Anda di halaman 1dari 5

Nama : Ahmad Fakhrurrozi

NPM : 7121063
Mata Kuliah : Politik Hukum
Tema : Politik Hukum Berdasarkan Konstitusi

Urgensi Perubahan KUHP Buatan Belanda di Indonesia dengan

RUU KUHP

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang saat ini berlaku di Indonesia


berorientasi pada nilai-nilai individualisme/liberalisme, sebuah ironi bagi bangsa yang sudah
memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka sejak 17 Agustus 1945 yang memiliki
falsafah kebangsaan yakni Pancasila, selama ini masih memakai KUHP warisan Belanda.

Pada Tahun 1886 Pemerintah Belanda ingin merubah dualisme hukum yang
berlaku di Hindia Belanda. KUHP Hindia Belanda 1866 (Golongan Belanda dan Eropa) dan
1872 (Golongan Timur Asing dan Bumiputera), diganti dan disesuaikan dengan KUHP
Belanda yang baru. Berdasarkan Asas Konkordansi menurut Pasal 75 Regeling Reglement,
dan Pasal 131 Indische Staatsregeling, maka KUHP Belanda yang baru juga harus
diberlakukan di negeri jajahannya seperti Hindia Belanda dengan penyesuaian pada situasi
dan kondisi setempat.1

Penyusunan Rancangan KUHP untuk menggantikan Kitab Undang-Undang


Hukum Pidana peninggalan pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya
merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasional. Usaha tersebut
dilakukan secara terarah dan terpadu agar dapat mendukung pembangunan nasional di
berbagai bidang, sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan
dinamika yang berkembang dalam masyarakat.

Penyusunan Hukum Pidana dalam bentuk kodifikasi dan unifikasi dimaksudkan


untuk menciptakan dan menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hu-kum
dengan memperhatikan kepentingan nasional, masyarakat dan individu dalam Negara
Republik Indonesia berdasarkan atas hukum yang berlandaskan Pancasila dan UUD RI 1945.
Upaya untuk menciptakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional yang disusun oleh

1
E. Utrecht, Hukum Pidana; Suatu Pengantar Hukum Pidana untuk Tingkat Pelajaran Sarjana Muda Hukum Suatu Pembahasan Pelajaran
Umum, (Jakarta : Pustaka Tinta Mas, 1987).
putra-putri Indonesia sendiri, yang sumbernya digali dari bumi Pancasila, dengan
memperhatikan perkembangan dunia modern, telah lama dicetuskan antara lain dalam forum
Seminar Hukum Nasional.

Tahun 1980-1981 mulailah dilakukan penyusunan rancangan Buku I yang antara


lain masih juga menggunakan KUHP (lama) dengan memperhatikan Rancangan Basarudin
S.H dan Iskandar Situmorang S. H sebagai bahan pembanding. Pada tanggal 13 Maret 1993,
Konsep Pertama RUU KUHP diserahkan kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh.
Dasardasar untuk konsep pertama ini telah diletakkan antara lain oleh Prof R. Soedarto
(Alm), Prof Oemar Senoadji SH (Alm) dan Prof Roeslan Saleh (Alm). Sayangnya Konsep
Pertama ini terlupakan selama masa tugas Menteri Kehakiman Oetoyo Oesman, dan baru
diangkat kembali pada masa tugas Menteri Kehakim an Muladi dan Menteri Kehakiman
Yusril Ihza Mahendra. Pada saat itulah terbit Konsep Kedua (1999-2000) dan Konsep Ketiga
(2004).

Kini setalah lebih kurang 23 tahun semenjak dimulainya prakarsa penyusunan


Konsep Pertama oleh Prof R. Soedarto SH, Konsep Ketiga yang sudah jauh berbeda dari
Konsep Pertama mulai dibahas di DPR. Dalam perjalanan penyusunan selama 33 tahun ini
memang konteks dan tantangan dalam masyarakat Indonesia (maupun dunia) sudah berbeda.
Karena itu memang menarik untuk mengikuti apakah naskah Konsep Ketiga ini dapat
menjawab konteks dan tantangan masyarakat Indonesia tahun 2004 dan selanjutnya. 2 Sampai
sekarang sudah berulang kali dilakukan kajian terhadap RUU KUHP, namun masih belum
final. Sebagai RUU yang terbaru adalah RUU KUHP Edisi 2004 (mungkin sekarang sudah
ada yang terbaru lagi).

Konsep RUU KUHP menghadapi pilihan-pilihan apakah terhadap suatu


perbuatan harus dirumuskan sebagai tindak pidana (delik) atau bukan, selain menyeleksi
diantara pelbagai alternatif yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana
di masa datang. Dengan ini negara diberi kewenangan merumuskan atau menentukan suatu
perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana (delik), dan kemudian dapat
menggunakan tindakan represif terhadap setiap orang yang melanggarnya. Inilah salah satu
fungsi penting hukum pidana, yakni memberikan dasar legitimasi bagi tindakan represif
negara terhadap seseorang atau sekelompok orang yang melakukan perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.

2
Mardjono Reksodiputro, Pembahruan KUHP : Melindungi Hak Asasi Manusia, Kepentingan Umum dan Kebijakkan Negara, makalah
Unpad, jakarta, 4 November 2005, halaman 1.
Menurut Prof Mardjono Reksodiputro, ketika merancang naskah RUU KUHP
edisi 1987-1993, pendekatan team dalam melakukan kriminalisasi dan dekriminalisaasi
adalah mencari sintesa antara hak-hak individu dan hak-hak masyarakat atau kepentingan
umum. Selain, tentu saja menjaga kepentingan politik Negara. Dalam salah satu tulisannya,
Prof Mardjono Reksodiputro menegaskan kembali pendekatan tersebut dengan menyatakan,
bahwa “hukum pidana harus diterap kan dengan cara seminimal mungkin mengganggu hak
dan kebebasan individu, tanpa mengurangi perlunya juga perlindungan terhadap kepentingan
kolektifitas dalam masyarakat demokratis moderen”.3

RUU KUHP sudah Puluhan tahun digagas, disusun, dan disempurnakan. Berkali-
kali pula ganti tim dan ganti Menteri Hukum dan HAM, proses pembahasan di Senayan dan
kunjung berlangsung. Ada dilemma yang harus dipindahkan. Namun di sisi lain, pembuatan
KUHP baru tak kunjung rampung, dikarenakan perkembangan kejahatan dan perilaku pidana,
juga perkembangan masyarakat Indonesia yang selalu menjadi alasan untuk terus dilakukan
penyempurnaan, agar mengadopsi nilai kearifan lokal bangsa Indonesia.

Perlu juga kita ketahui bahwa RUU KUHP sebenarnya terus masuk dalam
program legislasi nasional alias prolegnas Pemerintah dan DPR. Statusnya sama dengan RUU
KUHP, RUU Rahasia Negara, dan RUU Pemberantasan Tipikor. RUU yang secara teknis
sudah disampaikan kepada Presiden untuk mendapatkan amanat. Pemerintah meminta agar
RUU KUHP masuk prioritas yang dibahas. Kesalahan demi kesalahan berpangkal pada
proses legislasi. Berarti pula ada masalah dalam politik hukum pidana nasional. Sebab, DPR
dan pemerintahlah yang paling memiliki otoritas menentukan politik hukum pidana nasional.

Jika dilihat dari mekanismenya, perubahan konstitusi dapat dilakukan dengan


beberapa cara atau prosedur. Strong menyebutkan ada 4 (empat) cara mengubah konstitusi. 4
Pertama, perubahan konstitusi oleh lembaga legislatif/parlemen dengan pembatasan tertentu.
Dalam hal ini biasanya ditentukan syarat pengusulan, kuorum, dan jumlah pengambil
keputusan. Kedua, perubahan konstitusi oleh rakyat melalui referendum, yaitu parlemen
mengajukan rancangan amandemen untuk diputuskan oleh rakyat melalui referendum.
Ketiga, perubahan konstitusi diputuskan oleh negara-negara bagian dalam negara serikat,
yaitu usulan dapat berasal dari parlemen federal atau sejumlah negara bagian. Keempat,
perubahan konstitusi oleh konvensi konstitusi atau konstituante, yaitu keanggotaan parlemen

3
Mardjono Reksodiputro, “Arah Hukum Pidana Dalam Konsep RUUKUHPidana”, makalah Seminar “Pembaharuan KUHP : Melindungi
Hak Asasi Manusia, Kepentingan Umum dan Kebijakan Negara”, yang diselenggrakan oleh Komnas ham, 24 Nopember 2005.
4
Mohammad Fajrul Falaakh, “Komisi Konstitusi dan Peran Rakyat dalam Perubahan UUD 1945, Analisis CSIS” , No.2, (Tahun
XXXI/2002), hal. 188-201.
ditambah dengan pemilihan anggota baru untuk membentuk konvensi konstitusi atau
konstituante, atau dapat pula parlemen dibubarkan terlebih dahulu kemudian dilaksanakan
pemilihan umum anggota konstituante.

Politik hukum dalam Rancangan KUHP disebut juga Politik hukum pidana yang
pada dasarnya adalah suatu bentuk kebijakan yang merespon perkembangan pemikiran
manusia tentang kejahatan. Tidak bisa dielakkan bahwa perkembangan pemikiran masyarakat
atas suatu fenomena perilaku yang dikategorikan kejahatan tak lepas atas perkembangan
masyarakat itu sendiri. Akan tetapi juga tidak dapat dielakkan adanya pandangan bahwa
hukum pidana masih dianggap sebagai alat atau sarana terbaik dalam penanggulangan
kejahatan.

Dibuatnya Rancangan perubahan KUHP oleh pemerintah dan DPR adalah


semata-mata untuk membuat KUHP lebih sesuai dengan kondisi dan perkembangan
masyarakat Indonesia serta yang paling penting adalah KUHP yang dihasilkan sendiri oleh
masyarakat Indonesia. Mengingat KUHP yang kita pakai sekarang merupakan KUHP
peninggalan kolonial, KUHP yang sudah ketinggalan zaman.

Dalam membentuk KUHP Menurut. Sudarto, terdapat 3 alasan perlunya bangsa


Indonesia memiliki KUHP sendiri, yaitu :5

1. Alasan Politik; adalah suatu kewajaran apabila Negara Republik Indonesia


yang merdeka memiliki KUHP nasional yang dihasilkan sendiri dan bisa
menjadi kebanggan nasional.
2. Alasan Sosiologis, Suatu KUHP adalah pencerminan dari nilainilai
kebudayaan dari suatu bangsa.
3. Alasan Praktis perlunya pembaruan KUHP adalah, dalam praktek dewasa ini
jumlah penegak hukum yang benar-benar paham terhadap jumlahnya sangat
sedikit yang selama ini menjadi patokan adalah yang sudah diterjemahkan,
sehingga wajar jika satu penerjemah dengan penerjemah yang lain berbeda
juga pandangan dan penafsirannya.

Menurut Prof Mardjono Reksodiputro, ketika merancang naskah RUU KUHP


edisi 1987-1993, pendekatan team dalam melakukan kriminalisasi dan dekriminalisaasi
adalah mencari sintesa antara hak-hak individu (civil liberties) dan hak-hak masyarakat atau
kepentingan umum (public interest). Selain, tentu saja menjaga kepentingan politik Negara
5
Sudarto, “Kapita Selekta Hukum Pidana”, (Bandung : Alumni, 1986)
(state’s policy). Selain itu, Prof Mardjono Reksodiputro menegaskan kembali pendekatan
tersebut dengan menyatakan, bahwa “hukum pidana harus diterap kan dengan cara seminimal
mungkin mengganggu hak dan kebebasan individu, tanpa mengurangi perlunya juga
perlindungan terhadap kepentingan kolektifitas dalam masya rakyat demokratis moderen”.6

Kesimpulan sekaligus pendapat dari apa yang sudah penulis uraikan di atas
adalah Mengingat KUHP yang kita miliki sekarang masih merupakan KUHP peninggalan
colonial Belanda, ada tiga cara pembaruan hukum materiel di Indonesia, yakni; Pertama,
Membuat Undang-Undang Khusus di luar KUHP. Kedua, Penambahan, pencabutan, dan
perubahan pasal-pasal KUHP secara parsial. Ketiga, Penyusunan RUU KUHP. Dalam
penyusunan RUU KUHP, Indonesia diharapkan perlu memiliki KUHP Nasional sendiri, ada
3 alasan yang mendukung perlunya memiliki KUHP sendiri, yakni: (1) alasan politik, adalah
suatu kewajaran apabila Negara Republik Indonesia yang merdeka memiliki KUHP Nasional
yang dihasilkan sendiri. (2) alasan sosiologis, suatu KUHP adalah pencerminan dari nilai-
nilai kebudayaan dari suatu bangsa. (3) alasan praktis, adalah karena jumlah penegak hukum
yang paham WvS semakin sedikit.

6
Mardjono Reksodiputro, “Arah Hukum Pidana Dalam Konsep RUUKUHPidana”, makalah Seminar “Pembaharuan KUHP : Melindungi
Hak Asasi Manusia, Kepentingan Umum dan Kebijakan Negara”, yang diselenggrakan oleh Komnas ham, 24 Nopember 2005

Anda mungkin juga menyukai