Disusun Oleh :
Yonatan Syahlendra
Elisabet Purba
Frederika Eugenia
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya penulisan karya tulis ini
dapat terselesaikan. Rasa terimakasih juga kami sampaikan kepada rekan-
rekan serta tenaga pendidik yang turut membantu untuk memberikan ide-
ide dan menyukseskan karya tulis ilmiah ini.
Pro dan kontra perihal hukuman mati di Indonesia ini memang
masih menjadi sebuah kontroversi hingga saat ini. Sehingga dengan
dibuatnya karya tulis ini penulis mencoba menguraikan tentang
bagaimana keberlanjutan hukuman pidana mati yang kembali dituangkan
dalam KUHP Nasional, selain itu penulis pun ingin menyampaikan tentang
berbagai peluang maupun tantangan yang dapat terjadi dengan adanya
hukuman pidana mati ini.
Dari hasil pembahasan tersebut ditemukan bahwa pada hakikatnya
pelaksanaan hukuman mati itu ialah mewujudkan hakikat hukuman mati
itu sendiri agar tidak terjadi adanya kekosongan hukum sehingga
mengurangi efektivitas hukuman mati
Penulis berharap melalui karya tulis ilmiah ini dapat memberikan
manfaat untuk kemajuan terhadap ilmu pengetahuan bangsa dan negara
Indonesia.a Akhir kata, kami sampaikan terimakasih kepada Tuhan yang
maha esa atas segala karunia dan berkat yang diberikan kepada kita
semua.
Akhir kata, semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat dan
menambah pengetahuan bagi para pembacanya, serta dapat memberikan
manfaat dalam praktik penegakan hukum di Indonesia.
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
Hukuman mati dapat dikatakan sebagai hukuman yang paling tua,
nyatanya peristiwa pembunuhan ini sudah terjadi di zaman Qobil kepada
adiknya yaitu Habil. Memang hukuman mati ini tidak dapat ditentukan
sejak kapan mulai diterapkan di berbagai negara. Berdasarkan tradisi
hukum pidana kuno segala perbuatan kejahatan yang dilakukan oleh
orang tersebut maka ia harus mendapatkan balasan yang setimpal. Bagi
Indonesia hukuman mati ini memang diadopsi dari Kitab milik Belanda
“Wetboek Van Strafrecht Voor Nederlandsch Indie” (WvSNI) yang hingga
saat ini masih digunakan oleh Indonesia dan dikemas dalam bentuk KUHP.
(Sumber: Bambang Sugeng Rukmono, 2016, Hakikat Pelaksanaan
Hukuman Mati Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia, hlm. 39)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) peninggalan Belanda
yang telah lama berlaku mulai ditinggalkan secara perlahan oleh
Indonesia, ini dapat terlihat delapan belas tahun sudah sejak
kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 yang akhirnya pada tahun 1963
Indonesia telah mulai menyusun KUHP-nya sendiri. Proses dan penantian
yang panjang akhirnya usai pada 2 Januari 2023 silam saat Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden Joko Widodo menyepakati
disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)
menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan
menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, yang akan berlaku pada tahun 2026
mendatang.
Proses lika-liku perancangan KUHP hingga disahkannya dapat
dikatakan memakan waktu yang cukup lama, yaitu selama enam puluh
tahun hingga benar-benar RKUHP ini siap untuk disahkan. Perjalanan
panjang yang dibutuhkan terjadi bukan tanpa alasan karena sudah
berkali-kali RKUHP mengalami perkembangan dalam rancangannya, yang
dapat dilihat sejak tahun 1963.[1] Diikuti oleh perkembangan rancangan-
4
rancangan di tahun berikutnya sehingga menghasilkan perubahan RKUHP
sebanyak 24 kali hingga perubahan terakhir yang terakhir kalinya.[2]
KUHP adalah kitab yang menjadi dasar hukum pidana di negara
Indonesia, sehingga dapat dimaklumi jika membutuhkan waktu yang
cukup lama untuk mempersiapkan perubahan tersebut, karena merubah
KUHP yang telah berlaku selama satu abad ini berarti juga ikut mengubah
paradigma-paradigma dan ketentuan-ketentuan yang telah ada
sebelumnya dalam masyarakat Indonesia. Ditambah lagi perlunya untuk
melihat faktor-faktor kejelasan tujuan, kesesuaian antara jenis, hierarki,
dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan
kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan.[3] Nantinya setiap
faktor tersebut diharapkan dapat melahirkan sebuah KUHP yang dapat
efektif dan terharmoniasi dengan peraturan-peraturan pelaksana serta
juga tidak berkontradiksi dengan nilai-nilai yang ada agar tercipta
ketentraman dalam masyarakat.[4]
KUHP Nasional merupakan wujud dari cita-cita pembaharuan
hukum pidana nasional yang telah dirintis sejak tahun 1963 melalui
Seminar Hukum Nasional I, yang diselenggarakan di Kota Jakarta pada
tanggal 11-16 Maret 1963. Sejak awal prosesnya, pembaharuan hukum
pidana nasional diiringi dengan beberapa Draft Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (“Konsep”), antara lain: Konsep 1964, Konsep 1968,
Konsep, 1971/1972, Konsep 1982/1983, Konsep 1987/1988, Konsep
1991/1992, Konsep 2004-2008, Konsep 2015, dan Konsep 2019, sebelum
akhirnya diterbitkan menjadi KUHP Nasional dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2023.
Sejak mulai dicetuskan upaya perumusan KUHP Nasional kurang
lebih memiliki beberapa banyak sekali masalah, sebelas diantaranya yaitu:
(1) Keseimbangan asas legalitas formal dan materiil serta sifat melawan
hukum formil dan materill; (2) Sistematika KUHP Baru; (3) Keseimbangan
5
asas legalitas dan asas kesalahan; (4) Masalah
kesalahan/pertanggungjawaban pidana; (5) Masalah alasan penghapus
pidana; (6) Masalah pertanggungjawaban korporasi; (7) Masalah
pedoman pemidanaan; (8) Masalah jenis pidana dan tindak pidana; (9)
Masalah jumlah dan lamanya pidana; (10) Masalah peringanan dan
pemberatan pidana; dan (11) Masalah tindak pidana dalam Buku II.
Salah satu masalah dari jenis pidana yaitu pidana mati. Sanksi
pidana mati merupakan sanksi pokok dari KUHP sendiri. Pidana mati
hanya dapat diberikan kepada terpidana yang melakukan kejahatan
tertentu seperti tindak pidana senjata api, pembajakan udara, terorisme,
narkotika, korupsi dan lain sebagainya. Alasan pidana mati masih
diterapkan di indonesia adalah untuk memberikan kepuasan terhadap
pihak yang dirugikan serta untuk mencegah terjadinya tindak pidana di
masa yang datang.
Pelaksanaan pidana mati pada KUHP peninggalan Belanda dapat
dilaksanakan ketika grasi terpidana yang divonis mati ditolak oleh
presiden, keputusan tersebut tercantum dalam kesepakatan antara
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham),
Kejaksaan Agung dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan
Keamanan ( Menkopolhukam).(Sumber dari web Jika Grasi Ditolak,
Eksekusi Mati Tetap Dilakukan web republika).
Namun berbeda dengan KUHP Baru, pidana mati kini masih
menjadi pro kontra dimana pidana mati dianggap telah bertentangan
dengan prinsip dan nilai hak asasi manusia (HAM). Hermann Mostar,
seorang penulis berkebangsaan jerman mendeskripsikan dengan baik
serta mengilustrasikan pidana mati sebagai pembunuhan peradilan.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 98 KUHP Nasional, pidana mati
diancam sebagai alternatif atau sebagai upaya terakhir untuk mencegah
dilakukannya tindak pidana. Berdasarkan Pasal 101 KUHP Nasional,
hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10
(sepuluh) tahun dengan memperhatikan hal-hal tertentu.
6
Pemberlakuan sanksi pidana mati masih menjadi topik obrolan yang
hidup dalam tingkat global.[5] Begitupun juga pada negara Indonesia
yang mengatur pidana mati dalam KUHP baru pada Pasal 100 banyak
menuai pro dan kontra dari masyarakat, dan tak jarang juga dalam
perdebatannya sering dikaitkan dengan perspektif Hak Asasi Manusia.[6]
Pandangan yang bermuara dari pihak kontra atau disebut kaum
abolisionis ini pada umumnya berkaitan dengan pelanggaran HAM, dan
pidana mati telah sama sekali menghilangkan kesempatan terpidana mati
untuk mencoba memperbaiki hidupnya.[7]
Namun juga bermunculan berbagai pendapat dan argumentasi dari
pihak pro yang disebut kaum retensionis, yang pandangan-pandangannya
dapat disimpulkan mengarah pada religious law yang argumentasinya
bahwa Tuhan telah mempercayakan kepada manusia untuk menjatuhi
hukuman mati pada kasus tertentu sehingga dapat terciptanya
keseimbangan dan ketertiban kehidupan bersama, dengan adanya doktrin
ini mengisyaratkan bahwa sebenarnya hukuman mati tidaklah melanggar
hak Tuhan sebagai pemberi hidup.[8]
Terlepas dari pendapat bahwa ada yang setuju dan menolak
hukuman mati dalam KUHP ini, namun pada kenyataannya yang perlu
disadari bahwa hukuman mati masih menjadi sanksi yang sah dalam
KUHP yang sedang berlaku. Dan jika bertolak dari hal-hal diatas, maka
penulis akan membicarakan bagaimana peluang dan tantangan
pemberlakuan hukuman mati pada KUHP Indonesia.
7
berdasarkan KUHP Nasional? (2) bagaimana peluang dan tantangan
pemberlakuan KUHP Nasional dengan adanya pidana mati?
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
9
organization of the social reaction to crime ” (sumber: Barda Nawawi Arief,
2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana - Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, hlm. 3). Kebijakan kriminal merupakan
upaya penanggulangan kejahatan yang menjadi bagian integral dari upaya
perlindungan masyarakat (social defence). Dengan menggunakan
kebijakan kriminal, maka upaya perlindungan masyarakat dapat dilakukan
melalui 2 (dua) cara, yaitu melalui pidana dan/atau non pidana. Ketika
memilih menggunakan pidana maka diperlukan kebijakan hukum pidana
(penal policy), yang mana kebijakan tersebut memiliki tiga aspek penting
berupa mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
hukuman (media massa), penerapan hukum (kriminologi praktis), dan
pencegahan tanpa hukuman (sumber: Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga
Rampai Kebijakan Hukum Pidana - Perkembangan Penyusunan Konsep
KUHP Baru, hlm. 4-5).
Adapun mengenai definisi, Marc Ancel merumuskan bahwa
kebijakan hukum pidana atau penal policy ialah suatu ilmu sekaligus seni
yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan
peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk
memberikan pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang,
tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga
kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Definisi
lain diberikan oleh A. Mulder yang merumuskan kebijakan hukum pidana
sebagai sebuah ukuran yang digunakan untuk menentukan seberapa jauh
regulasi yang sedang berlaku saat ini perlu untuk dilakukan pembaharuan
atau perubahan, kemudian apa yang dapat diperbuat untuk mencegah
terjadinya tindak pidana, dan cara bagaimana penyidikan, penuntutan,
peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilakukan (sumber: Buku
Kebijakan Hukum Pidana oleh Prof. John Kenedi, hlm. 62). Pandangan lain
diberikan oleh Prof. Sudarto dengan melihat kebijakan hukum pidana atau
10
politik hukum pidana dari sudut pandang politik hukum dan politik
kriminal. Melalui cara pandang tersebut, dirumuskan bahwa politik hukum
pidana ialah mengadakan pidana yang paling baik dalam memenuhi syarat
keadilan dan daya guna. Atau usaha mewujudkan peraturan perundang-
undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
saat dan untuk masa-masa yang akan datang (sumber: Barda Nawawi
Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana - Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, hlm. 26).
Tentunya KUHP Baru merupakan wujud kebijakan hukum pidana.
Namun, hal tersebut masih perlu untuk dipersoalkan apalagi dengan
masih diaturnya pidana mati. Oleh karena itu kami menggunakan teori ini
untuk menganalisis apakah KUHP Baru merupakan kebijakan hukum
pidana yang berusaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan
pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada waktu dan untuk
masa-masa yang akan datang, khususnya dalam konteks Indonesia, atau
belum.
11
nasional dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan dalam hukum
pidana Indonesia akan dibawa ke arah pemidanaan yang moderat dan
lebih baik (sumber: Ahmad Bahiej. Arah dan Tujuan Pemidanaan dalam
Hukum Pidana Nasional Indonesia. Supremasi Hukum Vol. 1 (2),
Desember 2012).
Terdapat 3 (tiga) Teori Tujuan Pemidanaan yang dapat
membenarkan penjatuhan pidana yaitu Teori Absolut, Teori Relatif, dan
Teori Gabungan. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (Inggris: retributive
theory/ Jerman: vergeldings theorien) yang menyatakan bahwa
pemidanaan bukan bertujuan untuk memperbaiki penjahat sehingga tidak
perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana. Teori Relatif atau Teori
Tujuan (doeltheorien) yaitu tujuan pemidanaan yang menjadikan pidana
sebagai alat untuk dapat menegakkan ketertiban hukum di masyarakat.
Menurut teori ini wujud pemidanaan ialah dengan menakut-nakuti
(afschriking), memperbaiki (verbetering), atau membinasakan
(onshadelijk maken). Teori Gabungan yaitu teori yang menggabungkan
Teori Absolut dan Teori Relatif. Teori ini menitikberatkan unsur
pembalasan (pidana adalah sanksi), ketahanan dan tata tertib
masyarakat, serta memandang sama pembalasan dan ketahanan tata
tertib di masyarakat.
Teori Absolut menitikberatkan pemidanaan pada aspek
pembalasan. Bahwa kejahatan haruslah dibalas dengan sanksi pidana
tanpa melihat apakah sanksi tersebut sudah cukup jera bagi pelaku
(sumber: M. Sholehuddin. 2007. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide
Dasar Double Track System dan Implementasinya. RajaGrafindo, Jakarta).
Teori ini muncul pada abad ke-17, yang didukung oleh beberapa filsuf,
seperti Immanuel Kant, Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Johann Friedwich
Herbart, Leo Polak, dan Friedrich Julius Stahl (dari keempat filsuf, hanya
Leo Polak yang berkebangsaan Belanda, sisanya berkebangsaan Jerman).
12
Teori ini memandang pidana hanya semata-mata sebagai pembalasan
atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini senada dengan
pandangan Hugo Grotius yang menyatakan bahwa “malum passionis
(quod lingitur) propter malum actionis”, yang artinya penderitaan jahat
menimpa disebabkan oleh perbuatan jahat (sumber: Bambang Poernomo.
1985. Asas-Asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia, Jakarta).
Teori Relatif dicetuskan oleh Karl O. Christiansen. Teori ini
memandang pidana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Bahwa
pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan terhadap pelaku
kejahatan, melainkan mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang
bermanfaat. Teori Relatif dikenal juga dengan Teori Tujuan ( utilitarian
theory). Terdapat 5 (lima) tujuan pokok pemidanaan, yaitu: (1)
mempertahankan ketertiban masyarakat; (2) memperbaiki kerugian yang
diterima oleh masyarakat sebagai akibat terjadinya kejahatan; (3)
memperbaiki si penjahat; (4) membinasakan si penjahat; dan (5)
mencegah kejahatan (sumber: Hermien Hadiati Koeswadji. 1995.
Perkembangan Macam-Macam Pidana dalam Rangka Pembangunan
Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti, Bandung).
Teori Gabungan atau Teori Integratif adalah teori yang menerima
pembalasan dan perlindungan masyarakat atau pembinaan pelaku tindak
pidana sebagai dasar pembenaran dari suatu pidana. E. Utrecht membagi
teori ini ke dalam tiga golongan, yaitu:
a. Teori-teori menggabungkan yang menitikberatkan pembalasan,
tetapi membalas itu tidak boleh melampaui batas apa yang perlu
dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib
masyarakat.
b. Teori-teori menggabungkan yang menggabungkan yang
menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat, tetapi hukuman
tidak boleh lebih berat daripada suatu penderitaan yang beratnya
13
sesuai dengan perbuatan di terhukum (hukum tidak boleh lebih
berat daripada Verdiend Leed).
c. Teori-teori yang menggabungkan yang menganggap kedua asas
tersebut harus dititikberatkan sama (sumber: E. Utrecht. Hukum
Pidana I. 1958. PT Penerbitan Universitas, Jakarta; C. Djisman
Samasor. Penologi dan Pemasyarakatan. 2016. Penerbit Nuansa
Aulia, Bandung).
14
berlaku di masyarakat itu sendiri yang terdiri dari peraturan dan ketentuan
mengenai suatu institusi itu berperilaku.
Struktur hukum merupakan alat sebagai kerangka hukum secara
menyeluruh yang berkaitan dengan institusi penegakan hukum menurut
kelembagaannya. Sedangkan Budaya hukum merupakan nilai atau sikap
manusia terhadap fungsi dari hukum itu sendiri yang berlaku agar menjadi
aspek yang tepat dalam menciptakan situasi aman dalam peraturan itu
sendiri.
Sehingga dari beberapa teori tersebut penulis menyimpulkan jika
penegakan hukum merupakan cara yang diupayakan untuk mencapai
kepastian hukum dan keadilan hukum dalam masyarakat yang memiliki
kebermanfaatan. Penegakan hukum tidak hanya dipastikan melalui
seberapa besar banyaknya institusi yang berpengaruh terhadap peraturan
yang berlaku, tetapi mengacu kepada bagaimana subjek hukum
mendapatkan pengaruh dan manfaat yang dirasakan dalam hukum itu
sendiri.
15
melindungi hak kodratinya.[Sumber Jurnal Retno Kusniati. Sejarah
Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Kaitannya dengan Konsepsi
Negara Hukum. Jurnal Ilmu Hukum]
BAB III
METODE PENELITIAN
16
3.3. Teknik Pengolahan Data
Pada penelitian ini penulis menggunakan teknik pengolahan data
studi literatur yang memanfaatkan sumber-sumber data bacaan seperti
buku, jurnal, regulasi terkait serta berita-berita yang relevan dengan topik
pembahasan penulis.
UU NO 1 TAHUN 2023
PELUANG TANTANGAN
SOLUSI
17
Pengalokasian dana eksekusi mati sebaiknya
dialihkan kepada perbaikan / renov penjara dan
memberikan tenaga medis psikologi kepada tahanan
guna memulihkan keadaan psikologis terdakwa
BAB IV
PEMBAHASAN
18
Pelaksanaan eksekusi terpidana mati pada mulanya jika merujuk
pada Pasal 11 KUHP dilakukan oleh seorang algojo dengan cara
menggantung terpidana dan dijatuhkan dari tempat terpidana berdiri
hingga mati.[2] Namun dengan keluarnya UU No. 2 /PNPS/Tahun 1964
dimana pelaksanaan hukuman mati mengalami perubahan dalam
pelaksanaanya, yaitu dari hukum gantung menjadi dieksekusi oleh regu
tembak.[3] Penggunaan metode hukuman tembak dinilai tidak
bertentangan dengan HAM, pemikiran serupa juga tersampaikan melalui
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-VI-2008, tergambarkan
bahwa eksekusi tembak memang menimbulkan rasa sakit namun rasa
sakit yang dirasakan oleh terpidana tidak dapat dikatakan sebagai suatu
bentuk penyiksaan (Sumber dari Jurnal Pelaksanaan Pidana Mati di
Indonesia dalam persepektif Hak Asasi Manusia, Marwin).
Eksistensi hukuman mati di Indonesia termanifestasi dalam
beberapa pasal yang telah diatur dalam KUHP, seperti pada pasal 104,
Pasal 111 ayat 2, Pasal 124 ayat 3, Pasal 140 ayat 4, Pasal 140 ayat 3,
Pasal 340, Pasal 365 paragraf 4, Pasal 444, Pasal 124 bis, Pasal 127, Pasal
129, Pasal 368 ayat 2.[1] Meskipun pada beberapa Undang-undang yang
secara terpisah mengatur tentang hukuman mati, tetapi pada pokoknya
jika mengacu pada pasal 10 A ayat 1 KUHP, pidana mati diposisikan
menjadi hukuman yang terberat dan sekaligus pidana mati adalah jenis
pidana pokok di samping pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda.
Seorang terpidana yang telah mendapatkan vonis mati dari hakim
juga melalui berbagai proses hingga terpidana sampai pada hari eksekusi
mati. Secara teknis diawali dengan Kepala Polisi daerah dan Menteri
Kehakiman bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pidana mati dan
pemilihan tempat eksekusi mati setelah mendengar nasihat dari jaksa
yang melakukan tuntutan pada peradilan tingkat pertama, bila terpidana
adalah seorang ibu hamil maka pelaksanaan eksekusi ditunda hingga bayi
19
dalam kandungan tersebut lahir, dalam jangka waktu tiga kali dua puluh
empat jam sebelum eksekusi mati jaksa tinggi atau jaksa diharuskan
untuk memberitahu terpidana terkait kapan dilaksanakannya eksekusi
mati, setelah eksekusi dilakukan jaksa tinggi atau jaksa juga harus
membuat berita acara terkait telah dilaksanakannya eksekusi mati yang
nantinya berita acara tersebut akan dicantumkan dalam Surat Keputusan
dari Pengadilan yang bersangkutan.(Sumber dari Jurnal Pengaturan
Tenggat Waktu Pelaksanaan Pidana Mati dalam Hukum Pidana Indonesia,
Dimas Pranowo, Jurnal Ilmiah Indonesia).
Pada tindakan-tindakan pidana yang dapat dikenakan hukuman
mati di Indonesia dalam praktek pelaksanaannya masih menggunakan
prinsip yaitu Primum Remidium, yang mana hukuman mati ditempatkan
sebagai tempat pertama jika oleh bukti-bukti yang sah dan meyakinkan
dalam proses persidangan muncul dan juga berbagai pertimbangan oleh
hakim sehingga hukuman mati tersebut akhirnya bisa diberikan kepada
terpidana.
20
tunggu selama 10 (sepuluh) tahun terhadap terpidana mati merupakan
suatu kebijakan hukum pidana (upaya yang rasional) dari pemerintah.
Kebijakan tersebut bertujuan untuk memenuhi tiga kaidah hukum yaitu:
(1) Kaidah hukum dalam konteks yuridis, maksudnya bahwa segala
tindakan atau perbuatan yang dilarang berdasarkan undang-undang dapat
dipidana; (2) Kaidah hukum dalam konteks sosiologis, yaitu peraturan
perundang-undangan dapat diterima dan diakui oleh masyarakat; dan (3)
Kaidah hukum dalam konteks filosofis yaitu peraturan perundang-
undangan yang sudah ditetapkan akan dianggap telah mencapai nilai
positif bagi negara (jurnal quo vadis penentuan kaidah hukum bagi
pegawai negeri sipil, firdausi, jurnal supremasi).
Ketiga kaidah hukum di atas telah melengkapi substansi hukum
sehingga mempermudah pemerintah dalam melakukan penegakan hukum.
Dimana salah satu asas pemberlakuan undang-undang adalah asas tidak
boleh berlaku surut. Menurut Wirjono, larangan keberlakuan surut
bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan
masyarakat seharusnya mengetahui apa saja perbuatan yang dilarang.
Dengan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat seharusnya
tingkat pidana yang terjadi di Indonesia dapat berkurang. Namun pada
nyatanya masyarakat belum juga sadar akan hal tersebut. Tindak pidana
masih saja terus terjadi setiap tahunnya. Sehingga pemerintah juga
dituntut untuk dapat menyikapi hal tersebut melalui pembaharuan
undang-undang.
Kedua, masih menghargai hak asasi manusia. Pembaharuan
hukum pidana berupa KUHP Baru dianggap telah memenuhi nilai hak asasi
manusia (HAM) dengan memberikan kesempatan kepada pelaku tindak
pidana. Sedangkan dalam KUHP beberapa ada yang bilang bahwa
hukuman mati tersebut dianggap telah melanggar HAM. Sesuai dengan
Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
21
Manusia, hak untuk hidup termasuk HAM yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun dan siapapun ( non derogable rights). Namun
demikian, pengaturan pidana mati dalam KUHP Baru dirasa telah
memenuhi penghargaan atas hak asasi manusia. Alasannya yaitu dalam
keadaaan seseorang yang divonis pidana mati, hakim melalui putusannya
diizinkan untuk menjatuhkan masa percobaan selama 10 tahun untuk
dengan memperhatikan rasa penyesalan dan ada perasaan untuk
memperbaiki diri dalam diri terpidana. Melalui putusan masa percobaan
tersebut, terpidana dapat diberikan hak hidup untuk dapat berubah
menjadi lebih baik melalui pembinaan berupa pendidikan dan pelatihan
yang diberikan selama berada dalam lembaga pemasyarakatan.
Pada negara-negara maju seperti di benua Amerika dan Eropa
ketentuan pidana mati telah dihapuskan dalam hukum pidananya.
[widyaningrum, perbandingan pengaturan hukuman mati di indonesia dan
amerika, jurnal ilmu hukum dan konstitusi] Sedangkan di Indonesia sendiri
masih mengatur pidana mati terhadap pelaku tindak pidana. Namun
menurut hemat penulis meskipun Indonesia masih mengatur pidana
mati, akan tetapi telah menjunjung tinggi nilai HAM dengan diadakannya
masa tunggu selama 10 tahun sesuai dengan isi Pasal 100 KUHP Baru.
Namun dengan segala peluang yang ada dari pemberlakuan KUHP
Nasional, tantangan pemberlakuannya pun tetap ada.
Ketiga, upaya pencegahan tindak pidana. Hingga saat ini
Indonesia masih mengakui bahwa pidana mati merupakan cara yang
paling tepat untuk menghukum seseorang sesuai dengan tindak pidana
yang dilakukan terdakwa. Tujuan dari penerapan pidana mati ini
diharapkan mampu memberikan efek jera bagi pihak yang bersalah guna
memberikan sebuah peringatan kepada masyarakat agar tidak mengulangi
tindak kejahatan (efek preventif), demi tercapainya tujuan yang lebih
besar lagi yaitu menciptakan keadilan di negara Indonesia. [Ni Komang
22
Ratih Kumala Dewi, Keberadaan Hukuman mati dalam kitab uu hukum
pidana, jurnal komunikasi hukum] Dimana selain dalam KUHP Lama pun
Indonesia tetap berusaha untuk menerapkan hukuman mati yang tertuang
dalam KUHP Nasional. Pada KUHP Nasional tentang pengaturan pidana
mati ini terletak dalam Pasal 100 KUHP Nasional dimana pembahasan
yang dikaji berupa masa percobaan pidana mati.
Hal ini sejalan dengan tujuan pemidanaan yang diatur dalam Pasal
51 KUHP Nasional, yang mengatur bahwa salah satu tujuan pemidanaan
yaitu mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma
hukum demi perlindungan dan pengayoman masyarakat. Jika dihubungan
dengan teori relatif dalam teori tujuan pemidanaan, dapatlah disebutkan
bahwa pidana mati bukan untuk untuk membalas pelaku atas tindak
pidana yang telah dilakukannya melainkan untuk melindungi masyarakat.
Berbeda dengan sanksi pidana mati yang dirumuskan dalam Pasal 10
KUHP Lama yang bertujuan untuk membalas (tujuan retributif).
Akan tetapi nyatanya peluang-peluang pemberlakuan pidana mati
tetap belum bisa memberikan kemanfaatan dalam jangka waktu yang
panjang. Dapatlah dikatakan bahwa pidana mati bertentangan dengan
tujuan adanya hukum yaitu menciptakan kepastian hukum, keadilan, dan
kemanfaatan. Oleh karena pidana mati bertentangan dengan tujuan
hukum, maka berikut ini tantangan-tantangan terhadap pemberlakuan
KUHP Baru yang masih mengatur pidana mati di dalamnya.
Pertama, masa tunggu dengan kekosongan hukum. Masa
tunggu dengan jangka waktu yang panjang dalam proses pidana mati
menimbulkan adanya kekosongan hukum. Karena dalam proses
menunggu yang dilewati terpidana belum ada kepastian kapan dia akan
dieksekusi. Bahwa berdasarkan data yang akan disajikan di bawah
mampu menunjukan jika setiap tahunnya jumlah terpidana mati dalam
masa tunggu masih terus bertambah, penulis menyatakan bahwa pada
23
kondisi ini kekosongan hukum banyak terjadi serta tidak menonjolkan asas
hukum tidak berlaku surut. Dimana berdasarkan KUHP Nasional ini masa
tunggu menuju proses eksekusi adalah 10 tahun tetapi hal ini tidak bisa
disamaratakan dengan alasan mental setiap manusia ini berbeda-beda
walaupun belum memasuki tahap pidana mati tetapi mental dari terpidana
ini akan terus menurun yang akhirnya berpengaruh pada kesehatan
raganya pula. (Sumber : Laporan Situasi Kebijakan Pidana Mati di
Indonesia 2022: Tak Ada Yang Terlindungi, hlm 23)
24
eksekusi mati. Pada kondisi ini terpidana mampu mengalami fenomena
deret kematian (death row phenomenon) yang memiliki arti bahwa
seseorang ini mampu memiliki tekanan emosional yang berlebihan,
dimana hal ini mampu merusak mental terpidana yang artinya semakin
lama proses untuk menuju dalam eksekusi mati maka mental terpidana
pun akan semakin terkikis secara perlahan dan menimbulkan rasa trauma
yang mendalam pada terpidana tersebut. (sumber: Bambang Sugeng
Rukmono, 2016, Hakikat Pelaksanaan Hukuman Mati Ditinjau dari
Perspektif Hak Asasi Manusia, hlm. 147).
Ketiga, pengalokasian dana yang kurang tepat. Dana yang
dialokasikan dalam guna melakukan eksekusi mati mampu mencapai
Rp200.000.000,00 per terpidana mati. Dimana pada pelaksanaan eksekusi
ini memakan berbagai jenis biaya seperti: biaya rapat koordinasi, biaya
konsumsi, biaya untuk pemakaman, biaya untuk para eksekutor, serta hal-
hal lainnya yang berkaitan dengan terpidana. Rincian dana untuk kegiatan
eksekusi mati adalah sebagai berikut :
1. Rapat Koordinasi = Rp 1.000.000 x 3 (Rp 3.000.000)
2. Pengamanan = Rp 1.000.000 x 30 orang ( Rp 30.000.000)
3. Biaya konsumsi = Rp 27.000 x 4 hari x 40 orang x2 (Rp
8.640.000)
4. Biaya transportasi eksekutor = Rp 504.500 x 40 orang x 2 ( Rp
40.360.000)
5. Biaya sewa mobil = Rp 1.000.000 x 2 (Rp 2.000.000)
6. Biaya penginapan eksekutor = Rp 500.000 x 3 hari x 40 orang
(Rp 60.000.000)
7. Biaya regu penembak = Rp 1.000.000 x 10 orang (Rp
10.000.000)
8. Biaya penginapan wakil terpidana = Rp 1.000.000 x 2 hari x 5
orang (Rp 10.000.000)
25
9. Biaya penerjemah = Rp 1.000.000 x 1 orang x 5 (Rp 5.000.000)
10. Biaya rohaniawan = Rp 1.000.000
11. Biaya petugas kesehatan = Rp 1.000.000 x 10 orang (Rp
10.000.000)
12. Biaya pemakaman = Rp 1.000.000 x 10 orang (Rp 10.000.000)
13. Biaya pengiriman jenazah = Rp 1.000.000 x 5 orang (Rp
5.000.000) (Sumber dari jurnal Penerapan Hukuman Mati
Tindak Pidana Narkotika Di Indonesia, Lu Sudirman & Elizabeth
Gunawan)
26
2021 146 kasus
27
Negara berkewajiban untuk melindungi HAM dengan mengambil tindakan-
tindakan untuk memastikan bahwa tidak ada pihak yang mengganggu
penikmatan HAM setiap pemegang HAM. Negara berkewajiban untuk
mengambil langkah-langkah progresif untuk memenuhi hak asasi manusia
setiap orang (sumber: 3 Kewajiban Pokok bagi Negara dalam Hukum HAM
Internasional (hukumonline.com)). Negara berkewajiban untuk
menghormati, melindungi, dan memenuhi hak hidup setiap orang,
termasuk seseorang pelaku tindak pidana. Lantas dengan adanya pidana
mati, hak asasi manusia siapa yang mau dihormati, dilindungi, dan
dipenuhi oleh negara? Tidak ada.
Keenam, adanya celah hukum untuk dilanggar. Dengan
adanya Pidana Mati ini nyatanya banyak menimbulkan celah hukum yang
dapat diperdaya oleh pihak terpidana sehingga terkesan berlarut-larut.
Dalam Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 Pasal 6 ayat (2) yang
menyatakan bahwa sebelum terpidana diberikan eksekusi mati lebih lebih
lanjut maka jaksa memiliki kewajiban khusus untuk memenuhi permintaan
terakhirnya yang dimana pada hal ini tidak diatur jangka waktu sehingga
dapat dikatakan bahwa dengan munculnya Undang-Undang yang
mengatur hal ini dirasa dapat menjadikan adanya kekosongan hukum.
(sumber: Bambang Sugeng Rukmono, 2016, Hakikat Pelaksanaan
Hukuman Mati Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia, hlm 155)
28
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Membutuhkan waktu yang cukup lama bagi Indonesia untuk
meninggalkan KUHP peninggalan Belanda dan beralih kepada KUHP
Nasional. Dimana setiap peralihan pasti memiliki perubahan yang jauh
lebih baik dari sebelumnya, perubahan yang nampak antara KUHP lama
dan KUHP Nasional ini terletak dalam proses tindak pidana mati yang
dimana pada KUHP Nasional ini dianggap lebih memunculkan rasa
manusiawi dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).
Perubahan ketentuan pidana mati pada KUHP Nasional ini nyatanya
masih banyak mendapatkan pandangan yang berbeda-beda dari setiap
individu, dimana bagi pihak yang menyetujui berpikir bahwa Tuhan sudah
29
memberikan kepercayaan untuk manusia agar dapat menghukum
seseorang yang melakukan kesalahan jika memang sudah berada pada
tingkat kriminal, tetapi bagi beberapa pihak yang tidak menyetujui ini
berpendapat bahwa dengan melakukan eksekusi mati ini sudah melanggar
Hak Asasi Manusia yang dimana seluruh manusia memiliki hak untuk
hidup.
Hukuman mati ini sendiri sudah mengalami beberapa perubahan
sebelum sampai kepada KUHP Nasional dengan berbagai rangkaian
pertanggungjawaban yang harus dilakukan bagi eksekutor. Pada
pemberlakuan KUHP Nasional ini pun kembali memunculkan peluang
maupun penghambat dalam proses pelaksanaan eksekusi mati. Dimana
peluang yang terlihat pada pemberlakuan KUHP Nasional ini adalah
memberikan adanya efek jera bagi pihak yang bersalah guna memberikan
peringatan kepada Masyarakat agar tidak mengulangi tindak kejahatan,
guna menciptakan Indonesia yang lebih menjunjung nilai keadilan.
Pada pemberlakuan KUHP Nasional ini pun memunculkan beberapa
tantangan yang masih harus dijadikan bahan evaluasi untuk kedepannya.
Dengan masa tunggu yang terlalu panjang ini dapat mengikis mental
terpidana dan memunculkan adanya kekosongan hukum serta tidak
adanya penerapan asas hukum tidak berlaku surut. Lalu, biaya pun
menjadi faktor utama tantangan bagi pemberlakuan tindak pidana mati
karena dirasa mampu menghabiskan dana yang besar.
5.2. Saran
Walaupun KUHP Nasional baru akan berlaku pada tahun 2026,
dirasa perlu untuk terus mengkritisi kebijakan hukum pidana, khususnya
mengenai pengaturan pidana mati. Ketidaan hukum pelaksana pidana
yang merumuskan metode pemidanaan menjadi tantangan bagi
pemberlakuan pidana mati nantinya.
30
Hasil dari penelitian ini penulis menyimpulkan bahwa, dengan
diaturnya masa percobaan sepuluh tahun pada sanksi pidana mati
mengakibatkan terciptanya kekosongan hukum dan tidak adanya
kepastian hukum. Selain daripada itu, biaya untuk pelaksanaan eksekusi
mati terhadap terdakwa dapat dikatakan cukup besar, menurut hemat
penulis alangkah baiknya jika dana tersebut dialihkan pengalokasiannya
untuk merenovasi penjara yang telah overcrowded dan juga menyediakan
tenaga medis dalam bidang psikologis untuk memperbaiki mental
terdakwa dalam penjara, kedua saran ini dinilai lebih mencerminkan dan
mendukung untuk mewujudkan salah satu hal baru yang ingin dicapai
dalam KUHP Nasional, yaitu mempertimbangkan aspek rehabilitatif. Maka
negara, instansi pemerintah, dan aparat penegak hukum perlu lebih lagi
untuk mengkaji aspek-aspek yang berkaitan dalam pembuatan hukum
guna menciptakan hukum yang memberikan kepastian, keadilan dan
kemanfaatan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
31
H, W. (2020). Perbandingan Pengaturan Hukuman Mati di Indonesia dan
Amerika Serikat. Jurnal Ilmu Hukum dan Konstitusi.
Kholiq, M. A. (n.d.). Kontroversi Hukuman Mati dan Kebijakan Regulasinya
dalam RUU KUHP. Jurnal Hukum.
Koeswadji, H. H. (1995). Perkembangan Macam-Macam Pidana dalam
Rangka Pembangunan Hukum Pidana. Bandung: Citra Adhitya
Bakti.
Kusniati, R. (2011). Sejarah Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam
Kaitannya dengan Konsepsi Negara Hukum . Jurnal Ilmu Hukum .
Anonim. (n.d.). RUU KUHP Disusun Berdasarkan Aspirasi Nasional dan
Partisipasi Masyarakat. Jakarta: Wamenkumham.
Faqih, M. (2015). Jika Grasi Ditolak, Eksekusi Mati Tetap Dilakukan. News
Republika.
ICJR. (2023). Laporan Situasi Kebijakan Pidana Mati di Indonesia 2022 :
Tak Ada Yang Terlindung. Jakarta: ICJR.
32