Anda di halaman 1dari 30

MINI PROPOSAL

PERUBAHAN KITAB UNDANG - UNDANG HUKUM PIDANA


TERBARU UU NO.1 TAHUN 2023 DENGAN KITAP UNDANG-
UNDANG HUKUM PIDANA LAMA

DISUSUN OLEH :

MUHAMMAD DWIKI FEBRIAN

04020200013

KAPITA SELEKTA HUKUM PIDANA C1

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

2022/2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia telah menetapkan dirinya menjadi negara hukum. Nagara hukum
adalah konsep negara yang bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus
dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik. Negara hukum mensyaratkan bahwa setiap
tindakan dari negara haruslah bertujuan untuk menegakkan kepastian hukum, dilakukan
secara setara, menjadi unsur yang mengesahkan demokrasi, dan memenuhi tuntutan akal
budi.

Perwujudan Indonesia sebagai negara hukum tentu sangat baik untuk didukung dan
dijunjung tinggi. Karena di dalam usaha menjadi negara hukum terdapat unsur-unsur baik
di antaranya ; menghargai hak asasi dan martabat manusia ; adanya pembagian dan
pemisahan kekuasaan, pemerintahan dijalankan berdasarkan konstitusi negara ; adanya
peradilan administrasi dalam perselisihan antara rakyat dengan negara. Hal ini
menunjukkan tidak ada kebebasan mutlak bagi rakyat, penyelenggara negara maupun
lembaga-lembaga negara dalam menjalankan kehidupannya. Negara dengan hukum yang
baik dan benar tentu akan mengatur bagaimana rakyatnya harus bertindak sebagai warga
negara yang baik dan patuh terhadap hukum dan mengatur bagaimana pemerintah harus
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.

Setiap warga negara harus menyadari bahwa Indonesia adalah negara yang
berdasarkan hukum bukan berdasarkan kekuasaaan. Sehingga semua yang dilakukan di
dalam berbangsa dan bernegara ini harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan perundang-
undang yang berlaku. Jika pemerintah dan semua warga negara sudah patuh terhadap
hukum yang dianut oleh negara, maka perwujudan sebagai negara hukum akan semakin
nyata. Dan jika aturan hukum berjalan dengan baik maka akan tercipta kondisi yang sangat
ideal bagi perkembangan dan kemajuan bangsa.

Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki induk peraturan hukum pidana positif,
salah satunya yakni KUHP. KUHP digunakan untuk mengadili perkara pidana yang
bertujuan melindungi kepentingan umum. KUHP mengandung peraturan mengenai tindak
pidana yang berdampak buruk terhadap keamanan, ketentraman, kesejahteraan, dan
ketertiban umum. Hukum pidana sendiri merupakan bentuk upaya hukum terakhir
(ultimum remedium) dalam penyelesaian sebuah perkara. Untuk itu, hukum pidana
mengandung sanksi yang bersifat memaksa. Masyarakat yang melanggar hukum pidana
yang tertuang dalam KUHP maka akan dijatuhi sanksi pidana.

A. Rumusan Masalah
Permasalahan yang mau di teliti yaitu :
1. Apakah masih ada beberapa pasal yang terdapat di dalam KUHP lama
masih di berlakukan atau sudah tidak berlaku ?
2. Mengapa Pemerintahan Negara Indonesia mengubah KUHP lama dengan
KUHP Baru ?
3. Apakah KUHP baru yang telah di tetapkan oleh pemerintah sudah bisa
dipakai atau belum dalam menangani kasus-kasus pidana baik secara umum
atau khusus ?
B. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui setiap pasal-pasal yang terdapat di dalam KUHP lama tetap
berlaku atau sudah tidak berlaku.
2. Mengetahui alasan pemerintah negara Indonesia ingin mengubah KUHP lama
ke KUHP baru.
3. Mengetahui KUHP baru yang telah di tetapkan oleh pemerintah sudah bisa di
pakai di Indonesia untuk menangani kasus-kasus pidana baik secara umum
ataupun khusus.
BAB II

PEBAHASAN

A. PEMBAHARUAN KUHP INDONESIA

Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya


merupakan suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali (reorientasi dan
reformasi) hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-
filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penggalian
nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia dalam usaha pembaharuan hukum pidana
Indonesia harus dilakukan agar hukum pidana Indonesia masa depan sesuai dengan sosio-
politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. Pada
pelaksanaannya, penggalian nilai ini bersumber pada hukum adat, hukum pidana positif
(KUHP), hukum agama, hukum pidana negara lain, serta kesepakatan-kesepakatan
internasional mengenai materi hukum pidana.

Adapun alasan-alasan yang mendasari perlunya pembaharuan hukum pidana


nasional pernah diungkapkan oleh Sudarto, yaitu:

• alasan yang bersifat politik adalah wajar bahwa negara Republik Indonesia yang
merdeka memiliki KUHP yang bersifat nasional, yang dihasilkan sendiri. Ini
merupakan kebanggaan nasional yang inherent dengan kedudukan sebagai negara
yang telah melepaskan diri dari penjajahan. Oleh karena itu, tugas dari pembentuk
undang-undang adalah menasionalkan semua peraturan perundang-undangan
warisan kolonial, dan ini harus didasarkan kepada Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum.
• alasan yang bersifat sosiologis suatu KUHP pada dasarnya adalah pencerminan dari
nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa, karena ia memuat perbuatan-perbuatan
yang tidak dikehendaki dan mengikatkan pada perbuatan-perbuatan itu suatu sanksi
yang bersifat negatif berupa pidana. Ukuran untuk menentukan perbuatan mana yang
dilarang itu tentunya bergantung pada pandangan kolektif yang terdapat dalam
masyarakat tentang apa yang baik, yang benar dan sebaliknya.
• alasan yang bersifat praktis, teks resmi WvS adalah berbahasa Belanda meskipun
menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut secara resmi sebagai
KUHP. Dapat diperhatikan bahwa jumlah penegak hukum yang memahami bahasa
asing semakin sedikit. Di lain pihak, terdapat berbagai ragam terjemahan KUHP
yang beredar. Sehingga dapat dimungkinkan akan terjadi penafsiran yang
menyimpang dari teks aslinya yang disebabkan karena terjemahan yang kurang
tepat.
Pembaharuan KUHP secara parsial/tambal sulam yang pernah dilakukan
Indonesia adalah dengan beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu :
1. UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (merubah
nama WvSNI menjadi WvS/KUHP, perubahan beberapa pasal dan
krimininalisasi delik pemalsuan uang dan kabar bohong).
2. UU Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan (menambah jenis
pidana pokok berupa pidana tutupan).
3. UU Nomor 8 Tahun 1951 tentang Penangguhan Pemberian Surat Izin
kepada Dokter dan Dokter Gigi (menambah kejahatan praktek dokter).
4. UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor
1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah
RI dan Mengubah KUH Pidana (menambah kejahatan terhadap bendera
RI).
5. UU Nomor 1 Tahun 1960 tentang Perubahan KUHP (memperberat
ancaman pidana Pasal 359, 360, dan memperingan ancaman pidana
Pasal 188).
6. UU Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam
KUHP (merubah vijf en twintig gulden dalam beberapa pasal menjadi
dua ratus limapuluh rupiah).
7. UU Nomor 18 Prp Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman
Denda dalam KUHP dan dalam Ketentuan-ketentuan Pidana lainnya
yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 (hukuman denda
dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatkan lima belas kali).
8. UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau
Penodaan Agama (penambahan Pasal 156a).
9. UU Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penerbitan Perjudian (memperberat
ancaman pidana bagi perjudian (Pasal 303 ayat (1) dan Pasal 542) dan
memasukkannya Pasal 542 menjadi jenis kejahatan (Pasal 303 bis)).
10. UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa
Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan
Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan
terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan (memperluas ketentuan
berlakunya hukum pidana menurut tempat (Pasal 3 dan 4), penambahan
Pasal 95a, 95b, dan 95c serta menambah Bab XXIX A tentang
Kejahatan Penerbangan).
11. UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan
Negara (menambah kejahatan terhadap keamanan negara Pasal 107 a-f).

Sedangkan usaha pembaharuan KUHP secara menyeluruh/total dimulai dengan


adanya rekomendasi hasil Seminar Hukum Nasional I, pada tanggal 11-16 Maret 1963
di Jakarta yang menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional secepat
mungkin diselesaikan. Kemudian pada tahun 1964 dikeluarkan Konsep KUHP pertama
kali, diikuti dengan Konsep KUHP 1968, 1971/1972, Konsep Basaroedin (Konsep
BAS) 1977, Konsep 1979, Konsep 1982/1983, Konsep 1984/1985, Konsep 1986/1987,
Konsep 1987/1988, Konsep 1989/1990, Konsep 1991/1992 yang direvisi sampai
1997/1998. Terakhir kali Konsep/Rancangan KUHP dikeluarkan oleh Departemen
Hukum dan Perundang-undangan RI pada tahun 1999/2000. Rancangan KUHP
1999/2000 ini telah masuk di DPR RI untuk dibahas dan disahkan.

Selanjutnya, mengkaji Rancangan KUHP secara total dan komprehensif jelas


membutuhkan waktu dan tenaga pemikiran yang ekstra keras. Dilihat dari segi
pembuatannya saja, para pakar hukum di Indonesia telah membuat Rancangan KUHP
sebanyak 12 kali (termasuk revisinya) selama 39 tahun (sejak tahun 1964 s.d. 2000).
Pasal-pasal dalam konsep terakhir tahun 2000 juga membengkak menjadi 647 pasal.
Sedangkan KUHP sekarang (WvS) “hanya” berjumlah 569 pasal.

B. PENGESAHAN RKUHP MENJADI UU


Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU
KUHP) disahkan menjadi Undang-undang. Ketua komisi III DPR RI, Bambang
Wuryanto menyerahkan laporan komisi III terkait RKUHP kepada Menteri Hukum
Dan HAM Yasonna Laoly dalam siding paripurna di gedung DPR RI . Pengesahan
dilakukan dalam rapat paripurna DPR RI yang beragendakan pengambilan keputusan
atas RUU KUHP, Selasa (06/12/2022). Pengesahan itu dilakukan dalam masa siding
rapat paripurna Masa Sidang ke-11 yang digelar pada hari selasa,6 Desember 2022 yang
salah satunya untuk mengesahkan RKUHP menjadi UU dipimpin langsung oleh Wakil
Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad.
Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wuryanto menjelaskan alasan DPR dengan
pemerintah untuk mengubah RUU KUHP menjadi Undang-undang (UU). Menurutnya
hal itu bertujuan untuk memberikan kepastian hukum. Bambang menjelaskan dengan
disetujuinya RUU KUHP menjadi UU diharapkan ada jaminan kepastian hukum.
Selain itu, alasan lainnya yakni menciptakan keadilan dalam proses pemidanaan
terpidana.Ia menegaskan proses pidana tidak dimaksudkan untuk menderitakan
terpidana. Ia menambahkan alasan lainnya yakni untuk menunjukkan kesungguhan
pemerintah dalam konflik hukum di Indonesia.
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly mengatakan pengesahan ini
merupakan momen bersejarah dalam penyelenggaraan hukum pidana di Indonesia.
Setelah bertahun-tahun menggunakan KUHP produk Belanda, saat ini Indonesia telah
memiliki KUHP sendiri. Menurut Yasonna, produk Belanda ini dirasakan sudah tidak
relevan lagi dengan kondisi dan kebutuhan hukum pidana di Indonesia. Hal ini menjadi
salah satu urgensi pengesahan RUU KUHP. Yasonna menjelaskan KUHP yang baru
saja disahkan telah melalui pembahasan secara transparan, teliti, dan partisipatif.
Pemerintah dan DPR telah mengakomodasi berbagai masukan dan gagasan dari public.
Meskipun demikian, Yasonna mengakui perjalanan penyusunan RUU KUHP
tidak selalu mulus. Pemerintah dan DPR sempat dihadapkan dengan pasal-pasal yang
dianggap kontroversial, di antaranya pasal penghinaan Presiden, pidana kumpul kebo,
pidana santet, vandalisme, hingga penyebaran ajaran komunis. Namun, Yasonna
meyakinkan masyarakat bahwa pasal-pasal dimaksud telah melalui kajian berulang
secara mendalam, Ia menilai pasal-pasal yang dianggap kontroversial bisa memicu
ketidakpuasan golongan-golongan masyarakat tertentu. Ia juga mengimbau pihak-
pihak yang tidak setuju atau protes terhadap RUU KUHP dapat menyampaikannya
melalui mekanisme yang benar. Masyarakat diperbolehkan mengajukan gugatan ke
Mahkamah Konstitusi (MK).
Di dalam Perluasan Jenis Pidana Kepada Pelaku Tindak Pidana Menteri
Yasonna menjelaskan bahwa pengesahan RUU KUHP tidak sekadar menjadi momen
historis karena Indonesia memiliki KUHP sendiri. Namun, RUU KUHP menjadi titik
awal reformasi penyelenggaraan pidana di Indonesia melalui perluasan jenis-jenis
pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana. Yasonna menjelaskan
terdapat tiga pidana yang diatur, yaitu pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana yang
bersifat khusus.
Dalam pidana pokok, RUU KUHP tidak hanya mengatur pidana penjara dan
denda saja, tetapi menambahkan pidana penutupan, pidana pengawasan, serta pidana
kerja sosial. Perbedaan mendasar adalah RUU KUHP tidak lagi menempatkan pidana
mati sebagai pidana pokok, melainkan pidana khusus yang selalu diancamkan secara
alternatif dan dijatuhkan dengan masa percobaan sepuluh tahun Selain pidana mati,
pidana penjara juga direformasi dengan mengatur pedoman yang berisikan keadaan
tertentu agar sedapat mungkin tidak dijatuhkan pidana penjara terhadap pelaku tindak
pidana. Keadaan-keadaan tersebut antara lain, jika terdakwa adalah anak, berusia di
atas 75 tahun, baru pertama kali melakukan tindak pidana, dan beberapa keadaan
lainnya.
Meskipun demikian, diatur pula ketentuan mengenai pengecualian keadaan-
keadaan tertentu itu. Yaitu terhadap pidana yang diancam dengan pidana penjara lima
tahun atau lebih, tindak pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus, atau
tindak pidana yang merugikan masyarakat, serta merugikan perekonomian negara,”
katanya.
Selanjutnya, pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa
pencabutan hak tertentu, perampasan barang, pengumuman putusan hakim,
pembayaran ganti rugi, pencabutan izin, dan pemenuhan kewajiban adat setempat.
Pelaku tindak pidana dapat pula dijatuhi Tindakan, yaitu perwujudan nyata dari
diterapkannya double track system dalam pemidaan Indonesia. Contohnya, RUU
KUHP mengatur Tindakan apa yang dapat dijatuhkan bersama pidana pokok dan
Tindakan yang dapat dikenakan kepada orang dengan disabilitas mental atau
intelektual.
Terakhir, perumus RUU KUHP mengatur badan hukum atau korporasi sebagai
pihak yang dapat bertanggung jawab dan dipidana. Penjatuhan pidana pokok, pidana
tambahan, dan Tindakan dikenakan kepada korporasi dan orang-orang yang terlibat
dalam korporasi tersebut, baik pengurus yang memiliki kedudukan fungsional, pemberi
perintah, pemegang kendali, hingga pemilik manfaat.
Meski menuai protes dari berbagai kalangan, DPR RI tetap mengesahkan
RKUPH menjadi undang-undang. Namu UU KUHP itu baru akan mulai diberlakukan
tiga tahun mendatang atau 2025. Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana,
mengatakan UU KUHP yang baru masih akan disosialisasikan, sekaligus transisi dari
KUHP versi lama ke versi baru, Menurut Ketut, kejaksaan akan melakukan sosialisasi
di kalangan internalnya selama masa transisi itu.
Pembahasan di internal kejaksaan, kata dia, sudah dilakukan saat KUHP versi
baru masih berbentuk rancangan undang-undang. Dengan disahkannya KUHP versi
baru maka kejaksaan akan kembali melakukan sosialisasi. "UU itu yang melaksanakan
penegak hukum artinya melakukan sosialisasi internal. Kalau di eksternal ada uji publik
dan sebagainya. Jadi, kalau untuk internal untuk jajaran kejaksaan itu. Sebelum masa
rancangan saja kita sudah bahas soal itu (RKUHP), kita sudah sebarkan ke teman-teman
jaksa, arahnya nanti bagaimana dan antisipasinya," katanya.
Diketahui DPR akhirnya mengesahkan RKUHP menjadi undang-undang.
KUHP baru yang menggusur KUHP zaman penjajahan Belanda itu akan mengalami
masa transisi 3 tahun dan berlaku efektif pada 2025. Jalan berliku dan panjang untuk
mengesahkan RKUHP itu.

C. PERBANDINGAN KUHP LAMA DENGAN YANG BARU


1. Jenis Sanksi Pidana di KUHP Lama dengan KUHP Baru.
Pada KUHP lama, diatur dua jenis hukuman pidana, yaitu pidana pokok dan
pidana tambahan. Sedangkan, UU Nomor 1 Tahun 2023, mengatur tiga jenis
hukuman pidana.
Merujuk pada Pasal 10 KUHP, pidana terdiri atas dua jenis, yakni:
• Pidana pokok
• Pidana tambahan.
Sementara menurut Pasal 64 UU Nomor 1 Tahun 2023 (KUHP baru), sanksi
pidana terbagi menjadi:
• Pidana pokok
• Pidana tambahan
• Pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang
ditentukan dalam undang-undang.

Perbedaan keduanya terletak pada pidana atau hukuman mati yang tak
lagi menjadi pidana pokok menurut KUHP baru. Selain itu, pada KUHP baru,
pemerintah juga mengganti pidana tutupan dengan pidana pengawasan. Bukan
hanya itu, KUHP baru juga menambah satu jenis hukuman lain berupa pidana
kerja sosial.
Menurut Pasal 10 huruf a KUHP lama, pidana pokok adalah sebagai berikut:

• Pidana mati
Baik berdasarkan pada pasal 69 maupun berdasarkan hak yang
tertinggi bagi manusia, pidana mati adalah pidana terberat. Karena
pidana ini berupa pidana yang terberat, yang pelaksanaannya berupa
penyerangan terhadap hak hidup bagi manusia yang sesungguhnya
berada ditangan Tuhan.
Hukuman mati dalam istilah hukum dikenal dengan uitvoering.
Hukuman atau pidana mati adalah penjatuhan pidana dengan mencabut
hak hidup seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang diatur
dalam undang-undang yang diancam dengan hukuman mati. Hukuman
mati berarti telah menghilangkan nyawa seseorang. Padahal setiap
manusia memiliki hak untuk hidup.
Hukuman mati di Indonesia diatur dalam pasal 10 KUHP jo
pasal 11 KUHP. Pidana mati merupakan salah satu pidana pokok yang
masih dipertahankan oleh Hukum Pidana di Indonesia. Pasal 10 yang
memuat dua macam hukuman, yaitu hukuman pokok dan hukuman
tambahan. Hukuman pokok, terdiri dari: Hukuman mati, hukuman
penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda. Hukuman tambahan
terdiri dari: Pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang
tertentu dan pengumuman keputusan hakim.
Pasal 11 KUHP bunyinya : Pidana mati dijalankan oleh algojo
ditempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang
gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat
terpidana berdiri.
Sedangkan tata cara pelaksanaan hukuman mati diatur dalam UU
No. 2/Pnps/1964 yang masih berlaku sampai saat ini. Hukuman mati
dijatuhkan pada orang-orang sipil dan dilakukan dengan cara menembak
mati.
Kejahatan yang diancam dengan hukuman mati di dalam KUHP
antara lain:
• Pasal 104 KUHP: Makar membunuh kepala negara.
• Pasal 111 ayat 2 KUHP: Mengajak negara asing untuk
menyerang Indonesia.
• Pasal 124 ayat 3 KUHP: Memberikan pertolongan kepada
musuh pada saat Indonesia dalam keadaan perang.
• Pasal 140 ayat 4 KUHP: Membunuh kepala negara sahabat.
• Pasal 340 KUHP: Pembunuhan yang direncanakan lebih dahulu.
• Pasal 365 ayat 4 KUHP: Pencurian dan kekerasan oleh dua orang
atau lebih dan mengakibatkan seseorang mengalami luka berat
atau mati.

Selain itu, beberapa pasal dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang


narkotika juga mengatur pidana mati. Pasal 118 dan Pasal 121 ayat 2
menyebutkan bahwa ancaman hukuman maksimal bagi pelanggar adalah pidana
mati. Hukuman mati juga berlaku bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang
tindak pidana korupsi.

• Pidana penjara
Pidana penjara adalah suatu pidana berupa perampasan
kemerdekaan atau kebebesan bergerak dari seorang terpidana dengan
menempatkannya di lembaga pemasyarakatan (Dwidja Priyatno, 2009:
71-72) Pidana penjara ditetapkan secara resmi di Indonesia sejak
berlakunya KUHP pada tanggal 1 Januari 1918, sebelumnya Indonesia
hanya mengenal pidana badan dan pidana denda. Saat itu belum ada
batasan yang tegas untuk membedakan antara pidana badan dan pidana
penjara, karena dalam pelaksanaannya berupa nestapa yang dengan
sengaja ditimpakan kepada seseorang yang yang melakukan
pelanggaran hukum pidana.
Pidana penjara merupakan, jenis pidana yang paling banyak diancamkan
kepada pelaku tindak pidana dalam Buku II KUHP. pidana penjara juga
diancamkan terhadap tindak pidana yang diatur dalam undang-undang
di luar KUHP, baik dirumuskan secara tunggal maupun secara
kumulatif-alternatif dengan sanksi pidana lainnya (Dwidja Dwidja
Priyatno, 2009: 72-77). Banyak sanksi pidana penjara diancamkan
dalam KUHP maupun di luar KUHP dibandingkan dengan jenis pidana
pokok lainnya, karena pidana penjara merupakan satu-satunya pidana
pokok yang ada dalam KUHP yang memungkinkan diadakannya
pembinaan secara terencana dan terarah terhadap terpidana, sedangkan
jenis pidana pokok lainnya tidak memungkinkan adanya pembinaan
dengan terhadap terpidana. Pelaksanaan pidana penjara pun kemudian
mengalami perubahan mulai tahun 1964 dengan perubahan istilah
pemenjaraan menjadi pemasyarakatan. Istilah penjara berubah menjadi
lembaga pemasyarakatan (Suwarto, 2007: 166).
Kecendrungan yang ada sekarang, pidana penjara mengalami
degradasi, karena mendapat banyak tantangan dan tekanan dari berbagai
gerakan yang muncul di Eropa dan Amerika, sorotan keras terhadap
pidana penjara tidak hanya diberikan oleh para pakar secara individual,
melainkan juga oleh lembaga-lembaga internasional. Laporan kongres
PBB kelima tahun 1975 mengenai Pencegahan Kejahatan dan
Pembinaan Pelaku Kejahatan, ada kecenderungan untuk mengabaikan
kemampuan lembaga-lembaga kejahatan. Pada perkembangan
selanjutnya muncul gerakan abolisionis di Amerika yang menekankan
reaksinya pada penghapusan sistem penjara dan gerakan abolisionis
Eropa yang menekankan penolakannya terhadap sistem peradilan
pidana secara keseluruhan, dengan sentralnya sistem kepenjaraan
dengan memunculkan jenis pidana alternative seperti denda dan kerja
sosial (Dwidja Priyatno, 2009: 47-52).
Walaupun demikian, pidana penjara dianggap masih diperlukan
untuk menghadapi berbagai kejahatan yang semakin banyak ragam dan
modusnya. Herbert L. Packer mengemukakan bahwa: (1) sanksi pidana
sangat diperlukan, kita tidak hidup sekarang maupun di masa yang tanpa
pidana; (2) sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang
tersedia yang kita miliki untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan
segera, serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya itu.
Pidana Penjara dalam RKUHP Tujuan pidana mengalami perubahan
sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 54 ayat (1) bahwa pemidanaan
bertujuan untuk:
1) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan mengegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat;
2) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
3) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai
dalam masyarakat; dan
4) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Pasal 54 ayat (2) menyebutkan bahwa pemidanaan tidak


dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat
manusia. Sejalan dengan Pasal 54 yang sangat memperhatikan hak-
hak terpidana, pada pedoman pemidanaan pun disebutkan bahwa
pemidanaan sebagaimana tercantum dalam rumusan Pasal 55 ayat
wajib mempertimbangkan:

1) Kesalahan pembuat tindak pidana;


2) Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
3) Sikap batin pembuat tindak pidana;
4) Tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau
tidak direncanakan;
5) cara melakukan tindak pidana;
6) Sikap dan tindakan pembuat sesuadah melakukan tindak
pidana;
7) Riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi
pembuat tindak pidana;
8) Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak
pidana;
9) Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga
korban;
10) Pemafaan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau
11) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang
dilakukan.

Kemudian dijelaskan pada Pasal 55ayat (2) bahwa: Ringannya


perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan
perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan
untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan
mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Konsep RKUHP masih
menjadikan pidana penjara sebagai salah satu pidana pokok yang diancamkan
kepada pelaku kejahatan.

• Pidana kurungan

Pidana kurungan adalah pidana yang dikenakan kepada terpidana


paling pendek satu hari dan paling lama satu tahun. Jenis hukuman
berupa pidana kurungan ini lebih ringan dari pidana penjara. Dapat
dilakukan di tempat kediaman si terhukum.

• Pidana denda

Pidana denda adalah merupakan salah satu jenis pidana


pokok yang diancamkan dan terutama ditujukan terhadap harta
kekayaan atau harta benda dari seseorang pelaku karena
melanggar ketentuan Undang-undang Hukum Pidana yang
berlaku.

Adapun pidana denda adalah merupakan salah satu jenis


pidana yang termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) yang bertujuan untuk membebani seseorang
yang melanggar ketentuan KUHP dengan membayar sejumlah
uang atau harta kekayaan tertentu agar dirasakan sebagai suatu
kerugian oleh pembuatnya sendiri sehingga ketertiban di
masyarakat itu pulih kembali.

Pidana denda tersebut diancamkan sebagai alternative


dengan pidana kurungan terhadap hamper semua pelanggaran
yang ditentukan dalam Buku II dan Buku III KUHP dan
Undangundang diluar KUHP.

Penjatuhan pidana denda sebagai alternatif dari pidana perampasan


kemerdekaan jangka pendek yang merupakan jenis pidana pokok
yang paling jarang dijatuhkan oleh para hakim, khususnya dalam
praktek peradilan di Indonesia. Pengadilan jarang menjatuhkan
pidana denda terhadap suatu perkara kejahatan. Hal ini disebabkan
oleh karena ancaman pidana denda tidak akan menjadi selaras lagi
dengan nilai mata uang yang berlaku, ancaman maksimum pidana
denda adalah berkisar antara Rp. 900,- sampai dengan Rp. 150.000,-
kecuali ancaman pidana denda yang diatur dalam Undangundang
Hukum Pidana Khusus. Disamping itu sikap hakim terhadap
penilaian pada ancaman pidana denda cenderung digunakan hanya
untuk tindak pidana yang ringan-ringan saja, sehingga pidana
penjara tetap merupakan yang utama.

Pada zaman sekarang ini, pidana denda dijatuhkan terhadap


delik-delik ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Pidana
denda merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang
lain selain terpidana. Maksudnya, walaupun denda dijatuhkan
terhadap terpidana secara pribadi, tidak ada larangan sama sekali
jika denda itu secara sukarela dibayar oleh orang lain atau pihak lain
dan mengatasnamakan terpidana.

Melihat tujuan pemidanaan, maka pidana denda lebih


diutamakan dalam delik-delik terhadap harta benda sehingga harus
dicari keserasian antara kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak
pidana dengan besarnya pidana denda yang harus dibayar oleh
terpidana. Oleh karena itu harus dipertimbangkan dengan saksama
minimum maupun maksimum pidana denda yang diancamkan
terhadap suatu tindak pidana. Pidana denda seringkali dijatuhkan
dalam perkara administrasi dan pajak, misalnya denda terhadap
penyelundup dan penunggak pajak.

• Pidana tutupan

Penambahan pidana tutupan ke dalam ketentuan KUHP didasarkan


pada ketentuan Pasal 1 UU No. 20 Tahun 1946 tentang Hukuman
Tutupan (“UU 20/1946”). Di dalam Pasal 2 UU 20/1946 disebutkan
bahwa:

(1) Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang


diancam dengan hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud
yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan hukuman tutupan.
(2) Peraturan dalam ayat 1 tidak berlaku jika perbuatan yang
merupakan kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu atau akibat
dari perbuatan tadi adalah demikian sehingga hakim berpendapat,
bahwa hukuman penjara lebih pada tempatnya.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU 20/1946 tempat untuk


menjalani hukuman tutupan ini, mengenai tata usaha dan tata
tertibnya diatur oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan
Menteri Pertahanan. Ketentuan mengenai tempat menjalani
hukuman tutupan diatur lebih lanjut dalam ketentuan PP No. 8
Tahun 1948 tentang Rumah Tutupan (“PP 8/1948”).

Pelaksanaan pidana tutupan berbeda dengan penjara karena


ditempatkan di tempat khusus bernama Rumah Tutupan yang
pengurusan umumnya dipegang oleh Menteri Pertahanan (Pasal
3 ayat [1] PP 8/1948). Walaupun berbeda pelaksanaannya,
penghuni Rumah Tutupan juga wajib melaksanakan pekerjaan
yang diperintahkan kepadanya dengan jenis pekerjaan yang
diatur oleh Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri
Kehakiman (Pasal 3 ayat [1] UU 20/1946 jo. Pasal 14 ayat [1]
PP 8/1948). Penghuni Rumah Tutupan tidak boleh dipekerjakan
saat hari minggu dan hari raya, kecuali jika mereka sendiri yang
menginginkan (Pasal 18 ayat [1] PP 8/1948). Selain itu,
Penghuni Rumah Tutupan wajib diperlakukan dengan sopan dan
adil serta dengan ketenangan (Pasal 9 ayat [1] PP 8/1948).

Pidana tambahan

• Pencabutan hak-hak tertentu

Dalam konstruksi hukum pidana, pencabutan hak tertentu


merupakan salah satu pidana tambahan. Pencabutan hak politik
seperti dilakukan majelis hakim pimpinan Roki Panjaitan bukan
tanpa dasar. Pasal 10 KUHP menyebutkan pidana tambahan terdiri
dari pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan
pengumuman putusan hakim.
Sebagai pidana tambahan, pencabutan hak tertentu berarti
hanya bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan. Jadi,
kata Andi Hamzah (2008: 202), hukuman ini tidak dapat berdiri
sendiri, kecuali dalam hal-hal tertentu dalam perampasan
barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif,
dalam arti dapat dijatuhkan tetapi tidak harus. Adakalanya
pidana tambahan bersifat imperatif, yaitu dalam Pasal 250bis,
261, dan 275 KUHP.

Kata ‘tertentu’ dalam pencabutan hak mengandung makna


bahwa pencabutan tidak dapat dilakukan terhadap semua hak.
Hanya hak-hak tertentu saja yan boleh dicabut. Kalau semua hak
dicabut membawa konsekuensi terpidana kehilangan
kesempatan hidup. Dijelaskan Kanter dan Sianturi (2002: 481)
dahulu ada hukuman tambahan berupa kematian perdata (mort
civile) untuk pelaku kejahatan berat. Tetapi dewasa ini pidana
kematian perdata sudah tidak dikenal lagi. UUDS 1950 tegas
melarang pidana kematian perdata. Dalam konstruksi UUD 1945
paska amandemen, ada juga hak asasi manusia yang dilarang
untuk dicabut.

Hampir semua penulis hukum pidana menolak pencabutan


semua hak. Utrecht (1999: 328) menegaskan pencabutan semua
hak bertentangan dengan ketentuan Pasal 3 KUH Perdata: tiada
hukuman yang dapat mengakibatkan kematian perdata atau
kehilangan semua hak-hak sipil (generlei straf den burgerlijken
dood of het verlies van alle burgerlijke regten ten gevolge).

Selain itu, pencabutan hak mengingatkan kembali adanya


hukuman-hukuman yang merendahkan martabat manusia
(onterende straffen). Kesepakatan-kesepakatan internasional
sudah menegaskan penghapusan terhadap hukuman yang
merendahkan martabat manusia.
Kanter dan Sianturi (2002-481-482) juga mengingatkan
pencantuman pidana tambahan dalam Buku I KUHP tidak berarti
bahwa pidana Pencabutan hak tertentu hanya untuk delik-delik yang
tegas ditentukan oleh undang-undang. Kadang-kadang
dimungkinkan oleh undang-undang untuk mencabut beberapa hak
bersamaan dalam suatu perbuatan seperti Pasal 350 KUHP. Pasal ini
menyebutkan pada waktu menjatuhkan hukuman untuk perkara
makar mati (doodslag), pembunuhan berencana (moord) atau karena
salah satu kejahatan yang diterangkan Pasal 344, 347, dan 348, dapat
dijatuhkan hukuman mencabut hak-hak yang disebut dalam Pasal 35
KUHP.

Menurut Roeslan Saleh (1960: 19) masuknya pencabutan


hak tertentu dalam KUHP karena pembentuk undang-undang
menganggap hukuman tambahan tersebut patut. Kepatutan
bukan karena ingin menghilangkan kehormatan seseorang,
melainkan karena alasan lain seperti pencegahan khusus.
Misalnya, pencabutan hak seseorang menjadi dokter karena
malpraktik. Maksud pencabutan hak itu adalah agar kejahatan
serupa tidak dilakukan lagi oleh orang yang bersangkutan.

Apa saja hak yang boleh dicabut? Berdasarkan Pasal 35 ayat


(1) KUHP, hak-hak yang dapat dicabut adalah: (i) Hak
memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu; (ii) Hak
memasuki angkatan bersenjata; (iii) Hak memilih dan dipilih
berdasarkan peraturan umum; (iv) Hak menjadi penasihat
(raadsman) atau pengurus menurut hukum, hak menjadi wali
pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang
bukan anak sendiri; (v) Hak menjalankan kekuasaan bapak,
menjalankan perwakilan atau pengampu atas anak sendiri; dan
(vi) Hak menjalankan pekerjaan (beroep tertentu.tambahan
dapat ditambahkan untuk setiap pemidanaan.

• Perampasan barang-barang tertentu


perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak
berwujud atau barang tidak bergerak (perampasan aset)
merupakan hukuman tambahan yang dapat dijatuhkan
bersamaan dengan pidana pokok berupa pidana penjara dan/atau
benda.

Aturan lain soal perampasan aset sebagai hukuman


tambahan juga dapat kita lihat dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(“UU Pemberantasan Tipikor”) sebagaimana yang telah diubah
oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (“UU 20/2001”)
soal pidana pokok berupa pidana penjara dan denda, yakni Pasal
3 UU Pemberantasan Tipikor:

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri


atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling
sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Terkait Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor ini, Pasal 17 UU


Pemberantasan Tipikor berbunyi:

Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat
dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18.

Adapun yang disebut dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a UU


Pemberantasan Tipikor soal pidana tambahan adalah pidana
tambahan selain pada KUHP. Sebagai pidana tambahan salah
satunya adalah perampasan barang bergerak yang berwujud atau
yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan
untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk
perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi
dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-
barang tersebut.

Kembali lagi mengenai perampasan aset tanpa pemidanaan,


dalam Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-
Undang Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana yang kami
akses dari laman resmi Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa
ketentuan mengenai perampasan aset tanpa pemidanaan ini
sejalan dengan konvensi atau perjanjian internasional, salah
satunya adalah Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003
(United Nation Convension Against Corruption/UNCAC, 2003)
yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun
2006 (“UU 7/2006”).

Pasal 54 angka 1. huruf (c) UNCAC, 2003 dengan tegas


meminta negara-negara:

“Consider taking such measures as may be necessary to allow


confiscation of such property without a criminal conviction in cases
in which the offender cannot be prosecuted by reason of death, flight
or absence or in other appropriate cases”.

Namun, saat ini sebagai tindak lanjut keikutsertaan


Indonesia dalam UNCAC, aturan soal perampasan aset tanpa
pemidanaan ini memang masih berupa Rancangan Undang-Undang
tentang Perampasan Aset Tindak Pidana (“RUU Perampasan Aset”).

Untuk mengisi kekosongan hukum soal perampasan aset,


namun dalam konteks permohonan penyidik karena yang diduga
pelaku tindak pidana tidak ditemukan, Mahkamah Agung telah
menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor Nomor 1 Tahun
2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan
Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang atau Tindak
Pidana Lain (“Perma 1/2013”). Memang, tidak ada istilah
‘perampasan’ dapat ditemui dalam Perma 1/2013 ini. Perma
memperhalusnya dengan frasa ‘penanganan harta kekayaan’.

Dalam artikel Perma Penyitaan Aset Pencucian Uang Resmi


Diterbitkan disebutkan bahwa Perma ini mengisi kekosongan hukum
acara untuk pelaksanaan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang (“UU TPPU”) yang mengatur mengenai hukum acara penanganan
harta kekayaan. Perma ini terdiri dari tiga bagian penting, yaitu ruang
lingkup, permohonan penanganan harta kekayaan, dan hukum acara
penyitaan aset. Peraturan ini berlaku terhadap permohonan penanganan
harta kekayaan yang diajukan oleh penyidik dalam hal yang diduga
sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan sebagaimana dimaksud
dalam UU TPPU.

Adapun Pasal 67 UU TPPU itu berbunyi:

(1) Dalam hal tidak ada orang dan/atau pihak ketiga yang
mengajukan keberatan dalam waktu 20 (dua puluh) hari sejak
tanggal penghentian sementara Transaksi, PPATK menyerahkan
penanganan Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana tersebut kepada penyidik untuk
dilakukan penyidikan.

(2) Dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak
ditemukan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, penyidik dapat
mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk
memutuskan Harta Kekayaan tersebut sebagai aset negara atau
dikembalikan kepada yang berhak.

(3) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memutus


dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari.

Seperti yang diberitakan dalam artikel Perampasan Aset Cukup


Putusan Hakim Pengadilan Negeri, perampasan aset diawali dengan
tindakan penghentian sebagian atau seluruh transaksi oleh penyedia
jasa keuangan (“PJK”) atas permintaan PPATK, demikian Pasal 65
UU TPPU. Kemudian, Pasal 66 UU TPPU menyatakan, PJK
melaksanakan permintaan PPATK selama lima hari kerja setelah
permintaan diterima dan diperpanjang 15 hari kerja. Perpanjangan
masa penghentian sementara transaksi dimaksudkan untuk PPATK
melengkapi hasil analisis guna diserahkan pada penyidik.

Pasal 67 UU TPPU ini memberikan kewenangan kepada penyidik


untuk mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri agar
pengadilan memutuskan Harta Kekayaan (aset) yang diketahui atau
patut diduga merupakan hasil tindak pidana menjadi aset negara atau
dikembalikan kepada yang berhak.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (“PPATK”)


dalam artikel Upaya MA Menyelesaikan Permohonan Perampasan
Harta Kekayaan berdasarkan hasil kajiannya mengaitkan Pasal 67
ayat (3) UU TPPU dengan upaya perampasan aset tanpa pemidanaan
yang dikenal dengan istilah non conviction based (NCB) asset
forfeiture. Dalam sistem NCB (civil forfeiture) ini aset yang
merupakan hasil atau sarana tindak pidana diposisikan sebagai
subyek hukum/pihak, sehingga para pihaknya terdiri dari negara
yang diwakili oleh penyidik TPPU sebagai pemohon/penuntut
melawan aset yang diduga hasil atau sarana tindak pidana sebagai
termohon. Mekanisme ini memungkinkan dilakukannya
perampasan aset tanpa harus menunggu adanya putusan pidana yang
berisi tentang pernyataan kesalahan dan penghukuman bagi pelaku
tindak pidana. Sebagai informasi untuk Anda, Pasal 67 UU TPPU
juga merupakan peraturan perundang-undangan Indonesia terkait
dengan perampasan aset yang menjadi dasar dalam merancang RUU
Perampasan Aset. Selengkapnya dapat Anda lihat dalam Laporan
Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang
Perampasan Aset Tindak Pidana yang kami akses dari laman resmi
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia.

• Pengumuman putusan hakim


Pengambilan keputusan sangat diperlukan oleh hakim dalam
menentukan putusan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Hakim
harus dapat mengolah dan memproses data-data yang diperoleh
selama proses persidangan dalam hal ini bukti-bukti, keterangan
saksi, pembelaan terdakwa, serta tuntutan jaksa maupun muatan
psikologis. Sehingga keputusan yang akan dijatuhkan kepada
terdakwa dapat didasari oleh rasa tanggung jawab, keadilan,
kebijaksanaan, profesionalisme dan bersifat obyektif.

Proses peradilan di Indonesia berlandaskan Pancasila, yang


menempatkan harkat dan martabat manusia pada tempatnya dan
melaksanakan perlindungan serta jaminan hak-hak asasi manusia.
Hal tersebut tertuang dalam Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang
memuat Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
(Helmi, 1997). Sistem hukum terkadang tidak dapat mencapai
keadilan yang sempurna, namun hakim harus dapat menetapkan
keputusan yang mendekati keadilan. Di dalam negara demokrasi,
yang terpenting perselisihan diatasi dengan cara yang tampaknya
adil dan mendukung stabilitas sosial. Pada kenyataannya ada saja
yang mungkin tidak setuju dengan keputusan yang dijatuhkan oleh
pengadilan, namun mereka harus percaya pada keadilan sistem
hukum secara keseluruhan.

Pengambilan keputusan adalah suatu proses untuk menyelesaikan


suatu permasalahan dengan cara memilih salah satu dari berbagai
alternatif yang ada untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan
yaitu menghasilkan suatu keputusan yang baik untuk mengatasi
suatu masalah. Readford dalam (Asiyarfitriadi, 2005)
mengungkapkan definisi pengambilan keputusan sebagai suatu
perumusan berbagai macam alternatif tindakan dalam menghadapi
situasi serta menetapkan pilihan yang tepat dari berbagai alternatif.

Pengambilan keputusan (decision making) melibatkan proses


kognitif, dimulai dari mengenali masalah, mengidentifikasi
alternatif pemecahan masalah, menilai, memilih, hingga
memutuskan alternatif yang paling adekuat. Menurut Harisson
dalam (Supriyanto, 2005), seorang individu dikatakan telah
mengambil keputusan bila : (a). telah memulai serangkaian reaksi
perilaku yang diarahkan pada sesuatu yang lebih disukai, atau (b).
telah memantapkan pikirannya untuk melakukan beberapa tindakan,
atau yang paling umum adalah (c). telah membuat putusan mengenai
apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu setelah sebelumnya
mempertimbangkan berbagai alternatif pilihan. Idealnya, hukum
memberikan petunjuk aturan yang objektif dan prosedur yang
eksplisit. Berdasarkan hasil penelitian pakar psikologi forensik,
Davis (Baron & Byrne, 1991) menemukan bahwa manusia sebagai
pelaku hukum tidak selalu dapat berfungsi secara tepat dengan cara-
cara yang obyektif.

Ruang peradilan, menurut Myers (Helmi, 1997) adalah miniatur


dunia sosial yang bersifat human relation. Artinya, di ruang
peradilan terjadi proses saling mempengaruhi antar penegak hukum,
yaitu antara hakim, jaksa, polisi, pengacara dan bahkan masyarakat.
Ketika terjadi interaksi sosial, dilukiskan Baron&Byrne (Helmi,
1997) maka perilaku dan penilaiannya dalam proses peradilan
dipengaruhi oleh sikap, kognisi, dan emosinya.

Poernomo (Helmi, 1997) mengatakan dunia peradilan akhir-akhir


ini mendapat sorotan yang tajam dari masyarakat, hal ini disebabkan
karena adanya beberapa aparat penegak hukum yang dinilai telah
melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum.
Sorotan tajam itu ditujukan pada apparat kepolisian dan hakim.
Polisi sebagai penyidik disinyalir masih menggunakan pendekatan
konvensional dalam mengungkap kesaksian terdakwa, yaitu dengan
cara kekerasan fisik. Sedangkan hakim sebagai aparat yang paling
akhir dalam proses peradilan disinyalir oleh beberapa pakar hukum
dalam membuat putusan dinilai kurang konsisten dan menunjukan
disparitas yang besar. Isu kolusi pun merebak dalam tubuh lembaga
peradilan tertinggi di Indonesia, yaitu Mahkamah Agung.
Menjadi hakim merupakan tugas yang cukup berat karena dapat
menentukan kehidupan seseorang untuk dapat memperoleh
kebebasan ataukah hukuman. Jika terjadi kesalahan dalam
pengambilan keputusan (Dewantara, 1987), maka akan dapat
merenggut nyawa, kemerdekaan, kehormatan dan harta benda yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat dan setiap insan. Suatu
persidangan melibatkan banyak manusia yaitu pembela, jaksa, saksi,
terdakwa, panitera, dan penonton persidangan. Maka selain muatan
hukum sebenarnya juga terdapat muatan psikologis. Muatan
psikologis itu akan muncul atau dimunculkan di dalam ruang
pengadilan tak ubahnya teater psikologis. Oleh karena itu peran
psikologi dalam bidang hukum amat besar, karena hukum
melibatkan manusia sebagai pelaku hukum (Probowati, 1997).

Hakim selama ini diharapkan dapat menerapkan hukum dengan adil


dan bertanggung jawab (Probowati, 1997). Seorang hakim dituntut
untuk dapat

menilai apa yang ada dalam ruang persidangan dalam hal ini adalah
mengenai keterangan saksi (dapatkah saksi dipercaya kesaksiannya,
keterangannya palsu atau tidak, pemaparan kejadian selama
persidangan), terdakwa (bagaimana terdakwa menghadapi
persidangan, sikapnya, pemaparannya mengenai kejadian), barang
bukti (bagaimana kelengkapannya, memberatkan atau
meringankan), tuntutan jaksa (sudah sesuaikah dengan pasal yang
dituntutkan pada terdakwa), pengacara (sikap dan perilaku
pengacara selama persidangan). Semua itu merupakan hal yang
harus diperhatikan dan membutuhkan kejelian dalam menggali
kejadian yang sebenarnya sehingga dapat diperoleh suatu keputusan
yang dianggap adil dan obyektif. Namun pada kenyataannya
terkadang hakim kurang jeli dalam persidangan, misalnya salah
persepsi dalam menilai suatu kejahatan, atau kurangnya penggalian
data dari saksi yang mungkin dapat memberatkan terdakwa, selain
itu juga kesalahan pada saat proses penyidikan yang memaksa
terdakwa mengakui kesalahan yang tidak dilakukan pun dapat
membuat hakim memutuskan bersalah jika memang didukung oleh
bukti yang memberatkan, selain itu stereotype yang mungkin
muncul pun dapat mempengaruhi keputusan hakim.

Dalam membuat keputusan pengadilan, seorang hakim dipengaruhi


oleh beberapa faktor, yaitu (1). Faktor hakim itu sendiri, misalnya
adalah kepribadiannya, intelegensi, suasana hati, (2). Faktor opini
publik yang tertulis dalam media massa ketika sidang tengah
berlangsung, (3). Faktor pengacara, misalnya performance dan gaya
bicara yang meyakinkan juga memberikan pengaruh terhadap
putusan hukuman, (4). Faktor terdakwa, misalnya jenis kelamin
terdakwa, ras dan kemampuan bicara (Probowati, 1997).

Begitu beratnya sebenarnya tugas seorang hakim, karena ditangan


hakimlah pencari keadilan akan meletakkan kepercayaan dan
harapannya. Namun seorang hakim tetaplah seorang manusia yang
tidak akan terlepas dari segi kemanusiaannya. Hakim bukanlah
malaikat ataupun benda mati yang dapat melakonkan hukum seperti
dewi keadilan yang membawa pedang dengan mata tertutup, dimana
hukum diterapkan dengan prinsip mesin secara akurat, konsisten
tanpa melihat orangnya. Sekali lagi hakim hanyalah manusia biasa
yang dapat memunculkan sisi kemanusiaannya saat berhadapan
dengan manusia lain saat berada di ruang sidang.

Binoto dalam Sinar Harapan (2003), menuliskan bahwa putusan


pengadilan yang mengundang atau menimbulkan rasa kecewa
pencari keadilan bukan hanya sekali ini saja terjadi. Sebelumnya
sudah sering terjadi putusan pengadilan yang membuat pencari
keadilan menjadi sesak napas. Kali ini yang berbeda adalah reaksi
terhadap ketidakpuasan putusan tersebut. Bila dalam peristiwa
Larantuka, yang menjadi sasaran ketidakpuasan dari sebagian
anggota masyarakat adalah gedung pengadilan dan kejaksaan negeri
setempat. Sedangkan pada kasus atau kejadian lain, yang menjadi
sasaran amarah adalah hakim atau aparat penegak hukum sendiri.
a) Merujuk Pasal 65 KUHP baru, pidana pokok terdiri atas:
• Pidana penjara
• Pidana tutupan
• Pidana pengawasan
• Pidana denda
• Pidana kerja social
I. Perbandingan Pasal perzinahan dalam KUHP Lama (P.284) dengan KUHP
Lama (P.411-413)
a. Pasal Perzinaan KUHP Lama Pasal 284
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
l. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel),
padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,b. seorang
wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui
bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal
diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;b. seorang wanita
yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal
diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27
BW berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri
yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam
tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau
pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang
pengadilan belum dimulai.
(5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak
diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau
sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi
tetap.

b. Pasal Perzinahan Dalam KUHP Baru Pasal 411-413


Pasal 411
(1) Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang
bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak
kategori II.
(2) Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan.
b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan
Pasal 30.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang
pengadilan belum dimulai.

Pasal 412
(1) Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di
luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau
b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang
pengadilan belum dimulai.

Pasal 413
Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan seseorang yang
diketahuinya bahwa orang tersebut merupakan anggota keluarga
batihnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun.
II. Hapusnya Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Atas Perintah Jabatan
KUHP LAMA Pasal 51 (1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk
melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang,
tidak dipidana.

KUHP BARU Pasal 32


Setiap Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tidak dipidana, jika
perbuatan tersebut dilakukan untuk melaksanakan perintah jabatan dari Pejabat
yang berwenang.

III. Hapusnya Pidana bagi Pelaku Tindak Pidana Atas Pembelaan


KUHP Lama Pasal 49
(1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa
untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta
benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan
yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh
keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak
dipidana.

KUHP BARU Pasal 34


Setiap Orang yang terpaksa melakukan perbuatan yang dilarang tidak dipidana,
jika perbuatan tersebut dilakukan karena pembelaan terhadap serangan atau
ancaman serangan seketika yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau
orang lain, kehormatan dalam arti kesusilaan, atau harta benda sendiri atau
orang lain.

IV. Minuman Keras


KUHP LAMA Pasal 300
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1. barang siapa dengan sengaja menjual atau memberikan minuman yang
memabukkan kepada seseorang yang telah kelihatan mabuk; Perdagangan
wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan
pidana penjara paling lama enam tahun.
2. barang siapa dengan sengaja membikin mabuk seorang anak yang umurnya
belum cukup enam belas tahun;
3. barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang
untuk minum minuman yang memabukan.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(4) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan
pencariannya, dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian itu.

KUHP BARU Pasal 424


(1) Setiap Orang yang menjual atau memberi minuman atau bahan yang
memabukkan kepada orang yang sedang dalam keadaan mabuk, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling
banyak kategori II.
(2) Setiap Orang yang menjual atau memberi minuman atau bahan yang
memabukkan kepada Anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.
(3) Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa
seseorang meminum atau memakai bahan yang memabukkan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak
kategori III.
(4) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3):
a. mengakibatkan Luka Berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV; atau
b. mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama
7 (tujuh) tahun.

Anda mungkin juga menyukai