Anda di halaman 1dari 25

Universal Health Coverage (UHC)

BAB I
PENDAHULUAN

1. Pengertian UHC
WHO telah menyepakati tercapainya universal health coverage (UHC) tahun
2014. Universal health coverage merupakan sistem kesehatan yang memastikan
setiap warga dalam populasi memiliki akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bermutu dengan biaya terjangkau.
Cakupan universal mengandung dua elemen inti yakni akses pelayanan kesehatan
yang adil dan bermutu bagi setiap warga, dan perlindungan risiko finansial ketika
warga menggunakan pelayanan kesehatan.

2. Latar belakang UHC

Dalam rangka menuju penjaminan kesehatan yang lebih baik dan menyeluruh,
pemerintah Indonesia menetapkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN
(Sistem Jaminan Sosial Nasional) dimana jaminan kesehatan merupakan prioritas
yang akan dikembangkan untuk mencapai Universal Health Coverage. Pemerintah
bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Sistem
Jaminan Sosial Nasional bagi upaya kesehatan perorangan berdasarkan bunyi Pasal
20 (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Berdasarkan
Peraturan Presiden RI No. 12 Tahun 2013, pemerintah juga bertanggung jawab atas
pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat melalui BPJS Kesehatan yang
merupakan badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program
JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) bagi seluruh rakyat.
Dalam rangka menuju penjaminan kesehatan yang lebih baik dan menyeluruh,
pemerintah Indonesia menetapkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN
(Sistem Jaminan Sosial Nasional) dimana jaminan kesehatan merupakan prioritas
yang akan dikembangkan untuk mencapai Universal Health Coverage. Pemerintah
bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Sistem
Jaminan Sosial Nasional bagi upaya kesehatan perorangan berdasarkan bunyi Pasal
20 (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Berdasarkan
Peraturan Presiden RI No. 12 Tahun 2013, pemerintah juga bertanggung jawab atas
pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat melalui BPJS Kesehatan yang
merupakan badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program
JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) bagi seluruh rakyat.
3.Tujuan dan Manfaat UHC
UHC dalam padangan Prof. Amartya Sen, penerima Hadiah Nobel Bidang
Ekonomi tahun 1998, adalah “mimpi yang terjangkau”. Selain itu, ‘The Commission
on Health Employment and Economic Growth’ bulan September 2016, menjelaskan
bahwa investasi pada sektor kesehatan tidak hanya berdampak meningkatkan populasi
yang sehat, tetapi juga menciptakan lapangan pekerjaaan dan mendorong
pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, UHC tidak hanya menjamin dan menjaga
kesehatan, tetapi juga kesejahteraan individu dan masyarakat. UHC meningkatkan
lowongan pekerjaan dan peluang ekonomi, khususnya bagi perempuan dan pemuda,
sebagai bagian dari program mengakhiri kemiskinan. WHO memperkirakan bahwa
biaya untuk pelayanan kesehatan global, telah mendorong 100 juta orang ke dalam
kemiskinan setiap tahun. Secara global, 20-40% sumber daya yang dihabiskan untuk
sektor kesehatan, ternyata terbuang percuma. Penyebab yang umum adalah
inefisiensi, duplikasi pelayanan, dan penggunaan obat dan teknologi kedokteran yang
berlebihan. Dengan menerapkan UHC tentu saja akan membantu semua pihak, untuk
menghilangkan kemiskinan ini.
4.Hasil yang diharapkan
Pemerintah menargetkan Indonesia akan mencapai Universal Health Coverage
(UHC) atau cakupan kesehatan menyeluruh bagi seluruh penduduk Indonesia pada
1 Januari 2019 mendatang. Setiap tahun BPJS Kesehatan menargetkan jumlah
penduduk yang menjadi peserta terus bertambah dari 156,7 juta jiwa (2015) ke 188,7
juta (2016), 223 juta (2017), 235,1 juta (2018), dan mencapai 257,5 juta atau seluruh
penduduk pada 2019. Contoh hasil yang telah dicapai yakni telah dibuktikan oleh
banyak negara dalam beberapa tahun terakhir, yang telah menambah cakupan layanan
kesehatan utama dan jaminan pembiayaan untuk warganya. Jepang, Moldova, Peru,
Sri Lanka, Thailand dan Turki telah menunjukkan bahwa negara dapat membuat
kemajuan dramatis terhadap UHC, melalui reformasi sistem kesehatan yang dapat
memberikan manfaat dalam bidang kesehatan, ekonomi, dan politik yang cukup
besar. Selain itu, Perancis pada tahun 2008 telah menghemat hampir US$ 2 miliar
dengan sistem jaminan kesehatan yang sedapat mungkin menggunakan obat generik.
Dengan cara yang serupa, peningkatan akses anak ke layanan kesehatan dengan
obat generik yang terjangkau, diprediksi mampu mencegah atau memperbaiki
penyakit, yang menyebabkan lebih dari 8,1 juta kematian anak balita setiap tahun
secara global. Thailand telah menerapkan sistem pembayaran satu paket layanan
kesehatan dari dana prabayar, yaitu campuran pajak dan kontribusi asuransi.
Kyrgyzstan telah menyatukan pendapatan umum dengan pajak penghasilan dan
asuransi. Ghana telah mendanai program kesehatan nasional dengan meningkatkan
pajak pertambahan nilai sebesar 2,5%. Semua kebijakan politik di berbagai negara
tersebut, bertujuan untuk meningkatkan anggaran jaminan kesehatan.
BAB II
KAJIAN TEORI

A. JAMINAN KESEHATAN SEBAGAI BAGIAN SISTEM KESEHATAN


NASIONAL
Jaminan kesehatan merupakan salah satu komponen dari sub sistem pendanaan
kesehatan. Sub sistem pendanaan kesehatan merupakan bagian dari Sistem Kesehatan
Nasional (SKN). Dengan demikian pengembangan jaminan kesehatan tidak bisa
dilepaskan dari sistem kesehatan secara keseluruhan yang tujuan akhirnya adalah
tercapainya derajat kesehatan penduduk Indonesia yang memungkinkan penduduk
produktif dan kompetitif dengan penduduk negara-negara tetangga.
Sistem Kesehatan Nasional pada prinsipnya terdiri dari dua bagian besar yaitu
sistem pendanaan dan sistem layanan kesehatan. Subsistem pendanaan kesehatan
menggambarkan dan mengatur sumber-sumber keuangan yang diperlukan untuk
terpenuhinya kebutuhan kesehatan penduduk. Pendanaan kesehatan dapat bersumber
dari:
1. Pendanaan langsung dari masyarakat (disebut out of pocket) yang dibayarkan dari
perorangan/rumah tangga kepada fasilitas kesehatan;
2. Pendanaan dari Pemerintah dan atau Pemda;
3. Pembayaran iuran asuransi sosial yang wajib sebagaimana diatur dalam UU SJSN;
4. endanaan oleh pihak ketiga, baik oleh pemberi kerja atau oleh peserta asuransi;
5. Bantuan pendanaan dari berbagai sumber baik dalam maupun luar negeri.
Berdasarkan UU Nomor 40/2004 tentang SJSN dan UU Nomor 36/2009 tentang
Kesehatan, pendanaan layanan kesehatan perorangan akan bertumpu dari iuran wajib
yang akan dikelola oleh BPJS Kesehatan. Sementara pendanaan bersumber dari kantong
perorangan/keluarga, pemberi kerja baik langsung atau melalui asuransi kesehatan
swasta akan menjadi sumber dana tambahan (top up) layanan kesehatan perorangan.
Sedangkan sumber dana dari Pemerintah/ Pemda tetap diperlukan untuk mendanai
bantuan iuran bagi penduduk miskin dan tidak mampu serta pendanaan program
kesehatan masyarakat yang tidak ditujukan untuk layanan orang per orang.
Dari sisi layanan kesehatan, UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran dan UU
44/2004 tentang Rumah Sakit mengatur layanan kesehatan perorangan yang dapat
disediakan oleh fasilitas kesehatan publik (milik Pemerintah/Pemda) dan oleh fasilitas
kesehatan swasta. Dalam konteks Jaminan Kesehatan Nasional untuk layanan kesehatan
perorangan, BPJS Kesehatan akan membeli layanan kesehatan dari fasilitas kesehatan
publik dan swasta dengan harga yang dinegosiasikan pada tingkat wilayah. Ketentuan
cara pembayaran dan besaran tarif negosiasi antara BPJS dan asosiasi fasilitas kesehatan
menggambarkan sistem kesehatan yang dipilih Indonesia berbasis pendanaan publik dan
layanan oleh swasta (Publicly funded, privately delivered). Model ini merupakan model
yang paling banyak diterapkan di dunia yang menjamin terwujudnya keadilan sosial
(ekuitas) dengan tingkat efisiensi yang tinggi.
Peran Pemda, sebagaimana diatur dalam UU 32/2004 pasal 22 adalah penyediaan
fasilitas kesehatan, baik tingkat primer (dokter praktik umum) maupun sekunder-tersier
oleh dokter spesialis di rumah sakit. Pemda wajib menyediakan fasilitas pelayanan
kesehatan karena tidak di semua daerah pihak swasta berminat menyediakan fasilitas
kesehatan karena pasar dan kondisi lingkungan yang tidak memadai. Sebagaimana diatur
oleh UUD 1945 pasal 34 ayat 3, Negara (telah didelegir kepada pemda berdasarkan UU
32/2004) bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, maka tidak
tertutup kemungkinan pihak swasta diberikan ijin mengadakan fasilitas kesehatan.
Dengan adanya BPJS Kesehatan, yang akan menjadi pembeli tunggal layanan kesehatan,
maka di suatu saat pihak swasta akan bersedia mengadakan fasilitas kesehatan di daerah-
daerah. Dengan demikian, pemerataan akses terhadap layanan kesehatan akan terwujud
setelah BPJS Kesehatan berperan optimal.
Untuk menunjang terwujudnya jaminan kesehatan untuk seluruh penduduk
(universal coverage) dan terwujudnya lingkungan dan prilaku yang sehat, maka
Pemerintah dan pemda tetap wajib mendanai dan berperan dalam program-program
kesehatan masyarakat yang dapat dinikmati (beneficiries) oleh masyarakat. Tidak
tertutup kemungkinan bahwa swasta juga berperan, namun karena sifat eksternalitas
yang tinggi dalam program kesehatan masyarakat, pada umumnya peran swasta akan
menjadi kompelemter dan atau suplementer. Untuk menunjang keberhasilan seluruh
Sistem Kesehatan Nasional (SKN), maka diperlukan pengaturan (PP/ Perpres/
Permenkes/ Permendagri/ Perda), SDM dalam berbagai disiplin, sistem informasi, sistem
administrasi, dan lain-lain yang menunjang keberhasilan sebuah SKN.
B. DIMENSI JAMINAN KESEHATAN UNTUK SELURUH PENDUDUK
(UNIVERSAL COVERAGE)
WHO merumuskan tiga dimensi dalam pencapaian universal coverage yaitu:
I. Seberapa besar prosentase penduduk yang dijamin
II. Seberapa lengkap pelayanan yang dijamin, serta
III. Seberapa besar proporsi biaya langsung yang masih ditanggung oleh penduduk.
Dimensi pertama adalah jumlah penduduk yang dijamin. Dimensi kedua adalah
layanan kesehatan yang dijamin, misalnya apakah hanya layanan di rumah sakit atau
termasuk juga layanan rawat jalan. Dimensi ketiga adalah proporsi biaya kesehatan yang
dijamin. Dapat saja seluruh penduduk dijamin biaya perawatan di rumah sakit, tetapi
setiap penduduk harus bayar sebagian biaya di rumah sakit. Perluasan jaminan ketiga
dimensi sangat tergantung pada kemampuan keuangan suatu negara dan pilihan
penduduknya. Makin kaya suatu negara, semakin mampu negara tersebut menjamin
seluruh penduduk untuk seluruh layanan kesehatan. Misalnya, Inggris menjamin layanan
kesehatan komprehensif, termasuk transplantasi organ, untuk seluruh penduduk.
Pendanaan jaminan dapat dilakukan dengan mekanisme asuransi sosial atau
mekanisme pajak. Tergantung dari kemauan politik pemerintah, makin banyak dana
yang tersedia maka makin banyak penduduk yang terlayani, makin komprehensif paket
pelayanannya serta makin kecil proporsi biaya yang harus ditanggung penduduk. Alokasi
atau pengumpulan dana yang terbatas berpengaruh terhadap komprehensif tidaknya
pelayanan yang dijamin serta proporsi biaya pengobatan/perawatan yang dijamin. Upaya
pencapaian universal coverage dapat dilakukan dengan prioritas perluasan penduduk
yang dijamin dengan layanan terbatas atau dengan porsi biaya layanan yang dijamin
terbatas.
Pentahapan cakupan universal sangat dipengaruhi oleh kemauan politik
Pemerintah, konsensus penduduk, dan kemampuan keuangan suatu negara. Konsentrasi
pertama adalah bagaimana agar dimensi pertama tercapai yaitu semua penduduk terjamin
sehingga setiap penduduk yang sakit tidak menjadi miskin karena beban biaya berobat
yang tinggi. Langkah berikutnya adalah memperluas layanan kesehatan yang dijamin
agar setiap orang dapat memenuhi kebutuhan medis (yang berarti semakin komprehensif
paket manfaatnya). Terakhir adalah peningkatan biaya medis yang dijamin sehingga
makin kecil proporsi biaya langsung yang ditanggung penduduk.
Sesuai dengan pengalaman masa lalu dan pengalaman penyediaan jaminan
kesehatan untuk pegawai negeri, maka Indonesia menghendaki jaminan kesehatan untuk
semua penduduk (dimensi I), menjamin semua penyakit (dimensi II) dan porsi biaya
yang menjadi tanggungan penduduk (dimensi III) sekecil mungkin. Namun demikian,
tingkat kenyamanan (kepuasan/pilihan) layanan dibatasi. Sebagai contoh, Askes PNS
menjamin layanan perawatan di kelas II RS publik (untuk golongan pangkat I dan II) dan
di kelas I RS publik (untuk golongan pangkat III dan IV). Tingkat pilihan/kepuasan
dibatasi dengan kelas perawatan, tetapi semua penyakit atau semua biaya perawatan
dijamin apabila peserta Askes dirawat sesuai kelas perawatan yang menjadi haknya. Jika
peserta menginginkan perawatan di ruang kelas yang lebih memuaskan, kelas VIP, maka
peserta Askes harus membayar selisih biayanya (dimensi III). Dengan demikian, sistem
jaminan/asuransi pegawai negeri menjamin pemenuhan kebutuhan medis dengan biaya
terkendali, meskipun sebagian tidak puas dengan kelas perawatan. Yang utama adalah
pemenuhan kebutuhan medis seluruh penduduk (dimensi I) dan seluruh penyakit dijamin
(dimensi II).
C. PRINSIP PROGRAM JAMINAN KESEHATAN
Jaminan kesehatan yang dirumuskan oleh UU SJSN adalah jaminan kesehatan
yang diselenggarkan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip
ekuitas sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat 1 UU SJSN.
Penjelasan Pasal 19 UU SJSN menyatakan bahwa yang dimaksud prinsip
asuransi sosial adalah:
1. Kegotong-royongan
2. Kepesertaan yang bersifat wajib dan tidak selektif
3. Iuran berdasarkan persentase upah/penghasilan
4. Bersifat nirlaba.
Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip ekuitas adalah kesamaan dalam
memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis yang tidak terikat dengan
besaran iuran yang telah dibayarkannya. Kesamaan memperoleh pelayanan adalah
kesamaan jangkauan finansial ke pelayanan kesehatan.
Kegotong-royongan adalah upaya bersama agar semua penduduk berkontribusi
(membayar iuran/ pajak) agar terkumpul (pool) dana untuk membiayai pengobatan siapa
saja yang sakit. Disinilah fungsi kegotong-royongan formal diwujudkan (karena setiap
orang diwajibkan mengiur/membayar pajak yang jumlahnya ditentukan). Dalam
kegotong-royongan informal yang telah lama berakar, kolega atau kerabat membantu
biaya pengobatan dengan menyumbang seikhlasnya (sukarela). Mekanisme sukarela ini
tidak menjamin kecukupan dana untuk biaya pengobatan. Dengan mekanisme formal
yang disebut risk-pooling, sumbangan berupa iuran wajib atau pajak diperhitungkan agar
mencukupi biaya berobat, siapapun yang sakit. Tergantung dari sistem kegotong-
royongan yang akan diterapkan, beberapa negara menerapkan kegotong-royongan di
antara penduduk di suatu daerah, di sektor pekerja yag sama (PNS, pegawai swasta,
petani, dan lain lain). Indonesia selama ini memiliki sistem yang terpecah
(terfragmentasi) seperti itu. Namun, UU SJSN dan UU BPJS telah menetapkan bahwa
Indonesia akan menuju satu kegotong-royongan Nasional dimana iuran dari seluruh
penduduk akan dikumpulkan (pool) dalam satu Dana Amanat yang akan dikelola oleh
BPJS Kesehatan.
Kebutuhan dasar kesehatan adalah kebutuhan akan layanan kesehatan yang
memungkinkan seseorang yang sakit dapat sembuh kembali sehingga ia dapat berfungsi
normal sesuai usianya. Anak-anak dapat kembali bermain dan belajar, orang dewasa
dapat kembali bekerja, dan penduduk lanjut usia (lansia) dapat menikmati kehidupan
sosialnya. Oleh karenanya, manfaat jaminan kesehatan mencakup layanan yang berbiaya
mahal seperti operasi jantung, perawatan di ruang intensif, dan cuci darah (hemodialisa).
Suatu jaminan kesehatan membutuhkan dana untuk membayar tenaga kesehatan, obat,
bahan habis pakai dan lain-lain.
Pengumpulan dana (revenue collection). Pengumpulan dana adalah proses
dimana dana harus bisa dikumpulkan (iuran dari peserta atau pajak dapat dikumpulkan
secara efektif dan efisien dari rumah tangga, pemberi kerja, pemerintah dan/atau
organisasi lain). Dana yang terkumpul harus mencukupi untuk membayar layanan
kesehatan dan berkelanjutan. Hanya ada dua cara pendanaan yang memungkinkan untuk
cakupan universal yaitu asuransi sosial dan pajak. Luasnya cakupan penduduk
menentukan kecukupan dana yang harus dikumpulkan. Keberadaan sistem ekonomi-
keuangan, keberadaan hubungan kerja formal (pekerja penerima upah), sistem
perpajakan yang handal, manfaat yang memadai dan kesadaran penduduk menentukan
kesinambungan pengumpulan dana.
Dengan memperhatikan konsep cakupan universal sebagaimana diuraikan diatas
maka pengelolaan jaminan kesehatan dalam SJSN adalah sebagai berikut:
1. Pengelolaannya tidak lagi terpisah-pisah menurut tempat tinggal melainkan
terintegrasi dalam BPJS Kesehatan secara nasional
2. Pendanaan berbasis asuransi sosial dimana semua penduduk wajib iur. Namun,
penduduk yang miskin dan tidak mampu akan mendapat bantuan iuran dari
Pemerintah.
3. Layanan kesehatan perorangan yang dijamin adalah semua layanan atas indikasi
medis mencakup upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang bersifat
layanan orang per orang.
4. Fasilitas kesehatan yang memproduksi layanan yang akan dibeli oleh BPJS adalah
faskes milik pemerintah dan/atau swasta.
5. Metode pembayaran yang efisien agar Dana Amanat digunakan secara optimal
adalah cara pembayaran prospektif seperti pembayaran kapitasi untuk rawat jalan
primer dan pembayaran DRG (Diagnosis Related Group) yang di Indonesia telah
dikenal dengan INA-CBG untuk rawat jalan sekuder (rujukan) dan rawat inap.
6. Dengan pengelolaan oleh satu BPJS, maka sistem administrasi pengumpulan dana,
pembelanjaan, klaim, pelaporan dan lain-lain akan menjadi lebih efisien dan
memudahkan difahami oleh seluruh peserta dan seluruh pengelola fasilitas
kesehatan.
D. PESERTA JAMINAN KESEHATAN
Peserta Jaminan kesehatan dibagi ke dalam 2 kelompok:
1. PBI jaminan Kesehatan
Penerima Bantuan Iuran (PBI) adalah peserta Jaminan Kesehatan bagi fakir
miskin dan orang tidak mampu sebagaimana diamanatkan UU SJSN yang
iurannya dibayari pemerintah sebagai peserta program Jaminan Kesehatan.
Peserta PBI adalah fakir miskin yang ditetapkan oleh pemerintah dan diatur
melalui peraturan pemerintah
2. Non PBI Jaminan Kesehatan
Peserta Non PBI terdiri dari:
1. Pekerja penerima upah dan anggota keluarganya
2. Pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya
3. Bukan pekerja dan anggota keluarganya
E. LANDASAN HUKUM
Landasan hukum yang mengatur tentang Jaminan Kesehatan Nasional:
a. Turunan peraturan UU SJSN
Beberapa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang harus disusun sebagai
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 khususnya terkait dengan
jaminan kesehatan adalah:
1. Peraturan Pemerintah tentang Penerima Bantuan Iuran (PP PBI), PP ini sebagai
pelaksanaan Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 17 ayat (6) UU SJSN.
2. Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan Peraturan Presiden ini mengatur
mengenai program jaminan kesehatan yang materinya meliputi substansi Pasal
21-Pasal 28 UU SJSN jo Pasal 19 UU BPJS.
b. Turunan peraturan UU BPJS
Beberapa pengaturan pelaksanaan yang perlu disusun dapat disatukan dengan
pengaturan pelaksanaan berdasarkan amanat UU SJSN. Beberapa pengaturan harus
dilakukan secara terpisah karena substansinya yang khusus, yaitu:
1. Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan UU No. 24 Th 2011 tentang BPJS
2. Peraturan Pemerintah tentang Modal Awal BPJS, yakni penganggaran dalam UU
AOBN tahun 2013
3. Peraturan Presiden tentang Tata Cara Pemilihan dan Penetapan Dewan Pengawas
dan Direksi BPJS yaitu Pasal 31, Pasal 36, dan Pasal 44
4. Keputusan Presiden tentang Pengangkatan Dewan Komisaris dan Direksi PT.
Askes (Persero) menjadi Dewan pengawas dan Direksi BPJS Kesehatan Pasal 59
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011

Definisi BPJS kesehatan

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) adalah badan


hukum publik yang bertanggungjawab kepada Presiden dan berfungsi
menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia
termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia.

Adapun Menurut Wikipedia BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan


Sosial Kesehatan) adalah Badan Usaha Milik Negara yang ditugaskan khusus oleh
pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi
seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun
PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya dan
Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa.

1. Latar belakang BPJS


Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS merupakan lembaga yang
dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial di indonesia menurut
Undang-Undang No 40 Tahun 2004 dan Undang-Undang No 24 Tahun 2011
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Berdasarkan Undang-Undang No
24 Tahun 2011, BPJS akan menggantikan sejumlah lembaga jaminan sosial yang
ada di indonesia yaitu lembaga asuransi jaminan kesehatan PT Askes menjadi
BPJS Kesehatan dan lembaga jaminan sosial ketenagakerjaan PT Jamsostek
menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Transpormasi PT Askes dan PT Jamsostek
menjadi BPJS dilakukan secara bertahap. Pada awal 2014, PT Askes akan
menjadi BPJS Kesehatan, selanjutnya pada 2015 giliran PT Jamsostek menjadi
BPJS Ketenagakerjaan.
Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan
keluarganya merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh segenap bangsa-bangsa
di dunia, termasuk Indonesia. Pengakuan itu tercantum dalam Deklarasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi Manusia. Pasal 25
Ayat (1) Deklarasi menyatakan, setiap orang berhak atas derajat hidup yang
memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya termasuk
hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan
sosial yang diperlukan dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita
sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang
mengakibatkan kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya.

2. Tujuan dan Manfaat BPJS


Ada 2 (dua) manfaat Jaminan Kesehatan, yakni berupa pelayanan kesehatan dan
Manfaat non medis meliputi akomodasi dan ambulans. Ambulans hanya diberikan
untuk pasien rujukan dari Fasilitas Kesehatan dengan kondisi tertentu yang
ditetapkan oleh BPJS Kesehatan.
Paket manfaat yang diterima dalam program JKN ini adalah komprehensive
sesuai kebutuhan medis. Dengan demikian pelayanan yang diberikan bersifat
paripurna (preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif) tidak dipengaruhi oleh
besarnya biaya premi bagi peserta. Promotif dan preventif yang diberikan dalam
konteks upaya kesehatan perorangan (personal care). Manfaat pelayanan promotif
dan preventif meliputi pemberian pelayanan:
a. Penyuluhan kesehatan perorangan, meliputi paling sedikit penyuluhan
mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat.
b. Imunisasi dasar, meliputi Baccile Calmett Guerin (BCG), Difteri Pertusis
Tetanus dan HepatitisB (DPTHB), Polio, dan Campak.
c. Keluarga berencana, meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi, dan
tubektomi bekerja sama dengan lembaga yang membidangi keluarga berencana.
Vaksin untuk imunisasi dasar dan alat kontrasepsi dasar disediakan oleh
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
d. Skrining kesehatan, diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi
risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu.

4. Cara mendaftar kepesertaan BPJS

Pendaftaran BPJS dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu daftar melalui situs online
atau datang langsung ke Kantor BPJS Kesehatan dengan membawa persyaratan
yang diperlukan. Syarat daftar bpjs yaitu : Fotocopy KK, Fotocopy KTP, Fotokopi
Buku Tabungan, Pasfoto berwarna 3×4 3 Lembar, Jika sudah menikah lampirkan
buku nikah

1. Mengisi Formulir Pendaftaran

Setelah anda datang ke kantor BPJS dan membawa semua persyaratan untuk
mendaftar BPJS maka anda selanjutnya mengisi formulir pendaftaran yang telah
disediakan. Isi formulir dengan benar, seperti nama lengkap, tanggal lahir, alamat,
sampai memilih Faskes 1.

2. Bayar Iuran Pertama

Setelah anda mengajukan pendaftaran baik Online maupun Offline di kantor BPJS
maka anda akan mendapatkan nomor virtual account atau kode bank untuk
pembayaran iuran pertama, pembayaran iuran pertama dapat dilakukan setelah 14 hari
sejak hari pendaftaran.

Pembayaran iuran BPJS bisa dilakukan melalui ATM atau bank terdekat yang saat ini
sudah bekerjasama yaitu bank BRI, BNI dan Mandiri. Iuran yang harus dibayar sesuai
dengan kelas yang dipilih dikali dengan jumlah anggota keluarga yang didaftarkan
(jika anda mendaftarkan keluarga).

Adapun biaya iuran peserta berdasarkan kelas yaitu untuk kelas 1 sebesar Rp80.000
per orang perbulan, untuk kelas 2 sebesar Rp51.000 perorang perbulan dan untuk
kelas 3 sebesar Rp25.500 perorang perbulan.
Jika anda mendaftar sebagai peserta dari perusahaan (PPU) maka besar iurannya
adalah sebesar 5 persen dari gaji pokoknya, 2 persen dibayarkan oleh yang
bersangkutan dan 3 persen dibayarkan oleh perusahaan tempat pekerja bekerja.

3. Mendapat kartu BPJS Kesehatan yang berlaku di seluruh Indonesia

Setelah anda membayar iuran pertama atau premi bpjs berdasarkan kelas yang dipilih,
maka nantinya anda akan mendapat kartu BPJS Kesehatan yang menjadi bukti bahwa
Anda merupakan peserta JKN yang dibawa saat akan berobat.

Anda berhak mendapatkan jaminan kesehatan dari BPJS Kesehatan dengan


menunjukan syarat berupa kartu BPJS yang anda miliki. Saat ini fasilitas kesehatan
yang dimiliki pemerintah otomatis melayani JKN. Sementara fasilitas kesehatan milik
swasta yang dapat melayani JKN jumlahnya terus bertambah.

Pelayanan kesehatan yang layak sudah menjadi hak bagi seluruh warga negara
Indonesia seperti tertuang dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia pasal Pasal 28 H
ayat 3 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas Jaminan Sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat”. Ketentuan ini yang
menjadi dasar dicanangkannya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pembangunan
kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk
memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat
(1) dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Bidang kesehatan telah berupaya mewujudkan prioritas pembangunan bidang
kesehatan di seluruh wilayah Indonesia antara lain:
a. Memenuhi kebutuhan layanan kesehatan, perangkat dan alat kesehatan serta tenaga
kesehatan khususnya bagi penduduk di Pedesaan dan daerah terpencil sesuai situasi dan
kebutuhan daerah.
b. Implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional secara merata di seluruh Indonesia.
c. Peningkatan layanan kesehatan masyarakat dengan menginisisasi kartu “Indonesia Sehat”
Hambatan geografis, lemahnya SDM kesehatan, dan kurangnya sarana dan prasarana
kesehatan di sejumlah daerah menyebabkan sulitnya masyarakat mengakses pelayanan
kesehatan dasar dan rujukan meskipun sudah dijamin sebagai PBI program JKN hal ini
menyebabkan capaian program peningkatan pelayanan kesehatan menjadi tidak maksimal.
Untuk itu kesiapan lapangan yang meliputi ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan,
aksesibilitas, organisasi BPJS daerah, serta tingkat pengetahuan/kesadaran masyarakat
terhadap kesehatan, perlu dipenuhi untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan serta mendukung tercapainya Universal Health Coverage (UHC).
Mengacu pada sasaran pokok RPJMN 2020-2024 implementasi pemenuhan akses dan
mutu pelayanan kesehatan pada era JKN-KIS berdampak pada meningkatnya pemanfaatan
fasilitas pelayanan kesehatan oleh masyarakat, sehingga kebutuhan sarana prasarana fasilitas
kesehatan primer dan rujukan tingkat lanjut, tenaga kesehatan serta obat juga meningkat.
Pemerintah terus berupaya melakukan pembangunan bidang kesehatan untuk
meningkatkan akses masyarakat terhadap kesehatan yang berkualitas. Namun wilayah NKRI
yang begitu luas, tidak dapat dipungkiri bahwa masih terjadi permasalahan dalam upaya
pembangunan kesehatan antara lain disparitas status kesehatan,beban ganda penyakit, kinerja
pelayanan kesehatan yang rendah, perilaku masyarakat yang kurang mendukung pola hidup
bersih dan sehat, rendahnya kualitas, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan,
terbatasnya tenaga kesehatan dan distribusi tidak merata serta maldistribusi, rendahnya status
kesehatan penduduk miskin disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan
karena kendala geografis dan kendala biaya (cost barrier).
BAB III
PEMBAHASAN

A. Maksud dan Tujuan


Maksud: diperolehnya alternative kebijakan terkait pembayaran tarif pelayanan
kesehatan di FKTP, guna memaksimalkan pemberian pelayanan dan meningkatkan
status kesehatan masyarakat
Tujuan dilakukannya kajian ini adalah:
a. Diperolehnya sistem pembayaran kapitasi alternative di sejumlah wilayah
b. Diperolehnya informasi efektifitas pemanfatan dana kapitasi di Puskesmas
c. Diperolehnya mutu pelayanan kesehatan antara FKTP terakreditasi dan yang
belum terakreditasi
C. Lokasi Kegiatan
Daerah sampel untuk kajian ini antara lain di beberapa jumlah daerah umum di
Indonesia.
D. Ruang Lingkup
Unit analisis dari kajian ini yaitu Puskesmas yang ditentukan berdasarkan kriteria lokasi
(Daerah Umum Wahana Nusantara Sehat, dan daerah khusus) dengan metode purposive
sampling. Kajian ini akan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan
rancangan cross sectional, di mana data yang akan diambil berupa hasil Koordinasi,
Sinkronisasi dan Pengendalian yang dilakukan oleh Kementerian Lembaga X dan data
sekunder berupa informasi dari berbagai Kementerian/Lembaga. Data sekunder yang
akan digunakan untuk analisis meliputi data sampel BPJS Kesehatan, data Susenas dan
dokumen-dokumen regulasi yang relevan dengan topik kajian ini. Sedangkan data primer
diambil melalui wawancara mendalam dengan responden Dinas Kesehatan, kepala
puskesmas, Dokter Praktik Mandiri (DPM), kepala klinik swasta dan pasien dengan
menggunakan metode purposive sampling.
E. Keluaran yang Diinginkan
Merujuk pada Buku Pedoman Penyusunan Laporan Kinerja Lembaga X Tahun 2019,
kajian ini diharapkan dapat memunculkan rekomendasi kebijakan yang tepat sasaran
sesuai dengan keadaan riil lapangan yang berupa laporan kajian sistem pembayaran
FKTP di Era Jaminan Kesehatan Nasional, dengan tahapan issue policy, analysis
policy, alternatives policy dan policy statement.
Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat,
yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 28 H ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan.

Dalam mewujudkan upaya tersebut, arah kebijakan program pembangunan Kementerian


Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan mengacu pada Visi
Presiden yaitu “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian
yang terintegrasi dengan RPJMN (2020-2024)”. Bidang kesehatan telah berupaya
mewujudkan prioritas pembangunan bidang kesehatan di seluruh wilayah Indonesia
antara lain:
d. Memenuhi kebutuhan layanan kesehatan, perangkat dan alat kesehatan serta tenaga
kesehatan khususnya bagi penduduk di Pedesaan dan daerah terpencil sesuai situasi
dan kebutuhan daerah.
e. Implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional secara merata di seluruh Indonesia.
f. Peningkatan layanan kesehatan masyarakat dengan menginisisasi kartu “Indonesia
Sehat”

Hambatan geografis, lemahnya SDM kesehatan, dan kurangnya sarana dan prasarana
kesehatan di sejumlah daerah menyebabkan sulitnya masyarakat mengakses pelayanan
kesehatan dasar dan rujukan meskipun sudah dijamin sebagai PBI program JKN hal ini
menyebabkan capaian program peningkatan pelayanan kesehatan menjadi tidak
maksimal. Untuk itu kesiapan lapangan yang meliputi ketersediaan fasilitas pelayanan
kesehatan, aksesibilitas, organisasi BPJS daerah, serta tingkat pengetahuan/kesadaran
masyarakat terhadap kesehatan, perlu dipenuhi untuk meningkatkan akses masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan serta mendukung tercapainya Universal Health Coverage
(UHC).

Mengacu pada sasaran pokok RPJMN 2020-2024 implementasi pemenuhan akses dan
mutu pelayanan kesehatan pada era JKN-KIS berdampak pada meningkatnya
pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh masyarakat, sehingga kebutuhan sarana
prasarana fasilitas kesehatan primer dan rujukan tingkat lanjut, tenaga kesehatan serta
obat juga meningkat.
Pemerintah terus berupaya melakukan pembangunan bidang kesehatan untuk
meningkatkan akses masyarakat terhadap kesehatan yang berkualitas. Namun wilayah
NKRI yang begitu luas, tidak dapat dipungkiri bahwa masih terjadi permasalahan dalam
upaya pembangunan kesehatan antara lain disparitas status kesehatan,beban ganda
penyakit, kinerja pelayanan kesehatan yang rendah, perilaku masyarakat yang kurang
mendukung pola hidup bersih dan sehat, rendahnya kualitas, pemerataan dan
keterjangkauan pelayanan kesehatan, terbatasnya tenaga kesehatan dan distribusi tidak
merata serta maldistribusi, rendahnya status kesehatan penduduk miskin disebabkan oleh
terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan karena kendala geografis dan kendala
biaya (cost barrier).

Pada tahun 2018 pelaksanaan pembayaran FKTP dan belum maksimal berdampak
terhadap utilisasi dan jumlah dokter, serta belum terdapat dorongan pemerintah daerah
dalam meningkatkan pembangunan wilayahnya. Berdasarkan hal tersebut terdapat
beberapa aspek yang perlu dikaji lebih lanjut. Aspek tersebut yaitu alternatif sistem
pembayaran FKTP di Era Jaminan Kesehatan Nasional serta analisis regulasi mengenai
sistem pembayaran fasilitas kesehatan

BPJS Kesehatan menerapkan sistem pembayaran kapitasi kepada FKTP, dengan tarif
kapitasi yang mengacu kepada Peraturan Menteri Kesehatan nomor 59 tahun 2014
tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan
Kesehatan Nasional, dengan besaran:
a. Puskesmas atau fasilitas kesehatan yang setara sebesar Rp 3.000,-sampai dengan Rp
6.000,-.
b. Rumah sakit Kelas D Pratama, klinik pratama, praktik dokter, atau fasilitas kesehatan
yang setara sebesar Rp 8.000,- sampai dengan Rp 10.000,-.
c. Praktik perorangan dokter gigi sebesar Rp 2.000,-.

Bagi daerah yang sudah dinyatakan daerah terpencil dan kepulauan maka fasilitas
kesehatannya dibayar tarif kapitasi khusus, dengan besaran dan ketentuan:
a. Dokter Rp 10.000,-
b. Bidan/Perawat Rp 8.000,-
c. Dalam hal jumlah peserta terdaftar pada FKTP kurang dari 1.000 jiwa, FKTP
dibayar sejumlah kapitasi untuk 1.000 jiwa.
Ketentuan tambahan dalam Permenkes tersebut juga mencantumkan persyaratan bahwa
penetapan FKTP untuk daerah terpencil, sangat terpencil dan tidak diminati tersebut harus
berdasarkan Surat Keputusan kepala daerah. Saat ini pembiayaan dengan kapitasi khusus
dilaksanakan di 35 kabupaten/kota dengan 173 Puskesmas terpilih sesuai kriteria
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2016 tentang Penggunaan Dana Kapitasi
Jaminan Kesehatan nasional untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya
Operasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah.

Sampai dengan tahun 2018, BPJS Kesehatan telah membayar sebesar 127,434 miliar
rupiah kepada Puskesmas di Daerah dengan kriteria tertentu dengan pembayaran kapitasi
khusus yang semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah peserta terdaftar
dan Puskesmas pada Bulan Januari 2018 sebanyak 887.686 peserta terdaftar.

Diperolehnya alternative kebijakan terkait pembayaran tarif pelayanan kesehatan di


FKTP, guna memaksimalkan pemberian pelayanan dan meningkatkan status kesehatan
masyarakat

Tujuan dilakukannya kajian ini adalah:


d. Diperolehnya sistem pembayaran kapitasi alternative di sejumlah wilayah
e. Diperolehnya informasi efektifitas pemanfatan dana kapitasi di Puskesmas
f. Diperolehnya mutu pelayanan kesehatan antara FKTP terakreditasi dan yang
belum terakreditasi

E. Ruang Lingkup
Unit analisis dari kajian ini yaitu Puskesmas yang ditentukan berdasarkan kriteria lokasi
(Daerah Umum Wahana Nusantara Sehat, dan daerah khusus) dengan metode purposive
sampling. Kajian ini akan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan
rancangan cross sectional, di mana data yang akan diambil berupa hasil Koordinasi,
Sinkronisasi dan Pengendalian yang dilakukan oleh Kementerian Lembaga X dan data
sekunder berupa informasi dari berbagai Kementerian/Lembaga. Data sekunder yang
akan digunakan untuk analisis meliputi data sampel BPJS Kesehatan, data Susenas dan
dokumen-dokumen regulasi yang relevan dengan topik kajian ini. Sedangkan data primer
diambil melalui wawancara mendalam dengan responden Dinas Kesehatan, kepala
puskesmas, Dokter Praktik Mandiri (DPM), kepala klinik swasta dan pasien dengan
menggunakan metode purposive sampling.

F. Sumber Pendanaan dan Rincian Anggaran Biaya


Anggaran bersumber dari Dana APBN dengan Kode Akun: XXXXXXXXXX, dengan
rincian anggaran biaya sebagai berikut:

PENDIDIKAN JUMLAH MAN-MONTH


No URAIAN KEGIATAN JAM HARI BIAYA SATUAN TOTAL BIAYA
PENGALAMAN TENAGA (OB)/HOUR(OJ)

TENAGA PERSONIL
A A.1 MASA PERENCANAAN
1 TENAGA AHLI KESEHATAN S2/S3/10 1 8 90 3 OB 20,000,000.00 60,000,000.00
Jumlah 60,000,000.00
TENAGA NON PERSONIL
No URAIAN KEGIATAN VOLUME INTENSITAS WAKTU/BULAN SATUAN SATUAN BIAYA TOTAL BIAYA
A PERALATAN KANTOR
1 Sewa Komputer 2 1 2 Unit 2,500,000 10,000,000
2 Sewa Printer Collor /Warna Laser 2 1 2 Unit 1,500,000 6,000,000
B OPERASIONAL KANTOR -
Alat Tulis Kantor 1 1 3 Bulan 1,000,000 3,000,000
Computer Supply 1 1 3 Bulan 1,000,000 3,000,000
Sewa Kendaraan 3 1 1 Hari 3,000,000 9,000,000
Telekomunikasi 1 1 3 Bulan 1,500,000 4,500,000
C DOKUMEN -
1 Dokumen Perencana 4 150,000 600,000
2 Dokumen Pengembangan Rencana 4 130,000 520,000
3 Dokumen Pelelangan -
Dokumen Laporan Akhir/Desiminasi 4 Set 650,000 2,600,000
Flashdisk 4 Buah 195,000 780,000
JUMLAH A+B+C 40,000,000
JUMLAH TENAGA PERSONIL + TENAGA NON PERSONIL 100,000,000
Terbilang : Seratus Juta Rupiah
Keterangan harga di atas sudah termasuk pajak
BAB IV
KESIMPULAN

Indonesia mempunyai Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang disingkat UUD 45.
Dalam UUD 45 pada alinea ke 4 tersebut tercantum lima sila dari Pancasila Dasar Negara
Republik Indonesia, yaitu 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan yang adil dan
beradap, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyawaran dan perwakilan, 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam UUD 45 pasal 28H disebutkan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. Selanjutnya dalam Pasal 34 disebutkan bahwa Negara mengembangkan Sistem
Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat dan negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan. Untuk fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
Dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1948 tentang Hak Azasi Manusia.
Pasal 25 Ayat (1) Deklarasi menyatakan, setiap orang berhak atas kesehatan dan
kesejahteraan dirinya dan keluarganya termasuk hak atas perawatan kesehatan serta
pelayanan sosial yang diperlukan.

Berbagai upaya untuk melaksanakan UUD 1945 dan Deklarasi PBB 1948, yaitu mulai
dari dilaksanakannya program jaminan kesehatan untuk Pegawai Negeri Sipil dan Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan pensiunan
serta veteran menggunakan asuransi kesehatan (Askes) yang diselenggarakan oleh PT Askes,
untuk pegawai swasta menggunakan asuransi jaminan sosial tenaga kerja (Jomsostek) dengan
penyelenggaranya PT Jamsostek. Pemerintah memberikan jaminan untuk masyarakat miskin
dan tidak mampu, melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan
Kesehatan Daerah (Jamkesda). Berbagai jaminan kesehatan tersebut berjalan sendiri-sendiri
sehingga biaya kesehatan dan mutu pelayanan sulit untuk dikendalikan. Akhirnya, pada tahun
2004 ditetapkan Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN), yang berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia. Tahun berikutnya, World Health
Assembly (WHA) dalam sidangnya yang ke-58 pada tahun 2005 di Jenewa, sepakat perlunya
pengembangan sistem pembiayaan kesehatan yang menjamin tersedianya akses masyarakat
untuk memperoleh pembiayaan kesehatan yang berkelanjutan melalui Universal Health
Coverage. Caranya adalah melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial. Selain itu WHA
juga merkomendasikan kepada WHO agar dalam mencapai Universal Health Coverage,
negara-negara anggota WHO melakukan evaluasi dampak perubahan sistem pembiayaan
kesehatan terhadap pelayanan kesehatan.

Dalam UU 40/2004 dinyatakan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk
Indonesia. Hak yang sama bagi setiap orang untuk memperoleh akses pelayanan kesehatan
dan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga
mempunyai kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan. Hal tersebut tertera di
dalam UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-Undang No. 24 Tahun 2011
menetapkan, Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Selanjutnya, khusus untuk fakir miskin atau orang
yang tidak mampu membeyar iuran, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.101
Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI); Untuk melaksanakan JKN Presiden
mengeluarkan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan yang sudah
tiga kali dirubah, dengan PP No. 19 tahun 2016, dan terakhir dengan PP No. 28 tahun 2016,
terutama mengatur hak dan kewajiban peserta dan Pemerintah sebagai pemberi bantuan iuran
untuk fakir miskin (PBI).

Pemenuhan hak atas pelayanan kesehatan dan keadilan sosial ini mulai diwujudkan
sejak 1 Januari 2014, yaitu mulai diberlakukannya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
dalam bidang kesehatan atau sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Diharapkan pada
tahun 2019 seluruh rakyat Indonesia sudah menjadi peserta JKN (Universal Helth Coverage).

Dampak Universal Health Coverage Di Indonesia

Pelayanan kesehatan untuk peserta JKN ditentukan secara berjenjang. Diharapkan untuk
pasien-pasien yang kasusnya ringan cukup mendapatkan pelayanan kesehatan di FKTP, yaitu
Puskesmas, Klinik Pratama, dan Rumah Sakit type D. Jika pasien memerlukan dokter
spesialis dan peralatan yang tidak dimiliki oleh FKTP, maka pasien tersebut dirujuk ke FKTL
(Rumah Sakit Tipe B, C, dan A), secara berjenjang, tergantung kondisi kesehatan pasien.

Pelaksanaan Program untuk mencapai UHC ini berdampak pada perubahan pembayaran
pelayanan kesehatan, pada pasien, rumah sakit, dan BPJS, sebagai berikut:

1. Pada pasien
2. Dampak Positif
3. Ketika pasien sakit dan memerlukan pengobatan yang biayanya sangat mahal, yang
dalam keadaan normal pasien/keluarganya tidak mampu membayar, maka dengan
dana yang terkumpul di BPJS sebagai akumulasi dari iuran pembayaran peserta BPJS
seluruh Indonesia, dana yang sangat mahal tersebut dibayar melalui BPJS.
4. Pasien terhindar dari pemeriksaan-pemeriksaan dan obat-obatan yang tidak betul-
betul diperlukan untuk mengobati penyakitnya, sehingga biaya peleyanan kesehatan
lebih efektif dan efisien.
5. Dampak Negatif
6. Pasien harus antri lama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan karen jumlah pasien
meningkat dengan sangat signifikan sedangkan fasilitas kesehatan dan peralatan yang
dimiliki rumah sakit masih sangat terbatas, tidak seimbang dengan kenaikan jumlah
pasien.
7. Pasien tidak bisa memilih dokter maupun rumah sakit yang dikehendaki untuk
berobat. Sebelum diterapkannya sistem JKN, pasien dengan Askes dan Jamsostek,
bisa memilih dokter spesialis yang praktek di rumah sakit dimana saja, bahkan dapat
menggunakan jasa pelayanan swastanya rumah sakit pemerintah (contonnya Rumah
Sakit Fatmawati mempunyai Griya Husada, Rumah Sakit Tjipto Mangun Kusuma,
mempunyai Kencana) dengan potongan biaya sesuai dengan hak kelas dari Askes atau
Jamsostek. Pelayanan kesehatan dengan JKN menggunakan sistem rujukan
berjenjang, sehingga semua pasien harus melalui pentahapan pelayanan mulai dari
FKTP, kemudian secara berjenjang di rujuk ke FKTL 1, FKTL 2, dan FKTL3.
8. Pada Rumah Sakit
9. Dampak Positif
10. Jumlah pasien rumah sakit meningkat tajam. Hal ini karena pasien sudah membayar
iuran BPJS setiap bulan, sehingga merasa berhak untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan dari penyakit yang ringan sampai ke penyakit yang sangat berat seperti
penyakit kangker, jantung, gagal ginjal dan sebagainya. Sebelum menjadi peserta
BPJS, ketika sakit terlebih dahulu berusaha mengobati sendiri dengan obat-obat
bebas, banyak juga yang enggan ke rumah sakit karena biaya yang harus ditanggung
mahal bahkan untuk kasus-kasus yang berat mereka tidak sanggup membayarnya.
Dengan jumlah pasien yang meningkat diharapkan pendapatan rumah sakit juga akan
meningkat
11. Pelayanan kesehatan di rumah sakit lebih efektif dan efisien. Pembayaran jasa
pelayanan kesehatan menggunakan Paket INA-CBGs yang tergantung pada diagnose
dan prosedur untuk setiap penyakit. Dokter harus tepat dalam menetapkan diagnose
dan prosedur yang harus dilakukan untuk sebuah penyakit, jika dokter melakukan
pemeriksaan untuk menegakkan diagnose dan melakukan prosedur terhadap penyakit
tersebut diluar jalur klinisnya (clinical pathway-nya), maka baiayanya tidak dapat
diklaim ke BPJS, artinya rumah sakit yang harus menanggung biaya tersebut.

Dalam hitungan sederhana, ketika jumlah pasien meningkat, biaya pelayanan memenuhi
standar minimal, maka pendapatan dikurangi biaya menjadi meningkat pula. Dalam
setiap paket INA CBGs sudah ditetapkan kira-kira berapa prosentase keuntungan rumah
sakit.

1. Rumah sakit harus membentuk Tim Casemix yang solid sehingga dapat menjadi
penggerak perubahan pola pikir dan budaya fee for service menjadi INA CBGs untuk
mencapai UHC.
2. Dampak Negatif
3. Pegawai rumah sakit harus bekerja lebih keras karena melayani pasien yang lebih
banyak, sedangkan fasilitas dan peralatan terbatas.
4. Pasien terpaksa dirujuk ke FKTP yang mempunyai spesialis dan peralatan yang
dubutuhkan pasien, apabila rumah sakit tidak tersedia dokter spesialis dan peralatan
yang dibutuhkan untuk pengobatan penyakitnya.

Peralatan yang dibeli yang tidak sesuai dengan kebutuhan kebanyakan pasien yang sudah
ditetapkan dalam paket INA CBGs, maka tingkat pengembalian investasinya menjadi
relatif lebih lama.

1. Ada ketidak-nyamanan keluar dari kebiasaan fee for service ke Paket INA CBGs, jika
kepemimpinan rumah sakit kurang tanggap terhadap situasi perubahan ini dapat
terjadi konflik antara dokter spesialis dan manajemen rumah sakit.
2. Dokter spesialis tidak dapat bekerja secara maksimal karena serba dibatasi, sehingga
mengurangi utilisasinya. Hal ini dapat menurunkan motivasi dokter spesialis dalam
menangani pasien BPJS.
3. Sistem remunerasi adil, transparan, dan proporsional menjadi tantangan tersendiri,
terutama kebanyakan rumah sakit mempunyai bargening power yang lebih rendah
terhadap keberadaan dokter spesialis yang sangat dibutuhkan rumah sakit.
Keterbatasan jumlah dokter spesialis menjadikan bargening power dokter spesialis
terhadap rumah sakit. Banyak dokter spesialis yang bukan pegawai tetap rumah sakit.
4. BPJS
5. Dampak Positif
6. BPJS sebagai penyelenggara JKN dapat mengumpulkan dana dari iuran peserta BPJS
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dari dana tersebut
disalurkan untuk membayar kalim rumah sakit untuk biaya pelayanan kesehatan yang
telah dilaksanakan oleh rumah sakit. BPJS juga menyalurkan dana kapitasi untuk
FKTP. Jika dana yang terkumpul berlebih dapat diinvestasikan untuk usaha yang
produktif agar dana tidak menganggur.
7. Ada lapangan kerja baru sebagai pegawai BPJS dari peran leadersip dan manajerial
sampai ke pegawai pelaksana. Pegawai BPJS mendapatkan kompensasi dari iuran
peserta BPJS juga.
8. Dampak Negatif
9. Belum semua peserta sadar untuk membayar iuran tepat waktu, sehingga dana iuran
BPJS yang terakumulasi berkurang, padahal klaim pelayanan kesehatan peserta BPJS
terus berjalan.
10. Penyelenggaraan JKN sangat kompleks, semua pihak perlu belajar menghadapi
perubahan sistem JKN ini, termasuk BPJS, sehingga dapat meminimalisir konflik
antara pihak-pihak yang terkait (stakeholders).
11. Sebagian masyarakat ada yang tidak setuju dengan adanya JKN ditinjau dari hukum
halal dan haram menurut syariat Islam. Dengan demikian meraka tidak menjadi
anggota BPJS, sesuai dengan target Pemerintah tahun 2019 tercapai UHC di
Indonesia.
12. BPJS menjadi pihak ketiga dalam SJKN, untuk asuransi swasta tidak ada pihak
ketiga. Hubungan antara peserta dan penyedia jasa asuransi langsung, yang
memungkinkan penghematan biaya. Jika ada pilihan maka masyarakat yang mampu
akan lebih memilih asuransi swasta.
13. Peran BPJS sebagai satu-satunya badan yang menyelenggaran penjaminan kesehatan
menjadi sorotan berbagai pihak sebagai single payer yang mempunyai kekuasaan
penuh dalam memberikan persetujuan atau penolakan klaim dari rumah sakit.
Dampak UHC di Indonesia yang sudah diuraiakan di atas perlu penelitian lebih lanjut.
Setiap rumah sakit mempunyai kemampuan atau capabilitas sendiri-sendiri dalam
menghadapi perubahan sistem pelayanan kesehatan ini, semakin tinggi capabilitas rumah
sakit semakin besar dampak positifnya dan semakin dapat mengurangi dampak negatifnya,
sehingga dampak tersebut sifatnya relatif bagi setiap rumah sakit. Bagi masyarakat yang tidak
suka dengan dampak negatif dari UHC, bagi yang mampu secara ekonomi kemungkinan
memilih asuransi swasta atau tidak ikut asuransi.

Pelaksanaan SJKN sudah ditetapkan berdasarkan peraturan-perundang-undangan.


Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014 berisi tentang Pedoman Pelaksanaan
Program Jaminan Kesehatan Nasional yang ruang lingkupnya meliputi penyelenggaraan,
peserta dan kepesertaan, pelayanan kesehatan, pendanaan, badan penyelenggara dan
hubungan antar lembaga, monitoring dan evaluasi, pengawasan, dan penanganan keluhan.
Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan untuk setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya
dibayarkan oleh pemerintah. Peserta program JKN mendapatkan perlindungan kesehatan
dalam bentuk manfaat pemeliharaan kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai