PENDAHULUAN
Manusia berkepentingan untuk merasa bahwa ia aman. Aman berarti bahwa kepentingan-
kepentingannya tidak diganggu. Oleh karena itu manusia selalu berharap bahwa kepentingan-
kepentingannya dilindungi dari konflik, gangguan-gangguan dan bahaya yang mengancam serta
menyerang kepentingan dirinya dan kehidupan bersama. Gangguan dan konflik harus dicegah
dan tidak dibiarkan berlangsung terus menerus, karena akan merusak keseimbangan tatanan
masyarakat.
Untuk menjamin kepastian hukum harus ada kodifikasi ,yaitu usaha untuk membukukan
peraturan-peraturan yang tertulis yang masih berserak-serak ke dalam suatu buku secara
1
sistematis. Maksud utamanya adalah untuk meniadakan hukum berada di luar kitab Undang
Undang dengan tujuan untuk agar dapat kepastian hukum sebanyak-banyaknya dalam
masyarakat.
Dengan tidak sempurnanya kodifikasi hukum tersebut maka tidak jarang hakim
melakukan penemuan nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan masyarakat. Disamping itu
,hakim juga melakukan penafsiran-penafsiran hukum dalam menyelesaikan suatu perkara yang
di hadapinya,khususnya dalam hal yang ketentuan undang-undang yang sudah ketinggalan
zaman dan ketentuan undang-undang yang memakai istilah-istilah yang tidak jelas atau yang
dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda.
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian dari penemuan hukum.
1.3.2 Untuk mengetahui aliran-aliran dan metode penemuan hukum.
1.3.3 Untuk mengetahui pengertian dari penafsiran hukum.
1.3.4 Untuk mengetahui macam-macam cara penafsiran hukum.
1.3.5 Untuk mengetahui metode penafsiran hukum.
2
1.4 Manfaat
- Memberikan informasi seputar penemuan dan penafsiran hukum.
- Memberikan gambaran dan referensi mengenai penemuan dan penafsiran hukum.
3
BAB II
PEMBAHASAN
a) Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa
Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
4
b) Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa
Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dengan dasar hukum diatas, ada 3 dasar pemikiran untuk melakukan penemuan hukum
oleh hakim, yaitu:
a) Karena peraturan tidak ada, tetapi esesi perkaranya sama dengan suatu peraturan lain
sehingga dapat diterapkan pada perkara tersebut.
b) Peraturan memang ada, tetapi kurang jelas sehingga hakim perlu menafsirkannya.
c) Peraturan juga sudah ada, tetapi sudh tidak sesuai lagi dengan kondisi dan kebutuhan
warga masyarakat.
a) Legisme
Dengan demikian penerapan hukum bersifat mekanis dan hakim sangat terikat
dengan undang-undang. Kebiasaan hanya akan memiliki kekuatan hukum
berdasarkan pengakuan undang-undang. Namun permasalahan-permasalahan
hukum yang timbul kemudian yang tidak tertampung dalam Undang-Undang
tidak dapat dipecahkan.
5
b) Mazhab historis (freirechtschule, freie rechtsbewegung)
6
Penemuan hukum bisa dilakukan dengan dua metode yaitu metode
interpretasi atau penafsiran dan metode konstruktif.
7
Dalam pengertian subyektif, apabila ditafsirkan seperti yang dikehendaki
oleh pembuat undang-undang.
Dalam pengertian obyektif, apabila penafsirannya lepas daripada pendapat
pembuat undang-undang dan sesuai dengan adat bahasa sehari-hari.
Dalam pengetian sempit (restriktif), yakni apabila dalil yang ditafsirkan
diberi pengertian sangat dibatasi misalnya mata uang (pasal 1756
KUHPer) pengertiannya hanya uang logam saja dan barang diartikan
benda yang dapat dilihat dan diraba saja.
- Pasal 1756 KUHPer alinea kedua tentang mata uang juga diartikan
uang kertas.
- Barang (pasal 362 KUHPer) yang dulu hanya diartikan benda dapat
dilihat dan diraba sekarang juga termasuk aliran listrik (Arret Hoge Raad
Belanda tanggal 23 Mei 1931)
8
- Hakim, penafsiran yang bersumber dari hakim (peradilan) hanya
mengikat pihak-pihak yang bersangkutan dan berlaku bagi kasus-kasus
tertentu (pasal 1917 ayat (1) KUHPer)
9
terjadi dilegislatif, maksud ditetapkannya atau penjelasan dari pembentuk
Undang-undang pada waktu pembentukannya.
Penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain
dalam suatu per Undang-undangan yang bersangkutan, atau dengan Undang-
undang lain, serta membaca penjelasan Undang-undang tersebut sehingga kita
memahami maksudnya. Contoh [a] Dalam pasal 1330 KUHPerdata menyatakan
“Tidak cakap membuat persetujuan/perjanjian antara lain orang-orang yang belum
dewasa”. Timbul pertanyaan : “Apakah yang dimaksud dengan orang-orang yang
belum dewasa”. Untuk hal tersebut harus dikaitkan pada pasal 330 KUHPerdata
yang mengatur batasan orang yang belum dewasa yaitu belum berumur 21 tahun.
[b] Apabila hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan
diluar perkawinan orang tuanya, tidak cukup hanya mencari ketentuan-ketentuan
didalam KUHPerdata (BW) saja melainkan harus dihubungkan juga dengan pasal
278 KUHP.
10
hal ini hakim harus menserasikan pandangan sosial kemasyarakatannya dengan
Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang UU Pokok-pokok Agraria.
11
8. Metode interpretasi Analogi
12
prinsip bahwa hakim pidana harus menghukum semua tindakan yang
membahayakan masyarakat.
BAB III
13
KESIMPULAN
3.1 Simpulan
Penemuan hukum adalah suatu proses pembentukan hukum oleh hakim atau
penegak hukum lainnya terhadap peristiwa-peristiwa yang kongkret. Sedangkan,
penafsiran hukum adalah suatu upaya yang pada dasarnya menerangkan, menjelaskan,
menegaskan baik dalam arti memperluas maupun membatasi atau mempersempit
pengertian hukum yang ada dalam rangka penggunaannya untuk memecahkan masalah
atau persoalan yang sedang dihadapi. Jadi, di disaat menentukan suatu perkara seorang
hakim atau penegak hukum lainnya perlu harus memulai tahap penemuan hukum dan
penafsiran hukum atau interprestasi dari undang-undang yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
14
15