Anda di halaman 1dari 6

TUGAS I

HUKUM ADAT

Disusun Oleh:

BURHANUDDIN
NIM. 030600829
TUGAS 1

1. Jelaskan sifat atau corak umum Hukum Adat!


2. Jelaskan sistem Hukum Adat!
3. Jelaskan politik kolonial terhadap pemberlakuan Hukum Adat!
4. Jelaskan perkembangan Hukum Adat dalam produk hukum nasional!

JAWABAN

1. Corak atau Sifat Hukum Adat


F.D. Hollemann mengemukakan ada empat corak atau sifat umum Hukum Adat yang
merupakan satu kesatuan, sebagai beikut:
a. Magis Religius
Sifat ini diartikan sebagai pola piker yang didasarkan pada religiusitas, yakni
keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sacral. Sebelum
masyarakat adat mengenal agama, sifat religious ini diwujudkan dalam cara berpikir
yang tidak logis, animism dan kepercayaan pada hal-hal yang bersifat gaib.
b. Komunal (Kebersamaan)
Menurut pandangan Hukum Adat setiap individu, anggota masyarakat merupakan
bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan. Hubungan antara anggota
masyarakat yang satu dan yang lain didasarkan oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan,
tolong-menolong, dan gotong royong.
c. Konkret (Visual)
Sifat yang konkret artinya jelas, nyata, berwujud, dan visual, artinya dapat terlihat,
tampak, terbuka, tidak tersembunyi. Hal ini mengartikan bahwa setiap hubungan
hokum yang terjadi dalam masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam.
d. Kontan (Tunai)
Sifat ini mempunyai makna bahwa suatu perbuatan selalu diliputi oleh suasana yang
serba konkret, terutama dalam hal pemenuhan prestasi. Bahwa setiap pemenuhan
prestasi selalu diiringi dengan kontra prestasi yang diberikan secara serta merta.
Di samping 4 corak Hukum Adat yang dikemukan F.D. Hollemann di atas, ada sifat khas
lainnya dari Hukum Adat, sebagai berikut:
a. Tradisional
Sifat ini menunjukkan bahwa masyarakat adat bersifat turun menurun, dari zaman
nenek moyang sampai ke anak cucu sekarang keadaannya masih tetap berlaku dan
dipertahankan oleh masyarakat yang bersankutan.
b. Dinamis
Hukum Adat dapat berubah menurut keadaan waktu dan tempat. Setiap
perkembangan masyarakat hukum adat akan selalu menyesuaikan diri sesuai dengan
perkembangan yang terjadi.
c. Terbuka
Hukum Adat dapat menerima sistem hukum lain sepanjang masyarakat yang
bersangkutan menganggap bahwa sistem hukum lain tersebut patut atau
berkesesuaian.
d. Sederhana
Masyarakat Hukum Adat itu bersahaja, tidak rumit, tidak beradministrasi, tidak
tertulis, mudah dimengerti, dan dilaksanakan berdasar saling percaya mempercayai.
e. Musyawarah dan Mufakat
Dalam menyelesaikan perselisihan selalu diutamakan penyelesaian secara rukun dan
damai dengan musyawarah dan mufakat.

2. Sistem Hukum Adat


Sistem Hukum Adat mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Tidak membedakan Hukum Publik dan Hukum Privat. Berbeda dengan Hukum
Eropa yang membedakan antara hukum hukum yang bersifat Publik dan hukum yang
bersifat Privat. Di mana Hukum Publik yang menyangkut hukum kepentingan umum
dan Hukum Privat yang mengatur kepentingan perorangan atau mengatur hubungan
antara masyarakat satu dengan yang lainnya. Di dalam Hukum Adat tidak mengenal
pembedaan seperti itu.
b. Tidak membedakan hak kebendaan (zakelijke rechten) & hak perseorangan
(personlijke rechten) menurut Hukum Barat (Eropa) setiap orang yang mempunyai
hak atas suatu benda ia berkuasa atau bebas untuk berbuat terhadap benda miliknya
itu karena mempunyai hak perseorangan atas hak miliknya tersebut, tetapi menurut
Hukum Adat, hak kebendaan dan hak perseorangan itu tidak bersifat mutlak sebagai
hak pribadi oleh karena berkaitan dengan hubungan kekeluargaan dan
kekerabatannya.
c. Tidak membedakan pelanggaran perdata dan pidana. Di dalam Hukum Adat apabila
terjadi pelanggaran hukum perdata dan pelanggaran hukum pidana diputuskan
sekaligus oleh fungsionaris hukum (ketua adat atau kepala desa). Hal ini berbeda
dengan hukum barat di mana pelanggaran perdata diperiksa dan diputuskan oleh
hakim perdata sementara pelanggaran yang bersifat pidana diperiksa dan diputuskan
oleh hakim pidana.
Perbedaan kedua sistem hukum tersebut disebabkan karena hal-hal sebagai berikut:
a. Corak serta sifat yang berlainan antara Hukum Adat dengan Hukum Barat (Eropa);
b. Pandangan hidup yang mendukung kedua macam hukum itu pun berbeda (Tolib
Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, 2008: 42-44).
Djojodinegoro (dalam Soerjono Soekanto, 2012: 127-128) menulis bahwa Hukum Adat
memandang masyarakat sebagai paguyuban, artinya sebagai satu kesatuan hidup
bersama, di mana manusia memandang sesamanya sebagai tujuan, interaksi manusia
dengan sesamanya dengan segala perasaannya, sebagai cinta, benci, simpati, antipati, dan
sebagainya yang baik dan yang kurang baik. Sebagai manusia yang sangat menghargai
sifat hubungan damai dengan sesama manusia, oleh karenanya berusaha menyelesaikan
secara damai setiap perbedaan pendapat yang terjadi, secara kompromi, tidak hanya
melihat benar salah, tetapi lebih pada keberlanjutan hubungan baik di masa datang. Pada
dasarnya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang menginginkan hidup yang
damai/tenang dengan susunan yang harmonis, sebagaimana yang ada dalam alam pikiran
tradisional yang bersifat kosmis, yang beranggapan bahwa manusia merupakan bagian
dari alam, yang dalam kehidupannya tidak mengalami proses pemisahan antara berbagai
bidang kehidupan (politik, ekonomi, sosial, hukum dan sebagainya). Alam pikiran
tersebut tergambar dalam hukum adat, sehingga unsur-unsur pokok alam pikiran
tradisional tersebut menjadi bagian dalam sistem hukum adat. Sistem hukum Adat,
terdiri atas unsur-unsur pokok: kepercayaan, perasaan, tujuan, kaidah, kedudukan,
peranan dan pelaksanaan peranan, tingkatan atau jenjang, sanksi, kekuasaan, dan fasilitas
(Soerjono Soekanto, 2012: 132). Unsur-unsur pokok sebagaimana diuraikan Soerjono
Soekanto tersebut, tercermin dalam empat corak hukum Adat sebagaimana dikemukakan
Holleman.

3. Politik Kolonial (Belanda) terhadap Pemberlakuan Hukum Adat


Tahun 1848 dimulainya pengodifikasian hukum oleh pemerintah kolonial. Bagi golongan
eropa berlaku asas konkordansi, yaitu hukum yang berlaku bagi golongan eropa adalah
kodifikasi hukum perdata yang dibuat di Belanda. Terhadap hukum perdata antara
golongan rakyat (pribumi) dibedakan, karena kodifikasi hukum perdata pada tahun 1848
tidak termasuk Hukum Adat. Hal ini menimbulkan perbedaan pendapat di antara pejabat
pemerintah kolonial saat itu, ada yang menghendaki sebagian hukum perdata barat harus
diberlakukan juga untuk golongan bukan Eropa, dan ada juga yang berpendapat bahwa
untuk masyarakat pribumi harus diberlakukan Hukum Adat. Kemudian perbedaan
tersebut diselesaikan dengan menepatkan dasar berlakunya Hukum Adat bagi golongan
pribumi dan timur asing, dalam Pasal 11 AB (Algemeene Bepalingen van Wetgeving
voor Nederlands Indie), yang menyatakan bahwa bagi orang-orang pribumi yang dengan
sukarela mentaati peraturan hokum perdata dan hokum dagang eropa, diberlakukan
hokum tersebut, atau peraturan perundangan lain yang terdapat dalam Hukum Adat
(peraturan keagamaan, lembaga-lembaga rakyat, dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat
pribumi), sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas keadilan yang diakui umum.
Istilah Hukum Adat belum dikenal, sehingga dalam Pasal 11 AB tersebut digunakan
istilah peraturan agama, lembaga-lembaga rakyat, dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
Adapun kodifikasi hukum pidana di Indonesia diberlakukan berbeda bagi golongan
eropa, pribumi dan timur asing sampai dengan tahun 1918. Setelah tahun 1918 barulah
dilakukan unifikasi hukum pidana yang berlaku untuk seluruh golongan rakyat di
Indonesia. Kodifikasi hukum pidana ini mulai berlaku sejak tahun 1918 yang sampai
sekarang KUH Pidana tersebut masih berlaku di Indonesia dengan beberapa perubahan.

4. Perkembangan Hukum Adat Dalam Produk Hukum Nasional


a. Hukum Adat dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
UU No. 1 Tahun 1974, menegaskan syarat sahnya perkawinan ada pada persyaratan
menurut agama masing-masing pihak yang akan melangsungkan pernikahan, syarat
sahnya suatu perkawinan, dikembalikan kepada hokum agama para pihak yang akan
melangsungkan perkawinan. Secara tidak langsung UU No. 1 Tahun 1974 merujuk
pada hukum agama (hukum adat) masing-masing pihak. Apabila para pihak tidak
memeluk agama yang secara formal diakui negara, maka secara implisit yang berlaku
adalah Hukum Adat. Beberapa bentuk perkawinan pada masyarakat di Indonesia:
1) Masyarakat dengan Sistem Kekeluargan Patrilineal
Pada sistem kekelurgaan berdasar garis keturunan bapak/ayah, bentuk
perkawinannya eksogami, bahwa pihak laki-laki menarik pihak perempuan untuk
masuk dalam ‘clan’-nya dengan pemberian ‘jujur’, yaitu barang-barang ‘suci’
yang dianggap memiliki nilai ‘magis’ kepada keluarga pihak perempuan.
Pemberian ‘jujur’ merupakan symbol pengganti kedudukan perempuan dalam
suatu klan atau sebagai pencegah terjadniya ketidakseimbangan dalam klan pihak
perempuan. Oleh karena itu, terdapat larangan perkawinan dari klan yang sama
atau antarkeluarga. Berlaku pada masyarakat adat Batak, di wilayah Sulawesi
Utara, Ambon-Maluku, dan sebagian wilayah Sulawesi Tengah.
2) Masyarakat dengan Sistem Kekeluargaan Matrilineal
Pada masyarakat berdasar garis keturunan ibu juga mengenal bentuk perkawinan
eksogami dengan beberapa perbedaan. Terdapat pada masyarakat Minangkabau,
mengenal 3 bentuk perkawinan (kawin bertandang, kawin menetap, dan kawin
bebas). Kawin bertandang, suami istri tidak hidup bersama, masing-masing
berada dalam lingkungan klannya, suami berkedudukan sebagai tamu yang
bertandang ke keluarga istri, dan tidak berhak atas anak, harta benda istri dan
segala sesuatu yang berkaitan dengan rumah tangga. Kawin menetap, di mana
suami istri hidup dalam satu rumah dan mengurus anak-anak dan harta kekayaan
secara mandiri. Kawin bebas, yaitu pasangan bebas memilih pasangan masing-
masing, biasanya dilakukan oleh mereka yang sudah merantau.

3) Bentuk Perkawinan Parental


Pada umunya masyarakat di Jawa, setiap orang dapat memilih pasangannya
secara bebas sepanjang tidak bertentangan dengan hokum agama atau Hukum
Adat.
b. Hukum Adat dalam UU no. 5 Tahun 1960 tentang UUPA
UUPA merupakan peraturan yang bersandarkan pada Hukum Adat sebagaimana
tertuang dalam diktum menimbang UUPA tersebut. Menurut Otje Salman, UUPA
merombak Hukum Adat tanah dengan hanya memberlakukan hal-hal tertentu saja
terkait kekeuasaan negara atas tanah dan timbulnya hak milik yang diatur
pemerintah.
1) Hak menguasai dari negara
Pasal 2 UUPA, menyatakan bahwa negara memiliki hak menguasai atas tanah-
tanah yang berada di wilayah Republik Indonesia, dan memeberikan kewenangan
kepada negara untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan ,
perediaan, dan pemeliharaan hal-hal yang bersangkutan dengan agrarian.
Sebelum adanya UUPA, hak ulayat, misalnya merupakan hak mutlak dari
masyarakat, adanya UUPA bergeser menjadi kewenangan negara.
2) Berkaitan dengan hak milik
Dalam Hukum Adata, hak milik merupakan bagian dari pelaksanaan hak ulayat.
Terdapat beberapa cara untuk mendapatkan hak milik yang dikenal dalam
masyarakat, antara lain pembelian, warisa, dan hibah/wakaf. Setelah berlakunya
UUPA, maka syarat-syarat untuk terjadinya hak milik atas tanah diatur dalam
Pasal 22 ayat (1) UUPA, terjadinya hak milik menurut Hukum Adat diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
c. Selain undang-undang di bidang perkawinan dan pertanahan sebagaimana disebutkan
di atas, banyak produk hukum nasional di bidang pemerintahan, sumber daya alam,
perbankan, lingkungan hidup dan bidang lainnya, yang setelah reformasi dihidupkan
kembali dalam peraturan perundang-undangan nasional.

Anda mungkin juga menyukai