindaklanjuti pertanyaan kunci, pesan transisi untuk peneliti saat

wawancara, ruang untuk mencatat komentar – komentar peneliti saat

wawancara, dan ruang untuk mencatat reflektif (Cresswell,1998).

Peneliti akan mengurus surat permohonan penelitian dan

memperoleh surat izin dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju.

Setelah mendapatkan izin penelitian, peneliti mengurus ijin penelitian ke

Dinkes dengan melampirkan resume proposal dan ijin penelitian untuk

mendapatkan izin dari Dinkes, peneliti menetapkan calon partisipan sesuai

dengan kriteria partisipan berdasarkan data dari koordinator lapangan yang

ditunjuk oleh Kepala Puskesmas. Setelah mendapatkan informasi secara

umum mengenai kondisi partisipan.

4.7.2. Tahap pelaksanaan

Pada tahap pelaksanaan penelitian, peneliti akan melakukan

wawancara dengan tiga fase yaitu fase orientasi, fase kerja dan fase terminasi.

Pada fase orientasi, peneliti menanyakan kondisi kesehatan partisipan

dan kesiapan untuk melakukan wawancara. Wawancara kualitattif cenderung

lama, maka sangat penting bagi peneliti untuk mempersiapkan partisipan

dengan memberitahukan tujuan penelitian dan perlindungan terhadap

kerahasiaan data dari partisipan.

Pada menit awal, peneliti berusaha menciptakan suasana nyaman

dengan partisipan. Percakapan diawali dengan ice breaking seperti

menanyakan keadaan kesehatan partisipan, aktifitas yang baru saja diikuti


140

atau hal lainnya yang dapat mencairkan suasana. Ekspresi wajah ramah,

tenang dan nada bicara yang rendah. Peneliti menciptakan suasana dan

lingkungan yang nyaman dengan duduk berhadapan dan menjaga privacy

partisipan dengan menempatkan partisipan sesuai tempat dan waktu

wawancara yang dipilih partisipan.

Peneliti segera menyiapkan alat perekam suara dan alat tulis yang

digunakan untuk merekam percakapan dan mengidentifikasi respon non

verbal partisipan selama wawancara. Sebelum wawancara dilakukan, peneliti

meletakkan posisi alat perekam suara pada posisi yang tepat agar dapat

merekam semua percakapan dengan jelas. Peneliti juga melakukan

wawancara pada partisipan dengan posisi berhadapan dengan jarak yang

cukup dekat (kurang lebih 50 – 100 cm), dengan pertimbangan alat perekam

suara dapat merekam pembicaraan dengan jelas. Alat perekam suara

diletakkan di tempat terbuka dengan jarak kurang 30 – 50 cm dari partisipan.

Pada fase kerja, peneliti memulai wawancara dengan mengajukan

pertanyaan inti untuk mendapatkan gambaran secara umum dari partisipan.

Selama proses wawancara berlangsung, peneliti menuliskan catatan

lapangan (field note) yang penting dengan tujuan penelitian untuk melengkapi

hasil wawancara agar tidak lupa dan membantu unsur kealamiahan data yang

didapatkan selama wawancara. Catatan lapangan digunakan untuk

mendokumentasikan suasana, ekspresi wajah, perilaku dan respon non verbal

partisipan selama proses wawancara. Catatan lapangan tersebut disusun ke

dalam suatu format panduan catatan lapangan yang menggambarkan respon


141

partisipan selama wawancara berlangsung. Catatan lapangan ditulis, ketika

wawancara berlangsung dan digabungkan pada transkrip.

4.7.3. Tahap Terminasi

Wawancara diakhiri oleh peneliti, setelah kelengkapan dan kedalaman

data sudah didapatkan. Pertanyaan yang diajukan diakhir wawancara adalah

“Adakah hal lain yang ingin Saudara sampaikan kepada saya ?” Peneliti

menutup wawancara dengan mengucapkan terima kasih atas partisipasi dan

kerjasamanya selama wawancara.

4.8. Alat bantu pengumpulan data

Alat pengumpulan data yang paling utama digunakan dalam penelitian

kualitatif adalah peneliti sebagai instrument sehingga kelayakan atau validasi

hasil uji coba ini didasarkan pada kemampuan peneliti dalam melakukan

wawancara, mencatat hasil observasi dalam fild notes, kualitas pertanyaan

serta kualitas hasil rekaman. (Patilima, 2007).

Alat bantu pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan tape recorder melalui hand phone, fild notes, dan alat tulis

(bolpoint). Pada penelitian ini, alat bantu rekaman yang digunakan adalah

hand phone yang dapat merekam suara sampai dengan kualitas rekaman high

quality. Untuk mencegah adanya telefon yang masuk pada saat dilakukan

wawancara dengan informan, maka peneliti tidak mengaktifkan jaringan

signal pada hand phone. Peneliti melakukan uji coba alat perekam suara

sebelum wawancara dilakukan langsung kepada informan, uji coba alat


142

perekam suara dilakukan dengan cara merekam suara peneliti sendiri

kemudian dilakukan pemutaran ulang untuk mendengarkan volume dan

kualitas suara yang direkam, jika hasil rekaman dapat di dengar dengan jelas

maka dapat dikatakan alat perekam suara berfungsi dengan baik.

Alat bantu lain adalah field notes beserta alat tulisnya (bolpoint),

sebelumnya alat tulis tersebut diuji terlebih dahulu apakah dapat digunakan

dengan baik, sehingga saat dipergunakan tidak menghambat proses

penelitian, peneliti juga menyediakan beberapa alat tulis (bolpoint) siap pakai.

4.9. Wawancara mendalam


Wawancara mendalam (indeepth interview) merupakan metode

pengumpulan data. Peneliti melakukan kegiatan wawancara tatap muka secara

mendalam dan terus menerus (lebih dari satu kali) untuk menggali informasi dari

informan. Wawancara mendalam adalah wawancara secara intensif untuk

mendapatkan data menyeluruh dan mendalam. (Kriyantono, 2009)


Penelitian ini akan menggunakan jenis wawancara mendalam semi

terstruktur, dimana peneliti akan merancang panduan wawancara terlebih dahulu

untuk kemudian ditanyakan sebagai pertanyaan utama yang akan diprobing terus

menerus sampai peneliti memahami makna keseluruhannya. (Kriyantono,2009)


4.10. Metode pengumpulan data

Data yang terkumpul dari hasil wawancara mendalam selanjutnya dibuat

dalam bentuk transkrip, kemudian disederhanakan dalam bentuk matriks. Matriks

ini kemudian dicari kata kuncinya. Uji keabsahan dilakukan dengan teknik

triangulasi data (Bungin, 2010). Proses triangulasi yaitu dengan melakukan

crosscheck. Crosscheck yang dilakukan terdiri dari crosscheck data, obeservasi


143

dan telaah dokumen. Kemudian dilakukan triangulasi sumber yaitu crosscheck

dengan informan lain dengan melibatkan teman sejawat yang tidak terlibat dalam

penelitian ini untuk menelaah validitas data.

Peneliti menggunanakan triangulasi sebagai teknik untuk mengecek

keabsahan data. Dalam pengertiannya triaangulasi adalah teknik pemeriksaan

keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yangn lain dalam membandingkan

hasil wawancara terhadap objek penelitian. (Moeloeng, 2004)

Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang berbeda

(Nasution, 2003) yaitu wawancara, observasi dan dokumen. Triangulasi ini selain

digunakan untuk mengecek kebenaran data juga dilakukan untuk memperkaya

data. Menurut Nasution, selain itu triangulasi juga dapat berguna untuk

menyelidiki validitas tafsiran peneliti terhadap data, karena itu triangulasi bersifat

reflektif. Proses triangulasi dilakukan secara terus – menerus sepanjang proses

mengumpulkan data dan analisis data, sampai suatu saat peneliti yakin bahswa

sudah tidak ada lagi perbedaan – perbedaan dan tidak ada lagi yang perlu

dikonfirmasi kepada informan. Triangulasi yang digunakan oleh peneliti adalah

sebagai berikut :

4.10.1. Triangulasi sumber


Triangulasi sumber, untuk menguji kredibilitas data, dilakukan

dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa.

langkah triangulasi dengan sumber, adalah :


1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil

wawancara
2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan

apa yang dikatakan secara pribadi.


144

3. Membandingkan apa yang dikatakan orang – orang tentang situasi

penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang penelitian.


4. Membandingkan keadaan dan prosfektif seseorang dengan berbagai

pendapat dan pandangan orang dari berbagai informan.


5. Hasil data dideskripsikan, dikategorikan, mana pandangan yang

sama, mana pandangan yang berbeda, dan secara spesifik dari

berbagai sumber. Data yang telah dianalisis oleh peneliti sehingga

menghasilkan suatu kesimpulan selanjutnya dimintakan kesepakatan

dengan tiga sumber data tersebut.


4.10.2. Triangulasi metode
Triangulasi metode untuk menguji kredibilitas data yang dilakukan dengan

cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan metode yang

berbeda. Pada triangulasi dengan metode terdapat 2 strategi, yaitu :


1. Pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa

teknik pengumpulan data.


2. Pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode

yang sama.

4.11. Pengolahan Data


Data hasil wawancara mendalam akan diolah menggunakan Oppo F3

sebagai alat bantu untuk pengumpulan informasi dan mempermudah proses

pengolahan data yaitu untuk proses transkripsi dan pembuatan matriks untuk

pengelompokan jawaban informan atas pertanyaan yang diberikan untuk

kemudian dilakukan analisis lebih lanjut. Peneliti dan tim akan melakukan cek

silang data.

4.12. Metode analisis data


Pada penelitian ini, analisis data akan dilakukan dengan Proses analisis

data akan dimulai dengan membaca ulang seluruh data yang telah terkumpul. Data
145

ini antara lain akan berupa transkrip wawancara, catatan lapangan hasil observasi,

berita media massa, laporan program yang relevan dan dokumen lainnya.

Membaca ulang berkali-kali ditujukan bagi pemahaman yang menyeluruh atas

data yang telah terkumpul dan untuk mendapatkan insight.


Bersamaan dengan proses membaca ulang berkali – kali, peneliti akan

secara bertahap mengurangi data yang dianggap tumpang tindih dan berulang

(redundant). Langkah selanjutnya adalah menentukan penting tidaknya bagian –

bagian data yang ada dalam rangka menjawab pertanyaan dan tujuan penelitian.

Pertanyaan reflektif untuk mendukung proses ini adalah apa informasi penting

yang ingin disampaikan data ini?.


Tahap keempat dan merupakan salah satu tahap terpenting adalah

membuat klasifikasi atau koding berdasarkan kemiripan, keumuman atau

kecocokan dengan data lain. Langkah ini secara simultan dilanjutkan dengan

langkah melakukan labeling untuk memudahkan penyusunan pola atau tema.

Penyusunan pola atau tema akan dibuat bertahap dan berkelanjutan sesuai data

yang telah dianalisis dan tetap membuka kemungkinan berubah sesuai kemajuan

proses analisis. Pola atau tema disusun sebagai pengikat pikiran yang satu dengan

pikiran yang lain. Langkah terakhir adalah mengkonstruksi framework atau

kerangka kerja untuk mendapatkan esensi dari apa yang hendak disampaikan data

tersebut.
Khusus untuk proses pengkodean (coding), peneliti akan merujuk pada

saran Cresswell (dalam Raco 2010) sebagai berikut : a) mencari arti keseluruhan,

memilih yang paling penting dan paling singkat, b) menanyakan secara reflektif

apa yang disampaikan oleh data tersebut dan mencari arti yang terkandung dalam

data tersebut, c) membuat catatan pada setiap statement atau memilih topic
146

berdasarkan setting dan konteks, perspektif partisipan, cara berpikir partisipan,

proses, aktifitas, strategi hubungan atau struktur sosial, d) membuat daftar kode

sesuai kemiripan dan menghilangkan yang tumpang tindih. Hasil coding inilah

yang akan membentuk tema atau pola. Fungsi kode adalah membuat tema utama

yang akan disederhanakan menjadi beberapa tema utama (5-7 tema / pola).
Terdapat beberapa tipe tema yang diharapkan penulis akan muncul yakni :

tema biasa yaitu tema yang sudah diduga oleh peneliti, tema baru yaitu tema yang

muncul di luar dugaan peneliti sebelumnya dan tema – tema tambahan yang

mungkin membutuhkan klasifikasi khusus. Tema akan menjadi dasar refleksi

peneliti. Tema inilah yang selanjutnya akan disusun menjadi framework dan

diinterpretasi dengan merujuk pada penelitian – penelitian lainnya.


Analisa data pada penelitian ini dengan menggunakan konsep spradley.

Data dianalisa pertama kali dengan analisis domain, kemudian analisis toksonomi,

analisis komponensial dan analisis tema. Untuk menemukan domain digunakan

analisa hubungan semantik antar kategori (semantik relationship).


Selanjutnya dilakukan triangulasi untuk meningkatkan validitas data

dengan melalukan triangulasi sumber dengan melakukan crosschek dengan

sumber lain. Selain itu dilakukan triangulasi metode dengan melakukan

pengumpulan data wawancara mendalam dengan informan dan telaah kebijakan,

serta triangulasi data dengan melakukan crosscheck dengan data yang diperoleh

dengan cara yang berbeda.


Data-data yang diperoleh akan dianalisis, diperinci secara sistematis dan

selanjutnya diinterpretasikan sesuai dengan tujuan penelitian yang telah

dirumuskan. Data – data yang diperoleh kemudian dianalisis berdasarkan daya

nalar dan pola pikir dalam menghubungkan fakta – fakta informasi dan kemudian
147

diambil kesimpulan dan disajikan dalam matrik menurut variabel yang diteliti.
Dalam menganalisa penelitian kualitatif terdapat beberapa tahapan-

tahapan yang perlu dilakukan (Marshall dan Rosman dalam Kabalmay, 2002),

diantaranya :

4.12.1 Mengorganisasikan data


Peneliti mendapatkan data langsung dari subjek melalui

wawancara mendalam (Indeeph interview), data tersebut direkam dengan

tape recorder dibantu alat tulis lainnya. Kemudian dibuatkan transkripnya

dengan mengubah hasil wawancara dari bentuk rekaman menjadi bentuk

tertulis secara verbatim. Data yang telah didapat dibaca berulang – ulang,

agar penulis mengerti benar data atau hasil yang terhadap hasil yang telah

didapatkan.
Pengelompokkan berdasarkan kategori,tema dan pola jabatan. Pada

tahap ini dibutuhkan pengertian yang mendalam terhadap data, perhatian

yang penuh dan keterbukaan terhadap hal – hal yang muncul di luar apa

yang ingin digali. Berdasarkan kerangka teori dan pedoman wawancara,

peneliti menyususn sebuah kerangka awal analisis sebagai acuan dan

pedoman dalam melakukan coding. Dengan pedoman ini, peneliti

kemudian kembali membaca transkrip wawancara dan melakukan coding,

melakukan pemilihan data yang relevan dengan pokok pembicaraan. Data

yang relevan diberi kode dan penjelasan singkat, kemudian dikelompokan

atau dikategorikan berdasarkan kerangka analisis yang telah dibuat. Pada

penelitian ini, analisis dilakukan terhadap sebuah kasus yang diteliti.

Peneliti menganalisis hasil wawancara berdasarkan pemahaman terhadap


148

hal – hal yang diungkap oleh responden. Data yang telah dikelompokkan

tersebut oleh peneliti dicoba untuk dipahami secara utuh dan ditemukan

tema – tema penting serta kata kuncinya. Sehingga peneliti dapat

memperoleh pengalaman, permasalahan, dan dinamika yang terjadi pada

subyek.
4.12.2 Menguji asumsi atau permasalahan yang ada terhadap data
Setelah kategori pola data tergambar dengan jelas, peneliti menguji

data tersebut terhadap asumsi yang dikembangkan dalam penelitian ini.

Pada tahap ini kategori yang telah didapat melalui analisis ditinjau kembali

berdasarkan landasan teori yang telah dijabarkan dalam bab II, sehingga

dapat dicocokan apakah ada kesamaan antara landasan teoritis dengan

hasil yang dicapai. Walaupun penelitian ini tidak memiliki hipotesis

tertentu, namun dari landasan teori dapat dibuat asumsi mengenai

hubungan antara konsep – konsep dan faktor – faktor yang ada.


4.12.3 .Mencari alternatif penjelasan bagi data
Setelah kaitan antara kategori dan pola data dengan asumsi

terwujud, peneliti masuk kedalam tahap penjelasan. Dan berdasarkan

kesimpulan yang telah didapat dari kaitannya tersebut, penulis merasa

perlu mencari suatu alternative penjelasan lain tentang kesimpulan yang

telah didapat. Sebab dalam penelitian kualitatif memang selalu ada

alternatif penjelasan yang lain. Dari hasil analisis, ada kemungkinan

terdapat hal - hal yang menyimpang dari asumsi atau tidak terfikir

sebelumnya. Pada tahap ini akan dijelaskan dengan alternative lain melalui

referensi atau teori – teori lain. Alternatif ini akan sangat berguna pada

bagian pembahasan, kesimpulan dan saran.


149

4.12.4 Menulis hasil penelitian


Penulisan data subjek yang telah berhasil dikumpulkan merupakan

suatu hal yang membantu penulis untuk memeriksa kembali apakah

kesimpulan yang dibuat telah selesai. Dalam penelitian ini, penulis yang

dipakai adalah persentase data yang didapat yaitu penulisan data – data

hasil penelitian berdasarkan wawancara. Proses dimulai dari data – data

yang diperoleh dari subjek, dibaca berulang kali sehingga penulis mengerti

benar permasalahannya, kemudian dianalisis, sehingga diperoleh

gambaran mengenai pengalaman dari subjek. Selanjutnya dilakukan

interpretasi secara keseluruhan, yang mencakup keseluruhan kesimpulan

dari hasil penelitian.


4.12.5 Interpertasi data
Interpretasi data juga berarti mencari hal baru, unik atau signifikan.

Dalam interpretasi, peneliti juga akan mencari apakah ada hubungan

antara apa yang diduga sebelumnya dengan findings yang

diperoleh,bagaimana hubungannya dengan kerangka konsep atau

penelitian – penelitian sebelumnya. Secara sederhana proses dan ruang

lingkup interpretasi hasil penelitian akan mengikuti hal – hal sebagai

berikut :
150

Gambar 4.1
Proses dan ruang lingkup interpretasi data

Proses melihat dan membaca kembali hasil analisis data yang

diperlukan untuk memperoleh makna terdalam dari data yang ada, yang

selanjutnya akan dikonfrontasi dengan kerangka fikir dan hasil – hasil

penelitian lain dengan topik yang sama. Pada proses interpretasi ini akan

dilakukan identifikasi perbedaan dan persamaan hasil penelitian ini dengan

kerangka konsep yang digunakan dan hasil – hasil penelitian sebelumnya.

Kemudian dibahas pula apa kekurangan dan kelebihan penelitian ini

dibandingkan penelitian yang lain.


Sementara itu penilaian terhadap tempat, konteks dan subjek

penelitian juga akan diberikan dan dibandingkan dengan penelitian –

penelitian lain agar dapat memperoleh kesimpulan terhadap dampak

penelitian ini kepada kebijakan program pencegahan HIV pada WPS di

Wilayah Binaan KPAP Provinsi DKI Jakarta tetap sesuai dan ruang

lingkup, tempat dan konteks subjek penelitian ini.


Dalam sistematika penulisan penelitian untuk tujuan tesis ini,

interpretasi data akan diletakkan pada bagian pembahasan.


151

4.13 Rencana Pemeriksaan Keabsahan Data dan Hasil Penelitian


1) Autentitas
Metode kualitatif lebih tepat menggunakan istilah “autentitas” dari pada

validitas (Raco, 2010). Sebab istilah autentitas lebih berarti memberikan

deskripsi, keterangan, informasi yang fair dan jujur. Interpretasi harus

berdasarkan informasi yang disampaikan oleh patisipan dan bukan

karangan peneliti sendiri. Jadi untuk pemaparan bagian ini, peneliti akan

secara konsisten menggunakan istilah autentitas dari pada validitas.


Melakukan proses autentitas berarti peneliti menentukan akurasi dan

kredibilitas hasil melalui strategi yang tepat. Cara yang akan ditempuh

peneliti untuk menjamin autentitas data (akurasi dan kredibilitas data)

adalah: Melakukan proses autentitas berarti peneliti melakukan akurasi

dan kredibilitas hasil melalui strategi yang tepat. Cara yang akan

ditempuh peneliti untuk menjamin autentitas data (akurasi dan kredibilitas

data) adalah:
a. Triangulasi
Triangulasi data akan dilakukan melalui tiga strategi dasar yaitu

triangulasi metode (menggunakan beberapa metode untuk

pengumpulan data), triangulasi sumber (menggunakan beberapa

metode untuk pengumpulan data), dan triangulasi analisis

(menggunakan lebih banyak peneliti). Triangulasi metode dan

sumber informasi sudah peneliti rencanakan seperti tercantum

dalam metode pengumpulan data dan sampel penelitian, sementara

untuk triangulasi analisis peneliti akan melibatkan Direktur RS


152

Harapan Jayakarta dan BPJS Kesehatan sebagai pelaksana program

pembiayaan BPJS pada RS swasta.


b. Kredibilitas peneliti
Metode kualitatif menghendaki bahwa peneliti memiliki

pengetahuan yang cukup terhadap bidang penelitiannya,

mempunyai kompetensi, memahami metodologi penelitian,

mempunyai waktu yang memadai untuk terlibat dan memahami

konteks dan mampu menghadirkan bahan – bahan yang berkualitas

yang dapat mendukung penelitian ini, seperti : buku, jurnal, dan

menjamin kredibilitas hasil.


c. Reliabilitas
Peneliti dapat melihat aspek reliabilitas sebuah penelitian kualitatif

melalui: ketajaman observasi, analisis teks, interview dan transkrip

dari pembicaraan yang terjadi dilingkungan alamiah penelitian.

Gambar 4.2. Upaya Peningkatan Reliabilitas Penelitian

Untuk menjamin reliabilitas data penelitian, penulis akan melakukan

beberapa strategi:
153

4.13.1 Mempertahankan kualitas interview


Dalam hal ini partisipan harus mengerti pertanyaan atas cara yang sama,

sehingga jawabannya dapat di coding tanpa kemungkinan ketidakpastian.

Ini akan dicapai dengan cara mnguji alat wawancara dan melatih

pewawancara secara memadai.


4.13.2. Menilai kebenaran
Adalah nilai kebenaran (truth value). Artinya deskripsi dari pengalaman

partisipan adalah benar seperti yang mereka alami dan hidupi (Raco,

2010).

4.13.3. Bahan hasil wawancara


Benar – benar sesuai dengan apa yang dikatakan. Hasil wawancara ini

dapat dicek kebenarannya dengan mendengar kembali wawancara

tersebut, sehingga netralitas peneliti tetap terjaga.


4.13.4. Kualitas observasi
Peneliti akan berusaha semaksimal mungkin menguasai lapangan,

mengetahui secara persis apa yang terjadi di lapangan serta mengetahui

budaya yang diteliti.

Anda mungkin juga menyukai