Anda di halaman 1dari 11

Nama : Akhmad Maulana

Prodi / Semester : Hukum Keluarga 1 / 6

Mata Kuliah : Hukum Acara Pidana

Dosen Pengampu : Fardy Iskandar, S.H., M.H.

Hari / Tanggal : Senin, 1 April 2024

Materi 1 : Sejarah Hukum Acara Pidana di Indonesia

A. Masa sebelum penjajahan kolonial Belanda

Hukum adat adalah adalah pencerminan hukum yang terpancar pada jiwa bangsa
Indonesia dari bad ke abad, yang hidup dan terpelihara pada tengah-tengah masyarakat. Hal ini
dapat digambarkan secara singkat, yaitu apabila di antara mereka dalam warga itu timbul suatu
perselisihan, baik masalah pidana maupun kasus perdata, maka penyelesaian perkara ini akan
diajukan pada penguasa (pemerintah), serta pemerintah inilah yang nantinya akan mengambil
keputusan yang harus diturutinya. dalam hal ini merupakan ketua desalah yang mengam- bil
peranan krusial, sebab seluruh kasus yang timbul antara penduduk desa dipecahkan atau
diselesaikan sendiri dengan jalan musyawarah yang dipimpin oleh ketua desa. Di saat itu belum
ada pengertian tentang pemisahan antara masalah pidana dan masalah perdata, jadi asumsi
mereka bahwa perselisihan utang piutang atau jual beli tanah adalah sama dengan masalah
pencurian, pembunuhan, dan lain sebagainya, yang kesemuanya akan diadili serta diputus oleh
penguasa.

B. Masa Pendudukan Penjajahan Belanda

Sebelum negeri Belanda merdeka dari jajahan Perancis, maka berlakulah aturan pidana
Perancis yg dianggap "Code Penal", namun setelah merdeka maka Belanda segera membentuk
atau menyusun sendiri kitab UndangUndang hukum Pidananya yang disebut "Nederlandsch
Wetboek wan Strafrecht", maka Indonesia (Hindia Belanda) menjadi negara jajahan Belanda
sesuai asas konkordansi dalam hukum pidana, yaitu "pada mana sedapat mungkin hukum pidana
yang berlaku pada Indonesia sesuai dengan aturan pidana yang berlaku di negeri Belanda.
Karena di Indonesia warganya terdiri dari berbagai golongan, maka bagi tiap-tiap golongan
penduduk Indonesia dibuat Kitab Undang-Un- dang Hukum Pidana sendiri. Untuk golongan
Eropa berlaku "Reglement op de Strafvordering dan Reglement op de Burgerlijke
Rechtsvordering (Reglemen Hukum Acara Pidana dan Reglement Hukum Acara Perdata). Di
samping itu, masih ada Landgerechts-reglement Stbld. 1914 Nomor: 137 sebagai hukum acara
untuk pengadilan Landgerecht, yaitu pengadilan untuk semua golongan penduduk yang memutus
perkara yang kecil-kecil. Selain itu, masih banyak pengadilan lain, seperti districhtsgerecht,
regentschapsgerecht, dan di luar Jawa dan Madura terdapat magistraatsgerecht menurut
ketentuan reglement Buitengewesten yang memutus perkara perdata yang kecil-kecil.

C. Masa Pendudukan Penjajahan Jepang

pada zaman pendudukan Jepang, pada umumnya tidak terjadi perubahan asasi kecuali
hapusnya Raad van Justitie sebagai pengadilan buat golongan Eropa. dengan Undang undang
(Osamu Serei) No 1 Tahun 1942 yang mulai berlaku pada lepas 7 Maret 1942 dikeluarkan
hukum peralihan pada Jawa dan Madura yang berbunyi: "semua badan - badan pemerintahan dan
kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu, tetap diakui legal buat
sementara waktu asal saja tak bertentangan dengan peraturan pemerintah militer". acara pidana
pada umumnya tidak berubah. HIR, Reglement voor de Buitengewesten dan
Landgerechtsreglement berlaku untuk Pengadilan Negeri (Tihoo Hooin). Pengadilan Tinggi
(Kootoo Hooin) serta Pengadilan Agung (Saiko Hooin). Susunan pengadilan ini diatur dengan
Osamu Serei nomor 3 Tahun 1942 tanggal 20 September 1942. Pada tiap macam pengadilan itu
terdapat kejaksaan, yaitu Saikoo Kensatsu Kyoku pada Pengadilan Agung, Kootoo Kensatsu
Kyoku pada Pengadilan Tinggi, serta Tihoo Kensatsu Kyoku di Pengadilan Negeri.

D. Periode Setelah Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia

Pada saat Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agusutus 1945, keadaan tersebut masih
tetap dipertahankan dengan ditetapkannya UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai Konstitusi
Negara RI pada 18 Agustus 1945, di mana pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang
berbunyi "Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum
ada yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini." Untuk memperkuat aturan peralihan ini,
maka presiden mengeluarkan suatu aturan pada 10 Oktober 1945 yaitu Peraturan Nomor: 2
Tahun 1945. Maka berdasarkan Pasal II aturan Peralihan UUD 1945, menggunakan "Herzien
Inlandsch Reglement dan Landgerechtsreglement tetap diberlakukan, maka pada 1951
dikeluarkanlah Undang-Undang (Drt.) No. 1 Tahun 1951 perihal Tindakan-tindakan sementara
buat Menyelenggarakan Kesatuan dalam Susunan Kekuasaan dan program Pengadilan-
pengadilan Sipil di Indonesia, maka telah diadakan unifikasi aturan acara pidana serta susunan
pengadilan yang beraneka ragam sebelumnya. lalu lahirlah beberapa peraturan
perundangundangan hukum acara pidana menggunakan hukum-hukum yg lebih spesifik.
Berdasarkan Undang-Undang (Drt.) No. 1 Tahun 1951 tersebut, ter- bentuk pengadilan yang
berlaku di seluruh Indonesia dan untuk semua golongan penduduk, yaitu:

1. Pengadilan negeri untuk pemeriksaan tingkat pertama.


2. Pengadilan tinggi untuk pemeriksaan tingkat kedua atau banding.
3. Mahkamah Agung untuk pemeriksaan tingkat kasasi.

E. Peroses Penyusunan KUHP

Berdasarkan Pasal 6 UndangUndang (Drt.) No. 1 Tahun 1951 telah memutuskan, bahwa
"untuk semua Indonesia berlaku sebagai pedoman buat acara perkara pidana di Pengadilan
Negeri berlaku Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R.). tetapi demikian perlu segera didesain
suatu undang-undang aturan acara pidana yang baru sinkron dengan cita- cita nasional
menggunakan mempunyai karakteristik kodifikatif serta unifikatif sesuai Pancasila serta undang-
undang Dasar NRI Tahun 1945. Pada 1973, konsep-konsep yang telah dikumpulkan oleh panitia
intern departemen kehakiman dengan memperhatikan kesimpulan se- minar hukum Nasional
sebagai bahan untuk menyusun Rancangan Un- dang-Undang Hukum Acara Pidana. Pada 1974,
naskah Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pi- dana (RUU KUHAP) tersebut setelah
disempurnakan, disampaikan oleh Menteri Kehakiman kepada sekretaris cabinet. Pada 1979,
diadakanlah pertemuan antara menteri kehakiman, jaksa agung, dan Kapolri dan wakil dari
Mahkamah Agung untuk membahas beberapa hal yang perlu untuk penyempurnaan Rancangan
Undang-Un- dang Hukum Acara Pidana. Akhirnya di 12 September 1979, dengan amanat
Presiden RI Soehharto No. R.06/P.U/IX/1979, maka Rancangan Undang-Undang hukum acara
Pidana (RUU KUHAP) diserahkan pada Dewan Perwakilan Rak- yat RI. Akhirnya pada 23
September 1981 menggunakan Sidang Pleno dewan perwakilan rakyat sete- lah penyampaian
pendapat akhir oleh seluruh fraksi, pada sidang paripurna sudah menyetujui serta mensahkannya
RUU KUHAP itu sebagai undangundang, menggunakan nama "kitab Undang-Undang hukum
acara Pidana"/KUHAP, kemudian pemerintah di 31 Desember 1981 sudah mengundangkannya
di dalam Lembaran Negara Ri Tahun 1981 No. 76, dikenal menggunakan nama Undang-Undang
RI No. 8 Tahun 1981 yang dilengkapi dengan penjelasannya, lalu pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah RI No. 27 Tahun 1983 tentang aplikasi KUHAP yang termuat dalam
Lembaran Negera RI No. 36 Tahun 1983 dan mulai berlaku di tanggal 1 Agustus 1983.
Peraturan pelaksanaan ini juga dilengkapi menggunakan penerangan, yg termuat dalam
Tambahan Lembaran Negara RI No. 3258, dan lalu dilengkapi dengan Keputusan Menteri
Kehakiman RI No. M.14.PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pe- doman pelaksanaan
KUHAP.

F. Setelah 30 Tahun Berlakunya KUHAP

Ketika praktik peradilan Indonesia menggunakan telekonferensi dan ketika munculnya


undang-undang baru, seperti Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang
Pencucian Uang, dan Undang-Undang Terorisme, kita tidak membantah munculnya berbagai
keluhan dan kritik yang ditujukan kepada KUHAP karena KUHAP dinilai tidak sesuai lagi
dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat Indonesia, termasuk alatalat bukti
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Globalisasi dalam segala segi
kehidupan memang semakin meningkat. Dalam usianya yang ke-25 tahun, KUHAP berhadapan
dengan cepatnya perubahan masyarakat Indonesia yang sudah dipengaruhi paradigma moving
speedly. Tampaknya beberapa ketentuan dan standar hukum yang terdapat di dalamnya,
mungkin sudah mengalami sifat yang terlalu konservatif dan kaku (strict law). Akibatnya
menimbulkan penerapan KUHAP bersifat "resistensi" dan "reaktif" terhadap tuntutan kesadaran
perkembangan masyarakat. Sehubungan dengan itu, dikaitkan dengan pandangan yang
berkembang. yang mengatakan: tidak ada lagi undang-undang (hukum positif) yang bisa
bertahan abadi, daya jangkauannya paling jauh 20-25 tahun. Tidak salah jika KUHAP sudah
memerlukan peninjauan atas sebagian nilai.

Materi 2 : Pengertian Hukum Acara Pidana dan Asas-Asasnya


A. Definisi Hukum Acara Pidana

Hukum Acara Pidana merupakan pelengkap dari hukum pidana atau dengan kata lain
hukum acara pidana sering disebut sebagai hukum pidana formil. Hukum Acara Pidana (Hukum
Pidana Formal) yang lazim disebut dengan Terminologi bahasa Belanda “Formeel Strafrecht
atau Strafprocesrecht adalah guna menjamin menegakkan dan mempertahankan Hukum Acara
Pidana materil. Menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, Peraturan yang mengatur tentang
bagaimana cara alat-alat perlengkapan pemerintah melaksanakan tuntutan, memperoleh
Keputusan Pengadilan, oleh siapa Keputusan Pengadilan itu harus dilaksanakan, jika ada
seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuataan pidana. Istilah hukum acara pidana
dapat diketemukan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik lndonesia 3209), Undang-undang ini, berdasarkan Pasal 285-nya, secara resmi diberi
nama "Kitab Undang-undang Hukum Acara pidana", dan dalam Penjelasan Pasal tersebut
dinyatakan "Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ini disingkat K.U.H.A.P".

B. Asas-Asas Hukum Acara Pidana

Asas-Asas umum Hukum Acara Pidana, adalah:

1. Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”


2. Asas Praduga Tidak bersalah Pasal 8 ayat (1) Undang-udang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan umum angka 3 huruf c KUHAP yang
menentukan bahwa : “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau
dihadapkan di muka sidang Pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya
putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum
tetap”.
3. Asas Peradilan cepat, sederhana dan Biaya ringan Pasal 4 ayat (2) Undangundang Nomor
48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan umum angka 3 huruf e
KUHAP.
4. Asas Hak Ingkar adalah Pasal 17 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 157 KUHAP
5. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk umum Pasal 13 ayat (1) Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan umum angka 3
huruf i KUHAP dan diuraikan Pasal 153 ayat 3 KUHAP yang menjelaskan semua sidang
pemeriksaan Pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-undang
menentukan lain.
6. Asas Pengadilan Memeriksa Perkara Pidana dengan adanya kehadiran Terdakwa Pasal 12
ayat (1) dan (2) UU 48/2009.
7. Asas “Equal before the law” Semua manusia setara dimata hukum. Pasal 4 ayat (1)
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 dan penjelasan umum angka 3 huruf a KUHAP.
8. Asas bantuan Hukum angka 3 huruf f KUHAP bahwa setiap orang yang tersangkut
perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata
diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya. Asas ini di atur
dalam Pasal 69-74 KUHAP.
9. Asas Pemeriksaan Hakim yang langsung dan lisan adalah tidak mengenal pemeriksaan
perkara pidana dengan cara mewakilkan dan pemeriksaan secara tertulis sebagaimana
halnya dengan hukum perdata dan implementasi asa ini lebih luas dapat dilihat dari
penjelasan umum angka 3 huruf H KUHAP Pasal 153, 154, 155 KUHAP dan seterusnya.
10. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi.

Materi 3 : Pemeriksaan Perkara Pidana di Kepolisian

A. Penyilidikan

Berdasarkan Pasal 1 angka 4 KUHAP jo Pasal 1 angka 8 Undang-Undang RI No. 2


Tahun 2002, penyelidik adalah pejabat polisi negara Indonesia yang memiliki wewenang untuk
melakukan penyelidikan. Pasal 4 KUHAP menyatakan bahwa setiap pejabat polisi negara
Indonesia juga melakukan penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik
untuk mencari peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana dan menentukan apakah penyidikan
dapat dilakukan sesuai dengan Undang-Undang. Proses penyelidikan adalah langkah pertama
untuk mengidentifikasi kebenaran suatu peristiwa pidana (Pasal 1 angka 1 KUHAP jo Pasal 1
angka 10 Undang-Undang RI No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, penyidik adalah
pejabat polisi negara republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang memiliki
wewenang khusus untuk melakukan penyidikan. Hal ini juga ditegaskan oleh Pasal 6 KUHAP
yang menyatakan bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara republik Indonesia. PPNS
(Pejabat Pegawai Negeri Sipil) adalah pejabat PNS yang memiliki wewenang khusus
berdasarkan UU (Undang-Undang).

B. Penyidik

Penyidikan dilakukan oleh polisi dan pegawai sipil yang telah diberi wewenang khusus
oleh undang-undang sebagai penyidik. Menurut KUHAP jo Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara RI, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk
mencari bukti tindak pidana dan menemukan tersangkanya. Berdasarkan KUHAP dan UU No. 2
Tahun 2002, penyidik adalah serangkaian tindakan untuk mencari dan mengumpulkan bukti
tindak pidana serta menemukan tersangka. Dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP, wewenang yang
dimaksud, kecuali penahanan yang harus dilakukan dengan izin dari penyidik. Perbedaan antara
penyelidik dan penyidik terletak pada kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Hanya
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) yang berwenang untuk melakukan
penyelidikan. Penyidik bukan hanya POLRI tapi juga PPNS.

Materi 4 : Pemeriksaan Perkara Pidana Di Kejaksaan

A. Pelimpahan Berkas Perkara ke Kejaksaan oleh Penyidik

Penyerahan berkas perkara oleh penyidik diatur oleh : Pasal 8 ayat 2 : Penyidik
menyerahkan berkas kepada penuntut umum. Pasal 8 ayat 3 : penyerahan berkas sebagaimana
dimaksud dalam ayat 2 dilakukan:

1. Pada tahap pertama hanya menyerahkan berkas perkara


2. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab
atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.

B. Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan

Jaksa memang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan.


Hal ini diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain:
1. Pasal 138 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP): Jaksa dapat
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik dengan petunjuk untuk dilengkapi satu
kali.
2. Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian
Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif: Jaksa dapat menghentikan penuntutan
perkara berdasarkan keadilan restoratif dengan beberapa persyaratan.
3. Surat Edaran Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2022 tentang
Pelaksanaan Restorative Justice dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana: Jaksa
diimbau untuk mengedepankan penyelesaian perkara melalui pendekatan keadilan
restoratif.

C. Hak-hak Tersangka dalam Proses Pelimpahan Perkara ke Pengadilan

Tersangka berhak untuk mendapatkan salinan surat dakwaan, Mengajukan keberatan atas
surat dakwaan, Mendapatkan pendampingan hukum, Membela diri di depan pengadilan. Berikut
adalah hak-hak tersangka dalam pemeriksaan perkara pidana di kejaksaan:

1. Hak untuk mendapatkan informasi


2. Hak untuk didampingi:
3. Hak untuk memberikan keterangan
4. Hak untuk memberikan keterangan
5. Hak untuk berkomunikasi
6. Hak untuk mengajukan praperadilan
7. Hak untuk mendapatkan restitusi
8. Hak untuk rehabilitasi

Materi 5 : Praperadilan Dalam Perkara Pidana

A. . Pengertian Praperadilan

Pengertian Praperadilan disebutkan Pasal 1 angka 10 Kitab UndangUndang Hukum


Acara Pidana (KUHAP), yaitu “praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk
memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang;
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan
demi demi tegaknya hukum dan keadilan.
3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau pihak lain atas kuasanya
yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Menurut Yahya Harahap mengenai pengertian praperadilan yakni sebagai tugas tambahan yang
diberikan kepada Pengadilan Negeri selaintugas pokoknya mengadili dan memutus perkara
pidana dan perdata untuk menilai sah tidaknya penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan
dan pengehentian penuntutan, penahanan dan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik. Tujuan
utama pelembagaan praperadilan dalam KUHAP yaitu melakukan pengawasan horizontal atas
tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan
penyidikan atau penuntutan agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan
hukum dan Undang-Undang.

B. Peranan Pra-peradilan

Keadilan harus dibangun sesuai dengan cita hukum (rechtidee) dalam negara hukum
(rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Hukum berfungsi sebagai perlindungan
kepentingan manusia, penegakan hukum harus memperhatikan empat unsur yaitu: Kepastian
hukum (rechtssicherkeit), Kemanfaat hukum (zeweckmassigkeit), Keadilan hukum
(gerechtigkeit), dan Jaminan hukum (doelmatigkeit). Peranan praperadilan adalah dalam rangka
penegakan aturan yang ada untuk melindungi hak dari tersangka. Tidak terlalu berbeda antara
fungsi dan peranan praperadilan. Jika fungsi dari praperadilan adalah sebagai kontrol bagi
penegakan hukum atas aparatpenegakan hukum itu sendiri dan peranan praperadilan untuk
melindungi hak-hak dari tersangka atau terdakwa, peranan praperadilan muncul dalam rangka
penegakan aturan yang ada untuk melindungi hak dari tersangka.

C. Tujuan Pra-peradilan

Praperadilan bertujuan untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik
atau penuntut umum terhadap tersangka, supaya tindakan itu benarbenar dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan undangundang, dan benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum serta
tidak merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Pengawasan dan penilaian upaya
paksa inilah yang tidak dijumpai dalam tindakan penegakkan hukum dimasa HIR.
Bagaimanapun perlakuan dan cara pelaksanaan tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik
pada waktu itu, semuanya hilang oleh kewenangan yang tidak terawasi dan tidak terkendali oleh
koreksi lembaga manapun. Putusan akhir mengenai hal tersebut ada pada Pengadilan Negeri.
Oleh karenanya, apapun yang diputus oleh praperadilan adalah yang khas, spesifik, dan
mempunyai karakter sendiri, sebab disini hakim hanya mempunyai tugas dan wewenang sebagai
sarana pengawasan secara horisontal demi penegakan hukum, keadilan dan kebenaran. Sifat dan
atau fungsi praperadilan yang khas, spesifik dan karakteristik tersebut akan menjembatani pada
usaha pencegahan tindakan upaya paksa sebelum seseorang diputus oleh Pengadilan, pencegahan
tindakan yang merampas hak kemerdekaan setiap warga negara, pencegahan atau tindakan yang
melanggar hak asasi tersangka atau terdakwa, agar segala sesuatunya berjalan atau berlangsung
sesuai dengan aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai dengan aturan
main.

D. Wewenang Pra-peradilan

Wewenang Praperadilan sendiri diatur dalam KUHAP, khususnya dalam BAB X yang
mengatur tentang Wewenang Pengadilan Dalam Mengadili khususnya dari Pasal 77 sampai
dengan Pasal 83 dan BAB XII mengenai Ganti Rugi dan Rehabilitasi.

Materi 6 : Pemeriksaan Perkara Pidana Di Pengadilan

A. Pemeriksaan Perkara Pidana di Pengadilan

Pemeriksaan perkara pidana merupakan tahapan penting dalam proses peradilan pidana di
pengadilan. Pemeriksaan ini mencakup serangkaian langkah yang dilakukan oleh pihak-pihak
yang terlibat dalam proses hukum untuk mengumpulkan bukti, mendengarkan keterangan saksi,
dan mengadili terdakwa yang diduga melakukan tindak pidana. Pemeriksaan perkara pidana
bertujuan untuk mencari kebenaran materiil terkait dengan tindak pidana yang dilaporkan dan
menegakkan hukum secara adil. Berikut ini adalah beberapa tahap utama dalam pemeriksaan
perkara pidana di pengadilan:

1. Praperadilan
2. Persidangan
3. Putusan
4. Banding
5. Kasasi
6. Peninjauan Kembali (PK)

B. Jenis Pemeriksaan Sidang di Pengadilan

Dalam KUHAP, terdapat tiga jenis pemeriksaan sidang pengadilan: Pemeriksaan Perkara
Biasa, Pemeriksaan Acara Singkat, dan Pemeriksaan Acara Cepat.

1. Pemeriksaan Perkara Biasa : Pemeriksaan ini dilakukan untuk perkara yang kompleks
dan memerlukan pembuktian serta penerapan hukum yang tidak sederhana. Prosesnya
meliputi kehadiran di muka sidang, pembacaan surat dakwaan, eksepsi, pembuktian,
pemeriksaan saksi, tuntutan pidana, pledoi, hingga pembacaan putusan.
2. Pemeriksaan Acara Singkat : Dilakukan untuk kasus kejahatan atau pelanggaran yang
tidak kompleks. Prosesnya mirip dengan pemeriksaan biasa, namun uraian umum
menguraikan tindak pidana secara lisan yang dicatat dalam berita acara sidang. Putusan
tidak dibuat khusus tetapi dicatat dalam berita acara sidang.
3. Pemeriksaan Acara Cepat : Menyasar pada tindak pidana ringan dengan ancaman pidana
penjara atau kurungan maksimal tiga bulan dan/atau denda tertentu. Terbagi menjadi
acara pemeriksaan tindak pidana ringan dan acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas
jalan.

C. Teknis Pemeriksaan Acara Singkat

Perkara acara singkat dalam KUHAP adalah perkara pidana yang mudah dibuktikan dan
diterapkan hukumnya menurut Penuntut Umum. Pengajuan perkara ini dilakukan pada hari-hari
konferensi tertentu yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Setelah sidang dibuka,
Penuntut Umum menguraikan tindak pidana secara lisan, dicatat dalam Berita Acara Sidang. Jika
petugas atau saksi tidak hadir, berkas dikembalikan tanpa ketentuan. Hakim dapat
memerintahkan pemeriksaan tambahan dalam 14 hari. Putusan tidak dibuat khusus tetapi dicatat
dalam Berita Acara Sidang.

Anda mungkin juga menyukai