DISUSUN OLEH :
04020200013
FAKULTAS HUKUM
2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN
Negara Indonesia telah menetapkan dirinya menjadi negara hukum. Nagara hukum
adalah konsep negara yang bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus
dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik. Negara hukum mensyaratkan bahwa setiap
tindakan dari negara haruslah bertujuan untuk menegakkan kepastian hukum, dilakukan
secara setara, menjadi unsur yang mengesahkan demokrasi, dan memenuhi tuntutan akal
budi.
Perwujudan Indonesia sebagai negara hukum tentu sangat baik untuk didukung dan
dijunjung tinggi. Karena di dalam usaha menjadi negara hukum terdapat unsur-unsur baik
di antaranya ; menghargai hak asasi dan martabat manusia ; adanya pembagian dan
pemisahan kekuasaan, pemerintahan dijalankan berdasarkan konstitusi negara ; adanya
peradilan administrasi dalam perselisihan antara rakyat dengan negara. Hal ini
menunjukkan tidak ada kebebasan mutlak bagi rakyat, penyelenggara negara maupun
lembaga-lembaga negara dalam menjalankan kehidupannya. Negara dengan hukum yang
baik dan benar tentu akan mengatur bagaimana rakyatnya harus bertindak sebagai warga
negara yang baik dan patuh terhadap hukum dan mengatur bagaimana pemerintah harus
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Setiap warga negara harus menyadari bahwa Indonesia adalah negara yang
berdasarkan hukum bukan berdasarkan kekuasaaan. Sehingga semua yang dilakukan di
dalam berbangsa dan bernegara ini harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan perundang-
undang yang berlaku. Jika pemerintah dan semua warga negara sudah patuh terhadap
hukum yang dianut oleh negara, maka perwujudan sebagai negara hukum akan semakin
nyata. Dan jika aturan hukum berjalan dengan baik maka akan tercipta kondisi yang sangat
ideal bagi perkembangan dan kemajuan bangsa.
Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki induk peraturan hukum pidana positif,
salah satunya yakni KUHP. KUHP digunakan untuk mengadili perkara pidana yang
bertujuan melindungi kepentingan umum. KUHP mengandung peraturan mengenai tindak
pidana yang berdampak buruk terhadap keamanan, ketentraman, kesejahteraan, dan
ketertiban umum. Hukum pidana sendiri merupakan bentuk upaya hukum terakhir
(ultimum remedium) dalam penyelesaian sebuah perkara. Untuk itu, hukum pidana
mengandung sanksi yang bersifat memaksa. Masyarakat yang melanggar hukum pidana
yang tertuang dalam KUHP maka akan dijatuhi sanksi pidana.
A. Rumusan Masalah
Permasalahan yang mau di teliti yaitu :
1. Apakah masih ada beberapa pasal yang terdapat di dalam KUHP lama
masih di berlakukan atau sudah tidak berlaku ?
2. Mengapa Pemerintahan Negara Indonesia mengubah KUHP lama dengan
KUHP Baru ?
3. Apakah KUHP baru yang telah di tetapkan oleh pemerintah sudah bisa
dipakai atau belum dalam menangani kasus-kasus pidana baik secara umum
atau khusus ?
B. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui setiap pasal-pasal yang terdapat di dalam KUHP lama tetap
berlaku atau sudah tidak berlaku.
2. Mengetahui alasan pemerintah negara Indonesia ingin mengubah KUHP lama
ke KUHP baru.
3. Mengetahui KUHP baru yang telah di tetapkan oleh pemerintah sudah bisa di
pakai di Indonesia untuk menangani kasus-kasus pidana baik secara umum
ataupun khusus.
BAB II
PEBAHASAN
• alasan yang bersifat politik adalah wajar bahwa negara Republik Indonesia yang
merdeka memiliki KUHP yang bersifat nasional, yang dihasilkan sendiri. Ini
merupakan kebanggaan nasional yang inherent dengan kedudukan sebagai negara
yang telah melepaskan diri dari penjajahan. Oleh karena itu, tugas dari pembentuk
undang-undang adalah menasionalkan semua peraturan perundang-undangan
warisan kolonial, dan ini harus didasarkan kepada Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum.
• alasan yang bersifat sosiologis suatu KUHP pada dasarnya adalah pencerminan dari
nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa, karena ia memuat perbuatan-perbuatan
yang tidak dikehendaki dan mengikatkan pada perbuatan-perbuatan itu suatu sanksi
yang bersifat negatif berupa pidana. Ukuran untuk menentukan perbuatan mana yang
dilarang itu tentunya bergantung pada pandangan kolektif yang terdapat dalam
masyarakat tentang apa yang baik, yang benar dan sebaliknya.
• alasan yang bersifat praktis, teks resmi WvS adalah berbahasa Belanda meskipun
menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut secara resmi sebagai
KUHP. Dapat diperhatikan bahwa jumlah penegak hukum yang memahami bahasa
asing semakin sedikit. Di lain pihak, terdapat berbagai ragam terjemahan KUHP
yang beredar. Sehingga dapat dimungkinkan akan terjadi penafsiran yang
menyimpang dari teks aslinya yang disebabkan karena terjemahan yang kurang
tepat.
Pembaharuan KUHP secara parsial/tambal sulam yang pernah dilakukan
Indonesia adalah dengan beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu :
1. UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (merubah
nama WvSNI menjadi WvS/KUHP, perubahan beberapa pasal dan
krimininalisasi delik pemalsuan uang dan kabar bohong).
2. UU Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan (menambah jenis
pidana pokok berupa pidana tutupan).
3. UU Nomor 8 Tahun 1951 tentang Penangguhan Pemberian Surat Izin
kepada Dokter dan Dokter Gigi (menambah kejahatan praktek dokter).
4. UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor
1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah
RI dan Mengubah KUH Pidana (menambah kejahatan terhadap bendera
RI).
5. UU Nomor 1 Tahun 1960 tentang Perubahan KUHP (memperberat
ancaman pidana Pasal 359, 360, dan memperingan ancaman pidana
Pasal 188).
6. UU Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam
KUHP (merubah vijf en twintig gulden dalam beberapa pasal menjadi
dua ratus limapuluh rupiah).
7. UU Nomor 18 Prp Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman
Denda dalam KUHP dan dalam Ketentuan-ketentuan Pidana lainnya
yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 (hukuman denda
dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatkan lima belas kali).
8. UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau
Penodaan Agama (penambahan Pasal 156a).
9. UU Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penerbitan Perjudian (memperberat
ancaman pidana bagi perjudian (Pasal 303 ayat (1) dan Pasal 542) dan
memasukkannya Pasal 542 menjadi jenis kejahatan (Pasal 303 bis)).
10. UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa
Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan
Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan
terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan (memperluas ketentuan
berlakunya hukum pidana menurut tempat (Pasal 3 dan 4), penambahan
Pasal 95a, 95b, dan 95c serta menambah Bab XXIX A tentang
Kejahatan Penerbangan).
11. UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan
Negara (menambah kejahatan terhadap keamanan negara Pasal 107 a-f).
Perbedaan keduanya terletak pada pidana atau hukuman mati yang tak
lagi menjadi pidana pokok menurut KUHP baru. Selain itu, pada KUHP baru,
pemerintah juga mengganti pidana tutupan dengan pidana pengawasan. Bukan
hanya itu, KUHP baru juga menambah satu jenis hukuman lain berupa pidana
kerja sosial.
Menurut Pasal 10 huruf a KUHP lama, pidana pokok adalah sebagai berikut:
• Pidana mati
Baik berdasarkan pada pasal 69 maupun berdasarkan hak yang
tertinggi bagi manusia, pidana mati adalah pidana terberat. Karena
pidana ini berupa pidana yang terberat, yang pelaksanaannya berupa
penyerangan terhadap hak hidup bagi manusia yang sesungguhnya
berada ditangan Tuhan.
Hukuman mati dalam istilah hukum dikenal dengan uitvoering.
Hukuman atau pidana mati adalah penjatuhan pidana dengan mencabut
hak hidup seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang diatur
dalam undang-undang yang diancam dengan hukuman mati. Hukuman
mati berarti telah menghilangkan nyawa seseorang. Padahal setiap
manusia memiliki hak untuk hidup.
Hukuman mati di Indonesia diatur dalam pasal 10 KUHP jo
pasal 11 KUHP. Pidana mati merupakan salah satu pidana pokok yang
masih dipertahankan oleh Hukum Pidana di Indonesia. Pasal 10 yang
memuat dua macam hukuman, yaitu hukuman pokok dan hukuman
tambahan. Hukuman pokok, terdiri dari: Hukuman mati, hukuman
penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda. Hukuman tambahan
terdiri dari: Pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang
tertentu dan pengumuman keputusan hakim.
Pasal 11 KUHP bunyinya : Pidana mati dijalankan oleh algojo
ditempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang
gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat
terpidana berdiri.
Sedangkan tata cara pelaksanaan hukuman mati diatur dalam UU
No. 2/Pnps/1964 yang masih berlaku sampai saat ini. Hukuman mati
dijatuhkan pada orang-orang sipil dan dilakukan dengan cara menembak
mati.
Kejahatan yang diancam dengan hukuman mati di dalam KUHP
antara lain:
• Pasal 104 KUHP: Makar membunuh kepala negara.
• Pasal 111 ayat 2 KUHP: Mengajak negara asing untuk
menyerang Indonesia.
• Pasal 124 ayat 3 KUHP: Memberikan pertolongan kepada
musuh pada saat Indonesia dalam keadaan perang.
• Pasal 140 ayat 4 KUHP: Membunuh kepala negara sahabat.
• Pasal 340 KUHP: Pembunuhan yang direncanakan lebih dahulu.
• Pasal 365 ayat 4 KUHP: Pencurian dan kekerasan oleh dua orang
atau lebih dan mengakibatkan seseorang mengalami luka berat
atau mati.
• Pidana penjara
Pidana penjara adalah suatu pidana berupa perampasan
kemerdekaan atau kebebesan bergerak dari seorang terpidana dengan
menempatkannya di lembaga pemasyarakatan (Dwidja Priyatno, 2009:
71-72) Pidana penjara ditetapkan secara resmi di Indonesia sejak
berlakunya KUHP pada tanggal 1 Januari 1918, sebelumnya Indonesia
hanya mengenal pidana badan dan pidana denda. Saat itu belum ada
batasan yang tegas untuk membedakan antara pidana badan dan pidana
penjara, karena dalam pelaksanaannya berupa nestapa yang dengan
sengaja ditimpakan kepada seseorang yang yang melakukan
pelanggaran hukum pidana.
Pidana penjara merupakan, jenis pidana yang paling banyak diancamkan
kepada pelaku tindak pidana dalam Buku II KUHP. pidana penjara juga
diancamkan terhadap tindak pidana yang diatur dalam undang-undang
di luar KUHP, baik dirumuskan secara tunggal maupun secara
kumulatif-alternatif dengan sanksi pidana lainnya (Dwidja Dwidja
Priyatno, 2009: 72-77). Banyak sanksi pidana penjara diancamkan
dalam KUHP maupun di luar KUHP dibandingkan dengan jenis pidana
pokok lainnya, karena pidana penjara merupakan satu-satunya pidana
pokok yang ada dalam KUHP yang memungkinkan diadakannya
pembinaan secara terencana dan terarah terhadap terpidana, sedangkan
jenis pidana pokok lainnya tidak memungkinkan adanya pembinaan
dengan terhadap terpidana. Pelaksanaan pidana penjara pun kemudian
mengalami perubahan mulai tahun 1964 dengan perubahan istilah
pemenjaraan menjadi pemasyarakatan. Istilah penjara berubah menjadi
lembaga pemasyarakatan (Suwarto, 2007: 166).
Kecendrungan yang ada sekarang, pidana penjara mengalami
degradasi, karena mendapat banyak tantangan dan tekanan dari berbagai
gerakan yang muncul di Eropa dan Amerika, sorotan keras terhadap
pidana penjara tidak hanya diberikan oleh para pakar secara individual,
melainkan juga oleh lembaga-lembaga internasional. Laporan kongres
PBB kelima tahun 1975 mengenai Pencegahan Kejahatan dan
Pembinaan Pelaku Kejahatan, ada kecenderungan untuk mengabaikan
kemampuan lembaga-lembaga kejahatan. Pada perkembangan
selanjutnya muncul gerakan abolisionis di Amerika yang menekankan
reaksinya pada penghapusan sistem penjara dan gerakan abolisionis
Eropa yang menekankan penolakannya terhadap sistem peradilan
pidana secara keseluruhan, dengan sentralnya sistem kepenjaraan
dengan memunculkan jenis pidana alternative seperti denda dan kerja
sosial (Dwidja Priyatno, 2009: 47-52).
Walaupun demikian, pidana penjara dianggap masih diperlukan
untuk menghadapi berbagai kejahatan yang semakin banyak ragam dan
modusnya. Herbert L. Packer mengemukakan bahwa: (1) sanksi pidana
sangat diperlukan, kita tidak hidup sekarang maupun di masa yang tanpa
pidana; (2) sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang
tersedia yang kita miliki untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan
segera, serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya itu.
Pidana Penjara dalam RKUHP Tujuan pidana mengalami perubahan
sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 54 ayat (1) bahwa pemidanaan
bertujuan untuk:
1) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan mengegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat;
2) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
3) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai
dalam masyarakat; dan
4) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
• Pidana kurungan
• Pidana denda
• Pidana tutupan
Pidana tambahan
(1) Dalam hal tidak ada orang dan/atau pihak ketiga yang
mengajukan keberatan dalam waktu 20 (dua puluh) hari sejak
tanggal penghentian sementara Transaksi, PPATK menyerahkan
penanganan Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana tersebut kepada penyidik untuk
dilakukan penyidikan.
(2) Dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak
ditemukan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, penyidik dapat
mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk
memutuskan Harta Kekayaan tersebut sebagai aset negara atau
dikembalikan kepada yang berhak.
menilai apa yang ada dalam ruang persidangan dalam hal ini adalah
mengenai keterangan saksi (dapatkah saksi dipercaya kesaksiannya,
keterangannya palsu atau tidak, pemaparan kejadian selama
persidangan), terdakwa (bagaimana terdakwa menghadapi
persidangan, sikapnya, pemaparannya mengenai kejadian), barang
bukti (bagaimana kelengkapannya, memberatkan atau
meringankan), tuntutan jaksa (sudah sesuaikah dengan pasal yang
dituntutkan pada terdakwa), pengacara (sikap dan perilaku
pengacara selama persidangan). Semua itu merupakan hal yang
harus diperhatikan dan membutuhkan kejelian dalam menggali
kejadian yang sebenarnya sehingga dapat diperoleh suatu keputusan
yang dianggap adil dan obyektif. Namun pada kenyataannya
terkadang hakim kurang jeli dalam persidangan, misalnya salah
persepsi dalam menilai suatu kejahatan, atau kurangnya penggalian
data dari saksi yang mungkin dapat memberatkan terdakwa, selain
itu juga kesalahan pada saat proses penyidikan yang memaksa
terdakwa mengakui kesalahan yang tidak dilakukan pun dapat
membuat hakim memutuskan bersalah jika memang didukung oleh
bukti yang memberatkan, selain itu stereotype yang mungkin
muncul pun dapat mempengaruhi keputusan hakim.
Pasal 412
(1) Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di
luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau
b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang
pengadilan belum dimulai.
Pasal 413
Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan seseorang yang
diketahuinya bahwa orang tersebut merupakan anggota keluarga
batihnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun.
II. Hapusnya Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Atas Perintah Jabatan
KUHP LAMA Pasal 51 (1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk
melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang,
tidak dipidana.