Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUIAN

A.Latar Belakang

Umar Said dalam bukunya Pengantar Hukum Indonesia Sejarah dan


Dasar-Dasar Tata Hukum Serta Politik Hukum Indonesia menyebutkan bahwa
unifikasi hukum adalah penyatuan hukum yang berlaku secara nasional atau
penyatuan pemberlakuan hukum secara nasional. Penyatuan hukum secara
nasional untuk hukum yang bersifat sensitif yaitu hukum-hukum yang mengarah
kepada pelaksanaan hukum kebiasaan sangat sulit untuk diunifikasi-kan karena
masing-masing daerah memiliki adat istiadat yang berbeda seperti contohnya
Undang-Undang tentang Pornografi yang banyak mendapat penolakan dari
masyarakat di daerah yang menganggap jika dilaksanakan akan mempengaruhi
esensi pelaksanaan kegiatan adat di daerah mereka.

Di Indonesia secara historis perkembangan terkini lebih mengarah pada


unifikasi sejalan dengan terbentuknya negara. Sementara pluralisme hukum sudah
ada jauh sebelum terbentuknya negara, sehingga ketika datang budaya unifikasi,
pluralisme hukum terancam keberadaanya. Keberadaan hukum-hukum lain yang
sudah lama berada di Indonesia seperti hukum Islam dan hukum-hukum adat
masyarakat Indonesia yang berbeda-bedapun terancam juga. Unifikasi Hukum
merupakan keseragaman (kesatuan, kesamaan) hukum bagi seluruh warga
indonesia. Di indonesia unifikasi sudah terwujud dalam bidang-bidang hukum
publik (seperti:hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum pajak,
hukum acara pidana). Sedangkan dalam hukum privat masih pluralistik, kecuali
dalam bidang-bidang hukum tertentu seperti: UU.No. 5/1960 tentang UUP, UU
No 1/1974 tentang perkawinan, UU No.4/1996 tentang hak tanggungan, UU
No.42/1999 tentang jaminan fidusia, UU No.16/2001 tentang yayasan dan lain-
lain. Unifikasi Hukum ialah suatu langkah penyeragaman hukum atau penyatuan
suatu hukum untuk diberlakukan bagi seluruh bangsa di suatu wilayah negara
tertentu sebagai hukum nasional di negara tersebut.
B. Rumusan Masalah

1. Apa itu Unifikasi Hukum?


2. Apa tujuan dan funsgi Penyatuan Hukum?
3. Apa perbedaan antara Unifikasi dan Kodifikasi Hukum?
4. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi Unifikasi?
5. Bagaimana Unifikasi dalam Pluralisme Hukum Tanah Di Indonesia?
6. Apa saja contoh Unifikasi Hukum dan Sumber Hukum?
7. Perkembangan Hukum Indonesia?
8. Apa saja unsur-unsur Hukum dalam Unifikasi Hukum?
9. Bagaimana urutan peraturan Perundang-Undangan di Indonesia?
10. Apa tujuan Politik Hukum Nasional?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini supaya mahasiswa pada


umumnya mampu memahami tentang Unifikasi Hukum secara lebih luas.

D. Manfaat

Adapun manfat dari makalah ini, yaitu dapat bermanfaat dalam menambah
wawasan, pengetahuan mengenai Unifikasi Hukum di Indonesia. Dan dengan
adanya penyusunan makalah ini, baik penulis maupun pembaca bisa membedakan
dan mengetahui mengenai perbedaan kodifikasi dan unifikasi.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Unifikasi Hukum

Unifikasi Hukum merupakan keseragaman (kesatuan, keseragaman)


hukum bagi seluruh warga Indonesia. Di Indonesia unifikasi sudah
terwujud dalam bidang-bidang hukum public seperti hukum tata negara,
hukum administrasi negara, hukum pajak, hukum acara pidana).
Sedangkan dalam hukum privat masih pluralistic, kecuali dalam bidang-
bidang hukum tertentu seperti UU.No5/1960 tentang UUP,UU No 1/1974
tentang perkawinan, UU No.4/1996 tentang hak tanggungan, UU
No.42/1999 tentang jaminan fidusia, UU No.16/2001 tentang yayasan dan
lain-lain.

Unifikasi Hukum ialah suatu langkah penyeragaman hukum atau


penyatuan suatu hhukum untuk diberlakukan bai seluruh bangsa di suatu
wilayah negara tertentu sebagai hukum nasional di negara tersebut. Dari
pengertian tersebut, maka unifikasi hukum dapat diartikan sebagai
penyatuan berbagai hukum menjadi satu kesatuan hukum secara sistematis
yang berlaku bagi seluruh warga negara di suatu negara.

Unifikasi Hukum juga dapat diartikan sebagai penyatuan hukum


yang berlaku secara nasional atau penyatuan pemberlakuan hukum secara
nasional. Kesatuaan berlakunya unifikasi yang telah dikodifikasi
merupakan satu-satunya unifikasi dan kodifikasi yang berlaku umum
untuk semua golongan penduduk. Hukum perselisihan dan jenis-jenisnya
yang berlaku bagi setiap warga negara dalam suatu negara disebut sebagai
unifikasi hukum.
B. Tujuan dan Fungsi Penyatuan Hukum

Tujuan dan fungsi penyatuan hukum menurut pendapat ahli yakni


“hukum bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang
sesuai dengan daya guna yang efektif”. Adagium yang terkenal adalah
“the greatest happiness for the greatest number”.

Kebahagiaan terbesar untuk jumlah yang terbanyak. Teori ini


mengagung-agungkan kepastian hukum dan memerlukan adanya peraturan
yang berlaku umum , Upianus Digesta “lex dura sed tament scripta” atau
“lex dura sed tament ita scripta” yang diterjemahkan bahwa “Undang-
Undang itu keras, akan tetapi memang sudah ditentukan demikian
bunyinya”.

Menurut Bakri Unifikasi Hukum atau Penyatuan Hukum adalah


memberlakukan satu macam hukum tertentu kepada semua rakyat di
negara tertentu. Jika suau hukum dinyatakan berlaku secara unifikasi maka
di negara itu hanya berlaku satu macam hukum tertentu, dan tidak berlaku
bermacam-macam hukum. Maksud dan tujuan dilakukannya unifikasi
hukum adalah :
1. Untuk lebih menjamin kepastian hukum dalam arti kepastian
berlakunya suatu hukum bagi seluruh masyarakat di negara yang
bersangkutan, mengingat hukum itu telah diseragamkan berlakunya
bagi semua orang di negara tersebut, tanpa adanya lagi pembedaan
menurut suku, golongan, agama atau faktor lainnya.
2. Untuk lebih memudahkan masyarakat dalam mengetahui dan
menaatinya. Artinya membuat masyarakat muda dalam menafsirkan
hukum. Jadi tidak ada kesalahan penafsiran terhadap hukum oleh
warga negara.
3. Sedapat mungkin mencegah kesimpangsiuran pengetahuan dan
pengertian masyarakat tentang hukum yang berlaku bagi diri tiap-tiap
warga untuk ditaatinya.
4. Sedapat mungkin mencegah berbagai penyelewengan hukum baik
yang tidak disengaja maupun yang disengaja yang umumnya beralasan
pada kesalahpahaman tentang hukum yang berlaku, mengingat
memang begitu banyaknya hukum yang berbeda-beda cara
pengaturannya bila hukum itu belum diunifikasi.
5. Sedapat mungkin mencegah keadaan berlarut-larut dari tidak
mengertinya atau belum mengertinya banyak warga masyarakat
mengenai hukum mana yang berlaku bagi dirinya, bila seandainya
hukum itu belum diunifikasikan.

Sesuai dengan cita-cita atau tujuan hukum bangsa Indonesia, negara


Indonesia memiliki cita-cita nasional sebagai berikut :
“Negara Indonesia yang berdasarkan hukum mempunyai tujuan
sebagaimana yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan perdamian abadi dan keadilan social berdasarkan Pancasila,
inilah yang merupakan tujuan Nasional negara kita dan derap langkah
dalam politik, ekonomi, social budaya, pertahanan keamanan
(POLEKSOSBUDHANKAM) secara Nasional”.
“Hukum adalah berfungsi sebagai pengayom masyarakat, semakin
luas masyarakat seharusnya makin luas pula jangkauan hukum”. Sesuai
dengan fungsi hukum tersendiri hukum juga dapat menegakkan hukum.
Dalam menjalankan fungsi hukum maka hukum adalah menegakkan
hukum.
Pembinaan hukum harus mampu mengarahkan dan menampung
kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang
berkembang kearah modernisasi sehingga dapat tercapai fungsi sebagai
sarana perkembangan modernisasi. Artinya, hukum itu harus ada
penyerangaman hukum maka aka nada kepastian hukum. Jika da kepastian
hukum maka adanya keadilan hukum di Indonesia.

C. Perbedaan antara Unifikasi dan Kodifikasi Hukum

Kodifikasi hukum adalah pembukuan hukum dalam satu himpunan


Undang-Undang dalam materi yang sama. Tujuan daripada Kodifikasi
hukum adalah agar didapat suatu rechtseenheid (kesatuan hukum) atau
unifikasi hukum san suatu rechts-zakerheid (kepastian hukum). Yang
dianggap sebagai suatu kodifikasi nasional yang pertama adalah Code
Civil Perancis atau Napoleon karena Napoleon lah yang memerintahkan
dan mengundang Undang-Undang Nasional permulaan abad XVIII setelah
berakhirnya revolusi politik dan social di Perancis.

Menurut Vollenhoven di Indonesia terdapat 19 macam masyarakat


hukum adata atau recthsgemeeennschappen. Tiap-tiap rechtgemeenschap
memiliki hukum adatnya sendiri yang berbeda dengan hukum adatnya di
rechtgemeenschap yang lain, sehingga bagi keseluruhan wilayah Indonesia
tidak ada kesatuan dan kepastian hukum.

Dari uraian diatas jelaslah bahwa secara Nasional tidak terdapat


kesatuan hukum karena masing-masing daerah memakai hukumnya
sendiri-sendiri yang daerah yang berbeda-beda antara yang satu dengan
yang lain. Maka demi untuk adanya kesatuan dan kepastian hukum
Indonesia memerlukan hukum yang bersifat nasional, yang berlaku sama
bagi seluruh warga negra Republik Indonesia. Fungsi kodifikasi hukum
Internasional diperlukan untuk memberikan suatu pegangan kepada para
hakim dan pelaksana hukum pada umumnya dalam menghadapi persoalan-
persoalan perdata, dagang, yang mengandung unsur asing.

Kodifikasi Hukum adalah pemberlakuan jenis-jenis hukum tertentu


dalam kitab Undang-Undang secara sistematis dan lengkap. Hal yabg
menyebabkan timbulnya kodifikasi hukum adalah tidak adanya kesatuan
dan kepastian hukum. Arti kata Kodifikasi adalah pembukaan hukum
dalam suatu himpunan Undang-Undang dalam materi yang sama. Tujuan
dari Kodifikasi hukum adalah agar didapat suatu kesatuan hukum dan
kepastian hukum. Kodifikasi Hukum tersebut harus meliputi tiga unsur,
yaitu :
1. Kodifikasi tersebut meliputi jenis-jenis hukum tertentu,
2. Kodifikasi tersebut memiliki sistematika,
3. Kodifikasi tersebut mengatur bidang hukum tertentu.

Usaha Kodifikasi telah dilakukan oleh PBB, tindakan-tindakan hukum


serta usaha kearah perkembangan progresif dapat menciptkan
keseimbangan antara srabilitas dan perubahan.

Contoh Unifikasi Hukum lainnya yang ditemukan adalah Undang-


Undang Nomor 1 Tahun 1974 tenttang perkawinan (UU Perkawinan)
dimana di setiap wilayah Indonesia memiliki adat tersendiri dalam
perkawinan. Oleh karenanya, dibentuklah UU Perkawinan sebagai
penyatuan dan penyeragaman hukum untuk diberlakukan di neagar
Indonesia sebagai hukum nasional.
Jadi, perbedaan antara Kodifiukasi dengan Unifikasi adalah Unifikasi
merupakan penyatuan hukum yang berlaku secara nasional atau penyatuan
pemberlakuan hukum secara nasional, sedangkaan kodifikasi adalah
pembukuan hukum dalam suatu kumpulan Undang-Undang dalam materi
yang sama.
D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Unifikasi

Subekti mengatakan bahwa “dilapangan mana sudah dapat


dibedakan Kodifikasi dan Unifikasi beliau menyebutkan lapangan kontrak
dan peristiwa-peristiwa dagang lainnya yang telah berkembang melalui
garis-garis seragam, bahkan dikatakannya bahwa keseragaman hukum
dapat diadakan di lapangan ini sesuai dengan peraturan-peraturan hukum
Barat. Hukum yang seragam akan memberi sanksi kepada praktek yang
berlaaku dalam mempergunakan hukum Europa yang telah dicantumkan
dalam kehidupan hukum Indonesia dan oleh karena itu telah menjadi
hukum ada “modern”. Dalam hubungan dagang modern sekarrang ini
meningkatnya lalu lintas hubungaan Internasional. Kebutuhan Unifikasi
dan Kodifikasi di bidang ini sangat Rill.

Menurut Subekti, “sector netral” meliputi bidang hukum public


(administrasi), bidang hukum perdata, khususnya hukum kekayaan yang
mencakup hukum benda dan hukum perjanjian (termasuk hukum dagang),
sedang sektor sensitif, meliputi hukum kekeluargaan dan hukum waris.
Beliau mengemukakan bahwa sector hukum yang netral dapat
diseragamkan, dengan tidak akan mengalami kesulitan, sengan dalam
sektor yang sensitif unifaksi harus dilakukan secara hati-hati dan setapak
demi setapak.

Berbagai faktor yang menyebabkan unifikasi di bidang hukum


Indonesia sulit untuk dilaksanakan, antara lain :
1. Kekuasaan tradisi dan agama dari berbagai golongan di dalam
masyarakat masih sangat teguh.
2. Paham-paham tradisional mengenai hidup kekeluargaan
3. Paham-paham mengenai pertalian daeraah dalam keluarga
golongan bangsa.
Hal itulah yang membuat sukar untuk melakukan unifikasi, dan
berdasarkan hal-hal yang dikemukan diatas, maka dapat diperhitungkan,
bahwa sifat tidak seragam dari sistem Undang-Undang di bidang hukum
tertentu masih akan tetap berlaku dalam waktu yang lama mendatang.
Namun berapapun banyaknya faktor penghambatnya, kiranya tidak boleh
dijadikan alas an untuk tidak memulai sekarang juga pelaksanaan dari
pembukaan hukum (kodifikasihukum) dan penyatuan atau penyeragaman
hukum (unifikasi hukum) di bidang hukum Indonesia.

E. Unifikasi Dalam Pluralisme Hukum Tanah di Indonesia (Rekontruksi


Konsep Unifikasi Dalam UUPA)

Unifikasi adalah memberlakukan satu macam hukum tertentu


kepada semua rakyat di negara tertentu. Jika suatu hukum dinyatakan
berlaku secara unifikasi maka di negara itu hanya berlaku satu macam
hukum tertentu, dan tidak berlaku bermacam-macam hukum.
Keanekaragaman hukum dalam ilmu hukum dinamakan pluralism hukum,
yaitu memberlakukan bermacam-macam atau lebih dari satu hukum
tertentu kepada semua rakyat negara tertentu. Kedua hal tersebut
tampaknya tidak dapat disatukan karena masing-masing mengandung hal
yang saling bertentangan. Dalam unifikasi hukum yang memberlakukan
satu macam hukum, tidak mungkin ada pluralism hukum. Demikian pula
sebaliknya, dalam pluralism hukum yang memberlakukan bermacam-
macam hukum, tidak mungkin ada unifikasi hukum.

Penjelasan umum UUPA Nomor III/I menjelaskan bahwa, “


Sebagimana telah diterangkan diatas hukum agrarian sekarang ini
mempunyai sifat “dualism” dan mengadakan perbedaan antara hak-hak
tanah menurut hukum adat dan hak-hak tanah menurut hukum barat, yang
berpokok pada ketentuan-ketentuan dalam Buku II Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Indonesia. Undang-Undang Pokok Agraria bermaksud
menghilangkan dualism itu dan secara sadar hendak mengadakan kesatuan
hukum (unifikasi), sesuai dengan keinginan rakyat sebagai bangsa yang
satu dan sesuai pula dengan kepentingan perekonomian. Salah satu syarat
hukum adat dipakai dasar oleh hukum tanah nasional yaitu, tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dapat disimpulakn
bahwa, kedudukan hukum adat lebih rendah daripada ketentuan hukum
adat yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka
hukum adatnya yang dikesampingkan.

Bakri (2008:5-8), hal ini bertentangan dengan asas yang sangat


terkenal dalam hukum antar golongan yaitu, asas persamaan yang artinya
sama rata sama harga. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan
tidak dapat menyampingkan atau tidak memberlakukan hukum adat,
demikian pula sebaliknya hukum adat tiidak dapat menyampingkan atau
tidak memberlakukan peraturan perundang-undangan. Persyaratan hukum
adat tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
sehingga jika terjadi konflik hukum antara hukum adat dengan peraturan
perundang-undangan hukum adat yang dikesampingkkan, berdasar asas
persamaan tersebut, tidak dapat dibenarkan. Kedudukan hukum adat yang
masih hidup dalam masyarakat (living law) terhadap peraturan perundang-
undangan sama derajatnya atau sejajar, sehingga tidak dapat saling
menjatuhkan.

Dapat disimpulakn dari penjelasan diatas, diaman di daerah-daerah


yang masih ada hak ulayatnya dibiarkan hidup atau diberlakukan unifikasi
secara tenang tanpa gangguan dari pihak maanapun, hukum adat setempat,
dan untuk daeraah-daeraah yang tidak ada hak ulyatnya atau sudah tidak
ada lagi hak ulyatnya secara alamiah, semakin lama semakin melemah dan
pada akhirnya menjadi hilang, sejalan dengan semakin menguatnya hak-
hak individu atas tanah diberlakukansecara penuh ketentuan-ketentuan
hukum tanah naasonal yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Hal ini membongkar paradigma lama yaitu, memberlakukan unifikasi satu
macam hukum tanha untuk semua tanah yang ada di wilayah Republik
Indonesia (unifikasi hukum tanah), diganti dengan paradigm baru yaitu
unifikasi hukum tanah yang mengakomodasi keragaman hukum adat,
sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR Nomor. IX/MPR/2001
tersebut. Dengan Trias Politika memusatkan pemerintah dalam 3
kekuasaan yaitu, kekuasaan membuat Undang-Undang (Badan Legislatif),
kekuasaan melaksanakan Undang-Undang (Badan Eksekutf), dan
kekuasaan mengadili pelanggar Undang-Undang (Badan Yudikatif).

F. Contoh Unifikasi Hukum dan Sumber Hukum

Beberapa contoh hukum yang telah di unifikasikan antara lain :


1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
3. Berbagai Undang-Undang Narkotika dan sebagainya, yang mana
kesemua undang-undang ini berlaku tanpa terkecuali di seluruh
wilayah Indonesia bagi seluruh Bangsa Indonesia.

Antara kodifikasi hukum dan unifikasi hukum memiliki


kemungkinan-kemungkinan sebagai kemungkinan pertama, hukum itu
telah dikodifikasikan dan juga diunifikasikan, misalnya :
1. Hukum pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
seperti pada BAB II, PIDANA, Pasal 10 Pidana terdiri atas :
a. Pidana pokok : pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan,
pidana denda, pidana tutupan.
b. Pidana tambahan : pencabutan hak-hak tertentu, perampasan
barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim.
2. Hukum dagang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD).
3. Hukum acara pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP).

Kemungkinan kedua, hukum itu telah dikodifikasikan tetapi belum


diunifikasikan, contohnya adalah hukum perdata yang meskipun telah
dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata), namun isinya masih tetap membeda-bedakan bagi masyarakat
menurut golongannya. Akibatnya isi putusannya masih tetap diunifikasi
tetapi belum dikodifikasikan. Contoh :
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria.
2. Undang-Undang Anti Sub versi.
3. Undang-Undang anti Korupsi dan sebagainya.

Undang-Undang merupakan salah satu sumber hukum tertulis.


Jadi, Undang-Undang adalah peraturan negara yang berwenang, dan
mengikat masyarakat umum.
Dari definisi Undang-Undang tersebut, terdapat dua macam
pengertian :
1. Undang-Undang dalam arti materil, yaitu : setiap peraturan yang
dikeluarkan oleh negara yang isinya langsung mengikat masyarakat
umum, Misalnya : Ketetapan MPR, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (PERPU), Keputusan Presiden (Kepres), Peraturan
Daerah (PERDA), dan lain-lain.
2. Undang-Undang dalam arti formal, yaitu : setiap peraturan negara
yang karena bentuknya disebut Undang-Undang atau dengan kata lain
setiap keputusan/peraturan yang dilihat dari cara pembentukannya. Di
Indonesia Undang-Undang dalam arti formal dibuat oleh Presiden
dengan persetujuan DPR (pasal 5 ayat 1UUD 1945).

Menurut Van Dick, menurutnya hukum kebiasaan adalah peraturan


hukum yang timbul karena kebiasaan lamanya orang bias bertingkah laku
menurut cara tertentu sehingga lahir suatu peraturan yang diinginkan oleh
masyarakat. Berarti hukum kebiasaan adalah hal yang amat penting di
dalam masyarakat, karena kebiasaan adalah hal yang akan mempengaruhi
cara pandang masyarakat.

G. Perkembangan Hukum Indonesia

Sebagai Neagara hukum, Indonesia merupakan Negara yang kaya


akan budaya termasuk di dalamnya budaya hukum yang plural dan
majemuk, tapi pluralism hukum yang ada dalam sejarah hukum Indonesia
menyebabkan beberapa hal yaitu :
1. Sulitnya mencari kepastian hukum karena kemajemukan yang berbeda
tersebut mengakibatkan hukum di Indonesia menjadi beragam dan sulit
diatur.
2. Persatuan dan kesatuan bangsa menjadi pertaruhan yang cukup
menyulitkan dalam menyamakan persepsi masyarakat tentang suatu
hal karena sifat kedaerahan yang masih cukup kuat.
3. Penyelesaian konflik menjadi bagian yang teramat rumit untuk
diselesaikan karena banyak kepentingan dan sistem hukum yang
berkembang sehingga seringkali diselesaikan dengan cara kekerasan.
4. Otonomi daerah menyebabkan perpecahan karena membentuk opini
tentang putra daerah dan putra pendatang sehingga memunculkan
diskriminasi.
5. Sifat kedaerahan sangat menyulitkan merupakan sistem hukum yang
berjiwa kebangsaan.
Sebab-sebab itu membawa akibat yang cukup untuk membentuk
sistem hukum yang diinginkan. Akibat-akibatnya menimbulkan beberapa
hal yang berimplikasi pada saat timbulnya suatu konflik, yaitu :
a. Tidak adanya kepercayaan terhadap hukum negara dan lebih
mengedepankan hukum adat.
b. Menganggap hukum daerahnya lebih baik dari yang lain.
c. Menyempitkan cara berpikir karena lebih mengutamakan
mempertahankan hukum adat Jurnal Advokasi Vol.5 No.2
September 2015 111 masing-masing daripada mengedepankan
hukum negara. Sebagai negara yang memiliki wilayah yang cukup
besar dan jumlah penduduk yang banyak, menyebabkan Indonesia
menjadi kaya akan banyak hal, termasuk adat isitiadat yang
berkembang di masing-masing wilayah dengan ragam budaya yang
menarik dan berkembang sebagai suatu kekayaan bangsa. Tapi
seringkali hal itu menyulitkan untuk membangun sistem hukum
yang menaungi dan menjiwai bangsa Indonesia.

Perkembangan Sistem Hukum Nasional


Dalam pembinaan dan pembangunan hukum nasional itu dilandasi
dengan semangat nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat dengan tidak
menyampingkan nilai-nilai yang berkembang sesuai dengan kultur
masyarakat Indonesia. Sehubungan dengan hal-hal di atas, guna melihat
pemahaman teoritis yang lebih mendalam, dalam hubungannya dengan
pembangunan hukum di Indonesia. Menurut pendapat Philppe Nonet dan
Philip Selznick menarik untuk disimak tentang hubungan antara tingkat
perkembangan negara dan tipe produk hukumnya. Ada dua tipe produk
hukm yang lahir dari tingkat perkembangan integrasi nasional yang
berbeda di setiap negara, yaitu tipe hukum menindas dan tipe hukum
otonom. Pembinaan hukum nasional Indonesia yang dapat dikatakan
sebagai negara yang sedang berkembang disusun dan direncanakan tidak
untuk menindas rakyat nsmun sebaliknya adalah untuk pembinaan dan
pengembangan hukumnasional dapat memberdayakan masyarakat lebih
luas lagi.dalam suatu negara yang baru merdeka dan sedang berkembang
paling sedikit, ada dua faktor yang mendesak diambilnya sikap yang
progresif tentang hukum dan peranannya dalam masyarakat yaitu :
1. Keinginan untuk secepatnya menghapuskan peninggalan colonial.
2. Harapan-harapan yang ditimbulkan pada masyarakat dengan
tercapainya kemerdekaan.

Perkembangan hukum nasional Indonesia merupakan suatu hal


yang mau tidak mau harus dilakukan oleh pemerintah dalam rangka
membentuk hukum nasional yang mengakar ke seluruh lapisan
masyarakat. Pengembangan hukum nasional Indonesia saat ini sangat di
pengaruhi oleh unsur-unsur luar sedapat mungkin untuk tetap
mempertahankan sumber-sumber hukum materil dari hukum-hukum
Indonesia. Pengembangan hukum nasional yang menitikberatkan kepada
semangat ke-Indonesiaan citarasa Indonesia hanya dapat dilakukan dengan
konsesus dari seluruh elemen bangsa. Pembangunan hukum nasional harus
mampu mengimbangkan antara kepentingan das sein dan das sollen antara
teori dan kenyataan.

Pembangunan hukum nasional berdasarkan Blue Print adalah


pengembangan hukum nasional merupakan arah bagi pembangunan
hukum positif di Indonesia. Blue Print yang mengarah perkembangan
hukum nasional kea rah tujuan negara seperti yang tercantum di dalam
Pembukaan UUD 1945 yang tetap mengembangkan scontituendum yang
berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945. Pengembangan hukum
nasional juga upaya guna melakukan pemurniaan produk hukum Indonesia
yang sesuai dengan nilai-nilai yang tertanam di dalam masyarakat.
Pencampuran maupun pengaruh dari unsur-unsur luar dalam
mempengaruhi perkembangan hukum nasional agar dapat diminimalisir.
Kebijakan Pembangunan Hukum Nasional, Strategi Pembangunan Hukum
Nasional.
a. Strategi Pembangunan Hukum yang Ortodoks
Strategi ini memiliki ciri-ciri adanya peran yang sangat dominan
dari lembaga-lembaga negara dalam menentukan arah pembangunan
hukum dalam suatu negara, dengan demikian maka baik tradisi hukum
yang sosialis dapat dikatakan sebagai penganut strategi pembangunan
hukum yang ortodoks. Karena dalam tradisi hukum tersebut peran
lembaga-lembaga negara sangat dominan dan monopolis dalam
menentukan arah pembangunan hukum.
b. Strategi Pembangunan Hukum yang Responsive
Menurut Lubis, ia menegaskan terhadap landasan social dan
landasan konstitusional bagi strategi pembangunan hukum nasional
ialah Pancasila dan UUD 1945 yang sudah di amandemen oleh MPR.
Dengan demikian, yang menjadi fokus perhatian dalam penataan
rambu-rambu strategi bagi menajemen pembangunan hukum nasional,
ialah sejauh mana kebijakan politik hukum yang akan dikembangkan
tetap konsisten dengan value sistem yang terdapat dalam Pancasila dan
UUD 1945, serta sejauh mana tujuan-tujuan nasional dalam
pembukaan UUD 1945 dapat direalisasikan melalui penerapan hukum
yang kan datang sebagai model strategi pembangunan hukum yang
dipilihnya.
Pembangunan hukum pada hakekatnya merupakan pembangunan
yang berkelanjutan. Fungsinya sebagai perlindungan kepentingan
manusia, hukum mempunyai tujuan yang hendak dicapai yakni
menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Salah satu perundang-
undangan yang di judicial review gterhadap UU No.19 Tahun 2013
mengindikasikan jika undang-undang tersebut tidak mencerminkan
nilai-nilai kemanfaatan social. Hal ini menunjukkan tidak adanya
hubungan keselarasan dan kemanfaatan antar UU No.19 Tahun 2013
sebagai hukum tertulis dengan masyarakat. Fenomena itu kemudian
dianalisis teori strategi pembangunan hukumnya Jhon Henry
Merryman. Produk hukum yang bersifat responsive, proses
pembuatannya bersifat partisipatif, yakni mengandung sebanyak-
banyaknya partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok social
dan individu di dalam masyarakat.

H. Unsur-Unsur Hukum Dalam Unifikasi Hukum

Unsur hukum meliputi :


1. Peraturan mengenai tingkah lau manusia dalam bermasyarakat.
2. Peraturan tersebut dibuat oleh badan yang berwenang.
3. Peraturan itu secara umum bersifat memaksa.
4. Sanksi dapat dikenakan bila melanggarnya sesuai dengan ketentuan
atau Perundang-Undangan yang berlaku.

Menurut Hans Kelsen, dengan konsepnya Rule Of Law atau


penegakan hukum. Dalam hal ini mengandung arti :
1. Hukum itu ditegaskan demi kepastian hukum.
2. Hukum itu dijadikan sumber utama bagi hakim dalam memutuskan
perkara.
3. Hukum itu tidak didasarkan pada kebijaksanaan dalam
pelaksanaannya.
4. Hukum itu bersifat dogmatic.

Selanjutnya, Hans Kelsen menegaskan bahwa peraturan hukum


mengatur tindakan tertentu atau pengabaian tindakan itu, dengan demikian
tindakan manusia secra pasti diatur secaara positif maupun secara negatif.
Untuk itulah Hans Kelsen menegaskan bahwa peraturan hukum
“memerintahkan, mewenangkan, dan mengizinkan perilaku seseorang “.
Hukum dalam pandangan Kelsen harus dibersihkan dari anasir-anasir
diluar hukum (moral, politik, ekonomi, dan sebagainya). Lebih jauh Hans
Kelsen menyatakan mengapa hukum dipatuhi, karena sesuai dengan
prinsip-prinsip moral, yaitu membentuk rasa keadilan yang ideal. Menurut
Aristoteles, sebagai pendukung teori etis, tujuan hukum utama adalah
keadilan yang meliputi :
1. Distributif, yang didasrkan pada prestasi.
2. Komunikatif, yang tidk didasrkan pada jasa.
3. Vindikatif, bahwa kejahatan harus setimpal dengan hukumannya.
4. Kreatif, bahwa harus ada perlindungan pada orang yang kreatif.
5. Legalis, yaitu keadilan yang ingin dicapai oleh Undang-Undang.

I. Tata-Tata Urutan Peraturan Perndang-Undangan di Indonesia

Teori pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia


adalah negara hukum yang berdasarkan atas hukum Reschsstaat. Ciri-ciri
negara hukum ialah :
1. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.
2. Diakuinya hak asasi manusia yang dituangkan dalam konstitusi.
3. Adanya dasar hukum bagi kekuasaan pemerintah (asas legalitas).
4. Adanya peradilan yang bebas dan merdeka.
5. Semua warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan
pemerintah wajib menjunjung hukum.

Oleh karena itu, negara Indonesia yang heteroginitas demikian


kompleks dengan potensi disintegrasi yang tinggi, mengharuskan setiap
langkah dan kebijakannya diarahkan untuk memperkuat persatuan dan
kesatuan serta memperkukuh komitmen kebangsaan dengan memandang
Negara Kesatuan Indonesia.
Di Indonesia, kekuasaan Presiden merupakan kekuasaan yang
melaksanakan pemerintahan. Perubahan (amandemen) UUD 1945 telah
membawa pembaharuan dalam ketatanegaraan Indonesia. Bergesernya
kekuasaan pembentukan Undang-Undang dari Presiden ke DPR adalah
salah satu konsekuensi dari perubahan Konstitusi, sehingga fungsi
legislatif dari DPR menjadi lebih kuat daripada sebelum amandemen UUD
1945. Akan tetapi di dalam pembentukkan Undang-Undang Presiden
masih mempunyai kewenangan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya suatu
keharusan bahwa Undang-Undang itu dibentuk harus dengan persetujuan
bersama antara Presiden dan DPR (vide Pasal 20 ayat 2 UUD 1945).
Artuinya, Presiden mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam
membentuk undang-undang. Begitu juga dalam pengesahan undang-
undang, Presiden mempunyai kewenangan untuk mengesahkan undang-
undang dengan batas waktu tertentu untuk mengesahkan suatu undang-
undang (vide Pasal 20 ayat 4 UUD 1945).

Dalam hal-hal tertentu Presiden juga diberikan kekuasaan dalam


menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Peraturan
Pemerintah Penggangti Undang-Undang derajatnya sama dengan undang-
undang. Dalam UUD 1945, kekuasaan Presiden dalam menetapkan
PERPU, terdapat pada Pasal 22 UUD 1945. Selain itu menurut Pasal 5
ayat 1 UUD 1945, Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang
kepada DPR.
J. Tujuan Politik Hukum Nasional

Tujuan hukum, menurut Roscoe Pound adalah :


a. Memlihara perdamaian pada semua peristiwa atau kejadian dengan
biaya besar, dengan konsep mengenai apa yang mungkin dinamakan
tingkatan hukum primitif. Konsep tersebut mengajukan pemenjjuhan
keinginan sosial akan keamanan umum yang dinyatakan dalam
hubungan-hubungannya yang paling rendah sebagai tujuan peraturan
hukum.
b. Mengendalikan atau memberikan kontrol terhadap mereka atau
merspon terhadap mereka merupakan tuntutan oleh keamanan umum,
dengan cara memenuhi keinginan-keinginan social yang didapatkan
dalam suatu peraturan hukum.
c. Memelihara setiap orang didalam alurnya yang telah ditetapkan
didalam masyarakat dan mencegah perselisihan. Dan juga dapat
mengontrol apa yang terjadi di masyarakat.
d. Mencegah gangguan-gangguan terhadap peraturan masyarakat dengan
menetapkan setiap individu pada tempat yang telah ditetapkan.
e. Menjamin sebesar mungkin oenuntutan diri individu secara umum dan
membiarkan orang melakukan secara bebas segala sesuatu yang boleh
mereka lakukan secara konsisten.
f. Menjamin kepentingan-kepentingan sosial, sejauh kepentingan itu
dijamin melalui penertiban manusia.

Menurut Moris and Hawkins tujuan hukum adalah untuk


perlindungan kehidupan dan milik warga negara serta pelestarian
ketertiban umum dan kesopanan. Sedangkan menurut W.Friedmann tujuan
hukum adalah untuk memberikan bentuk dan ketertiban terhadap bidang
politik, ekonomi, kehidupan social sangat ditentukan oleh tiga
karakteristik yaitu stabilitas, formalism, dan hasratkan rasa aman dari
kekacauan.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Unifikasi Hukum merupakan keseragaman (kesatuan,


kesamaan) hukum bagi seluruh warga Indonesia. Unifikasi Hukum
juga mempunyai arti sebagai penyatuan hukum yang berlaku secara
nasional atau penyatuan pemberlakuan hukum secara nasional. Tujuan
dan fungsi hukum adalah bertujuan untuk mewujudkan apa yang
berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna yang efektif. Sedangkan
Kodifikasi adalah pembukuan hukum dalam suatu himpunan undang-
undang dalam materi yang sama. Tujuan daripada kodifikasi hukum
adalah agar didapat suatu rechtseenheid (kesatuan hukum).
Adapun faktor yang mempengaruhi unifikasi yaitu,kekuasaan
tradisi dan agama dari berbagai golongan di dalam masyarakat masih
sangat teguh. Paham-paham tradisional mengenai hidup kekeluargaan,
paham-paham mengenai pertalian darah dalam keluarga golongan
bangsa Indonesia juga merupakan faktor-faktor yang membuat sukar
untuk melakukan unifikasi.

B. SARAN

Anda mungkin juga menyukai