Anda di halaman 1dari 11

HUKUM PERDATA

A. PENDAHULUAN
Hukum perdata sebagai bagian dari hukum positif yang berlaku di Indonesia mengalami sejarah panjang yang dimulai sejak
masa kolonial Belanda, di mana hukum perdata Belanda diberlakukan juga di Indonesia (Hindia Belanda) berdasarkan asas
konkordansi. Perkembangan hukum perdata yang sebagian besar mengadopsi aturan hukum perdata Belanda terus
berlanjut hingga masa setelah kemerdekaan. Kondisi demikian didukung oleh berbagai aturan hukum yang menjadi dasar
berlakunya hukum perdata di Indonesia baik yang dibentuk pada masa penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, hingga masa
kemerdekaan.
Hukum perdata sendiri memiliki pengertian baik dalam arti luas maupun dalam arti sempit. Adapun sistematika
hukum perdata menurut KUHPerdata dan menurut ilmu pengetahuan hukum secara garis besar memiliki persamaan, di
mana ruang lingkup hukum perdata yang dibahas dalam bab ini adalah hukum tentang orang, hukum keluarga, hukum
benda, hukum perikatan, serta hukum pembuktian dan daluarsa.
B. SEJARAH HUKUM PERDATA
1. Hukum Perdata Belanda Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Prancis yang berinduk pada Code Civil
Prancis pada zaman pemerintahan Napoleon Bonaparte. Prancis pernah menjajah Belanda dan Code Civil diberlakukan
pula di Belanda.
Kemudian setelah Belanda merdeka dari kekuasaan Prancis, Belanda menginginkan pembentukan Kitab Undang-
undang Hukum perdata sendiri yang lepas dari pengaruh kekuasaan Prancis. Keinginan Belanda tersebut direalisasikan
dengan pembentukan kodifikasi hukum perdata Belanda. Pembuatan kodifikasi tersebut selesai pada tanggal 5 Juli 1830
dan direncanakan akan diberlakukan pada tanggal 1 Februari 1831. Tetapi, pada bulan Agustus 1830 terjadi
pemberontakan di daerah bagian selatan kerajaan Belanda yang memisahkan diri dari kerajaan Belanda yang sekarang
disebut Belgia. Karena pemisahan Belgia ini berlakunya kodifikasi ditangguhkan dan baru terlaksana pada tanggal 1
Oktober 1938.
Meskipun hukum perdata Belanda itu adalah kodifikasi bentukan nasional Belanda, isi dan bentuknya sebagian
besar serupa dengan Code Civil Prancis. Menurut Prof. Mr. J. Van Kan, Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disingkat BW)
adalah bersumber dari Code Civil yang disalin dari bahasa Prancis ke dalam bahasa nasional Belanda.
2. Hukum Perdata di Indonesia Karena Belanda pernah menjajah Indonesia, maka hukum perdata Belanda ini diusahakan
supaya dapat diberlakukan pula di Hindia Belanda pada waktu itu. Caranya ialah dibentuk hukum perdata Hindia
Belanda yang susunan dan isinya serupa dengan hukum perdata Belanda. Dengan kata lain, hukum perdata Belanda
diberlakukan juga di Hindia Belanda berdasarkan asas konkordansi (persamaan) hukum perdata Hindia Belanda ini
disahkan oleh Raja pada tanggal 16 Mei 1846 yang diundangkan dalam staatsbald 1847-23 dan dinyatakan berlaku pada
tanggal 1 Mei 1848.
Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan aturan peralihan UUD 1945 maka hukum perdata Hindia Belanda
dinyatakan berlaku sebelum digantikan oleh undang-undang baru berdasarkan Undang-Undang Dasar ini. Hukum
perdata Hindia Belanda ini disebut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata
Indonesia
C. DASAR BERLAKUNYA HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa berdasarkan asas konkordansi maka BW sebagai aturan dasar
hukum perdata berlaku di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Pedoman politik bagi pemerintah Hindia Belanda
terhadap berlakunya hukum di Indonesia tertuang dalam ketentuan Pasal 131 Indische Staatsregeling (IS) yang menyatakan
bahwa golongan bangsa Eropa dan orang-orang yang dipersamakan dengan golongan Eropa Barat berlaku aturan hukum
Belanda. Sedangkan bagi golongan Indonesia asli atau Bumiputra sepanjang belum disusun hukum tertulis untuk bangsa
Indonesia maka hukum adat akan tetap diberlakukan, kecuali jika kebutuhan masyarakat menghendakinya, dapat
diberlakukan aturan hukum Eropa Barat baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan.
Pada tahun 1942 kedudukan Belanda di Indonesia digantikan oleh pemerintahan Jepang. Dasar berlakunya hukum
perdata pada masa itu dituangkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 yang menyatakan berlakunya
kembali semua perarturan perundangan Hindia Belanda sepanjang tidak bertentangan dengan kekuasaan Militer Jepang.
Dasar hukum berlakunya hukum perdata di Indonesia pada zaman Kemerdekaan sampai dengan sekarang terdapat
pada beberapa ketentuan antara lain:
1. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang berbunyi: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”
2. Pasal 142 Ketentuan Peralihan UUDS 1950: “Peraturan undang undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha negara
yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan RI
sendiri, selama dan sekadar peraturan peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah
oleh undang-undang dan ketentuan tata usaha atas kuasa UUD ini
3. Pasal 192 Ketentuan Peralihan Konstitusi RIS: “Peraturan peraturan dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah
ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku tetap berlaku dengan tidak berubah 66 Pengantar Hukum Indonesia sebagai
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri selama dan sekadar peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha
atas kuasa Konstitusi ini
4. Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 Amandemen: “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini
5. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 Amandemen: “Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang
untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar
ini”
D. PENGERTIAN HUKUM PERDATA
Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain di
dalam masyarakat yang menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan/pribadi (private interest). Menurut Prof.
Subekti, perkataan Hukum Perdata dapat diartikan dalam arti luas maupun sempit (Subekti, 1996: 9). Pengertian Hukum
Perdata dalam arti luas, yakni hukum perdata dalam bentuk:
1. Hukum Perdata Materil;
2. Hukum Perdata Formil.
Hukum Perdata Materiil adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban
dalam bidang hukum perdata (Hukum Perdata Materiil inilah yang lazim disebut Hukum Perdata saja). Sedangkan
Hukum Perdata Formil adalah peraturan hukum yang mengatur tentang bagaimana cara mempertahankan Hukum
Perdata Materiil tersebut (Hukum Perdata Formil merupakan materi Hukum Acara Perdata).
Sedangkan perkataan hukum perdata dalam arti sempit digunakan sebagai lawan dari hukum dagang, sebagaimana
tertuang dalam Pasal 102 UUDS yang memerintahkan pembukuan (kodifikasi) hukum di Indonesia terhadap Hukum
Perdata dan Hukum Dagang, Hukum Pidana Sipil maupun Hukum Pidana Militer, Hukum Acara Perdata dan Hukum
Acara Pidana, dan susunan serta kekuasaan pengadilan.
E. SISTEMATIKA HUKUM PERDATA
Sistematika hukum perdata apabila dilihat dari KUHPerdata (Burgerlijke Wetboek) sebagai sumber dari hukum perdata
terdiri dari atas empat bagian yaitu.
1. Buku I : Tentang Orang (van personen);
2. Buku II : Tentang Benda (van zaken);
3. Buku III : Tentang Perikatan (van verbintenissen);
4. Buku IV : Tentang Pembuktian dan Daluwarsa (van bewijsen verjaring).
Sementara menurut ilmu pengetahuan hukum, Hukum Perdata Materiil dibagi dalam empat bagian yaitu sebagai
berikut.
a) Hukum Perorangan atau Hukum Pribadi (Personen Recht) ialah memuat peraturan-peraturan hukum yang
mengatur tentang seorang manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban (subjek hukum), tentang umur,
kecakapan, untuk melakukan perbuatan hukum, tempat tinggal [domisili] dan sebagainya.
b) Hukum Keluarga (Familierecht) ialah memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum yang
timbul karena hubungan keluarga/kekeluargaan seperti perkawinan, perceraian, hubungan orangtua dan anak,
perwalian, pengampuan (curatele) dan sebagainya.
c) Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht) ialah memuat peraturan peraturan hukum yang mengatur hubungan
hukum seseorang dalam lapangan harta kekayaan seperti, perjanjian, hak milik, gadai dan sebagainya.
d) Hukum Waris (Erfrecht) ialah memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang benda atau harta
kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia. Dengan kata lain hukum waris adalah hukum yang mengatur
peralihan benda dari orang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.
1. HUKUM ORANG (PERSONENRECHT)
Subjek hukum adalah penyandang hak dan kewajiban terdiri dari orang atau manusia (naturlijke person) dan badan
hukum (rechts person). Orang atau manusia dianggap sebagai subjek hukum sejak ia mampu menyandang hak dan
kewajiban. Berkenaan itu bahwa “anak yang berada di dalam kandungan dianggap sebagai penyandang hak dan
dianggap telah ada bilamana kepentingannya menghendaki”.
Meskipun setiap orang dianggap menyandang hak, akan tetapi tidak setiap orang mampu melaksanakan
haknya, dan tidak setiap orang berwenang melaksanakan haknya itu. Ketidakmampuan melaksanakan hak dan
kewajibannya disebabkan oleh beberapa hal, karena akibat kesehatan mentalnya maupun akibat dari usia yang
masih belum dewasa. Untuk itulah di dalam hukum perdata dikenal istilah “wenang” (bevoeg) dan “wenang
berbuat” (bekwaam). Artinya banyak orang yang punya hak dan berwenang atas sesuatu objek hukum akan tetapi
ia tidak mapu melakukan perbuatan hukum atas haknya itu. Ketidakmampuan berbuat hukum itu dikarenakan oleh
beberapa sebab yaitu orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan
perbuatan hukum adalah:
a) Orang yang belum dewasa (minderjarige) yaitu mereka yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan (Pasal 1330 BW jo Pasal 47 UU No.1/1974).
b) Orang-orang yang berada di bawah pengampuan yaitu orang dewasa yang selalu dalam keadaan dungu, gila,
mata gelap dan pemboros (Pasal 1330 BW jo Pasal 433 BW).
c) Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya
orang yang dinyatakan pailit (Pasal 1330 BW jo UU Kepailitan).
2. HUKUM KELUARGA (FAMILIERECHT)
Hukum Keluarga atau yang dalam bahasa Belanda disebut Familierecht, mengatur persoalan-persoalan:
a. Perkawinan;
b. Perceraian; Bab 5: Hukum Perdata 69
c. Kekuasaan orangtua;
d. Kedudukan anak;
e. Perwalian (voogdij);
f. Pengampuan (curatele).
a. Perkawinan
Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Adapun syarat-syarat perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 6 sampai dengan Pasal 11,
yaitu:
1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1);
2. Adanya izin kedua orangtua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat 2 sampai dengan ayat
6);
3. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan usia calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun (Pasal
7 ayat 1);
4. antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin
(Pasal 8);
5. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain (Pasal 9);
6. Bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan
mereka tidak melarang mereka kawin untuk ketiga kalinya (Pasal 10);
7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda (Pasal 11).

Pemberitahuan (aangifte) akan dilangsungkannya perkawinan oleh calon mempelai baik secara lisan maupun
tertulis kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 10
hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan (Pasal 3 dan 4 PP No. 9/1975). Pengumuman (afkondiging) oleh Pegawai
Pencatat dengan menempelkannya pada tempat yang disediakan di Kantor Pencatatan Perkawinan. Tujuannya adalah untuk
memberikan kesempatan kepada orang yang mempunyai pertalian dengan calon suami/istri itu atau pihak-pihak lain yang
mempunyai kepentingan (misalnya kejaksaan) untuk menentang perkawinan itu kalau ada ketentuan UU yang dilanggar.

Tata cara perkawinan dilakukan menurut masing-masing hukum agama dan kepercayaan orang yang melangsungkan
perkawinan itu. Perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh 2 orang saksi. Sesaat sesudah
dilangsungkan perkawinan, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan, maka perkawinan itu telah tercatat secara
resmi.

Pencegahan perkawinan merupakan hak yang diberikan oleh UU kepada orang-orang tertentu untuk atas dasar-
dasar tertentu menyatakan keberatan terhadap dilangsungkannya perkawinan antara orang-orang tertentu. Pencegahan
perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan
memberitaukannya kepada Pegawai Pencatat perkawinan. Perkawinan dapat dicegah apabila tidak memenuhi syarat
materiil baik yang absolut dan salah seorang mempelai di bawah pengampuan.

Selain pencegahan perkawinan, dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa
“Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Dalam
penjelasannya disebutkan pengertian “dapat” pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana ketentuan
hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.

Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, yaitu:

1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;
2) Suami atau istri;
3) Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
4) Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya
setelah perkawinan itu putus.
Adapun akibat Hukum Perkawinan yaitu adanya Hak dan Kewajiban Suami Istri (Pasal 30-34), diperolehnya
Harta Benda dalam Perkawinan (Pasal 35-37), Kedudukan Anak (Pasal 42-44, 55), Hak dan Kewajiban antara
orangtua dan anak (Pasal 45-49), serta Perwalian (Pasal 50-54).
b. Perceraian
Putusnya Perkawinan menurut Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat disebabkan karena Kematian,
Perceraian, dan atas keputusan Pengadilan.
Alasan dari sebuah perceraian yaitu berdasarkan ketentuan dalam hukum perkawinan di Indonesia disebabkan
karena beberapa hal, yaitu:
1) Perzinaan (overspel);
2) Ditinggalkan dengan sengaja;
3) Menjalani hukuman lebih dari 5 tahun;
4) Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa;
5) Cacat badan/penyakit yang menyebabkan tidak mampu memenuhi kewajiban sebagai suami/istri;
6) Pertengkaran terus-menerus dan tidak ada harapan untuk rukun.
c. Kekuasaan Orangtua (Ouderlijke Macht)
1) Menurut ketentuan Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, hanya orangtua yang
dapat menjalankan kekuasaan orangtua. Syarat kekuasaan orangtua: belum 18 tahun;
2) Belum kawin.
Isi/tugas kekuasaan orangtua:
a) mengurus kepentingan diri anak;
b) mengurus harta kekayaan anak.
Berakhirnya kekuasaan orangtua:
1. pencabutan, dalam hal lalai dan berkelakuan buruk;
2. pembebasan.
d. Kedudukan Anak
1) Anak sah merupakan dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah dalam Pasal 42 UU No. 1 Th. 1974,
Pasal. 250 KUHPerdata.
2) Anak luar kawin yang terdiri dari Anak Luar Kawin yang diakui dan Anak Luar Kawin yang tidak diakui.
3) Anak zina merupakan anak yang dilahirkan dari hubungan kelamin di mana salah satu atau keduanya terikat dalam
perkawinan yang sah kemudian tidak diakui hukum, tidak mempunyai hak waris.
4) Anak sumbang merupakan anak yang dilahirkan dari hubungan kelamin antara dua orang yang mempunyai
hubungan kekerabatan yang terlalu dekat yang tidak diakui hukum dan tidak mempunyai hak waris.
e. Perwalian (Voogdij)
Perwalian secara tegas diatur dalam ketentuan Pasal 50 sampai dengan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974. Adapun syarat perwalian adalah:
1) Belum 18 th.
2) Belum kawin.
3) Tidak berada dalam kekuasaan orangtua.
3 macam perwalian:
1) Bapak/ibu yang hidup terlama.
2) Dengan wasiat.
3) Diangkat oleh hakim.
Isi/tugas perwalian:
1) Mengurus kepentingan diri anak.
2) Mengurus harta kekayaan anak.
Kekuasaan wali dicabut dalam hal:
1) Lalai.
2) Berkelakuan buruk
3. HUKUM BENDA (ZAKENRECHT)
Yang dimaksud dengan benda dalam konteks hukum perdata adalah segala sesuatu yang dapat
diberikan/diletakkan suatu hak di atasnya, utamanya yang berupa hak milik. Dengan demikian, yang dapat memiliki
sesuatu hak tersebut adalah Subjek Hukum, sedangkan sesuatu yang dibebani hak itu adalah Objek Hukum. Benda
yang dalam hukum perdata diatur dalam Buku II BW, tidak sama dengan bidang disiplin ilmu fisika, di mana
dikatakan bahwa bulan itu adalah benda (angkasa), sedangkan dalam pengertian hukum perdata bulan itu bukan
(belum) dapat dikatakan sebagai benda, karena tidak/belum ada yang (dapat) memilikinya.
Pengaturan tentang hukum benda dalam Buku II BW ini mempergunakan sistem tertutup, artinya orang
tidak diperbolehkan mengadakan hak hak kebendaan selain dari yang telah diatur dalam undang undang ini. Selain
itu, hukum benda bersifat memaksa (dwingen recht), artinya harus dipatuhi, tidak boleh disimpangi, termasuk
membuat peraturan baru yang menyimpang dari yang telah ditetapkan. Keberadaan pengertian perihal hukum
kebendaan atau hukum benda ini sendiri telah dikukuhkan dan diberlakukan dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPerdata) pada Buku Kedua Bab I pada Bagian Barang pada umumnya yang mengena pada Pasal 499;
Pasal 500; Pasal 501; dan 502. Selain itu pada masa kini,
selain diatur di Buku II BW I, hukum benda juga diatur dalam:
a) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, di mana diatur hak-hak kebendaan yang berkaitan dengan
bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya.
b) Undang-Undang Merek Nomor 21 Tahun 1961, yang mengatur tentang hak atas penggunaan merek perusahaan
dan merek perniagaan.
c) Undang-Undang Hak Cipta Nomor 6 Tahun 1982, yang mengatur tentang hak cipta sebagai benda tak berwujud,
yang dapat dijadikan objek hak milik.
d) Undang-Undang tentang Hak Tanggungan Tahun 1996, yang mengatur tentang hak atas tanah dan bangunan di
atasnya sebagai pengganti hipotik dan crediet verband.

Lebih lanjut dalam hukum perdata, yang namanya benda itu bukanlah segala sesuatu yang berwujud atau
dapat diraba oleh pancaindra saja, melainkan termasuk juga pengertian benda yang tidak berwujud, seperti
misalnya kekayaan seseorang. Selain itu terdapat pula perbedaan benda bertubuh dan tidak bertubuh serta benda
bergerak yang dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan (habis terpakai). Istilah benda yang dipakai untuk
pengertian kekayaan, termasuk di dalamnya tagihan/piutang, atau hak-hak lainnya, misalnya bunga atas deposito.
Hal-hal di atas telah diatur dalam Pasal 503 hingga 505 KUHPerdata terangkum dalam Buku ke-2 BW dalam bagian
II mengenai pembagian barang atau benda.

A. Macam-macam Hukum Benda


Hukum benda bukanlah sekadar dari benda yang dapat dirasakan oleh pancaindra saja, melainkan benda yang
memiliki hak dalam kepemilikannya sekaligus yang tidak dapat dirasa oleh pancaindra sekalipun. Berikut
merupakan macam-macam benda yang dapat dikatakan sebagai ruang lingkup dalam hukum benda dilihat dari
segi sifatnya yaitu:
1) Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak
Sifat ini menjadi dua sifat benda yang paling mendasar dalam hukum kebendaan. Benda Tidak Bergerak dapat
dibedakan menjadi tiga yaitu:
a) Tidak bergerak menurut sifatnya yang tidak dapat dipindah yaitu dengan contoh tanah, termasuk segala
sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung, karena perbuatan alam atau perbuatan manusia,
digabungkan secara erat menjadi satu dengan tanah itu. Jadi, misalnya sebidang pekarangan, beserta
dengan apa yang terdapat di dalam tanah itu dan segala apa yang dibangun di situ secara tetap (rumah)
dan yang ditanam di situ (pohon), terhitung buah-buahan di pohon yang belum diambil. Diatur dalam
KUHPerdata Bagian 4 tentang Benda Tak Bergerak pada Pasal 506.
b) Tidak bergerak karena tujuan pemakaiannya, ialah segala apa yang meskipun tidak secara sungguh-
sungguh digabungkan dengan tanah atau bangunan, dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan
itu untuk waktu yang agak lama, yaitu misalnya mesin-mesin dalam suatu pabrik. yang telah diatur dalam
KUHPerdata Bagian 4 tentang barang tak bergerak Pasal 507.
c) Selanjutnya, ialah tidak bergerak karena memang demikian ditentukan oleh undang-undang, segala hak
atau penagihan yang mengenai suatu benda yang tidak bergerak. Telah diatur sedemikian rupa dalam
Pasal 509 KUHPerdata Buku Ke-2 Bagian 4 tentang barang tak bergerak.

Sedangkan benda bergerak ialah barang yang mampu bergerak atau dapat dipindahkan dari tempat satu ke tempat
yang lain menurut sifatnya, dengan contoh ayam, bebek dan lainnya serta perahu, kapal, kincir dan kendaraan
bermotor yang dapat dipindahkan tidak terlepas dari hal seperti itu. Hal ini telah diatur dalam KUHPerdata Buku Ke-
2 Bagian 4 mengenai benda bergerak, Pasal 509-510 dan Pasal 512-518 yang mengatur dalam aksesoris rumah atau
kantor yang dapat dipindahkan dari tempat satu ke tempat yang lain. Menurut ketentuan undang-undang yang
dimaksud dengan bergerak ialah a. Hak pakai hasil dan hak pakai atas benda-benda bergerak; b. Hak atas bunga-
bunga yang diperjanjikan; c. Penagihan penagihan atau piutang-piutang; d. Saham-saham atau andil-andil dalam
persekutuan dagang, dan lain-lain. Ketentuan-ketentuan ini telah diatur dalam Pasal 511 dan 512 KUHPerdata Buku
Ke-2 Bagian 4 mengenai benda bergerak.

Manfaat pembedaan benda bergerak dan benda tidak bergerak akan terlihat dalam hal cara penyerahan
benda tersebut, cara meletakkan jaminan di atas benda tersebut, dan beberapa hal lainnya.

2) Benda Berwujud dan Benda Tidak Berwujud


Benda berwujud adalah kebendaan atau benda yang dapat dilihat dengan mata dan diraba. Sistem
penyerahan kebendaan ini tergolong bergerak dari satu orang ke orang lain. Dikatakan benda berwujud karena
merupakan hasil alam yang diatur mengkhusus pada Pasal 500 KUHPerdata yang timbul dari: a. tumbuh timbul
dari tanah atau natuurlijke vruchten (Pasal 502 ayat 1) b. hasil dari usaha sendiri, seperti buah-buahan yang berasal
dari pohon atau dilahirkan oleh binatang-binatang, seperti telur, susu sapi, milik sendiri atau 2). Hasil pekerjaan
atau kerajinan dan hasil dari binatang-binatang yang melahirkan keturunannya, yang diatur dalam Pasal 502 ayat
2 KUHPerdata.
Benda Tidak Berwujud merupakan benda yang timbul dari suatu hubungan. Benda tidak berwujud dalam
hukum tertentu atau hasil perdata (burgerlijke vruchten) yang terdiri utang-piutang (penagihan-penagihan/
vordering) yang belum dapat ditagih (diatur dalam Pasal 501 KUHPerdata), berupa piutang atas nama (aan naam),
piutang atas bawa (aan tonder) atau piutang atas unjuk (aan order); Penagihan-penagihan lainnya (Pasal 502 ayat
2 KUHPerdata) berupa uang sewa, uang upeti, uang angsuran, atau uang bunga. Selain itu ada beberapa benda
yang tidak berwujud beserta hukum yang mengaturnya yaitu Hak Cipta, diatur dalam Lembaran Negara Tahun
1912 Nomor 600; Hak Oktroi, diatur dalam Lembaran Negara Tahun 1922 Nomor 52; dan Hak Merek, diatur dalam
Lembaran Negara Tahun 1912 Nomor 545.
Arti penting pembedaan ini adalah pada saat proses pemindah tangan benda tersebut. Jika benda itu
dapat bergerak dan berwujud maka pemindahannya harus secara nyata dari tangan ke tangan. Dan apabila benda
tersebut berwujud dan tidak bergerak, maka pemindah tanganannya harus dilakukan dengan balik nama.
Sedangkan penyerahan benda tidak berwujud dalam bentuk berbagai piutang. Piutang atas nama (op naam)
dengan cara Cessie yaitu dilakukan dengan piutang atas tunjuk (an toonder) dengan cara penyerahan surat
dokumen Piutang atas pengganti (yang bersangkutan dari tangan ke tangan order) dengan cara endosemen serta
penyerahan dokumen yang bersangkutan dari tangan ke tangan.
B. Kekuasaan Hukum akan Benda (Bezit)
Bezit berasal dari kata zitten yang berarti menduduki. Dari itu bezit diartikan dengan kedudukan berkuasa atau
hak menguasai atas suatu kebendaan Menurut 529 BW, Bezit diterjemahkan dengan kedudukan berkuasa, yaitu
kedudukan seseorang yang menguasai suatu kebendaan, baik dengan diri sendiri maupun dengan perantaraan orang
lain, dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yang memiliki kebendaan itu (Pasal 529 BW).
Menurut Prof. Subekti, S.H. Bezit ialah suatu keadaan lahir, di mana seorang menguasai suatu benda seolah-olah
kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum dilindungi dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya
ada pada siapa. Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, S.H. dengan mengacu pada Pasal 529 BW, maka bezit ialah
keadaan memegang atau menikmati sesuatu benda di mana seseorang menguasainya baik sendiri ataupun dengan
perantaraan orang lain, seolah-olah itu adalah kepunyaannya sendiri. C.S.T Kansil. Bezit ialah menguasai atau mengambil
manfaat atas suatu benda yang langsung atau tidak langsung, dengan perantaraan orang lain yang di bawah kekuatannya
untuk bertindak seolah-olah benda itu kepunyaannya. Ada pula yang mengatakan bahwa Bezit ialah suatu keadaan lahir,
di mana seorang menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum dilindungi, dengan tidak
mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada siapa. Untuk bezit diharuskan adanya dua anasir, yaitu
kekuasaan atas suatu benda dan kemauan untuk memiliki benda tersebut. Berdasarkan para pendapat di atas maka
istilah “seolah-olah” kepunyaannya, menunjukkan bahwa benda tersebut bukanlah haknya sendiri. Tetapi walaupun
benda itu bukan haknya sendiri, ia mendapat kekuatan yang dilindungi untuk menguasai, bahkan dapat mengambil
manfaatnya benda tersebut, seperti bendanya sendiri.
Fungsi dan hak yang timbul dari keberlakuan Bezit atau kekuasaan terhadap suatu benda yang bukan hak milik
di antaranya.
Bezit mempunyai 2 macam fungsi yaitu sebagai berikut.
1) Fungsi polisionil adalah bahwa bezit itu mendapat perlindungan hukum, tanpa mempersoalkan siapa sebenarnya
pemilik sejati benda itu. Siapa pun yang mem-bezit benda, meskipun dia pencuri, ia mendapat perlindungan
hukum, sampai terbukti di depan pengadilan bahwa ia sebenarnya tidak berhak.
2) Fungsi zakenrechtelijk adalah bahwa setelah bezit itu berjalan beberapa waktu tanpa adanya protes dari pemilik
yang sebelumnya, bezit itu berubah menjadi eigendom.
Hak- hak atas kebendaan yang dikuasai bezitter yang te goeder trouw didapatkan menurut ketentuan dalam
Pasal 548 KUHPerdata yaitu sebagai berikut.
1. Bezitter yang bersangkutan tetap dianggap sebagai pemilik kebendaan untuk sementara waktu sampai pada saat
kebendaan itu dituntut kembali di muka hakim pengadilan. 78 Pengantar Hukum Indonesia
2. Bezitter yang bersangkutan dapat memperoleh hak milik atas kebendaan itu karena lampau waktu.
3. Bezitter yang bersangkutan tetap berhak menikmati segala hasilnya dari kebendaan itu sampai pada saat
penuntutan kembali akan kebendaannya di muka hakim pengadilan.
4. Kedudukannya sebagai bezitter tetap harus dipertahankan atau dipulihkan bilamana saat mendudukinya
mendapatkan gangguan dalam memangkunya atau kehilangan kedudukannya.

Demikian pula bezitter yang te kwader trouw mendapatkan perlindungan dari hukum, namun perlindungan hukum
tidak seperti bezitter yang te goeder trouw. Sesuai dengan ketentuan Pasal 549 KUHPerdata, yaitu sebagai berikut.

1. Bezitter yang bersangkutan tetap dianggap sebagai pemilik kebendaan untuk sementara waktu sampai pada saat
kebendaan itu dituntut kembali di muka hakim pengadilan.
2. Bezitter yang bersangkutan tetap dapat menikmati segala hasil dari kebendaan yang dikuasainya, namun dengan
kewajiban untuk mengembalikannya kepada yang berhak.
3. Kedudukannya sebagai bezitter tetap harus dipertahankan dan dipulihkan dalam kedudukannya bilamana pada
waktu mendudukinya mendapatkan gangguan atau kehilangan kedudukannya

Pada ketentuan Pasal 548 dan Pasal 549 KUHPerdata dapat diketahui, bahwa bilamana terdapat gangguan-
gangguan atas bezitnya, maka seseorang pemegang bezit dapat mengajukan gugatan di muka hakim pengadilan, yang
dinamakan dengan gugat bezit. Gugat bezit hanya diperuntukkan terhadap gangguan gangguan atas bezit itu sendiri, di
mana tidak meliputi karena kecurian, sehingga hakim pengadilan dapat menghentikan gangguan gangguan atas bezit
dan sekaligus mempertahankan kedudukan bezitter dalam kedudukannya semula serta memberikan penggantian
kerugian.

Jika dikaitkan dengan jenis kebendaan yang dikuasai, dibedakan atas dua macam: Pertama, bezit benda ialah
bezit mengenai benda-benda yang berwujud. Kedua, bezit hak ialah bezit mengenai benda-benda yang tidak berwujud
ataupun hak. Dan apabila dikaitkan dengan pemegangnya, bezit dibedakan atas dua macam, pertama, bezit yang
diperoleh dengan cara jujur, yang melahirkan bezitter te goeder trouw. Pada Pasal 531 bahwa bezit adalah to goeder
trouw, bilamana bezitter memperoleh suatu kebendaannya di antara cara untuk memperoleh hak milik, di mana dia
tidak mengetahui hal akan cacat yang terkandung di dalamnya. Artinya bezitter yang jujur adalah bezitter yang memang
menyangka dirinya adalah pemilik yang sesungguhnya atas kebendaan yang dikuasai atau didudukinya tersebut. Kedua,
bezit yang diperoleh secara tidak jujur yang melahirkan bezitter te kwader trouw. Pada Pasal 532 bahwa bezit adalah te
kwarder trouw bilamana bezitter mengetahui bahwa dirinya bukan pemilik yang sesungguhnya atas kebendaan yang
dikuasai atau didudukinya itu, tetapi tetap dikuasai atau didudukinya. Artinya bezitter yang tidak jujur atau beriktikad
buruk adalah bezitter yang memang mengetahui bahwa dirinya bukan pemilik sejati atas kebendaan yang dikuasainya
itu, melainkan kebendaannya itu milik orang lain. Perolehan bezit atas sesuatu kebendaan terjadi dengan cara:
a) Melakukan “suatu perbuatan menarik atau menempatkan”, artinya adanya tindakan aktif yang dapat dilakukan oleh
diri sendiri maupun dilakukan dengan perantaraan orang lain untuk dan atas nama;
b) Yang di tempatkan itu adalah “suatu kebendaan”, yang dapat meliputi kebendaan bergerak dan kebendaan tidak
bergerak. Kebendaan bergerak dimaksud meliputi benda yang sudah ada pemiliknya atau benda yang belum ada
pemiliknya;
c) Kebendaan yang ditarik tersebut haruslah “berada dalam kekuasaan” daripada bezitter, artinya menunjukkan
keharusan adanya hubungan langsung antara orang yang menguasai dengan benda yang dikuasai;
d) Terdapatnya niat untuk “menguasai atau mempertahankan untuk diri sendiri”, yang menunjukkan adanya animus,
yaitu kehendak menguasai kebendaan itu untuk memiliknya sendiri.
Bezit akan berakhir karena hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 543, 544, 545, 546 dan 547 KUHPerdata yaitu sebagai
berikut.
1) Karena bendanya diserahkan sendiri oleh bezitter kepada orang lain
2) Karena bendanya diambil oleh orang lain dari kekuasaan bezitter dan kemudian selama satu tahun menikmatinya
tidak ada gangguan apa pun juga;
3) Karena bendanya telah dibuang (dihilangkan) oleh bezitter;
4) Karena bendanya tidak diketahui lagi di mana adanya;
5) Karena bendanya musnah oleh sebab peristiwa yang luar biasa atau karena alam.
C. Hak Kepemilikan Benda (Hak Milik)
Dalam Buku II KUHPerdata Pasal 570 s.d. Pasal 624 dan diatur juga dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 27
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disingkat menjadi
UUPA). Pengertian hak milik menurut ketentuan KUHPerdata adalah hak untuk menikmati kegunaan suatu kebendaan
dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak
mengganggu hak orang lain (Pasal 570 KUHPerdata).
Pengertian hak milik dalam Pasal 570 adalah dalam arti luas, karena benda yang dapat menjadi objek hak milik,
tidak hanya benda tidak bergerak, tetapi juga benda bergerak. Lain halnya dengan rumusan yang tercantum dalam Pasal
20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, di mana dalam rumusannya itu hanya mengenai benda tidak bergerak,
khususnya atas tanah. Adapun ciri-ciri yang dimiliki oleh hak milik di antaranya sebagai berikut.
1) Hak milik merupakan hak pokok terhadap hak-hak kebendaan lain yang bersifat terbatas, sebab dari hak milik itu
dapat lahir sejumlah hak-hak yang lain;
2) Hak milik merupakan hak yang paling sempurna;
3) Bersifat tetap artinya tidak dapat hilang karena adanya hak-hak lain yang timbul di atas hak milik itu;
4) Merupakan inti dari hak-hak kebendaan yang lain.

Mengenai cara memperoleh hak milik dalam BW diatur dalam Pasal 584 yang menyebutkan secara limitatif
bagaimana cara-cara memperoleh hak milik, seakan-akan tidak ada cara lain untuk memperoleh hak milik tersebut di
luar Pasal 584. Padahal macam-macam cara memperoleh hak milik yang disebutkan dalam Pasal 584 BW tersebut
hanyalah sebagian saja, dan masih ada cara-cara lain yang tidak disebut Pasal 584 BW. Cara memperoleh hak milik yang
disebutkan dalam Pasal 584 BW:

1. Pengambilan (toegening atau occupatio)


Yaitu cara memperoleh hak milik dengan mengambil benda-benda bergerak yang sebelumnya tidak ada pemiliknya
(res nullius), seperti binatang di hutan, ikan di sungai, dan sebagainya.
2. Penarikan oleh benda lain (natrekking atau accessio)
Yaitu cara memperoleh hak milik di mana benda (pokok) yang dimiliki sebelumnya karena alam bertambah besar atau
bertambah banyak. Misalnya pohon yang berbuah.
3. Lewat waktu/daluarsa (verjaring)
Yaitu cara memperoleh hak milik karena lampaunya waktu 20 tahun dalam hal ada alas hak yang sah atau 30 tahun
dalam hal tidak ada alas hak. Lewat waktu ini diatur dalam Pasal 610 BW dan pasal-pasal Buku IV BW tentang
pembuktian dan daluarsa.
4. Hukum Perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “verbintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam
literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang
yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual-beli barang. Dapat
berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak
pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal
yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh
masyarakat sendiri diakui dan diberi “akibat hukum”. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang
satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum
Jika dirumuskan, perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua
orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan
hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa
hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam
bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam
bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi (personal law). Menurut ilmu
pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara
dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
A. Macam-macam Hukum Perikatan
Selayaknya hukum benda yang memiliki macam-macam hukum benda. Hukum perikatan juga memiliki
macam-macam perikatan, yang dibagi menurut dengan ilmu yang dikaji, di antaranya:
1) Perikatan bersyarat (voorwaardelijk)
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang
masih belum tentu akan atau terjadi. Mungkin untuk memperjanjikan bahwa perikatan itu barulah akan
lahir, apabila kejadian yang belum tentu timbul itu. Suatu perjanjian yang demikian itu, menggantungkan
adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertangguhkan (opschortende
voorwaarde). Menurut Pasal 1253 KUHPerdata tentang perikatan bersyarat “suatu perikatan adalah
bersyarat manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum
terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara
membatalkan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut”.
2) Perikatan Dengan ketetapan Waktu (tidjsbepaling)
Maksud syarat “ketetapan waktu” ialah bahwa pelaksanaan perikatan itu digantungkan pada waktu yang
ditetapkan. Waktu yang itu adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan terjadinya sudah pasti, atau berupa
tanggal yang sudah tetap.

Menurut KUHPerdata Pasal 1268 tentang perikatan-perikatan ketetapan waktu, berbunyi “suatu
ketetapan waktu tidak, menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaanya”. Pasal
ini menegaskan bahwa ketetapan waktu tidak menangguhkan lahirnya perikatan, tetapi hanya
menangguhkan pelaksanaanya. Ini berarti bahwa perjajian dengan waktu ini pada dasarnya perikatan telah
lahir, hanya saja pelaksanaanya yang tertunda sampai waktu yang ditentukan.

Perbedaan antara suatu syarat dengan ketetapan waktu ialah yang pertama, berupa suatu kejadian
atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana. Sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang
pasti akan datang, meskipun belum dapat ditentukan kapan datangnya. Misalnya meninggalnya seseorang.
Contoh-contoh suatu perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu, banyak sekali dalam
praktik seperti perjanjian perburuhan, suatu utang wesel yang dapat ditagih suatu waktu setelahnya
dipertunjukan dan lain sebagainya.

3) Perikatan mana suka (alternatif)


Pada perikatan mana suka objek prestasinya ada dua macam benda. Dikatakan perikatan mana suka
karena debitur boleh memenuhi prestasi dengan memilih salah satu dari dua benda yang dijadikan objek
perikatan. Namun, debitur tidak dapat memaksakan kreditur untuk menerima sebagian benda yang satu
dan sebagian benda yang lainnya. Jika debitur telah memenuhi salah satu dari dua benda yang ditentukan
dalam perikatan, dia dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak milik prestasi itu ada pada debitur jika hak ini
tidak secara tegas diberikan kepada kreditur.
Menurut Pasal 1272 KUHPerdata mengenai perikatan-perikatan mana suka (alternatif) berbunyi,
“tentang perikatan-perikatan mana suka debitur dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang
yang disebutkan dalam perikatan, tetapi ia tidak dapat memaksa kreditur untuk menerima kreditur untuk
sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari barang yang lainnya”. Dalam perikatan alternatif ini
debitur dinyatakan bebas jika telah menyerahkan salah satu dari dua atau lebih barang yang dijadikan
alternatif pembayaran. Walaupun demikian, debitur tidak dapat memaksakan kepada kreditur untuk
menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian barang lainnya. Jadi, debitur tidak dapat memaksa
kreditur untuk menerima seekor sapi dan seekor kerbau.
4) Perikatan tanggung-menanggung atau tanggung renteng (hoofdelijk atau solidair)
Ini adalah suatu perikatan di mana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berutang berhadapan
dengan satu orang yang mengutangkan atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama berhak menagih
suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam
praktik. Beberapa orang yang bersama-sama menghadapi orang berpiutang atau penagih utang, masing-
masing dapat dituntut untuk membayar utang itu seluruhnya. Tetapi jika salah satu membayar, maka
pembayaran ini juga membebaskan semua teman-teman yang berutang. Itulah yang dimaksud suatu
perikatan tanggung-menanggung.
5) Perikatan yang dapat dibagi dan perikatan yang tidak dapat dibagi Suatu perikatan dapat dikatakan dapat
dibagi atau tidak dapat dibagi jika benda yang menjadi objek perikatan dapat atau tidak dapat dibagi
menurut imbangan lagi pula pembagian itu tidak boleh mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Jadi, sifat
dapat atau tidak dapat dibagi itu berdasarkan pada:
a. Sifat benda yang menjadi objek perikatan
b. Maksud perikatannya, apakah itu dapat atau tidak dapat dibagi. Persoalan dapat dibagi atau tidak dapat
dibagi itu mempunyai arti apabila dalam perikatan itu terdapat lebih dari seorang debitor atau lebih
dari sorang kreditur. Jika hanya seorang kreditur perikatan itu dianggap sebagai tidak dapat dibagi.
6) Perikatan dengan penetapan hukuman (strabeding)
Untuk mencegah jangan sampai si berutang dengan mudah saja melaikan kewajibannya dalam praktik
banyak dipakai perjanjian di mana si berutang dikenakan suatu hukuman apabila ia tidak menepati janjinya.
Hukuman itu, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu
pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian
itu. Menurut Pasal 1304 tentang mengenai perikatan perikatan dengan ancaman hukuman, berbunyi
“anman hukuman adalah suatu ketentuan sedemikian rupa dengan mana seorang untuk imbalan jaminan
pelaksanaan suatu perikatan diwajibkan melakukan sesuatu manakala perikatan itu tidak dipenuhi”.
Ketentuan di atas sebenarnya merupakan pendorong bagi debitur untuk memenuhi perikatannya
karena apabila ia lalai dalam melaksanakannya dia dikenai suatu hukuman tertentu, yang tentu saja akan
membawa kerugian baginya karena dengan hukuman tersebut kewajiban akan semakin besar.
B. Hapusnya Hukum Perikatan
Dalam Pasal 1381 KUHPerdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara hapusnya
perikatan itu adalah sebagai berikut:
1) Pembayaran Nama “Pembayaran” dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara suka rela.
Pembayaran harus dilakukan kepada si berpiutang (kreditur) atau kepada seseorang yang dikuasakan
olehnya atau juga kepada seorang yang dikuasakan hakim atau oleh UU untuk menerima pemabayaran bagi
si berpiutang. Mengenai tempatnya pembayaran, Pasal 1393 KUHPerdata menerangkan sebagai berikut:
“Pembayaran harus dilakukan di tempat yang ditetapkan dalam perjanjian, jika dalam perjanjian tidak
ditetapkan suatu tempat, maka pembayaran yang mengenai suatu barang tertentu harus dilakukan di
tempat di mana barang itu sewaktu perjanjian dibuat”.
2) Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Penyimpanan Atau Penitipan Ini adalah suatu cara pembayaran yang
harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran. Caranya sebagai berikut: barang atau
uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang Notaris atau seorang juru sita
pengadilan. Notaris atau juru sita membuat suatu perincian dari barang atau uang yang akan dibayarkan
dan pergi ke tempat tinggal kreditur untuk membayar utangnya debitur terebut dengan menyerahkan
barang atau uang yang telah terperinci. Notaris sudah menyediakan suatu proses verbal. Apabila kreditur
suka menerima barang atau uang yang ditawarkan maka selesailah perkara pembayaran tersebut. Apabila
menolak Notaris akan mempersilahkan kreditur menandatangani proses verbal tersebut, dengan demikian
terdapatlah suatu bukti resmi bahwa si berpiutang telah menolak pembayaran. Langkah berikutnya ialah:
si berutang (debitur) di muka pengadilan negeri dengan permohonan kepada pengadilan mengesahkan
penawaran pembayaran yang telah dilakukan itu. Setelah disahkan maka barang atau uang yang akan
dibayarkan itu disimpan atau dititipkan kepada panitera Pengadilan Negeri atas tanggungan atau risiko si
berutang dengan demikian terhapuslah utang-piutang itu. 3
3) pembaruan Utang Atau Novasi Menurut Pasal 1413 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada tiga macam
jalan untuk melaksanakan suatu pembaruan utang atau novasi yaitu:
a. Apabila seorang yang berutang mebuat suatu perikatan utang baru guna orang yang akan mengutangkan
kepadanya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya. Novasi ini dinamakan
novasi objektif karena yang diperbaharui adalah objeknya perjanjian.
b. Apabila seorang berutang baru ditunjuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh si berpiutang
dibebaskan dari perikatannya. Novasi ini dinamakan subjektif pasif karena yang diperbaharui adalah
subjeknya debitur.
c. Apabila sebagai akibat dari suatu perjanjian baru kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur
yang lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya. Novasi ini dinamakan subjektif akhir
karena yang diperbaharui adalah subjeknya kreditur.
4) Perjumpaan Utang atau Kompensasi Ini adalah suatu cara penghapusan utang dengan jalan
memperjumpakan atau memperhitungkan utang-piutang secara timbal-balik kreditur dan debitur. Jika dua
orang saling berutang maka terjadilah antara Bab 5: Hukum Perdata 87 mereka satu perjumpaan dengan
mana antara kedua orang tersebut dihapuskan. Diterangkan Pasal 1424 KUHPerdata bahwa perjumpaan itu
terjadi demi hukum, bahkan dengan setidak tahunya orang yang bersangkutan dan kedua utang itu yang
satu menghapuskan yang lain dan sebaliknya pada saat utang itu bersama-sama ada, timbal-balik untuk
suatu jumlah yang sama. Agar dua utang dapat diperjumpakan maka perlulah bahwa dua utang itu seketika
dapat ditetapkan besarnya atau jumlahnya dan seketika dapat ditagih.
5) Percampuran Utang Apabila kedudukan sebagai orang berutang (kreditur) dan orang yang berutang
(debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu bercampuran utang dengan mana
utang piutang itu dihapuskan. Percampuran utang yang terjadi pada dirinya si berutang utama berlaku juga
untuk keuntungan para Penanggung utangnya (borg) sebaliknya percampuran yang terjadi pada seorang
Penanggung utang (borg) tidak sekali-kali mengakibatkan hapusnya utang pokok.
6) Pembebasan Utang Teranglah bahwa apabila si berpiutang dengan tegas menyatakan tidak menghendaki
lagi prestasi dari si berutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka
perikatan yaitu hubungan utang-piutang hapus, perikatan ini hapus karena pembebasan. Pembebasan
sesuatu utang tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Penggembalian sepucuk tanda piutang
suka rela oleh si berpiutang kepada si berutang merupakan suatu bukti tentang pembebasan utangnya.
7) Musnahnya Barang Yang Terutang Jika barang tertentu yang menjadi objek dari perjanjian musnah, tak lagi
dapat diperdagangkan atau hilang hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada maka
hapuslah perikatannya asal barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia
lalai menyerahkannya.
8) Kebatalan/Pembatalan Yang diatur Pasal 1446 KUHPerdata adalah pembatalan perjanjian perjanjian yang
dapat dimintakan pembatalan (vernietigbaar atau voidable). Meminta pembatalan perjanjian yang
kekurangan syarat subjektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara: pertama, secara aktif menurut
pembatalan perjanjian yang demikian itu di muka hakim. Kedua, secara pembelaan yaitu menunggu sampai
digugat di muka hakim untuk memenuhi perjanjian dan di sanalah baru mengajukan tentang kekurangan
perjanjian itu.
9) Berlakunya Suatu Syarat Batal Dalam hukum perjanjian pada asasnya syarat batal selamanya berlaku surut
hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi,
menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula seolah olah
tidak pernah ada suatu perjanjian, demikianlah Pasal 1265 KUHPerdata. Dengan demikian maka syarat batal
itu mewajibkan si berutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang
dimaksud itu terjadi.
10) Lewatnya Waktu Menurut Pasal 1946 KUHPerdata, yang dinamakan “daluarsa” atau “lewat waktu” ialah
suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu
waktu tertentu dan atas syarat yang ditentukan oleh UU. Dengan lewatnya waktu tersebut hapuslah setiap
perikatan hukum dan tinggallah pada suatu “perikatan bebas” artinya kalau dibayar boleh tetapi tidak dapat
dituntut di muka hakim.
5. HUKUM PEMBUKTIAN DAN DALUARSA
Pembuktian merupakan bagian yang sangat penting dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana.
Tujuan pemeriksaan perkara pidana adalah untuk menemukan suatu kebenaran materiil, kebenaran yang dikatakan
dengan logika hukum. Pembuktian adalah salah satu cara untuk meyakinkan hakim agar ia dapat menemukan dan
menetapkan terwujudnya kebenaran yang sesungguhnya ada dalam putusannya, bila hasil pembuktian dengan
menggunakan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang ternyata tidak cukup untuk membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada Terdakwa, maka Terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan, sebaliknya kalau
kesalahan Terdakwa dapat dibuktikan (dengan alat-alat bukti yang disebut dalam undang-undang yakni dalam Pasal
184 KUHAP) maka harus dinyatakan bersalah dan dihukum.
Masalah beban pembuktian merupakan salah satu bagian hal pokok yang berkaitan dengan pembuktian di
samping hal pokok yang lainnya, yaitu alat-alat pembuktian (bewijsmiddelen), penguraian pembuktian
(bewijsvoering), kekuatan pembuktian (bewijskracht), dan dasar pembuktian (bewijsgrond). Dari pengalaman
selama ini ternyata dalam pemeriksaan khusus berindikasi Tindak Pidana Korupsi banyak mengalami kesulitan
dalam pembuktian hal ini menunjukkan bahwa salah satu tujuan pemberlakuan undang-undang pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi belum tercapai yang penyebabnya adalah sama dengan penyebab 30 tahun yang lalu (UU
No.24/Prp/1960 juga Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971) yaitu kesulitan dalam pembuktian.
Jadi dapat disimpulkan pembuktian merupakan suatu kegiatan atau perilaku pembenaran diri yang diajukan
disertai dengan keberadaan bukti bukti yang ada sehingga memperkuat sanggahan dan dapat diyakini pula
keberadaannya.
Daluwarsa ialah suatu sarana hukum untuk memperoleh sesuatu atau suatu alasan untuk dibebaskan dari
suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan dengan terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam
undang-undang. Seseorang tidak boleh melepaskan daluwarsa sebelum tiba waktunya, tetapi boleh melepaskan
suatu daluwarsa yang telah diperolehnya. Pelepasan daluwarsa dapat dilakukan secara tegas atau secara diam-
diam. Pelepasan secara diam-diam disimpulkan dari suatu perbuatan yang menimbulkan dugaan bahwa seseorang
tak hendak menggunakan suatu hak yang telah diperolehnya. Barangsiapa tidak diperbolehkan
memindahtangankan sesuatu juga tidak boleh melepaskan daluwarsa yang diperolehnya. Hakim, karena
jabatannya, tidak boleh mempergunakan daluwarsa. Pada setiap tingkat pemeriksaan perkara, dapat diajukan
adanya daluwarsa, bahkan pada tingkat banding pun. Kreditur atau orang lain yang berkepentingan dapat melawan
pelepasan daluwarsa yang dilakukan oleh debitur yang secara curang bermaksud mengurangi hak kreditur atau
orang yang lain tersebut. Seseorang tidak dapat menggunakan daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas barang-
barang yang tidak beredar dalam perdagangan
Untuk memperoleh hak milik atas sesuatu dengan upaya daluwarsa, seseorang harus bertindak sebagai
pemilik sesuatu itu dengan menguasainya secara terus-menerus dan tidak terputus-putus, secara terbuka di
hadapan umum dan secara tegas. Perbuatan memaksa, perbuatan sewenang-wenang, atau perbuatan membiarkan
begitu saja tidaklah menimbulkan suatu bezit yang dapat membuahkan daluwarsa. Seseorang yang sekarang
menguasai suatu barang, yang membuktikan bahwa ia menguasai sejak dulu, dianggap juga telah menguasainya
selama selang waktu antara dulu dan sekarang, tanpa mengurangi pembuktian hal yang sebaliknya. Untuk
memenuhi waktu yang diperlukan untuk daluwarsa, dapatlah seseorang menambah waktu selama ia berkuasa
dengan waktu selama berkuasanya orang yang lebih dahulu berkuasa dari siapa ia telah memperoleh barangnya,
tak peduli bagaimana ia menggantikan orang itu, baik dengan alas hak umum maupun dengan alas hak khusus, baik
dengan cuma-cuma maupun atas beban.
Orang yang menguasai suatu barang untuk orang lain, begitu pula ahli warisnya, sekali-kali tidak dapat
memperoleh sesuatu dengan jalan daluwarsa, berapa lama pun waktu yang telah lewat. Demikian pula seorang
penyewa, seorang penyimpan, seorang penikmat hasil, dan semua orang lain yang memegang suatu barang
berdasarkan suatu persetujuan dengan pemiliknya tak dapat memperoleh barang itu. Mereka dapat memperoleh
hak milik dengan jalan daluwarsa, jika alas hak bezit mereka telah berganti, baik karena suatu sebab yang berasal
dari pihak ketiga maupun karena pembantahan yang mereka lakukan terhadap hak milik. Mereka yang telah
menerima suatu barang yang diserahkan dengan alas hak yang dapat memindahkan hak milik oleh penyewa,
penyimpan, dan orang-orang lain yang menguasai barang itu berdasarkan suatu persetujuan dengan pemiliknya
dapat memperoleh barang tersebut dengan jalan daluwarsa. Daluwarsa dihitung menurut hari, bukan menurut jam.
Daluwarsa itu diperoleh bila hari terakhir dari jangka waktu yang diperlukan telah lewat. Daluarsa dalam
KUHPerdata diatur dalam Pasal 1967-1977.
Daluwarsa berlaku terhadap siapa saja, kecuali terhadap mereka yang dikecualikan oleh undang-undang.
Daluwarsa tidak dapat mulai berlaku atau berlangsung terhadap anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang
yang ada di bawah pengampuan, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang. Daluwarsa tidak dapat
terjadi di antara suami-istri. ini diatur dalam KUHPerdata Pasal 1986-1992 mengenai penangguhan lewat waktu
atau daluwarsa.
Daluwarsa dicegah bila pemanfaatan barang itu dirampas selama lebih dari satu tahun dari tangan orang
yang menguasainya, baik oleh pemiliknya semula maupun oleh pihak ketiga. Daluwarsa itu dicegah pula oleh suatu
peringatan, suatu gugatan, dan tiap perbuatan-perbuatan berupa tuntutan hukum, masing-masing dengan
pemberitahuan dalam bentuk yang telah ditentukan, ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dalam hal itu
atas nama pihak yang berhak, dan disampaikan kepada orang yang berhak dicegah memperoleh daluwarsa itu.
Gugatan di muka hakim yang tidak berkuasa, juga mencegah daluwarsa. Namun daluwarsa tidak dicegah bila
peringatan atau gugatan dicabut atau dinyatakan batal, entah karena Penggugat menggugurkan tuntutannya, entah
karena tuntutan itu dinyatakan gugur akibat daluwarsanya. Pengakuan akan hak seseorang yang terhadapnya
daluwarsa berjalan, yang diberikan dengan kata-kata atau dengan perbuatan oleh orang yang menguasainya atau
debitur juga mencegah daluwarsa. Diperkukuh pada KHUPerdata Pasal 1978-1985 mengenai pencegahan lewat
waktu atau daluwarsa.
Pemberitahuan kepada salah seorang debitur dalam perikatan tanggung-menanggung, atau pengakuan
orang tersebut, mencegah daluwarsa terhadap para debitur lain, bahkan terhadap para ahli waris mereka pula.
Pemberitahuan kepada ahli waris salah seorang debitur dalam perikatan tanggung-menanggung, atau pengakuan
ahli waris tersebut tidaklah mencegah daluwarsa terhadap para ahli waris debitur lainnya, bahkan juga dalam hal
suatu utang hipotek, kecuali untuk bagian ahli waris tersebut. Dengan pemberitahuan atau pengakuan itu maka
daluwarsa terhadap para debitur lain tidak dicegah lebih lanjut, kecuali untuk bagian ahli waris tersebut. Untuk
mencegah daluwarsa seluruh utang terhadap para debitur lainnya, perlu ada suatu pemberitahuan kepada semua
ahli waris atau suatu pengakuan dari semua ahli waris itu. Pemberitahuan yang dilakukan kepada debitur utama
atau pengakuan yang diberikan oleh debitur utama mencegah daluwarsa terhadap Penanggung utang. Pencegahan
daluwarsa yang dilakukan oleh salah seorang kreditur dalam suatu perikatan tanggung-menanggung berlaku bagi
semua kreditur lainnya

Anda mungkin juga menyukai