BAB I
PENDAHULUAN
1. Pengertian UHC
WHO telah menyepakati tercapainya universal health coverage (UHC) tahun
2014. Universal health coverage merupakan sistem kesehatan yang memastikan
setiap warga dalam populasi memiliki akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bermutu dengan biaya terjangkau.
Cakupan universal mengandung dua elemen inti yakni akses pelayanan kesehatan
yang adil dan bermutu bagi setiap warga, dan perlindungan risiko finansial ketika
warga menggunakan pelayanan kesehatan.
Dalam rangka menuju penjaminan kesehatan yang lebih baik dan menyeluruh,
pemerintah Indonesia menetapkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN
(Sistem Jaminan Sosial Nasional) dimana jaminan kesehatan merupakan prioritas
yang akan dikembangkan untuk mencapai Universal Health Coverage. Pemerintah
bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Sistem
Jaminan Sosial Nasional bagi upaya kesehatan perorangan berdasarkan bunyi Pasal
20 (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Berdasarkan
Peraturan Presiden RI No. 12 Tahun 2013, pemerintah juga bertanggung jawab atas
pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat melalui BPJS Kesehatan yang
merupakan badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program
JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) bagi seluruh rakyat.
Dalam rangka menuju penjaminan kesehatan yang lebih baik dan menyeluruh,
pemerintah Indonesia menetapkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN
(Sistem Jaminan Sosial Nasional) dimana jaminan kesehatan merupakan prioritas
yang akan dikembangkan untuk mencapai Universal Health Coverage. Pemerintah
bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Sistem
Jaminan Sosial Nasional bagi upaya kesehatan perorangan berdasarkan bunyi Pasal
20 (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Berdasarkan
Peraturan Presiden RI No. 12 Tahun 2013, pemerintah juga bertanggung jawab atas
pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat melalui BPJS Kesehatan yang
merupakan badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program
JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) bagi seluruh rakyat.
3.Tujuan dan Manfaat UHC
UHC dalam padangan Prof. Amartya Sen, penerima Hadiah Nobel Bidang
Ekonomi tahun 1998, adalah “mimpi yang terjangkau”. Selain itu, ‘The Commission
on Health Employment and Economic Growth’ bulan September 2016, menjelaskan
bahwa investasi pada sektor kesehatan tidak hanya berdampak meningkatkan populasi
yang sehat, tetapi juga menciptakan lapangan pekerjaaan dan mendorong
pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, UHC tidak hanya menjamin dan menjaga
kesehatan, tetapi juga kesejahteraan individu dan masyarakat. UHC meningkatkan
lowongan pekerjaan dan peluang ekonomi, khususnya bagi perempuan dan pemuda,
sebagai bagian dari program mengakhiri kemiskinan. WHO memperkirakan bahwa
biaya untuk pelayanan kesehatan global, telah mendorong 100 juta orang ke dalam
kemiskinan setiap tahun. Secara global, 20-40% sumber daya yang dihabiskan untuk
sektor kesehatan, ternyata terbuang percuma. Penyebab yang umum adalah
inefisiensi, duplikasi pelayanan, dan penggunaan obat dan teknologi kedokteran yang
berlebihan. Dengan menerapkan UHC tentu saja akan membantu semua pihak, untuk
menghilangkan kemiskinan ini.
4.Hasil yang diharapkan
Pemerintah menargetkan Indonesia akan mencapai Universal Health Coverage
(UHC) atau cakupan kesehatan menyeluruh bagi seluruh penduduk Indonesia pada
1 Januari 2019 mendatang. Setiap tahun BPJS Kesehatan menargetkan jumlah
penduduk yang menjadi peserta terus bertambah dari 156,7 juta jiwa (2015) ke 188,7
juta (2016), 223 juta (2017), 235,1 juta (2018), dan mencapai 257,5 juta atau seluruh
penduduk pada 2019. Contoh hasil yang telah dicapai yakni telah dibuktikan oleh
banyak negara dalam beberapa tahun terakhir, yang telah menambah cakupan layanan
kesehatan utama dan jaminan pembiayaan untuk warganya. Jepang, Moldova, Peru,
Sri Lanka, Thailand dan Turki telah menunjukkan bahwa negara dapat membuat
kemajuan dramatis terhadap UHC, melalui reformasi sistem kesehatan yang dapat
memberikan manfaat dalam bidang kesehatan, ekonomi, dan politik yang cukup
besar. Selain itu, Perancis pada tahun 2008 telah menghemat hampir US$ 2 miliar
dengan sistem jaminan kesehatan yang sedapat mungkin menggunakan obat generik.
Dengan cara yang serupa, peningkatan akses anak ke layanan kesehatan dengan
obat generik yang terjangkau, diprediksi mampu mencegah atau memperbaiki
penyakit, yang menyebabkan lebih dari 8,1 juta kematian anak balita setiap tahun
secara global. Thailand telah menerapkan sistem pembayaran satu paket layanan
kesehatan dari dana prabayar, yaitu campuran pajak dan kontribusi asuransi.
Kyrgyzstan telah menyatukan pendapatan umum dengan pajak penghasilan dan
asuransi. Ghana telah mendanai program kesehatan nasional dengan meningkatkan
pajak pertambahan nilai sebesar 2,5%. Semua kebijakan politik di berbagai negara
tersebut, bertujuan untuk meningkatkan anggaran jaminan kesehatan.
BAB II
KAJIAN TEORI
Pendaftaran BPJS dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu daftar melalui situs online
atau datang langsung ke Kantor BPJS Kesehatan dengan membawa persyaratan
yang diperlukan. Syarat daftar bpjs yaitu : Fotocopy KK, Fotocopy KTP, Fotokopi
Buku Tabungan, Pasfoto berwarna 3×4 3 Lembar, Jika sudah menikah lampirkan
buku nikah
Setelah anda datang ke kantor BPJS dan membawa semua persyaratan untuk
mendaftar BPJS maka anda selanjutnya mengisi formulir pendaftaran yang telah
disediakan. Isi formulir dengan benar, seperti nama lengkap, tanggal lahir, alamat,
sampai memilih Faskes 1.
Setelah anda mengajukan pendaftaran baik Online maupun Offline di kantor BPJS
maka anda akan mendapatkan nomor virtual account atau kode bank untuk
pembayaran iuran pertama, pembayaran iuran pertama dapat dilakukan setelah 14 hari
sejak hari pendaftaran.
Pembayaran iuran BPJS bisa dilakukan melalui ATM atau bank terdekat yang saat ini
sudah bekerjasama yaitu bank BRI, BNI dan Mandiri. Iuran yang harus dibayar sesuai
dengan kelas yang dipilih dikali dengan jumlah anggota keluarga yang didaftarkan
(jika anda mendaftarkan keluarga).
Adapun biaya iuran peserta berdasarkan kelas yaitu untuk kelas 1 sebesar Rp80.000
per orang perbulan, untuk kelas 2 sebesar Rp51.000 perorang perbulan dan untuk
kelas 3 sebesar Rp25.500 perorang perbulan.
Jika anda mendaftar sebagai peserta dari perusahaan (PPU) maka besar iurannya
adalah sebesar 5 persen dari gaji pokoknya, 2 persen dibayarkan oleh yang
bersangkutan dan 3 persen dibayarkan oleh perusahaan tempat pekerja bekerja.
Setelah anda membayar iuran pertama atau premi bpjs berdasarkan kelas yang dipilih,
maka nantinya anda akan mendapat kartu BPJS Kesehatan yang menjadi bukti bahwa
Anda merupakan peserta JKN yang dibawa saat akan berobat.
Pelayanan kesehatan yang layak sudah menjadi hak bagi seluruh warga negara
Indonesia seperti tertuang dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia pasal Pasal 28 H
ayat 3 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas Jaminan Sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat”. Ketentuan ini yang
menjadi dasar dicanangkannya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pembangunan
kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk
memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat
(1) dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Bidang kesehatan telah berupaya mewujudkan prioritas pembangunan bidang
kesehatan di seluruh wilayah Indonesia antara lain:
a. Memenuhi kebutuhan layanan kesehatan, perangkat dan alat kesehatan serta tenaga
kesehatan khususnya bagi penduduk di Pedesaan dan daerah terpencil sesuai situasi dan
kebutuhan daerah.
b. Implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional secara merata di seluruh Indonesia.
c. Peningkatan layanan kesehatan masyarakat dengan menginisisasi kartu “Indonesia Sehat”
Hambatan geografis, lemahnya SDM kesehatan, dan kurangnya sarana dan prasarana
kesehatan di sejumlah daerah menyebabkan sulitnya masyarakat mengakses pelayanan
kesehatan dasar dan rujukan meskipun sudah dijamin sebagai PBI program JKN hal ini
menyebabkan capaian program peningkatan pelayanan kesehatan menjadi tidak maksimal.
Untuk itu kesiapan lapangan yang meliputi ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan,
aksesibilitas, organisasi BPJS daerah, serta tingkat pengetahuan/kesadaran masyarakat
terhadap kesehatan, perlu dipenuhi untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan serta mendukung tercapainya Universal Health Coverage (UHC).
Mengacu pada sasaran pokok RPJMN 2020-2024 implementasi pemenuhan akses dan
mutu pelayanan kesehatan pada era JKN-KIS berdampak pada meningkatnya pemanfaatan
fasilitas pelayanan kesehatan oleh masyarakat, sehingga kebutuhan sarana prasarana fasilitas
kesehatan primer dan rujukan tingkat lanjut, tenaga kesehatan serta obat juga meningkat.
Pemerintah terus berupaya melakukan pembangunan bidang kesehatan untuk
meningkatkan akses masyarakat terhadap kesehatan yang berkualitas. Namun wilayah NKRI
yang begitu luas, tidak dapat dipungkiri bahwa masih terjadi permasalahan dalam upaya
pembangunan kesehatan antara lain disparitas status kesehatan,beban ganda penyakit, kinerja
pelayanan kesehatan yang rendah, perilaku masyarakat yang kurang mendukung pola hidup
bersih dan sehat, rendahnya kualitas, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan,
terbatasnya tenaga kesehatan dan distribusi tidak merata serta maldistribusi, rendahnya status
kesehatan penduduk miskin disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan
karena kendala geografis dan kendala biaya (cost barrier).
BAB III
PEMBAHASAN
Hambatan geografis, lemahnya SDM kesehatan, dan kurangnya sarana dan prasarana
kesehatan di sejumlah daerah menyebabkan sulitnya masyarakat mengakses pelayanan
kesehatan dasar dan rujukan meskipun sudah dijamin sebagai PBI program JKN hal ini
menyebabkan capaian program peningkatan pelayanan kesehatan menjadi tidak
maksimal. Untuk itu kesiapan lapangan yang meliputi ketersediaan fasilitas pelayanan
kesehatan, aksesibilitas, organisasi BPJS daerah, serta tingkat pengetahuan/kesadaran
masyarakat terhadap kesehatan, perlu dipenuhi untuk meningkatkan akses masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan serta mendukung tercapainya Universal Health Coverage
(UHC).
Mengacu pada sasaran pokok RPJMN 2020-2024 implementasi pemenuhan akses dan
mutu pelayanan kesehatan pada era JKN-KIS berdampak pada meningkatnya
pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh masyarakat, sehingga kebutuhan sarana
prasarana fasilitas kesehatan primer dan rujukan tingkat lanjut, tenaga kesehatan serta
obat juga meningkat.
Pemerintah terus berupaya melakukan pembangunan bidang kesehatan untuk
meningkatkan akses masyarakat terhadap kesehatan yang berkualitas. Namun wilayah
NKRI yang begitu luas, tidak dapat dipungkiri bahwa masih terjadi permasalahan dalam
upaya pembangunan kesehatan antara lain disparitas status kesehatan,beban ganda
penyakit, kinerja pelayanan kesehatan yang rendah, perilaku masyarakat yang kurang
mendukung pola hidup bersih dan sehat, rendahnya kualitas, pemerataan dan
keterjangkauan pelayanan kesehatan, terbatasnya tenaga kesehatan dan distribusi tidak
merata serta maldistribusi, rendahnya status kesehatan penduduk miskin disebabkan oleh
terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan karena kendala geografis dan kendala
biaya (cost barrier).
Pada tahun 2018 pelaksanaan pembayaran FKTP dan belum maksimal berdampak
terhadap utilisasi dan jumlah dokter, serta belum terdapat dorongan pemerintah daerah
dalam meningkatkan pembangunan wilayahnya. Berdasarkan hal tersebut terdapat
beberapa aspek yang perlu dikaji lebih lanjut. Aspek tersebut yaitu alternatif sistem
pembayaran FKTP di Era Jaminan Kesehatan Nasional serta analisis regulasi mengenai
sistem pembayaran fasilitas kesehatan
BPJS Kesehatan menerapkan sistem pembayaran kapitasi kepada FKTP, dengan tarif
kapitasi yang mengacu kepada Peraturan Menteri Kesehatan nomor 59 tahun 2014
tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan
Kesehatan Nasional, dengan besaran:
a. Puskesmas atau fasilitas kesehatan yang setara sebesar Rp 3.000,-sampai dengan Rp
6.000,-.
b. Rumah sakit Kelas D Pratama, klinik pratama, praktik dokter, atau fasilitas kesehatan
yang setara sebesar Rp 8.000,- sampai dengan Rp 10.000,-.
c. Praktik perorangan dokter gigi sebesar Rp 2.000,-.
Bagi daerah yang sudah dinyatakan daerah terpencil dan kepulauan maka fasilitas
kesehatannya dibayar tarif kapitasi khusus, dengan besaran dan ketentuan:
a. Dokter Rp 10.000,-
b. Bidan/Perawat Rp 8.000,-
c. Dalam hal jumlah peserta terdaftar pada FKTP kurang dari 1.000 jiwa, FKTP
dibayar sejumlah kapitasi untuk 1.000 jiwa.
Ketentuan tambahan dalam Permenkes tersebut juga mencantumkan persyaratan bahwa
penetapan FKTP untuk daerah terpencil, sangat terpencil dan tidak diminati tersebut harus
berdasarkan Surat Keputusan kepala daerah. Saat ini pembiayaan dengan kapitasi khusus
dilaksanakan di 35 kabupaten/kota dengan 173 Puskesmas terpilih sesuai kriteria
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2016 tentang Penggunaan Dana Kapitasi
Jaminan Kesehatan nasional untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya
Operasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah.
Sampai dengan tahun 2018, BPJS Kesehatan telah membayar sebesar 127,434 miliar
rupiah kepada Puskesmas di Daerah dengan kriteria tertentu dengan pembayaran kapitasi
khusus yang semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah peserta terdaftar
dan Puskesmas pada Bulan Januari 2018 sebanyak 887.686 peserta terdaftar.
E. Ruang Lingkup
Unit analisis dari kajian ini yaitu Puskesmas yang ditentukan berdasarkan kriteria lokasi
(Daerah Umum Wahana Nusantara Sehat, dan daerah khusus) dengan metode purposive
sampling. Kajian ini akan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan
rancangan cross sectional, di mana data yang akan diambil berupa hasil Koordinasi,
Sinkronisasi dan Pengendalian yang dilakukan oleh Kementerian Lembaga X dan data
sekunder berupa informasi dari berbagai Kementerian/Lembaga. Data sekunder yang
akan digunakan untuk analisis meliputi data sampel BPJS Kesehatan, data Susenas dan
dokumen-dokumen regulasi yang relevan dengan topik kajian ini. Sedangkan data primer
diambil melalui wawancara mendalam dengan responden Dinas Kesehatan, kepala
puskesmas, Dokter Praktik Mandiri (DPM), kepala klinik swasta dan pasien dengan
menggunakan metode purposive sampling.
TENAGA PERSONIL
A A.1 MASA PERENCANAAN
1 TENAGA AHLI KESEHATAN S2/S3/10 1 8 90 3 OB 20,000,000.00 60,000,000.00
Jumlah 60,000,000.00
TENAGA NON PERSONIL
No URAIAN KEGIATAN VOLUME INTENSITAS WAKTU/BULAN SATUAN SATUAN BIAYA TOTAL BIAYA
A PERALATAN KANTOR
1 Sewa Komputer 2 1 2 Unit 2,500,000 10,000,000
2 Sewa Printer Collor /Warna Laser 2 1 2 Unit 1,500,000 6,000,000
B OPERASIONAL KANTOR -
Alat Tulis Kantor 1 1 3 Bulan 1,000,000 3,000,000
Computer Supply 1 1 3 Bulan 1,000,000 3,000,000
Sewa Kendaraan 3 1 1 Hari 3,000,000 9,000,000
Telekomunikasi 1 1 3 Bulan 1,500,000 4,500,000
C DOKUMEN -
1 Dokumen Perencana 4 150,000 600,000
2 Dokumen Pengembangan Rencana 4 130,000 520,000
3 Dokumen Pelelangan -
Dokumen Laporan Akhir/Desiminasi 4 Set 650,000 2,600,000
Flashdisk 4 Buah 195,000 780,000
JUMLAH A+B+C 40,000,000
JUMLAH TENAGA PERSONIL + TENAGA NON PERSONIL 100,000,000
Terbilang : Seratus Juta Rupiah
Keterangan harga di atas sudah termasuk pajak
BAB IV
KESIMPULAN
Indonesia mempunyai Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang disingkat UUD 45.
Dalam UUD 45 pada alinea ke 4 tersebut tercantum lima sila dari Pancasila Dasar Negara
Republik Indonesia, yaitu 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan yang adil dan
beradap, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyawaran dan perwakilan, 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam UUD 45 pasal 28H disebutkan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. Selanjutnya dalam Pasal 34 disebutkan bahwa Negara mengembangkan Sistem
Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat dan negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan. Untuk fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
Dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1948 tentang Hak Azasi Manusia.
Pasal 25 Ayat (1) Deklarasi menyatakan, setiap orang berhak atas kesehatan dan
kesejahteraan dirinya dan keluarganya termasuk hak atas perawatan kesehatan serta
pelayanan sosial yang diperlukan.
Berbagai upaya untuk melaksanakan UUD 1945 dan Deklarasi PBB 1948, yaitu mulai
dari dilaksanakannya program jaminan kesehatan untuk Pegawai Negeri Sipil dan Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan pensiunan
serta veteran menggunakan asuransi kesehatan (Askes) yang diselenggarakan oleh PT Askes,
untuk pegawai swasta menggunakan asuransi jaminan sosial tenaga kerja (Jomsostek) dengan
penyelenggaranya PT Jamsostek. Pemerintah memberikan jaminan untuk masyarakat miskin
dan tidak mampu, melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan
Kesehatan Daerah (Jamkesda). Berbagai jaminan kesehatan tersebut berjalan sendiri-sendiri
sehingga biaya kesehatan dan mutu pelayanan sulit untuk dikendalikan. Akhirnya, pada tahun
2004 ditetapkan Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN), yang berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia. Tahun berikutnya, World Health
Assembly (WHA) dalam sidangnya yang ke-58 pada tahun 2005 di Jenewa, sepakat perlunya
pengembangan sistem pembiayaan kesehatan yang menjamin tersedianya akses masyarakat
untuk memperoleh pembiayaan kesehatan yang berkelanjutan melalui Universal Health
Coverage. Caranya adalah melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial. Selain itu WHA
juga merkomendasikan kepada WHO agar dalam mencapai Universal Health Coverage,
negara-negara anggota WHO melakukan evaluasi dampak perubahan sistem pembiayaan
kesehatan terhadap pelayanan kesehatan.
Dalam UU 40/2004 dinyatakan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk
Indonesia. Hak yang sama bagi setiap orang untuk memperoleh akses pelayanan kesehatan
dan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga
mempunyai kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan. Hal tersebut tertera di
dalam UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-Undang No. 24 Tahun 2011
menetapkan, Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Selanjutnya, khusus untuk fakir miskin atau orang
yang tidak mampu membeyar iuran, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.101
Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI); Untuk melaksanakan JKN Presiden
mengeluarkan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan yang sudah
tiga kali dirubah, dengan PP No. 19 tahun 2016, dan terakhir dengan PP No. 28 tahun 2016,
terutama mengatur hak dan kewajiban peserta dan Pemerintah sebagai pemberi bantuan iuran
untuk fakir miskin (PBI).
Pemenuhan hak atas pelayanan kesehatan dan keadilan sosial ini mulai diwujudkan
sejak 1 Januari 2014, yaitu mulai diberlakukannya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
dalam bidang kesehatan atau sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Diharapkan pada
tahun 2019 seluruh rakyat Indonesia sudah menjadi peserta JKN (Universal Helth Coverage).
Pelayanan kesehatan untuk peserta JKN ditentukan secara berjenjang. Diharapkan untuk
pasien-pasien yang kasusnya ringan cukup mendapatkan pelayanan kesehatan di FKTP, yaitu
Puskesmas, Klinik Pratama, dan Rumah Sakit type D. Jika pasien memerlukan dokter
spesialis dan peralatan yang tidak dimiliki oleh FKTP, maka pasien tersebut dirujuk ke FKTL
(Rumah Sakit Tipe B, C, dan A), secara berjenjang, tergantung kondisi kesehatan pasien.
Pelaksanaan Program untuk mencapai UHC ini berdampak pada perubahan pembayaran
pelayanan kesehatan, pada pasien, rumah sakit, dan BPJS, sebagai berikut:
1. Pada pasien
2. Dampak Positif
3. Ketika pasien sakit dan memerlukan pengobatan yang biayanya sangat mahal, yang
dalam keadaan normal pasien/keluarganya tidak mampu membayar, maka dengan
dana yang terkumpul di BPJS sebagai akumulasi dari iuran pembayaran peserta BPJS
seluruh Indonesia, dana yang sangat mahal tersebut dibayar melalui BPJS.
4. Pasien terhindar dari pemeriksaan-pemeriksaan dan obat-obatan yang tidak betul-
betul diperlukan untuk mengobati penyakitnya, sehingga biaya peleyanan kesehatan
lebih efektif dan efisien.
5. Dampak Negatif
6. Pasien harus antri lama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan karen jumlah pasien
meningkat dengan sangat signifikan sedangkan fasilitas kesehatan dan peralatan yang
dimiliki rumah sakit masih sangat terbatas, tidak seimbang dengan kenaikan jumlah
pasien.
7. Pasien tidak bisa memilih dokter maupun rumah sakit yang dikehendaki untuk
berobat. Sebelum diterapkannya sistem JKN, pasien dengan Askes dan Jamsostek,
bisa memilih dokter spesialis yang praktek di rumah sakit dimana saja, bahkan dapat
menggunakan jasa pelayanan swastanya rumah sakit pemerintah (contonnya Rumah
Sakit Fatmawati mempunyai Griya Husada, Rumah Sakit Tjipto Mangun Kusuma,
mempunyai Kencana) dengan potongan biaya sesuai dengan hak kelas dari Askes atau
Jamsostek. Pelayanan kesehatan dengan JKN menggunakan sistem rujukan
berjenjang, sehingga semua pasien harus melalui pentahapan pelayanan mulai dari
FKTP, kemudian secara berjenjang di rujuk ke FKTL 1, FKTL 2, dan FKTL3.
8. Pada Rumah Sakit
9. Dampak Positif
10. Jumlah pasien rumah sakit meningkat tajam. Hal ini karena pasien sudah membayar
iuran BPJS setiap bulan, sehingga merasa berhak untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan dari penyakit yang ringan sampai ke penyakit yang sangat berat seperti
penyakit kangker, jantung, gagal ginjal dan sebagainya. Sebelum menjadi peserta
BPJS, ketika sakit terlebih dahulu berusaha mengobati sendiri dengan obat-obat
bebas, banyak juga yang enggan ke rumah sakit karena biaya yang harus ditanggung
mahal bahkan untuk kasus-kasus yang berat mereka tidak sanggup membayarnya.
Dengan jumlah pasien yang meningkat diharapkan pendapatan rumah sakit juga akan
meningkat
11. Pelayanan kesehatan di rumah sakit lebih efektif dan efisien. Pembayaran jasa
pelayanan kesehatan menggunakan Paket INA-CBGs yang tergantung pada diagnose
dan prosedur untuk setiap penyakit. Dokter harus tepat dalam menetapkan diagnose
dan prosedur yang harus dilakukan untuk sebuah penyakit, jika dokter melakukan
pemeriksaan untuk menegakkan diagnose dan melakukan prosedur terhadap penyakit
tersebut diluar jalur klinisnya (clinical pathway-nya), maka baiayanya tidak dapat
diklaim ke BPJS, artinya rumah sakit yang harus menanggung biaya tersebut.
Dalam hitungan sederhana, ketika jumlah pasien meningkat, biaya pelayanan memenuhi
standar minimal, maka pendapatan dikurangi biaya menjadi meningkat pula. Dalam
setiap paket INA CBGs sudah ditetapkan kira-kira berapa prosentase keuntungan rumah
sakit.
1. Rumah sakit harus membentuk Tim Casemix yang solid sehingga dapat menjadi
penggerak perubahan pola pikir dan budaya fee for service menjadi INA CBGs untuk
mencapai UHC.
2. Dampak Negatif
3. Pegawai rumah sakit harus bekerja lebih keras karena melayani pasien yang lebih
banyak, sedangkan fasilitas dan peralatan terbatas.
4. Pasien terpaksa dirujuk ke FKTP yang mempunyai spesialis dan peralatan yang
dubutuhkan pasien, apabila rumah sakit tidak tersedia dokter spesialis dan peralatan
yang dibutuhkan untuk pengobatan penyakitnya.
Peralatan yang dibeli yang tidak sesuai dengan kebutuhan kebanyakan pasien yang sudah
ditetapkan dalam paket INA CBGs, maka tingkat pengembalian investasinya menjadi
relatif lebih lama.
1. Ada ketidak-nyamanan keluar dari kebiasaan fee for service ke Paket INA CBGs, jika
kepemimpinan rumah sakit kurang tanggap terhadap situasi perubahan ini dapat
terjadi konflik antara dokter spesialis dan manajemen rumah sakit.
2. Dokter spesialis tidak dapat bekerja secara maksimal karena serba dibatasi, sehingga
mengurangi utilisasinya. Hal ini dapat menurunkan motivasi dokter spesialis dalam
menangani pasien BPJS.
3. Sistem remunerasi adil, transparan, dan proporsional menjadi tantangan tersendiri,
terutama kebanyakan rumah sakit mempunyai bargening power yang lebih rendah
terhadap keberadaan dokter spesialis yang sangat dibutuhkan rumah sakit.
Keterbatasan jumlah dokter spesialis menjadikan bargening power dokter spesialis
terhadap rumah sakit. Banyak dokter spesialis yang bukan pegawai tetap rumah sakit.
4. BPJS
5. Dampak Positif
6. BPJS sebagai penyelenggara JKN dapat mengumpulkan dana dari iuran peserta BPJS
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dari dana tersebut
disalurkan untuk membayar kalim rumah sakit untuk biaya pelayanan kesehatan yang
telah dilaksanakan oleh rumah sakit. BPJS juga menyalurkan dana kapitasi untuk
FKTP. Jika dana yang terkumpul berlebih dapat diinvestasikan untuk usaha yang
produktif agar dana tidak menganggur.
7. Ada lapangan kerja baru sebagai pegawai BPJS dari peran leadersip dan manajerial
sampai ke pegawai pelaksana. Pegawai BPJS mendapatkan kompensasi dari iuran
peserta BPJS juga.
8. Dampak Negatif
9. Belum semua peserta sadar untuk membayar iuran tepat waktu, sehingga dana iuran
BPJS yang terakumulasi berkurang, padahal klaim pelayanan kesehatan peserta BPJS
terus berjalan.
10. Penyelenggaraan JKN sangat kompleks, semua pihak perlu belajar menghadapi
perubahan sistem JKN ini, termasuk BPJS, sehingga dapat meminimalisir konflik
antara pihak-pihak yang terkait (stakeholders).
11. Sebagian masyarakat ada yang tidak setuju dengan adanya JKN ditinjau dari hukum
halal dan haram menurut syariat Islam. Dengan demikian meraka tidak menjadi
anggota BPJS, sesuai dengan target Pemerintah tahun 2019 tercapai UHC di
Indonesia.
12. BPJS menjadi pihak ketiga dalam SJKN, untuk asuransi swasta tidak ada pihak
ketiga. Hubungan antara peserta dan penyedia jasa asuransi langsung, yang
memungkinkan penghematan biaya. Jika ada pilihan maka masyarakat yang mampu
akan lebih memilih asuransi swasta.
13. Peran BPJS sebagai satu-satunya badan yang menyelenggaran penjaminan kesehatan
menjadi sorotan berbagai pihak sebagai single payer yang mempunyai kekuasaan
penuh dalam memberikan persetujuan atau penolakan klaim dari rumah sakit.
Dampak UHC di Indonesia yang sudah diuraiakan di atas perlu penelitian lebih lanjut.
Setiap rumah sakit mempunyai kemampuan atau capabilitas sendiri-sendiri dalam
menghadapi perubahan sistem pelayanan kesehatan ini, semakin tinggi capabilitas rumah
sakit semakin besar dampak positifnya dan semakin dapat mengurangi dampak negatifnya,
sehingga dampak tersebut sifatnya relatif bagi setiap rumah sakit. Bagi masyarakat yang tidak
suka dengan dampak negatif dari UHC, bagi yang mampu secara ekonomi kemungkinan
memilih asuransi swasta atau tidak ikut asuransi.