PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
terjadi sebagai bentuk kesadaran anak bangsa untuk mencapai sebuah negara-
seluruh negara di dunia. Maka bangsa Indonesia dengan semangat reformasi terus
berperilaku sesuai dengan cara-cara baru dalam rangka mencapai suatu keadaan
sesuai dan dikehendaki. Oleh karena itu, hukum didesain sedemikian rupa
1
Mokhammad Najih dan Soimin, Pengantar Hukum Indonesia; Sejarah, Konsep Tata
Hukum, dan Politik Hukum Indonesia (Cet.I; Jatim: Setara Press, 2014), h. 1.
2
Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris (Cet. 2;
Bandung: P.T. Alumni, 2007), h. 1.
1
sudah tidak lagi sesuai atau sejalan dengan perkembangan zaman dan nilai-nilai
yang sahih. 3
sebagai agen untuk mengubah kondisi masyarakat. Agen ini dapat berupa
lembaga-lembaga sosial.4
Pada sisi lain, penting dilihat bahwa Indonesia sebagai negara hukum
sebagai hukum yang sebenarnya hanyalah yang telah ditentukan secara positif
oleh negara. Hukum hanya berlaku karena hukum itu mendapatkan bentuk
positifnya dari suatu instansi yang berwenang (negara).6 Dalam konteks ini juga
menurut Soerjono Soekanto dikatakan bahwa, hukum dalam suatu negara sejatinya
5
Secara teoritis, aliran positivisme yuridis menganut pandangan bahwa hanya apa yang
ditetapkan sebagai kenyataanlah yang dapat diterima. Lihat misalnya, Theo Huijbers, Filsafat
Hukum dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Kanisius, 1982), h. 122. Teori Positivisme yuridis
berdasar pada aliran filsafat positivism yang berkembang di Perancis pada dua dasawarsa pertama
abad ke-19 dengan tokoh utamanya adalah August Comte, seorang matematikawan terkenal yang
kemudian menjadi sosiolog kenamaan. Aliran positivisme berpendapat bahwa setiap metodologi
untuk menemukan kebenaran harus memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis sebagai
sesuatu obyektiva yang harus dipisahkan dari segala macam prakonsepsi metafisis yang subyektif
sifatnya. A. Mukhtie Fadjar, Teori-Teori Hukum Kontemporer (Cet. II; Malang: Setara Press,
2014), h. 8.
6
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia (Jawa Barat: ISIF, 2014),
h. 4.
Artinya, efektivitas hukum sebagai pengubah perilaku masyarakat ini akan sangat
sehingga tahu pula hak dan kewajiban, serta kepentingan bagi mereka ketika
adalah mengatur pergaulan hidup manusia itu, tentu terdapat macam kepentingan
tersebut secara adil dan bijaksana, bagi tiap-tiap manusia dalam masyarakat di
bertentangan satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, tujuan hukum di samping
akan menjaga kepastian hukum, juga menjaga sendi-sendi keadilan yang hidup
dalam masyarakat.8
Salah satu implikasi dari suatu negara yang tengah menjalani proses
baik secara politik atau struktur negara. Sunaryati Hartono, sebagaimana dikutip
modernisasi tidak hanya dalam kerangka hukum dan politik, tetapi juga dalam
ekonomi, sosial, budaya, termasuk keagamaan. Dalam konteks ini pula Ahmad
7
Lihat dalam, Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga.........., h. 65.
8
Lihat dalam, Mokhammad Najih dan Soimin, Pengantar Hukum Indonesia........., h.
11-12.
Tholabi Kharlie menyatakan bahwa, hukum Islam mendapatkan sentuhan-
sentuhan modernisasi bukan hanya dari sisi materi hukumnya, tetapi juga dengan
Inilah yang sekaligus menjadi bagian dari cikal bakal perbaikan dan pembaruan
Dari sisi materi hukum, tonggak pembaruan hukum keluarga Islam dalam
perkawinan (UU Nomor 1 Tahun 1974) pada awal paruh rezim Orde Baru. Tujuh
belas tahun kemudian, pada paruh akhir rezim Orde Baru, disusun Kompilasi
Hukum Islam (KHI) melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1991 sebagai “pedoman
yang dianggap sebagai satu-satunya detil syariat Islam yang telah diakui negara,
dan menjadi rujukan utama untuk penyelesaian masalah hukum keluarga bagi
masyarakat Islam Indonesia. Lebih dari itu, kehadiran KHI di bumi Indonesia juga
Sekitar dua belas tahun sejak KHI eksis di Indonesia, geliat untuk
10
Lihat, Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia................, h. 199. Term “produk Hukum” pada
KHI di atas nampaknya terilhami dari ‘istilah’ yang digunakan dalam lampiran konsideran Inpres
No. 1 tahun 1991. Lihat contoh lampiran Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991
Tanggal 10 Juni 1991, misalnya dalam H.R. Otje Salman S. dan Mustofa Haffas, Hukum Waris
Islam (Cet.III; Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), h. 123. Kendati demikian, sesungguhnya
KHI bukan sekedar sebuah “produk hukum”, tetapi lebih dari itu KHI sudah merupakan “hukum
materiil” bagi lingkungan Peradilan Agama, sebagaimana pandangan yang sama –misalnya-
dikemukakan juga oleh Ahmad Rofiq. Lihat, Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Cet. IV;
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 51
Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas)
KHI. Pada saat yang sama, Menteri Agama RI melalui Instruksi Presiden RI No. 9
membentuk Pokja PUG Depag RI. Pokja ini selanjutnya merespon kehadiran
RUU HTPA dengan meluncurkan naskah tandingan rumusan hukum Islam yang
ketiga hal tersebut menjadi bagian yang sama dalam pembahasan KHI. Yang
11
Aspek-aspek pembaharuan hukum yang dibutuhkan untuk konteks kekinian dalam
konten KHI misalnya adalah penegasan tentang maksud “keharusan pencatatan perkawinan”
dalam Pasal 5 dan 6 KHI, beserta kemungkinan perlunya ketersediaan regulasi yang mengatur
sanksi bagi pelanggaran terhadap ketentuan perkawinan yang tidak tercatat. Tentu saja ketentuan
semacam itu juga dalam rangka mencegah maraknya praktek nikah sirri yang secara faktual
nampaknya dapat menurunkan nilai sakramen institusi perkawinan. Selain itu, issu kesetaraan
gender menjadikan KHI dipandang sebagai produk hukum yang masih diwarnai ideologi patriarki
dan cenderung memarginalkan kaum perempuan. Ditambah lagi dengan posisi KHI yang
dilematis dalam sistem hukum Indonesia. Hal ini menurut Atun Wardatun disebabkan oleh
adanya dua fakta yang integral dengan KHI itu sendiri. Fakta pertama adalah tentang dasar
pemberlakuan KHI yang tidak mengikutkan proses tertentu sehingga KHI tidak melewati lembaga
legislatif, yang notabene berhak penuh untuk melegalkan sebuah aturan hukum menjadi undang-
undang. Fakta kedua adalah adanya konsensus ahli hukum Islam Indonesia sendiri yang
menginginkan KHI menjadi pedoman hukum yang bisa menjamin keseragaman keputusan para
hakim. Kedua fakta inilah yang menyebabkan tarik ulur dan menciptakan dilema tersendiri ketika
KHI dianggap sebagai undang-undang dan atau bersifat mengikat atau tidak, karena KHI hanya
diterbitkan dengan Instruksi Presiden. Lihat misalnya, Atun Wardatun, “Kompilasi Hukum
Islam: Dari Dominasi Fiqh Menuju Dominasi Hukum’ dalam Istinbath”, Jurnal Hukum dan
Ekonomi Islam, Vol. 5, No. 1, Desember 2007, h. 7.
12
RUU HTPA disusun oleh Badan Pengkajian dan Pengembangan Hukum Islam
(BPPHI), sebuah badan yang dibentuk Departemen Agama melalui Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama (Ditbinbapera) pada tanggal 27 Sptember 2002.
13
Lihat, Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia................, h. 200-205.
Bahkan, pasal-pasal tersebut cenderung membongkar pemahaman fikih umat
Islam di Indonesia yang telah lama dianut dari produk fikih yang mu’tabarah.14
kekeliruan dan salah tafsir terhadap gagasan dan pemikiran tentang institusi
perkawinan. Alhasil, naskah baru hukum keluarga Islam tawaran tim CLD-KHI
hukum keluarga di Indonesia akan tetap niscaya. Itu juga sebabnya, sosialisasi
pemikiran CLD-KHI tetap hadir di tengah masyarakat meski dengan wajah yang
berbeda. Hal itu dapat dimaklumi sebab kegagalan ‘meloloskan’ usulan CLD-
teologis, tetapi lebih karena faktor konfigurasi politik. Artinya, gagasan CLD-KHI
mungkin saja dapat ditawarkan kembali. Upaya meyakinkan pemerintah, DPR dan
tokoh-tokoh Islam untuk pemikiran baru di bidang hukum keluarga Islam, akan
pembaruan hukum keluarga Islam makin dirasakan. Atas dasar itu pula, penelitian
14
Sebagai contoh, “calon suami dan istri harus memberikan mahar kepada calon
pasangannya sesuai dengan kebiasaan (budaya) setempat (Pasal 16 CLD-KHI)”. Dalam KHI,
kewajiban memberi mahar hanya dibebankan kepada calon suami (Pasal 30 KHI). Contoh
pemikiran CLD-KHI yang lain adalah “calon suami dan calon istri dapat melakukan perjanjian
tertulis, meliputi –antara lain- jangka masa perkawinan. Apabila jangka waktu perkawinan telah
berakhir, suami dan isteri dapat memperpanjang waktu perkawinan sesuai kesepakatan di hadapan
PPN (lihat Pasal 21, 22 dan 23). Pasal ini dipahami sebagai sebuah tawaran untuk melegitimasi
praktek nikah “mut‘ah”.
15
Pembekuan yang disampaikan Maftuh Basyuni dilakukan lima hari pasca
pelantikannya sebagai Menteri Agama RI, usai berkunjung ke kantor MUI di Masjid Istiqlal,
Jakarta Pusat, tanggal 26 Oktober 2004, dan hanya disampaikan secara lisan, tidak disertai surat
resmi. Lihat misalnya dalam, Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia................, h. 272.
ini akan fokus pada arsitektur hukum keluarga Islam Indonesia yang kemudian
B. Rumusan Masalah
masalah pokok dalam penelitian ini adalah : Apakah naskah CLD-KHI dapat
diakomodir sebagai salah satu wujud formulasi baru hukum keluarga Islam yang
cocok untuk Indonesia? Masalah pokok tersebut lebih lanjut akan dibahas secara
2. Bagaimana potret sejarah dan dinamika politik dalam proses legislasi hukum
dan CLD-KHI?
variabel yang dimaksudkan dalam tesis ini, maka peneliti menguraikan beberapa
penelitian ini.
“bersifat tidak lekas percaya”.17 Selanjutnya, kata “counter” dalam bahasa Inggris
16
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. II;
Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 1160.
17
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia ......................, h. 601.
dapat diartikan dengan “tandingan”.18 Kata “legal” artinya “hukum”19, dan kata
“Counter Legal Draft” maksudnya adalah sebuah “konsep atau naskah hukum
tandingan”. Selanjutnya kalimat tersebut dipilih oleh Pokja PUG Depag RI untuk
penamaan naskah baru hukum keluarga yang ditawarkan. Sasaran Counter Legal
informasi, karangan dan sebagainya)”.23 Dalam istilah hukum, kompilasi tidak lain
adalah sebuah buku hukum atau buku kumpulan yang memuat uraian atau bahan-
Kata “Hukum Islam” dapat diartikan sebagai hukum yang bersumber dan
disalurkan dari hukum syari’at Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah
18
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2002), h. 150.
19
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris............., h. 353.
20
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris............., h. 196.
21
K. Prent C. M. dkk, Kamus Latin-Indonesia (Semarang: Jajaran Kanisius, 1969), h.
160.
22
E. Pino, T. Wittermans, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: PT. Pratnya Paramita,
1980), h. 79.
23
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia ................,
h. 584.
24
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia (Cet. II; Jakarta:
CV.Akademika Pressindo, 1995), h. 12.
Nabi Muhammad SAW kemudian dikembangkan melalui ijtihad oleh para ulama
atau ahli fikih (hukum Islam) yang memenuhi syarat untuk berijtihad dengan cara-
bahwa “hukum Islam” sebenarnya tidak lain dari pada fikih Islam atau syariat
Islam, yaitu koleksi daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syariat Islam
berbagai kitab yang ditulis oleh ulama fikih yang biasa dipergunakan sebagai
referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun
ke dalam satu himpunan.”27 Selanjutnya, kata penting yang perlu juga peneliti
Kata “fikih” terambil dari bahasa Arab yaitu faqiha, yafqahu – fiqhan, yang
banyak definisi yang dikemukakan para ahli tentang pengertian fikih (al-
25
Moh. Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), h. 190.
26
Hasbi Ash-Shiddieqi, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 44.
27
Lihat misalnya dalam, https://masalahukum.wordpress.com/2013/08/24/kompilasi-
hukum-islam/, diunduh tanggal 9 Maret 2015.
28
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia .............,
h. 949.
29
Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 321.
Lihat juga, Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab – Indonesia (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), h. 1067.
Istilah “hukum keluarga” menurut Jimly Ashshiddiqie sebenarnya belum
memiliki pengertian yang utuh, mengingat selama ini konten hukum keluarga itu
dibedakan antara hukum perdata Barat dan hukum Islam. 30 Secara singkat, hukum
keluarga adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara seseorang dengan
orang lain karena adanya hubungan darah atau perkawinan. Sementara hukum
keluarga yang dimaksud dalam judul penelitian ini adalah produk hukum positif di
penelitian ini yang berkisar pada usaha untuk mengkaji dan mengkritisi sebuah
dikenal dengan “Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, atau disingkat
dianggap tidak relevan lagi dengan kebutuhan masyarakat Indonesia dewasa ini.
Kajian dan kritik terhadap CLD-KHI tersebut akan difokuskan pada beberapa
D. Tinjauan Pustaka
masyarakat, baik berupa kritik, apresiasi, dan dukungan di tengah publik dan
30
Lihat pandangan Jimly Asshiddiqie dalam kata pengantar yang disampaikannya untuk
buku karangan Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia...., h. xv.
dunia akademik. Sejauh penelusuran peneliti, karya-karya ilmiah yang berkenaan
kontroversial.
detil, yaitu “Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft
Marzuki Wahid. Buku ini digarap oleh salah seorang Tim Inti CLD-KHI, karena
itu tidak heran jika tulisannya berupaya menekankan aspek positif dan keunggulan
CLD-KHI, meski diramu dengan bahasa yang kelihatannya netral dan berimbang.
Marzuki Wahid dalam bukunya juga menjelaskan secara gamblang dan terperinci
muatan dan alur sejarah mengenai kemunculan KHI. Buku tersebut menyorot
Revisi Kompilasi Hukum Islam”. Buku Huzaimah ini menguraikan beberapa hal
syari>‘ah dan telah merusak ajaran Islam itu sendiri. Namun, apa yang ditulis
oleh Huzaimah tersebut lebih banyak berfokus pada kritikan terhadap pasal-pasal
CLD-KHI yang dianggapnya menyimpang dan tidak sejalan dengan hukum Islam
(KHI). Demikian juga peneliti temukan dalam beberapa tulisan lain seperti yang
ditulis oleh Rahmat Kurnia, “Di Balik RUU Terapan Peradilan Agama”. Rahmat
Kurnia hanya mengkaji CLD-KHI dari sudut pandang organisasi yang eksis di
Hemat peneliti, dari tulisan-tulisan yang telah ditelusuri itu, belum ada
kajian terhadap substansi CLD-KHI dari sisi realita eksistensi fikih hukum
tawaran fikih teologis, tetapi juga bergumul dengan faktor non-teologis, seperti
Indonesia –disadari atau tidak– vis a vis dengan permainan kekuasaan atau
kekuatan politik (power play). Alhasil, peneliti menilai bahwa kajian fikih yang
diiringi dengan perspektif ideologi dan politik hukum terhadap CLD-KHI sebagai
sebuah tawaran hukum keluarga transformatif, menjadi ruang baru untuk ditelaah.
E. Kerangka Teoritis
Islam yang mestinya bermuara pada perwujudan mas}lah}at manusia. Karena itu,
ketetapan hukum Islam harus bisa menunjukkan eksistensi prinsip dasar, yakni
dalam merumuskan konsep [baru] hukum keluarga Indonesia. Dengan teori ini,
CLD-KHI menilai bahwa prinsip hukum Islam adalah menegakkan nilai dan
kearifan lokal. Dalam konteks ini pula kemudian tim CLD-KHI memandang
inilah yang menjiwai seluruh ketentuan hukum Islam versi tim CLD-KHI.
hakiki dalam gagasan-gagasan baru tim CLD-KHI atau tidak, atau bahkan mampu
Apabila ya, maka itu akan sejalan dengan semboyan: al-muh}a>faz}atu ‘ala> al-
jadi gagasan tersebut pada gilirannya hanya akan menjadi bahan renungan akal
semata, karena tidak sejalan dengan konsep-konsep fundamental dalam sistem dan
pernyataan “apakah hukum adalah produk politik, atau politik merupakan produk
politik. Padahal dalam tataran ide dan cita hukum, politiklah yang harus
yang keliru dari pernyataan tersebut, kendati kemungkinan benar dan salah bisa
saja terjadi pada keduanya, tergantung pada asumsi dan konsep yang
dipergunakan. Sebuah pernyataan bisa benar secara ilmiah menurut asumsi dan
konsep tertentu, tetapi menjadi salah jika dipergunakan asumsi dan konsep lain
untuk hal itu. Pernyataan bahwa “hukum adalah produk politik” adalah benar jika
didasarkan pada teori das sein (kenyataan) dengan mengonsepkan hukum sebagai
politik yang saling bersaingan, baik melalui kompromi politik maupun melalui
dominasi kekuatan politik yang terbesar. Namun situasinya menjadi lain jika
dasarnya adalah teori das sollen (keharusan/keinginan). Sebab dalam konsep ini
hukum tidak selalu bermakna undang-undang, tetapi bisa juga diartikan sebagai
putusan pengadilan, dan dapat pula diberi arti lain yang jumlahnya bisa puluhan.31
Teori das sein dan das sollen tersebut, pada gilirannya akan memposisikan
KHI dan CLD-KHI dalam penelitian ini sebagai murni produk ijtihad hukum
berikut:
Al-Qur’an dan
Al-Hadis
31
Lihat, Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia (Cet: VI; Jakarta: PT Raja
CLD-KHI
Maqāṣid
al-Syarī‘ah
Indonesia
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
2. Metode Pendekatan
Agar hasil penelitian ini dapat menemukan pemahaman yang substantif,
Indonesia.
merangkai norma agama dengan berbagai norma hukum materil dan norma
budaya (adat) menjadi satu kesatuan, yang pada gilirannya dapat mengantar
menegaskan penolakannya.
variabel hipotesis yang lebih spesifik dalam menemukan corak dan watak
3. Sumber Data
Penelitian ini mengambil data-data primer yang ada maupun data sekunder
a. Data primer, adalah data yang berkaitan langsung dengan naskah CLD-KHI
b. Data sekunder, adalah data yang diperoleh dari hasil penelusuran literatur-
literatur Islam, hukum, sejarah, sosial, dan referensi lain yang dapat
dan komprehensif.
maka peneliti akan mengumpulkan sejumlah data teoritik dan empirik. Untuk
Karena data-data teoritis dan empiris yang relevan telah banyak diteliti
dan ditulis para ahli dalam bentuk buku, maka metode penelitiannya akan
seperti teori sibernetica Talcott Parsons atau teori sistem sosial, yang
sub sistem fungsional lain (faktor non hukum) dari masyarakat. Di samping itu,
yang ada juga akan dikaji dengan beberapa pendekatan yang telah peneliti
1. Tujuan
2. Kegunaan
mengapa tema tesis menjadi krusial. Pada sub bab kedua peneliti mengemukakan
masalah pokok serta merumuskan sub masalah yang akan dikaji. Dalam sub bab
hingga tergambar visi besar tesis ini. Sub bab keempat adalah kajian pustaka
topik penelitian ini merupakan sebuah topik penting yang selalu dikaji oleh
berbagai kalangan. Sub bab kelima peneliti menjelaskan kerangka teoritis. Sub
bab keenam metode penelitian. Sub bab ketujuh peneliti menguraikan tujuan dan
pembahasan melalui gambaran tentang kerangka isi penelitian (outline). Sub bab
Bingkai Ijtihad), terdiri dari tiga sub bab. Sub bab pertama memberikan
gambaran umum tentang posisi ijtihad dalam pandangan Islam. Sub bab kedua
elemen yang saling mempengaruhi. Dua sub bab tersebut diharapkan dapat
mengantar penelitian ini sampai kepada sub bab ketiga yang akan menghadirkan
sebuah perspektif tentang ijtihad sosial dan maqāṣid al-syarī‘ah, apakah sebagai
BAB III (Hukum Keluarga Indonesia dalam Perspektif), terdiri dari tiga
sub bab. Sub bab pertama mengutarakan potret sejarah hukum keluarga Islam di
hukum Islam dan hukum Adat di Indonesia. Sub bab ketiga menjelaskan kondisi
Refleksi). Bab ini merupakan sebuah refleksi terhadap eksistensi hukum keluarga
di Indonesia, dan terdiri dari tiga sub bab. Sub bab pertama menyajikan wajah
KHI sebagai rujukan utama hukum keluarga di Indonesia, tetapi masih bersifat
pilihan. Selanjutnya sub bab kedua menghadirkan sisi CLD-KHI sebagai sebuah
tawaran baru yang pernah diajukan untuk mengganti KHI. Sub bab terakhir
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian
D. Tinjauan Pustaka
E. Kerangka Teoritis
F. Metodologi Penelitian
G. Tujuan dan Kegunaan
H. Garis-Garis Besar Isi Tesis (outline)
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran/Implementasi
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Moh. Daud. Asas-Asas Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 1990.
Bunyamin, dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Makalah dan Tesis. Cet. I;
Watampone: Pascasarjana Program Magister STAIN Watampone, 2014.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Cet. III; Jakarta: Lembaga
Percetakan al-Qur’an, 2009
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. II;
Jakarta: Balai Pustaka: 2002.
Echols, John M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2002.
https://masalahukum.wordpress.com/2013/08/24/kompilasi-hukum-islam/, diunduh
tanggal 9 Maret 2015.
Kharlie, Ahmad Tholabi. Hukum Keluarga Indonesia. Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika,
2013.
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia. Cet. VI; Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2014.
Najih, Mokhammad dan Soimin. Pengantar Hukum Indonesia; Sejarah, Konsep Tata
Hukum, dan Politik Hukum Indonesia. Cet.I; Jatim: Setara Press, 2014.
Nonet, Philippe dan Philip Selznick. Law and Society in Transition: Toward
Responsive Law. Diterjemahkan oleh, Raisul Muttaqien. Hukum Responsif.
Bandung: Nusa Media, 2013.
Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah. Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum;
Pemikiran menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat. Jakarta;
PT RajaGrafindo Persada, 2014.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Cet. IV; Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2000.
--------------- dan Mustofa Haffas. Hukum Waris Islam. Cet.III; Bandung: PT. Refika
Aditama, 2010.
Setiady, Tolib. Intisari Hukum Adat Indonesia; Dalam Kajian Kepustakaan. Cet. III;
Bandung: Alfabeta, 2013.
Wahid, Marzuki. Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia Jawa
Barat: ISIF, 2014.
Proposal Tesis
Oleh :
ABUL KHAIR
Nim. 130101001
Islam Indonesia)” yang disusun oleh saudara Abul Khair, NIM: 130101001
Magister STAIN Watampone, telah diujiankan dalam Ujian Proposal Tesis yang
diselenggarakan pada hari Kamis 15 April 2015 bertepatan dengan 25 Jumadil Akhir
1436 H., dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk menempuh
DEWAN PENGUJI :
1. Prof. Dr. H. A. Sarjan, MA. [Ketua] (...................................)
A. Latar Belakang
dengan sumber pokok yang sama. Hal ini mengisyaratkan bahwa keduanya
menghormati, dan tidak ada yang merasa superior dan inferior, keduanya sama
dan sejajar.
pergaulan serta menentukan batas-batas hak dan kewajiban antara seorang pria
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
32
Pada dasarnya kata “kawin” merupakan terjemahan dari bahasa Arab ”nikah” yang
berarti “ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran
agama”. Alquran menggunakan kata ini untuk makna bahasa. Pada mulanya kata “nikah” yang
bersal dari bahasa Arab nikahun dan merupakan Masdar dari kata َـكـح َ =نnakaha, digunakan
dalam arti bergabung “Muhammad al-Sharbini al-Khatib, Mughni Juz III (Mesir; Mustafa al-
Babby al-Halabi wa Awladuh,1995), h.123. Terkadang juga digunakan arti “ = “الوط ُءal-wata”
(hubungan seksual) atau“ُ‘ = “عـقــدAqad” (perjanjian). Akan tetapi kebanyakan pemakaiannya
untuk “aqad”. Namun secara leksikal, perkawinan identik dengan = نـكـــاحnikah “dan = زو ُج
Zauwj. Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariyah,Mu’jam Maqayis al-Lugah,Juz III
(Cet.II;Mesir : Maktab al-Babiy al-Halabi wa Awaladuh,1971), h.145
33
Departemen Agama R.I. Proyek Peningkatan Peranan Wanita, Modul: Keluarga
Bahagia Sejahtera. (Jakarta: Kementerian Agama RI Proyek Peningkatan Peranan Wanita, 1997),
h. 39
Cukup logis, Islam menetapkan berbagai ketentuan untuk mengatur
berfungsinya keluarga sehingga dengan perkawinan yang sah inilah kedua belah
pihak suami dan istri dapat memperoleh kedamaian dalam hidup, kecintaan
yang diakui oleh negara, yang tercantum dan terkodifikasi dalam Inpres Nomor
penghormatan dan penghargaan yang tinggi terhadap harga diri, yang diberikan
disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita, sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk
keluarga yang bahagia serta kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
antara suami istri sehingga dapat tercipta keharmonisan, ketenangan dan kasih
sayang karena tiga poin tersebut merupakan kunci dari tujuan perkawinan.35
manusia terhadap perkawinan, serta ketenangan dan kebahagiaan yang lahir dari
itu, keperluan suami kepada istri dan keperluan istri kepada suami adalah seperti
badan dan menghindari suatu yang menyakitkan, begitu juga dengan suami dan
cara yang paling utama bahkan satu-satunya cara yang diridhoi oleh Allah dan
36
Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, (Jakarta: Al-Huda Kelompok
Gema Insani, 2002), h. 407
37
Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an, h. 30
seraya memelihara kesucian nasab (silsilah keturunan) yang sangat diperhatikan
oleh agama.38
al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw.. Akan tetapi, pelaksanaan dapat
diberlakukan sesuai dengan adat dan tradisi masyarakat, selama itu tidak
diketahui bahwa tiap daerah mempunyai adat dan tradisi tersendiri yang
berkenaan dengan adat perkawinan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila
adat perkawinan di suatu daerah di negara ini, memiliki tradisi tersendiri pada
masing-masing daerah.
sakinah, mawaddah dan rah{mah. Banyak cara yang dilakukan untuk mencapai
tujuan tersebut, salah satunya adalah upaya mencari calon istri atau suami yang
baik. Upaya tersebut bukanlah suatu kunci namun keberadaannya dalam rumah
dapat menjadi sebuah ukuran sah atau tidaknya perkawinan. Kafa>’ah adalah
hak bagi wanita atau walinya. Suatu perkawinan yang tidak seimbang, tidak
38
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis, (Cet. I ;Bandung: Mizan Media Utama,
2002), h. 125
39
M. Al-Fatih Suryadilaga, Memilih Jodoh, dalam Marhumah dan Al-Fa>tih Suryadilaga
(ed), Membina Keluarga Mawaddah Warahmah dalam Bingkai Sunnah Nabi (Yogyakarta: PSW
IAIN dan f.f., 2003 ), h. 50
kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian. Oleh karena itu,
merupakan syarat sah suatu perkawinan dan hanya merupakan syarat lazim suatu
akal (rasio). adapun hadits Nabi saw. yang menjelaskan tentang kafa>’ah adalah
sebagai berikut:
Artinya :
”Dari Said bin Abi Su’bah dari ayahnya dari Abu Hurairah dari Nabi
SAW. : Sesungguhnya beliau bersabda : ”Nikahilah perempuan karena
empat perkara : pertama karena hartanya, kedua karena derajatnya,
(nasabnya), ketiga kecantikannya, keempat agamanya, maka pilihlah
karena agamanya, maka terpenuhi semua kebutuhanmu”.
Dalam perkawinan adat Bugis (Kab. Bone) dalam hal mencari jodoh di
sudara sepupu sederajat kesatu baik dari pihak ayah maupun dari ibu; (2)
antara saudara sepupu derajat kedua, baik dari pihak ayah maupun ibu; (3)
40
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, dalam Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat
Perbandingan dari Tektualitas Sampai Legislasi, (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), h.
104
41
Abu Husain al Qusyairi an Naisaburi, Shahih Muslim Juz 1, (Beirut: Dar Ihya Turats al
Arabiy, TT), h. 623
sepupu derajat ketiga. (4) Perkawinan antara ripedep meblea/ripaddeppe’
mabelae, ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat tiga juga dari kedua
belah pihak.42
seseorang untuk berubah status dalam waktu singkat akibat ikatan kekeluargaan
istri atau suaminya. Hal ini dapat terjadi dalam perkawinan antara dua status
yang berlainan sehingga satu diantara pasangan tersebut dapat berpindah status.
Oleh karena itu perkawinan bagi masyarakat Bugis tujuannya tidak hanya
untuk menaikkan gengsi sosial bagi salah satu atau kedua-duanya pasangan
1. Anak Arung/an aruu, adalah lapisan raja dan sanak keluarganya, kaum
3. Golongan yang ketiga adalah strata masyarakat yang paling rendah dan
dikenal dengan istilah ata/at (hamba sahaya atau budak). Lapisan ini
42
Asmad Riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan dalam Masyarakat Bugis Bone,
(Cet, I Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kab. Bone, 2007), h. 11 Lihat. Lontara Andi Najamuddin
Petta Ile, Lihat pula Abd. Kadir Ahmad MS, Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Barat, (Cet. I; Makassar: INDOBIS, 2006), h. xii
penumbuhan pranata sosial dalam kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan
Dalam lembaga perkawinan, kelas sosial yang semula telah ditempati oleh
pengawasan laki-laki (ayah dan seluruh anggota keluarga laki-laki lainnya). Hal
kadang gagalnya suatu pernikahan diakibatkan karena salah satu pihak menolak
karena status sosial yang tidak sama. Terutama status sosial sang laki-laki yang
43
Departemen Pendidkan dan Kebudayaan, Biografi Pahlawan La Pawawoi Karaeng
Segeri, (Ujung Pandang, 1993), h. 17-18
lebih rendah dibandingkan dengan status sosial yang sang perempuan. Praktik
kerabat terdekat (orang tua) dari mempelai perempuan, dan jika salah satu
dalam tinjauan tentang kafa>’ah dalam hukum Islam dan budaya bugis
B. Rumusan Masalah
Kafa>’ah dalam Hukum Islam dan Budaya Bugis Bone yang dijabarkan dalam
1. Definisi Operasional
judul penelitian ini, maka penulis akan menguraikan kata-kata yang urgen dalam
derajat, tolok, tara.47 Menurut istilah berarti setara, sama tinggi derajat
44
Lois Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Mesir: Dar Al-Masyriq, 1986), h.
690
45
QS. Al-Ikhlas/112/4
46
Jamal Ad-Din Muhammad ibn Muharor al-Ansori al-Mansur, Lisan al-Arab (Mesir:
Dar al-Misriyah, tt.), h. 134
47
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,edisi ketiga
(Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 608
48
Syarifuddin Latif, Hukum Perkawinan di Indonesia (Buku I), (Cet.I; Ujung Pandang :
CV. Berkah Utami, 2010), h. 55
Kafa>’ah adalah berasal dari kata asli al-kufu’ diartikan al-musa|wi
keseimbangan antara calon suami dan istri, dari segi kedudukan (hasab), agama
persamaan dan keserupaan, sedangkan kufu’ adalah orang yang serupa dan
sepadan. Maksud dari kafā’ah dalam pernikahan adalah bahwa suami harus
sekufu’ bagi istrinya, artinya di memiliki kedudukan yang sama dan sepadan
dengan istrinya dalam hal tingkatan sosial, moral, dan ekonomi. Tidak diragukan
keberhasilan hidup suami istri semakin terjamin dan semakin terpelihara dari
kegagalan.50
Kata hukum Islam tidak ditemukan sama sekali dalam al-Qur’an dan
literatur hukum dalam Islam, yang ada dalam al-Qur’an adalah kata syariah,
fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya. Kata-kata hukum Islam
merupakan terjemahan dari term Islamic law dari literatur barat, sedangkan
49
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I, Dilengkapi Perbandingan UU Negara
Muslim Kontemporer, (Cet. I; Yogyakarta: Akademia dan Tazaffa, 2005), h. 225
50
Sayyid Sabiq, Al-Fiqh Al-Sunnah, Jilid. II, (Cet. VIII; Beirut: Dar al- Kutub al-Araby,
407 H, 1987 M,), h. 133
definisi hukum Islam menurut Muh. Daud Ali adalah hukum yang bersumber
bagi kedua orang yang mengikat tali perkawinan terhadap masyarakat. Oleh
karena itu, perkawinan bagi orang Bugis-Makassar dianggap sebagai hal yang
Budaya atau adat ade’ adalah unsur bagian dari pangadereng, yang
secara khusus terdiri atas: Pertama, ade’ akkalabinengeng atau mengenai hal
hak dan kewajiban warga rumah tangga, etika dalam hal rumah tangga dan sopan
51
Yang pertama pengertian hukum yaitu peraturan-peraturan atau seperangkat norma
yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu
berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma
yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Sedangkan pengertian . Hukm
dan Ahkam adalah perkataan hukum yang kita pergunakan sekarang dalam bahasa Indonesia
berasal dari kata Hukm (tanpa u antara huruf k dan m) dalam bahasa arab. Artinya, norma atau
kaidah yakni ukuran, tolak ukur, patokan,pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku
atau perbuatan manusia dan benda.Dalam system hukum Islam ada lima Hukm atau kaidah yang
dipergunakan sebagai patokan mengukur perbuatan manusia baik dibidang ibadah maupun di
lapangan muamalah. Kelima jenis kaidah tersebut, disebut al-ahkam al-khamsah atau
penggolongan hukum yang lima, yaitu (1) ja’iz tatu mubah atau ibadah, (2) sunnat, (3) makruh,
(4) wajib dan (5) haram. Dilihat dari segi ilmu hukum, syariat merupakan norma hukum dasar
yang diterapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan iman yang berkaitan
dengan akhlak, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan
benda dalam masyarakat. Norma hukum dasar ini dijelaskan dan atau rinci lebih lanjut oleh Nabi
Muhammad sebagai Rasul-nya. Karena itu, syariat islam terdapat didalam al-quran dan di dalam
kitab-kitab Hadis. Di dalam bahasa Arab, perkataan fiqh yang ditulis fiqih atau kadang- kadang
ftkih setelah di Indonesiakan, artinya paham atau pengertian. Kalau dihubungkan dengan
perkataan ilmu tersebut di atas, dalam hubungan ini dapat juga dirumuskan (dengan kata-kata
lain), ilmu fiqih adalah ilmu yang ''bertugas menentukan dan menguraikan norma-norma hukum
dasar yang terdapat di dalam Alquran dan ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam sunnah
nabi yang direkam dalam kitab-kitab hadis. Muhammad Daud Ali. Hukum Islam pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Ed. 15 ( Cet. 15: Jakarta : Rajawali Pers. 2009). h.
42-47
52
Abd. Kadir Ahmad, Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, (Cet.
I; Makassar: Indobis Publishing, 2006), h.ix
santun pergaulan antara kaum kerabat. Kedua, ade’ tana, atau norma-norma
mengenai hal ihwal bernegara dan memerintah negara dan terwujud sebagai
hukum negara, serta etika dan pembinaan insan politik. Pengawasan dan
beberapa pejabat adat seperti: pakkatenni ade’, puang ade’, pampawa ade’, dan
parewa ade’.53
(Perbandingan kafā’ah Dalam Islam dan Budaya Bugis) suatu penelitian yang
penelitian ini, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dipahami
bahwa ruang lingkup penelitian ini adalah mengkaji tentang konsep kafa>’ah
dalam hukum perkawinan dalam Islam baik menurut pendapat imam mazhab
D. Tinjauan Pustaka
Perbandingan Tentang Kafa>’ah dalam Hukum Islam dan Budaya Bugis Bone
pijakan atau rujukan dalam mengunkap konsep kafa>’ah dalam penelitian ini.
53
Abd. Kadir Ahmad, Sistem Perkawinan, h. xxi
Adapun penelitian yang dianggap memiliki relevansi dengan judul
Kafa>’ah Menurut Kyai Muda Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak
Yogyakarta pada Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan
pernikahan. Meskipun demikian, kyai muda Krapyak lebih terbuka untuk unsur-
unsur lainnya dalam konsep kafa>’ah karena kafa>’ah menurut mereka adalah
memilih pasangan. Selama tidak keluar dari nilai-nilai ajaran Islam, hal tersebut
ditemukan hasil bahwa pemicu utama dari penetapan konsep kafa>’ah Mażhab
Hanafî adalah kompleksitas dan budaya mayarakat kufah ketika itu, yang
diketahui dari sejarah penetapannya. Kemudian kriteria yang semula ada lima,
yang masih relevan dalam masyarakat Indonesia ada dua kriteria, yaitu: Agama,
dan kekayaan. Juga perlu adanya kesetaraan dalam tingkat yang lain demi
se-kufu’ dalam perkawinan adalah satu aliran dengan mereka, yakni LDII.
Mengenai masalah kafa>’ah ini, para jumhur ulama’ dari mazhab Maliki, Hanafi,
Syafi’i, dan Hambali berbeda pendapat dengan konsep kafa>’ah yang diterapkan
oleh LDII. Mereka sama sekali tidak menyebutkan aliran atau golongan sebagai
syarat kafa>’ah. Dasar hukum yang dipakai oleh Lembaga Dakwah Islam
Indonesia (LDII) adalah al-Quran Surah ar-Rum ayat 21 dan dikuatkan dengan
hadist Bukhari dan Muslim. Walaupun tidak dijelaskan secara langsung, namun
dari dasar itulah para ulama’ LDII dapat menafsirkan bahwa golongan
merupakan syarat kafa>’ah. Akan tetapi, setelah penulis menggali lebih jauh
dengan membandingkan beberapa tafsir lain, seperti tafsir al-Qurtubi, tafsir Al-
Mishbah, tafsir Fi Zhilalil-Quran, tafsir Ibnu Katsir, tafsir al-Qur’anul Majid An-
Nur, Shafwatut Tafasir, dan tafsir al-Imam asy-Syafi’i, tidak ada satu pun yang
perkawinan.
St. Muttia A. Husain dalam karya ilmiah yang berjudul Proses Dalam
Kabupaten Bone pada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas
dan msit baies/massita baiseng. Beberapa hal yang dapat menimbulkan siri/siri’
dalam proses perkawinan seperti pelamaran, uang belanja, mahar, pesta, hiburan
dan undangan perkawinan. Terdapat perubahan dalam masyarakat terhadap
pemaknaan siri’ hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti adanya toleransi,
belum ada yang meneliti terkait dengan Perbandingan Tentang kafa>’ah dalam
Hukum Islam dan Budaya Bugis Bone. Olehnya itu penelitian ini dianggap
kodrat alam, bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berlainan,
seorang perempuan dan seorang laki-laki ada daya saling menarik satu sama lain
untuk hidup bersama. Hidup bersama ini berakibat sangat penting di dalam
masyarakat, bahwa dengan hidup bersama antara dua orang atau lebih di dalam
sekedar restu, juga bukan sekedar pengakuan atau legislasi hubungan seseorang
pria dengan seseorang wanita (court of law), tetapi merupakan perjanjian suci,
54
Berpasang-pasangan merupakan salah satu sunnatullah atas seluruh ciptaanya, tidak
terkecuali manusia, hewan dan tubuh-tumbuhan. Allah berfirman dalam surah adz-Dza|riya|t yang
terjemahannya “Dengan segala sesutu kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat
(kebesaran Allah). Berpasang-pasangan merupakan pola hidup yang ditetapkan oleh Allah swt.
Bagi umat-Nya sebagai sarana untuk memperbanyak keturunan dan mempertahankan hidup
setelah dia dibekali dan mempersiapkan masing-masing pasangan agar dapayt menjalankan peran
mereka untuk mencapai tujuan tersebut dengan sebaik-baiknya. Sayyid Sabbiq, Fiqhus Sunnah, h.
193
55
Bustanul Arifin, Pelembagaan hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan
dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 98
Pada hakikatnya perkawinan adalah ikatan lahir batin manusia untuk
hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk
keluarga (rumah tangga) yang kekal, bahagia dan sejahtera. 56 Adapun dalam
istilah hukum syariat, nikah adalah akad yang menghalalkan pergaulan sebagai
dalam arti jima (senggama) kata lain yang biasa digunakan untuk nikah ialah
sunnah (mustabab, dianjurkan), atau haram, atau makruh (kurang disukai), atau
kata Indonesia yang umum dipakai dalam pengertian yang sama dengan nikah
56
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 3 dirumuskan bahwa perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah. Rumusan ini berdasarkan
firman Allah dalam QS. Ar-Rum/30/21 sebagai berikut:
Terjemahannya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. Menurut aya tersebut, keluarga Islam terbentuk dalam
keteropaduan antara ketentraman (sakinah), penuh rasa cinta (mawaddah) dan kasish sayang
(rahmah). Kementerian Agama, Al-Qur’an Tafsir Jalalain Perkata, (Cet. I; Jakarta: PT. Suara
Agung Jakarta, 2013), h. 407
57
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis, (Cet. I, Mizan Media Utama, Bandung), h.
3
58
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih, h. 4
atau zawaj dalam istilah fiqh.59 Dalam hal ini, lebih jauh dikemukakan oleh
Anwar Harjono, bahwa : ” Pengertian para ahli fiqh tentang hal ini, khususnya
para Imam Empat adalah bermacam-macam, tetapi suatu hal mereka sependapat,
bahwa perkawinan, nikah atau zawaj adalah suatu akad atau suatu perjanjian
Dalam pandangan Islam, seks bukanlah sesuatu yang kotor atau najis,
tetapi bersih dan harus selalu bersih. Itulah sebabnya, Allah memerintahkan
secara tersirat melalui law of seks, bahkan secara tersurat dalam firman-firman-
Nya, karena seks tersbut sesuatu yang bersih, maka dalam penyaluranya harus
pula dilakukan dalam suasana suci dalam bingkai yang disyari’atkan, akan
sakinah.61
merupakan hal yang sangat dipentingkan dalam Islam. Hal itu terlihat banyak
59
Anwar Harjono, Hukum Islam Keleluasaan dan Keadilanya, Cet. II; Jakarta: Bulan
Bintang, 1987), h. 220
60
Anwar Harjono, Hukum Islam, h. 220-221
61
M. Qurais Shihab, Wawasan Al-Qur’an Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Cet. II; Jakarta: Mizan, 1996), h. 192
Besarnya perhatian Islam terhadap persoalan ini kiranya merupakan hal
yang logis, karena keluarga merupakan unit sosial sekaligus jiwa masyarakat dan
antara lain yang menjadi sebab sehingga Islam memberikan atensi yang sangat
diyakini sebagai gerbang pertama dan utama menuju cita-cita hidup yang
keseimbangan antara calon suami dan isteri dengan keadaan tertentu, yang
perbedaan pendapat terhadap ukuran dan norma yang dapat dipakai untuk
dipenuhi. Hanya ada satu segi saja yang mereka sepakati sebagai kafa>’ah yang
62
M. Qurais Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Cet. XII; Bandung: Mizan, 1996), h. 253
63
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan, h. 226
harus dipenuhi dalam perkawinan, ialah segi agama, maka seorang perempuan
yang beragama Islam tidak sah kawin dengan laki-laki yang beragama bukan
Islam.64
lain. Jadi, perkawinan adalah ikatan timbal-balik. Walaupun mereka berasal dari
Hanya saja, perkawinan bukan sekadar penyatuan dua mempelai semata, akan
tetapi suatu upacara penyatuan dan persekutuan dua keluarga yang biasanya
dekat atau antarkelompok patronasi yang sama, sehingga mereka sudah saling
memahami sebelumnya. Oleh karena itu, mereka yang berasal dari daerah lain,
cenderung menjalin hubungan yang lebih dekat lagi dengan orang yang telah
mereka kenal maupun melalui jalur perkawinan. Dengan kata lain, perkawinan
adalah cara terbaik membuat orang lain menjadi bukan orang lain (etnia tau
lea/tennia tau laeng). Hal ini juga sering ditempuh dua sahabat atau mitra usaha
sejak kecil.65
sepupu silang yaitu satu dari sisi ibu dan satunya lagi dari bapak, dianggap
tentang lapisan sepupu keberapa yang boleh dan yang tidak boleh dikawini.
(perkawinan semacam ini disebut siala marola atau perkawinan yang masih terlalu
bangsaw.an tertinggi. Darah putih yang mengalir dalam tubuh mereka dan harus
perkawinan dengan sepupu kedua (siala memeng), lalu sepupu ketiga dan
keempat.67
Hal penting lainnya adalah, pasangan yang hendak menikah tidak boleh
berasal dari generasi atau angkatan yang berbeda. Pasangan yang hendak
Perkawinan antara paman dan kemenakan perempuan, atau bibi dan kemenakan
laki-laki dilarang, dan hubungan badan di antara mereka akan dianggap sebagai
anak dari sepupu keberapa pun sebaiknya dihindari. Naskah silsilah yang ada,
menunjukkan bahwa aturan ini ditegakkan dengan sangat ketat, dan jarang sekali
anak mereka, kawin dengan perempuan yang berusia jauh lebih muda dari
66
67
Christian Pelras, Manusia, h. 178
mereka, menyebabkan banyak putra bangsaw.an yang sebaya usianya dengan
lingkungan keluarga sendiri, baik yang dihitung dari garis keturunan ayah
maupun ibu. Dalam hal mencari jodoh di dalam kalangan sekeluarga (seajing),
sepupu tersebut walaupun dianggap ideal, akan tetapi bukanlah suatu hal yang
68
Christian Pelras, Manusia, h. 178-179
69
Mattulada, Latoa Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis,
(Cet. II; Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995), h. 44
perkawinan yang dilarang karena dianggap Salimara’ (incest), ialah
nenek-cucu.70
sejarah orang Bugis. Namun, istilah ade' itu hanyalah pengganti istilah-istilah
sosial, serta perjanjian yang berasal dari zaman itu. Masyarakat tradisional
serangkaian norma yang berkaitan satu sama lain. Selain konsep ade’ secara
sara’(syariat Islam).71
pemerintaha (par’ewa ade) suatu wanua atau kerajaan. Kali (kāḍi dalam bahasa
70
Mattulada, Latoa, h. 44-45
71
Christian Pelras, Manusia Bugis, h. 212
Kafa>’ah dalam budaya Bugis lahir dan timbul mengikuti stratifikasi
Galigo dan mitos tentang nenek moyang mereka, awalnya hanya ada dua
jenis manusia; mereka yang berdarah putih yang keturunan dewata, serta
mereka yang berdarah merah yang tergolong orang biasa, rakyat jelata, atau
budak. Dalam naskah tersebut, pembagian kedua kategori bersifat mutlak dan
perkawinan di antara kedua lapisan itu tidak hanya dibolehkan akan tetapi
menjelma menjadi manusia semata karena “ada Tuhan jika tidak ada manusia
menjadi bau tubuh manusia. Namun, dalam tubuhnya dan tubuh to-manurung
berikutnya, begitu pula turunan mereka yang berdarah murni, tetap saja
perkawinan adalah laki-laki bisa kawin dengan perempuan mana pun yang
72
Christian Pelras, Manusia Bugis, h. 192-193
memiliki status setara ataupun lebih rendah dari dirinya, namun tidak boleh
seperti percampuran logam mulia dengan logam biasa. Apa yang akan
dipaparkan berikut ini merupakan suatu hal yang sudah umum disepakati oleh
Status tertinggi disebut ana’ ma’tola, yakni anak (ana) yang berhak
Tingkatan itu terbagi lagi menjadi dua sub-bagian, yakni ana’ sengngeng dan
ana’rajéng. Lapisan kedua terpecah pula menjadi dua gelar. Status derajat
seorang anak, hasil perkawinan lelaki berderajat tinggi seperti di atas dengan
status kedua orang tuanya. Jadi, jika ana’ ma’tola dari salah satu sub-status
mereka dengan perempuan biasa menjadi céra’ tellu (cera’ lapisan ketiga).
bangsawan, betapa rendahpun lapisan dan betapa jauh pun pertautannya (tau
tau tongeng karaja) dan yang benar-benar turunan orang biasa (tau maradéka
ma’tanété lampé).73
mereka yang ahli tentang itu. Orang awam hanya mengetahui sebagian dari
struktur hirarki yang ada. Untuk menuntukan status seseorang dengan pasti,
bilateral hal itu praktis mustahil dilakukan, karena leluhur tiap generasi
hanya mementingkan cera’ tellu keatas. Di sisi lain, bangsawan rendah dan
73
Pola piramid dalam sistem seperti itu mengingatkan kepada pola piramid dalam sistem
kekerabatan; tingkatan sepupu diperhitungkan berdasarkan dekat tidaknya pertautan mereka
dengan seorang nenek moyang yang sama dan kepada pola relasi antara kerajaan atasan dan
bawahan (yang akan dibahas berikutnya). Jelas pula bahwa sistem hubungan kekerabatan dua sisi
tersebut ikut menentukan status hirarki kebangsawanan seseorang. Bangsawan yang beristri
beberapa perempuan berstatus yang berbeda-beda akan memperoleh anak-anak yang berbeda-
beda pula statusnya. Sementara itu, selain memiliki istri dari lapisan bangsawan sederajat, yang
keturunannya kelak dapat menggantikan posisinya para penguasa Bugis pun sering mengawini
perempuan lebih rendah guna memperoleh keuntungan ganda. Keturunan dari perempuan lebih
rendah tersebut kelak bisa mengisi jabatan senior kerajaan meskipun tidak akan sampai jadi ahli
waris tahta. Selain itu, bangsawan tersebut juga akan memperoleh dukungan dari mertuanya,
entah dia orang biasa yang memiliki pengaruh atau bangsawan lapisan bawah. Sebaliknya, pihak
mertua tertarik menikahkan anak perempuanya dengan penguasa karena adanya peluang bagi
turunan mereka untuk mendaki Strata sosial yang lebih tingi. Namun, kecenderungan antara
tingkat ini perlahan-lahan menyusutkan jumlah bangsawan tinggi, sehingga bahkan jabatan arung
di beberapa tempat terpaksa diisi oleh bangsawan berderajat relatif rendah kemudian
memanfaatkan posisi yang mereka duduki itu untuk mengaku sebagai bangsawanan yang lebih
tinggi dari status mereka sebenarnya. Christian Pelras, Manusia Bugis, h. 193-194
gelar yang jauh lebih sederhana. Di tingkat kampung, semua orang
berpengaruh, baik bangsawan renda, orang biasa yang punya sedikit pertalian
lapisan di atas cera tellu, yakni gelar Andi’ dan Andi’ Bau’ (hanya bangsawan
berderajat paling tinggi saja yang digelari Andi’ Bau’ bahkan sebagian dari
mereka harus puas dengan gelar Andi saja). Adapun lapisan di bawahnya
Jadi, masyarakat biasa hanya membedakan antara Andi dan Daeng dengan
gelar Andi’ Dan Daeng yang menurut peraturan adat tidak pantas mereka
sandang.74
wilayah lain dimana tidak akan terjadi pemeriksaan silang leluhur kadang-
Para pengikutnya puyn akan mendukung sikap mereka itu, karena hal tersebut
74
Christian Pelras, Manusia Bugis, h. 195
akan mengankat derajat semua anggota kelompok. Keberhasilan di bidang
kekayaan melimpah, menguasai tanah luas, punya rumah besar dan indah,
terlupakan.
E. Kerangka Teortis
pikir yang dibangun dalam kajian tulisan ini, dapat dikemukakan dalam skema
berikut:
posisi Kafā’ah dapat dijumpai dalam hukum perkawinan dalam Islam dan adat
F. Metode Penelitian
Metodologi adalah cara meluluskan sesuatu dengan menggunakan
sampai laporan.76
guna mencapai suatu tujuan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Hukum Islam dan Budaya Bugis Bone menggunakan jenis penelitian kualitatif,
75
Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi, Metodologi Penelitian (Cet: II; Jakarta: Bumi Aksara
Pustaka, 1997), h. 1
76
Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi, Metodologi Penelitian, h. 1
Perspektif, strategi, dan model yang dikembangkan sangat beragam.
data disikapi sebagai data verbal atau sebagai sesuatu yang dapat
baik itu merujuk pada ciri, hubungan sistemis, konsepsi, nilai, kaidah, dan
secara langsung antara peneliti dengan dunia yang diteliti, dan mengutamakan
methods.78
2. Pendekatan Penelitian
kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud
segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum
sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun
dan tampak bersikap ideal. Untuk bidang sosial, agama tampil menawarkan
segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum
dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan
79
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Cet. XIX; Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
2012), h. 28-29
80
Abuddin Nata, Metodologi, h. 34-35
sedikit pun dan tampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama tampil sangat
prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Oleh karena itu, pendekatan
Tentang Kafā’ah dalam Hukum Islam dan Budaya Bugis Bone karena
b. Pendekatan Antropologis
sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud
penelitian ini karena penelitian ini berfokos pada budaya yaitu Perbandingan
Tentang Kafā’ah dalam Hukum Islam dan Budaya Bugis Bone. Dengan
agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi
cabangnya.
81
Abuddin Nata, Metodologi, h. 35
c. Pendekatan Sosiologis
sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini suatu fenomena sosial
karena banyak kajian agama yang baru dapat dipahami apabila menggunakan
ditempuh dengan dua cara atau teknik sebagai berikut: Penelitian Lapangan,
yaitu suatu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan jalan langsung
dalam pembahasan peneltian ini. Adapun teknik atau cara yang digunakan
adalah:
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap
82
Abuddin Nata, Metodologi, h. 38-39
muka antara pewawancara dan informan atau orang yang diwawancarai,
materi yang akan diwawancarai serta kapan dimulai dan diakhiri. Namun,
pewawancara.83
data, informasi, ataupun fakta dari suatu objek penelitian. Materi wawancara
adalah tema yang ditanyakan kepada informan, berkisar antara masalah atau
tujuan penelitian. Materi wawancara yang baik terdiri dari: pembukaan, isi,
nama ibu siapa, alamatnya di mana, berapa anaknya, umurnya berapa, dan
83
H.M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif (Komunikasi, Kebijakan Publik, dan Ilmu
Sosial Lainnya),Edisi II, (Cet. V; Jakarta: Kencana Prenada Group, 2011 ), h.111
wawancara kita, terima kasih atas bantuan Bapak, Bapak sudah banyak
lokasi penelitian, hal mana kondisi ini tidak pernah terjadi pada wawancara
harus diteliti secara mendalam karena obyek penelitian yang rumit dan
bercariatif.
jauh tidak formal dan tidak sistematik bila dibandingkan dengan wawancara
mendalam (in-depth), tetapi kebebasan ini tetap tidak terlepas dari pokok
yang telah dilakukan serta dapat mengoreksinya bersama tim yang lain.85
wawancara. Namun yang jelas, metode wawancara terarah ini lebih mudah
dilakukan secara teliti dan sistematis untuk mendapatkan hasil yang bisa
yang lebih luas tentang objek penelitian mempunyai dasar teori dan sikap
objektif.87
85
H.M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, h. 113
86
H.M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, h. 113
87
Soeratno, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta : UUP AMP YKPN, 1995), h. 99
Observasi langsung yang dilakukan oleh peneliti bisa direalisasikan
dalam Hukum Islam dan Budaya Bugis Bone. Juga mengamati konsep
4) Dokumentasi,
dokumen secara tertulis yang ada kaitannya dengan objek yang diteliti.
umpul data. Oleh karena sebenarnya sejumlah besar fakta dan data sosial
1) Sumber Data
88
H.M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, h. 124
Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah suku Bugis
data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua macam,
yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder Sumber data primer
dalam penelitian ini merupakan data yang diperoleh dari informan yaitu
orang yang berpengaruh dalam proses perolehan data atau bisa disebut
key member yang memegang kunci sumber data penelitian ini, karena
Barebbo.
2) Informan
Bone.
3) Subjek Penelitian
peneliti tidak menyelidiki seluruh individu atau seluruh objek yang ada
penelitian ini yang di adakan di Kabupaten Bone, dalam hal ini penulis
mengambil informan yang dapat mewakili betul populasi yang ada yaitu
Analisis data atau pengolah data adalah bentuk analisis yang lebih rinci
dan mendalam juga membahas suatu tema atau pokok permasalahan. Dalam
analisis ini, fokus penelitian maupun pembahasan kendati diarahkan pada bidang
89
Muhammad Tholchah, Metode Penelitian, h. 120-121
atau aspek tertentu, namun pendeskrepsikan fenomena yang menjadi tema sentral
data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teorisasi deduktif dan teorisasi
induktif:
a. Teorisasi Deduktif
Teorisasi dengan model deduktif tak asing lagi dalam penelitian sosial, di
mana teorisasi dilakukan secara deduktif. Model umum teorisasi deduktif seperti
meragukan dan mengkritik, dan merevisi atau bahkan membantah dan menolak.
teori tersebut sehingga hasil penelitian dapat memperkuat teori yang ada, dengan
adalah bahwa teori dalam posisi dapat dikritik karena telah mengalami
berbeda, atau fenomena yang telah berubah, untuk itu perlu dikritik dan merevisi
hasil penelitian, maka semua aspek teori tidak dapat dipertahankan karena waktu
yang berbeda, lingkungan yang berbeda, dan fenomena yang sudah jauh berbeda,
dengan demikian teori tidak dapat dipertahankan atau direvisi lagi, karena itu
b. Teorisasi Induktif
format induktif tidak mengenal teorisasi sama sekali, artinya teori dan teorisasi
bukan hal yang penting untuk dilakukan. Sebaliknya data adalah segala-galanya
kali peneliti memulai dari titik nol sebuah penelitian, yaitu pada titik di mana
suatu fenomena itu belum terungkapkan dalam berbagai teori dan fenomena
sosial yang terbaca. Karena itu, model ini di samping memiliki ketiga
kemampuan seperti yang dijelaskan pada model deduktif, yaitu (1) Menerima
teori karena mendukung teori, (2) Meragukan teori kemudian mengkritiknya, (3)
90
H.M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, h. 26-27
91
H.M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, h. 27-28
Kemampuan yang ke-4 itulah kelebihan model induktif di mana
penelitian dilakukan terhadap masalah yang masih sangat baru bahwa prematur
dan bersifat eksplorasi, maka dengan penelitian inilah kemudian sebuah teori inti
berikut:
1. Tujuan peneltian
2. Kegunaan penelitian
yang diteliti.
H. Daftar Pustaka
Ahmad, Abu al-Husain bin Faris bin Zakariyah, Mu’jam Maqayis al-Lugah,Juz III
Cet.II;Mesir : Maktab al-Babiy al-Halabi wa Awaladuh,1971
Al-Habsyi, Muhammad Bagir, Fiqih Praktis, Cet. I ;Bandung: Mizan Media Utama,
2002
Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia. Ed. 15, Cet. 15: Jakarta : Rajawali Pers. 2009
Al-Khatib, Muhammad al-Sharbini, Mughni Juz III, Mesir; Mustafa al-Babby al-
Halabi wa Awladuh,1995
An-Naisaburi, Abu Husain al Qusyairi, Shahih Muslim Juz 1, Beirut: Dar Ihya Turats
al Arabiy, TT
_______________, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi II, Cet. I; Jakarta: Balai
Pustaka, 2001
Harjono, Anwar, Hukum Islam Keleluasaan dan Keadilanya, Cet. II; Jakarta: Bulan
Bintang, 1987
Kementerian Agama, Al-Qur’an Tafsir Jalalain Perkata, Cet. I; Jakarta: PT. Suara
Agung Jakarta, 2013
Latif, Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia (Buku I), Cet.I; Ujung Pandang :
CV. Berkah Utami, 2010
Mattulada, Latoa Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis,
Cet. II; Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995
MS, Abd. Kadir Ahmad, Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat,
Cet. I; Makassar: INDOBIS, 2006
Narbuko, Cholid dan Abu Ahmadi, Metodologi Penelitian, Cet: II; Jakarta: Bumi
Aksara Pustaka, 1997
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Cet. XIX; Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada, 2012
Pelras, Christian, Manusia Bugis, Cet. I; Jakarta: Nalar Bekerjasama Dengan Forum
Jakarta-Paris, EFEO, 2006
BAB I : Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Pembahasan
D. Tinjauan Pustaka
E. Kerangka Teoritis
F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
G. Garis-Garis Besar Isi Tesis
BAB V : Penutup
A. Simpulan
B. Implikasi Penelitian
Kepustakaan
Lampiran-Lampiran
Daftar Riwayat Hidup
A. JUDUL : AKTUALISASI HUKUM KEWARISAN ISLAM (Studi tentang
Kesadaran Hukum Masyarakat di Desa Wollangi Kecamatan
Barebbo terhadap Hukum Kewarisan Islam)
B. PENDAHULUAN
93
Asas semata akibat kematian yang berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada
orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup. Amir Syarifuddin, Hukum
Kewarisan Islam, (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2005), h. 28.
94
Kata farāid dari kata faraḍa yang artinya wajib. Hak waris yang telah ditentukan itu
bersumber dari Allah swt., maka tidak ada alasan untuk menolaknya. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-
Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Cet. II; (Jakarta: Lentera Hati, 2009), h. 336.
orang yang masih hidup. Hukum waris menurut Kompilasi Hukum Islam yang
tertulis pada Pasal 171 (a) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang
berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. 95 Definisi ini
sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hasbi Ash-Shiddieqy dan Muḥammad
Muḥyiddīn.96
Dengan kata lain, bagi umat Islam melaksanakan ketentuan yang
berkenaan dengan hukum kewarisan merupakan suatu kewajiban yang harus
dijalankan, karena itu merupakan bentuk manifestasi keimanan dan ketakwaan
kepada Allah dan Rasul-Nya. Tata cara pembagian harta warisan dalam Islam
telah diatur dengan sebaik-baiknya. Alquran menjelaskan dan merinci secara
detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan
hak seorang pun. Pembagian masing-masing ahli waris baik itu laki-laki maupun
perempuan telah ada ketentuannya dalam Alquran.
Allah swt menjanjikan surga bagi orang-orang yang beriman yang
mentaati ketentuan-Nya dalam pembagian harta warisan dan ancaman siksa bagi
mereka yang mengingkari-Nya. Firman Allah swt. dalam Q.S. An-Nisā’(4): 13-
14:
Terjemahnya:
Itulah batas-batas (hukum) Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-
Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai,mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan
yang agung. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar batas-batas hukum-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam
95
Lihat Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia: Eksistensi dan
Adaptabilitas, Cet. I; (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), h. 261. Dimyati Rusli,
Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Depertemen Agama RI, 2000), h. 200.
96
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, Cet. I; (Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 1997), h. 18. Muḥammad Muḥyiddīn ‘Abd al-Ḥamīd, Aḥkām al-Mawārīś fī al-Syarī‘at
al-Islāmiyyah ‘alā Mażāhib al-Aimmat al-Arba‘ah, Cet. I; (t.tp: Dār al-Kitāb al-‘Arabiy, 1404 H/ 1974
M), h. 7.
api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapat azab yang
menghinakan.97
Ayat tersebut di atas dengan jelas menunjukkan perintah dari Allah swt.,
agar umat Islam dalam melaksanakan pembagian harta warisan hendaknya
berdasarkan hukum dan nilai-nilai yang terdapat dalam Alquran.
Akan tetapi dalam realitasnya masyarakat seringkali lebih mengedepankan
cara pembagian harta melalui kesepakatan (kekeluargaan) para ahli waris ataupun
melalui hukum masyarakat (adat) tanpa memperhatikan ketentuan hukum
kewarisan Islam. Sebagai perumpamaan, dalam Kompilasi Hukum Islam diatur
mengenai kebolehan membagi harta warisan melalui perdamaian sebagaimana
dituangkan pada pasal 183 yang berbunyi: “para ahli waris dapat bersepakat
melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing
menyadari bagiannya”.98 Namun dalam pelaksanaannya di masyarakat seringkali
mereka melakukan kesepakatan tanpa menyadari bagian masing-masing menurut
ketentuan hukum waris Islam.
Pelaksanaan ataupun aktualisasi hukum kewarisan Islam di masyarakat
tidak terlepas dari kesadaran hukum mereka terhadap aturan tersebut. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Soekanto bahwa kesadaran warga
masyarakat merupakan dasar sahnya hukum positif, artinya tidak ada hukum yang
mengikat mereka kecuali atas dasar kesadaran hukumnya.99
Kesadaran hukum masyarakat merupakan salah satu bagian dari budaya
hukum yang menyangkut faktor apakah suatu ketentuan hukum itu diketahui,
dimengerti, ditaati, dan dihargai. Apabila masyarakat hanya mengetahui adanya
suatu ketentuan hukum, maka taraf kesadaran hukumnya lebih rendah daripada
apabila mereka telah memahami aturan hukum tertentu. Kesadaran hukum itu
semakin bernilai tinggi jika ternyata masyarakat memiliki sikap dan perilaku
97
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Terjemah Per-Kata, (Bandung: PT
Syaamil bekerjasama Yayasan Penyelengara Penerjemah/Penafsir Al-Qur’an Revisi Terjemah oleh
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, 1428 H/2007 M), h. 79.
98
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
1992), h. 158.
99
Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali
Pers, 1983), h. 338.
positif terhadap suatu aturan hukum.
C. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah tersebut, maka penelitian yang akan dilakukan
difokuskan pada pokok masalah bagaimana aktualisasi hukum kewarisan Islam di
masyarakat. Hal ini sangat terkait dengan kesadaran hukum mereka terhadap
hukum kewarisan Islam, sehingga penelitian ini menyoroti kesadaran hukum
masyarakat di Desa Wollangi Kecamatan Barebbo.
Oleh karena itu dari permasalahan pokok yang dikemukakan sebelumnya,
maka dirumuskan sub-sub masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengetahuan masyarakat di Desa Wollangi Kecamatan Barebbo
tentang hukum kewarisan Islam?
2. Bagaimana sikap masyarakat di Desa Wollangi Kecamatan Barebbo terhadap
hukum kewarisan Islam?
3. Bagaimana kesadaran hukum masyarakat di Desa Wollangi Kecamatan
Barebbo untuk mengaktualisasikan hukum kewarisan Islam?
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data aktual guna
mengetahui, menjelaskan dan mengkaji hal-hal yang berkenaan dengan kesadaran
hukum masyarakat, yaitu:
a. Pengetahuan masyarakat di Desa Wollangi Kecamatan Barebbo tentang
hukum kewarisan Islam
b. Sikap masyarakat di Desa Wollangi Kecamatan Barebbo terhadap hukum
kewarisan Islam
c. Kesadaran hukum masyarakat di Desa Wollangi Kecamatan Barebbo
terhadap hukum kewarisan Islam
2. Kegunaan Penelitian
a. Teoritis
100
Keyakinan akan nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum akan
melahirkan kesadaran hukum kemudian melahirkan ketaatan/kepatuhan hukum. Sudikno
Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Cet. II; (Yogyakarta: Liberty, 2010), h. 136-137.
101
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau (Jakarta: Gunung Agung, 1984).
(matrilineal) dengan asas kewarisan kolektif. Penelitian ini difokuskan pada
pembagian harta warisan (pusako tinggi) dan harta bersama (pusako rendah).
Meskipun masyarakat Minangkabau telah memeluk Islam, tetapi praktik
kehidupan hukum adat tampaknya masih terus berlangsung, terutama yang
berkaitan dengan masalah harta warisan, karena harta pencaharian suami masih
dibawa menurut ketentuan hukum adat oleh kerabatnya, bukan oleh anak
keturunannya. Evolusi ke arah integrasi hukum adat yang Islami berlangsung
terus sampai harta pencaharian suami tersebut tidak lagi diwarisi oleh
kerabatnya, tetapi diwariskan kepada anak-anaknya. Hal ini terlaksana setelah
adanya berbagai pendekatan dan musyawarah yang dilakukan oleh tokoh-tokoh
agama dan tokoh-tokoh adat di Minangkabau.102 Penelitian ini berbeda lokasi
dan fokusnya dengan penelitian yang akan dilakukan. Sebab walaupun meneliti
tentang pelaksanaan hukum kewarisan Islam di masyarakat, akan tetapi
mengarah kepada evolusi adat menuju kesesuaian dengan Islam.
2. Abdul Ghofur Anshori dalam penelitiannya yang berjudul “Pelaksanaan
Hukum Kewarisan Islam di Daerah Kotagede Yogyakarta”,103 mengkaji hukum
waris Islam yang dilaksanakan oleh masyarakat Islam Kotagede. Setiap kali
ada pembagian harta warisan, para ahli waris mengadakan rembugan yang
bertujuan agar ditemukan kata sepakat dan untuk memelihara kelanggengan
hubungan kekeluargaan di antara ahli waris. Dalam penelitian ini juga
dideskripsikan hubungan antarvariabel, yaitu ketaatan beragama masyarakat
Islam Kotagede, pengetahuan tentang hukum waris Islam, serta minat
melaksanakannya berupa deskripsi persentase berdasarkan latar belakang
pendidikan dan pekerjaan serta jenis kelamin. Apabila dibandingkan dengan
penelitian ini, maka penelitian yang akan dilakukan berbeda dalam masalah
tempat, fokus penelitian serta masyarakat yang dijadikan sumber data.
3. M. Jandra dan Sukriyanto dalam penelitiannya tentang “Pelaksanaan Warisan
di Kauman Kesultanan Yogyakarta” yang dilakukan pada tahun 1992 mengkaji
faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat Kauman dalam pembagian harta
102
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan, h. 180.
103
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan , h. 115.
warisan dengan mempelajari beberapa kasus yang ditemukan. Terdapat
kekhususan dalam pembagian harta warisan masyarakat, seperti ada harta
pewaris yang dibagi ketika masih hidup dan ada pula yang dibagi setelah
pewarisnya meninggal dunia yang dilakukan menurut ketentuan hukum waris
Islam. Fokus kajian tersebut pada pelaksanaan hukum waris Islam di
masyarakat, sedangkan penelitian yang akan dilakukan ini berfokus pada
kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum waris Islam.
4. Supriyatna, dkk., “Pilihan Hukum Pengadilan dalam Penyelesaian Sengketa
Waris di Yogyakarta” mengkaji alasan-alasan atau motivasi yang mendorong
umat Islam di Yogyakarta memilih Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama
dalam menyelesaikan sengketa warisnya berdasarkan data tahun 1990-1991.
Penelitian ini mengemukakan bahwa kaum muslimin di Yogyakarta lebih
banyak memilih Pengadilan Negeri daripada Pengadilan Agama dalam
menyelesaikan kewarisannya dengan alasan menguntungkan secara materi,
sebab tidak membedakan bagian ahli waris perempuan dengan bagian ahli
waris laki-laki. Adapun pihak yang memilih Pengadilan Agama untuk
menyelesaikan pembagian harta warisannya adalah mereka yang kesadaran
hukumnya terhadap hukum waris Islam cukup baik dan alasan utama mereka
adalah ingin melaksanakan pembagian harta warisan menurut hukum Islam.
Kajian ini memiliki perbedaan dengan penelitian yang dilakukan ini yaitu pada
fokus dan tempatnya. Sebab, fokus penelitian yang akan dilakukan menyoroti
kesadaran hukum masyarakat untuk mengaktualisasikan hukum waris Islam.
5. Zikri Darussamin dalam disertasinya di UIN Sunan Kalijaga tahun 2003 104
berjudul ”Interaksi Hukum Islam dan Hukum Adat (Studi Pelaksanaan
Kewarisan Masyarakat Melayu di Daerah Siak)”. Disertasi ini mengkaji
interaksi hukum waris Islam dan hukum kewarisan adat Melayu-Siak yang
berlangsung baik karena kedua sistem hukum tersebut memiliki kesamaan
pada sistem kekerabatannya. Sistem kekerabatan dalam hukum waris Islam
dan hukum kewarisan adat Melayu-Siak, keduanya mengikuti sistem
104
Zikri Darussamin, ”Interaksi Hukum Islam dan Hukum Adat (Studi Pelaksanaan Kewarisan
Masyarakat Melayu di Daerah Siak)”. Disertasi, tidak diterbitkan, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga,
2003.
kekerabatan bilateral. Fokus penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan
fokus disertasi ini yang membahas interaksi adat dan Islam dalam waris.
6. Haddise, “Hukum Kewarisan Islam di Bone: Kajian Tentang Pelaksanaannya
Berhadapan dengan Hukum Kewarisan Adat”,105 mengkaji pelaksanaan hukum
kewarisan Islam yang meliputi larangan mewarisi, tindakan sebelum harta
warisan dibagi, dan susunan keutamaan ahli waris. Dalam temuannya
disebutkan bahwa terjadi hubungan timbal balik antara hukum kewarisan Islam
dan hukum kewarisan adat. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan
adalah topik penelitian yang mengangkat masalah kewarisan. Namun terdapat
perbedaan dalam fokusnya, penelitian yang akan dilakukan fokus pada
kesadaran hukum masyarakat untuk aktualisasi hukum waris Islam.
7. Asni Zubair, ”Penyelesaian Sengketa Waris pada Masyarakat Islam di
Kecamatan Tanete Riattang Barat Kabupaten Bone”,106 mengkaji penyelesaian
sengketa dalam pembagian harta warisan di masyarakat. Fokus kajiannya
adalah cara-cara yang ditempuh oleh masyarakat ketika menghadapi sengketa
dalam pembagian harta warisan mereka. Persamaan dengan penelitian yang
dilakukan adalah topik penelitian yang mengangkat masalah kewarisan.
Namun terdapat perbedaan dalam fokusnya, penelitian yang akan dilakukan
fokus pada kesadaran hukum masyarakat untuk aktualisasi hukum waris Islam.
8. Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris. Buku
yang diterbitkan oleh Alumni di kota Bandung pada tahun 1993, mengkaji
kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum waris secara umum. Fokus
kajiannya adalah menyorot validitas hukum pada nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat. Persamaan buku ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah
pada topiknya berupa kesadaran hukum masyarakat, namun berbeda dalam
lokasi dan jenisnya. Penelitian yang akan dilakukan lebih banyak mengambil
data di masyarakat di lokasi tertentu untuk selanjutnya dianalisis kesadaran
105
Haddise, “Hukum Kewarisan Islam di Bone: Kajian Tentang Pelaksanaannya
Berhadapan dengan Hukum Kewarisan Adat”, Laporan Penelitian Individual, Watampone:
STAIN Watampone, 2004.
106
Asni Zubair, ”Penyelesaian Sengketa Waris pada Masyarakat Islam di Kecamatan
Tanete Riattang Barat Kabupaten Bone”, Laporan Penelitian Individual, Watampone: STAIN
Watampone, 2009.
hukumnya terhadap hukum waris Islam dengan mencermati beberapa indikator
yang terkait.
H. KERANGKA TEORI
107
Heddy Sri Ahimsa-Putra, “Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi untuk
Memahami Agama” dalam Jurnal Penelitian Walisongo Semarang, Vol. XVII, Nomor 2 November
2009, h. 2.
108
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1994), h. 147.
109
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta:
Rajawali, 1987), h. 217.
110
Otje Salman, Kesadaran, h. 40.
tertanam karena telah melalui sosialisasi dan internalisasi yang intens di
masyarakat.
2. Indikator-indikator Kesadaran Hukum
Kesadaran hukum dapat diketahui dari indikator-indikator yang
merupakan petunjuk konkrit tentang adanya kesadaran hukum tertentu.111
Untuk mengetahui keadaan kesadaran hukum suatu masyarakat dapat dilihat
dari empat (4) indikator, yaitu pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap
hukum, dan perilaku hukum112. Hampir senada dengan hal tersebut, Soerjono
Soekanto menyebutkan bahwa indikator masalah kesadaran hukum adalah
pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum, pengetahuan tentang isi
peraturan-peraturan hukum, sikap terhadap peraturan-peraturan hukum, dan
pola perikelakuan hukum.
a. Pengetahuan Hukum
Mar’at mengemukakan bahwa pengetahuan adalah kemampuan
perseptual yang diperoleh melalui panca indera, persepsi tentang sesuatu
karena adanya stimulus yang bersentuhan dengan alat inderanya. Dalam
rangka memperoleh pengetahuan itu diperlukan proses dan syarat
tertentu.113
Pengetahuan yang dimaksud menyangkut perilaku yang dilarang
oleh hukum ataupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum. Sedangkan
hukum yang dimaksud adalah hukum tertulis atau hukum yang tidak
tertulis, dalam hal ini hukum waris Islam.
Pengetahuan hukum masyarakat tentang hukum waris Islam jika
disorot dari perspektif yuridis, maka setelah Kompilasi Hukum Islam
(KHI) disahkan, sejak itu pula timbul asumsi bahwa masyarakat dianggap
telah mengetahui hukum kewarisan Islam khususnya yang diatur dalam
buku II KHI. Asumsi tersebut dipertegas dengan dikeluarkannya Instruksi
Presiden RI nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 tentang
111
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 100.
112
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, Cet. I; (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), h. 105.
113
Seperti dikutip oleh Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan, h. 120.
penyebarluasan kompilasi hukum Islam dan keputusan Menteri Agama RI
nomor 154 tahun 1991 tentang pelaksanaan Inpres nomor 1 tahun 1991,
bahkan kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya surat Dirjen Binbaga
Departemen Agama RI nomor 3694/EV/HK.OO.3/AZ/91 berisi hal
penyebarluasan Inpres tersebut.
Otje Salman mengemukakan bahwa pengetahuan hukum adalah
pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur
oleh hukum. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku yang dilarang
atau yang dibolehkan oleh hukum, sebagaimana umumnya diketahui
bahwa membunuh, mencuri, dan mengambil hak orang lain secara tidak
sah, merupakan hal-hal yang dilarang oleh hukum.114
b. Pemahaman Hukum
Pemahaman hukum adalah sejumlah informasi yang dimiliki
seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu, baik hukum
tertulis maupun hukum tidak tertulis. Masyarakat tidak cukup hanya
sekedar mengetahui hukum saja, tetapi juga harus memahami isi aturan
dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam yang di dalamnya terdapat aturan
tentang kewarisan Islam. Selain itu, memahami tujuan dan manfaat
dikeluarkannya aturan tersebut.
c. Sikap Hukum
Sikap hukum merupakan kecenderungan seseorang untuk melakukan
penilaian tertentu terhadap hukum. Sebab, salah satu tugas hukum adalah
mengatur kepentingan warga masyarakat. Ketaatan masyarakat terhadap
hukum sedikit banyak tergantung kepada apakah kepentingan mereka
dapat ditampung oleh ketentuan hukum tersebut.115 Setelah memiliki
pengetahuan dan pemahaman terhadap hukum kewarisan Islam, maka
diharapkan muncul sikap positif/menghargai dari masyarakat terhadap
ketentuan hukum tersebut.
d. Perilaku Hukum
114
Otje Salman, Kesadaran, h. 40.
115
Zainuddin Ali, Sosiologi, h. 100.
Perilaku hukum merupakan indikator/petunjuk untuk dapat
mengetahui adanya kesadaran terhadap hukum. Kesadaran hukum dapat
dilihat dari derajat kepatuhan hukum yang diwujudkan dalam perilaku
nyata masyarakat. Jika hukum ditaati, hal itu menjadi petunjuk penting
bahwa hukum tersebut efektif. Hal-hal yang menjadi dasar kepatuhan
dalam perilaku hukum menurut Paul Scholten, yaitu didukung oleh
indoctrination, habituation, utility, and group identification.116
3. Beberapa Konsep yang terkait dan Definisi Operasionalnya
a. Kesadaran hukum kewarisan Islam
Pengetahuan tentang hukum kewarisan Islam secara mendalam baik
dalil, bagian masing-masing ahli waris, cara pembagian yang
menimbulkan penghargaan atas ketentuan hukum kewarisan Islam.
Kemudian akan membawa kepada penghayatan kepada hukum kewarisan
Islam dan mewujudkan kepatuhan.
Keadaan terbentuk pada diri seorang individu melalui integrasi
unsur pengetahuan, pemahaman, sikap, dan pola perilaku terhadap hukum
kewarisan Islam.
b. Pengetahuan tentang hukum kewarisan Islam meliputi hal-hal yang
diketahui sekitar hukum kewarisan Islam, termasuk pengetahuan terhadap
perilaku yang diatur dalam ajaran hukum kewarisan Islam.
c. Pemahaman terhadap hukum kewarisan Islam meliputi hal-hal yang
dipahami sekitar hukum waris Islam, termasuk pemahaman terhadap isi
dalam teori hukum kewarisan Islam.
d. Sikap terhadap hukum kewarisan Islam berupa reaksi yang diwujudkan dan
kesediaan untuk bereaksi secara positif ataupun negatif terhadap
ketentuan-ketentuannya.
e. Perilaku hukum kewarisan Islam, yakni hal yang dilakukan berhubungan
dengan hukum kewarisan Islam.
f. Masyarakat adalah sekelompok individu yang terdaftar pada wilayah
116
Seperti dikutip oleh Saifullah, Refleksi Sosiologi, h. 105.
tertentu117
Hakikat kesadaran hukum merupakan kesadaran tentang diri sendiri,
sebab orang yang berkesadaran hukum, maka orang tersebut yakin akan cita-
cita kebaikan yang setinggi-tingginya. Kesadaran hukum akan menjelma
dalam bentuk kepatuhan dan ketaatan terhadap hukum,118 sehingga dapat
dikatakan bahwa kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum kewarisan
Islam akan menjelma menjadi kepatuhan terhadap hukum kewarisan Islam
(HKI).
Ketaatan/Kepatuhan Hukum
I. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini berupa penelitian hukum sosiologis atau empiris yang
mempergunakan data utama dari data primer atau data yang diperoleh secara
langsung dari masyarakat.119 Pada penelitian hukum empiris, hukum
117
Asmawi dkk., Religiusitas dan Kesadaran Hukum Islam pada Mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah, (Jakarta: t.p., 2005), h. 19.
118
Muhammad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2013), h. 135.
119
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1988), h. 10.
dikonsepsikan sebagai perilaku nyata (actual behavior) yang meliputi perbuatan
dan akibat dalam hubungan hidup bermasyarakat.120
Apabila dilihat dari tujuan penelitian yang akan dilakukan, maka
dikategorikan sebagai penelitian deskriptif karena diharapkan dapat memberikan
gambaran tentang suatu gejala atau suatu keadaan masyarakat tertentu. 121
Arikunto menegaskan bahwa suatu penelitian deskriptif tidak dimaksudkan
untuk menguji suatu hipotesis tetapi akan menggambarkan apa adanya tentang
suatu variabel, gejala atau keadaan pada saat penelitian dilakukan.122
Ahimsa-Putra menegaskan bahwa dalam pendekatam fenomenologi,
informasi yang digali akan sampai pada kesadaran dan pengetahuan para pelaku
mengenai suatu fenomena atau masalah. Dalam konteks penelitian yang
menggunakan paradigma fenomenologi, kata ”memahami” merupakan hal yang
sangat penting digunakan. Memahami dalam penelitian fenomenologis adalah
mengetahui pandangan, pengetahuan, nilai-nilai, norma aturan yang ada dalam
suatu masyarakat atau yang dianut individu dan kemudian dapat menetapkan
relasinya dengan perilaku warga masyarakat.123
2. Bahan Penelitian
Untuk memperoleh data yang diharapkan dapat menjawab permasalahan
penelitian, maka akan dilakukan dengan melalui cara sebagai berikut:
a. Penelitian Kepustakaan
Dalam penelitian kepustakaan akan dikumpulkan data sekunder yang ciri
umumnya adalah datanya dapat digunakan dengan segera dan biasanya telah
120
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2004), h. 157.
121
Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian Petunjuk Praktis untuk Peneliti Pemula,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), h. 103-104.
122
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 234.
123
Heddy Sri Ahimsa-Putra, “Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi untuk
Memahami Agama” dalam Jurnal Penelitian Walisongo Semarang, Vol. XVII, Nomor 2 November
2009, h. 15.
dibentuk dan diisi oleh peneliti terdahulu.124 Selain itu, Abdulkadir Muhammad
menyatakan bahwa studi pustaka adalah pengkajian informasi tertulis mengenai
hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas.
Informasi seperti ini yang berasal dari sumber pustaka lazim disebut bahan hukum
(law material).125
Penelitian kepustakaan dilakukan dengan jalan pengumpulan bahan-bahan
hukum yang akan diteliti. Setelah data kepustakaan dikumpulkan, kemudian dicari
materi yang relevan dengan topik penelitian. Berdasarkan data ini akan dijadikan
acuan dan landasan dalam membangun argumen untuk menjawab permasalahan.
b. Penelitian Lapangan
124
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2006), h. 30.
125
Abdulkadir Muhammad, Hukum, h. 81.
126
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, (Bandung: Alfabeta, 2006),
h. 153.
tentang lokasi dan calon informan serta narasumber. Selanjutnya permintaan
waktu kepada informan dan narasumber untuk melakukan wawancara, jika
mereka bersedia diwawancarai akan didatangi untuk dilakukan wawancara
mendalam.
3. Informan dan Nara Sumber
128
Sukandarrumidi, Metode , h. 79.
Dalam proses wawancara diusahakan sedapat mungkin menjaga suasana
yang kondusif antara pewawancara dengan informan. Sebab, tanpa suasana yang
baik akan sulit mendapatkan atau melakukan penggalian informasi yang lebih
dalam atau tepat (probing).129 Jika ditemukan jawaban yang meragukan atau
sensitif, maka peneliti akan menunggu sejenak untuk membiarkan informan
berpikir jernih sampai mendapatkan jawaban yang akurat (silent probe). Selain
itu, pewawancara akan mengulang atau menambah sebuah pertanyaan sehingga
jawaban informan lebih meyakinkan.130
5. Analisis Data
129
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001), h. 88-89.
130
Irawati Sangarimbun, “Teknik Wawancara” dalam Masri Sangarimbun dan Sofian Effendi
(Peny.), Metode Penelitian Survey, (Jakarta: LP3ES, 1989), h. 200.
131
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu sosial
Lainnya, (t.c.; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 143.
132
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat Paradigma Bagi Pengembangan
Penelitian interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum, dan Seni,
(Yogyakarta: Paradigma, 2005), h. 166.
b. Display data dimaksudkan agar dapat melihat gambaran keseluruhan dan
bagian-bagian tertentu dari penelitian. Dengan demikian diharapkan peneliti
dapat menguasai data dan tidak tenggelam dalam tumpukan detail sehingga
diusahakan membuat matriks.
c. Kesimpulan dan verifikasi
Sejak awal peneliti seharusnya berusaha untuk mencari makna dari
data yang dikumpulkan. Dalam mengambil kesimpulan mula-mula bersifat
tentatif, kabur, diragukan, akan tetapi dengan bertambahnya data maka
kesimpulan itu lebih grounded. Kesimpulan harus senantiasa diverifikasi
selama penelitian berlangsung. Oleh karena itu, analisis merupakan
kegiatan yang kontinyu dari awal sampai akhir penelitian.133
Proses analisis terhadap data hasil penelitian akan dilakukan dengan
cara menyusun secara sistematis data kepustakaan dan lapangan, sehingga
diperoleh suatu deskripsi yang jelas tentang kesadaran hukum masyarakat
Desa Wollangi Kecamatan Barebbo terhadap hukum kewarisan Islam.
Kemudian data tersebut akan dianalisis secara kualitatif fenomenologi
dengan mengutamakan logika induktif untuk menemukan kesimpulan.
Total Rp.10.000.000,-
Bulan
No Kegiatan I II III IV V VI
.
1. Tahap 1: Persiapan
1. Penyusunan Proposal X
2. Seminar Proposal X
2. Tahap 2: Realisasi
1. Pengumpulan Data X X
2. Analisis Data X
3. Tahap Penyelesaian
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Abdul Ghofur. Hukum Kewarisan Islam, Cet. I; Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2012.
Ashshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001.
Asmawi dkk., Religiusitas dan Kesadaran Hukum Islam pada Mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta: t.p., 2005.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Pembagian Warisan Menurut Islam, Cet II; Jakarta:
Gema Insani Press, 1996.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Fiqh Mawaris, Cet. I; Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 1997.
Darussamin, Zikri. ”Interaksi Hukum Islam dan Hukum Adat (Studi Pelaksanaan
Kewarisan Masyarakat Melayu di Daerah Siak)”. Disertasi, tidak diterbitkan,
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2003.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Terjemah Per-Kata, (Bandung:
PT Syaamil bekerjasama Yayasan Penyelengara Penerjemah/Penafsir Al-
Qur’an Revisi Terjemah oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, 1428
H/2007 M.
Erwin, Muhammad. Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum, Jakarta:
Rajawali Pers, 2013.
Mertokusumo, Sudikno. Bunga Rampai Ilmu Hukum, Cet. II; Yogyakarta: Liberty,
2010.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2004.
Suparman, Eman. Hukum Waris Indonesia, Cet. II; Bandung: Refika Aditama, 2007.
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam, Cet. II; Jakarta: Kencana, 2005.
A. Informan
2. Apa saja yang bapak/ibu/saudara ketahui dan pahami dari aturan hukum waris
Islam itu?
2. Jika mereka mengetahui adanya aturan hukum waris Islam, bagaimana dengan
pemahaman mereka terhadap hukum waris Islam tersebut?
3. Jika mereka memahami aturan hukum waris Islam lalu bagaimana sikap mereka
terhadap hukum waris Islam itu?
5. Pendidikan :
6. Penelitian Ilmiah:
a. Peranan Dwangsoom (uang Paksa) dalam Eksekusi Ditinjau dari Segi Hukum
Islam, Skripsi, Watampone: IAIN di Watampone 1995.
b. Penggantian Ahli Waris (Plaatsvervulling) dalam Hukum Waris Nasional
dan Hukum Islam, Tesis, Makassar: IAIN Alauddin Makassar 2004.