Anda di halaman 1dari 7

Nama : Dino Rizka Afdhali

NIM : 2310623051
Mata Kuliah : Teori Hukum
Dosen Pengampu : Dr. Aurora Jillena Meliala, S.H., M.H

Filsafat hukum dengan berbagai aliran pemahamannya adalah salah satu dasar
berpikir yang dikembangkan dan diterapkan dalam menyelesaikan permasalahan hukum
yang terjadi. Aliran-aliran dalam filsafat hukum dapat membantu kita untuk menemukan
hukum atas peristiwa hukum yang terjadi. Masing-masing aliran hukum memberikan
guidance dalam menemukan hukum melalui dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Dalam yang singkat ini, penulis akan membahas ontologi, epistemologi, dan aksiologi dari
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru.

1. Dimensi ontologi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru


Ontologi sendiri berasal dari kata Yunani yaitu on/ontos yang berarti ada, dan
logos yang berarti ilmu. Secara istilah ontologi bisa diartikan sebagai bidang pokok
filsafat yang mempersoalkan hakikat kebenaran sesuatu yang ada. Ontologi merupakan
kajian tentang wujud, hakikat yang ada, bukan didasarkan atas alam yang nyata, tetapi
berdasarkan logika. Secara sederhana ontologi mempelajari sesuatu yang ada baik
tampak maupun tidak tampak yang kita yakini keberadaannya. Dengan demikian dapat
dipahami bahwasannya ontologi adalah mempelajari hakikat sesuatu atau keberadaan
sesuatu dan menjawab pertanyaan “apa”.
Jika kita masukkan kajian ontologi ini terhadap Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yang baru, maka fokus pembahasannya akan menjawab pertanyaan
dari dimensi ontologi itu sendiri yaitu apa itu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang baru?
Hukum pidana yang berlaku di Indonesia hingga sekarang ini masih merupakan
warisan dari pemerintahan Hindia Belanda. Sejak awal abad ke-19 Hindia Belanda
memberlakukan kodifikasi hukum pidana yang pada mulanya masih pluralistis, yakni
Undang-undang Hukum Pidana untuk orang-orang Eropa dan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana untuk orang-orang bumiputera serta yang dipersamakan (inlanders).
Mulai tahun 1918 di Indonesia diberlakukan satu Kitab Undang-undang Hukum Pidana
untuk seluruh golongan yang ada di Hindia Belanda (unifikasi hukum pidana) hingga
sekarang.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru sangat dibutuhkan
dalam pembaruan sistem hukum pidana di Indonesia. Jika kita cermati perkembangan
dan pelaksanaan KUHP lama, sudah tidak bisa dikatakan lagi untuk menjadi rujukan
utama dalam memformulasikan kebijakan legislasi nasional dalam bidang hukum
Pidana. Di lain sisi masih banyak tersebar undang-undang pidana yang tersebar di luar
KUHP yang tidak terkodifikasi dalam satu kitab hukum pidana. Dalam konteks ini,
terjadi dualisme sistem hukum pidana, yaitu sistem hukum pidana yang dibangun
berdasarkan KUHP, dan sistem hukum pidana yang dibangun berdasarkan
undang-undang yang tersebar di luar KUHP.
Keadaan hukum pidana ini telah menstimulasi masyarakat akan pentingnya
pembaharuan hukum pidana secara menyeluruh guna membangun sistem hukum
pidana yang solid, di samping misi dekolonialisasi, harmonisasi, demokratisasi, dan
aktualisasi1.
Setelah penantian puluhan tahun dalam usaha pembaharuan hukum pidana,
akhirnya tepat pada tanggal 6 Desember 2022 melalui sidang paripurna, DPR bersama
dengan Pemerintah berhasil mengesahkan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana
(RKUHP) menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini tentu menjadi
langkah besar dan bersejarah bagi bangsa Indonesia dalam melakukan reformasi
hukum pidana dalam kerangka negara hukum yang demokratis.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru pada hakikatnya
merupakan suatu bentuk perwujudan daripada pembaharuan/ rekonstruksi/
restrukturisasi keseluruhan sistem hukum pidana substantif yang terdapat dalam KUHP
peninggalan zaman Hindia Belanda.
Secara komprehensif, disparitas fundamental antara KUHP lama dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 adalah terdapat pada filosofi pembentukannya.
Dalam KUHP lama, pembentukannya didasarkan atas pemikiran aliran klasik yang

1
Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).
berkembang pada abad ke-18 yang memusatkan perhatian hukum pidana pada
perbuatan atau tindak pidana. Berbeda dengan filosofi pembentukan KUHP lama,
dalam KUHP baru yang menjadi landasan pemikiran dibentuknya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2023 adalah pemikiran aliran neo-klasik yang menjaga keseimbangan
antara faktor objektif (perbuatan/lahiriah) dan faktor subjektif (orang/batiniah/sikap
bathin). Dengan keberadaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 ini, diharapkan
dapat mewujudkan usaha pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara
terarah, terpadu, dan terencana sehingga dapat mendukung pembangunan di berbagai
bidang sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan
dinamika yang berkembang dalam masyarakat.

● Pendapat penulis
Dari sekian banyaknya perubahan dalam KUHP baru ini, ada yang menjadi
fokus penulis dalam memberikan pendapat yaitu delik tentang agama ataupun yang
berkaitan dengan agama yang dirumuskan dalam KUHP baru tersebut, seperti
perusakan bangunan ibadah (Pasal 305), menghasut untuk tidak bertuhan (Pasal
302), penghinaan agama (Pasal 300), merintangi ibadah atau upacara keagamaan
(Pasal 303), penghinaan terhadap orang yang memimpin atau menjalankan ibadah
atau upacara keagamaan atau kepercayaan (Pasal 304), dan lain sebagainya. Jika
kita komparasi dengan KUHP lama, jenis delik seperti ini tidak mungkin didapatkan.
Pencantuman delik-delik yang berkaitan dengan agama ini juga mustahil untuk
ditemui dalam hukum pidana yang diberlakukan di negara-negara sekuler. Hal ini
disebabkan karena negara sekuler berpandangan bahwa urusan agama bukan
urusan negara dan agama menjadi hak individu masing-masing warga negara.
Selain pasal-pasal yang berkaitan dengan delik agama, dalam KUHP yang
baru tersebut juga dimasukkan pasal-pasal baru yang berkaitan dengan delik
kesusilaan, seperti berbagai bentuk persetubuhan di luar pernikahan yang sah atau
yang melanggar ketentuan agama. Tentu saja masih banyak pasal-pasal lain yang
terkait dengan materi delik agama dalam KUHP baru tersebut. Hal semacam ini
merupakan ikhtiar positif pemerintah dan DPR untuk memberlakukan ketentuan
hukum sesuai aspirasi masyarakat, khususnya umat Islam.
2. Dimensi epistemologi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yaitu episteme yang berarti
pengetahuan dan logos yang berarti ilmu. Jadi epistemologi ini bisa diartikan sebagai
bahasan-bahasan tentang pengetahuan. Dalam epistemologi yang menjadi concern
pembahasan adalah sumber ilmu pengetahuan didapat dan bagaimana cara
memperoleh ilmu pengetahuan.
Jika kita masukkan kajian epistemologi ini terhadap Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) yang baru, maka fokus pembahasannya akan menjawab
pertanyaan dari dimensi epistemologi yaitu bagaimana norma-norma dalam KUHP
didapat dan apa saja yang menjadi sumber-sumber pengetahuan sehingga
norma-norma tersebut dicantumkan dalam KUHP?
KUHP yang ada saat ini sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman
selain juga dianggap tidak memiliki kepastian hukum. Hal ini disebabkan pemerintah
belum menetapkan terjemahan resmi Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie
(WvSNI) atau nama lain KUHP. Akibatnya terjadi multitafsir karena pemaknaan yang
berbeda-beda.
Dalam rangka melindungi dan menciptakan kesejahteraan masyarakat, hukum
pidana mempunyai posisi sentral untuk menyelesaikan konflik (kejahatan) yang terjadi.
Masyarakat Indonesia heterogen, baik horizontal (suku, agama, ras) maupun vertikal
(perbedaan kekayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi), pada hakikatnya dapat
menjadi faktor kriminogen, terutama jika terjadi ketidakadilan dan diskriminasi dalam
menangani masyarakat. Dengan demikian hukum pidana penting perannya, sekarang
dan dimasa yang akan datang, bagi masyarakat sebagai kontrol sosial untuk mencegah
timbulnya disorder, khususnya sebagai pengendali kejahatan.2
Secara yuridis pembentukan peraturan di Indonesia (baik legislasi maupun
regulasi) harus berdasarkan Pancasila sebagai norma tertinggi dan cita hukum di
Indonesia. Sebagai sumber hukum, Pancasila menjadi asal muasal bagaimana
peraturan perundang-undangan dibentuk lalu diterapkan. Pancasila bintang pemandu
(leitstern) sebagai alat ukur pembuatan hukum dan pengawal ke arah tujuan hendak

2
Taufik Siregar, Kajian Yuridis terhadap Kelemahan KUHP dan Upaya Penyempurnaannya, (Jurnal
Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Vol 9 No 2).
dicapai.3 Dalam pemikiran hukum progresif yang dicetuskan Prof. Satjipto Rahardjo,
hukum progresif mencoba mendobrak tradisi berpikir legal-positivism, yang
menganggap hukum hanya sebatas pada koridor peraturan perundang-undangan dan
melakukan penafsiran perundang-undangan secara formal-tekstual sehingga dapat
terjadi pengabaian nilai-nilai sosial dalam masyarakat, sehingga sulit untuk mewujudkan
keadilan itu sendiri.4
Acapkali pengaruh agama atas hukum yang berlaku pada suatu waktu dalam
masyarakat sangat besar. Selaras dengan hal itu jika kita melihat dalam KUHP yang
baru, beberapa pasal dicantumkan atas dasar perlindungan kepada agama dan
pemeluk agama. Nilai agama menjadi salah satu dasar pertimbangan perumus KUHP
dalam merumuskan norma.
Selain itu dalam KUHP yang baru, terlihat bahwa pembentuk KUHP mengadopsi
hukum yang hidup dalam masyarakat atau biasa disebut hukum adat. Hal ini bisa dilihat
dalam Pasal 2. Adopsi hukum adat dalam KUHP juga menimbulkan konsekuensi
berupa inventarisasi dan kompilasi hukum adat ke dalam peraturan daerah.

● Pendapat penulis
Sebuah langkah maju yang dilakukan perumus KUHP dengan mengadopsi
norma yang terdapat dalam Pancasila, norma agama serta norma hukum adat. Sudah
seyogyanya Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi dan pandangan hidup bangsa
Indonesia dijadikan pedoman dalam merumuskan norma-norma yang ada dalam KUHP.
Begitu juga dalam perumusan norma-norma terhadap delik agama yang notabenenya
juga merupakan larangan dalam peraturan agama. Menurut hemat penulis langkah ini
merupakan bentuk kepedulian dan “ketaatan” dari perumus KUHP terhadap institusi
agama. Selain itu pula eksistensi hukum adat yang merupakan bagian daripada
masyarakat adat juga diakomodir melalui ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHP
baru.

3
Ferry Eka Sandy, Aspek Epistemologi Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Perspektif Filsafat Hukum
(Jurnal Dinamika Hukum dan Masyarakat, Vol. 5 No. 2) hal. 13
4
http://www.sthmahmpthm.ac.id/detailpost/hukum-progresif-pancasila-sebagai-bintang-pemandu
3. Dimensi Aksiologi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru
Kata aksiologi berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua kata yaitu axios yang
artinya nilai dan logos yang artinya teori atau ilmu. Jadi, aksiologi adalah teori tentang
nilai. Secara harfiah aksiologi berarti nilai yang berguna. Jadi secara sederhana dalam
aksiologi ini ada kegunaan dan ada nilai dari sebuah pengetahuan.
Jika kita masukkan kajian aksiologi ini terhadap Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yang baru, maka fokus pembahasannya akan menjawab pertanyaan
dari dimensi aksiologi yaitu untuk apa KUHP yang baru diadakan?
Kebijakan pembaharuan hukum pidana dengan membentuk Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru akan menjadi peletak dasar bagi
bangunan sistem hukum pidana nasional Indonesia sebagai negara merdeka dan
berdaulat, sesuai pula dengan misi dekolonialisasi KUHP peninggalan/warisan kolonial,
demokratisasi hukum pidana, konsolidasi hukum pidana, dan adaptasi dan harmonisasi
terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi baik sebagai akibat
perkembangan di bidang ilmu pengetahuan hukum pidana maupun perkembangan
nilai-nilai, standar-standar serta norma yang hidup dan berkembangan dalam
kehidupan masyarakat hukum Indonesia dan dunia internasional, sekaligus sebagai
refleksi kedaulatan nasional yang bertanggungjawab.5
Fungsi dari KUHP dalam penegakan hukum di Indonesia ini ada dua, yaitu social
defence yakni melindungi masyarakat dari kejahatan, serta sebagai penjaga
keseimbangan dan keselarasan hidup di masyarakat. Selain itu pula ada beberapa
pertimbangan atau alasan perlunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional
yang baru dibentuk, antara lain landasan filosofis, landasan sosiologis dan landasan
yuridis.
Landasan filosofis mengapa KUHP baru diadakan adalah usaha pembaharuan
hukum pidana di Indonesia harus dilandaskan pada tujuan nasional yang ingin dicapai
oleh bangsa Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. KUHP
yang saat ini masih berlaku merupakan produk hukum pemerintah Kolonial Hindia
Belanda, yang perlu disesuaikan. Alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945
harus dijadikan tolak ukur untuk pelaksanaan pembaharuan tersebut. Dengan kata lain

5
Draft Naskah Akademik, Op.cit
pembaharuan hukum pidana harus menjadi sarana untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.6
Landasan sosiologis mengapa KUHP baru diadakan adalah pembaharuan
hukum dilakukan karena adanya kehendak untuk memenuhi kebutuhan hukum
masyarakat yang sudah diupayakan sejak 46 tahun yang lalu. Kebutuhan ini didasarkan
pada nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa (latency) yang merdeka dan berdaulat.
Terlebih lagi bagi negara yang pernah mengalami masa penjajahan dan saat ini masih
mewarisi sistem hukum dari negara yang menjajahnya, baik melalui asas konkordansi,
yurisprudensi dan doktrin yang ditanamkan oleh penjajah yang pada perkembangan
selanjutnya tidak banyak dipahami oleh generasi baru dari negara tersebut.
Pembaharuan hukum bagi negara tersebut mutlak untuk dilakukan sehingga terwujud
hukum pidana nasional.7
Adapun yang menjadi landasan yuridis mengapa KUHP baru diadakan adalah
KUHP yang berlaku di Indonesia berasal dari Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandsch-Indie (Stb. 1915: 732). Setelah Indonesia merdeka, keberlakuannya
didasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.

● Pendapat penulis
Melihat dinamika dan fenomena yang terjadi di masyarakat, sudah seharusnya
Indonesia mempunyai aturan hukum pidana sendiri meninggalkan aturan hukum pidana
kolonial Belanda. Mengingat perkembangan zaman yang semakin pesat dan perbedan
dari segi sosio kultural bangsa Indonesia dengan negara kolonial. Apalagi nilai-nilai dan
norma-norma yang tertuang dalam KUHP semuanya diadopsi dari nilai, budaya dan
keyakinan yang ada di tengah-tengah masyarakat Indonesia.

6
Ibid, hlm 162
7
Ibid, hlm 164

Anda mungkin juga menyukai