Anda di halaman 1dari 13

Ruang Lingkup Hukum Perdata:

1.
Hukum Perdata Dalam Arti Luas
Hukum Perdata dalam arti luas pada hakekatnya meliputi semua hukum privat meteriil, yaitu
segala hukum pokok (hukum materiil) yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan,
termasuk hukum yang tertera dalam KUHPerdata (BW), KUHD, serta yang diatur dalam
sejumlah peraturan (undang-undang) lainnya, seperti mengenai koperasi, perniagaan, kepailitan,
dll.
2. Hukum Perdata Dalam Arti Sempit
Hukum Perdata dalam arti sempit, adakalanya diartikan sebagai lawan dari hukum dagang.
Hukum perdata dalam arti sempit ialah hukum perdata sebagaimana terdapat di dalam
KUHPerdata.
Jadi hukum perdata tertulis sebagaimana diatur di dalam KUHPerdata merupakan Hukum
Perdata dalam arti sempit. Sedangkan Hukum Perdata dalam arti luas termasuk di dalamnya
Hukum Perdata yang terdapat dalam KUHPerdata dan Hukum Dagang yang terdapat dalam
KUHD.
Hukum Perdata juga meliputi Hukum Acara Perdata, yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur
tentang cara seseorang mendapatkan keadilan di muka hakim berdasarkan Hukum Perdata,
mengatur mengenai bagaimana aturan menjalankan gugutan terhadap seseorang, kekuasaan
pengadilan mana yang berwenang untuk menjalankan gugatan dan lain sebagainya.
Hukum Perdata juga terdapat di dalam Undang-Undang Hak Cipta, UU Tentang Merk dan Paten,
keseluruhannya termasuk dalam Hukum Perdata dalam arti luas.
Hukum Perdata Materiil dan Hukum Perdata Formil
Hukum Perdata Materiil
Hukum Perdata Materiil adalah segala ketentuan hukum yang mengatur hak dan kewajiban
seseorang dalam hubungannya terhadap orang lain dalam masyarakat.
Hukum Perdata materiil ialah aturan-aturan yang mengatur hak dan kewajiban perdata seseorang.
Dengan kata lain bahwa Hukum Perdata materiil mengatur kepentingan-kepentingan perdata
setiap subyek hukum, yang pengaturannya terdapat di dalam KUHPerdata, KUHD dsb.
Hukum Perdata Formil:
Hukum Perdata Formil adalah segala ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang cara seseorang
mendapatkan hak/keadilan berdasarkan Hukum Perdata materiil. Cara untuk mendapatkan
keadilan di muka hakim lazim disebut Hukum Acara Perdata.
Hukum Perdata Formil merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana tatacara seseorang
menuntut haknya apabila dirugikan oleh orang lain, mengatur menurut cara mana pemenuhan
hak materiil dapat dijamin.
Hukum Perdata Formil bermaksud mempertahankan hukum perdata materiil, karena Hukum
Perdata formil berfungsi menerapkan Hukum Perdata materiil.
Hukum Perdata formil, misalnya Hukum Acara Perdata, terdapat dalam Reglement Indonesia
yang Diperbaharui (R.I.B).
Sejarah dan Sistematika KUH Perdata
Sejarah Perkembangan KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek):
Pembentukan Hukum Perdata di Indonesia tidak terlepas dari sejarah pembentukannya di Negeri
Belanda. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) Belanda diberlakukan di
Indonesia berdasarkan ASAS KONKORDANSI (CONCORDANTIE BEGINSEL).

KUHPerdata Belanda berasal dari Code Civil Prancis. Code Civil Perancis mulai berlaku pada
tanggal 21 Maret 1804. kemudian karena Perancis menjajah Belanda maka Code Civil tersebut
berlaku di Negeri Belanda. Kemudian setalah Negeri Belanda terbebas dari jajahan Perancis
diadakan perubahan dan penambahan sesuai dengan keadaan Belanda. Pada tanggal 10 April
1838 dengan Koninklijk Besluit S. 1838 : 12, kodifikasi Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek)
dinyatakan berlaku dan diberlakukan di Negeri Belanda pada tanggal 1 Oktober 1838.
Di Indonesia berdasarkan pasal 131. I.S. (Indische Regeling) disusun Politik Hukum Pemerintah
Hindia Belanda dan berdasarkan S. 1847 No. 23 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijke Wetboek) melalui pengumuman Gubernur Hindia Belanda tanggal 3 Desember
1847, dinyatakan bahwa sejak tanggal 1 Mei 1848 KUHPerdata dan KUHD diberlakukan di
Hindia Belanda meskipun hanya berlaku bagi golongan-golongan penduduk tertentu saja yaitu
Golongan Eropa dan Timur Asing.

Sistematika Hukum Perdata Menurut Ilmu Hukum (Doktrin):


a. Hukum Perorangan/Hukum Pribadi:
Merupakan keseluruhan ketentuan norma hukum mengenai subyek hukum atau orang pribadi.
Hukum Perorangan mengatur orang sebagai subyek hukum, siapa yang merupakan subyek
hukum, kecakapan untuk bertindak dalam lalu lintas hukum, catatan sipil, ketidak hadiran, nama
dan tempat tinggal orang/pribadi (subyek hukum) dll
Hukum Perorangan memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subyek hukum,
peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak
sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan
itu.
b. Hukum Keluarga (Familie Recht):
Hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan yang timbul dari hubungan kekeluargaan,
yaitu : perkawinan serta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan isteri,
hubungan antar orang tua dan anak, perwalian dan pengampuan dsb.
Hak dan kewajiban di bidang hukum keluarga pada dasarnya merupakan hak dan kewajiban yang
tidak dapat dinilai dengan uang, dan pada prinsipnya merupakan hubungan hukum yang sifatnya
kekal (abadi).
Dalam KUHPerdata, hukum keluarga tersebut diatur dalam Buku I, yang berjudul tentang orang.
c. Hukum Kekayaan (Vermogen Recht):
Hukum yang mengatur hubungan antara orang dengan harta kekayaan mereka atau mengatur
mengenai hubungan hukum yang merupakan hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.
Jika kita mengatakan tentang kekayaan seseorang, yang dimaksudkan adalah segala hak dan
kewajiban orang itu, yang dapat dinilai dengan uang. Hak dan kewajiban yang sifatnya demikian,
lazimnya dapat dipindahtangankan kepada orang lain.
Hukum kekayaan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu :
1. Hukum Kekayaan yang sifatnya Absolut (mutlak); Hukum kekayaan yang sifatnya
absolut menggambarkan hubungan antara orang dengan benda dan merupakan hak
kebendaan yaitu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat
dipertahankan terhadap setiap orang. Hak kebendaan dapat dipertahankan terhadap setiap
orang yang bermaksud mengganggu gak kebendaan tersebut. Misalnya : Hak Milik.
2. Hukum Kekayaan yang sifatnya Relatif; Hukum kekayaan yang sifatnya relatif, lahir dari
perjanjian yang sifatnya relatif, artinya hanya dapat dipertahankan terhadap orang-orang
tertentu saja, yakni orang yang terikat di dalam perjanjian itu saja. Hukum kekayaan yang
bersifat relatif ini lazim disebut Hak Perorangan, yakni hak yang lahir dari perjanjian
yang mengatur hak-hak atau prestasi. Misalnya hak seorang penjual atas harga penjualan.
d. Hukum Waris (Erf Recht):
Mengatur mengenai harta benda seseorang setelah ia meninggal dunia. Mengatur mengenai
beralihnya hak dan kewajiban pewaris di bidang kekayaan (hak dan kewajiban yang dapat dinilai
dengan uang) kepada ahli warisnya.
Dengan demikian sebenarnya hukum waris merupakan bagian dari hukum harta benda. Namun
demikian hukum waris juga erat kaitannya dengan hukum keluarga, oleh karena untuk mewaris

ialah mereka yang mempunyai hubungan darah (keluarga) dengan pewaris. Hukum waris juga
erat kaitannya dengan hukum kekayaan yang sifatnya relatif, yang lahir dari perjanjian, sehingga
berdasarkan hal tersebut maka dalam ilmu hukum terdapat kecenderungan pendapat yang
berpendirian bahwa sebaiknya hukum waris diatur tersendiri.
Dalam KUHPerdata, Hukum waris diatur dalam Buku II, yang berjudul tentang Kebendaan.
Sistematika Hukum Perdata Dalam KUH Perdata:
a) Buku I Tentang Orang (van Personen)
b) Buku II Tentang Benda (van Zaken)
c) Buku III Tentang Perikatan (van Verbintenissen)
d) Buku IV Tentang Pembuktian dan Daluwarsa (van Bewijs en Verjaring)
Pendapat Ilmu Hukum Tentang Sistimatika Hukum Perdata:
1. Buku I KUHPerdata, pada dasarnya tidak sesuai dengan materi yang diatur didalamnya
karena didalamnya tidak hanya mengatur mengenai orang sebagai subyek hukum,
melainkan juga mengatur mengenai hukum kekeluargaan.
2. Judul buku II KUHPerdata tentang kebendaan, tidak sesuai dengan materi yang diatur di
dalamnya, karena di dalam buku II tidak hanya mengatur mengenai benda dan hak-hak
kebendaan tapi juga mengatur mengenai hukum waris.
3. Alasan pembentuk UU, menempatkan hukum Waris dalam Buku II tentang Benda, karena
Pewarisan juga merupakan salah satu cara memperoleh hak kebendaan.
4. Tidaklah tepat mengatur Hukum Pembuktian dalam Buku IV karena hukum Pembuktian
merupakan hukum acara (hukum formil), sedangkan tujuan menyusun KUHPerdata
adalah untuk menghimpun Hukum Perdata materiil, dengan demikian sebaiknya hukum
pembuktian dikeluarkan dari sistimatika KUHPerdata.
Kedudukan Hukum Perdata Setelah Kemerdekaan:
1) Pendapat Ilmu Hukum
Sebagaimana telah diuraikan di atas KUHPerdata (BW) diberlakukan di Hindia Belanda
berdasarkan Asas Konkordansi, sebagaimana dapat disimpulkan dari pasal 131 jo 163 I.S.
Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan ketentuan Pasal Peralihan yang terdapat dalam UUD
1945, UUD RIS, dan UUDS 1950, KUHPerdata (BW) dan KUHD (W.v.K), dinyatakan tetap
berlaku sepanjang belum disusun UU yang baru, menurut UUD, dengan demikian maka
KUHPerdata dan KUHD tetap berlaku dalam masa kemerdekaan.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, dalam ilmu hukum terdapat beberapa pendapat tentang
berlakunya KUH Perdata di masa kemerdekaan, antara lain:
a. Pendapat Prof . Sahardjo, SH
Pokok-pokok Pemikirannya ialah sebagai berikut :
1. KUHPerdata (BW) merupakan hasil produk legislatif Belanda atas hukum di Hindia
Belanda sehingga banyak dipengaruhi oleh alam pemikiran penjajah atas negara
jajahannya

2. KUHPerdata (BW) dibentuk atas dasar pasal 131 jo 163 IS, yang bersifat diskriminatif
dengan membagi-bagi penduduk menjadi beberapa golongan penduduk dan meletakkan
golongan Indonesia Asli sebagai golongan yang paling bawah
3. Karena KUHPerdata dibuat berdasarkan PRINSIP DISKRIMINATIF, sementara prinsip
tsb tidak dikenal oleh UUD45 maka KUH.PERDATA BUKANLAH merupakan suatu
KITAB UNDANG-UNDANG (BUKAN MERUPAKAN WETBOEK) melainkan hanya
MERUPAKAN BUKU HUKUM (MERUPAKAN RECHTSBOEK), yang isinya
KUMPULAN HUKUM KEBIASAAN. Dengan demikian kedudukan KUH.PERDATA
BUKAN SEBAGAI UNDANG-UNDANG melainkan merupakan HUKUM
KEBIASAAN.
4. Berdasarkan pada prinsip pemikiran tersebut, dimana KUH Perdata merupakan kumpulan
hukum Kebiasaan maka selanjutnya DISERAHKAN KEPADA PERANAN HAKIM
untuk menilai ketentuan-ketentuan di dalam KUHPerdata, apakah sesuai atau tidak
dengan alam kemerdekaan. Dalam hal hakim menilai tidak sesuai maka hakim dapat
memutuskan perkara dengan menyimpang dari KUHPerdata. Adalah tugas hakim untuk
menilai ketentuan-ketentuan di dalam KUHPerdata, dengan memperhatikan kebutuhan
masyarakat di alam kemerdekaan.
b. Pendapat Prof . Mahadi, SH
Prof. Mahadi, SH, tidak sependapat dengan pendapat DR.Sahardjo, yang menurunkan
KUHPerdata dari Wet Boek atau Kitab Undang-Undang menjadi Recht Boek atau Buku
Hukum yang isinya kumpulan hukum kebiasaan.
Garis besar pendapat Prof. Mahadi adalah sebagai berikut :
1. KUHPerdata (BW) merupakan produk Belanda, dalam mengatur tatanan hukum di
Hindia Belanda yang banyak dipengaruhi oleh alam pemikiran negara penjajah atas
negara jajahannya (berdasarkan pasal 131 jo 163 IS);
2. KUHPerdata (BW) merupakan produk yang didasarkan pada pasal 131 IS, yang sifatnya
diskriminatif, oleh karena itu mengandung ketentuan-ketentuan yang tidak sesuai dengan
alam kemerdekaan;
3. Prof. Mahadi, SH, tidak sependapat dengan pendapat Dr. Sahardjo, yang menurunkan
KUHPerdata dari Wet Boek atau Kitab Undang-Undang menjadi Recht Boek atau
Buku Hukum yang isinya kumpulan hukum kebiasaan;
4. Karena ketentuan itu dianggap berdiri sendiri, dan lepas dari ikatan kodifikasi maka
untuk selanjutnya diserahkan kepada hakim untuk menilai pasal-pasal tersebut, sesuai
atau tidak dengan alam kemerdekaan dan menyampingkannya jika dianggap tidak sesuai
dengan alam kemerdekaan.
Prof. Sardjono, SH menjelaskan bahwa teori Prof. Mahadi, SH, dapat dinamakan teori Sapu
Lidi, dengan pengertian bahwa ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata dianggap lepas dari
ikatan kodifikasi yang dianggap sebagai pengikat pasal-pasal didalamnya. Kodifikasi diartikan

sebagai suatu pengikat, seperti ikatan pada sapu lidi, yang mengikat lidi (jika lidi itu lepas dari
ikatannya maka berdiri sendiri-sendiri dan tidak dapat dikatakan sebagai sapu). Dengan
anggapan seperti itu, maka Prof. Mahadi, SH, selanjutnya menyatakan bahwa ketentuanketentuan dalam KUHPerdata dianggap lepas dari ikatan kodifikasi, maka ketentuan atau pasalpasal tersebut, masing-masing dianggap berdiri sendiri, dan tidak terikat dalam suatu sistem atau
dalam suatu kodifikasi.
c. Pendapat DR . Mathilda Sumampuow, SH
Dr.Mathilda Sumampuow, SH mengemukakan bahwa pada dasarnya hukum mengejar 2 tujuan,
yaitu mengejar keadilan dan kepastian hukum, sehingga dengan demikian pendapat yang
menyatakan KUHPerdata bukan merupakan UU, melainkan hanya merupakan kumpulan hukum
kebiasaan adalah kurang tepat, karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Oleh karena itu KUHPerdata adalah suatu kitab UU, yang kedudukannya sama dengan UU yang
merupakan produk hukum nasional sesudah kemerdekaan Indonesia, yang dibuat Presiden
bersama-sama DPR.
d. Pendapat Prof . Subekti, SH
Dalam kenyataannya ilmu hukum pernah mempersoalkan bagaimanakah kedudukan
KUHPerdata yang merupakan produk hukum pada masa Hindia Belanda, yang masih berlaku
hingga sekarang. Apakah KUHPerdata tersebut sama dengan produk hukum yang berbentuk
Undang-Undang, yang dikeluarkan pada masa kemerdekaan, yang dibuat oleh DPR bekerjasama
dengan Presiden ?
KUHPerdata (BW) merupakan produk hukum sebelum kemerdekaan atau produk pada masa
pemeritah Hindia Belanda. Dalam perkembangannya, setelah Indonesia merdeka, KUHPerdata
diberlakukan di Negara Republik Indonesia, berdasarkan peraturan peralihan Undang-Undang
Dasar, yang pernah berlaku di Indonesia, yang menunjukkan tetap berlakunya peraturan lama
sebelumnya, selama belum terbentuk peraturan perundang-undangan yang baru, sesuai dengan
Undang-Undang Dasar yang berlaku. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
kekosongan hukum. Berdasarkan peraturan peralihan yang ada pada tiap Undang-Undang Dasar
tersebut maka berlakulah KUHPerdata 1848, hingga sekarang.
KUHPerdata (BW), dalam perkembangannya juga telah tidak berlaku seutuhnya karena telah
dicabut dengan beberapa Undang-undang, antara lain UU NO. 5 tahun 1960 (UUPA), yang telah
mencabut ketentuan Buku II KUHPerdata yang mengatur mengenai hipotik. Dengan dicabutnya
Buku II KUHPerdata dan ditetapkannya hukum adat menjadi dasar hukum tanah yang baru
(konsiderasi/berpendapat serta pasal 5 UUPA), maka diakhirilah dualisme dalam hukum tanah di
Indonesia, dengan demikian tercapailah cita-cita unifikasi atau kesatuan hukum tanah di
Indonesia, yang sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa.
KUHPerdata Buku I, juga telah dicabut oleh UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dan
pasal 66 UU Perkawinan pada intinya menentukan bahwa untuk perkawinan dan segala sesuatu
yang berhubugnan dengan perkawinan dilakukan berdasarkan ketentuan UU Perkawinan dan
peraturan-peraturan lain (ketentuan perkawinan dalam KUHPerdata, HOCI dll) yang mengatur
tentang perkawinan dinyatakan tidak berlaku lagi sepanjang telah diatur dalam UU Perkawinan.
Tujuan pencabutan Buku I KUHPerdata, tidak jauh berbeda dengan pencabutan Buku Indonesia,
yakni dimaksudkan untuk menciptakan unifikasi hukum dibidang perkawinandi Indonesia.
Untuk itu pembentuk UU menetapkan berlakunya undang-undang tentang perkawinan yang
berlaku bagi semua warga negara.
Dalam hal ini kiranya perlu kita berikan catatan atau perhatian bahwa KUHPerdata (BW), yang
merupakan produk hukum pemerintah Belanda, ternyata telah dicabut dengan produk hukum

nasional, yang berbentuk UU, yakni dicabut dengan UU No. 5 tahun 1960 (UUPA) dan UU no.1
tahun 1974 tentang Perkawinan.
Apakah makna yang terkandung di dalam pencabutan KUHPerdata yang dilakukan dengan
Undang-Undang, kesimpulan apa yang dapat kita tarik dari pencabutan tersebut?
Mengenai hal ini menarik untuk dikemukakan dan dikaji pendapat Prof. R. Subekti, yang
menyatakan bahwa dengan dicabutnya KUHPerdata dengan produk hukum nasional, yang
berbentuk UU, maka hal ini secara implisit, pada hakekatnya merupakan pengakuan dari
Pemebntuk UU Nasional, bahwa KUHPerdata adalah merupakan UU, dengan demikian kekuatan
yang mengikatnya sama dengan produk hukum nasional yang berbentuk UU yang dibuat oleh
Presiden dengan DPR. KUHPerdata adalah merupakan Kitab UU dan bukan merupakan Buku
Hukum yang isinya adalah kumpulan hukum kebiasaan, sebagaimana pendapat yang
dikemukakan oleh Dr. Sahardjo, SH.
Kedudukan Hukum Perdata Setelah Kemerdekaan:
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963:
SEMA No. 3 tahun 1963, yang isinya mencabut beberapa ketentuan KUHPerdata, antara lain
ketentuan pasal 283 ayat 4, karena dinyatakan diskriminatif, dan karena beberapa ketentuan lain,
seperti:
-pasal 108;
-Pasal 1460;
-Pasal 284 ayat 3;
-Pasal 1603 X ayat 1 & 2 dianggap tidak adil.
-Pasal 1682;
-Pasal 1579,
-Pasal 1238;
Pendapat Prof. Subekti, SH, sehubungan dengan SEMA No.3 Tahun 1963 :
SEMA pada hakekatnya ditujukan kepada para hakim, untuk memberikan pedoman di dalam
memutuskan perkara. Dalam hal ini hakim diberikan keleluasaan oleh MA, untuk menafsirkan
pasal-pasal yang disebutkan tadi, untuk menyesuaikan dengan alam kemerdekaan, guna
memenuhi rasa keadilan. SEMA tersebut tidak mempunyai daya kekuatan hukum untuk
mencabut ketentuan pasal di dalam KUHPerdata, bahkan hakim di dalam memutuskan perkara,
bebas untuk mengikuti atau tidak mengikuti anjuran yang diberikan oleh MA, berdasarkan
SEMA tersebut. Artinya jika hakim beranggapan bahwa ketentuan pasal 1460, 108 ataupun 110
adil untuk diterapkan, maka hakim tidak harus mengikuti SEMA tersebut. Yurisprudensilah, yang
nantinya dapat mengenyampingkan ketentuan pasal di dalam KUHPerdata yaitu dalam hal
keputusan hakim yang mengikuti SEMA itu diikuti oleh hakim-hakim yang lain, karena
dianggap tepat dan adil.
Sejarah dan Sistematika KUH Perdata
Keadaan Hukum Perdata Di Indonesia
Hukum Perdata di Indonesia bersifat berbhineka atau bersifat pluralistik, baik secara etnis
maupun secara yuridis.
Secara etnis dikatakan bersifat pluralistis atau berbhineka karena hukum- hukum yang berlaku
bagi penduduk Indonesia, berbeda-beda dari masyarakat adat yang satu dengan masyarakat
adat yang lainnya. Keadaan tersebut ditambah dengan diberlakukannya Politik Hukum Belanda
di Hindia Belanda yang merupakan Landasan Politik Hukum Belanda atas tata hukum di Hindia
Belanda.
Pasal 131 IS, secara garis besar menentukan hal-hal sebagai berikut :
a. Hukum Perdata dan Hukum Dagang (begitu juga Hukum Pidana beserta Hukum Acara Perdata
dan Pidana) harus diletakkan dalam kitab undang-undang, yaitu dikodifikasi.

b. Untuk golongan Eropa dianut (dicontoh) perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda
(Asas Konkordansi).
c. Untuk golongan Indonesia Asli dan Timur Asing (Cina, Arab, dsb), jika ternyata kebutuhan
kemasyarakatan mereka menghendaki, hukum Eropa dapat dinyatakan berlaku bagi mereka, baik
seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan untuk membuat suatu
peraturan baru bersama, untuk selainnya harus diindahkan aturan-aturan yang berlaku di
kalangan mereka dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh kepentingan umum atau
kebutuhan kemasyarakat mereka.
d. Orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan dibawah
suatu peraturan bersama dengan golongan Eropa, diperbolehkan menundukkan diri pada hukum
yang berlaku untuk golongan Eropa. Penundukkan diri ini boleh dilakukan secara umum atau
secara hanya mengenai perbuatan tertentu saja.
e. Sebelum hukum untuk golongan Indonesia Asli ditulis dalam undang-undang, bagi mereka
akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu hukum adat.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka secara garis besar dapat ditarik beberapa pokok pemikiran
mengenai politik hukum Belanda yang meletakkan tatanan hukum di Hindia Belanda sebagai
berikut:
1. Hukum Perdata dan Hukum Dagang dll, dibuat dalam Kitab Undang-Undang yaitu
DIKODIFIKASIKAN dan untuk Gol. Eropa diberlakukan ASAS KONKORDANSI,
yaitu hukum yang beralku di Belanda diberlakukan bagi golongan Eropa di Hindia
Belanda;
2. Penduduk Hindia Belanda dibagi dalam golongan-golongan penduduk dan bagi mereka
berlaku sistem hukum yang berbeda-beda (pasal 131 jo 163 I.S);
3. Penggolongan penduduk dan sistem hukum yang berlaku adalah sbb:
1. Golongna Eropa : diberlakukan Hukum yang berlaku di Belanda.
2. Golongan Timur Asing Cina : KUHPerdata dan KUHD diberlakukan bagi
mereka dan sejak tahun 1925, bagi mereka berlaku semua hukum privat yang
berlaku bagi Golongan Eropa, kecuali peraturan yang mengenai Catatan Sipil.
Dimana bagi mereka berlaku Lembaga tersendiri dan peraturan tersendiri, yaitu
dalam bagian IIS. 1917 : 129.
3. Golongan Timur Asing lainnya (Arab, India, dll), diberlakukan KUHPerdata dan
KUHD, kecuali hukum kekeluargaan dan Hukum Waris tetap berlaku hukum
mereka sendiri. Dalam bidang Hukum Waris, bagian mengenai pembuatan wasiat
berlaku juga bagi mereka.
4. Golongan Indonesia Asli : diberlakukan Hukum Adat.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas maka pada zaman Hindia Belanda telah ada
beberapa peraturan perundang-perundangan yang dinyatakan berlaku bagi golongan Indonesia,
misalnya :

1. S. 1879 No. 256, secara garis besar menentukan bahwa perjanjian kerja atau perjanjian
perburuhan, seperti pasal 1601 1603 lama dari KUHPerdata dinyatakan berlaku bagi
golongan Indonesia asli;
2. S.1939 No.49, menyatakan berlaku bagi golongan Indonesia beberapa pasal KUHD, yaitu
sebagian besar dari hukum laut;
3. S.1933 No. 74 mengenai Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen;
Disamping ada peraturan yang secara khusus dibuat bagi golongan Indonesia, ada pula peraturan
yang berlaku bagi semua golongan penduduk (semua warganegara), misalnya :
1. S. 1933 No. 108 : Peraturan Umum tentang Koperasi;
2. S. 1938 No. 523 : Ordonansi Woeker (Lintah Darat);
3. S. 1938 No. 98

: Ordonansi tentang Pengangkutan di Udara.

Penundukan Diri Kepada Hukum Eropa:


Perihal penundukan diri pada Hukum Eropa diatur lebih lanjut dalam S. 1917 No. 12. Peraturan
ini mengenai 4 (empat) macam penundukan, yaitu :
1. Penundukkan pada seluruh Hukum Perdata Eropa;
2. Penundukkan pada sebagian Hukum Perdata Eropa, yang dimaksudkan hanya pada
hukum kekayaan harta benda saja (vermogenscrecht), seperti yang telah dinyatakan bagi
golongan Timur Asing bukan Tionghoa, misalnya Arab, India dsb;
3. Penundukkan diri untuk perbuatan-perbuatan hukum tertentu saja;
4. Penundukkan diri secara diam-diam. Menurut pasal 29, jika seseorang dari golongan
Indonesia asli melakukan suatu perbuatan hukum yang tidak dikenal di dalam hukumnya
sendiri, ia dianggap secara diam-diam menundukkan dirinya pada hukum Eropa.

Subyek hukum adalah pembawa hak dan kewajiban dalam hukum.


Dalam hukum perkataan Orang (Persoon) berarti pembawa hak atau subyek di dalam hukum.
Sekarang ini boleh dikatakan bahwa tiap manusia baik warganegara maupun orang asing
dengan tidak memandang agama atau kepercayaannya adalah subyek hukum.
Dalam pandangan hukum modern, setiap orang/pribadi secara asasi merupakan pendukung hak
yang berlaku sama bagi seluruh umat manusia, karena mereka sama-sama merupakan makhluk
tuhan Y.M.E.
Tiap Persoon adalah subyek hukum dengan tidak memandang agama dan kepercayaannya.

Pasal 3 AB menyebutkan Sepanjang undang-undang tidak menentukan sebaliknya maka


Hukum Perdata dan Hukum Dagang adalah sama bagi orang-orang asing maupun warga
negara Belanda.
Manusia sebagai pembawa hak (subyek) mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk
melakukan tindakan hukum. Ia dapat mengadakan persetujuan, menikah, membuat wasiat, dan
sebagainya.
Manusia sebagai subyek hukum dimulai sejak lahir dan baru berakhir apabila mati atau
meninggal dunia. Pengecualian mulainya subyek hukum dalam KUHPerdata disebutkan dalam
Pasal 2 KUH Perdata, yang menentukan sebagai berikut:
1. Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah
dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya.
2. Mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah telah ada.
Ketentuan tersebut sangat penting artinya dalam hal warisan. Misalnya dalam pasal 838
KUHPerdata ditentukan bahwa seseorang hanya dapat menjadi ahli waris kalau ia telah ada pada
saat pewaris meninggal dunia. Ini berarti bahwa seseorang hanya dapat menjadi ahli waris kalau
ia hidup sebagai manusia biasa pada saat pewaris meninggal dunia. Akan tetapi dengan adanya
ketentuan Pasal 2 KUHPerdata, seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya sudah
dianggap ada (telah dilahirkan) dan karenanya ia telah dihitung sebagai ahli waris dari Bapaknya.
Akan tetapi bilamana kemudian anak tersebut dilahirkan dalam keadaan meninggal dunia, maka
ia dianggap tidak pernah ada.
Pentingnya Pasal 2 KUHPerdata tersebut misalnya dapat dilihat dalam kasus sebagai berikut :
Seorang Bapak pada tanggal 1 Januari 2005 meninggal dunia. Pada saat meninggal ia
mempunyai 3 (tiga) orang anak, sedangkan isterinya dalam keadaan hamil (mengandung).
Jika tidak ada ketentuan Pasal 2 tersebut maka yang menjadi ahli waris, kalau Bapak yang
meninggal dunia tersebut tidak meninggalkan wasiat, hanyalah isterinya (jandanya) dan 3 (tiga)
orang anaknya, masing-masing (seperempat) bagian dari Harta Peninggalan Bapak tersebut.
Sekalipun jika kemudian anak tersebut lahir hidup pada tanggal 20 Januari 2005. ia tetap tidak
dihitung sebagai ahli waris karena pada saat Bapaknya meninggal ia belum ada.
Namun dengan adanya ketentuan Pasal 2 tersebut maka mengakibatkan anak dalam kandungan
tersebut turut dihitung sebagai ahli waris, sehingga ahli waris seluruhnya berjumlah 5 (lima)
orang, masing-masing memperoleh 1/5 (seperlima) bagian dari Harta Peninggalan Bapak
tersebut..
Sebagaimana telah sebelumnya bahwa berakhirnya seseorang sebagai subyek hukum
(pendukung hak dan kewajiban dalam hukum) adalah pada saat ia meninggal dunia. Artinya
selama seseorang masih hidup, selama itu pula ia mempunyai kewenangan berhak.
Pasal 3 KUHPerdata, menentukan :
---Tiada suatu hukuman pun mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak
perdata.
Jadi Kematian Perdata yaitu suatu hukuman yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat
memiliki sesuatu hak lagi, tidak dianut dalam hukum sekarang ini. Yang mungkin terjadi adalah
seseorang sebagai hukuman, dicabut sementara hak-haknya, misalnya kekuasaannya sebagai

orang tua terhadap anak-anaknya, kekuasaannya sebagai wali, haknya untuk bekerja pada
angkatan bersenjata dan sebagainya.
Meskipun setiap orang tiada terkecuali sebagai pendukung hak dna kewajiban atau subyek
hukum (echspersoonlijkheid), namun tidak semuanya cakap untuk melakukan perbuatan hukum
(echtsbekwaamheid) atau di dalam hukum tidak semua orang diperbolehkan bertindak sendiri
dalam melaksanakan hak-haknya itu.
Menurut ketentuan pasal 1329 KUHPerdata, setiap orang adalah cakap untuk melakukan
perbuatan hukum (membuat perikatan-perikatan), kecuali jika ia oleh undnag-undang dinyatakan
tidak cakap.
Orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan
perbuatan hukum adalah :
1. Orang-orang yang belum dewasa;
2. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan (Curatele);
3. Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan
hukum tertentu, misalnya orang yang dinyatakan pailit.
(Pasal 1330 KUHPerdata)
Jadi orang-orang yang cakap melakuan perbuatan hukum (rechtsbekwaamhaid) adalah orang
dewasa dan sehat akal pikirannya serta tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan
untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu.
Orang yang belum dewasa dan orang yang ditaruh dibawah pengampuan (curatele) dalam
melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang tuanya, walinya atau pengampunya (curator).
Menurut KUHPerdata, orang dikatakan belum dewasa adalah seseorang yang belum mencapai
usia genap 21 (dua puluh satu), kecuali ia sudah kawin sebelum usia tersebut. (Pasal 330
KUHPerdata)
Jadi demikian menurut KUHPerdata seseorang dikatakan dewasa, jika ia telah mencapai usia
genap 21 (dua puluh satu) tahun atau mereka yang telah melangsungkan perkawinan sebelum
usia 21 (dua puluh satu) tahun.
Dengan berlakunya UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat perbedaan pendapat
mengenai batas usia dewasa. Ada yang berpendapat bahwa usia dewasa adalah 21 (dua puluh
satu) tahun seperti yang diatur dalam KUHPerdata, dan ada pula yang berpendapat bahwa usia
dewasa adalah 18 (delapan belas) tahun sebagaimana dapat ditafsirkan dari pasal 47 ayat 1
dan pasal 50 ayat 1 UU Perkawinan.
Di dalam Undang-Undang terdapat ketentuan-ketentuan yang secara khusus, memperbedakan
antara kecakapan-kecakapan seorang laki-laki dan seorang perempuan, misalnya :
1. Untuk melangsungkan perkawinan. Menurut Pasal 29 KUHPerdata, seorang Perempuan
harus berusia 15 tahun dan pria harus berusia 18 tahun. (Menurut Pasal 7 ayat UU
Perkawinan, Wanita harus berusia 16 tahun dan Pria harus berusia 19 tahun).
2. Untuk melakukan pengakuan anak luar kawin. Seorang pria harus telah berusia 18
(delapan belas) tahun dan seorang wanita tanpa batas usia. (Pasal 282 KUHPerdata).

Dari apa yang diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa setiap orang adlaah subyek hukum
(rechtspersoonlijkheid) yakni pendukung hak dan kewajiban. Namun tidak setiap orang cakap
untuk melakukan perbuatan hukum. Dan orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum
(echtsbekwaamheid) tidak selalu berwenang untuk melakukan perbuatan hukum
(rechtsbevoegheid).
Dengan demikian echtsbewaamheid adalah syarat umum, sedangkan hukum rechtbevoegheid
adalah syarat khusus untuk melakukan perbuatan hukum.
Namun demikian Undang-Undang juga mengatur beberapa perbuatan hukum yang dapat
dilakukan oleh seorang yang belum dewasa (belum berusia 21 tahun),misalnya :
1. Melangsungkan perkawinan (Pasal 29 KUHPerdata, Pasal 7 UU Perkawinan),
Pria 19 th, Wanita 16 th.
2. Melakukan pengakuan anak (Pasal 282 KUHPerdata), Pria 19 th, Wanita tanpa
batas.
3. Membuat wasiat (Pasal 897 KUHPerdata), 18 th.
4. Menjadi saksi (Pasal 1912 KUHPerdata), 15 th.
BADAN HUKUM
Dalam lalu lintas hukum ditengah-tengah masyarakat, ternyata manusia (orang/Natuurlijke
Persoon) bukan satu-satunya subyek hukum, tetapi masih ada subyek hukum lain yaitu badanbadan atau perkumpulan-perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatanperbuatan hukum seperti seorang manusia. Badan-badan dan perkumpulan-perkumpulan itu
mempunyai kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan
pengurusnya seperti misalnya mengadakan perjanjian jual beli, tukar menukar, sewa menyewa
dan segala macam perbuatan hukum lainnya di lapangan hukum harta kekayaan, dapat digugat
dan dapat juga menggugat di muka hakim. Singkatnya, diperlakukan sepenuhnya sebagai
seorang manusia. Badan atau Perkumpulan itu dinamakan Badan Hukum (Recht Persoon)
yaitu orang yang diciptakan oleh hukum. Badan hukum tersebut misalnya Perseroan Terbatas
(PT), Koperasi, Yayasan.
Kriteria atau syarat yang harus dipenuhi agar suatu badan atau perkumpulan dapat dikatakan
sebagai suatu badan hukum adalah :
a. Syarat materiil :
1. Memiliki kekayaan yang terpisah;
2. Mempunyai tujuan bersama yang bersifat stabil;
3. Mempunyai organisasi yang teratur (adanya pengurus dari badan itu).
b. Syarat Formil : Adanya pengesahan dari Pemerintah.
Untuk mengetahui hakekat suatu badan hukum, di dalam ilmu hukum terdapat beberapa teori
yang satu dengan yang lain saling berbeda-beda, yaitu:
1. Teori Fictie:
Menurut teori ini badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Badan hukum itu hanyalah
fictie, yakni sesuatu yang seseungguhnya tidak ada, tetapi orang menghidupkannya dalam

bayangan sebagai subyek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia. Teori
ini dikemukakan oleh von Savigny.
. Teori Harta Kekayaan Bertujuan (Doel Vermogens Theorie):
Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subyek hukum. Namun kata teori ini,
ada kekayaan (vermogen) yang bukan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan itu terikat pada
tujuan tertentu. Kekayaan yang tidak ada pemiliknya dan terikat pada tujuan tertentu inilah yang
diberi nama badan hukum. Teori ini diajarkan oleh A. Brinz dan diikuti oleh van der Heijden.
Teori Organ:
Badan hukum menurut teori ini bukan abstrak (fiksi) dan bukan kekayaan (hak) yang tidak
bersubyek. Tetapi badan hukum adalah suatu organisme yang riil, yang menjelma sungguhsungguh dalam pergaulan hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantaraan
alat-alat yang ada padanya (pengurus, anggota-anggotanya), seperti manusia biasa yang
mempunyai panca indera dan sebagainya. Teori ini diajarkan oleh Otto van Gierke.
Teori Milik Bersama (Propriete Theorie):
Menurut teori ini hak dan kewajiban badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban
para anggota bersama-sama. Kekayaan hukum adalah kepunyaan bersama-sama anggotanya.
Orang-orang yang berhimpun tersebut merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi
yang dinamakan badan hukum. Oleh karena itu, badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis
saja. Teori ini diajarkan oleh Olanial dan Molengraff.
Teori Kenyataan Yuridis:Menurut teori ini badan hukum itu merupakan suatu realita, konkret,
riil, walaupun tidak bisa diraba, bukan khayal, tetapi kenyataan yuridis. Teori yang dikemukakan
oleh Majers ini menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan
manusia terbatas sampai pada bidang hukumnya saja.
Badan hukum dapat dibedakan atas :
a. Badan Hukum Publik, dan
b. Badan Hukum Privat.
Di Indonesia kriteria yang dipakai untuk menentukan sesuatu badan hukum termasuk badan
hukum publik atau termasuk badan hukum privat ada 2 (dua) macam :
1. Berdasarkan terjadinya, yakni badan hukum privat didirikan oleh perseorangan,
sedangkan badan hukum publik didirikan oleh Pemerintah/Negara.
2. Berdasarkan lapangan kerjanya, yakni apakah lapangan pekerjaannya itu untuk
kepentingan umum atau tidak. Kalau lapangan pekerjaannya untuk kepentingan umum,
maka badan hukum tersebut merupakan badan hukum publik. Tetapi kalau lapangan
pekerjaannya untuk kepentingan perseorangan, maka badan hukum itu termasuk badan
hukum privat.
*Badan hukum Publik misalnya: Negara Republik Indonesia, Daerah Propinsi, Daerah
Kabupaten/Kota, Perusahaan Umum (PERUM).
*Badan hukum Privat, misalnya: Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, Yayasan

Anda mungkin juga menyukai