Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

Rumah Sakit merupakan sebuah sarana kesehatan dalam memberikan

pelayanan kesehatan pada yang sakit dan membutuhkan pertolongan, serta

berperan penting dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.(Undang-

Undang No. 44 Tahun 2009, 2009)

Pembangunan dalam bidang kesehatan adalah bagian dari pembangunan

Nasional, maka pemerintah sebagai institusi tertinggi Negara dan penyedia sarana

pelayanan kesehatan, harus bertanggung jawab atas pemeliharaan kesehatan.

Kesehatan juga merupakan hak dan kebutuhan dasar setiap individu untuk

meningkatkan standar kesejahteraan hidup bagi setiap orang baik secara sosial,

ekonomi, budaya, spiritual dan politik. Pelaksanaan pembangunan kesehatan ini

melibatkan seluruh lapisan masyarakat Indonesia, hal ini dapat dipahami karena

pembangunan kesehatan mempunyai hubungan yang dinamis dengan sektor

lainnya.(Kementrian Kesehatan, 2014)

Salah satu amanat Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 adalah

pengembangan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan

masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Amanah tersebut di respon Pemerintah dengan menetapkan UU No.36 Tahun

2009 tentang Kesehatan dan UU No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial

Nasional (SJSN) yang mencakup jaminan pemeliharaan kesehatan.(Basuki, 2015)

Dalam UUD 1945 pasal 28 ayat (3) dan UU Nomor 36 Tahun 2009

1
tentang Kesehatan, menetapkan bahwa setiap individu berhak mendapatkan

pelayanan kesehatan. (Undang-Undang No. 44 Tahun 2009)

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), merupakan suatu badan

hukum yang dibentuk dengan UU untuk menyelenggarakan program jaminan

social. Sebagai lembaga negara, BPJS bertugas mengelola dana publik, berupa

dana jaminan sosial untuk kepentingan peserta dan dalam menjalankan tugasnya,

BPJS memiliki berbagai program seperti yang tertulis dalam UU No 40 tahun

2004 bahwa Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) memiliki lima komponen

SJSN, yaitu Jaminan Kesehatan Nasional, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan

Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian. Program yang dapat

memenuhi kebutuhan dan menjamin pelayanan kesehatan secara menyeluruh

adalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Program JKN ini merupakan bentuk

reformasi dibidang kesehatan yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan di

bidang kesehatan. (BPJS, 2014)

Berbagai keluhan seperti salah satunya tentang proses pengajuan klaim

lama, hal ini menyangkut kesehatan keuangan rumah sakit (cash flow). Lambat

cairnya uang klaim tersebut dapat menggangu pelayanan karena fasilitas

kesehatan seperti rumah sakit swasta, tidak mendapat subsidi dari pemerintah,

akan mengalami kesulitan dana untuk pengadaan obat-obatan, sarana medis dan

non medis dan hal ini menjadi beban sebuah Rumah Sakit swasta. Pasien juga

tidak memahami prosedur pelayanan program BPJS kesehatan, tarif kapitasi dan

paket tarif INA-CBG’s kurang memadai. (Faozi Kurniawan et al., 2017)

Pada Januari 2014, Pemerintah Indonesia mulai melaksanakan program

2
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan skema asuransi kesehatan sosial.

Program ini bertujuan mencapai Universal Health Care (UHC) atau Cakupan

Kesehatan Semesta ditahun 2019 merupakan asuransi kesehatan sosial terbesar di

seluruh dunia. Peningkatan jumlah penduduk yang terjamin, disertai peningkatan

harapan akan pelayanan kesehatan oleh mereka yang terjamin, yang dapat dilihat

dari peningkatan jumlah kunjungan pasien. (Thabrany and Laborahima, 2016)

Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organisation (WHO),

menetapkan bahwa pada tahun 2018 sebagai tahun Universal Health Care (UHC)

atau Cakupan Kesehatan Semesta. UHC merupakan komitmen semua Pemimpin

Negara di dunia dengan tujuan untuk pembangunan berkelanjutan. Program UHC

menjamin semua penduduk mendapatkan layanan kesehatan sesuai dengan

kebutuhan medis. (World Health Organization, 2016)

Hasbullah Thabrany menulis bahwa Indonesia sudah berkomitmen

terhadap UHC sejak tahun1999 ketika UUD 1945 di amandemen dengan pasal

28H (1) bahwa “setiap orang berhak atas layanan kesehatan”. Komitmen itu

ditindaklanjuti dengan rumusan operasional dalam UU No. 40/2004 tentang

sistem Jaminan Sosial Nasional, yang didalamnya mengatur program Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN). (Thabrany and Laborahima, 2016)

Peringatan Hari Kesehatan Sedunia yang dimulai sejak tahun 1950 yang

jatuh setiap tanggal 7 April, untuk memperingati lahirnya Organisasi Kesehatan

Dunia (WHO) dan merupakan sebuah kesempatan yang menarik perhatian dunia

untuk menyadari problem atau masalah besar kesehatan global. World Health

organization (WHO) didirikan dengan tujuan agar semua individu dapat

3
mewujudkan hak mereka untuk memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya.

(Lubis, 2018)

Tema Hari Kesehatan Sedunia pada tahun 2015 adalah Keamanan Pangan,

tahun 2016 tentang Diabetes, tahun 2017 tentang Depresi, dan pada tahun 2018 ini

adalah “Cakupan Kesehatan Semesta” atau Universal Health Coverage (UHC).

Dengan tema tersebut, WHO yakin bahwa negara-negara yang berinvestasi pada

UHC, telah membuat investasi yang lebih baik untuk sumber daya manusia. UHC

muncul sebagai strategi utama untuk menciptakan kemajuan menuju tujuan

pembangunan kesehatan dan kemajuan lainnya.(World Health Organization,

2016)

Akses pelayanan kesehatan esensial dan perlindungan pembiayaan

kesehatan, tidak hanya meningkatkan kualitas kesehatan dan angka harapan hidup

manusia tetapi juga melindungi Negara dari epidemi, mengurangi kemiskinan dan

resiko kelaparan, menciptakan pekerjaan, mendorong pertumbuhan ekonomi dan

meningkatkan kesetaraan jender. Tiga dimensi dalam pencapaian UHC yang telah

dirumuskan oleh WHO adalah 1) berapa besar prosentasi penduduk yang di jamin,

2) berapa lengkap pelayanan yang di jamin, 3) berapa besar biaya yang masih di

tanggung oleh penduduk. (World Health Organization, 2016)

Sebagai anggota World Health Organitation (WHO), Pemerintah Indonesia

terus berusaha mencapai ketiga dimensi tersebut sehingga seluruh rakyat

Indonesia mendapat akses kesehatan yang lebih baik dan optimal. Dalam

dokumen Pelayanan Menuju Jaminnan Kesehatan Nasional 2012-2019,

Pemerintah Indonesia berkonsentrasi untuk mencapai UHC dimensi pertama pada

4
tahun 2019, yaitu semua penduduk terjamin kesehatannya sehingga setiap

penduduk yang sakit tidak jadi miskin karena beban biaya yang tinggi. Dimensi

kedua adalah program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), relatif telah menjamin

semua jenis pelayanan kesehatan seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden

Nomor 19 Tahun 2016 tentang Jaminan Kesehatan yaitu pelayanan promotif dan

preventif (pasal 21), pelayanan kesehatan tingkat pertama (Pasal 22 ayat 1a),

pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjut (Pasal 22 ayat 1b), dan manfaat

akomodasi rawat inap di Rumah Sakit (Pasal 23). (Kemenkes RI, 2013)

Namun, sudah empat tahun berjalannya program BPJS ini yakni dari tahun

2014, BPJS mengalami defisit. Jumlah iuran yang diperoleh tidak mampu

mengimbangi beban pembiayaan kesehatan. Sejak proses perencanaannya,

pengelolaan JKN di tahun 2017 sudah mengalami defisit. Pos pendapatan sampai

31 Desember ditargetkan Rp.86,04 triliun, sementara pos pembiayaan ditergetkan

Rp. 94,94 triliun. Iuran yang belum sesuai dengan hitungan adalah akibat dari

ketidakmampuan BPJS Kesehatan melakukan kendali mutu dan kendali biaya

yang menyebabkan defisit terjadi setiap tahun. Persoalan defisit pembiayaan

berdampak langsung terhadap pelayanan kesehatan bagi peserta dan pembiayaan

langsung dari peserta. Beban finansial dan kesehatan penduduk yang menjadi

peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat masih besar. Layanan

kesehatan yang mereka terima dikatakan kurang bermutu akibat program

kekurangan dana. Data BPJS Kesehatan menunjukkan bahwa realisasi pendapatan

BPJS Kesehatan dari iuran peserta tahun 2017 mencapai Rp.74.2 triliun.

Sementara beban biaya layanan kesehatan di fasilitas kesehatan rujukan tingkat

5
lanjut (FKRTL) pada tahun yang sama sebesar Rp.84.4 triliun dan pembayaran

kapitasi untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) Rp.12.2 triliun. Pada

tahun 2017, Pemerintah telah memberi suntikan dana sebesar Rp.3,6 triliun untuk

memperkuat likuiditas BPJS Kesehatan. (BPJS Kesehatan, 2017)

Keterbatasan dana BPJS Kesehatan berdampak pada kelancaran

pembayaran tagihan klaim dari Rumah Sakit, maka terjadi keterlambatan

pembayaran jasa medis dan jasa layanan kesehatan lain bagi mereka yang bekerja

pada Rumah Sakit swasta, yang seharusnya pembayaran pada awal bulan setelah

bekerja, tetapi Rumah Sakit baru membayarnya setelah 5 sampai 6 bulan

kemudian karena menunggu pencairan dana BPJS.(Aditya Pradani, Lelonowati

and Rawat Inap Ramdani Husada, 2017)

Menurut (Tampi, Kawung and Tumiwa, 2016), pembayaran tagihan klaim

oleh BPJS Kesehatan belum sesuai harapan. Ada saja tagihan yang terverifikasi

dan sudah jatuh tempo tetapi belum dibayar oleh BPJS. Kondisi tersebut

mengakibatkan sejumlah obat kerap kosong dan RS bekerja keras melakukan

efisiensi sehingga pembayaran jasa medis dokter tertunda, akibatnya mutu

pelayanan yang diterima pasien turun meski tetap standar.

Selain itu juga setelah empat tahun berjalannya program BPJS, banyak

keluhan terkait dengan pelayanan kesehatan pasien BPJS, baik pada Fasilitas

Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjutan

(FKTL). Pasien BPJS sering ditolak di rumah yang bekerja sama dengan program

BPJS tersebut. Hal yang sama juga diungkapkan pada health.kompas.com 2017.

(Anna, 2017)

6
Kesehatan merupakan kebutuhan dasar setiap individu dan menjadi hak

bagi setiap manusia, sebagaimana diamanatkan dalam UU Dasar 1945 pasal 28 H

dan UU nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan bahwa setiap individu, keluarga

dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya dan

negara bertanggung jawab mengatur agar terpenuhi hak setiap individu untuk

hidup sehat dan produktif termasuk masyarakat miskin dan tidak mampu.

Pembangunan dalam bidang kesehatan merupakan salah satu bagian dari

pembangunan Nasional. Pemerintah sebagai institusi tertinggi, bertanggung jawab

atas pemeliharaan kesehatan, harus memenuhi kewajibannya dalam menyediakan

sarana dan prasarana dalam pelayanan kesehatan. (UU RI, 2009)

Keberhasilan Pemerintah dalam menerapkan konsep SJSN khususnya

pada jaminan kesehatan nasional bergantung pada kondisi supply (menyediakan)

dan demand (permintaan) dari pelayanan kesehatan. Dalam ekonomi kesehatan,

secara umum demand terhadap pelayanan kesehatan berupa barang atau jasa yang

dibeli (realisasi penggunaan) oleh pasien. (Janis, 2014)

Keluhan yang disampaikan oleh pengelola fasilitas kesehatan berupa

distribusi peserta di FKTP tidak merata, peserta banyak terdaftar di Faskes

tertentu. Obat kosong di distributor, sehingga persedian obat sangat terbatas.

Proses pengajuan klaim lama, hal ini menyangkut kesehatan keuangan rumah

sakit (cash flow). Dengan lambatnya pencairan uang klaim tersebut, dapat

menggangu pelayanan karena fasilitas kesehatan seperti rumah sakit swasta yang

tidak mendapat subsidi pemerintah, mengalami kesulitan dana untuk pengadaan

obat-obatan, alkes, pembayaran jasa medis dan lain-lain. Pasien tidak memahami

7
prosedur pelayanan program BPJS kesehatan. Tarif Kapitasi dan paket tarif INA-

CBG’s kurang memadai. (Aulia et al., 2015)

Dari jurnal-jurnal, newspaper artikel dan buku-buku yang dibaca, penulis

menemukan bahwa banyak masalah yang di bahas tentang program BPJS tentang

tarif INA-CBG’s, pelayanan kesehatan yang kurang memuaskan, bed penuh, ICU,

PICU atau NICU yang penuh, obat kosong, defisit anggaran BPJS, keterlambatan

pembayaran klaim dan sebagainya. Oleh sebab itu penulis merasa tertarik untuk

memberi masukan pada Pemerintah dengan menulis sebuah buku berjudul

“Formulasi Kebijakan Baru Subsidi Silang Iuran BPJS Untuk Sustainability JKN

dan Rumah Sakit”

8
BAB II

RUMAH SAKIT

2.1 Pengertian

Rumah Sakit merupakan sebuah sarana kesehatan yang padat karya

dan padat modal dalam memberikan pelayanan kesehatan pada yang sakit dan

membutuhkan pertolongan, serta berperan penting dalam meningkatkan

derajat kesehatan masyarakat.(Undang-Undang No. 44 Tahun 2009, 2009)

2.2 Klasifikasi Rumah Sakit

Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, Rumah Sakit

dikategorikan menjadi Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus.

Rumah Sakit Umum diklasifikasikan menjadi Rumah Sakit Umum

Kelas A, Rumah Sakit Umum Kelas B, Rumah Sakit Umum Kelas C

dan Rumah Sakit Umum Kelas D. Sedangkan Rumah Sakit Umum

Kelas D diklasifikasikan menjadi Rumah Sakit Umum Kelas D dan

Rumah Sakit Umum Kelas D pratama. (Permenkes, 2014)

Menurut (Permenkes, 2014); Rumah Sakit Khusus

diklasifikasikan menjadi Rumah Sakit Khusus Kelas A, Rumah Sakit

Khusus Kelas B dan Rumah Sakit Khusus Kelas C. Penetapan

klasifikasi Rumah Sakit didasarkan pada pelayanan, sumber daya

manusia (SDM), peralatan, bangunan dan prasarana. Bangunan dan

prasarana Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan tata bangunan

9
dan lingkungan serta persyaratan keandalan bangunan dan prasarana

Rumah Sakit. Persyaratan tata bangunan dan lingkungan meliputi

Peruntukan lokasi dan intensitas bangunan sesuai ketentuan peraturan

daerah setempat dan desain bangunan Rumah Sakit, yang meliputi:

1) Bentuk denah bangunan Rumah Sakit simetris dan sederhana

untuk mengantisipasi kerusakan apabila terjadi gempa.

2) Massa bangunan harus mempertimbangkan sirkulasi udara dan

pencahayaan.

3) Tata letak bangunan-bangunan (siteplan) dan tata ruang dalam

bangunan harus mempertimbangkan zonasi berdasarkan tingkat

resiko penularan penyakit, zonasi berdasarkan privasi, dan

zonasi berdasarkan kedekatan hubungan fungsi antar ruang

pelayanan.

4) Tinggi rendah bangunan harus dibuat tetap menjaga keserasian

lingkungan dan peil banjir.

5) Aksesibilitas di luar dan di dalam bangunan harus

mempertimbangkan kemudahan bagi semua orang termasuk

penyandang cacat dan lansia.

6) Bangunan Rumah Sakit harus menyediakan area parkir

kendaraan dengan jumlah area yang proporsional disesuaikan

dengan peraturan daerah setempat.

7) Perancangan pemanfaatan tata ruang dalam bangunan harus

efektif sesuai dengan fungsi-fungsi pelayanan.

10
8) Pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

9) Persyaratan keandalan bangunan dan prasarana Rumah Sakit

meliputi:

a. Persyaratan keselamatan struktur bangunan, kemampuan

bangunan menanggulangi bahaya kebakaran, bahaya petir,

bahaya kelistrikan, persyaratan instalasi gas medik, instalasi

uap dan instalasi bahan bakar gas.

b. Persyaratan sistem ventilasi, pencahayaan, instalasi air,

instalasi pengolahan limbah, dan bahan bangunan.

c. Persyaratan kenyamanan ruang gerak dan hubungan antar

ruang, kenyamanan termal, kenyamanan terhadap tingkat

getaran dan kebisingan.

d. Persyaratan tanda arah (signage), koridor, tangga, ram, lift,

toilet dan sarana evakuasi yang aman bagi semua orang

termasuk penyandang cacat dan lansia.

2.2.1 Rumah Sakit Umum Kelas A

Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum Kelas A

meliputi pelayanan medik, pelayanan kefarmasian, pelayanan

keperawatan dan kebidanan, pelayanan penunjang klinik,

pelayanan penunjang nonklinik dan pelayanan rawat inap.

(Permenkes, 2014)

11
Pelayanan medik terdiri dari pelayanan gawat darurat,

pelayanan medik spesialis dasar, pelayanan medik spesialis

penunjang, pelayanan medik spesialis lain, pelayanan medik

subspesialis dan pelayanan medik spesialis gigi dan mulut.

Pelayanan gawat darurat, harus diselenggarakan 24 (dua puluh

empat) jam sehari secara terus menerus. Sedangkan Pelayanan

medik spesialis dasar, meliputi pelayanan penyakit dalam,

kesehatan anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi. Pelayanan

medik spesialis penunjang, meliputi pelayanan anestesiologi,

radiologi, patologi klinik, patologi anatomi, dan rehabilitasi medik.

Pelayanan medik spesialis lain, meliputi pelayanan mata, telinga

hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan

kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf,

bedah plastik, dan kedokteran forensik. (Permenkes, 2014)

Pelayanan medik subspesialis, meliputi pelayanan

subspesialis di bidang spesialisasi bedah, penyakit dalam,

kesehatan anak, obstetri dan ginekologi, mata, telinga hidung

tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan

kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf,

bedah plastik, dan gigi mulut. Pelayanan medik spesialis gigi dan

mulut, meliputi pelayanan bedah mulut, konservasi/endodonsi,

periodonti, orthodonti, prosthodonti, pedodonsi, dan penyakit

mulut. (Permenkes, 2014)

12
Pelayanan kefarmasian meliputi pengelolaan sediaan

farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, dan pelayanan

farmasi klinik. Pelayanan keperawatan dan kebidanan meliputi

asuhan keperawatan generalis dan spesialis serta asuhan

kebidanan. Pelayanan penunjang klinik meliputi pelayanan bank

darah, perawatan intensif untuk semua golongan umur dan jenis

penyakit, gizi, sterilisasi instrumen dan rekam medik. Pelayanan

penunjang nonklinik meliputi pelayanan laundry/linen, jasa

boga/dapur, teknik dan pemeliharaan fasilitas, pengelolaan limbah,

gudang, ambulans, sistem informasi dan komunikasi, pemulasaraan

jenazah, sistem penanggulangan kebakaran, pengelolaan gas

medik, dan pengelolaan air bersih. Pelayanan rawat inap harus

dilengkapi dengan fasilitas sebagai berikut:

a. jumlah tempat tidur perawatan Kelas III paling sedikit 30% (tiga

puluh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit

milik Pemerintah

b. jumlah tempat tidur perawatan Kelas III paling sedikit 20% (dua

puluh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit

milik swasta

c. jumlah tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% (lima

persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik

Pemerintah dan Rumah Sakit milik swasta. (Permenkes, 2014)

13
Sumber daya manusia Rumah Sakit Umum kelas A terdiri

atas tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga

kesehatan lain, tenaga nonkesehatan. Tenaga medis terdiri atas:

a. 18 (delapan belas) dokter umum untuk pelayanan medik dasar

b. 4 (empat) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut

c. 6 (enam) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik

spesialis dasar

d. 3 (tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik

spesialis penunjang

e. 3 (tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik

spesialis lain

f. 2 (dua) dokter subspesialis untuk setiap jenis pelayanan medik

subspesialis; dan

g. 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan

medik spesialis gigi mulut. (Permenkes, 2014)

Tenaga kefarmasian terdiri atas:

a. 1 (satu) apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah

Sakit

b. 5 (lima) apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu

oleh paling sedikit 10 (sepuluh) tenaga teknis kefarmasian

c. (lima) apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit

10 (sepuluh) tenaga teknis kefarmasian

14
d. 1 (satu) apoteker di instalasi gawat darurat yang dibantu oleh

minimal 2 (dua) tenaga teknis kefarmasian

e. 1 (satu) apoteker di ruang ICU yang dibantu oleh paling

sedikit 2 (dua) tenaga teknis kefarmasian

f. 1 (satu) apoteker sebagai koordinator penerimaan dan

distribusi yang dapat merangkap melakukan pelayanan

farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh

tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan

dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit dan

g. 1 (satu) apoteker sebagai koordinator produksi yang dapat

merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat

inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis

kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban

kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit. (Permenkes,

2014)

Jumlah kebutuhan tenaga keperawatan sama dengan jumlah

tempat tidur pada instalasi rawat inap. Kualifikasi dan kompetensi

tenaga keperawatan disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan

Rumah Sakit. Jumlah dan kualifikasi tenaga kesehatan lain dan

tenaga nonkesehatan disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan

Rumah Sakit.

Sedangkan peralatan Rumah Sakit Umum kelas A harus

15
memenuhi standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan. Peralatan terdiri dari peralatan medis untuk instalasi

gawat darurat, rawat jalan, rawat inap, rawat intensif, rawat operasi,

persalinan, radiologi, laboratorium klinik, pelayanan darah,

rehabilitasi medik, farmasi, instalasi gizi, dan kamar jenazah.

(Permenkes, 2014)

2.2.2 Rumah Sakit Umum Kelas B

Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum kelas B

meliputi pelayanan medik, pelayanan kefarmasian, pelayanan

keperawatan dan kebidanan, pelayanan penunjang klinik,

pelayanan penunjang nonklinik dan pelayanan rawat inap.

Pelayanan medik dari pelayanan gawat darurat, pelayanan

medik spesialis dasar, pelayanan medik spesialis penunjang,

pelayanan medik spesialis lain, pelayanan medik subspesialis dan

pelayanan medik spesialis gigi dan mulut. Pelayanan gawat darurat,

harus diselenggarakan 24 (dua puluh empat) jam sehari secara terus

menerus. (Permenkes, 2014)

Pelayanan medik spesialis dasar, meliputi pelayanan penyakit

dalam, kesehatan anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi.

Pelayanan medik spesialis penunjang, meliputi pelayanan

anestesiologi, radiologi, patologi klinik, patologi anatomi, dan

rehabilitasi medik. Pelayanan medik spesialis lain, berjumlah 8

16
(delapan) pelayanan dari 13 (tiga belas) pelayanan yang meliputi

pelayanan mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan

pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru,

orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik, dan kedokteran

forensik. Pelayanan medik subspesialis, berjumlah 2 (dua)

pelayanan subspesialis dari 4 (empat) subspesialis dasar yang

meliputi pelayanan subspesialis di bidang spesialisasi bedah,

penyakit dalam, kesehatan anak, dan obstetri dan ginekologi.

Pelayanan medik spesialis gigi dan mulut, berjumlah 3 (tiga)

pelayanan yang meliputi pelayanan bedah mulut,

konservasi/endodonsi, dan orthodonti. (Permenkes, 2014)

Pelayanan kefarmasian meliputi pengelolaan sediaan

farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, dan pelayanan

farmasi klinik. Sementara pelayanan keperawatan dan kebidanan

meliputi asuhan keperawatan dan asuhan kebidanan. (Permenkes,

2014)

Pelayanan penunjang klinik meliputi pelayanan bank darah,

perawatan intensif untuk semua golongan umur dan jenis penyakit,

gizi, sterilisasi instrumen dan rekam medik. Sedangkan pelayanan

penunjang nonklinik meliputi pelayanan laundry/linen, jasa

boga/dapur, teknik dan pemeliharaan fasilitas, pengelolaan limbah,

gudang, ambulans, sistem informasi dan komunikasi, pemulasaraan

jenazah, system penanggulangan kebakaran, pengelolaan gas

17
medik, dan pengelolaan air bersih. (Permenkes, 2014)

Pelayanan rawat inap harus dilengkapi dengan fasilitas

sebagai berikut:

a. jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30%

(tiga puluh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah

Sakit milik Pemerintah;

b. jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 20%

(dua puluh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah

Sakit milik swasta;

c. jumlah tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% (lima

persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik

Pemerintah dan Rumah Sakit milik swasta. (Permenkes,

2014)

Sumber daya manusia Rumah Sakit Umum kelas B terdiri

atas tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga

kesehatan lain, tenaga nonkesehatan.

(1) Tenaga medis terdiri atas:

a. 12 (dua belas) dokter umum untuk pelayanan medik

dasar

b. 3 (tiga) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi

mulut

c. 3 (tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan

18
medik spesialis dasar

d. 2 (dua) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan

medik spesialis penunjang

e. 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan

medik spesialis lain

f. 1 (satu) dokter subspesialis untuk setiap jenis

pelayanan medik subspesialis

g. 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis

pelayanan medik spesialis gigi mulut.

(2) Tenaga kefarmasian terdiri atas:

a. 1 (satu) orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi

Rumah Sakit

b. 4 (empat) apoteker yang bertugas di rawat jalan yang

dibantu oleh paling sedikit 8 (delapan) orang tenaga teknis

kefarmasian

c. 4 (empat) orang apoteker di rawat inap yang dibantu oleh

paling sedikit 8 (delapan) orang tenaga teknis kefarmasian

d. 1 (satu) orang apoteker di instalasi gawat darurat yang

dibantu oleh minimal 2 (dua) orang tenaga teknis

kefarmasian

e. 1 (satu) orang apoteker di ruang ICU yang dibantu oleh

paling sedikit 2 (dua) orang tenaga teknis kefarmasian

f. 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator penerimaan

19
dan distribusi yang dapat merangkap melakukan

pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan

dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang

jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan

kefarmasian Rumah Sakit

g. 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator produksi

yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi

klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh

tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan

dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah

Sakit. (Permenkes, 2014)

Jumlah kebutuhan tenaga keperawatan sama dengan jumlah

tempat tidur pada instalasi rawat inap. Kualifikasi dan kompetensi

tenaga keperawatan disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan

Rumah Sakit. Jumlah dan kualifikasi tenaga kesehatan lain dan

tenaga nonkesehatan disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan

Rumah Sakit. (Permenkes, 2014)

Peralatan Rumah Sakit Umum kelas B harus memenuhi

standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Peralatan terdiri dari peralatan medis untuk instalasi gawat darurat,

rawat jalan, rawat inap, rawat intensif, rawat operasi, persalinan,

radiologi, laboratorium klinik, pelayanan darah, rehabilitasi medik,

20
farmasi, instalasi gizi, dan kamar jenazah. (Permenkes, 2014)

2.2.3 Rumah Sakit Umum Kelas C

Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum kelas C

meliputi: pelayanan medik, pelayanan kefarmasian, pelayanan

keperawatan dan kebidanan, pelayanan penunjang klinik,

pelayanan penunjang nonklinik dan pelayanan rawat inap.

Pelayanan medik terdiri dari pelayanan gawat darurat,

pelayanan medik umum, pelayanan medik spesialis dasar,

pelayanan medik spesialis penunjang, pelayanan medik spesialis

lain, pelayanan medik subspesialis dan pelayanan medik spesialis

gigi dan mulut. Pelayanan gawat darurat, harus diselenggarakan 24

(dua puluh empat) jam sehari secara terus menerus. (Permenkes,

2014)

Pelayanan medik umum, meliputi pelayanan medik dasar,

medik gigi mulut, kesehatan ibu dan anak, dan keluarga berencana.

Pelayanan medik spesialis dasar, meliputi pelayanan penyakit

dalam, kesehatan anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi.

Pelayanan medik spesialis penunjang, meliputi pelayanan

anestesiologi, radiologi, dan patologi klinik. Pelayanan medik

spesialis gigi dan mulut, paling sedikit berjumlah 1 (satu)

pelayanan. (Permenkes, 2014)

Pelayanan kefarmasian meliputi pengelolaan sediaan

21
farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, dan pelayanan

farmasi klinik. Pelayanan keperawatan dan kebidanan meliputi

asuhan keperawatan dan asuhan kebidanan.

Pelayanan penunjang klinik meliputi pelayanan bank darah,

perawatan intensif untuk semua golongan umur dan jenis penyakit,

gizi, sterilisasi instrumen dan rekam medik. Pelayanan penunjang

nonklinik meliputi pelayanan laundry/linen, jasa boga/dapur, teknik

dan pemeliharaan fasilitas, pengelolaan limbah, gudang, ambulans,

sistem informasi dan komunikasi, pemulasaraan jenazah, sistem

penanggulangan kebakaran, pengelolaan gas medik, dan

pengelolaan air bersih. (Permenkes, 2014)

Pelayanan rawat inap harus dilengkapi dengan fasilitas

sebagai berikut:

a. jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30% (tiga

puluh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik

Pemerintah;

b. jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 20% (dua

puluh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit

milik swasta;

c. jumlah tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% (lima

persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik

Pemerintah dan Rumah Sakit milik swasta.

22
Sumber daya manusia Rumah Sakit Umum kelas C terdiri

atas tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga

kesehatan lain, tenaga nonkesehatan.

Tenaga medis terdiri atas:

a. 9 (sembilan) dokter umum untuk pelayanan medik dasar

b. 2 (dua) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut

c. 2 (dua) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik

spesialis dasar

d. 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik

spesialis penunjang

e. 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan

medik spesialis gigi mulut.

Tenaga terdiri atas:

a. 1 (satu) orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi

Rumah Sakit

b. 2 (dua) apoteker yang bertugas di rawat inap yang dibantu oleh

paling sedikit 4 (empat) orang tenaga teknis kefarmasian

c. 4 (empat) orang apoteker di rawat inap yang dibantu oleh

paling sedikit 8 (delapan) orang tenaga teknis kefarmasian

d. 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator penerimaan,

distribusi dan produksi yang dapat merangkap melakukan

23
pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan

dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya

disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian

Rumah Sakit. (Permenkes, 2014)

Jumlah kebutuhan tenaga keperawatan dihitung dengan

perbandingan 2 (dua) perawat untuk 3 (tiga) tempat tidur.

Kualifikasi dan kompetensi tenaga keperawatan disesuaikan dengan

kebutuhan pelayanan Rumah Sakit. Jumlah dan kualifikasi tenaga

kesehatan lain dan tenaga nonkesehatan disesuaikan dengan

kebutuhan pelayanan Rumah Sakit. (Permenkes, 2014)

Peralatan Rumah Sakit Umum kelas C harus memenuhi

standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Peralatan terdiri dari peralatan medis untuk instalasi gawat darurat,

rawat jalan, rawat inap, rawat intensif, rawat operasi, persalinan,

radiologi, laboratorium klinik, pelayanan darah, rehabilitasi medik,

farmasi, instalasi gizi, dan kamar jenazah. (Permenkes, 2014)

2.2.4 Rumah Sakit Umum Kelas D

Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum Kelas D

meliputi pelayanan medik, pelayanan kefarmasian, pelayanan

keperawatan dan kebidanan, pelayanan penunjang klinik,

pelayanan penunjang nonklinik dan pelayanan rawat inap.

24
(Permenkes, 2014)

Pelayanan Medik terdiri dari pelayanan gawat darurat,

pelayanan medik umum, pelayanan medik spesialis dasar dan

pelayanan medik spesialis penunjang. Pelayanan gawat darurat,

harus diselenggarakan 24 (dua puluh empat) jam sehari secara terus

menerus. Pelayanan medik umum meliputi pelayanan medik dasar,

medik gigi mulut, kesehatan ibu dan anak, dan keluarga berencana.

Pelayanan medik spesialis dasarpaling sedikit 2 (dua) dari 4

(empat) pelayanan medik spesialis dasar yang meliputi pelayanan

penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, dan/atau obstetri dan

ginekologi. Pelayanan medik spesialis penunjang, meliputi

pelayanan radiologi dan laboratorium. (Permenkes, 2014)

Pelayanan kefarmasian meliputi pengelolaan sediaan

farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, dan pelayanan

farmasi klinik. Pelayanan keperawatan dan kebidanan meliputi

asuhan keperawatan dan asuhan kebidanan. (Permenkes, 2014)

Pelayanan penunjang klinik meliputi pelayanan darah,

perawatan high care unit untuk semua golongan umur dan jenis

penyakit, gizi, sterilisasi instrumen dan rekam medik. Pelayanan

penunjang nonklinik meliputi pelayanan laundry/linen, jasa

boga/dapur, teknik dan pemeliharaan fasilitas, pengelolaan limbah,

gudang, ambulans, sistem informasi dan komunikasi, pemulasaraan

jenazah, sistem penanggulangan kebakaran, pengelolaan gas medik,

25
dan pengelolaan air bersih. (Permenkes, 2014)

Pelayanan rawat inap harus dilengkapi dengan fasilitas

sebagai berikut:

a. jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30%

(tiga puluh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah

Sakit milik Pemerintah;

b. jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 20%

(dua puluh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah

Sakit milik swasta;

c. jumlah tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% (lima

persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik

Pemerintah dan Rumah Sakit milik swasta. (Permenkes,

2014)

Sumber daya manusia rumah sakit umum kelas D terdiri

atas: tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga

kesehatan lain, tenaga nonkesehatan.

Tenaga medis terdiri atas:

a. 4 (empat) dokter umum untuk pelayanan medik dasar

b. 1 (satu) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi

mulut

c. 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik

26
spesialis dasar. (Permenkes, 2014)

Tenaga kefarmasian terdiri atas:

a. 1 (satu) orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi

Rumah Sakit

b. 1 (satu) apoteker yang bertugas di rawat inap dan rawat

jalan yang dibantu oleh paling sedikit 2 (dua) orang tenaga

teknis kefarmasian

c. 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator penerimaan,

distribusi dan produksi yang dapat merangkap melakukan

pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan

dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya

disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian

Rumah Sakit. (Permenkes, 2014)

Jumlah kebutuhan tenaga keperawatan dihitung dengan

perbandingan 2 (dua) perawat untuk 3 (tiga) tempat tidur.

Kualifikasi dan kompetensi tenaga disesuaikan dengan kebutuhan

pelayanan rumah sakit. Jumlah dan kualifikasi tenaga kesehatan

lain dan tenaga nonkesehatan disesuaikan dengan kebutuhan

pelayanan Rumah Sakit. (Permenkes, 2014)

Peralatan Rumah Sakit Umum kelas D harus memenuhi

standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

27
Peralatan terdiri dari peralatan medis untuk instalasi gawat darurat,

rawat jalan, rawat inap, rawat intensif, rawat operasi, persalinan,

radiologi, laboratorium klinik, pelayanan darah, rehabilitasi medik,

farmasi, instalasi gizi, dan kamar jenazah. (Permenkes, 2014)

28
BAB III

JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

3.1 Pengertian

Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan

kesehatan, agar peserta mendapatkan manfaat layanan kesehatan, juga

perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang

diberikan pada setiap individu yang sudah membayar iuran atau iuran-

nya dibayar oleh pemerintah.(Kemenkes RI, 2013)

Sedangkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)

Kesehatan Kesehatan merupakan badan hukum yang dibentuk untuk

menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan.(Kemenkes RI, 2013)

Jaminan Kesehatan Nasional adalah bagian dari Sistem Jaminan

Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan melalui mekanisme asuransi

yang sifatnya wajib (mandatory), berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun

2004 tentang SJSN; bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan

masyarakat Indonesia yang sudah membayar iuran atau iurannya dibayarkan

oleh pemerintah.(Wahyuningsih, 2015)

Beberapa negara sudah menerapkan sistem jaminan kesehatan ini

seperti Malaysia, Filipina, Thailand, Korea Selatan, Perancis, Jerman,

Australia, Amerika selatan. Setiap negara memiliki sistem dan mekanisme

yang berbeda yang mengacu pada pencapaian tujuan dasar sistem pelayanan

kesehatan, yakni 1) menjaga agar orang tetap sehat, 2) merawat orang yang

29
sakit, dan 3) melindungi keluarga dari kebangkrutan finansial akibat tagihan

pelayanan medis.(Thabrany, 2013)

Program JKN diselenggarakan secara Nasional, agar terjadi subsidi

silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan secara menyeluruh

(holistic) bagi masyarakat miskin (the poor) atau kurang mampu. Pelayanan

kesehatan kepada masyarakat menjadi tanggung jawab pemerintah dan

dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemerintah

wajib memberikan bantuan agar pelayanan yang dihasilkan lebih optimal dan

bermutu. (Aulia et al., 2015)

Program Jaminan Kesehatan ini diselenggarakan berdasarkan prinsip

asuransi sosial dengan tujuan untuk memberikan manfaat pemeliharaan

kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.

Prinsip asuransi tersebut meliputi kepesertaan yang bersifat wajib bagi

seluruh rakyat Indonesia, sehingga ada kegotong-royongan antara yang kaya

atau miskin, sakit berat atau ringan, tua atau muda, dengan manfaat pelayanan

medis yang sama, bersifat komprehensif, meliputi pelayanan kesehatan

promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk alkes (alat kesehatan)

serta obat-obatan. (Aulia et al., 2015)

Penyelenggaraan JKN, sesuai dengan diamanatkan dalam Pasal 28H

ayat (3) mengenai hak terhadap jaminan sosial dan Pasal 34 ayat (2) UUD

Negara RI tahun 1945, dan Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang

tertuang dalam TAP MPR Nomor X/MPR/2001, yang menugaskan Presiden

untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dalam rangka

30
memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh (holistic) dan terpadu.

Dalam konteks tersebut kajian ini hadir, sebagai upaya mempertegas, apakah

program SJSN dan BPJS sudah merepresentasikan manisfestasi kesejahteraan

seluruh rakyat termasuk dokter dalan tenga kesehatan lain, sebagai pemberi

jasa pelayanan kesehatan di Rumah Sakit.(Purwoko, 2012)

3.2 Tujuan JKN

Tujuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah untuk memberikan

kepuasan kepada masyarakat dalam layanan kesehatan. Untuk mewujudkan

tujuan tersebut, maka penyelenggara layanan kesehatan dalam negara hukum

yang tercermin dalam berbagai aspek pemenuhan kebutuhan publik, yaitu:

1) Transparans berupa pemenuhan dengan bersifat terbuka, mudah dan

dapat diakses oleh semua pihak serta disediakan secara memadai serta

mudah dimengerti.

2) Akuntabilitas adalah pemenuhan yang dapat dipertanggung-

jawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

3) Kondisional merupakan pemenuhan yang sesuai dengan kondisi dan

kemampuan pemberi serta penerima layanan, dengan berpegang pada

prinsip efisiensi dan efektifitas.

4) Partisipatif adalah pemenuhan yang mendorong peran serta

masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan

memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.

31
5) Kesamaan hak berupa pemenuhan dengan tidak melakukan

diskrimnasi dari aspek apapun, baik dari suku, ras, agama, golongan,

status sosial, dan lain-lain.

6) Keseimbangan hak dan kewajiban yaitu pemenuhan yang

mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima

pelayanan. (BPJS, 2014)

Perwujudan jaminan kesehatan masyarakat tersebut, tercermin dalam

konstitusi Indonesia yakni UUD 1945, baik pada pembukaan maupun pada

beberapa pasal, telah memberikan landasan hukum yang kuat, meski tidak

secara eksplisit menyebutkan perlindungan dan jaminan sosial (kesehatan).

Dalam pasal 27 Ayat 2, UUD 1945 pasca Amandemen disebutkan bahwa

setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan. Amanat tersebut dipertegas melalui pasal yang lebih khusus

yakni pada pasal 34 ayat 2 perubahan UUD 1945 tahun 2002 yang

menyatakan bahwa Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi

seluruh rakyat. (Strategis and Kesehatan, 2015)

Pada tingkat Internasional, secara universal, perlindungan dan jaminan

sosial juga telah di jamin dengan adanya Deklarasi PBB Tahun 1947 tentang

Hak Azasi Manusia. Seperti halnya pada banyak negara lain, pemerintah

Indonesia, telah ikut menandatangani Deklarasi tersebut. Deklarasi tersebut

menyatakan bahwa, setiap orang, sebagai anggota masyarakat, mempunyai

hak atas jaminan sosial dalam hal menganggur, sakit, cacat, tidak mampu

32
bekerja, menjanda, hari tua. (Thabrany and Laborahima, 2016)

Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa perlindungan dan

jaminan sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah bersama masyarakat di

tingkat nasional, dapat memberikan perlindungan dan jaminan sosial bagi

seluruh masyarakat, serta membantu untuk menggerakkan roda

pembangunan. (World Health Organization, 2016)

Berdasarkan fakta yang terjadi beberapa tahun terakhir ini,

perlindungan dan jaminan sosial semakin diperlukan terutama pada kondisi

perekonomian global maupun nasional yang sedang mengalami berbagai

krisis (multi dimentional crisis) yang mengancam kesejahteraan rakyat.

Sehingga upaya penyelamatan dari berbagai resiko tersebut, yaitu

dikembangkan suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial yang

menyeluruh dan terpadu, sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal

bagi seluruh warga negaranya. (Schwartz, 2012)

Defenisi perlindungan dan jaminan sosial yang terdapat pada rencana

pembangunan nasional merupakan suatu langkah kebijakan yang dilakukan

untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi masyarakat miskin,

terutama kelompok masyarakat yang paling miskin (the poorest) dan

kelompok masyarakat miskin (the poor). (Dewi, 2015)

Risks adalah yang menimpa atau dialami the poor, dan dapat

dikelompokkan menjadi empat, yaitu 1) Lifecycle misalnya cacat, kematian,

dan lanjut usia; 2) Economic misalnya kegagalan panen, penyakit hama,

pengangguran, peningkatan harga kebutuhan dasar dan krisis ekonomi; 3)

33
Environmental misalnya kekeringan, banjir dan gempa bumi; 4) Social

governance misalnya kriminalitas, kekerasan domestic dan ketidakstabilan

politik. (Pagés, Rigolini and Robalino, 2013)

Sedangkan Social Insurance programs menurut Folland, Googman

and Stano (1997) dibedakan dalam lima kategori yaitu; 1) Poverty programs

that are directed toward persons experiencing poverty involve either the

provision of cash, or more often the subsidized provisions of goods “in kind”,

such as rent vouchers or food stamps; 2) Old age programs that are directed

toward the elderly include income maintenance, such as Social Security, as

well as services and considerations (such as old age housing, Meals on

Wheels) that may address the generally decreased mobility of the elderly; 3)

Disability programs that generally provide cash benefits; 4) Health programs

that cover illness or well care financing and or provide facilities for various

segments of population. The individual’s health care is financed either

entirely or in part by the government; 5) Unemployment program that

generally provide short-term cash benefits.(Sparrow, Suryahadi and

Widyanti, 2013)

Dari definisi tersebut, sudah memberikan penegasan bahwa

perlindungan dan jaminan sosial termasuk kesehatan, berkaitan erat dengan

masalah kemiskinan, yang berdampak pada penurunan kualitas hidup

manusia maka, untuk mendukung upaya pemerintah dalam memberikan atau

menciptakan perlindungan dan jaminan sosial, terutama dalam bidang

kesehatan kepada setiap warga negara, maka pemerintah perlu menata ulang

34
berbagai bentuk perlindungan dan jaminan sosial yang sudah ada, dan

membuatnya menjadi suatu Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial yang

lebih komprehensif dan memberikan efisiensi serta efektivitas yang lebih

optimal yaitu Badan Pelayanan Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan.(Republik

Indonesia, 2004)

Pada tahun 1883, penyelenggaraan sistem jaminan sosial, di rintis oleh

Otto von Bismarck dalam (Pagés, Rigolini and Robalino, 2013), sebagai

upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Program tersebut dimulai

dengan memberikan jaminan kesehatan kepada kelompok tenaga kerja

tertentu, sesuai dengan kebutuhan industrialisasi. Pekerja dan pemberi kerja

bergotong-royong membiayai program jaminan sosial melalui mekanisme

asuransi sosial. Apa yang diperkenalkan Otto von Bismarck ini telah

berkembang diseluruh dunia dan telah modifikasi, sesuai dengan keadaan dan

kebutuhan di setiap negara. Seperti Amerika Serikat, memperkenalkan

program jaminan sosial melalui social security Act 1935, sebagai bagian dari

program the new deal President Roosevelt mengatasi resesi pada waktu itu.

(Bozic and Nwachukwu, 2013)

Di Indonesia, semangat ini muncul sejak tahun 1998. Pada tahun

tersebut, pemerintah mulai membiayai pemeliharaan kesehatan dengan

memprioritaskan keluarga miskin (Gakin), yaitu melalui program jaminan

pemeliharaan kesehatan keluarga miskin (JPK-Gakin). Cakupan JPK-Gakin

meliputi pelayanan kesehatan dasar, yang kemudian diperluas untuk

pelayanan pencegahan pemberantasan penyakit menular (khususnya malaria,

35
diare, dan TB paru).(Wahyuningsih, 2015)

Akhir tahun 2001, Pemerintah menyalurkan dana subsidi bahan bakar

minyak, untuk pelayanan rumah sakit (RS) bagi gakin. Program tersebut

diselenggarakan untuk mengatasi dampak krisis pada waktu itu, dengan cara

memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi keluarga miskin melalui subsidi

biaya operasional puskesmas, bidan di desa (BDD), gizi, posyandu,

Pemberantasan Penyakit Menular (P2M), dan rujukan rumah sakit. (Faozi

Kurniawan et al., 2017)

Dalam memelihara derajat kesehatan masyarakat, dengan keterbatasan

pembiayaan kesehatan yang telah dibahas di atas, maka dirancang beberapa

konsep perlindungan dan jaminan sosial di bidang kesehatan, (Kementrian

Kesehatan, 2014) yaitu:

1) Pembiayaan berbasis solidaritas social, dalam bentuk Jamkesnas yang

merupakan bentuk jaminan kesehatan prabayar, bersifat wajib untuk

seluruh masyarakat, guna memenuhi kebutuhan kesehatan utama

setiap warga negara. Pembiayaan Jamkesnas, berasal dari iuran yang

diperhitungkan sebagai persentase tertentu, dari penghasilan setiap

keluarga. Pekerja di sektor formal dan keluarganya akan lebih cepat

dicakup karena kemudahan menghimpunan iuran.

2) Pembiayaan berbasis sukarela, dalam bentuk asuransi kesehatan

(askes) komersial, berdasarkan UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha

Perasuransi dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat

(JPKM) sukarela berdasarkan UU No. 23 Tahun 2009 tentang

36
Kesehatan dan Konstitusi WHO.

3) Pembiayaan kesehatan bagi sektor informal, dalam bentuk jaminan

kesehatan mikro oleh dan untuk masyarakat, misalnya dalam bentuk

dana sehat dan dana sosial masyarakat yang dihimpun untuk

pelayanan sosial dasar, termasuk kesehatan, misalnya dihimpun dari

dana sosial keagamaan dari semua agama (kolekte, dana paramitha,

infaq, dan sebagainya).

4) Pembiayaan kesehatan bagi keluarga miskin dengan prinsip asuransi,

dalam bentuk pembiayaan premi oleh pemerintah untuk JPK-Gakin.

(Gabby, 2015)

Selain itu, terdapat jaminan sosial di bidang kesehatan yaitu

Asuransi Kesehatan yang diselenggarakan oleh PT. Askes. Asuransi

Kesehatan ini memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan

yang berlaku. Ruang lingkup pelayanan yang diberikan oleh Askes berupa

konsultasi medis dan penyuluhan kesehatan, pemeriksaan dan pengobatan

oleh dokter (dokter umum, dokter gigi dan dokter spesialis).

Peserta pembiayaan dengan asuransi pada sistem jaminan

kesehatan ini, dibedakan menjadi dua yakani peserta wajib terdiri dari

pegawai negeri sipil (PNS) termasuk calon PNS, pejabat negara, dan

penerima pensiun (PNS, TNI/POLRI, PNS di lingkungan TNI/POLRI, dan

pejabat negara), Veteran dan Perintis Kemerdekaan, beserta keluarganya.

Sedangkan jenis peserta lainnya adalah peserta sukarela yaitu pegawai

37
swasta, BUMN/BUMD, perusahaan daerah, badan usaha lainnya, serta

Dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT), perawat dan Bidan Pegawai Tidak

Tetap (PTT). (Firdaus and Dewi, 2015)

3.3 Indonesia Case Based Groups (INA-CBG’s)

Indonesia Case Based Groups (INA-CBG’s) dalam (Rahayuningrum,

Gunawan Tamtomo and Suryono, 2010) adalah CBG’s yang dikaitkan

dengan tarif, dihitung berdasarkan data costing di Indonesia dan dijalankan

dengan menggunakan United Nation University Grouper (UNU-

GROUPER), berbeda dengan INA-DRG sebelumnya yang memakai sistem

grouper komersial dari PT 3M Indonesia. UNU adalah institusi dibawah

PBB dengan tujuan utama membantu negara-negara berkembang untuk

mencapai Millenium Development Goals (MDG’s).(Faozi Kurniawan et al.,

2017)

Pada sistem tersebut, perhitungan biaya perawatan dilakukan

berdasarkan diagnosis akhir pasien saat dirawat inap di rumah sakit.

Penerapan case based groups pembayaran berdasarkan rata-rata biaya yang

dihabiskan oleh rumah sakit untuk suatu diagnosis, besarnya biaya

perawatan pasien dengan diagnosis, akan berbeda sesuai dengan kelas atau

tipe rumah sakit. Pembayaran case based groups Rumah Sakit maupun

pihak pembayar (asuransi Jamkesmas) tidak lagi merinci tagihan

pembayaran pasien dengan melakukan penagihan pada setiap jenis

pelayanan yang telah diberikan kepada seorang pasien. (Creswell, 2008)

38
Diagnosis pasien saat keluar dari rumah sakit merupakan dasar

dalam menentukan biaya perawatan. Diagnosis tersebut kemudian dilakukan

pemberian kode International Statistical Classification of Diseases and

Related Health Problem (ICD-10). (Firdaus and Dewi, 2015)

Sistem pembayaran case based groups, berdasarkan diagnosis pasien

yang pulang rawat inap. Rumah Sakit mendapatkan penggantian biaya

perawatan berdasarkan rata-rata biaya yang yang dihabiskan oleh rumah

sakit dalam penatalaksanaan satu diagnosis penyakit. Sistem INA-CBG’s

(Indonesia Case Based Groups) merupakan solusi pengendalian biaya

pelayanan kesehatan dan berhubungan dengan mutu, pemerataan, jangkauan

dalam sistem kesehatan yang menjadi salah satu unsur dalam pembelanjaan

kesehatan serta mekanisme pembayaran untuk pasien berbasis kasus

campuran. (Kemenkes RI, 2013)

CBG’s adalah sistem pemberian imbalan jasa pelayanan kesehatan

pada penyedia pelayanan kesehatan (PPK) yang ditetapkan berdasarkan

pengelompokkan diagnosis penyakit. Diagnosis dalam CBG’s sesuai dengan

ICD-9-CM (International Classification Disease Ninth Edition Clinical

Modification) dan ICD-10 (International Statistical Classification of

Diseases and Related Health Problems Tenth Revision).(Mendrofa and

Suryawati, 2016)

Dasar hukum implementasi dan pelaksanaan INA-CBG’s di

Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN dan

Surat Keputusan Direktur Jendral Bina Upaya Kesehatan Nomor.

39
HK.03.05/I/589/2011 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Center for

Casemix Tahun 2011. (Zainudin and Omar, 2012)

3.4 Sistem INA-CBG’s

Penentuan kode INA-CBG’s dan tarif INA-CBG’s dimulai pada saat

pasien keluar dari rumah sakit. Data yang harus dimasukkan dalam software

INA-CBG’s adalah data yang diambil dari resume medik dan data pasien.

Kedua data ini dapat dikumpulkan secara manual maupun komputerisasi

dari sistem informasi manajemen rumah sakit (SIM RS) bagi rumah sakit

yang telah mempunyai SIM RS. Setelah data variabel tersebut dimasukkan

ke dalam software INA-CBG’s, lalu dilakukan grouping sehingga

menghasilkan kode INA-CBG’s beserta tarif per pasien. (Wahyuningsih,

2015)

3.5 Sistem Case-Mix CBG ‘s

Case-Mix adalah sistem pembayaran pelayanan kesehatan yang

berhubungan dengan mutu, pemerataan, jangkauan dalam sistem pelayanan

kesehatan yang menjadi salah satu unsur dalam pembiayaan kesehatan dan

mekanisme pembayaran untuk pasien berbasis kasus campuran. Case-Mix

merupakan suatu format yang berisikan kombinasi beberapa jenis penyakit

dan tindakan pelayanan di rumah sakit dengan pembiayaan yang dikaitkan

dengan mutu dan efektivitas pelayanan.(Wahyuningsih, 2015)

40
Sistem CBG’s sebagai salah satu metode case-mix, merupakan suatu

metode pengelompokkan kasus yang dapat digunakan sebagai acuan

estimasi biaya layanan kesehatan yang harus dibayar oleh pasien. CBG’s

dipandang sebagai sebuah objek perhitungan biaya. Terminologi biaya

layanan dalam pembahasan ini adalah besaran nilai rupiah yang dikeluarkan

atau dibayarkan oleh pasien maupun penjamin pasien atas suatu tindakan

perawatan pasien kepada rumah sakit sebagai penyedia layanan kesehatan.

(Supriadi, 2015)

Besaran biaya pada layanan kesehatan dari sudut pandang pasien

sebagai pembeli layanan, lebih luas dibanding dengan biaya perawatan dari

sudut rumah sakit sebagai pembeli sumber daya. Pada sudut pandang rumah

sakit sebagai pembeli sumber daya, kandungan biaya mencakup besaran

nilai rupiah yang dikeluarkan rumah sakit atas konsumsi seluruh sumber

daya yang digunakan, baik yang bersifat recurrent cost maupun capital cost

dalam aktivitas operasional maupun non-operasional rumah sakit dalam

rangka penyediaan layanan kesehatan.(Lahdji, Setiawan and Purnamasari,

2015)

3.6 Pengkodean Dalam Case-Mix CBG ‘s

Pengkodean dalam Case-Mix merupakan pengkodean dalam ICD-10

dan ICD-9 CM. Pengelompokkan penyakit dapat didefinisikan sebagai suatu

sistem pengelompokkan data morbiditas yang ditetapkan sesuai dengan

kriteria WHO tahun1994. Pedoman klasifikasi penyakit yang berlaku di

41
dunia adalah ICD-10 sedangkan ICD-9 CM merupakan buku yang

digunakan untuk mengkode tindakan. Fungsi ICD-10 menurut (Fleming et

al., 2015) adalah penerapan pengkodean ICD yang digunakan untuk:

1) Mengindeks pencatatan penyakit dan tindakan pada sarana pelayanan

kesehatan, input bagi sistem pelaporan diagnosis medis.


2) Memudahkan proses penyimpanan dan pengambilan data terkait

diagnosis karakteristik pasien dan penyedia layanan.


3) Bahan dasar dalam pengelompokkan CBG’s (case based groups)

untuk sistem penagihan pembayaran biaya layanan kesehatan.


4) Pelaporan Nasional dan Internasional morbiditas dan mortalitas.
5) Tabulasi data layanan kesehatan bagi proses evaluasi perencanaan

pelayanan medis.
6) Menentukan bentuk pelayanan yang harus direncanakan dan

dikembangkan sesuai kebutuhan zaman.

3.7 Analisis Pembiayaan Layanan Kesehatan Dalam Case-Mix INA-CBG’s

kode CBG’s.
Dalam (Retnaningsih, Misnaniarti and Ainy, 2012) analisis

pembiayaan layanan kesehatan dibagi dalam 4 sub groups yaitu:


1) Sub groups ke 1, menunjukan CMG’s (Case Main Group’s) yang

ditandai dengan huruf alpabhetik (A-Z). Dalam hal ini huruf “E”

menjadi sub groups pertama sebagai CMG’s (Case Main Group’s) dari

Endocrine System, Nutrition & Metabolism Groups. Diagnosis

Diabetes Mellitus termasuk didalamnya, huruf “E” mengacu pada

chapter dalam ICD-10, angka pertama dalam kode ICD-10 yaitu E10.
2) Sub groups ke 2, menunjukan tipe kasus yang ditandai dengan angka

(1-9), angka “4” dalam tipe kasus disini adalah tipe “rawat Inap dan

bukan prosedur”.

42
3) Sub groups ke 3, menunjukan spesifikasi CBG’s yang ditandai dengan

angka (1-32), diagnosis diabetes mellitus ditandai dengan angka 10

untuk spesifikasi CBG’s.


4) Sub groups ke 4, menunjukan severity level yang ditandai dengan

angka romawi (I-III). Severity Level menunjukkan tingkat keparahan

penyakit pasien. Deskripsi dari E-4-10-I, II dan III berturut-turut

adalah diabetes mellitus ringan, diabetes mellitus sedang dan diabetes

mellitus berat. Terjadinya severity level dipengaruhi oleh beberapa

faktor karena adanya diagnosis sekunder maupun tindakan atau

prosedur dan umur pasien. Severity level ini berpengaruh terhadap

besarnya tarif yang diterima oleh rumah sakit.

3.8 Sistem Pembayaran Berdasarkan Case-Mix CBG’s


Ditinjau dari sudut pandang pasien sebagai pembeli layanan

kesehatan, biaya layanan kesehatan mencakup besaran nilai rupiah yang

dibutuhkan sebagai nilai ganti ekonomis atas layanan kesehatan yang sudah

diberikan rumah sakit, baik yang dibayar oleh pasien langsung (out of

pocket), penjamin (insurance), maupun subsidi. Jika hal ini ditinjau dari sudut

pandang rumah sakit sebagai penyedia layanan kesehatan, maka biaya

kesehatan yang dimaksud adalah tarif (charge) yang dikenakan rumah sakit

atas layanan kesehatan yang diberikan. (Hanevi Djasri, dr, 2013)


Beberapa peneliti menggunakan nilai billing (tarif) sebagai

pengukuran biaya layanan kesehatan. Permasalahan yang terjadi adalah sering

billing (tarif) berbeda dengan biaya aktual yang dikeluarkan rumah sakit

sebagai pembeli sumber daya dan selisih beda biaya ini disebut margin. Pada

dasarnya elemen yang terkandung dalam tarif adalah biaya dan margin. Nilai

43
margin dapat bernilai positif, yaitu tarif lebih besar atau seringkali disebut

gain, dapat bernilai negatif yaitu tarif lebih kecil atau loss dari biaya.

(Rahayuningrum, Tamtomo and Suryono, 2017)


Pihak manajemen rumah sakit, diharapkan mempertimbangkan

besarnya biaya yang dikeluarkan oleh rumah sakit dalam menyusun tarif,

sehingga besaran tarif yang dihasilkan cukup representative untuk

menggambarkan besarnya nilai ganti ekonomis yang diinginkan rumah sakit.

Pasien, asuransi, dan Pemerintah sebagai pembeli atau penyedia dana layanan

kesehatan, berkepentingan untuk mendapatkan kepastian atas nilai ganti

ekonomis yang harus mereka keluarkan atas layanan kesehatan yang telah

diberikan rumah sakit.(Rahayuningrum, Tamtomo and Suryono, 2017)


Besaran nilai ganti ekonomis atas layanan kesehatan yang sudah

diberikan tersebut, pihak manajemen rumah sakit telah direpresentasikan

dalam nilai tarif layanan kesehatan. Apabila dilihat dari sudut pandang

pembeli atau penyedia dana layanan kesehatan, mekanisme transfer atas nilai

ganti ekonomis antara pembeli layanan kesehatan kepada penyedia layanan

kesehatan, sering disebut sistem pembayaran layanan kesehatan. Secara

umum sistem pembayaran layanan kesehatan dapat digolongkan menjadi dua

yaitu sistem pembayaran prospektif dan sistem pembayaran retrospektif.

(AdMedika News, 2015)

3.9 Pembagian Berbagai Jasa Layanan Kesehatan Berdasarkan Paket INA-

CBG’s

Remunerasi atau model pembagian jasa pelayanan di rumah sakit,

tidak terlepas dari pembahasan tentang tarif rumah sakit. Sekarang sudah era

44
tarif paket (Pocket Payment System) yang digunakan oleh BPJS Kesehatan

dalam membayar klaim dengan model tarif INA-CBG’s yang ditetapkan oleh

Kemenkes RI. Akan tetapi tarif rumah sakit masih sangat diperlukan.(Hani,

2017)
Sebelum memasuki era JKN, pembayaran dokter dan rumah sakit

umumnya menggunakan pola pembayaran retrospektif yang secara

konvensional pembebanan tarif dilakukan atas dasar pelayanan yang

diberikan atau Fee For Services (FFS). Pada era JKN ini pemerintah melalui

institusi BPJS Kesehatan menerapkan kebijakan sistem pembiayaan berupa

prospektif, karena pada sistem pembayaran tersebut lebih sejalan dengan

kultur dan budaya pada era jaminan kesehatan ini. Sistem pembiayaan

prospektif diharapkan lebih mampu dalam mengendalikan biaya kesehatan

serta mendorong pelayanan kesehatan untuk tetap memiliki mutu layanan

kesehatan sesuai standar. Diantara model pembayaran prospektif yang

digunakan dalam program BPJS Kesehatan ialah sistem paket INA-CBGs

(Indonesia Case Base Groups) yakni suatu sistem tarif untuk pembayaran

dengan penghitungan berbasis pada data costing dan data koding rumah sakit.

Data costing didapatkan dari rumah sakit terpilih (rumah sakit sampel)

sebagai representasi dan data koding hasil pengelompokan sistem kodifikasi

dari diagnosis akhir dan tindakan/prosedur yang menjadi output pelayanan.

Sistem tersebut digunakan baik pada rawat inap maupun pada rawat jalan

untuk tingkat faskes lanjutan dengan menggunakan sistem teknologi

informasi berupa Aplikasi INA-CBG’s. Optimalisasi kelancaran penerapan

INA-CBG’s selain teknologi juga harus didukung oleh kecukupan anggaran,

45
baik dari manajemen dan layanan faskes dan kebijakan serta regulasi lain

yang menopang layanan kesehatan. Sinergi dari semua faktor tersebut

diharapkan mampu mengoptimalkan sistem jaminan kesehatan nasional.

(Walintukan, Lapian and Panelewen, 2018)


Metode pembayaran prospektif atau metode pembayaran yang

dilakukan berdasarkan pada layanan kesehatan dengan kisaran besaran biaya,

telah diketahui sebelum layanan kesehatan tersebut diberikan. Contoh

pembayaran prospektif yaitu global budget, kapitasi dan case based payment.

Sesuai dengan realita, tidak semua sistem pembiayaan yang sempurna, setiap

sistem pembiayaan memiliki kelebihan dan kekurangan. Pada era JKN ini,

pemerintah memilih sistem pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan dan

tujuan dari implementasi pembayaran kesehatan seperti pada sistem

pembiayaan prospektif menjadi pilihan utama untuk diterapkan (Walintukan,

Lapian and Panelewen, 2018) sebab:

1) Dapat mengendalikan biaya kesehatan

2) Mendorong pelayanan kesehatan tetap bermutu sesuai standar

3) Membatasi pelayanan kesehatan yang tidak diperlukan atau

berlebihan atau under use

4) Mempermudah administrasi klaim

5) Mendorong provider untuk melakukan cost containment

46
BAB IV

SUBSIDI SILANG BPJS

4.1 Pengertian

Subsidi silang merupakan subsidi dari pemerintah atau badan

swasta kepada yang kurang mampu yang berasal dari mereka yang mampu.

Subsidi silang berarti ongkos atau iuran pasien yang kaya ditinggikan untuk

membantu pasien yang kurang mampu. (Kamus Besar Bahasa

Indonesia,2018)

4.2 Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan merupakan hak mendasar masyarakat yang

ketersediaannya wajib diselenggarakan oleh pemerintah sebagaimana

47
diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat (1) bahwa

setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak

memperoleh pelayanan kesehatan.

Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016

tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang

Jaminan Kesehatan.

4.3 Iuran atau Tarif BPJS Kesehatan


BPJS Kesehatan sudah melayani masyarakat sejak 1 Januari 2014

yang sebelumnya adalah program ASKES (Asuransi Kesehatan). Semua

Warga Negara diwajibkan untuk mendaftarkan diri dan anggota keluarganya

menjadi peserta BPJS baik itu melalui BPJS Mandiri atau PBI.
Rencana BPJS, pada 1 januari 2019, semua WNI harus sudah

mendaftar semua tanpa kecuali, apabila tidak mendaftar maka akan

dikenakan sanksi yaitu tidak bias menggunakan layanan public seperti

mengurus KTP, mengurus SIM, mengurus paspor, mengurus KK atau

layanan pemerintah lainnya.


Peserta PBI adalah peserta yang mendapatkan bantuan iuran dari

Pemerintah, iurannya ditanggung pemerintah daerah melalui dinas.

Sedangkan untuk peserta BPJS Mandiri harus membayar iuran BPJS sendiri

sesuai dengan kelas yang dipilih.

48
Sistem iuran yang dibuat adalah system gotong royong, iuran yang

dibayarkan akan digunakan untuk membiayai peserta lain yang

membutuhkan yaitu mereka yang sedang sakit. (Dian Armalia,2017)

Tabel3.1PerubahanIuranJaminanKesehatanNasional

Ruang Perawatan Iuran Lama Iuran Baru


Kelas I Rp. 59.500 Rp. 80.000
Kelas II Rp. 42.500 Rp. 51.000
Kelas III Rp. 25.000 Rp. 30.000

Sumber: Perpres 19 Tahun 2018

Pemerintah membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas

III yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016. Dalam

Perpres tersebut, iuran BPJS Kesehatan untuk kelas III akan dinaikkan dari Rp

25.500 menjadi Rp 30.000. Setelah Pemerintah membatalkan kenaikan iuran

BPJS Kesehatan maka besaran iuran yang dibayarkan bagi pemegang kartu

kelas III sebesar Rp 25.500.

Pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan

banyak yang dikeluhkan dan dipersoalkan masyarakat. Layanan Kesehatan

milik pemerintah banyak dilaporkan kelembaga Ombudsman Republik

Indonesia (ORI). Menurut Asisten ORI Perwakilan D. I. Yogyakarta (Bapak

Jaka Susila Wahyuana) laporan keluhan tentang prosedur pelayanan BPJS

Kesehatan cukup tinggi pada tahun 2015. Laporan yang masuk kelembaga

Ombudsman Republik Indonesia (ORI) di antaranya dalam hal pengurusan

birokrasi, pendaftaran, hingga antrian yang lama dan juga terkait

49
pembayarannya. (Suprianto, A. and Mutiarin, D., 2017)

Kementerian Kesehatan (Kemkes) mengeluarkan peraturan baru yang

tertera dalam Peraturan Menteri Kesehatan dan selisih biaya program Jaminan

Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Peraturan ini

menjelaskan kalua BPJS Kesehatan tidak lagi gratis. Kondisi ini dilihat sebagai

strategi pemerintah menekan defisit menahun terhadap BPJS Kesehatan. Hal

ini sebagai upaya menekan defisit BPJS dengan tetap memperhatikan jaminan

kesehatan bagi masyarakat, menyeimbangkan jaminan kesehatan namun tetap

sustainable.

Menurut Menkeu, dalam program jaminan kesehatan, kepentingan

rumah sakit untuk tetap berkelanjutan, dokter dan paramedic, kesediaan obat

dan keuangan negara. (Wartakota, 2018)

50
BAB V

PENUTUP

Mencermati permasalahan defisitnya BPJS Kesehatan hingga triliunan

rupiah yang sedang terjadi di Negara Indonesia ini, terdapat beberapa hal perlu

digarisbawahi agar terus dibenahi dan disempurnakan, yaitu; pertama,

pengelolaan kepesertaan BPJS Kesehatan, sebagai informasi dasar pemberian

pelayanan yang sampai saat ini masih dalam proses penyempurnaan yang

melibatkan kerjasama dengan semua pihak, baik Rumah Sakit dan peserta BPJS

seta tenaga kesehatan. Pengelolaan kepesertaan tersebut diperlukan sebagai

jaminan kepastian pelayanan bagi target kebijakan, untuk mencegah kebocoran

anggaran yang disebabkan penyalahgunaan dalam layanan kesehatan BPJS serta

untuk kepastian bagi Pemerintah dalam membiayai pengguna kartu BPJS

Kesehatan bagi yang sakit. Kedua, peran Pemerintah dalam koordinasi dan

pengelolaan program BPJS Kesehatan serta sebagai ujung tombak pelayanan

51
kesehatan hendaknya diiringi dengan melibatkan mereka yang lebih intens dalam

formulasi kebijakan serta didukung dengan kelancaran informasi dua arah yang

efektif untuk menjamin kejelasan serta konsistensi kebijakan. Ketiga, pendanaan,

hendaknya dikembangkan alternatif-alternatif pendanaan menyesuaikan dengan

kondisi keuangan Pemerintah dan masyarakat, sehingga ke depan layanan

kesehatan tidak hanya dinikmati oleh orang kaya saja tapi dapat menjangkau

masyarakat yang kurang atau tidak mampu. Ketiga, penyusunan hak dan

kewajiban yang seimbang antara BPJS Kesehatan dan Rumah Sakit. Keempat,

perlu adanya terobosan lain untuk sustainability JKN dan Rumah Sakit dengan

diberlakukan system subsidi silang dimana orang mampu atau kaya dapat

mensubsidi orang yang kurang atau tidak mampu dengan system pembayaran

lebih besar bagi orang yang mampu.

Semoga beberapa pendapat kami ini dapat bermanfaat bagi mereka yang

pemegang kebijakan dan pengambil keputusan di BPJS dan Pemerintahan.

52
DAFTAR PUSTAKA

Aditya Pradani, E., Lelonowati, D. and Rawat Inap Ramdani Husada, K. (2017)
‘Keterlambatan Pengumpulan Berkas Verifikasi Klaim BPJS di RS X: Apa
Akar Masalah dan Solusinya?’, JMMR (Jurnal Medicoeticolegal dan
Manajemen Rumah Sakit). doi: 10.18196/jmmr.6134.

AdMedika News (2015) Workshop Implementasi Layanan CoB BPJS Kesehatan -


AdMedika - Preferred Healthcare Partner - Claim Management, 28
Agustus.

Anna, L. K. (2017) ‘Pengobatan Diabetes Habiskan 33 Persen Biaya’,


health.kompas.com.

Aulia, S. et al. (2015) ‘Cost Recovery Rate Program Jaminan Kesehatan Nasional
BPJS Kesehatan’, Akuntabilitas.

Basuki, U. (2015) ‘Amandemen Kelima Undang-Undang Dasar 1945 sebagai


Amanat Reformasi dan Demokrasi’, Jurnal Perhimpunan Mahasiswa
Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta.

Bozic, K. J. and Nwachukwu, B. U. (2013) ‘Medicare and its evolution to 2011’,


in An Introduction to Health Policy: A Primer for Physicians and Medical
Students. doi: 10.1007/978-1-4614-7735-8_2.

BPJS (2014) ‘Panduan praktis PROLANIS (Program pengelolaan penyakit


kronis)’, BPJS Kesehatan.

53
BPJS Kesehatan (2017) ‘3 Tahun Pelaksanaan BPJS Kesehatan Tingkatkan
Kualitas Layanan’, Info BPJS Kesehatan media Eksternal BPJS
Kesehatan.

Creswell, J. W. (2008) ‘Case Study Research Design and Methods’, Studi Kasus.
doi: 10.1097/FCH.0b013e31822dda9e.

Dewi, S. (2015) ‘Perbandingan Premi Asuransi Kesehatan Peserta BPJS Badan


Usaha Dengan Asuransi Kesehatan Swasta’, Jurnal Akuntansi Dan Pajak.

Faozi Kurniawan, M. et al. (2017) ‘PENGELOLAAN SISA LEBIH DANA


KAPITASI DI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA MILIK
PEMERINTAH (Monitoring dan Evaluasi Jaminan Kesehatan Nasional di
Indonesia)’, Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia.

Firdaus, F. F. and Dewi, A. (2015) ‘Evaluasi Kualitas Pelayanan Terhadap


Kepuasan Pasien Rawat Jalan Peserta Bpjs Di Rsud Panembahan Senopati
Bantul’, Jurnal Medicoeticolegal dan Manajemen Rumah Sakit.

Fleming, M. et al. (2015) ‘Magnitude of Impact, Overall and on Subspecialties, of


Transitioning in Radiology from ICD-9 to ICD-10 Codes’, Journal of the
American College of Radiology. doi: 10.1016/j.jacr.2015.06.014.
Gabby, M. (2015) ‘Prinsip Evidence Based Policy Making Dalam Konteks’,
UNissula.

Hanevi Djasri, dr, M. (2013) ‘Peran Clinical Pathways dalam Sistem Jaminan
Sosial Nasional Bidang Kesehatan’, Peran Clinical Pathways dalam
Sistem Jaminan Sosial Nasional Bidang Kesehatan1.

Hani, M. T. (2017) ‘Memperbaiki Struktur Tarif Rumah Sakit Sesuai PMK 85


Tahun 2015 – catatan mashani’, 10 Juni.

Janis, N. (2014) BPJS Kesehatan, Supply dan Demand terhadap Layanan


Kesehatan, depkeu.

Kemenkes RI (2013) ‘Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional


dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional’, Departemen Kesehatan RI. doi:
10.1017/CBO9781107415324.004.

Kementrian Kesehatan (2014) Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013, Jakarta:


Kementerian Kesehatan RI. doi: 351.770.212 Ind P.

Lahdji, A., Setiawan, M. R. and Purnamasari, W. I. (2015) ‘Faktor Faktor yang


Mempengaruhi Mutu Pelayanan Kesehatan terhadap Kepuasan Pasien
BPJS di Klinik Penyakit Dalam RSUD Sunan Kalijaga Demak Periode
Mei-Oktober 2015’, Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang.

54
Lubis, F. A. (2018) ‘Implementasi Fungsi Otoritas Jasa Keuangan Dalam
Mengawasi Praktek-Praktek Kecurangan Didalam Pasar Modal’.

Mendrofa, D. E. and Suryawati, C. (2016) ‘Analisis Pengelolaan Obat Pasien


BPJS Di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang’,
Jurnal Manajemen Kesehatan Indonesia. doi:
10.14710/JMKI.V4I3.13757.

Pagés, C., Rigolini, J. and Robalino, D. (2013) ‘Social Insurance, Informality, and
Labor Markets: How to Protect Workers While Creating Good Jobs’, IZA
Discussion Paper.

Purwoko, B. (2012) ‘Konsepsi Pengawasan Dewan Jaminan Sosial Nasional


(DJSN) Terhadap Kegiatan Operasional Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS)’, Jurnal Legislasi Indonesia.
Rahayuningrum, I. O., Gunawan Tamtomo, D. and Suryono, A. (2010)
‘Comparison Between Hospital Inpatient Cost and INA-CBGs Tariff of
Inpatient Care in the National Health Insurance Scheme in Solo, Boyolali
and Karanganyar Districts, Central Java’, Journal of Health Policy and
Management. doi: 10.26911/thejhpm.2016.01.02.05.

Rahayuningrum, I. O., Tamtomo, D. G. and Suryono, A. (2017) ‘Analisis Tarif


Rumah Sakit Dibandingkan Dengan Tarif Indonesian Case Based Groups
Pada Pasien Rawat Inap Peserta Jaminan Kesehatan Nasional Di Rumah
Sakit’, Prosiding Seminar Nasional & Internasional.

Republik Indonesia (2004) Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem


Jaminan Sosial Nasional, Pemerintah RI. doi:
10.1017/CBO9781107415324.004.

Retnaningsih, E., Misnaniarti and Ainy, A. (2012) ‘Kajian Kelayakan Badan


Layanan Umum dan Alternatif Bentuk Penyelenggaraan Jamsoskes
Sumatera Selatan Semesta sesuai Undang-undang Sistem Jaminan Sosial
Nasional’, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan.

Schwartz, D. (2012) The Future of Finance: How Private Equity and Venture
Capital Will Shape the Global Economy, The Future of Finance: How
Private Equity and Venture Capital Will Shape the Global Economy. doi:
10.1002/9781118390375.

Sparrow, R., Suryahadi, A. and Widyanti, W. (2013) ‘Social health insurance for
the poor: Targeting and impact of Indonesia’s Askeskin programme’,
Social Science and Medicine. doi: 10.1016/j.socscimed.2012.09.043.

Strategis, R. and Kesehatan (2015) KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

55
INDONESIA, Kementerian Kesehatan RI. Sekretariat r Jenderal. Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan Tahun Rencana Strategis Kementerian
Kesehatan Tahun. doi: 351.077 Ind r.

Supriadi (2015) ‘KEMAMPUAN TARIF INA CBG ’ S HEMODIALISA


PROGRAM KARTU JAKARTA SEHAT ( KJS ) MENUTUPI BIAYA
RIILNYA’, Jurnal Vokasi Indonesia.

Suprianto, A. and Mutiarin, D., 2017. Evaluasi Pelaksanaan Jaminan Kesehatan


Nasional. Journal of Governance and Public Policy, 4(1), pp.71-107.

Tampi, A. G. C., Kawung, E. J. R. and Tumiwa, J. W. (2016) ‘DAMPAK


PELAYANAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL
KESEHATAN TERHADAP MASYARAKAT DI KELURAHAN
TINGKULU’, Acta Diurna.

Thabrany, H. (2013) Asuransi Kesehatan Nasional, Jakarta.

Thabrany, H. and Laborahima, Z. (2016) ‘People’s Support on Sin Tax to Finance


UHC in Indonesia, 2016’, Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia.

Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 (2009) ‘Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit’, Jakarta. doi:
10.1017/CBO9781107415324.004.

UU RI (2009) ‘UU RI No 36 Tentang Kesehatan’, UU RI No 36 2009.

Wahyuningsih, S. (2015) ‘Evaluasi Penerapan jaminan kesehatan Nasional (JKN)


di RSUD dr moewardi surakarta’, Infokes.

Walintukan, H. C., Lapian, S. L. H. V. J. and Panelewen, J. (2018) ‘Analisis


Perbedaan Tarif Riil Dengan Tarif Ina-Cbg’S Pasien Bedah Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Kesehatan Di Rumah Sakit Gunung
Maria Tomohon’, Community Health.

World Health Organization (2016) ‘Global diffusion of eHealth : making universal


health coverage achievable. Report of the third global survey on eHealth.’,
Global Observatory for eHealth.

Zainudin, M. Z. and Omar, R. (2012) ‘Implementasi Dasar Sosial Di Malaysia


Dan Indonesia : Perbandingan Konsep’, Journal of Human Capital
Development.

56

Anda mungkin juga menyukai