Anda di halaman 1dari 97

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan tata kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dewasa

ini mengalami dinamika yang sangat mengagumkan. Semangat perubahan ini

terjadi sebagai bentuk kesadaran anak bangsa untuk mencapai sebuah negara-

bangsa yang bermartabat dalam penyelenggaraan dan pengelolaan kehidupan

bernegara yang demokratis dan berkeadilan. Perubahan itu diperlukan agar

Indonesia mendapatkan pengakuan sebagai pionir demokrasi oleh bangsa-bangsa

seluruh negara di dunia. Maka bangsa Indonesia dengan semangat reformasi terus

berupaya menata tata pergaulan dan pengelolaan, serta penyelenggaraan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berlandaskan pada hukum.1

Eksistensi hukum dalam proses pembangunan tentu sesungguhnya tidak

sekadar berfungsi sebagai alat pengendalian sosial (social control), melainkan

lebih dari itu, hukum diharapkan mampu menggerakkan masyarakat agar

berperilaku sesuai dengan cara-cara baru dalam rangka mencapai suatu keadaan

masyarakat yang dicita-citakan.2 Hukum sejatinya berfungsi sebagai wahana

pembaruan masyarakat (social engineering). Dalam konteks inilah hukum

diharapkan mampu mengarahkan masyarakat kepada pola perilaku baru yang

sesuai dan dikehendaki. Oleh karena itu, hukum didesain sedemikian rupa

sehingga dapat mengubah atau bahkan menghapus kebiasaan-kebiasaan lama yang

1
Mokhammad Najih dan Soimin, Pengantar Hukum Indonesia; Sejarah, Konsep Tata
Hukum, dan Politik Hukum Indonesia (Cet.I; Jatim: Setara Press, 2014), h. 1.

2
Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris (Cet. 2;
Bandung: P.T. Alumni, 2007), h. 1.

1
sudah tidak lagi sesuai atau sejalan dengan perkembangan zaman dan nilai-nilai

yang sahih. 3

Menurut Soerjono Soekanto, sebagai alat rekayasa sosial, hukum digunakan

sebagai agen untuk mengubah kondisi masyarakat. Agen ini dapat berupa

perorangan atau sekelompok orang yang mendapatkan kepercayaan dari

masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga kemasyarakatan. Hukum

akan memandu masyarakat dalam mengubah sistem sosial, dan dalam

pelaksanaannya akan terkait dengan tekanan-tekanan untuk mengadakan

perubahan, atau bahkan mungkin juga menyebabkan perubahan-perubahan pada

lembaga-lembaga sosial.4

Pada sisi lain, penting dilihat bahwa Indonesia sebagai negara hukum

yang beraliran positivisme yuridis,5 menunjukkan bahwa yang dapat diterima

sebagai hukum yang sebenarnya hanyalah yang telah ditentukan secara positif

oleh negara. Hukum hanya berlaku karena hukum itu mendapatkan bentuk

positifnya dari suatu instansi yang berwenang (negara).6 Dalam konteks ini juga

menurut Soerjono Soekanto dikatakan bahwa, hukum dalam suatu negara sejatinya

mampu mengubah perilaku masyarakat dan berakibat positif bagi mereka.


3
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2013),
h. 2.
4
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: Rajawali, 1980), h. 115.

5
Secara teoritis, aliran positivisme yuridis menganut pandangan bahwa hanya apa yang
ditetapkan sebagai kenyataanlah yang dapat diterima. Lihat misalnya, Theo Huijbers, Filsafat
Hukum dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Kanisius, 1982), h. 122. Teori Positivisme yuridis
berdasar pada aliran filsafat positivism yang berkembang di Perancis pada dua dasawarsa pertama
abad ke-19 dengan tokoh utamanya adalah August Comte, seorang matematikawan terkenal yang
kemudian menjadi sosiolog kenamaan. Aliran positivisme berpendapat bahwa setiap metodologi
untuk menemukan kebenaran harus memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis sebagai
sesuatu obyektiva yang harus dipisahkan dari segala macam prakonsepsi metafisis yang subyektif
sifatnya. A. Mukhtie Fadjar, Teori-Teori Hukum Kontemporer (Cet. II; Malang: Setara Press,
2014), h. 8.
6
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia (Jawa Barat: ISIF, 2014),
h. 4.
Artinya, efektivitas hukum sebagai pengubah perilaku masyarakat ini akan sangat

berhubungan dengan tingkat pengetahuan mereka terhadap materi undang-undang,

sehingga tahu pula hak dan kewajiban, serta kepentingan bagi mereka ketika

menaati peraturan tersebut.7

Dalam pandangan L.J. Van Apeldorn dinyatakan bahwa, tujuan hukum

adalah mengatur pergaulan hidup manusia itu, tentu terdapat macam kepentingan

baik yang menyangkut harta benda, kehormatan, jiwa, kemerdekaan dan

kebebasan hidup setiap manusia di dalam lingkungannya. Maka hukum

diharapkan mampu menjaga dan mempertahankan kepentingan-kepentingan

tersebut secara adil dan bijaksana, bagi tiap-tiap manusia dalam masyarakat di

dalam pergaulan hidupnya. Jadi hukum itu menunjukkan usahanya pada

penyelesaian masalah-masalah kepentingan hidup manusia itu dengan cara yang

adil dan bijaksana, sehingga suatu penyelesaian hukum dapat mengadakan

keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang pada hakikatnya

bertentangan satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, tujuan hukum di samping

akan menjaga kepastian hukum, juga menjaga sendi-sendi keadilan yang hidup

dalam masyarakat.8

Salah satu implikasi dari suatu negara yang tengah menjalani proses

pembangunan adalah kebutuhan untuk modernisasi secara utuh di setiap sektor,

baik secara politik atau struktur negara. Sunaryati Hartono, sebagaimana dikutip

Ahmad Tholabi Kharlie menyatakan bahwa dalam suasana pembangunan -seperti

yang telah peneliti singgung di atas- Indonesia melakukan multidimensi

modernisasi tidak hanya dalam kerangka hukum dan politik, tetapi juga dalam

ekonomi, sosial, budaya, termasuk keagamaan. Dalam konteks ini pula Ahmad

7
Lihat dalam, Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga.........., h. 65.

8
Lihat dalam, Mokhammad Najih dan Soimin, Pengantar Hukum Indonesia........., h.
11-12.
Tholabi Kharlie menyatakan bahwa, hukum Islam mendapatkan sentuhan-

sentuhan modernisasi bukan hanya dari sisi materi hukumnya, tetapi juga dengan

dikuatkannya lembaga-lembaga tradisional (Islam) menjadi lembaga negara.9

Inilah yang sekaligus menjadi bagian dari cikal bakal perbaikan dan pembaruan

hukum keluarga Islam di Indonesia.

Dari sisi materi hukum, tonggak pembaruan hukum keluarga Islam dalam

sejarah hukum Indonesia pertamakali ditandai dengan pengundangan hukum

perkawinan (UU Nomor 1 Tahun 1974) pada awal paruh rezim Orde Baru. Tujuh

belas tahun kemudian, pada paruh akhir rezim Orde Baru, disusun Kompilasi

Hukum Islam (KHI) melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1991 sebagai “pedoman

hukum” keluarga Islam bagi hakim-hakim di Pengadilan Agama. 10 KHI itulah

yang dianggap sebagai satu-satunya detil syariat Islam yang telah diakui negara,

dan menjadi rujukan utama untuk penyelesaian masalah hukum keluarga bagi

masyarakat Islam Indonesia. Lebih dari itu, kehadiran KHI di bumi Indonesia juga

diharapkan dapat menjadi jembatan penyeberangan dalam meminimalisir

perbantahan khilafiyah dalam masalah sandaran hukum, terutama mengenai

perkara perkawinan dan kewarisan.

Sekitar dua belas tahun sejak KHI eksis di Indonesia, geliat untuk

merekonstruksi konten KHI sekaligus meningkatkan derajatnya menjadi undang-

undang begitu deras.11 Bahkan, Departemen Agama RI –sekarang Kementerian

Agama– pasca kejatuhan rezim Orde Baru, berupaya memenuhi amanat UU


9
Lihat, Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga........, h. 15-16.

10
Lihat, Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia................, h. 199. Term “produk Hukum” pada
KHI di atas nampaknya terilhami dari ‘istilah’ yang digunakan dalam lampiran konsideran Inpres
No. 1 tahun 1991. Lihat contoh lampiran Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991
Tanggal 10 Juni 1991, misalnya dalam H.R. Otje Salman S. dan Mustofa Haffas, Hukum Waris
Islam (Cet.III; Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), h. 123. Kendati demikian, sesungguhnya
KHI bukan sekedar sebuah “produk hukum”, tetapi lebih dari itu KHI sudah merupakan “hukum
materiil” bagi lingkungan Peradilan Agama, sebagaimana pandangan yang sama –misalnya-
dikemukakan juga oleh Ahmad Rofiq. Lihat, Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Cet. IV;
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 51
Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas)

Tahun 2000-2004, dengan menyerahkan Rancangan Undang-Undang Hukum

Terapan Peradilan Agama (RUU HTPA)12 kepada DPR untuk menyempurnakan

KHI. Pada saat yang sama, Menteri Agama RI melalui Instruksi Presiden RI No. 9

Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional,

membentuk Pokja PUG Depag RI. Pokja ini selanjutnya merespon kehadiran

RUU HTPA dengan meluncurkan naskah tandingan rumusan hukum Islam yang

disebut Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI).13

Tim CLD-KHI dalam naskah tandingannya itu menawarkan pemikiran-

pemikiran baru di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan, sebagaimana

ketiga hal tersebut menjadi bagian yang sama dalam pembahasan KHI. Yang

menarik dalam CLD-KHI tersebut adalah, sebahagian pemikiran baru yang

dituangkan dalam pembahasan pasal-pasalnya sangat kontras dengan isi KHI.

11
Aspek-aspek pembaharuan hukum yang dibutuhkan untuk konteks kekinian dalam
konten KHI misalnya adalah penegasan tentang maksud “keharusan pencatatan perkawinan”
dalam Pasal 5 dan 6 KHI, beserta kemungkinan perlunya ketersediaan regulasi yang mengatur
sanksi bagi pelanggaran terhadap ketentuan perkawinan yang tidak tercatat. Tentu saja ketentuan
semacam itu juga dalam rangka mencegah maraknya praktek nikah sirri yang secara faktual
nampaknya dapat menurunkan nilai sakramen institusi perkawinan. Selain itu, issu kesetaraan
gender menjadikan KHI dipandang sebagai produk hukum yang masih diwarnai ideologi patriarki
dan cenderung memarginalkan kaum perempuan. Ditambah lagi dengan posisi KHI yang
dilematis dalam sistem hukum Indonesia. Hal ini menurut Atun Wardatun disebabkan oleh
adanya dua fakta yang integral dengan KHI itu sendiri. Fakta pertama adalah tentang dasar
pemberlakuan KHI yang tidak mengikutkan proses tertentu sehingga KHI tidak melewati lembaga
legislatif, yang notabene berhak penuh untuk melegalkan sebuah aturan hukum menjadi undang-
undang. Fakta kedua adalah adanya konsensus ahli hukum Islam Indonesia sendiri yang
menginginkan KHI menjadi pedoman hukum yang bisa menjamin keseragaman keputusan para
hakim. Kedua fakta inilah yang menyebabkan tarik ulur dan menciptakan dilema tersendiri ketika
KHI dianggap sebagai undang-undang dan atau bersifat mengikat atau tidak, karena KHI hanya
diterbitkan dengan Instruksi Presiden. Lihat misalnya, Atun Wardatun, “Kompilasi Hukum
Islam: Dari Dominasi Fiqh Menuju Dominasi Hukum’ dalam Istinbath”, Jurnal Hukum dan
Ekonomi Islam, Vol. 5, No. 1, Desember 2007, h. 7.
12
RUU HTPA disusun oleh Badan Pengkajian dan Pengembangan Hukum Islam
(BPPHI), sebuah badan yang dibentuk Departemen Agama melalui Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama (Ditbinbapera) pada tanggal 27 Sptember 2002.
13
Lihat, Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia................, h. 200-205.
Bahkan, pasal-pasal tersebut cenderung membongkar pemahaman fikih umat

Islam di Indonesia yang telah lama dianut dari produk fikih yang mu’tabarah.14

Lebih unik lagi, CLD-KHI dinilai telah berhasil mengklarifikasi beberapa

kekeliruan dan salah tafsir terhadap gagasan dan pemikiran tentang institusi

perkawinan. Alhasil, naskah baru hukum keluarga Islam tawaran tim CLD-KHI

menuai kritik, apresiasi dan kontroversi publik saat itu.

Mantan menteri agama (Maftuh Basyuni) sesungguhnya telah pernah

membekukan draft tersebut.15 Kendati demikian, modernisasi dalam bidang

hukum keluarga di Indonesia akan tetap niscaya. Itu juga sebabnya, sosialisasi

pemikiran CLD-KHI tetap hadir di tengah masyarakat meski dengan wajah yang

berbeda. Hal itu dapat dimaklumi sebab kegagalan ‘meloloskan’ usulan CLD-

KHI –menurut perspektif Tim CLD-KHI– bukan karena kesalahan interpretasi

teologis, tetapi lebih karena faktor konfigurasi politik. Artinya, gagasan CLD-KHI

mungkin saja dapat ditawarkan kembali. Upaya meyakinkan pemerintah, DPR dan

tokoh-tokoh Islam untuk pemikiran baru di bidang hukum keluarga Islam, akan

meniscayakan pemikiran baru itu untuk dilegislasi atau diundangkan, sekaligus

menyempurnakan atau bahkan menggantikan posisi KHI.

Deskripsi di atas menunjukkan betapa penelitian terhadap tawaran

pemikiran CLD-KHI menjadi sangat signifikan pada saat kebutuhan akan

pembaruan hukum keluarga Islam makin dirasakan. Atas dasar itu pula, penelitian
14
Sebagai contoh, “calon suami dan istri harus memberikan mahar kepada calon
pasangannya sesuai dengan kebiasaan (budaya) setempat (Pasal 16 CLD-KHI)”. Dalam KHI,
kewajiban memberi mahar hanya dibebankan kepada calon suami (Pasal 30 KHI). Contoh
pemikiran CLD-KHI yang lain adalah “calon suami dan calon istri dapat melakukan perjanjian
tertulis, meliputi –antara lain- jangka masa perkawinan. Apabila jangka waktu perkawinan telah
berakhir, suami dan isteri dapat memperpanjang waktu perkawinan sesuai kesepakatan di hadapan
PPN (lihat Pasal 21, 22 dan 23). Pasal ini dipahami sebagai sebuah tawaran untuk melegitimasi
praktek nikah “mut‘ah”.
15
Pembekuan yang disampaikan Maftuh Basyuni dilakukan lima hari pasca
pelantikannya sebagai Menteri Agama RI, usai berkunjung ke kantor MUI di Masjid Istiqlal,
Jakarta Pusat, tanggal 26 Oktober 2004, dan hanya disampaikan secara lisan, tidak disertai surat
resmi. Lihat misalnya dalam, Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia................, h. 272.
ini akan fokus pada arsitektur hukum keluarga Islam Indonesia yang kemudian

akan bermuara pada beberapa gagasan (ijtihad) pembaruan hukum.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, pertanyaan mendasar yang menjadi

masalah pokok dalam penelitian ini adalah : Apakah naskah CLD-KHI dapat

diakomodir sebagai salah satu wujud formulasi baru hukum keluarga Islam yang

cocok untuk Indonesia? Masalah pokok tersebut lebih lanjut akan dibahas secara

sistematis dengan berangkat dari beberapa sub masalah berikut:

1. Bagaimana relasi antara perubahan sosial dengan perubahan hukum?

2. Bagaimana potret sejarah dan dinamika politik dalam proses legislasi hukum

keluarga Islam di Indonesia?

3. Bagaimana paradigma hukum keluarga Islam versi Kompilasi Hukum Islam

dan CLD-KHI?

C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian

Agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami aspek-aspek yang menjadi

variabel yang dimaksudkan dalam tesis ini, maka peneliti menguraikan beberapa

definisi yang bertujuan meluruskan dan menegaskan pengertian dan arah

penelitian ini.

Kata “telaah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “penyelidikan,

kajian, pemeriksaan, penelitian”.16 Kata “kritis” maknanya –antara lain– adalah

“bersifat tidak lekas percaya”.17 Selanjutnya, kata “counter” dalam bahasa Inggris

16
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. II;
Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 1160.
17
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia ......................, h. 601.
dapat diartikan dengan “tandingan”.18 Kata “legal” artinya “hukum”19, dan kata

“draft” artinya “konsep atau naskah”.20 Dengan demikian, secara kebahasaan

“Counter Legal Draft” maksudnya adalah sebuah “konsep atau naskah hukum

tandingan”. Selanjutnya kalimat tersebut dipilih oleh Pokja PUG Depag RI untuk

penamaan naskah baru hukum keluarga yang ditawarkan. Sasaran Counter Legal

Draft adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Kata “kompilasi” berasal dari bahasa latin “compilatio” yang berarti

“kumpulan yang terdiri dari kutipan-kutipan buku-buku lain”.21 Istilah ini

kemudian dikembangkan dalam bahasa Inggris menjadi “compilation” yang

artinya “kumpulan atau himpunan”.22 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,

kompilasi berarti “kumpulan yang tersusun secara teratur (tentang daftar

informasi, karangan dan sebagainya)”.23 Dalam istilah hukum, kompilasi tidak lain

adalah sebuah buku hukum atau buku kumpulan yang memuat uraian atau bahan-

bahan hukum tertentu, pendapat hukum atau juga aturan hukum.24

Kata “Hukum Islam” dapat diartikan sebagai hukum yang bersumber dan

disalurkan dari hukum syari’at Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah

18
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2002), h. 150.
19
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris............., h. 353.

20
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris............., h. 196.

21
K. Prent C. M. dkk, Kamus Latin-Indonesia (Semarang: Jajaran Kanisius, 1969), h.
160.

22
E. Pino, T. Wittermans, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: PT. Pratnya Paramita,
1980), h. 79.

23
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia ................,
h. 584.

24
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia (Cet. II; Jakarta:
CV.Akademika Pressindo, 1995), h. 12.
Nabi Muhammad SAW kemudian dikembangkan melalui ijtihad oleh para ulama

atau ahli fikih (hukum Islam) yang memenuhi syarat untuk berijtihad dengan cara-

cara yang telah ditetapkan.25 Sementara itu, Hasbi Ash-Shiddieqi menyatakan

bahwa “hukum Islam” sebenarnya tidak lain dari pada fikih Islam atau syariat

Islam, yaitu koleksi daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syariat Islam

sesuai dengan kebutuhan  masyarakat.26

Kompilasi Hukum Islam menurut Abdurrahman adalah rangkuman dari

berbagai kitab yang ditulis oleh ulama fikih yang biasa dipergunakan sebagai

referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun

ke dalam satu himpunan.”27 Selanjutnya, kata penting yang perlu juga peneliti

kemukakan adalah “reorientasi”, yakni peninjauan kembali wawasan (untuk

menentukan sikap dsb).28

Kata “fikih” terambil dari bahasa Arab yaitu faqiha, yafqahu – fiqhan, yang

maknanya secara bahasa adalah al-fahmu (faham).29 Dan sesungguhnya telah

banyak definisi yang dikemukakan para ahli tentang pengertian fikih (al-

fiqhu)¸semua definisi tersebut bermuara pada substansi makna, yakni pemahaman

terhadap mas}a>dir al-ahka>m untuk menjadi pedoman bagi umat dalam

menjalani kehidupannya sesuai dengan zamannya, baik pemahaman tersebut

dilakukan secara individu atau kolektif.

25
Moh. Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), h. 190.

26
Hasbi Ash-Shiddieqi,  Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974),  h. 44.

27
Lihat misalnya dalam, https://masalahukum.wordpress.com/2013/08/24/kompilasi-
hukum-islam/, diunduh tanggal 9 Maret 2015.
28
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia .............,
h. 949.
29
Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 321.
Lihat juga, Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab – Indonesia (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), h. 1067.
Istilah “hukum keluarga” menurut Jimly Ashshiddiqie sebenarnya belum

memiliki pengertian yang utuh, mengingat selama ini konten hukum keluarga itu

terpecah-pecah ke dalam beberapa bidang kajian, seperti hukum perkawinan dan

perceraian, hukum waris, hukum perlindungan anak, dan sebagainya, dengan

perspektif yang berbeda pula, sebagaimana pengertian hukum keluarga itu

dibedakan antara hukum perdata Barat dan hukum Islam. 30 Secara singkat, hukum

keluarga adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara seseorang dengan

orang lain karena adanya hubungan darah atau perkawinan. Sementara hukum

keluarga yang dimaksud dalam judul penelitian ini adalah produk hukum positif di

Indonesia yang mengatur hal ihwal perkawinan dengan segala turunannya,

khususnya KHI sebagai rujukan utama penyelesaian hukum keluarga, serta

tawaran fikih hukum keluarga ala CLD-KHI.

Dari beberapa uraian definisi judul di atas, tergambar ruang lingkup

penelitian ini yang berkisar pada usaha untuk mengkaji dan mengkritisi sebuah

naskah hukum tandingan di bidang hukum keluarga Islam di Indonesia, yang

dikenal dengan “Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, atau disingkat

CLD-KHI”. CLD-KHI merupakan sebuah produk antitesa terhadap KHI yang

dianggap tidak relevan lagi dengan kebutuhan masyarakat Indonesia dewasa ini.

Kajian dan kritik terhadap CLD-KHI tersebut akan difokuskan pada beberapa

pasal kontroversial di bidang perkawinan dan kewarisan versi CLD-KHI.

D. Tinjauan Pustaka

Kehadiran CLD-KHI memang telah banyak mendapat tanggapan dari

masyarakat, baik berupa kritik, apresiasi, dan dukungan di tengah publik dan
30
Lihat pandangan Jimly Asshiddiqie dalam kata pengantar yang disampaikannya untuk
buku karangan Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia...., h. xv.
dunia akademik. Sejauh penelusuran peneliti, karya-karya ilmiah yang berkenaan

dengan naskah CLD-KHI lebih banyak membahas dimensi hukumnya yang

kontroversial.

Di antara tulisan-tulisan yang ada dan barangkali dianggap relatif cukup

detil, yaitu “Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft

Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia”, karya

Marzuki Wahid. Buku ini digarap oleh salah seorang Tim Inti CLD-KHI, karena

itu tidak heran jika tulisannya berupaya menekankan aspek positif dan keunggulan

CLD-KHI, meski diramu dengan bahasa yang kelihatannya netral dan berimbang.

Marzuki Wahid dalam bukunya juga menjelaskan secara gamblang dan terperinci

muatan dan alur sejarah mengenai kemunculan KHI. Buku tersebut menyorot

tajam lika-liku yang menjadi pedoman hakim dalam menyelesaikan perkara

kewarisan, perkawinan, dan pewakafan.

Selanjutnya buku yang ditulis oleh Huzaimah Tahido Yanggo, “Kontroversi

Revisi Kompilasi Hukum Islam”. Buku Huzaimah ini menguraikan beberapa hal

yang dianggapnya sebagai pangkal kekeliruan ide-ide dari naskah CLD-KHI.

Huzaimah juga menilai bahwa CLD-KHI bertentangan dengan maqa>s}id al-

syari>‘ah dan telah merusak ajaran Islam itu sendiri. Namun, apa yang ditulis

oleh Huzaimah tersebut lebih banyak berfokus pada kritikan terhadap pasal-pasal

CLD-KHI yang dianggapnya menyimpang dan tidak sejalan dengan hukum Islam

(KHI). Demikian juga peneliti temukan dalam beberapa tulisan lain seperti yang

ditulis oleh Rahmat Kurnia, “Di Balik RUU Terapan Peradilan Agama”. Rahmat

Kurnia hanya mengkaji CLD-KHI dari sudut pandang organisasi yang eksis di

sekitarnya, yang menurutnya merupakan organisasi-organisasi liberal dan

memback-up CLD-KHI. Muhammad Daerobi dalam tulisannya yang berjudul

“Epistemologi CLD-KHI Hukum Perkawinan” juga mencoba menelisik semangat


pembaruan hukum keluarga di bidang perkawinan dengan menitik-beratkan

kajiannya pada aspek epistemologi hukum CLD-KHI.

Hemat peneliti, dari tulisan-tulisan yang telah ditelusuri itu, belum ada

kajian terhadap substansi CLD-KHI dari sisi realita eksistensi fikih hukum

keluarga di Indonesia. Apatahlagi CLD-KHI bukan hanya merupakan sebuah

tawaran fikih teologis, tetapi juga bergumul dengan faktor non-teologis, seperti

ideologi atau politik. Dengan demikian, pembangunan hukum keluarga di

Indonesia –disadari atau tidak– vis a vis dengan permainan kekuasaan atau

kekuatan politik (power play). Alhasil, peneliti menilai bahwa kajian fikih yang

diiringi dengan perspektif ideologi dan politik hukum terhadap CLD-KHI sebagai

sebuah tawaran hukum keluarga transformatif, menjadi ruang baru untuk ditelaah.

E. Kerangka Teoritis

Secara teoritis sebenarnya tidak ada perbantahan mengenai esensi hukum

Islam yang mestinya bermuara pada perwujudan mas}lah}at manusia. Karena itu,

ketetapan hukum Islam harus bisa menunjukkan eksistensi prinsip dasar, yakni

maqāṣid al-syarī‘ah. Terminologi maqāṣid al-syarī‘ah dalam kajian hukum Islam,

menjadi semacam ideologi yang harus dijadikan landasan argumentasi setiapkali

upaya-upaya ijtihad akan dilakukan.

Dalam rumusan CLD-KHI, maqāṣid al-syarī‘ah juga diklaim menjadi dasar

dalam merumuskan konsep [baru] hukum keluarga Indonesia. Dengan teori ini,

CLD-KHI menilai bahwa prinsip hukum Islam adalah menegakkan nilai dan

prinsip keadilan sosial, kemaslahatan umat manusia, kerahmatan semesta, dan

kearifan lokal. Dalam konteks ini pula kemudian tim CLD-KHI memandang

bahwa visi hukum keluarga Indonesia mestinya mengarah pada pluralisme

(ta‘addudiyyah), nasionalitas (muwa>t}anah), penegakan HAM (iqa>mat al-

h}uqu>q al-insa>niyyah), demokratis (di>muqrat}iyyah), kemaslahatan


(mas}lah}at), dan kesetaraan jender (al-musa>wah al-jinsiyyah). Keenam prinsip

inilah yang menjiwai seluruh ketentuan hukum Islam versi tim CLD-KHI.

Tetapi, apakah visi hukum keluarga tersebut sudah tergambar secara

hakiki dalam gagasan-gagasan baru tim CLD-KHI atau tidak, atau bahkan mampu

menjamin kehadiran hukum keluarga yang bercorak Islam ke-Indonesiaan?

Apabila ya, maka itu akan sejalan dengan semboyan: al-muh}a>faz}atu ‘ala> al-

qadi>m al-s{a>lih} wa al-akhz\u bi al-jadi>d al-as}lah{. Jika tidak, maka boleh

jadi gagasan tersebut pada gilirannya hanya akan menjadi bahan renungan akal

semata, karena tidak sejalan dengan konsep-konsep fundamental dalam sistem dan

ideologi hukum di Indonesia.

Di sisi lain, dalam diskursus kehidupan berbangsa dan bernegara,

pernyataan “apakah hukum adalah produk politik, atau politik merupakan produk

hukum” cukup mengusik. Implikasi pernyataan ini akan menempatkan posisi

determinan antara eksistensi hukum dengan eksistensi politik. Jika pernyataannya

menyatakan “hukum sebagai produk politik”, tentu masalahnya kemudian adalah

hukum telah diposisikan sebagai subsistem kemasyarakatan yang ditentukan oleh

politik. Padahal dalam tataran ide dan cita hukum, politiklah yang harus

diposisikan sebagai variabel yang terpengaruh oleh hukum.

Secara metodologis-ilmiah sebenarnya –menurut Mahfud MD– tidak ada

yang keliru dari pernyataan tersebut, kendati kemungkinan benar dan salah bisa

saja terjadi pada keduanya, tergantung pada asumsi dan konsep yang

dipergunakan. Sebuah pernyataan bisa benar secara ilmiah menurut asumsi dan

konsep tertentu, tetapi menjadi salah jika dipergunakan asumsi dan konsep lain

untuk hal itu. Pernyataan bahwa “hukum adalah produk politik” adalah benar jika

didasarkan pada teori das sein (kenyataan) dengan mengonsepkan hukum sebagai

undang-undang. Artinya, fakta bahwa hukum dibuat oleh lembaga legislatif


menunjukkan simpulan yang tidak bisa dibantah bahwa hukum adalah produk

politik, sebab ia merupakan kristalisasi, formalisasi atau legislasi dari kehendak

politik yang saling bersaingan, baik melalui kompromi politik maupun melalui

dominasi kekuatan politik yang terbesar. Namun situasinya menjadi lain jika

dasarnya adalah teori das sollen (keharusan/keinginan). Sebab dalam konsep ini

hukum tidak selalu bermakna undang-undang, tetapi bisa juga diartikan sebagai

putusan pengadilan, dan dapat pula diberi arti lain yang jumlahnya bisa puluhan.31

Teori das sein dan das sollen tersebut, pada gilirannya akan memposisikan

KHI dan CLD-KHI dalam penelitian ini sebagai murni produk ijtihad hukum

Indonesia di bidang hukum keluarga atau sekedar produk kekuasaan/politik.

Kerangka teori di atas selanjutnya peneliti illustrasikan dalam skema

berikut:

Al-Qur’an dan
Al-Hadis

Dinamika Kehidupan Masyarakat Indonesia

31
Lihat, Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia (Cet: VI; Jakarta: PT Raja
CLD-KHI

GrafindoPersada, 2014), h. 4-5.


KHI

Maqāṣid
al-Syarī‘ah
Indonesia

Das Sein Das Sollen

Fikih Hukum Keluarga Islam Indonesia

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang ditempuh adalah penelitian kepustakaan (Library

Research). Oleh karena prisma pemikirannya bertolak dari kontroversi dan

perbedaan dalam rumusan hukum keluarga Islam di bidang perkawinan dan

kewarisan versi CLD-KHI, terutama dalam kaitannya dengan eksistensi KHI

sebagai rujukan utama di dalam penyelesaian hukum keluarga di Indonesia,

maka peneliti akan membahasnya dalam bentuk kajian deskriptif-komparatif

melalui beberapa pendekatan.

2. Metode Pendekatan
Agar hasil penelitian ini dapat menemukan pemahaman yang substantif,

komprehensif dan holistik menyangkut pemikiran baru dalam CLD-KHI, maka

peneliti menggunakan beberapa pendekatan sebagai berikut :

a. Pendekatan Historis, peneliti gunakan untuk napaktilas jejak fikih hukum

keluarga di Indonesia. Muaranya diharapkan dapat membangun pemaknaan

yang utuh tentang karakteristik dan dinamika Hukum Keluarga Islam di

Indonesia.

b. Pendekatan Sosiologis, peneliti perlukan untuk menelisik beberapa corak

sistem sosial dalam etnik masyarakat Indonesia menyangkut praktik orang

perorang dan efeknya terhadap orang lain mengenai pelaksanaan hukum

keluarga, sehingga pretensi untuk membuka keran interpretasi sosiologis-

faktual dapat dilakukan.

c. Pendekatan Teologis-Normatif, menjadi kerangka acuan peneliti untuk

merangkai norma agama dengan berbagai norma hukum materil dan norma

budaya (adat) menjadi satu kesatuan, yang pada gilirannya dapat mengantar

penelitian ini sampai pada suatu kesimpulan tentang mungkin-tidaknya

CLD-KHI didorong kembali sebagai pengganti KHI atau justru ikut

menegaskan penolakannya.

d. Pendekatan Yuridis, peneliti perlukan untuk melihat peluang hukum Islam

berkontribusi dalam pembangunan hukum nasional.

e. Pendekatan Politik Hukum, peneliti gunakan untuk membangun variabel-

variabel hipotesis yang lebih spesifik dalam menemukan corak dan watak

hukum keluarga Indonesia berkarakter das sollen-sein.

3. Sumber Data
Penelitian ini mengambil data-data primer yang ada maupun data sekunder

yang relevan. Sumber data yang dimaksud adalah:

a. Data primer, adalah data yang berkaitan langsung dengan naskah CLD-KHI

dan Kompilasi Hukum Islam.

b. Data sekunder, adalah data yang diperoleh dari hasil penelusuran literatur-

literatur Islam, hukum, sejarah, sosial, dan referensi lain yang dapat

melengkapi data primer dalam rangka menghasilkan penelitian yang kritis

dan komprehensif.

4. Tehnik Pengumpulan dan Analisis Data

Untuk menjelaskan jawaban dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian,

maka peneliti akan mengumpulkan sejumlah data teoritik dan empirik. Untuk

mengumpulkannya diperlukan metode dan kemudian peneliti menganalisisnya.

Karena data-data teoritis dan empiris yang relevan telah banyak diteliti

dan ditulis para ahli dalam bentuk buku, maka metode penelitiannya akan

ditempuh dengan tehnik observasi dan discovery buku, serta menyajikannya

secara deskriptif historis-empiris (pemaparan sejarah serta fakta sosial).

Hasilnya kemudian akan dianalisis dengan menggunakan beberapa teori hukum

seperti teori sibernetica Talcott Parsons atau teori sistem sosial, yang

menekankan analisis terhadap fungsi-fungsi hukum dan hubungannya dengan

sub sistem fungsional lain (faktor non hukum) dari masyarakat. Di samping itu,

kaidah-kaidah ushul fikih juga menjadi teori untuk menganalisis beberapa

produk pemikiran di bidang hukum keluarga Islam di Indonesia. Data-data

yang ada juga akan dikaji dengan beberapa pendekatan yang telah peneliti

sebutkan pada bagian yang lalu.


G. Tujuan dan Kegunaan

1. Tujuan

Peneliti sengaja meneliti dan membahas konsep hukum keluarga Islam

dalam CLD-KHI dengan tujuan sebagai berikut:

a. Menjelaskan sebab munculnya pemikiran untuk melakukan pembaharuan

hukum keluarga Islam Indonesia.

b. Menjelaskan potret sejarah dan dinamika politik dalam proses legislasi

hukum keluarga di Indonesia.

c. Menjelaskan paradigma hukum keluarga Islam versi KHI dan CLD-KHI.

2. Kegunaan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk:

a. Menambah pemahaman masyarakat mengenai masalah dan dinamika

legislasi hukum keluarga di Indonesia.

b. Menambah khazanah kepustakaan Islam di bidang hukum keluarga.

H. Garis-Garis Besar Isi Tesis

Untuk memudahkan pemahaman dan penelitian tesis ini, peneliti membagi

pembahasan menjadi lima bab dengan sub-sub bagian masing-masing dalam

kerangka acuan sebagai berikut:

BAB I (Pendahuluan) terdiri beberapa sub bab. Sub bab pertama

merupakan deskripsi tentang banyak hal yang menjadi alasan (background)

mengapa tema tesis menjadi krusial. Pada sub bab kedua peneliti mengemukakan

masalah pokok serta merumuskan sub masalah yang akan dikaji. Dalam sub bab

ketiga peneliti mendefinisikan pengertian (judul) dan ruang lingkup penelitian

hingga tergambar visi besar tesis ini. Sub bab keempat adalah kajian pustaka

untuk memastikan bahwa penelitian ini orisinil, sekaligus menggambarkan bahwa

topik penelitian ini merupakan sebuah topik penting yang selalu dikaji oleh
berbagai kalangan. Sub bab kelima peneliti menjelaskan kerangka teoritis. Sub

bab keenam metode penelitian. Sub bab ketujuh peneliti menguraikan tujuan dan

kegunaan penelitian. Sub bab kedelapan menjelaskan secara makro sistematika

pembahasan melalui gambaran tentang kerangka isi penelitian (outline). Sub bab

kesembilan adalah deskripsi tentang literatur yang akan menjadi sumber-sumber

pendukung tesis ini.

BAB II (Relasi antara Perubahan Sosial dan Perubahan Hukum dalam

Bingkai Ijtihad), terdiri dari tiga sub bab. Sub bab pertama memberikan

gambaran umum tentang posisi ijtihad dalam pandangan Islam. Sub bab kedua

menjelaskan pertalian perubahan sosial dan perubahan hukum sebagai dua

elemen yang saling mempengaruhi. Dua sub bab tersebut diharapkan dapat

mengantar penelitian ini sampai kepada sub bab ketiga yang akan menghadirkan

sebuah perspektif tentang ijtihad sosial dan maqāṣid al-syarī‘ah, apakah sebagai

produk budaya atau politik?

BAB III (Hukum Keluarga Indonesia dalam Perspektif), terdiri dari tiga

sub bab. Sub bab pertama mengutarakan potret sejarah hukum keluarga Islam di

Indonesia. Selanjutnya sub bab kedua akan memaparkan hubungan dialektik

hukum Islam dan hukum Adat di Indonesia. Sub bab ketiga menjelaskan kondisi

pergumulan politik dalam proses legislasi hukum keluarga di Indonesia. Ketiga

sub bab tersebut diharapkan memberi pencerahan tentang realita keberadaan

hukum keluarga Islam di Indonesia.

BAB IV (Wajah Baru Fikih Hukum Keluarga Islam Indonesia; Sebuah

Refleksi). Bab ini merupakan sebuah refleksi terhadap eksistensi hukum keluarga

di Indonesia, dan terdiri dari tiga sub bab. Sub bab pertama menyajikan wajah

KHI sebagai rujukan utama hukum keluarga di Indonesia, tetapi masih bersifat

pilihan. Selanjutnya sub bab kedua menghadirkan sisi CLD-KHI sebagai sebuah
tawaran baru yang pernah diajukan untuk mengganti KHI. Sub bab terakhir

berusaha mengkompromikan KHI yang diasumsikan sebagai produk hukum

ortodoks dan CLD-KHI diproyeksikan sebagai produk hukum Responsif, dalam

rangka menatap wajah baru fikih hukum keluarga Islam di Indonesia.


BAB V (Penutup), terdiri dari dua sub bab. Sub bab pertama peneliti akan
menyimpulkan sekelumit problematika dalam legislasi hukum keluarga di
Indonesia yang tidak bisa dipisahkan dari konfigurasi ideologi dan politik. Hasil
simpulan akhir penelitian ini selanjutnya peneliti sodorkan dalam wujud saran dan
implementasi dalam sub bab kedua.
OUTLINE

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian
D. Tinjauan Pustaka
E. Kerangka Teoritis
F. Metodologi Penelitian
G. Tujuan dan Kegunaan
H. Garis-Garis Besar Isi Tesis (outline)

BAB II RELASI ANTARA PERUBAHAN SOSIAL DAN PERUBAHAN


HUKUM DALAM BINGKAI IJTIHAD
A. Ijtihad dalam Perspektif Islam
B. Perubahan Sosial dan Pengaruhnya terhadap Perubahan Hukum
C. Ijtihad Sosial dan Maqa>s}id al-Syari>‘ah; Antara Produk Budaya dan
Produk Politik

BAB III HUKUM KELUARGA INDONESIA DALAM PERSPEKTIF


A. Potret Sejarah Hukum Keluarga Islam Indonesia
B. Dialektika Hukum Islam dan Hukum Adat di Indonesia
C. Pergumulan Politik dalam Proses Legislasi Hukum Keluarga di
Indonesia

BAB IV WAJAH BARU FIKIH HUKUM KELUARGA ISLAM


INDONESIA; SEBUAH REFLEKSI
A. Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai Sebuah Pilihan
B. CLD-KHI sebagai Sebuah Tawaran
C. Hukum Perkawinan dan Kewarisan untuk Indonesia Masa Kini:
Kompromistis Ortodoksi dan Responsif

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran/Implementasi
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: CV.Akademika


Pressindo, 1995.

Ali, Moh. Daud. Asas-Asas Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 1990.

Bunyamin, dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Makalah dan Tesis. Cet. I;
Watampone: Pascasarjana Program Magister STAIN Watampone, 2014.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Cet. III; Jakarta: Lembaga
Percetakan al-Qur’an, 2009

-------------. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan Penterjemah al-Qur’an,


1983.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. II;
Jakarta: Balai Pustaka: 2002.

E. Pino dan T. Wittermans. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT. Pratnya Paramita,


1980.

Echols, John M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2002.

Fadjar, Mukhtie. Teori-Teori Hukum Kontemporer. Malang: Setara Press, 2014.

Hakim, Abdul Aziz. Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2011.

https://masalahukum.wordpress.com/2013/08/24/kompilasi-hukum-islam/, diunduh
tanggal 9 Maret 2015.

Huijbers, Theo. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius,


1982.

Irawan, Candra. Politik Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia. Bandung:


Mandar Maju, 2011.

K. Prent C. M. Dkk. Kamus Latin-Indonesia . Semarang: Jajaran Kanisius, 1969.

Kharlie, Ahmad Tholabi. Hukum Keluarga Indonesia. Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika,
2013.

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia. Cet. VI; Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2014.

Mugniyah, Muhammad Jawad. Al-Fiqh ‘alā Mazāhib al-Khamsah. Diterjemahkan


oleh Masykur A.B., Afif Muhammad dengan judul Fikih Lima Mazhab. Cet.
II; Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1996.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir; Kamus Arab – Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997.

Najih, Mokhammad dan Soimin. Pengantar Hukum Indonesia; Sejarah, Konsep Tata
Hukum, dan Politik Hukum Indonesia. Cet.I; Jatim: Setara Press, 2014.

Nonet, Philippe dan Philip Selznick. Law and Society in Transition: Toward
Responsive Law. Diterjemahkan oleh, Raisul Muttaqien. Hukum Responsif.
Bandung: Nusa Media, 2013.

Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah. Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum;
Pemikiran menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat. Jakarta;
PT RajaGrafindo Persada, 2014.

Al-Qurţubiy, Abu ‘Abdillāh Muhammad bin al-Ansāriy. Al-Jāmi‘ Li Ahkām al-


Qur’ān. Beirut: Dār Ihyā’ al-Turāś al-‘Arabi,1966.

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Cet. IV; Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2000.

Salman, Otje. Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris. Cet. I;


Bandung: Alumni, 1993.

--------------- dan Mustofa Haffas. Hukum Waris Islam. Cet.III; Bandung: PT. Refika
Aditama, 2010.

Setiady, Tolib. Intisari Hukum Adat Indonesia; Dalam Kajian Kepustakaan. Cet. III;
Bandung: Alfabeta, 2013.

Ash-Shiddieqi, Hasbi.  Falsafah Hukum Islam. Jakrta: Bulan Bintang, 1974.

Soekanto, Soerjono. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali, 1980.

Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di


Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Wahid, Marzuki. Fiqh Indonesia; Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia Jawa
Barat: ISIF, 2014.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab – Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.


TELAAH KRITIS “COUNTER LEGAL DRAFT
KOMPILASI HUKUM ISLAM”
(Reorientasi Fikih Hukum Keluarga Islam Indonesia)

Proposal Tesis

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh


Gelar Magister dalam Bidang Hukum Islam
pada Pascasarjana Program Magister
STAIN Watampone

Oleh :

ABUL KHAIR
Nim. 130101001

PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) WATAMPONE
TAHUN 2015
PENGESAHAN UJIAN PROPOSAL TESIS

Proposal tesis dengan judul “TELAAH KRITIS COUNTER LEGAL

DRAFT KOMPILASI HUKUM ISLAM (Reorientasi Fikih Hukum Keluarga

Islam Indonesia)” yang disusun oleh saudara Abul Khair, NIM: 130101001

mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga Islam pada Pascasarjana Program

Magister STAIN Watampone, telah diujiankan dalam Ujian Proposal Tesis yang

diselenggarakan pada hari Kamis 15 April 2015 bertepatan dengan 25 Jumadil Akhir

1436 H., dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk menempuh

langkah-langkah penelitian selanjutnya.

DEWAN PENGUJI :
1. Prof. Dr. H. A. Sarjan, MA. [Ketua] (...................................)

2. Dr. Asni Zubair, M.HI. [Sekretaris] (...................................)

3. Prof. Dr. A. Nuzul, M.Hum. [Penguji Utama] (...................................)

4. Prof. Dr. H. A. Sarjan, MA. [Penguji] (...................................)

Watampone, 7 Mei 2015


Diketahui oleh:
Direktur Pascasarjana Program Magister
STAIN Watampone

Prof. Dr. H. A. Sarjan, MA.


NIP. 195809051983031005
PROPOSAL TESIS

Nama : Ali Said


Nim : 130101005
Jurusan : Syariah
Proram Studi : Hukum Keluarga Islam Melayu Nusantara
Judul Tesis : Studi Perbandingan Tentang Kafa>’ah dalam Hukum Islam
dan Budaya Bugis Bone

A. Latar Belakang

Allah menciptakan semua makhluk-Nya dengan berpasang-pasangan

dengan sumber pokok yang sama. Hal ini mengisyaratkan bahwa keduanya

adalah bermitra dan sejajar, saling membutuhkan, saling melengkapi, saling

menghormati, dan tidak ada yang merasa superior dan inferior, keduanya sama

dan sejajar.

Perkawinan32 adalah ikatan suci berdasarkan agama yang menghalalkan

pergaulan serta menentukan batas-batas hak dan kewajiban antara seorang pria

dan seorang wanita yang tidak mempunyai hubungan kekeluargaan (bukan

mahram),33 sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

32
Pada dasarnya kata “kawin” merupakan terjemahan dari bahasa Arab ”nikah” yang
berarti “ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran
agama”. Alquran menggunakan kata ini untuk makna bahasa. Pada mulanya kata “nikah” yang
bersal dari bahasa Arab nikahun dan merupakan Masdar dari kata ‫َـكـح‬ َ ‫ =ن‬nakaha, digunakan
dalam arti bergabung “Muhammad al-Sharbini al-Khatib, Mughni Juz III (Mesir; Mustafa al-
Babby al-Halabi wa Awladuh,1995), h.123. Terkadang juga digunakan arti “ ‫ = “الوط ُء‬al-wata”
(hubungan seksual) atau“ُ‫‘ = “عـقــد‬Aqad” (perjanjian). Akan tetapi kebanyakan pemakaiannya
untuk “aqad”. Namun secara leksikal, perkawinan identik dengan ‫ = نـكـــاح‬nikah “dan ‫= زو ُج‬
Zauwj. Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariyah,Mu’jam Maqayis al-Lugah,Juz III
(Cet.II;Mesir : Maktab al-Babiy al-Halabi wa Awaladuh,1971), h.145
33
Departemen Agama R.I. Proyek Peningkatan Peranan Wanita, Modul: Keluarga
Bahagia Sejahtera. (Jakarta: Kementerian Agama RI Proyek Peningkatan Peranan Wanita, 1997),
h. 39
Cukup logis, Islam menetapkan berbagai ketentuan untuk mengatur

berfungsinya keluarga sehingga dengan perkawinan yang sah inilah kedua belah

pihak suami dan istri dapat memperoleh kedamaian dalam hidup, kecintaan

dalam lingkungan dan keamanan dalam bermasyarakat, serta ikatan kekerabatan

yang diakui oleh negara, yang tercantum dan terkodifikasi dalam Inpres Nomor

1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Allah menjadikan perkawinan yang diatur menurut syari’at Islam sebagai

penghormatan dan penghargaan yang tinggi terhadap harga diri, yang diberikan

oleh Islam khusus untuk manusia di antara makhluk-makhluk yang lain.34

Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita, sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk

keluarga yang bahagia serta kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Untuk membentuk keluarga yang bahagia dibutuhkan rasa saling memahami

antara suami istri sehingga dapat tercipta keharmonisan, ketenangan dan kasih

sayang karena tiga poin tersebut merupakan kunci dari tujuan perkawinan.35

Firman Allah dalam QS. Al-Rum/30: 21:

       


        
    
Terjemahnya:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
34
Mahmud al-Shabbaqh,, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, alih bahasa
Bahruddin Fannani, (Cet. III; Mesir: Dar al-I’tisham, 2004), h. 23
35
Republik Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1/1974, PP No. 9 Th 1975,
PP No. 10 Th 1983, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986), h. 7
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.36

Betapa indah bahasa al-Qur’an dalam menggambarkan kebutuhan

manusia terhadap perkawinan, serta ketenangan dan kebahagiaan yang lahir dari

pada perkawinan tersebut. Firman Allah Swt. dalam QS. Al-Baqarah/2:187

      


Terjemahnya:
Mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi
mereka. 37

Ayat di atas mengibaratkan suami istri sebagai pakaian bagi

pasangannya karena masing-masing saling melindungi pasangannya. Oleh karena

itu, keperluan suami kepada istri dan keperluan istri kepada suami adalah seperti

keperluan masing-masing terhadap pakaian. Pakaian diperlukan untuk menutupi

badan dan menghindari suatu yang menyakitkan, begitu juga dengan suami dan

istri, masing-masing akan menjaga kemuliaan, kehormatan serta memberikan

kebahagiaan kepada masing-masing pasangan.

Tujuan perkawinan menurut Islam ialah untuk memenuhi petunjuk

agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera, dan

bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga,

sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir bathinnya, sehingga timbullah

kebahagiaan, yakni kasih sayang antara anggota keluarga. Pernikahan adalah

cara yang paling utama bahkan satu-satunya cara yang diridhoi oleh Allah dan

Rasul-Nya untuk memperoleh keturunan dan menjaga kesinambungan manusia,

36
Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, (Jakarta: Al-Huda Kelompok
Gema Insani, 2002), h. 407
37
Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an, h. 30
seraya memelihara kesucian nasab (silsilah keturunan) yang sangat diperhatikan

oleh agama.38

Pokok-pokok ajaran Islam tentang perkawinan disebut secara jelas dalam

al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw.. Akan tetapi, pelaksanaan dapat

diberlakukan sesuai dengan adat dan tradisi masyarakat, selama itu tidak

bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw.. Sebagaimana

diketahui bahwa tiap daerah mempunyai adat dan tradisi tersendiri yang

berkenaan dengan adat perkawinan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila

adat perkawinan di suatu daerah di negara ini, memiliki tradisi tersendiri pada

masing-masing daerah.

Pasangan yang serasi diperoleh untuk mewujudkan rumah tangga yang

sakinah, mawaddah dan rah{mah. Banyak cara yang dilakukan untuk mencapai

tujuan tersebut, salah satunya adalah upaya mencari calon istri atau suami yang

baik. Upaya tersebut bukanlah suatu kunci namun keberadaannya dalam rumah

tangga akan menentukan, baik tidaknya dalam membangun rumah tangga.39

Kafa>’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami/istri, tetapi

dapat menjadi sebuah ukuran sah atau tidaknya perkawinan. Kafa>’ah adalah

hak bagi wanita atau walinya. Suatu perkawinan yang tidak seimbang, tidak

serasi/tidak sesuai akan menimbulkan problem berkelanjutan, dan besar

38
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis, (Cet. I ;Bandung: Mizan Media Utama,
2002), h. 125
39
M. Al-Fatih Suryadilaga, Memilih Jodoh, dalam Marhumah dan Al-Fa>tih Suryadilaga
(ed), Membina Keluarga Mawaddah Warahmah dalam Bingkai Sunnah Nabi (Yogyakarta: PSW
IAIN dan f.f., 2003 ), h. 50
kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian. Oleh karena itu,

perkawinannya boleh dibatalkan.40\

Jumhur fuqaha>‘, diantaranya adalah ulama empat madzhab berpendapat

bahwa kafa>’ah sangat penting dalam perkawinan meskipun kafa>’ah bukan

merupakan syarat sah suatu perkawinan dan hanya merupakan syarat lazim suatu

perkawinan. Mereka mengemukakan dalil berdasarkan hadits Rasulullah dan

akal (rasio). adapun hadits Nabi saw. yang menjelaskan tentang kafa>’ah adalah

sebagai berikut:

ٍ َ‫ تُ ْن َكـــ ُح ْالَ َمرْ َأةُ ْاالرْ ب‬:‫وســلَّ ْم اَنَّهُ قَــا َل‬


,‫ــع لِ َمالِهَــــا‬ َ ‫صــلّى هُّللا َعلَيْــ ِه‬
َ ‫ْــرةَ َأنَ النَّبِي‬
ِ ‫ع َْن َأبي ه َُري‬
41 ْ ‫ت اّل ِد ْي ِن ت َِرب‬
ْ ‫َّت يَد‬
. ‫َاك‬ ْ َ‫ـ َولِ ِد ْينِهَا ف‬,‫ َولِ َج َمالِهَا‬,‫َولِ َح َسبِهَا‬
ِ ‫ظفَرْ بَذا‬

Artinya :
”Dari Said bin Abi Su’bah dari ayahnya dari Abu Hurairah dari Nabi
SAW. : Sesungguhnya beliau bersabda : ”Nikahilah perempuan karena
empat perkara : pertama karena hartanya, kedua karena derajatnya,
(nasabnya), ketiga kecantikannya, keempat agamanya, maka pilihlah
karena agamanya, maka terpenuhi semua kebutuhanmu”.

Dalam perkawinan adat Bugis (Kab. Bone) dalam hal mencari jodoh di

kalangan orang Bugis menetapkan perkawinan yang ideal adalah. (1)

perkawinan yang disebut asial mrol/assialang marola, ialah pernikahan antara

sudara sepupu sederajat kesatu baik dari pihak ayah maupun dari ibu; (2)

perkawinan yang disebut asial emmE/assialang memeng, ialah perkawinan

antara saudara sepupu derajat kedua, baik dari pihak ayah maupun ibu; (3)

Perkawinan yang disebut asiperewkEn assiparewekenna yaitu perkawinan antara

40
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, dalam Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat
Perbandingan dari Tektualitas Sampai Legislasi, (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), h.
104
41
Abu Husain al Qusyairi an Naisaburi, Shahih Muslim Juz 1, (Beirut: Dar Ihya Turats al
Arabiy, TT), h. 623
sepupu derajat ketiga. (4) Perkawinan antara ripedep meblea/ripaddeppe’

mabelae, ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat tiga juga dari kedua

belah pihak.42

Masyarakat Bugis yang menganut sistim bilateral memungkinkan

seseorang untuk berubah status dalam waktu singkat akibat ikatan kekeluargaan

istri atau suaminya. Hal ini dapat terjadi dalam perkawinan antara dua status

yang berlainan sehingga satu diantara pasangan tersebut dapat berpindah status.

Oleh karena itu perkawinan bagi masyarakat Bugis tujuannya tidak hanya

semata-mata untuk memenuhi kebutuhan biologis, melainkan juga berfungsi

untuk menaikkan gengsi sosial bagi salah satu atau kedua-duanya pasangan

tersebut. Status yang diperoleh melalui keturunan dalam masyarakat Bugis

menurut Friedcricy diklasifikasikan dalam tiga bahagian, meliputi :

1. Anak Arung/an aruu, adalah lapisan raja dan sanak keluarganya, kaum

bangsaw.an. Lapisan ini dalam masyarakat mempunyai gelar seperti

mangkau/mKai (Raja), andi/adi dan petta/pet.

2. Golongan yang kedua adalah to maradeka/to maredk yang dikenal pula

sebagai to deceng/to edec dan to sama/tosm, maksudnya orang merdeka

dari kekuasaan orang lain.

3. Golongan yang ketiga adalah strata masyarakat yang paling rendah dan

dikenal dengan istilah ata/at (hamba sahaya atau budak). Lapisan ini

sebenarnya hanyalah merupakan lapisan sekunder yang hadir mengikuti

42
Asmad Riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan dalam Masyarakat Bugis Bone,
(Cet, I Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kab. Bone, 2007), h. 11 Lihat. Lontara Andi Najamuddin
Petta Ile, Lihat pula Abd. Kadir Ahmad MS, Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Barat, (Cet. I; Makassar: INDOBIS, 2006), h. xii
penumbuhan pranata sosial dalam kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan

pada masa lampau.43

Dalam lembaga perkawinan, kelas sosial yang semula telah ditempati oleh

keluarga sangat dipengaruhi jodoh yang diperoleh seorang perempuan. Jodoh

yang se-kufu’ dianggap sebagai solusi yang harus perempuan ambil untuk tetap

mempertahankan stratifikasi sosial yang disandang keluarga. Oleh karena itu,

keluarga (ayah) kerap mendominasi pemilihan jodoh bagi perempuan demi

mendapatkan jodoh yang se-kufu’, sehingga perempuan terus berada di wilayah

subordinasi di bawah kekuasaan dan kontrol laki-laki. Nilai siri’/siri yang

melekat dalam masyarakat Bugis menempatkan perempuan dalam posisi yang

dilematis. Di satu sisi, perempuan dituntut untuk mempertahankan martabat

keluarga. Namun, di sisi lain, perempuan dikhawatirkan akan melakukan

perbuatan tidak terpuji (menurut ukuran masyarakat Bugis), sehingga dalam

keseharian perempuan perlu betul untuk mendapatkan penjagaan dan

pengawasan laki-laki (ayah dan seluruh anggota keluarga laki-laki lainnya). Hal

tersebut menunjukkan bahwa sistem patriarki dalam masyarakat Bugis

memandang perempuan sedemikian lemahnya, bahkan untuk menjaga

nilai siri’ yang dibebankan padanya.

Penggolongan masyarakat dalam status sosial seperti diatas kadang-kadang

dapat berimplikasi terhadap peroses pernikahan di masyarakat Bone, kadang-

kadang gagalnya suatu pernikahan diakibatkan karena salah satu pihak menolak

karena status sosial yang tidak sama. Terutama status sosial sang laki-laki yang

43
Departemen Pendidkan dan Kebudayaan, Biografi Pahlawan La Pawawoi Karaeng
Segeri, (Ujung Pandang, 1993), h. 17-18
lebih rendah dibandingkan dengan status sosial yang sang perempuan. Praktik

tersebut masih banyak dianut oleh masyarakat di Kabupaten Bone dalam

pemilihan jodoh. Dalam masyarakat Bugis penetapan setara atau tidaknya

seorang laki-laki dengan perempuan dalam proses pernikahan ditentukan oleh

kerabat terdekat (orang tua) dari mempelai perempuan, dan jika salah satu

anggota masyarakat tidak menghiaukan adat tersebut maka akan mendapatkan

sangksi pengucilan dalam masyarakat.

Paparan di atas menjelaskan bahwa adanya persamaan dan perbedaan

dalam tinjauan tentang kafa>’ah dalam hukum Islam dan budaya bugis

sehingga, penulis merasa perlu pengkajian yang mendalam tentang

permasalahan keduanya dalam penelitian yang berjudul Studi Perbandingan

Tentang Kafa>’ah dalam Hukum Islam dan Budaya Bugis Bone.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka yang menjadi

permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah Studi Perbandingan Tentang

Kafa>’ah dalam Hukum Islam dan Budaya Bugis Bone yang dijabarkan dalam

beberapa subpokok permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep kafa>’ah dalam hukum Islam?

2. Bagaimana konsep kafa>’ah dalam budaya Bugis?

3. Bagaimana perbandingan antara konsep kafa>’ah dalam budaya Bugis

dengan kafa>’ah dalam hukum Islam?


C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Definisi Operasional

Untuk menghindari terjadinya kekeliruan penafsiran pembaca terhadap

variabel-variabel atau kata-kata dan istilah-istilah teknis yang terkandung dalam

judul penelitian ini, maka penulis akan menguraikan kata-kata yang urgen dalam

judul penelitian ini sebagai berikut:

Secara bahasa kafa>’ah berasal dari kata  ‫كافاء‬yang berarti ‫المساوة‬ (sama)

atau ‫( المماثلة‬seimbang).44 Dalam firman Allah SWT disebutkan juga kata-kata

yang berakar kafa>’ah ‫و لم يكن ل ه كف وا احد‬ .45 Dari uaraian di atas dapat

dijelaskan bahwa  kafa>’ah dari arti bahasanya berarti sama atau seimbang.

Sedangkan secara terminologi kafa>’ah selalu dikaitkan dengan masalah

perkawinan. Ibnu Manzur mendefinisikan kafa>’ah sebagai suatu keadaan

keseimbangan ksesuaian atau keserasian. Ketika dihubungan dengan

nikah, kafa>’ah diartikan sebagai kondisi keseimbangan antara calon suami dan

istri baik dari segi kedudukan, agama, keturunan, dan sebagainya.46

Kafa>’ah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kesamaan,

derajat, tolok, tara.47 Menurut istilah berarti setara, sama tinggi derajat

martabatnya. Istilah kafa>’ah dalam perkawinan adalah adanya kesamaan

derajat antara suami-istri, kesamaan itu dipandang dari berbagai segi.48

44
Lois Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam,  (Mesir: Dar Al-Masyriq, 1986), h.
690
45
QS. Al-Ikhlas/112/4
46
Jamal Ad-Din Muhammad ibn Muharor al-Ansori al-Mansur, Lisan al-Arab  (Mesir:
Dar al-Misriyah, tt.), h. 134
47
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,edisi ketiga
(Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 608
48
Syarifuddin Latif, Hukum Perkawinan di Indonesia (Buku I), (Cet.I; Ujung Pandang :
CV. Berkah Utami, 2010), h. 55
Kafa>’ah adalah berasal dari kata asli al-kufu’ diartikan al-musa|wi

(Keseimbangan). Ketika dihubungkan dengan nikah, kafa>’ah diartikan dengan

keseimbangan antara calon suami dan istri, dari segi kedudukan (hasab), agama

(din), keturunan (nasab), dan semacamnya. Sementara di dalam istilah para

fuqaha, kafa>’ah didefinisikan dengan kesamaan di dalam hal-hal

kemasyarakatan, yang dengan itu diharapkan akan tercipta kebahagiaan dan

kesejahteraan keluarga kelak, dan akan mampu menyingkirkan kesusahan.49

Sayyid Sabiq dalam bukunya menerangkan bahwa kafā’ah adalah

persamaan dan keserupaan, sedangkan kufu’ adalah orang yang serupa dan

sepadan. Maksud dari kafā’ah dalam pernikahan adalah bahwa suami harus

sekufu’ bagi istrinya, artinya di memiliki kedudukan yang sama dan sepadan

dengan istrinya dalam hal tingkatan sosial, moral, dan ekonomi. Tidak diragukan

bahwa semakin sama kedudukan laki-laki dengan kedudukan perempuan, maka

keberhasilan hidup suami istri semakin terjamin dan semakin terpelihara dari

kegagalan.50

Kata hukum Islam tidak ditemukan sama sekali dalam al-Qur’an dan

literatur hukum dalam Islam, yang ada dalam al-Qur’an adalah kata syariah,

fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya. Kata-kata hukum Islam

merupakan terjemahan dari term Islamic law dari literatur barat, sedangkan

49
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I, Dilengkapi Perbandingan UU Negara
Muslim Kontemporer, (Cet. I; Yogyakarta: Akademia dan Tazaffa, 2005), h. 225
50
Sayyid Sabiq, Al-Fiqh Al-Sunnah, Jilid. II, (Cet. VIII; Beirut: Dar al- Kutub al-Araby,
407 H, 1987 M,), h. 133
definisi hukum Islam menurut Muh. Daud Ali adalah hukum yang bersumber

dari dan menjadi bagian agama Islam.51

Perkawinan dalam budaya Bugis adalah adanya tanggung jawab baru

bagi kedua orang yang mengikat tali perkawinan terhadap masyarakat. Oleh

karena itu, perkawinan bagi orang Bugis-Makassar dianggap sebagai hal yang

suci, sehingga dalam pelaksanaanya dilaksanakan dengan penuh hikmat dan

pesta yang meriah.52

Budaya atau adat ade’ adalah unsur bagian dari pangadereng, yang

secara khusus terdiri atas: Pertama, ade’ akkalabinengeng atau mengenai hal

ihwal perkawinan serta hubungan mengenai kekerabatan dan berwujud kepada

kaidah-kaidah perkawinan, kaidah-kaidah keturunan, aturan-aturan mengenai

hak dan kewajiban warga rumah tangga, etika dalam hal rumah tangga dan sopan

51
Yang pertama pengertian hukum yaitu peraturan-peraturan atau seperangkat norma
yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu
berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma
yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Sedangkan pengertian . Hukm
dan Ahkam adalah perkataan hukum yang kita pergunakan sekarang dalam bahasa Indonesia
berasal dari kata Hukm (tanpa u antara huruf k dan m) dalam bahasa arab. Artinya, norma atau
kaidah yakni ukuran, tolak ukur, patokan,pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku
atau perbuatan manusia dan benda.Dalam system hukum Islam ada lima Hukm atau kaidah yang
dipergunakan sebagai patokan mengukur perbuatan manusia baik dibidang ibadah maupun di
lapangan muamalah. Kelima jenis kaidah tersebut, disebut al-ahkam al-khamsah atau
penggolongan hukum yang lima, yaitu (1) ja’iz tatu mubah atau ibadah, (2) sunnat, (3) makruh,
(4) wajib dan (5) haram. Dilihat dari segi ilmu hukum, syariat merupakan norma hukum dasar
yang diterapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan iman yang berkaitan
dengan akhlak, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan
benda dalam masyarakat. Norma hukum dasar ini dijelaskan dan atau rinci lebih lanjut oleh Nabi
Muhammad sebagai Rasul-nya. Karena itu, syariat islam terdapat didalam al-quran dan di dalam
kitab-kitab Hadis. Di dalam bahasa Arab, perkataan fiqh yang ditulis fiqih atau kadang- kadang
ftkih setelah di Indonesiakan, artinya paham atau pengertian. Kalau dihubungkan dengan
perkataan ilmu tersebut di atas, dalam hubungan ini dapat juga dirumuskan (dengan kata-kata
lain), ilmu fiqih adalah ilmu yang ''bertugas menentukan dan menguraikan norma-norma hukum
dasar yang terdapat di dalam Alquran dan ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam sunnah
nabi yang direkam dalam kitab-kitab hadis. Muhammad Daud Ali. Hukum Islam pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Ed. 15 ( Cet. 15: Jakarta : Rajawali Pers. 2009). h.
42-47
52
Abd. Kadir Ahmad, Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, (Cet.
I; Makassar: Indobis Publishing, 2006), h.ix
santun pergaulan antara kaum kerabat. Kedua, ade’ tana, atau norma-norma

mengenai hal ihwal bernegara dan memerintah negara dan terwujud sebagai

hukum negara, serta etika dan pembinaan insan politik. Pengawasan dan

pembinaan ade’ dalam masyarakat orang Bugis biasanya dilaksanakan oleh

beberapa pejabat adat seperti: pakkatenni ade’, puang ade’, pampawa ade’, dan

parewa ade’.53

Oleh karena itu, secara operasional kafā’ah Dalam Perkawinan

(Perbandingan kafā’ah Dalam Islam dan Budaya Bugis) suatu penelitian yang

mengkaji tentang perbandingan antara kafā’ah dalam budaya bugis dengan

hukum perkawinan dalam Islam serta persamaan dan perbedaanya dalam

pelaksanaan proses tersebut.

2. Ruang Lingkup penelitian

Mengacu pada beberapa pengertian istilah yang terkait dengan judul

penelitian ini, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dipahami

bahwa ruang lingkup penelitian ini adalah mengkaji tentang konsep kafa>’ah

dalam hukum perkawinan dalam Islam baik menurut pendapat imam mazhab

maupun perundang-undangan dan konsep kafa>’ah dalam budaya pernikahan

Bugis Bone di Kabupaten Bone.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam penyusunan penelitian ini, penulis akan memaparkan tentang Studi

Perbandingan Tentang Kafa>’ah dalam Hukum Islam dan Budaya Bugis Bone

penelitian ini dibutuhkan buku-buku atau literatur yang representatif sebagai

pijakan atau rujukan dalam mengunkap konsep kafa>’ah dalam penelitian ini.
53
Abd. Kadir Ahmad, Sistem Perkawinan, h. xxi
Adapun penelitian yang dianggap memiliki relevansi dengan judul

penelitian ini yakni penelitian Nashih Muhammad yang berjudul Konsep

Kafa>’ah Menurut Kyai Muda Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak

Yogyakarta pada Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan

Kalijaga Yogyakarta. Hasil penelitan menyebutkan bahwa mayoritas kyai muda

sepakat bahwa unsur agama merupakan syarat mutlak berlangsungnya

pernikahan. Meskipun demikian, kyai muda Krapyak lebih terbuka untuk unsur-

unsur lainnya dalam konsep kafa>’ah karena kafa>’ah menurut mereka adalah

syarat lazim saja. Setiap tempat memiliki kecenderungan sendiri-sendiri dalam

memilih pasangan. Selama tidak keluar dari nilai-nilai ajaran Islam, hal tersebut

tidak ada larangan.

Musafak dalam penelitianya yang berjudul Konsep Kafa>’ah Dalam

Pernikahan (Studi Pemikiran Mażhab Hanafî). Pada Fakultas Syari’ah

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dalam penelitian ini

ditemukan hasil bahwa pemicu utama dari penetapan konsep kafa>’ah Mażhab

Hanafî adalah kompleksitas dan budaya mayarakat kufah ketika itu, yang

diketahui dari sejarah penetapannya. Kemudian kriteria yang semula ada lima,

setelah diteliti dengan menggunakan pendekatan ‘urf dan kemaslahatan, maka

yang masih relevan dalam masyarakat Indonesia ada dua kriteria, yaitu: Agama,

dan kekayaan. Juga perlu adanya kesetaraan dalam tingkat yang lain demi

terciptanya keluarga yang saki>nah dalam bingkai mawaddah dan rahmah.

Wawan Setiawan dalam penelitian yang berjudul Kafa>’ah Dalam

Perkawinan Menurut Jama’ah Lembaga Dakwah Islam Indonesia Di Desa


Mojolawaran Kecamatan Gabus Kabupaten Pati, Menurut LDII, yang dimaksud

se-kufu’ dalam perkawinan adalah satu aliran dengan mereka, yakni LDII.

Mengenai masalah kafa>’ah ini, para jumhur ulama’ dari mazhab Maliki, Hanafi,

Syafi’i, dan Hambali berbeda pendapat dengan konsep kafa>’ah yang diterapkan

oleh LDII. Mereka sama sekali tidak menyebutkan aliran atau golongan sebagai

syarat kafa>’ah. Dasar hukum yang dipakai oleh Lembaga Dakwah Islam

Indonesia (LDII) adalah al-Quran Surah ar-Rum ayat 21 dan dikuatkan dengan

hadist Bukhari dan Muslim. Walaupun tidak dijelaskan secara langsung, namun

dari dasar itulah para ulama’ LDII dapat menafsirkan bahwa golongan

merupakan syarat kafa>’ah. Akan tetapi, setelah penulis menggali lebih jauh

dengan membandingkan beberapa tafsir lain, seperti tafsir al-Qurtubi, tafsir Al-

Mishbah, tafsir Fi Zhilalil-Quran, tafsir Ibnu Katsir, tafsir al-Qur’anul Majid An-

Nur, Shafwatut Tafasir, dan tafsir al-Imam asy-Syafi’i, tidak ada satu pun yang

menyatakan bahwasanya golongan atau aliran adalah syarat kafa>’ah dalam

perkawinan.

St. Muttia A. Husain dalam karya ilmiah yang berjudul Proses Dalam

Tradisi Perkawinan Masyarakat Bugis Di Desa Pakkasalo Kecamatan Sibulue

Kabupaten Bone pada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas

Hasanuddin Makassar, Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat

beberapa tahapan dalam proses perkawinan Bugis terdiri atas

mepesepes/mappese’-pese’, mdut/madduta, mepeR duai/mappenre’ dui, resepsi

dan msit baies/massita baiseng. Beberapa hal yang dapat menimbulkan siri/siri’

dalam proses perkawinan seperti pelamaran, uang belanja, mahar, pesta, hiburan
dan undangan perkawinan. Terdapat perubahan dalam masyarakat terhadap

pemaknaan siri’ hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti adanya toleransi,

pengetahuan dan pendidikan masyarakat, sistem stratifikasi yang terbuka dan

penduduk yang heterogen.

Dari hasil penyelidikan penulis, terkait dengan penelitian yang dikaji,

belum ada yang meneliti terkait dengan Perbandingan Tentang kafa>’ah dalam

Hukum Islam dan Budaya Bugis Bone. Olehnya itu penelitian ini dianggap

sebagai hal yang baru dan tidak pernah diteliti sebelumnya.

Kajian tentang perkawinan munurut Sayyid Sabiq bahwa sudah menjadi

kodrat alam, bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berlainan,

seorang perempuan dan seorang laki-laki ada daya saling menarik satu sama lain

untuk hidup bersama. Hidup bersama ini berakibat sangat penting di dalam

masyarakat, bahwa dengan hidup bersama antara dua orang atau lebih di dalam

masyarakat maka timbullah segala peraturan yang mengikat.54

Meminjam istilah Bustanul Arifin, perkawinan dalam Islam bukan

sekedar restu, juga bukan sekedar pengakuan atau legislasi hubungan seseorang

pria dengan seseorang wanita (court of law), tetapi merupakan perjanjian suci,

kokoh dan kuat.55

54
Berpasang-pasangan merupakan salah satu sunnatullah atas seluruh ciptaanya, tidak
terkecuali manusia, hewan dan tubuh-tumbuhan. Allah berfirman dalam surah adz-Dza|riya|t yang
terjemahannya “Dengan segala sesutu kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat
(kebesaran Allah). Berpasang-pasangan merupakan pola hidup yang ditetapkan oleh Allah swt.
Bagi umat-Nya sebagai sarana untuk memperbanyak keturunan dan mempertahankan hidup
setelah dia dibekali dan mempersiapkan masing-masing pasangan agar dapayt menjalankan peran
mereka untuk mencapai tujuan tersebut dengan sebaik-baiknya. Sayyid Sabbiq, Fiqhus Sunnah, h.
193
55
Bustanul Arifin, Pelembagaan hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan
dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 98
Pada hakikatnya perkawinan adalah ikatan lahir batin manusia untuk

hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk

keluarga (rumah tangga) yang kekal, bahagia dan sejahtera. 56 Adapun dalam

istilah hukum syariat, nikah adalah akad yang menghalalkan pergaulan sebagai

suami-istri (termasuk hubungan seksual) antara seseorang laki-laki dan seorang

perempuan bukan mahram yang memenuhi berbagai persyaratan tertentu, dan

menetapkan hak dan kewajiban masing-masing demi membangun keluarga

sehat secara lahir dan batin.57

Muhammad Bagir Al-Habsyi menulis Selain itu nikah digunakan juga

dalam arti jima (senggama) kata lain yang biasa digunakan untuk nikah ialah

zawaj yang berarti perkawinan. Pernikahan adakalanya menjadi wajib, atau

sunnah (mustabab, dianjurkan), atau haram, atau makruh (kurang disukai), atau

mubah ( netral, yakni tidak diwajibkan dan tidak pula dilarang).58

Secara umum nikah dan perkawinan mempunyai pengertian yang sama,

sebagaimana dipaparkan oleh Anwar Harjono, bahwa: Perkawinan adalah kata-

kata Indonesia yang umum dipakai dalam pengertian yang sama dengan nikah

56
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 3 dirumuskan bahwa perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah. Rumusan ini berdasarkan
firman Allah dalam QS. Ar-Rum/30/21 sebagai berikut:
          
          
Terjemahannya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. Menurut aya tersebut, keluarga Islam terbentuk dalam
keteropaduan antara ketentraman (sakinah), penuh rasa cinta (mawaddah) dan kasish sayang
(rahmah). Kementerian Agama, Al-Qur’an Tafsir Jalalain Perkata, (Cet. I; Jakarta: PT. Suara
Agung Jakarta, 2013), h. 407
57
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis, (Cet. I, Mizan Media Utama, Bandung), h.
3
58
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih, h. 4
atau zawaj dalam istilah fiqh.59 Dalam hal ini, lebih jauh dikemukakan oleh

Anwar Harjono, bahwa : ” Pengertian para ahli fiqh tentang hal ini, khususnya

para Imam Empat adalah bermacam-macam, tetapi suatu hal mereka sependapat,

bahwa perkawinan, nikah atau zawaj adalah suatu akad atau suatu perjanjian

yang mengandung ke-sah-an hubungan kelamin.

Demikian pula menurut A.A. Fysee, bahwa perkawinan adalah suatu

perjanjian untuk mensahkan hubungan kelamin dan untuk melanjutkan

keturunan. Namun demikian, kata Anwar Harjono memberikan definisi bahwa

perkawinan adalah sesuatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan

seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia. 60

Dalam pandangan Islam, seks bukanlah sesuatu yang kotor atau najis,

tetapi bersih dan harus selalu bersih. Itulah sebabnya, Allah memerintahkan

secara tersirat melalui law of seks, bahkan secara tersurat dalam firman-firman-

Nya, karena seks tersbut sesuatu yang bersih, maka dalam penyaluranya harus

pula dilakukan dalam suasana suci dalam bingkai yang disyari’atkan, akan

mengubah kerisauan-kerisauan sebelumnya menjadi ketenteraman atau

sakinah.61

Sistem perkawinan sangat erat hubungannya dengan filsafat hidup dan

merupakan hal yang sangat dipentingkan dalam Islam. Hal itu terlihat banyak

ayat hukum yang mengatur tentang hidup kekeluargaan.

59
Anwar Harjono, Hukum Islam Keleluasaan dan Keadilanya, Cet. II; Jakarta: Bulan
Bintang, 1987), h. 220
60
Anwar Harjono, Hukum Islam, h. 220-221
61
M. Qurais Shihab, Wawasan Al-Qur’an Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Cet. II; Jakarta: Mizan, 1996), h. 192
Besarnya perhatian Islam terhadap persoalan ini kiranya merupakan hal

yang logis, karena keluarga merupakan unit sosial sekaligus jiwa masyarakat dan

tulang punggungnya. Kesejahteraan yang dinikmati suatu bangsa, atau

sebaliknya kebodohan dan keterbelakangannya, adalah cerminan dari keadaan

keluarga-keluarga yang hidup pada masyarakat dan bangsa tersebut. 62 Itulah

antara lain yang menjadi sebab sehingga Islam memberikan atensi yang sangat

besar terhadap pembinaan keluarga. Demi terpeliharanya kehidupan keluarga

yang harmonis, serasi dan seimbang, sehingga Islam melalui syariatnya

menetapkan sekian banyak petunjuk dan peraturan tentang perkawinan yang

diyakini sebagai gerbang pertama dan utama menuju cita-cita hidup yang

digariskan oleh hukum agama. Hukum-hukum tersebut, disesuaikan dengan

fitrah dan sifat manusia itu sendiri.

Muhammad Abu> Zahrah mendefinisikan kafa>’ah dengan

keseimbangan antara calon suami dan isteri dengan keadaan tertentu, yang

dengan keadaan itu, mereka akan bisa menghindari kesusahan dalam

mengarungi hidup rumah tangga. Dengan ringkas kafa>’ah adalah

keseimbangan antara calon suami dan isteri. Adapun unsur-unsur keseimbangan

tersebut diperdebatkan ulama.63\

Menurut Syarifuddin Latif dalam bukunya Hukum Perkawinan terdapat

perbedaan pendapat terhadap ukuran dan norma yang dapat dipakai untuk

menentukan segi-segimana yang dapat dianggap sebagai kafa>’ah yang harus

dipenuhi. Hanya ada satu segi saja yang mereka sepakati sebagai kafa>’ah yang

62
M. Qurais Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Cet. XII; Bandung: Mizan, 1996), h. 253
63
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan, h. 226
harus dipenuhi dalam perkawinan, ialah segi agama, maka seorang perempuan

yang beragama Islam tidak sah kawin dengan laki-laki yang beragama bukan

Islam.64

Menurut Christian Pelras dalam bukunya Manusia Bugis. Bagi

masyarakat Bugis, perkawinan berarti sial/siala’ saling mengambil satu sama

lain. Jadi, perkawinan adalah ikatan timbal-balik. Walaupun mereka berasal dari

status sosial berbeda, setelah menjadi suami-istri mereka merupakan mitra.

Hanya saja, perkawinan bukan sekadar penyatuan dua mempelai semata, akan

tetapi suatu upacara penyatuan dan persekutuan dua keluarga yang biasanya

telah memiliki hubungan sebelumnya dengan maksud kian mempereratnya

mPsiedep meblea/ma'pasideppe’ mabela-e atau mendekatkan yang sudah jauh. Di

kalangan masyarakat biasa, perkawinan umumnya berlangsung antarkeluarga

dekat atau antarkelompok patronasi yang sama, sehingga mereka sudah saling

memahami sebelumnya. Oleh karena itu, mereka yang berasal dari daerah lain,

cenderung menjalin hubungan yang lebih dekat lagi dengan orang yang telah

mereka kenal maupun melalui jalur perkawinan. Dengan kata lain, perkawinan

adalah cara terbaik membuat orang lain menjadi bukan orang lain (etnia tau

lea/tennia tau laeng). Hal ini juga sering ditempuh dua sahabat atau mitra usaha

yang bersepakat menikahkan turunan mereka, atau menjodohkan anak mereka

sejak kecil.65

Lebih lanjut dikemukakan oleh Christian Pelras bahwa idealnya,

perkawinan dilangsungkan dengan keluarga sendiri. Perkawinan antarsepupu,


64
Syarifuddin Latif, Hukum Perkawinan, h. 55
65
Christian Pelras, Manusia Bugis, (Cet. I; Jakarta: Nalar Bekerjasama Dengan Forum
Jakarta-Paris, EFEO, 2006), h. 178
sepupu paralel (yaitu keduanya melalui sisi ibu atau melalui sisi bapak) ataupun

sepupu silang yaitu satu dari sisi ibu dan satunya lagi dari bapak, dianggap

sebagai perjodohan terbaik. Ada silang pendapat di kalangan masyarakat Bugis

tentang lapisan sepupu keberapa yang boleh dan yang tidak boleh dikawini.

Banyak yang menganggap bahwa perkawinan dengan sepupu satu kali

(perkawinan semacam ini disebut siala marola atau perkawinan yang masih terlalu

panas, sehingga hubungan seperti itu jarang terjadi, kecuali di kalangan

bangsaw.an tertinggi. Darah putih yang mengalir dalam tubuh mereka dan harus

dipelihara membuat mereka melakukan hal itu, sebagaimana halnya tokoh-tokoh

dalam cerita La Galigo66. Sementara masyarakat biasa lebih menyukai

perkawinan dengan sepupu kedua (siala memeng), lalu sepupu ketiga dan

keempat.67

Hal penting lainnya adalah, pasangan yang hendak menikah tidak boleh

berasal dari generasi atau angkatan yang berbeda. Pasangan yang hendak

menikah sebaiknya berasal dari generasi atau “angkatan” yang sama.

Perkawinan antara paman dan kemenakan perempuan, atau bibi dan kemenakan

laki-laki dilarang, dan hubungan badan di antara mereka akan dianggap sebagai

slimr/salimara (hubungan sumbang, inses). Sementara itu, perkawinan dengan

anak dari sepupu keberapa pun sebaiknya dihindari. Naskah silsilah yang ada,

menunjukkan bahwa aturan ini ditegakkan dengan sangat ketat, dan jarang sekali

terjadi pelanggaran. Mengingat seringnya para bangsaw.an, begitu pula anak-

anak mereka, kawin dengan perempuan yang berusia jauh lebih muda dari

66

67
Christian Pelras, Manusia, h. 178
mereka, menyebabkan banyak putra bangsaw.an yang sebaya usianya dengan

kemenakan mereka. Namun, tidak ada paman/bibi yang kawin dengan

kemenakan mereka walaupun usia mereka sebaya.68

Menurut Mattulada dalam bukunya Latoa terdapat semacam

kecenderungan di kalangan orang Bugis untuk melakukan perkawinan dalam

lingkungan keluarga sendiri, baik yang dihitung dari garis keturunan ayah

maupun ibu. Dalam hal mencari jodoh di dalam kalangan sekeluarga (seajing),

terdapat tiga jenis perjodohan yang dianggap ideal, sebagai berikut:

a. Assialang-Marola (perjodohan yang sesuai), yaitu perkawinan antara


sepupu sekali, baik paralel maupun crosscousin;
1) Nenek
2) Orang tua ego
3) Ego, perkawinan sepupu sekali.
b. Assialanna-Memeng (perjodohan yang semestinya), yaitu perkawinan
antara sepupu dua kali, dari kedua belah pihak orang tua.
1) Orang tua dari nenek
2) Nenek
3) Orang tua dari ego
4) Ego, perkawinan sepupu dua kali.
c. ripedepE meblea/Ripaddeppe’Mabelae (mendekatkan yang jauh), yaitu
perkawinan antara sepupu tiga kali, dari kedua belah pihak orang tua.
1) Nenek dari nenek
2) Orang tua nenek
3) Nenek
4) Orang tua ego
5) Ego perkawinan sepupu tiga kali.69

Lebih lanjut menurut Mattulada, perkawinan antara saudara-saudara

sepupu tersebut walaupun dianggap ideal, akan tetapi bukanlah suatu hal yang

diwajibkan, sehingga banyak jejaka dan gadis dapat saja memperoleh

jodohnya dari luar lingkungan pasangan ideal itu. Adapun perkawinan-

68
Christian Pelras, Manusia, h. 178-179
69
Mattulada, Latoa Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis,
(Cet. II; Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995), h. 44
perkawinan yang dilarang karena dianggap Salimara’ (incest), ialah

perkawinan-perkawinan antara (1) anak-ibu/ayah, (2) saudara kandung,

seayah atau seibu, (3) menantu-mertua, (4) paman/bibi-kemenakan, (5)

nenek-cucu.70

Konsep ade’(adat) merupakan tema sentral dalam teks-teks hukum dan

sejarah orang Bugis. Namun, istilah ade' itu hanyalah pengganti istilah-istilah

lama yang terdapat di dalam teks-teks dari zaman pra-Islam, kontrak-kontrak

sosial, serta perjanjian yang berasal dari zaman itu. Masyarakat tradisional

Bugis mengacu kepada konsep pang’ade’reng atau ‘adat-istiadat’, berupa

serangkaian norma yang berkaitan satu sama lain. Selain konsep ade’ secara

umum yang terdapat di dalam konsep pang’ade’reng, terdapat pula bicara

(norma hukum), rapang (norma keteladanan dalam kehidupan

bermasyarakat), wari’ (norma yang mengatur stratifikasi masyarakat), dan

sara’(syariat Islam).71

Sejalan dengan diterimanya syariat Islam (sara) sebagai bagian

integral dari adat-istiadat Bugis, dibentuk pula perangkat pejabat sara’

(parewa sara) yang menangani tugas-tugas keagamaan secara resmi. Mereka

memiliki kedudukan (tetapi bukan kekuasaan) yang paralel dengan perangkat

pemerintaha (par’ewa ade) suatu wanua atau kerajaan. Kali (kāḍi dalam bahasa

Arab) adalah pejabat resmi keagamaan tertinggi wanua/kerajaan sekaligus

penasehat penguasa dalam persoalan keagamaan.

70
Mattulada, Latoa, h. 44-45
71
Christian Pelras, Manusia Bugis, h. 212
Kafa>’ah dalam budaya Bugis lahir dan timbul mengikuti stratifikasi

sosial basyarakat bugis yang meliputi prinsip-prinsip hirarki berdasarkan

keturunan dan status masyarkat dalam masyarakat Bugis itu sendiri.

Prinsip Hirarki tradisional bugis cukup sederhana. Berdasarkan La

Galigo dan mitos tentang nenek moyang mereka, awalnya hanya ada dua

jenis manusia; mereka yang berdarah putih yang keturunan dewata, serta

mereka yang berdarah merah yang tergolong orang biasa, rakyat jelata, atau

budak. Dalam naskah tersebut, pembagian kedua kategori bersifat mutlak dan

tidak boleh saling dicampurkan. Dalam praktiknya, sepanjang sejarah,

perkawinan di antara kedua lapisan itu tidak hanya dibolehkan akan tetapi

sering juga terjadi, sehinga mengankat status kalangan lapisan menengah

yang beraa di antara bangsawaan tertinggi dengan budak terendah. Menurut

naskah La Galigo, dewata leluhur kaum bangsawan turunya ke bumi

menjelma menjadi manusia semata karena “ada Tuhan jika tidak ada manusia

untuk menyembahnya”. btr guru/Batara Guru harus menjalani sejumlah ritual

desakralisasi, termasuk upacara mandi guna mengubah aroma dewata

menjadi bau tubuh manusia. Namun, dalam tubuhnya dan tubuh to-manurung

berikutnya, begitu pula turunan mereka yang berdarah murni, tetap saja

mengalir darah putih. Sebelum perkawinan antarkeluarga bangsawan La

Galigo dilangsungkan, salah satu jari mempelai ditusuk untuk membuktikan

bahwa darah yang menetes benar-benar putih.72

Sejak dahulu kala, satu-satunya aturan paling ketat dalam soal

perkawinan adalah laki-laki bisa kawin dengan perempuan mana pun yang
72
Christian Pelras, Manusia Bugis, h. 192-193
memiliki status setara ataupun lebih rendah dari dirinya, namun tidak boleh

menikah dengan perempuan berstatus lebih tinggi. Dalam sistem kekerabatan

bilateral, pertanyaan kemudian timbul: jika lelaki maddara takku (berdarah

putih) kawin dengan perempuan berdarah merah, lalu bagaimana status

keturunan mereka kelak? Adat-istiadat Bugis menjawabnya dengan

membangun sistem status berdasarkan percampuran darah, yang dianalogikan

seperti percampuran logam mulia dengan logam biasa. Apa yang akan

dipaparkan berikut ini merupakan suatu hal yang sudah umum disepakati oleh

para ahli silsilah.

Status tertinggi disebut ana’ ma’tola, yakni anak (ana) yang berhak

mewarisi (ma’tola) tahta orang tuanya sebagai penguasa tertinggi kerajaan.

Tingkatan itu terbagi lagi menjadi dua sub-bagian, yakni ana’ sengngeng dan

ana’rajéng. Lapisan kedua terpecah pula menjadi dua gelar. Status derajat

seorang anak, hasil perkawinan lelaki berderajat tinggi seperti di atas dengan

perempuan berstatus lebih rendah, akan berada di lapisan tengah di antara

status kedua orang tuanya. Jadi, jika ana’ ma’tola dari salah satu sub-status

kawin dengan perempuan biasa, anaknya akan menjadi ana’ céra’siseng

(anak berdarah lapisan pertama). Pernikahan céra’siseng dengan perempuan

biasa melahirkan cera’dua (berdarah lapisan kedua); percampuran keturunan

mereka dengan perempuan biasa menjadi céra’ tellu (cera’ lapisan ketiga).

Ketiga lapisan ana' céra' mengisi, posisi bangsawan menengah. Selanjutnya

perkawinan dari keturunan bangsawan lapisan ketiga ini dengan perempuan

biasa akan membuahkan bangsawan terendah: ampo cinaga, anakarung


ma’dara-dara, dan anang. Di bawah mereka terdapat orang biasa (tau sm/tau

sama) atau orang bebas (tau maradéka), bahkan di kalangan mereka

sekalipun pun masih dibedakan antara yang leluhurnya masih terhitung

bangsawan, betapa rendahpun lapisan dan betapa jauh pun pertautannya (tau

tau tongeng karaja) dan yang benar-benar turunan orang biasa (tau maradéka

ma’tanété lampé).73

Gambaran sistem hirarki di atas hanya diketahui sepenuhnya oleh

mereka yang ahli tentang itu. Orang awam hanya mengetahui sebagian dari

struktur hirarki yang ada. Untuk menuntukan status seseorang dengan pasti,

semua leluhurnya seharusnya dilacak hingga ke to-manurung, dua puluh

hingga dua puluh lima generasi kebelakang. Dalam sistem kekerabatan

bilateral hal itu praktis mustahil dilakukan, karena leluhur tiap generasi

berjumlah ganda. Bangsawa kelas atas, yang paling mengagungkan status,

hanya mementingkan cera’ tellu keatas. Di sisi lain, bangsawan rendah dan

anggota masyarakat kebanyakan menggunakan sistem klasifikasi berdasarkan

73
Pola piramid dalam sistem seperti itu mengingatkan kepada pola piramid dalam sistem
kekerabatan; tingkatan sepupu diperhitungkan berdasarkan dekat tidaknya pertautan mereka
dengan seorang nenek moyang yang sama dan kepada pola relasi antara kerajaan atasan dan
bawahan (yang akan dibahas berikutnya). Jelas pula bahwa sistem hubungan kekerabatan dua sisi
tersebut ikut menentukan status hirarki kebangsawanan seseorang. Bangsawan yang beristri
beberapa perempuan berstatus yang berbeda-beda akan memperoleh anak-anak yang berbeda-
beda pula statusnya. Sementara itu, selain memiliki istri dari lapisan bangsawan sederajat, yang
keturunannya kelak dapat menggantikan posisinya para penguasa Bugis pun sering mengawini
perempuan lebih rendah guna memperoleh keuntungan ganda. Keturunan dari perempuan lebih
rendah tersebut kelak bisa mengisi jabatan senior kerajaan meskipun tidak akan sampai jadi ahli
waris tahta. Selain itu, bangsawan tersebut juga akan memperoleh dukungan dari mertuanya,
entah dia orang biasa yang memiliki pengaruh atau bangsawan lapisan bawah. Sebaliknya, pihak
mertua tertarik menikahkan anak perempuanya dengan penguasa karena adanya peluang bagi
turunan mereka untuk mendaki Strata sosial yang lebih tingi. Namun, kecenderungan antara
tingkat ini perlahan-lahan menyusutkan jumlah bangsawan tinggi, sehingga bahkan jabatan arung
di beberapa tempat terpaksa diisi oleh bangsawan berderajat relatif rendah kemudian
memanfaatkan posisi yang mereka duduki itu untuk mengaku sebagai bangsawanan yang lebih
tinggi dari status mereka sebenarnya. Christian Pelras, Manusia Bugis, h. 193-194
gelar yang jauh lebih sederhana. Di tingkat kampung, semua orang

berpengaruh, baik bangsawan renda, orang biasa yang punya sedikit pertalian

darah bangsawan, maupun orang biasa yang memiliki kekayaan, pengaruh,

atau pengetahuan disebut tau deceng (orang baik-baik). Sejak 1920

digunakan gelar baru di klangan bangsawan Bugis atau Makassar untuk

lapisan di atas cera tellu, yakni gelar Andi’ dan Andi’ Bau’ (hanya bangsawan

berderajat paling tinggi saja yang digelari Andi’ Bau’ bahkan sebagian dari

mereka harus puas dengan gelar Andi saja). Adapun lapisan di bawahnya

menggunakan nama bangsawan mereka dengan didahului sebutan Daeng.

Jadi, masyarakat biasa hanya membedakan antara Andi dan Daeng dengan

mengabaikan hirarki status kebangsawan mereka. Selain itu, belakangan

sering terjadi semacam inflasi gelar karena banyaknya orang menyematkan

gelar Andi’ Dan Daeng yang menurut peraturan adat tidak pantas mereka

sandang.74

Disaat masuknya Islam di tanah Bugis sampai sekarang, bangsawan

yang masih mempercayai dirinya sebagai turunan dewa akan mengakui

bahwa perkawinan antar golongan telah menyebabkan darah putih dalam

tubuh bangsawan tertinggi sekalipun tidak murni lagi. Bahkan sekarang,

Emigrasi juga bisa menjadi jalan meningkatkan status bangsawan status.

Bangsawan rendah, yang memimpin sekelompok kecil pengikutnya pindah ke

wilayah lain dimana tidak akan terjadi pemeriksaan silang leluhur kadang-

kadang cenderung mengaku memiliki silsilah lebih tinggi dari sebenarnya.

Para pengikutnya puyn akan mendukung sikap mereka itu, karena hal tersebut
74
Christian Pelras, Manusia Bugis, h. 195
akan mengankat derajat semua anggota kelompok. Keberhasilan di bidang

ekonomi, juga bisa mendorongkrak derajat seseorang. Orang yang memiliki

kekayaan melimpah, menguasai tanah luas, punya rumah besar dan indah,

dengan mudah akan dianggap berdarah bangsawan hanya barangkali

terlupakan.

E. Kerangka Teortis

Bertitik tolak dari teori-teori yang disebutkan di atas, maka kerangka

pikir yang dibangun dalam kajian tulisan ini, dapat dikemukakan dalam skema

berikut:

Bagan Kerangka Teoritis

Kafaā’ah Dalam Perkawinan


Islam dalam Budaya Bugis di
Kab. Bone
Kedudukan Kafā’ah Dalam
Kafā’ah Dalam Prosesi Perkawinan di
Perkawinan Islam Masyarakat Bugis
Kafā’ah menurut Pandangan
Imam Mazhab (Hukum Islam)
dan UU di Indonesia

Berdasarkan kerangka teoritis tersebut di atas dapat digambarkan bahwa

posisi Kafā’ah dapat dijumpai dalam hukum perkawinan dalam Islam dan adat

perkawinan dalam budaya Bugis sehingga perlu penelitian yang mendalam

antara persamaan dan perbedaan/perbandingan kafā’ah dalam budaya bugis dan

hukum Islam. Sehingga nantinya dapat ditarik simpulan perbandingan tentang

Kafā’ah dalam Hukum Islam dan Budaya Bugis Bone.

F. Metode Penelitian
Metodologi adalah cara meluluskan sesuatu dengan menggunakan

pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan.75 Sedangkan penelitian

adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan, dan menganalisis

sampai laporan.76

Dengan demikian metodologi penelitian sebagai cara yang dipakai untuk

mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sampai menyusun laporan

guna mencapai suatu tujuan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode

sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian sebagai sistem ilmu pengetahuan, memainkan peran penting

dalam bangunan ilmu pengetahuan itu sendiri. Maksudnya, penelitian

menempatkan posisi yang paling urgen dalam ilmu pengetahuan untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan dan melindunginya dari kepunahan.

Penelitian memiliki kemampuan untuk meng-upgrade ilmu pengetahuan sehing-

ga ilmu pengetahuan menjadi lebih up-to-date, canggih, aplicated, serta setiap

saat aksiologis bagi masyarakat.

Oleh karena itu, penelitian Perbandingan Tentang Kafā’ah dalam

Hukum Islam dan Budaya Bugis Bone menggunakan jenis penelitian kualitatif,

penelitian kualitatif merupakan penelitian yang temuannya diperoleh

berdasarkan paradigma, strategi, dan implementasi model secara kualitatif.

75
Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi, Metodologi Penelitian (Cet: II; Jakarta: Bumi Aksara
Pustaka, 1997), h. 1
76
Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi, Metodologi Penelitian, h. 1
Perspektif, strategi, dan model yang dikembangkan sangat beragam.

Sebab itu tidak mengherankan jika terdapat anggapan bahwa, Qualitative

research is many thing to many people. Meskipun demikian, berbagai bentuk

penelitian yang diorientasikan pada metodologi kualitatif memiliki beberapa

kesamaan. Dinyatakan demikian karena secara umum dalam penelitian kualitatif

data disikapi sebagai data verbal atau sebagai sesuatu yang dapat

ditransposisikan sebagai data verbal, diorientasikan pada pemahaman makna

baik itu merujuk pada ciri, hubungan sistemis, konsepsi, nilai, kaidah, dan

abstraksi formulasi pemahaman atau salah satunya, ftiengutamakan hubungan

secara langsung antara peneliti dengan dunia yang diteliti, dan mengutamakan

peran peneliti sebagai instrumen kunci.77

Tujuan dalam penelitian kualitatif idealnya diarahkan oleh paradigma

yang digunakan. Orientasi paradigma sebagaimana tercermin dalam asumsi,

konsepsi teoritik, dan konsepsi metodologis tersebut secara umum dapat

dibedakan menjadi tiga kelompok, yakni paradigma, pospositivis, konstruktivis,

dan posmodemis. Dalam praktiknya, idealisasi demikian tidak senantiasa

terimplementasikan karena penelitian kualitatif itu sendiri selain bersifat

fleksibel juga menekankan pada penggunaan multi-persepectives dan multi-

methods.78

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Pendekatan Teologis Normatif


77
Muhammad Tholchah Hasan, Metode Penelitian Kualaitatif Tinjauan Teoritis dan
Praktis, (Cet. III; Surabaya: Visipress Media, 2009), h. 52
78
Muhammad Tholchah Hasan, Metode Penelitian, h. 52-53
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah

dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan

kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud

empirik dari satu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar

dibandingkan dengan yang lainnya. Dapat diketahui bahwa pendekatan

teologi dalam memahami keagamaan adalah pendekatan yang menekankan

pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing

bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya

sebagai yang paling benar sedangkan yang lainya sebagai salah.79

Pendekatan teologis ini selanjutnya erat kaitannya dengan

pendekatan normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari

segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum

terdapat penalaran manusia. Dalam pendekatan teologis ini agama dilihat

sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun

dan tampak bersikap ideal. Untuk bidang sosial, agama tampil menawarkan

nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, kesetiakawanan, tolong menolong,

tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya.80

Pendekatan teologis ini selanjutnya erat kaitannya dengan

pendekatan normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari

segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum

terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis ini agama

dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan
79
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Cet. XIX; Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
2012), h. 28-29
80
Abuddin Nata, Metodologi, h. 34-35
sedikit pun dan tampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama tampil sangat

prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Oleh karena itu, pendekatan

penelitian ini digunakan untuk mengkaji permasalahan Perbandingan

Tentang Kafā’ah dalam Hukum Islam dan Budaya Bugis Bone karena

permasalahan ini tedapat unsur ketuhanan yaitu hukum Islam.

b. Pendekatan Antropologis

Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan

sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud

praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Dawam Rahardjo, lebih

mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Di sini

timbul simpulan-simpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi

pendekatan induktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologis.

Melalui pendekatan antropologis juga dapat melihat hubungan antara agama

dan negara (state an relegion). 81 Pendekatan antropologis diperlukan dalam

penelitian ini karena penelitian ini berfokos pada budaya yaitu Perbandingan

Tentang Kafā’ah dalam Hukum Islam dan Budaya Bugis Bone. Dengan

demikian, pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran

agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi

yang dapat dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi dengan cabang-

cabangnya.
81
Abuddin Nata, Metodologi, h. 35
c. Pendekatan Sosiologis

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam

masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai

hidupnya itu. sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang

keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala

sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini suatu fenomena sosial

dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan,

mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses

tersebut. Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu

pendekatan dalam memahami agama. Hal ini demikian dapat dimengerti

karena banyak kajian agama yang baru dapat dipahami apabila menggunakan

jasa bantuan dari ilmu sosiologi.82

3. Metode Pengumpulan Data

a. Teknik Pengumpulan Data

Adapun prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini adalah

ditempuh dengan dua cara atau teknik sebagai berikut: Penelitian Lapangan,

yaitu suatu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan jalan langsung

ke lapangan atau lokasi penelitian untuk mencatat hal-hal yang diperlukan

dalam pembahasan peneltian ini. Adapun teknik atau cara yang digunakan

adalah:

1) Metode Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh

keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap
82
Abuddin Nata, Metodologi, h. 38-39
muka antara pewawancara dan informan atau orang yang diwawancarai,

dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, di mana

pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif

lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah

keterlibatannya dalam kehidupan informan. Pewawancara adalah orang

yang menggunakan metode wawancara sekaligus dia bertindak sebagai

pemimpin dalam proses wawancara tersebut. Dia juga berhak menentukan

materi yang akan diwawancarai serta kapan dimulai dan diakhiri. Namun,

kadang kala informan pun dapat menentukan perannya dalam hal

kesepakatan mengenai kapan waktu wawancara mulai dilaksanakan dan

diakhiri. Informan adalah orang yang diwawancarai, diminta informasi oleh

pewawancara.83

Informan adalah orang yang diperkirakan menguasai dan memahami

data, informasi, ataupun fakta dari suatu objek penelitian. Materi wawancara

adalah tema yang ditanyakan kepada informan, berkisar antara masalah atau

tujuan penelitian. Materi wawancara yang baik terdiri dari: pembukaan, isi,

dan penutup. Pembukaan wawancara adalah kata-kata tegur sapa, seperti

nama ibu siapa, alamatnya di mana, berapa anaknya, umurnya berapa, dan

sebagainya. Isi wawancara sudah jelas, yaitu pokok pembahasan yang

menjadi masalah atau tujuan penelitian. Sedangkan penutup adalah bagian

akhir dari suatu wawancara. Bagian ini dihiasi dengan kalimat-kalimat

penutup pembicaraan, antara lain: "Saya kira cukup sampai di sini

83
H.M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif (Komunikasi, Kebijakan Publik, dan Ilmu
Sosial Lainnya),Edisi II, (Cet. V; Jakarta: Kencana Prenada Group, 2011 ), h.111
wawancara kita, terima kasih atas bantuan Bapak, Bapak sudah banyak

memberikan bantuan kepada saya,” dan sebagainya. Bagian penutup

wawancara ini biasanya diisi dengan janji-janji untuk bertemu wawancara

pada waktu-waktu yang lainnya.84

Metode wawancara mendalam (in-depth interview) adalah sama

seperti metode wawancara lainnya, hanya peran pewawancara, tujuan

wawancara, peran informan, dan cara melakukan wawancara yang berbeda

dengan wawancara pada umumnya. Sesuatu yang amat berbeda dengan

metode wawancara lainnya adalah bahwa wawancara mendalam dilakukan

berkali- kali dan membutuhkan waktu yang lama bersama informan di

lokasi penelitian, hal mana kondisi ini tidak pernah terjadi pada wawancara

pada umumnya. Metode ini diperlukan karena penelitian tentang budaya

harus diteliti secara mendalam karena obyek penelitian yang rumit dan

bercariatif.

2) Metode Wawancara Bertahap

Bentuk wawancara yang kedua ini sedikit lebih formal dan

sistematik bila dibandingkan dengan wawancara mendalam, tetapi masih

jauh tidak formal dan tidak sistematik bila dibandingkan dengan wawancara

sistematik. Wawancara terarah dilaksanakan secara bebas dan juga

mendalam (in-depth), tetapi kebebasan ini tetap tidak terlepas dari pokok

permasalahan yang akan ditanyakan kepada responden dan telah

dipersiapkan sebelumnya oleh pewawancara. Karakter utama dari

wawancara ini adalah dilakukan secara bertahap dan pewawancara tidak


84
H.M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, h. 111
harus terlibat dalam kehidupan sosial informan. Kehadiran pewawancara

sebagai peneliti yang sedang mempelajari objek penelitian yang dapat

dilakukan secara tersembunyi atau terbuka. Sistem “datang dan pergi”

dalam wawancara ini mempunyai keandalan dalam mengembangkan objek-

objek baru dalam wawancara berikutnya karena pewawancara memperoleh

waktu yang panjang di luar informan untuk menganalisis hasil wawancara

yang telah dilakukan serta dapat mengoreksinya bersama tim yang lain.85

Ada juga beberapa ahli menamakan wawancara ini dengan

wawancara bebas terpimpin. Nama tersebut mungkin diambil dari sifat

wawancara ini yang bebas namun tetap terikat dengan pokok-pokok

wawancara. Namun yang jelas, metode wawancara terarah ini lebih mudah

dilakukan oleh pewawancara berpengalaman daripada digunakan oleh

pewawancara Pemula, karena wawancara ini membutuhkan skil yang

terampil bila dibandingkan dengan penggunaan wawancara sistematik .86

3) Metode Observasi Langsung,

Observasi langsung adalah cara pengumpulan data dengan cara

melakukan pencatatan secara cermat dan sistematik. Observasi harus

dilakukan secara teliti dan sistematis untuk mendapatkan hasil yang bisa

diandalkan, dan peneliti harus mempunyai latar belakang atau pengetahuan

yang lebih luas tentang objek penelitian mempunyai dasar teori dan sikap

objektif.87

85
H.M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, h. 113
86
H.M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, h. 113
87
Soeratno, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta : UUP AMP YKPN, 1995), h. 99
Observasi langsung yang dilakukan oleh peneliti bisa direalisasikan

dengan cara mencatat berupa informasi yang berhubungan dengan Kafā’ah

dalam Hukum Islam dan Budaya Bugis Bone. Juga mengamati konsep

Kafā’ah dalam Budaya Bugis. Dengan observasi secara langsung, peneliti

dapat memahami konteks data dalam berbagai situasi, maksudnya dapat

memperoleh pandangan secara menyeluruh. Untuk itu peneliti dapat

melakukan pengamatan secara langsung dalam mendapatkan bukti yang

terkait dengan objek penelitian.

4) Dokumentasi,

Dokumentasi yaitu penulis mengumpulkan data dengan cara melihat

dokumen secara tertulis yang ada kaitannya dengan objek yang diteliti.

Metode dokumenter adalah salah satu metode pengumpulan data

yang digunakan dalam metodologi penelitian sosial. Pada intinya metode

dokumenter adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data historis.

Dengan demikian, pada penelitian sejarah, maka bahan dokumenter

memegang peranan yang amat penting. Walau metode ini terbanyak

digunakan pada penelitian ilmu sejarah, namun kemudian ilmu-ilmu sosial

lain secara serius menggunakan metode dokumenter sebagai metode peng-

umpul data. Oleh karena sebenarnya sejumlah besar fakta dan data sosial

tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi.88

b. Sumber Data, Informan dan Subjek Penelitian

1) Sumber Data

88
H.M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, h. 124
Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah suku Bugis

yang mendiami wilayah Kabupaten Bone. Kabupaten Bone adalah salah

satu Kabupaten yang terdapat di dalam wilayah provinsi Sulawesi

Selatan yang terletak di pesisir timur Sulawesi Selatan yang berjarak

sekitar 174 km dari kota Makassar. Adapun jenis-jenis dengan sumber

data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua macam,

yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder Sumber data primer

dalam penelitian ini merupakan data yang diperoleh dari informan yaitu

orang yang berpengaruh dalam proses perolehan data atau bisa disebut

key member yang memegang kunci sumber data penelitian ini, karena

informan benar-benar tahu dan terlibat dalam kegiatan yang ada di

Kecamatan Tanete Riattang, Kecamatan Tanete Riattang Timur,

Kecamatan Tanete Riattang Barat, Kecamatan Cina dan Kecamatan

Barebbo.

2) Informan

Jenis sumber data ini dalam penelitian pada umumnya dikenal

sebagai responden, istilah tersebut sangat akrab digunakan dalam

penelitian kualitatif, dengan pengertian bahwa peneliti memiliki posisi

yang lebih penting. Responden posisinya sekedar memberikan respon

atau tanggapan sesuai yang diminta atau ditemukan oleh penelitinya.

Dalam penelitian kualitatif posisi narasumber sangat penting,

sebagai individu yang memiliki informasi. Peneliti dan narasumber

memiliki posisi yang sama, dan narasumber bukan sekedar memberikan


tanggapan pada yang diminta peneliti, melainkan bisa lebih memilih

arah dalam menyajikan informasi yang ia miliki. Karena posisi ini

sumber data yang berupa manusia di dalam penelitian kualitatif lebih

tepat disebut sebagai informan dari pada sebagai narasumber. Cara

informasi yang terbuka dan mengikuti selera informan ini menuntut

kemampuan khusus bagi para peneliti di dalam pengumpulan data untuk

bisa secara lentur dan juga kriris bagi kepentingan penelitinnya.89

Adapun informan dalam penelitian ini adalah tokon

masyarakat dalam hal ini pemerhati budaya yang ada di Kabupaten

Bone.

3) Subjek Penelitian

Dalam suatu penelitian lapangan (field research) kerap kali

peneliti tidak menyelidiki seluruh individu atau seluruh objek yang ada

karena beberapa alasan misalnya keterbatasan waktu, biaya, dan tenaga.

Adapun subjek penelitian dalam penelitian ini adalah yang betul-betul

dianggap representatif atau mewakili informan penelitian. Dalam

penelitian ini yang di adakan di Kabupaten Bone, dalam hal ini penulis

mengambil informan yang dapat mewakili betul populasi yang ada yaitu

budayawan yang ada di Kabupaten Bone.

4. Metode Analisis Data

Analisis data atau pengolah data adalah bentuk analisis yang lebih rinci

dan mendalam juga membahas suatu tema atau pokok permasalahan. Dalam

analisis ini, fokus penelitian maupun pembahasan kendati diarahkan pada bidang
89
Muhammad Tholchah, Metode Penelitian, h. 120-121
atau aspek tertentu, namun pendeskrepsikan fenomena yang menjadi tema sentral

dari permasalahan penelitian diungkapkan secara rinci. Adapun metode analisi

data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teorisasi deduktif dan teorisasi

induktif:

a. Teorisasi Deduktif

Teorisasi dengan model deduktif tak asing lagi dalam penelitian sosial, di

mana teorisasi dilakukan secara deduktif. Model umum teorisasi deduktif seperti

yang umumnya dilakukan di berbagai penelitian kuantitatif dan masih

memengaruhi format kualitatif deskriptif merupakan teorisasi yang paling sering

digunakan karena format kualitatif deskriptif paling banyak digunakan dalam

penelitian kualitatif. Teorisasi deduktif umumnya diakhiri dengan bahasan-

bahasan tentang teori tersebut diterima, mendukung dan memperkuat,

meragukan dan mengkritik, dan merevisi atau bahkan membantah dan menolak.

(1) Menerima teori artinya bahwa hasil-hasil penelitian ternyata mendukung

teori tersebut sehingga hasil penelitian dapat memperkuat teori yang ada, dengan

demikian teori semakin kokoh untuk dibantahkan. (2) Meragukan dimaksud

adalah bahwa teori dalam posisi dapat dikritik karena telah mengalami

perubahan-perubahan disebabkan karena waktu yang berbeda, lingkungan yang

berbeda, atau fenomena yang telah berubah, untuk itu perlu dikritik dan merevisi

teori tersebut. (3) Sedangkan membantah teori dimaksud bahwa berdasarkan

hasil penelitian, maka semua aspek teori tidak dapat dipertahankan karena waktu

yang berbeda, lingkungan yang berbeda, dan fenomena yang sudah jauh berbeda,
dengan demikian teori tidak dapat dipertahankan atau direvisi lagi, karena itu

teori harus ditolak kebenarannya dengan membangun teori baru.90

b. Teorisasi Induktif

Melakukan teorisasi dengan model induktif selain berbeda juga bertolak

belakang dari teorisasi dengan model induksi deduktif. Perbedaan utamanya

adalah cara pandang terhadap teori, di mana teorisasi deduktif menggunakan

teori sebagai pijakan awal melakukan teorisasi, sedangkan teorisasi induktif

menggunakan data sebagai pijakan awal melakukan penelitian, bahkan dalam

format induktif tidak mengenal teorisasi sama sekali, artinya teori dan teorisasi

bukan hal yang penting untuk dilakukan. Sebaliknya data adalah segala-galanya

untuk memulai sebuah penelitian. Keunggulan model induktif ini bahwa

penelitian dilakukan pada tingkat paling mendasar (grounded) sehingga sering

kali peneliti memulai dari titik nol sebuah penelitian, yaitu pada titik di mana

suatu fenomena itu belum terungkapkan dalam berbagai teori dan fenomena

sosial yang terbaca. Karena itu, model ini di samping memiliki ketiga

kemampuan seperti yang dijelaskan pada model deduktif, yaitu (1) Menerima

teori karena mendukung teori, (2) Meragukan teori kemudian mengkritiknya, (3)

Membantah teori kemudian menolaknya, namun juga (4) Membangun sebuah

teori baru yang sebelumnya belum pernah ada.91

90
H.M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, h. 26-27
91
H.M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, h. 27-28
Kemampuan yang ke-4 itulah kelebihan model induktif di mana

penelitian dilakukan terhadap masalah yang masih sangat baru bahwa prematur

dan bersifat eksplorasi, maka dengan penelitian inilah kemudian sebuah teori inti

dibangun berdasarkan pada tindakan eksplorasi yang dilakukan oleh peneliti.

G. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Adapun tujuan dan kegunaan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Tujuan peneltian

a. Untuk mengetahui konsep kafa>’ah dalam hukum perkawinan Islam.

b. Untuk mengetahui konsep kafa>’ah dalam adat Bugis

c. Untuk mengetahui perbandingan antara konsep kafa>’ah dalam budaya

Bugis dengan perkawinan dalam Islam.

2. Kegunaan penelitian

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahun

dalam pelaksanaan proses perkawinan dalam budaya bugis yang Islami.

b. Dalam penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dan kegunaan yang

sebesar-besarnya bagi kalangan akademik dan masyarakat luas, paling

tidak sebagai informasi dan tambahan referensi dalam upaya peningkatan

kualitas keimanan dalam Islam dan peningkatan kesadaran berbudaya.

c. Hasil penelitian diharapkan dapat membantu dan member masukan serta

tambahan pengetahuan bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah

yang diteliti.
H. Daftar Pustaka

Ahmad, Abu al-Husain bin Faris bin Zakariyah, Mu’jam Maqayis al-Lugah,Juz III
Cet.II;Mesir : Maktab al-Babiy al-Halabi wa Awaladuh,1971

Al-Habsyi, Muhammad Bagir, Fiqih Praktis, Cet. I ;Bandung: Mizan Media Utama,
2002

Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia. Ed. 15, Cet. 15: Jakarta : Rajawali Pers. 2009

Al-Khatib, Muhammad al-Sharbini, Mughni Juz III, Mesir; Mustafa al-Babby al-
Halabi wa Awladuh,1995

Al-Mansur, Jamal Ad-Din Muhammad ibn Muharor al-Ansori, Lisan al-Arab, Mesir:


Dar al-Misriyah, tt.

Al-Shabbaqh, Mahmud al-Shabbaqh, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam,


alih bahasa Bahruddin Fannani, Cet. III; Mesir: Dar al-I’tisham, 2004

An-Naisaburi, Abu Husain al Qusyairi, Shahih Muslim Juz 1, Beirut: Dar Ihya Turats
al Arabiy, TT

Arifin, Bustanul, Pelembagaan hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan


dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996

Bungin, H.M. Burhan, Penelitian Kualitatif (Komunikasi, Kebijakan Publik, dan


Ilmu Sosial Lainnya),Edisi II, Cet. V; Jakarta: Kencana Prenada Group,
2011

Departemen Agama R.I. Proyek Peningkatan Peranan Wanita, Modul: Keluarga


Bahagia Sejahtera. Jakarta: Kementerian Agama RI Proyek Peningkatan
Peranan Wanita, 1997
__________________., Mushaf Al-Qur’an Terjemah, Jakarta: Al-Huda Kelompok
Gema Insani, 2002

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Biografi Pahlawan La Pawawoi Karaeng


Segeri, Ujung Pandang, 1993

_______________, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi II, Cet. I; Jakarta: Balai
Pustaka, 2001
Harjono, Anwar, Hukum Islam Keleluasaan dan Keadilanya, Cet. II; Jakarta: Bulan
Bintang, 1987

Hasan, Muhammad Tholchah, Metode Penelitian Kualaitatif Tinjauan Teoritis dan


Praktis, (Cet.III; Surabaya: Visipress Media, 2009

Kementerian Agama, Al-Qur’an Tafsir Jalalain Perkata, Cet. I; Jakarta: PT. Suara
Agung Jakarta, 2013

Lamallongeng, Asmad Riady, Dinamika Perkawinan dalam Masyarakat Bugis Bone,


Cet, I Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kab. Bone, 2007

Latif, Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia (Buku I), Cet.I; Ujung Pandang :
CV. Berkah Utami, 2010

Ma’luf, Lois, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam,  Mesir: Dar Al-Masyriq, 1986

Mattulada, Latoa Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis,
Cet. II; Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995

MS, Abd. Kadir Ahmad, Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat,
Cet. I; Makassar: INDOBIS, 2006

Narbuko, Cholid dan Abu Ahmadi, Metodologi Penelitian, Cet: II; Jakarta: Bumi
Aksara Pustaka, 1997

Nasution, Khoiruddin, Hukum Perkawinan I, Dilengkapi Perbandingan UU Negara


Muslim Kontemporer, Cet. I; Yogyakarta: Akademia dan Tazaffa, 2005

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Cet. XIX; Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada, 2012

Pelras, Christian, Manusia Bugis, Cet. I; Jakarta: Nalar Bekerjasama Dengan Forum
Jakarta-Paris, EFEO, 2006

Republik Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1/1974, PP No. 9 Th


1975, PP No. 10 Th 1983, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986
Sabiq, Sayyid, Al-Fiqh Al-Sunnah, Jilid. II, Cet. VIII; Beirut: Dar al- Kutub al-
Araby, 407 H, 1987 M,

Shihab, M. Qurais, Membumikan Al-Qur’an, Cet. XII; Bandung: Mizan, 1996


_____________, Wawasan Al-Qur’an Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat,
Cet. II; Jakarta: Mizan, 1996

Soeratno, Metodologi Penelitian, Yogyakarta : UUP AMP YKPN, 1995

Supriyadi, Dedi, Fiqh Munakahat Perbandingan dari Tektualitas Sampai Legislasi,


Cet. I; Bandung: CV. Pusta ka Setia, 2011

Suryadilaga, M. Al-Fatih, Memilih Jodoh, dalam Marhumah dan Al-Fa>tih


Suryadilaga (ed), Membina Keluarga Mawaddah Warahmah dalam Bingkai
Sunnah Nabi, Yogyakarta: PSW IAIN dan f.f., 2003
OUTLINE

BAB I : Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Pembahasan
D. Tinjauan Pustaka
E. Kerangka Teoritis
F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
G. Garis-Garis Besar Isi Tesis

BAB II : Kajian Pustaka


A. Kajian Tentang Perkawinan Dalam Islam
B. Kafa’ah dalam Perkawinan
C. Perkawinan Dalam Budaya Bugis Bone
D. Sistem Kekerabatan Dalam Budaya Bugis

BAB III : Metodologi Penelitian


A. Populasi dan Sampel
B. Instrumen Penelitian
C. Prosedur Pengumpulan Data
D. Teknik Analisis Data

BAB IV : Hasil Penelitian


A. Kondisi Obyektif Lokasi Penelitian
B. Konsep Kafa>’ah dalam hukum Islam
C. Konsep kafa>’ah dalam budaya Bugis
D. Analisis perbandingan antara konsep Kafa>’ah dalam budaya
Bugis dengan Kafa>’ah dalam hukum Islam

BAB V : Penutup
A. Simpulan
B. Implikasi Penelitian

Kepustakaan
Lampiran-Lampiran
Daftar Riwayat Hidup
A. JUDUL : AKTUALISASI HUKUM KEWARISAN ISLAM (Studi tentang
Kesadaran Hukum Masyarakat di Desa Wollangi Kecamatan
Barebbo terhadap Hukum Kewarisan Islam)

B. PENDAHULUAN

Kehidupan manusia pada umumnya mengalami beberapa peristiwa


penting seperti kelahiran, perkawinan dan kematian. Pada peristiwa kelahiran
seseorang akan menimbulkan akibat-akibat hukum, seperti timbulnya hubungan
hukum dengan kedua orang tua, saudara-saudara, dan keluarga lainnya serta
timbulnya hak dan kewajiban yang melekat pada seseorang.
Selanjutnya pada peristiwa perkawinan seseorang juga mengakibatkan
timbulnya akibat-akibat hukum yang kemudian diatur dalam hukum perkawinan.
Akibat hukum yang timbul dalam perkawinannya itu seperti hubungan hukum
antara suami dan istri berupa hak dan kewajiban di antara mereka, begitupula
hak dan kewajiban kedua orang tua terhadap anak-anak dan sebaliknya serta
keluarga lain yang terkait.
Demikian pula halnya setelah peristiwa kematian seseorang
menimbulkan akibat hukum kepada orang lain di sekitarnya, karena manakala
terjadi kematian seseorang, maka timbullah persoalan tentang bagaimana
menangani segala sesuatu yang ditinggalkan oleh si mati tersebut sebagai
pewaris baik berupa kewajiban maupun berupa harta kekayaannya. Kewajiban
perorangan si mati tidak beralih kepada orang lain, sedangkan yang menyangkut
harta kekayaannya akan beralih kepada orang lain yang masih hidup, yakni
orang-orang yang menurut hukum berhak menerimanya sebagai ahli waris.
Proses beralihnya harta si mati kepada orang yang masih hidup inilah yang
diatur oleh hukum waris. 92
92
Ash-Shabuni menyebutkan bahwa hukum waris yaitu segala jenis harta benda atau
kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya . Muhammad Ali
Ash-Shabuni, Pembagian Warisan Menurut Islam, (Cet II; Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 39.
Hukum kewarisan Islam yang merupakan salah satu bagian dari ajaran
Islam yang seyogyanya diaktualisasikan oleh setiap pemeluknya. Akan tetapi
realitas di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat muslim
belum memberlakukan nilai-nilai ajaran hukum kewarisan Islam. Mereka lebih
cenderung untuk menggunakan adat setempat dalam membagi harta warisannya
yang boleh jadi bertentangan dengan nilai-nilai ajaran hukum waris Islam. Tidak
diterapkannya hukum kewarisan Islam oleh sebagian besar masyarakat muslim
mungkin disebabkan oleh minimnya pengetahuan dan belum ataupun kurang
dipahaminya aturan kewarisan Islam.
Menurut hukum kewarisan Islam, pewarisan terjadi didahului oleh adanya
peristiwa kematian.93 Keadaan ini berbeda dengan prinsip dalam hukum adat
yang dipraktikkan oleh masyarakat, karena proses pewarisan tidak selalu
didahului dengan adanya peristiwa kematian. Harus diakui bahwa bagi pemeluk
agama Islam yang begitu besar jumlahnya tidak semua dapat menjalankan
kewajiban agama secara totalitas (kāffah). Perbedaan dalam praktik agama
khususnya dalam pembagian harta warisan itu sudah menjadi bagian kehidupan
di kalangan masyarakat sejak munculnya Islam. Hal ini dikarenakan secara
sosiologis dan kultural kesadaran hukum mereka berbeda antara satu sama lain
tergantung seberapa dalam pengetahuan dan pemahaman serta pandangan
mereka terhadap hukum kewarisan Islam.
Pada tataran normatif, pembagian harta warisan masyarakat dilakukan
menurut hukum waris Islam yang disebut dengan farāiḍ94 sebagai jamak dari
kata farīḍah karena bagian masing-masing ahli waris telah ditentukan oleh
syara’. Selain itu, hukum kewarisan Islam juga sering dinamai dengan ilmu
mawāriś sebagai jamak dari kata mīrāś karena di dalamnya membicarakan
tentang pemindahan harta warisan orang yang telah meninggal dunia kepada

93
Asas semata akibat kematian yang berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada
orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup. Amir Syarifuddin, Hukum
Kewarisan Islam, (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2005), h. 28.

94
Kata farāid dari kata faraḍa yang artinya wajib. Hak waris yang telah ditentukan itu
bersumber dari Allah swt., maka tidak ada alasan untuk menolaknya. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-
Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Cet. II; (Jakarta: Lentera Hati, 2009), h. 336.
orang yang masih hidup. Hukum waris menurut Kompilasi Hukum Islam yang
tertulis pada Pasal 171 (a) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang
berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. 95 Definisi ini
sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hasbi Ash-Shiddieqy dan Muḥammad
Muḥyiddīn.96
Dengan kata lain, bagi umat Islam melaksanakan ketentuan yang
berkenaan dengan hukum kewarisan merupakan suatu kewajiban yang harus
dijalankan, karena itu merupakan bentuk manifestasi keimanan dan ketakwaan
kepada Allah dan Rasul-Nya. Tata cara pembagian harta warisan dalam Islam
telah diatur dengan sebaik-baiknya. Alquran menjelaskan dan merinci secara
detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan
hak seorang pun. Pembagian masing-masing ahli waris baik itu laki-laki maupun
perempuan telah ada ketentuannya dalam Alquran.
Allah swt menjanjikan surga bagi orang-orang yang beriman yang
mentaati ketentuan-Nya dalam pembagian harta warisan dan ancaman siksa bagi
mereka yang mengingkari-Nya. Firman Allah swt. dalam Q.S. An-Nisā’(4): 13-
14:
          
        
        
     
Terjemahnya:
Itulah batas-batas (hukum) Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-
Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai,mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan
yang agung. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar batas-batas hukum-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam

95
Lihat Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia: Eksistensi dan
Adaptabilitas, Cet. I; (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), h. 261. Dimyati Rusli,
Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Depertemen Agama RI, 2000), h. 200.
96
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, Cet. I; (Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 1997), h. 18. Muḥammad Muḥyiddīn ‘Abd al-Ḥamīd, Aḥkām al-Mawārīś fī al-Syarī‘at
al-Islāmiyyah ‘alā Mażāhib al-Aimmat al-Arba‘ah, Cet. I; (t.tp: Dār al-Kitāb al-‘Arabiy, 1404 H/ 1974
M), h. 7.
api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapat azab yang
menghinakan.97
Ayat tersebut di atas dengan jelas menunjukkan perintah dari Allah swt.,
agar umat Islam dalam melaksanakan pembagian harta warisan hendaknya
berdasarkan hukum dan nilai-nilai yang terdapat dalam Alquran.
Akan tetapi dalam realitasnya masyarakat seringkali lebih mengedepankan
cara pembagian harta melalui kesepakatan (kekeluargaan) para ahli waris ataupun
melalui hukum masyarakat (adat) tanpa memperhatikan ketentuan hukum
kewarisan Islam. Sebagai perumpamaan, dalam Kompilasi Hukum Islam diatur
mengenai kebolehan membagi harta warisan melalui perdamaian sebagaimana
dituangkan pada pasal 183 yang berbunyi: “para ahli waris dapat bersepakat
melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing
menyadari bagiannya”.98 Namun dalam pelaksanaannya di masyarakat seringkali
mereka melakukan kesepakatan tanpa menyadari bagian masing-masing menurut
ketentuan hukum waris Islam.
Pelaksanaan ataupun aktualisasi hukum kewarisan Islam di masyarakat
tidak terlepas dari kesadaran hukum mereka terhadap aturan tersebut. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Soekanto bahwa kesadaran warga
masyarakat merupakan dasar sahnya hukum positif, artinya tidak ada hukum yang
mengikat mereka kecuali atas dasar kesadaran hukumnya.99
Kesadaran hukum masyarakat merupakan salah satu bagian dari budaya
hukum yang menyangkut faktor apakah suatu ketentuan hukum itu diketahui,
dimengerti, ditaati, dan dihargai. Apabila masyarakat hanya mengetahui adanya
suatu ketentuan hukum, maka taraf kesadaran hukumnya lebih rendah daripada
apabila mereka telah memahami aturan hukum tertentu. Kesadaran hukum itu
semakin bernilai tinggi jika ternyata masyarakat memiliki sikap dan perilaku
97
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Terjemah Per-Kata, (Bandung: PT
Syaamil bekerjasama Yayasan Penyelengara Penerjemah/Penafsir Al-Qur’an Revisi Terjemah oleh
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, 1428 H/2007 M), h. 79.

98
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
1992), h. 158.

99
Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali
Pers, 1983), h. 338.
positif terhadap suatu aturan hukum.

Warga masyarakat di Desa Wollangi Kecamatan Barebbo mayoritas


menganut agama Islam, sehingga sudah seharusnya melakukan pembagian harta
warisan berdasarkan prinsip-prinsip farāiḍ. Namun apabila yang terjadi mereka
acapkali menggunakan kesepakatan yang tidak menyadari bagian sesuai ketentuan
hukum waris Islam, maka keadaan ini dapat menimbulkan akibat dikuasainya hak
orang lain tanpa kerelaan yang bersangkutan. Sebab, boleh jadi apabila mereka
telah paham dan menyadari akan hak-haknya di kemudian hari bisa menimbulkan
rasa penyesalan. Hal ini tentu saja bertentangan dengan jiwa dan semangat farāiḍ
yang menghendaki agar manusia tidak memakan hak sesamanya secara batil.

C. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah tersebut, maka penelitian yang akan dilakukan
difokuskan pada pokok masalah bagaimana aktualisasi hukum kewarisan Islam di
masyarakat. Hal ini sangat terkait dengan kesadaran hukum mereka terhadap
hukum kewarisan Islam, sehingga penelitian ini menyoroti kesadaran hukum
masyarakat di Desa Wollangi Kecamatan Barebbo.
Oleh karena itu dari permasalahan pokok yang dikemukakan sebelumnya,
maka dirumuskan sub-sub masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengetahuan masyarakat di Desa Wollangi Kecamatan Barebbo
tentang hukum kewarisan Islam?
2. Bagaimana sikap masyarakat di Desa Wollangi Kecamatan Barebbo terhadap
hukum kewarisan Islam?
3. Bagaimana kesadaran hukum masyarakat di Desa Wollangi Kecamatan
Barebbo untuk mengaktualisasikan hukum kewarisan Islam?

D. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data aktual guna
mengetahui, menjelaskan dan mengkaji hal-hal yang berkenaan dengan kesadaran
hukum masyarakat, yaitu:
a. Pengetahuan masyarakat di Desa Wollangi Kecamatan Barebbo tentang
hukum kewarisan Islam
b. Sikap masyarakat di Desa Wollangi Kecamatan Barebbo terhadap hukum
kewarisan Islam
c. Kesadaran hukum masyarakat di Desa Wollangi Kecamatan Barebbo
terhadap hukum kewarisan Islam
2. Kegunaan Penelitian

a. Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam pengembangan ilmu


dengan memberikan sumbangan pemikiran bagi peningkatan kesadaran hukum
masyarakat dalam mengaktualisasikan hukum kewarisan Islam. Temuan masalah
aktualisasi hukum kewarisan Islam terkait dengan kesadaran hukum masyarakat
terhadapnya diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dalam rangka upaya
meningkatkan kepatuhan mereka menegakkan hukum kewarisan Islam. Selain
itu, temuan penelitian dapat dijadikan bahan tambahan materi hukum kewarisan
Islam sehingga dapat memperkaya khasanah ilmu hukum kewarisan Islam.
b. Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi
pemerintah dalam upaya mengadakan pembinaan hukum khususnya hukum
kewarisan. Selain itu temuan penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan
bagi arah kebijaksanaan dalam pengaturan kewarisan untuk mempertinggi
kesadaran hukum masyarakat. Selain itu, dapat digunakan sebagai dasar
perbandingan dengan hasil penelitian di daerah lain.
E. RUANG LINGKUP PENELITIAN
Penelitian ini dibatasi dan difokuskan pada aktualisasi hukum kewarisan
Islam dengan menyoroti kesadaran hukum masyarakat dan menggunakan teori
yang mencermati beberapa indikator kesadaran hukum masyarakat khususnya di
Desa Wollangi Kecamatan Barebbo. Indikator kesadaran hukum masyarakat
terhadap hukum kewarisan Islam akan diamati pada hal-hal sebagai berikut:
1. Pengetahuan masyarakat tentang hukum kewarisan Islam ,
2. Pemahaman masyarakat terhadap hukum kewarisan Islam,
3. Sikap masyarakat kepada hukum kewarisan Islam,
4. Pola perilaku masyarakat terhadap hukum kewarisan Islam,
F. SIGNIFIKANSI PENELITIAN
Penelitian yang akan dilakukan mencermati kesadaran hukum masyarakat
terhadap hukum kewarisan Islam. Kesadaran hukum masyarakat merupakan
keyakinan akan nilai-nilai yang terdapat di dalam diri mereka tentang hukum
waris Islam. Konsekuensi kesadaran hukum akan menggugah perasaan wajib
berbuat baik, rasa kemanusiaan, dan rasa instrospeksi. Kesadaran hukum
masyarakat yang tinggi/ kuat terhadap hukum kewarisan Islam akan menjelma
dalam bentuk kepatuhan dan ketaatan mereka untuk menegakkan hukum
kewarisan Islam.100
Kesadaran hukum masyarakat memiliki peran penting bagi aktualisasi
hukum tertentu. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum
kewarisan Islam misalnya akan berperan penting dalam aktualisasi hukum itu di
masyarakat. Maka penelitian tentang kesadaran hukum masyarakat terhadap
hukum kewarisan Islam untuk mengetahui beberapa indikator dan upaya
meningkatkan kesadaran hukum berakibat kokohnya aktualisasi nilai-nilai ajaran
hukum kewarisan Islam.
G. KAJIAN RISET SEBELUMNYA
Beberapa riset sebelumnya yang fokus kepada hukum kewarisan Islam
dengan masyarakat muslim sebagai subjek pembahasannya, antara lain:
1. Amir Syarifuddin dalam disertasinya di IAIN Syarif Hidayatullah tahun 1982
yang telah dipublikasikan dalam bentuk buku.101 Buku tersebut mengkaji
pelaksanaan hukum kewarisan Islam di dalam adat Minangkabau yang
menganut sistem kekerabatan atas dasar garis keturunan dari pihak ibu

100
Keyakinan akan nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum akan
melahirkan kesadaran hukum kemudian melahirkan ketaatan/kepatuhan hukum. Sudikno
Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Cet. II; (Yogyakarta: Liberty, 2010), h. 136-137.

101
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau (Jakarta: Gunung Agung, 1984).
(matrilineal) dengan asas kewarisan kolektif. Penelitian ini difokuskan pada
pembagian harta warisan (pusako tinggi) dan harta bersama (pusako rendah).
Meskipun masyarakat Minangkabau telah memeluk Islam, tetapi praktik
kehidupan hukum adat tampaknya masih terus berlangsung, terutama yang
berkaitan dengan masalah harta warisan, karena harta pencaharian suami masih
dibawa menurut ketentuan hukum adat oleh kerabatnya, bukan oleh anak
keturunannya. Evolusi ke arah integrasi hukum adat yang Islami berlangsung
terus sampai harta pencaharian suami tersebut tidak lagi diwarisi oleh
kerabatnya, tetapi diwariskan kepada anak-anaknya. Hal ini terlaksana setelah
adanya berbagai pendekatan dan musyawarah yang dilakukan oleh tokoh-tokoh
agama dan tokoh-tokoh adat di Minangkabau.102 Penelitian ini berbeda lokasi
dan fokusnya dengan penelitian yang akan dilakukan. Sebab walaupun meneliti
tentang pelaksanaan hukum kewarisan Islam di masyarakat, akan tetapi
mengarah kepada evolusi adat menuju kesesuaian dengan Islam.
2. Abdul Ghofur Anshori dalam penelitiannya yang berjudul “Pelaksanaan
Hukum Kewarisan Islam di Daerah Kotagede Yogyakarta”,103 mengkaji hukum
waris Islam yang dilaksanakan oleh masyarakat Islam Kotagede. Setiap kali
ada pembagian harta warisan, para ahli waris mengadakan rembugan yang
bertujuan agar ditemukan kata sepakat dan untuk memelihara kelanggengan
hubungan kekeluargaan di antara ahli waris. Dalam penelitian ini juga
dideskripsikan hubungan antarvariabel, yaitu ketaatan beragama masyarakat
Islam Kotagede, pengetahuan tentang hukum waris Islam, serta minat
melaksanakannya berupa deskripsi persentase berdasarkan latar belakang
pendidikan dan pekerjaan serta jenis kelamin. Apabila dibandingkan dengan
penelitian ini, maka penelitian yang akan dilakukan berbeda dalam masalah
tempat, fokus penelitian serta masyarakat yang dijadikan sumber data.
3. M. Jandra dan Sukriyanto dalam penelitiannya tentang “Pelaksanaan Warisan
di Kauman Kesultanan Yogyakarta” yang dilakukan pada tahun 1992 mengkaji
faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat Kauman dalam pembagian harta
102
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan, h. 180.

103
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan , h. 115.
warisan dengan mempelajari beberapa kasus yang ditemukan. Terdapat
kekhususan dalam pembagian harta warisan masyarakat, seperti ada harta
pewaris yang dibagi ketika masih hidup dan ada pula yang dibagi setelah
pewarisnya meninggal dunia yang dilakukan menurut ketentuan hukum waris
Islam. Fokus kajian tersebut pada pelaksanaan hukum waris Islam di
masyarakat, sedangkan penelitian yang akan dilakukan ini berfokus pada
kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum waris Islam.
4. Supriyatna, dkk., “Pilihan Hukum Pengadilan dalam Penyelesaian Sengketa
Waris di Yogyakarta” mengkaji alasan-alasan atau motivasi yang mendorong
umat Islam di Yogyakarta memilih Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama
dalam menyelesaikan sengketa warisnya berdasarkan data tahun 1990-1991.
Penelitian ini mengemukakan bahwa kaum muslimin di Yogyakarta lebih
banyak memilih Pengadilan Negeri daripada Pengadilan Agama dalam
menyelesaikan kewarisannya dengan alasan menguntungkan secara materi,
sebab tidak membedakan bagian ahli waris perempuan dengan bagian ahli
waris laki-laki. Adapun pihak yang memilih Pengadilan Agama untuk
menyelesaikan pembagian harta warisannya adalah mereka yang kesadaran
hukumnya terhadap hukum waris Islam cukup baik dan alasan utama mereka
adalah ingin melaksanakan pembagian harta warisan menurut hukum Islam.
Kajian ini memiliki perbedaan dengan penelitian yang dilakukan ini yaitu pada
fokus dan tempatnya. Sebab, fokus penelitian yang akan dilakukan menyoroti
kesadaran hukum masyarakat untuk mengaktualisasikan hukum waris Islam.
5. Zikri Darussamin dalam disertasinya di UIN Sunan Kalijaga tahun 2003 104
berjudul ”Interaksi Hukum Islam dan Hukum Adat (Studi Pelaksanaan
Kewarisan Masyarakat Melayu di Daerah Siak)”. Disertasi ini mengkaji
interaksi hukum waris Islam dan hukum kewarisan adat Melayu-Siak yang
berlangsung baik karena kedua sistem hukum tersebut memiliki kesamaan
pada sistem kekerabatannya. Sistem kekerabatan dalam hukum waris Islam
dan hukum kewarisan adat Melayu-Siak, keduanya mengikuti sistem
104
Zikri Darussamin, ”Interaksi Hukum Islam dan Hukum Adat (Studi Pelaksanaan Kewarisan
Masyarakat Melayu di Daerah Siak)”. Disertasi, tidak diterbitkan, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga,
2003.
kekerabatan bilateral. Fokus penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan
fokus disertasi ini yang membahas interaksi adat dan Islam dalam waris.
6. Haddise, “Hukum Kewarisan Islam di Bone: Kajian Tentang Pelaksanaannya
Berhadapan dengan Hukum Kewarisan Adat”,105 mengkaji pelaksanaan hukum
kewarisan Islam yang meliputi larangan mewarisi, tindakan sebelum harta
warisan dibagi, dan susunan keutamaan ahli waris. Dalam temuannya
disebutkan bahwa terjadi hubungan timbal balik antara hukum kewarisan Islam
dan hukum kewarisan adat. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan
adalah topik penelitian yang mengangkat masalah kewarisan. Namun terdapat
perbedaan dalam fokusnya, penelitian yang akan dilakukan fokus pada
kesadaran hukum masyarakat untuk aktualisasi hukum waris Islam.
7. Asni Zubair, ”Penyelesaian Sengketa Waris pada Masyarakat Islam di
Kecamatan Tanete Riattang Barat Kabupaten Bone”,106 mengkaji penyelesaian
sengketa dalam pembagian harta warisan di masyarakat. Fokus kajiannya
adalah cara-cara yang ditempuh oleh masyarakat ketika menghadapi sengketa
dalam pembagian harta warisan mereka. Persamaan dengan penelitian yang
dilakukan adalah topik penelitian yang mengangkat masalah kewarisan.
Namun terdapat perbedaan dalam fokusnya, penelitian yang akan dilakukan
fokus pada kesadaran hukum masyarakat untuk aktualisasi hukum waris Islam.
8. Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris. Buku
yang diterbitkan oleh Alumni di kota Bandung pada tahun 1993, mengkaji
kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum waris secara umum. Fokus
kajiannya adalah menyorot validitas hukum pada nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat. Persamaan buku ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah
pada topiknya berupa kesadaran hukum masyarakat, namun berbeda dalam
lokasi dan jenisnya. Penelitian yang akan dilakukan lebih banyak mengambil
data di masyarakat di lokasi tertentu untuk selanjutnya dianalisis kesadaran
105
Haddise, “Hukum Kewarisan Islam di Bone: Kajian Tentang Pelaksanaannya
Berhadapan dengan Hukum Kewarisan Adat”, Laporan Penelitian Individual, Watampone:
STAIN Watampone, 2004.
106
Asni Zubair, ”Penyelesaian Sengketa Waris pada Masyarakat Islam di Kecamatan
Tanete Riattang Barat Kabupaten Bone”, Laporan Penelitian Individual, Watampone: STAIN
Watampone, 2009.
hukumnya terhadap hukum waris Islam dengan mencermati beberapa indikator
yang terkait.
H. KERANGKA TEORI

Kerangka teori merupakan seperangkat konsep yang berhubungan satu


sama lain secara logis untuk membentuk sebuah kerangka pemikiran yang
berfungsi untuk memahami, menafsirkan, dan menjelaskan kenyataan atau
masalah yang dihadapi.107 Untuk konteks aktualisasi hukum kewarisan Islam
khususnya yang didasarkan kepada kesadaran hukum masyarakat, maka
indikator-indikator yang menjadi petunjuk bagi adanya kesadaran hukum perlu
mendapat perhatian.
1. Konsep Kesadaran Hukum
Sumber dari hukum dan kekuatan mengikatnya adalah kesadaran hukum
dan keyakinan hukum individu di dalam masyarakat yang merupakan kesadaran
hukum individu, merupakan pangkal dari kesadaran hukum masyarakat.108
Kesadaran hukum memiliki konsepsi seperti konsepsi mengenai kebudayaan
hukum yang mengandung ajaran kesadaran hukum yang dianggap sebagai
mediator antara hukum dan perilaku manusia, secara individual ataupun
kolektif.109
Kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Sehingga masyarakat mentaati hukum bukan
karena paksaan, melainkan karena hukum itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada
dalam masyarakat itu sendiri. Atau dengan kata lain telah terjadi internalisasi
hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu validitas hukum diletakkan pada nilai-
nilai yang berlaku dalam masyarakat.110 Dalam hal ini nilai-nilai tersebut

107
Heddy Sri Ahimsa-Putra, “Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi untuk
Memahami Agama” dalam Jurnal Penelitian Walisongo Semarang, Vol. XVII, Nomor 2 November
2009, h. 2.

108
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1994), h. 147.

109
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta:
Rajawali, 1987), h. 217.
110
Otje Salman, Kesadaran, h. 40.
tertanam karena telah melalui sosialisasi dan internalisasi yang intens di
masyarakat.
2. Indikator-indikator Kesadaran Hukum
Kesadaran hukum dapat diketahui dari indikator-indikator yang
merupakan petunjuk konkrit tentang adanya kesadaran hukum tertentu.111
Untuk mengetahui keadaan kesadaran hukum suatu masyarakat dapat dilihat
dari empat (4) indikator, yaitu pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap
hukum, dan perilaku hukum112. Hampir senada dengan hal tersebut, Soerjono
Soekanto menyebutkan bahwa indikator masalah kesadaran hukum adalah
pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum, pengetahuan tentang isi
peraturan-peraturan hukum, sikap terhadap peraturan-peraturan hukum, dan
pola perikelakuan hukum.
a. Pengetahuan Hukum
Mar’at mengemukakan bahwa pengetahuan adalah kemampuan
perseptual yang diperoleh melalui panca indera, persepsi tentang sesuatu
karena adanya stimulus yang bersentuhan dengan alat inderanya. Dalam
rangka memperoleh pengetahuan itu diperlukan proses dan syarat
tertentu.113
Pengetahuan yang dimaksud menyangkut perilaku yang dilarang
oleh hukum ataupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum. Sedangkan
hukum yang dimaksud adalah hukum tertulis atau hukum yang tidak
tertulis, dalam hal ini hukum waris Islam.
Pengetahuan hukum masyarakat tentang hukum waris Islam jika
disorot dari perspektif yuridis, maka setelah Kompilasi Hukum Islam
(KHI) disahkan, sejak itu pula timbul asumsi bahwa masyarakat dianggap
telah mengetahui hukum kewarisan Islam khususnya yang diatur dalam
buku II KHI. Asumsi tersebut dipertegas dengan dikeluarkannya Instruksi
Presiden RI nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 tentang
111
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 100.

112
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, Cet. I; (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), h. 105.

113
Seperti dikutip oleh Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan, h. 120.
penyebarluasan kompilasi hukum Islam dan keputusan Menteri Agama RI
nomor 154 tahun 1991 tentang pelaksanaan Inpres nomor 1 tahun 1991,
bahkan kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya surat Dirjen Binbaga
Departemen Agama RI nomor 3694/EV/HK.OO.3/AZ/91 berisi hal
penyebarluasan Inpres tersebut.
Otje Salman mengemukakan bahwa pengetahuan hukum adalah
pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur
oleh hukum. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku yang dilarang
atau yang dibolehkan oleh hukum, sebagaimana umumnya diketahui
bahwa membunuh, mencuri, dan mengambil hak orang lain secara tidak
sah, merupakan hal-hal yang dilarang oleh hukum.114
b. Pemahaman Hukum
Pemahaman hukum adalah sejumlah informasi yang dimiliki
seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu, baik hukum
tertulis maupun hukum tidak tertulis. Masyarakat tidak cukup hanya
sekedar mengetahui hukum saja, tetapi juga harus memahami isi aturan
dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam yang di dalamnya terdapat aturan
tentang kewarisan Islam. Selain itu, memahami tujuan dan manfaat
dikeluarkannya aturan tersebut.
c. Sikap Hukum
Sikap hukum merupakan kecenderungan seseorang untuk melakukan
penilaian tertentu terhadap hukum. Sebab, salah satu tugas hukum adalah
mengatur kepentingan warga masyarakat. Ketaatan masyarakat terhadap
hukum sedikit banyak tergantung kepada apakah kepentingan mereka
dapat ditampung oleh ketentuan hukum tersebut.115 Setelah memiliki
pengetahuan dan pemahaman terhadap hukum kewarisan Islam, maka
diharapkan muncul sikap positif/menghargai dari masyarakat terhadap
ketentuan hukum tersebut.
d. Perilaku Hukum
114
Otje Salman, Kesadaran, h. 40.

115
Zainuddin Ali, Sosiologi, h. 100.
Perilaku hukum merupakan indikator/petunjuk untuk dapat
mengetahui adanya kesadaran terhadap hukum. Kesadaran hukum dapat
dilihat dari derajat kepatuhan hukum yang diwujudkan dalam perilaku
nyata masyarakat. Jika hukum ditaati, hal itu menjadi petunjuk penting
bahwa hukum tersebut efektif. Hal-hal yang menjadi dasar kepatuhan
dalam perilaku hukum menurut Paul Scholten, yaitu didukung oleh
indoctrination, habituation, utility, and group identification.116
3. Beberapa Konsep yang terkait dan Definisi Operasionalnya
a. Kesadaran hukum kewarisan Islam
Pengetahuan tentang hukum kewarisan Islam secara mendalam baik
dalil, bagian masing-masing ahli waris, cara pembagian yang
menimbulkan penghargaan atas ketentuan hukum kewarisan Islam.
Kemudian akan membawa kepada penghayatan kepada hukum kewarisan
Islam dan mewujudkan kepatuhan.
Keadaan terbentuk pada diri seorang individu melalui integrasi
unsur pengetahuan, pemahaman, sikap, dan pola perilaku terhadap hukum
kewarisan Islam.
b. Pengetahuan tentang hukum kewarisan Islam meliputi hal-hal yang
diketahui sekitar hukum kewarisan Islam, termasuk pengetahuan terhadap
perilaku yang diatur dalam ajaran hukum kewarisan Islam.
c. Pemahaman terhadap hukum kewarisan Islam meliputi hal-hal yang
dipahami sekitar hukum waris Islam, termasuk pemahaman terhadap isi
dalam teori hukum kewarisan Islam.
d. Sikap terhadap hukum kewarisan Islam berupa reaksi yang diwujudkan dan
kesediaan untuk bereaksi secara positif ataupun negatif terhadap
ketentuan-ketentuannya.
e. Perilaku hukum kewarisan Islam, yakni hal yang dilakukan berhubungan
dengan hukum kewarisan Islam.
f. Masyarakat adalah sekelompok individu yang terdaftar pada wilayah

116
Seperti dikutip oleh Saifullah, Refleksi Sosiologi, h. 105.
tertentu117
Hakikat kesadaran hukum merupakan kesadaran tentang diri sendiri,
sebab orang yang berkesadaran hukum, maka orang tersebut yakin akan cita-
cita kebaikan yang setinggi-tingginya. Kesadaran hukum akan menjelma
dalam bentuk kepatuhan dan ketaatan terhadap hukum,118 sehingga dapat
dikatakan bahwa kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum kewarisan
Islam akan menjelma menjadi kepatuhan terhadap hukum kewarisan Islam
(HKI).

Pengetahuan, Pemahaman, Sikap, dan Perilaku Hukum terhadap HKI

Kesadaran Hukum terhadap HKI

Ketaatan/Kepatuhan Hukum

Aktualisasi Hukum Kewarisan Islam

I. METODE PENELITIAN

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian ini berupa penelitian hukum sosiologis atau empiris yang
mempergunakan data utama dari data primer atau data yang diperoleh secara
langsung dari masyarakat.119 Pada penelitian hukum empiris, hukum
117
Asmawi dkk., Religiusitas dan Kesadaran Hukum Islam pada Mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah, (Jakarta: t.p., 2005), h. 19.

118
Muhammad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2013), h. 135.

119
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1988), h. 10.
dikonsepsikan sebagai perilaku nyata (actual behavior) yang meliputi perbuatan
dan akibat dalam hubungan hidup bermasyarakat.120
Apabila dilihat dari tujuan penelitian yang akan dilakukan, maka
dikategorikan sebagai penelitian deskriptif karena diharapkan dapat memberikan
gambaran tentang suatu gejala atau suatu keadaan masyarakat tertentu. 121
Arikunto menegaskan bahwa suatu penelitian deskriptif tidak dimaksudkan
untuk menguji suatu hipotesis tetapi akan menggambarkan apa adanya tentang
suatu variabel, gejala atau keadaan pada saat penelitian dilakukan.122
Ahimsa-Putra menegaskan bahwa dalam pendekatam fenomenologi,
informasi yang digali akan sampai pada kesadaran dan pengetahuan para pelaku
mengenai suatu fenomena atau masalah. Dalam konteks penelitian yang
menggunakan paradigma fenomenologi, kata ”memahami” merupakan hal yang
sangat penting digunakan. Memahami dalam penelitian fenomenologis adalah
mengetahui pandangan, pengetahuan, nilai-nilai, norma aturan yang ada dalam
suatu masyarakat atau yang dianut individu dan kemudian dapat menetapkan
relasinya dengan perilaku warga masyarakat.123

2. Bahan Penelitian
Untuk memperoleh data yang diharapkan dapat menjawab permasalahan
penelitian, maka akan dilakukan dengan melalui cara sebagai berikut:
a. Penelitian Kepustakaan
Dalam penelitian kepustakaan akan dikumpulkan data sekunder yang ciri
umumnya adalah datanya dapat digunakan dengan segera dan biasanya telah

120
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2004), h. 157.

121
Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian Petunjuk Praktis untuk Peneliti Pemula,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), h. 103-104.

122
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 234.

123
Heddy Sri Ahimsa-Putra, “Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi untuk
Memahami Agama” dalam Jurnal Penelitian Walisongo Semarang, Vol. XVII, Nomor 2 November
2009, h. 15.
dibentuk dan diisi oleh peneliti terdahulu.124 Selain itu, Abdulkadir Muhammad
menyatakan bahwa studi pustaka adalah pengkajian informasi tertulis mengenai
hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas.
Informasi seperti ini yang berasal dari sumber pustaka lazim disebut bahan hukum
(law material).125
Penelitian kepustakaan dilakukan dengan jalan pengumpulan bahan-bahan
hukum yang akan diteliti. Setelah data kepustakaan dikumpulkan, kemudian dicari
materi yang relevan dengan topik penelitian. Berdasarkan data ini akan dijadikan
acuan dan landasan dalam membangun argumen untuk menjawab permasalahan.
b. Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan dilakukan untuk mengumpulkan data primer. Adapun


sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada
pengumpul data atau peneliti.126
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan tokoh
masyarakat baik tokoh agama maupun pejabat pemerintahan yang dianggap
mengerti terhadap gejala yang diteliti. Selain itu, wawancara juga dilakukan
kepada masyarakat di Desa Wollangi Kecamatan Barebbo untuk memperoleh
data empiris di lapangan terkait kesadaran hukum mereka terhadap farāiḍ.
Desa Wollangi Kecamatan Barebbo dipilih sebagai lokasi penelitian karena
salah satu pertimbangannya adalah bahwa penduduk di Desa Wollangi Kecamatan
Barebo mayoritas menganut agama Islam. Selain itu, peneliti dapat mengakses
wilayah tersebut untuk melakukan penelitian.
Dalam penelitian lapangan akan dilakukan langkah-langkah, pertama,
setelah proposal penelitian diterima, lalu menyempurnakan daftar pertanyaan yang
ditujukan kepada subjek penelitian, kemudian mengurus izin penelitian. Dalam
pengurusan izin ini dilakukan secara simultan dengan mencari berbagai informasi

124
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2006), h. 30.

125
Abdulkadir Muhammad, Hukum, h. 81.

126
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, (Bandung: Alfabeta, 2006),
h. 153.
tentang lokasi dan calon informan serta narasumber. Selanjutnya permintaan
waktu kepada informan dan narasumber untuk melakukan wawancara, jika
mereka bersedia diwawancarai akan didatangi untuk dilakukan wawancara
mendalam.
3. Informan dan Nara Sumber

Arikunto menyatakan bahwa subyek penelitian merupakan benda, hal atau


orang tempat data untuk variabel penelitian melekat dan yang dipermasalahkan. 127
Informan yang dipakai dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Wollangi
Kecamatan Barebbo yang ditemui dan akomodatif dengan penelitian yang
dilakukan.
Penelitian menggunakan sampling dengan nonprobablity sampling bertipe
accidental sampling (pengambilan sampling secara kebetulan). Pengambilan
sampling seperti ini juga disebut convenience sampling yang berarti anggota
sampel diambil tidak direncanakan sebelumnya, melainkan didapatkan secara
tiba-tiba.128 Hal ini berarti bahwa seluruh warga masyarakat di Desa Wollangi
Kecamatan Barebbo berpeluang untuk dijadikan informan penelitian.
Adapun narasumber penelitian ini terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat baik
dari tokoh agama, adat, maupun tokoh dari pemerintahan di Desa Wollangi
Kecamatan Barebbo.
4. Teknik dan Alat Pengumpul Data
Pengumpulan data sekunder akan dilakukan melalui studi pustaka, alat
yang digunakan adalah berupa pedoman dokumentasi yang memuat garis besar
atau kategori yang akan dicari datanya.
Pengumpulan data primer akan dilakukan dengan menggunakan alat
berupa pedoman wawancara yang berisi daftar pertanyaan, bukan dengan
kuesioner. Hal ini karena dalam penelitian kualitatif diharapkan dapat memberi
kesempatan kepada informan dan narasumber untuk mengungkapkan
pengetahuan, pemahaman, pandangan (sikap), dan perilakunya terhadap hukum
kewarisan Islam dengan leluasa.
127
Suharsimi Arikunto, Manajemen, h. 89

128
Sukandarrumidi, Metode , h. 79.
Dalam proses wawancara diusahakan sedapat mungkin menjaga suasana
yang kondusif antara pewawancara dengan informan. Sebab, tanpa suasana yang
baik akan sulit mendapatkan atau melakukan penggalian informasi yang lebih
dalam atau tepat (probing).129 Jika ditemukan jawaban yang meragukan atau
sensitif, maka peneliti akan menunggu sejenak untuk membiarkan informan
berpikir jernih sampai mendapatkan jawaban yang akurat (silent probe). Selain
itu, pewawancara akan mengulang atau menambah sebuah pertanyaan sehingga
jawaban informan lebih meyakinkan.130
5. Analisis Data

Analisis kualitatif fenomenologi akan lebih akuntabel untuk mengungkap


persoalan subyek manusia. Hal ini dikarenakan manusia umumnya tidak taat asas,
berubah-ubah, dan memiliki subyektivitas maupun emosi.131 Analisis data
dilakukan sejak proses pengumpulan data kepustakaan maupun lapangan. Setiap
unsur dari aspek yang dijadian fokus penelitian pada saat pengumpulan data,
peneliti senantiasa melakukan analisis, karena peneliti tidak mungkin melakukan
pengumpulan data dari berbagai aspek sekaligus.132
Setelah seluruh data dikumpulkan untuk dilakukan analisis dengan melalui
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Reduksi data
Berbagai data dari studi kepustakaan dan lapangan perlu direduksi,
dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang
penting, dicari tema atau polanya. Dalam hal ini laporan lapangan sebagai
bahan mentah disingkat, direduksi, disusun lebih sistematis sehingga mudah
dikendalikan.

129
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001), h. 88-89.

130
Irawati Sangarimbun, “Teknik Wawancara” dalam Masri Sangarimbun dan Sofian Effendi
(Peny.), Metode Penelitian Survey, (Jakarta: LP3ES, 1989), h. 200.
131

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu sosial
Lainnya, (t.c.; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 143.

132
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat Paradigma Bagi Pengembangan
Penelitian interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum, dan Seni,
(Yogyakarta: Paradigma, 2005), h. 166.
b. Display data dimaksudkan agar dapat melihat gambaran keseluruhan dan
bagian-bagian tertentu dari penelitian. Dengan demikian diharapkan peneliti
dapat menguasai data dan tidak tenggelam dalam tumpukan detail sehingga
diusahakan membuat matriks.
c. Kesimpulan dan verifikasi
Sejak awal peneliti seharusnya berusaha untuk mencari makna dari
data yang dikumpulkan. Dalam mengambil kesimpulan mula-mula bersifat
tentatif, kabur, diragukan, akan tetapi dengan bertambahnya data maka
kesimpulan itu lebih grounded. Kesimpulan harus senantiasa diverifikasi
selama penelitian berlangsung. Oleh karena itu, analisis merupakan
kegiatan yang kontinyu dari awal sampai akhir penelitian.133
Proses analisis terhadap data hasil penelitian akan dilakukan dengan
cara menyusun secara sistematis data kepustakaan dan lapangan, sehingga
diperoleh suatu deskripsi yang jelas tentang kesadaran hukum masyarakat
Desa Wollangi Kecamatan Barebbo terhadap hukum kewarisan Islam.
Kemudian data tersebut akan dianalisis secara kualitatif fenomenologi
dengan mengutamakan logika induktif untuk menemukan kesimpulan.

J. ALOKASI BIAYA PENELITIAN

- Persiapan Rp. 1.000.000,-

- Pengumpulan Data Rp. 2.500.000,-

- Analisis Data Rp. 2.500.000,-

- Perampungan Hasil Rp. 1.000.000,-


133
S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, (Bandung: Tarsito, 2003), h. 129-
130.
- Seminar Hasil Rp. 1.000.000,-

- Revisi dan Penggandaan Rp. 2.000.000,-

Total Rp.10.000.000,-

K. ALOKASI WAKTU PENELITIAN

Penelitian ini direncanakan berlangsung selama enam bulan,


yang akan dimulai setelah proposal penelitian ini diterima.

Bulan

No Kegiatan I II III IV V VI
.

1. Tahap 1: Persiapan

1. Penyusunan Proposal X
2. Seminar Proposal X

2. Tahap 2: Realisasi

1. Pengumpulan Data X X
2. Analisis Data X

3. Tahap Penyelesaian

1. Perampungan Hasil Penelitian X


2. Seminar Hasil X

DAFTAR PUSTAKA

‘Abd al-Ḥamīd, Muḥammad Muḥyiddīn. Aḥkām al-Mawārīś fī al-Syarī‘at al-


Islāmiyyah ‘alā Mażāhib al-Aimmat al-Arba‘ah, Cet. I; t.tp: Dār al-Kitāb
al-‘Arabiy, 1404 H/ 1974 M.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo,
1992.

Ahimsa-Putra, Heddy Sri. “Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi untuk


Memahami Agama” dalam Jurnal Penelitian Walisongo Semarang, Vol.
XVII, Nomor 2 November 2009.

Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada, 2006.

Anshori, Abdul Ghofur. Hukum Kewarisan Islam, Cet. I; Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2012.
Ashshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001.

Asmawi dkk., Religiusitas dan Kesadaran Hukum Islam pada Mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta: t.p., 2005.

Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Pembagian Warisan Menurut Islam, Cet II; Jakarta:
Gema Insani Press, 1996.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Fiqh Mawaris, Cet. I; Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 1997.
Darussamin, Zikri. ”Interaksi Hukum Islam dan Hukum Adat (Studi Pelaksanaan
Kewarisan Masyarakat Melayu di Daerah Siak)”. Disertasi, tidak diterbitkan,
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2003.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Terjemah Per-Kata, (Bandung:
PT Syaamil bekerjasama Yayasan Penyelengara Penerjemah/Penafsir Al-
Qur’an Revisi Terjemah oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, 1428
H/2007 M.
Erwin, Muhammad. Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum, Jakarta:
Rajawali Pers, 2013.

Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat Paradigma Bagi


Pengembangan Penelitian interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial,
Semiotika, Sastra, Hukum, dan Seni, Yogyakarta: Paradigma, 2005.

Mertokusumo, Sudikno. Bunga Rampai Ilmu Hukum, Cet. II; Yogyakarta: Liberty,
2010.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2004.

Nasution, S. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito, 2003.Rusli,

Dimyati. Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Depertemen Agama RI, 2000.

Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, Cet. I; Bandung: PT Refika Aditama, 2007.

Salman, Otje. Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Cet. I;


Bandung: Alumni, 1993.

Sangarimbun, Irawati. “Teknik Wawancara” dalam Masri Sangarimbun dan Sofian


Effendi (Peny.), Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES, 1989.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,


Cet. II; Jakarta: Lentera Hati, 2009.

Soekanto, Soerjono. Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo


Persada, 1994.

Soekanto, Soerjono dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Jakarta:


Rajawali Pers, 1983.

Soekanto, Soerjono dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat,


Jakarta: Rajawali, 1987.

Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta:


Ghalia Indonesia, 1988.

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, Bandung: Alfabeta,


2006.

Sukandarrumidi. Metode Penelitian Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula,


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006.

Suparman, Eman. Hukum Waris Indonesia, Cet. II; Bandung: Refika Aditama, 2007.

Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam, Cet. II; Jakarta: Kencana, 2005.

_______. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat


Minangkabau Jakarta: Gunung Agung, 1984.
DAFTAR PERTANYAAN

A. Informan

1. Apakah bapak/ibu/saudara mengetahui adanya aturan waris dalam Islam yang


disebut farāid atau mawāriś?

2. Apa saja yang bapak/ibu/saudara ketahui dan pahami dari aturan hukum waris
Islam itu?

3. Bagaimana sikap dan pandangan bapak/ibu/saudara terhadap aturan hukum


waris Islam?

4. Jika bapak/ibu/saudara membagi harta warisan, bagaimana caranya? Apakah


menurut cara sesuai dengan hukum waris Islam atau berdasarkan kebiasaan?

5. Apabila pembagian harta warisan dilakukan sesuai kebiasaan, bagaimana cara


pembagian tersebut?
B. Narasumber

1. Bagaimana menurut bapak/ibu/saudara mengenai pengetahuan masyarakat di


Desa Wollangi tentang hukum waris Islam?

2. Jika mereka mengetahui adanya aturan hukum waris Islam, bagaimana dengan
pemahaman mereka terhadap hukum waris Islam tersebut?

3. Jika mereka memahami aturan hukum waris Islam lalu bagaimana sikap mereka
terhadap hukum waris Islam itu?

4. Bagaimana dengan perilaku masyarakat terhadap hukum waris Islam?

5. Bagaimana kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum waris Islam menurut


bapak/ibu/saudara sebagai tokoh masyarakat (agama/ pemerintah/ adat)?

5. Pendidikan :

a. SD Negeri 5 Watampone tahun 1984

b. MTs Negeri Watampone tahun 1987

c. MA Negeri Watampone tahun 1990

d. S1 Program Studi Peradilan Agama IAIN di Watampone tahun 1995

e. S2 Konsentrasi Hukum Islam IAIN Alauddin Makassar tahun 2004

f. S3 Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2012

6. Penelitian Ilmiah:

a. Peranan Dwangsoom (uang Paksa) dalam Eksekusi Ditinjau dari Segi Hukum
Islam, Skripsi, Watampone: IAIN di Watampone 1995.
b. Penggantian Ahli Waris (Plaatsvervulling) dalam Hukum Waris Nasional
dan Hukum Islam, Tesis, Makassar: IAIN Alauddin Makassar 2004.

c. Penyelesaian Sengketa Waris pada Masyarakat Islam di Kecamatan Tanete


Riattang Barat Kabupaten Bone, Penelitian Individual, STAIN Watampone,
2009.
d. Resolusi Konflik Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Islam dan
Hukum Adat Pada Masyarakat Bugis di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan,
Disertasi, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2012.
e. Integrasi Hukum Islam Dan Hukum Adat Dalam Pewarisan Masyarakat
Bugis Bone (Studi Kasus Di Kecamatan Palakka), Penelitian Kolektif,
STAIN Watampone, 2013.
f. Praktik Pembagian Harta Warisan Masyarakat (Studi Kasus di Kelurahan
Macanang Kecamatan Tanete Riattang Barat), Penelitian Individual BKD,
STAIN Watampone, 2013.

Anda mungkin juga menyukai