2. Jelaskan sistem Hukum Adat! 3. Jelaskan politik kolonial terhadap pemberlakuan Hukum Adat! 4. Jelaskan perkembangan Hukum Adat dalam produk hukum nasional!
JAWABAN
1. Corak atau Sifat Hukum Adat
F.D. Hollemann mengemukakan ada empat corak atau sifat umum Hukum Adat yang merupakan satu kesatuan, sebagai beikut: a. Magis Religius Sifat ini diartikan sebagai pola piker yang didasarkan pada religiusitas, yakni keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sacral. Sebelum masyarakat adat mengenal agama, sifat religious ini diwujudkan dalam cara berpikir yang tidak logis, animism dan kepercayaan pada hal-hal yang bersifat gaib. b. Komunal (Kebersamaan) Menurut pandangan Hukum Adat setiap individu, anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan. Hubungan antara anggota masyarakat yang satu dan yang lain didasarkan oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan, tolong-menolong, dan gotong royong. c. Konkret (Visual) Sifat yang konkret artinya jelas, nyata, berwujud, dan visual, artinya dapat terlihat, tampak, terbuka, tidak tersembunyi. Hal ini mengartikan bahwa setiap hubungan hokum yang terjadi dalam masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam. d. Kontan (Tunai) Sifat ini mempunyai makna bahwa suatu perbuatan selalu diliputi oleh suasana yang serba konkret, terutama dalam hal pemenuhan prestasi. Bahwa setiap pemenuhan prestasi selalu diiringi dengan kontra prestasi yang diberikan secara serta merta. Di samping 4 corak Hukum Adat yang dikemukan F.D. Hollemann di atas, ada sifat khas lainnya dari Hukum Adat, sebagai berikut: a. Tradisional Sifat ini menunjukkan bahwa masyarakat adat bersifat turun menurun, dari zaman nenek moyang sampai ke anak cucu sekarang keadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat yang bersankutan. b. Dinamis Hukum Adat dapat berubah menurut keadaan waktu dan tempat. Setiap perkembangan masyarakat hukum adat akan selalu menyesuaikan diri sesuai dengan perkembangan yang terjadi. c. Terbuka Hukum Adat dapat menerima sistem hukum lain sepanjang masyarakat yang bersangkutan menganggap bahwa sistem hukum lain tersebut patut atau berkesesuaian. d. Sederhana Masyarakat Hukum Adat itu bersahaja, tidak rumit, tidak beradministrasi, tidak tertulis, mudah dimengerti, dan dilaksanakan berdasar saling percaya mempercayai. e. Musyawarah dan Mufakat Dalam menyelesaikan perselisihan selalu diutamakan penyelesaian secara rukun dan damai dengan musyawarah dan mufakat.
2. Sistem Hukum Adat
Sistem Hukum Adat mencakup hal-hal sebagai berikut: a. Tidak membedakan Hukum Publik dan Hukum Privat. Berbeda dengan Hukum Eropa yang membedakan antara hukum hukum yang bersifat Publik dan hukum yang bersifat Privat. Di mana Hukum Publik yang menyangkut hukum kepentingan umum dan Hukum Privat yang mengatur kepentingan perorangan atau mengatur hubungan antara masyarakat satu dengan yang lainnya. Di dalam Hukum Adat tidak mengenal pembedaan seperti itu. b. Tidak membedakan hak kebendaan (zakelijke rechten) & hak perseorangan (personlijke rechten) menurut Hukum Barat (Eropa) setiap orang yang mempunyai hak atas suatu benda ia berkuasa atau bebas untuk berbuat terhadap benda miliknya itu karena mempunyai hak perseorangan atas hak miliknya tersebut, tetapi menurut Hukum Adat, hak kebendaan dan hak perseorangan itu tidak bersifat mutlak sebagai hak pribadi oleh karena berkaitan dengan hubungan kekeluargaan dan kekerabatannya. c. Tidak membedakan pelanggaran perdata dan pidana. Di dalam Hukum Adat apabila terjadi pelanggaran hukum perdata dan pelanggaran hukum pidana diputuskan sekaligus oleh fungsionaris hukum (ketua adat atau kepala desa). Hal ini berbeda dengan hukum barat di mana pelanggaran perdata diperiksa dan diputuskan oleh hakim perdata sementara pelanggaran yang bersifat pidana diperiksa dan diputuskan oleh hakim pidana. Perbedaan kedua sistem hukum tersebut disebabkan karena hal-hal sebagai berikut: a. Corak serta sifat yang berlainan antara Hukum Adat dengan Hukum Barat (Eropa); b. Pandangan hidup yang mendukung kedua macam hukum itu pun berbeda (Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, 2008: 42-44). Djojodinegoro (dalam Soerjono Soekanto, 2012: 127-128) menulis bahwa Hukum Adat memandang masyarakat sebagai paguyuban, artinya sebagai satu kesatuan hidup bersama, di mana manusia memandang sesamanya sebagai tujuan, interaksi manusia dengan sesamanya dengan segala perasaannya, sebagai cinta, benci, simpati, antipati, dan sebagainya yang baik dan yang kurang baik. Sebagai manusia yang sangat menghargai sifat hubungan damai dengan sesama manusia, oleh karenanya berusaha menyelesaikan secara damai setiap perbedaan pendapat yang terjadi, secara kompromi, tidak hanya melihat benar salah, tetapi lebih pada keberlanjutan hubungan baik di masa datang. Pada dasarnya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang menginginkan hidup yang damai/tenang dengan susunan yang harmonis, sebagaimana yang ada dalam alam pikiran tradisional yang bersifat kosmis, yang beranggapan bahwa manusia merupakan bagian dari alam, yang dalam kehidupannya tidak mengalami proses pemisahan antara berbagai bidang kehidupan (politik, ekonomi, sosial, hukum dan sebagainya). Alam pikiran tersebut tergambar dalam hukum adat, sehingga unsur-unsur pokok alam pikiran tradisional tersebut menjadi bagian dalam sistem hukum adat. Sistem hukum Adat, terdiri atas unsur-unsur pokok: kepercayaan, perasaan, tujuan, kaidah, kedudukan, peranan dan pelaksanaan peranan, tingkatan atau jenjang, sanksi, kekuasaan, dan fasilitas (Soerjono Soekanto, 2012: 132). Unsur-unsur pokok sebagaimana diuraikan Soerjono Soekanto tersebut, tercermin dalam empat corak hukum Adat sebagaimana dikemukakan Holleman.
3. Politik Kolonial (Belanda) terhadap Pemberlakuan Hukum Adat
Tahun 1848 dimulainya pengodifikasian hukum oleh pemerintah kolonial. Bagi golongan eropa berlaku asas konkordansi, yaitu hukum yang berlaku bagi golongan eropa adalah kodifikasi hukum perdata yang dibuat di Belanda. Terhadap hukum perdata antara golongan rakyat (pribumi) dibedakan, karena kodifikasi hukum perdata pada tahun 1848 tidak termasuk Hukum Adat. Hal ini menimbulkan perbedaan pendapat di antara pejabat pemerintah kolonial saat itu, ada yang menghendaki sebagian hukum perdata barat harus diberlakukan juga untuk golongan bukan Eropa, dan ada juga yang berpendapat bahwa untuk masyarakat pribumi harus diberlakukan Hukum Adat. Kemudian perbedaan tersebut diselesaikan dengan menepatkan dasar berlakunya Hukum Adat bagi golongan pribumi dan timur asing, dalam Pasal 11 AB (Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie), yang menyatakan bahwa bagi orang-orang pribumi yang dengan sukarela mentaati peraturan hokum perdata dan hokum dagang eropa, diberlakukan hokum tersebut, atau peraturan perundangan lain yang terdapat dalam Hukum Adat (peraturan keagamaan, lembaga-lembaga rakyat, dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat pribumi), sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas keadilan yang diakui umum. Istilah Hukum Adat belum dikenal, sehingga dalam Pasal 11 AB tersebut digunakan istilah peraturan agama, lembaga-lembaga rakyat, dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Adapun kodifikasi hukum pidana di Indonesia diberlakukan berbeda bagi golongan eropa, pribumi dan timur asing sampai dengan tahun 1918. Setelah tahun 1918 barulah dilakukan unifikasi hukum pidana yang berlaku untuk seluruh golongan rakyat di Indonesia. Kodifikasi hukum pidana ini mulai berlaku sejak tahun 1918 yang sampai sekarang KUH Pidana tersebut masih berlaku di Indonesia dengan beberapa perubahan.
4. Perkembangan Hukum Adat Dalam Produk Hukum Nasional
a. Hukum Adat dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan UU No. 1 Tahun 1974, menegaskan syarat sahnya perkawinan ada pada persyaratan menurut agama masing-masing pihak yang akan melangsungkan pernikahan, syarat sahnya suatu perkawinan, dikembalikan kepada hokum agama para pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Secara tidak langsung UU No. 1 Tahun 1974 merujuk pada hukum agama (hukum adat) masing-masing pihak. Apabila para pihak tidak memeluk agama yang secara formal diakui negara, maka secara implisit yang berlaku adalah Hukum Adat. Beberapa bentuk perkawinan pada masyarakat di Indonesia: 1) Masyarakat dengan Sistem Kekeluargan Patrilineal Pada sistem kekelurgaan berdasar garis keturunan bapak/ayah, bentuk perkawinannya eksogami, bahwa pihak laki-laki menarik pihak perempuan untuk masuk dalam ‘clan’-nya dengan pemberian ‘jujur’, yaitu barang-barang ‘suci’ yang dianggap memiliki nilai ‘magis’ kepada keluarga pihak perempuan. Pemberian ‘jujur’ merupakan symbol pengganti kedudukan perempuan dalam suatu klan atau sebagai pencegah terjadniya ketidakseimbangan dalam klan pihak perempuan. Oleh karena itu, terdapat larangan perkawinan dari klan yang sama atau antarkeluarga. Berlaku pada masyarakat adat Batak, di wilayah Sulawesi Utara, Ambon-Maluku, dan sebagian wilayah Sulawesi Tengah. 2) Masyarakat dengan Sistem Kekeluargaan Matrilineal Pada masyarakat berdasar garis keturunan ibu juga mengenal bentuk perkawinan eksogami dengan beberapa perbedaan. Terdapat pada masyarakat Minangkabau, mengenal 3 bentuk perkawinan (kawin bertandang, kawin menetap, dan kawin bebas). Kawin bertandang, suami istri tidak hidup bersama, masing-masing berada dalam lingkungan klannya, suami berkedudukan sebagai tamu yang bertandang ke keluarga istri, dan tidak berhak atas anak, harta benda istri dan segala sesuatu yang berkaitan dengan rumah tangga. Kawin menetap, di mana suami istri hidup dalam satu rumah dan mengurus anak-anak dan harta kekayaan secara mandiri. Kawin bebas, yaitu pasangan bebas memilih pasangan masing- masing, biasanya dilakukan oleh mereka yang sudah merantau.
3) Bentuk Perkawinan Parental
Pada umunya masyarakat di Jawa, setiap orang dapat memilih pasangannya secara bebas sepanjang tidak bertentangan dengan hokum agama atau Hukum Adat. b. Hukum Adat dalam UU no. 5 Tahun 1960 tentang UUPA UUPA merupakan peraturan yang bersandarkan pada Hukum Adat sebagaimana tertuang dalam diktum menimbang UUPA tersebut. Menurut Otje Salman, UUPA merombak Hukum Adat tanah dengan hanya memberlakukan hal-hal tertentu saja terkait kekeuasaan negara atas tanah dan timbulnya hak milik yang diatur pemerintah. 1) Hak menguasai dari negara Pasal 2 UUPA, menyatakan bahwa negara memiliki hak menguasai atas tanah- tanah yang berada di wilayah Republik Indonesia, dan memeberikan kewenangan kepada negara untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan , perediaan, dan pemeliharaan hal-hal yang bersangkutan dengan agrarian. Sebelum adanya UUPA, hak ulayat, misalnya merupakan hak mutlak dari masyarakat, adanya UUPA bergeser menjadi kewenangan negara. 2) Berkaitan dengan hak milik Dalam Hukum Adata, hak milik merupakan bagian dari pelaksanaan hak ulayat. Terdapat beberapa cara untuk mendapatkan hak milik yang dikenal dalam masyarakat, antara lain pembelian, warisa, dan hibah/wakaf. Setelah berlakunya UUPA, maka syarat-syarat untuk terjadinya hak milik atas tanah diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUPA, terjadinya hak milik menurut Hukum Adat diatur dengan Peraturan Pemerintah. c. Selain undang-undang di bidang perkawinan dan pertanahan sebagaimana disebutkan di atas, banyak produk hukum nasional di bidang pemerintahan, sumber daya alam, perbankan, lingkungan hidup dan bidang lainnya, yang setelah reformasi dihidupkan kembali dalam peraturan perundang-undangan nasional.