Anda di halaman 1dari 55

BAB 3 INSTRUMEN PEMERINTAHAN

A. Pengertian Instrumen Pemerintahan

Instrumen pemerintahan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah alat-alat atau sarana-sarana yang
digunakan oleh pemerintah atau administrasi negara dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Dalam
menjalankan tugas-tugas pemerintahan, pemerintah atau administrasi negara melakukan berbagai
tindakan hukum, dengan menggunakan sarana atau instrumen seperti alat tulis menulis, sarana
transportasi dan komunikasi, gedung-gedung perkantoran, dan lain-lain, yang terhimpun dalam publiek
domain atau kepunyaan publik. Di samping itu, pemerintah juga menggunakan berbagai instrumen
yuridis dalam menjalankan kegiatan mengatur dan menjalankan urusan pemerintahan dan
kemasyarakatan, seperti peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan, peraturan kebijakan,
perizinan, instrumen hukum keperdataan, dan sebagainya. Dalam bab ini uraian selanjutnya dibatasi
pada instrumen hukum yang dijadikan dasar dan yang digunakan oleh pemerintah dalam menjalankan
tugas dan kewenangannya.

Sebelum menguraikan macam-macam instrumen hukum yang digunakan oleh pemerintah dalam
menjalankan tindakan pemerintahan, terlebih dahulu perlu disampaikan mengenai struktur norma
dalam Hukum Administrasi Negara, yang dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam memahami
instrumen hukum pemerintahan. Berkenaan dengan struktur norma Hukum Adminj, trasi Negara ini,
H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt mengataky sebagai berikut. “Het materiele recht geeft voorschriften
voor het mensenlijk handelen. Des, voorschriften, normen, hebben in het administratieve recht messtal
ey andere structuur dan in het privaatrecht en in het strafrecht. Daar vind men (wat het geschreven
recht betreft) de norm doorgaans rechtstreeks in de wet” “Maar in het bestuursrecht vindt de
normstelling heel vaak plaats in twe of meer fasen: men moet een samenstel van rechtsregels
raadplegen om er achter te komen waar men aan toe is”.! (Hukum materiil mengatur perbuatan
manusia. Peraturan, norma, di dalam Hukum Administrasi Negara memiliki struktur yang berbeda
dibandingkan dengan struktur norma dalam hukum perdata dan pidana. Dalam hukum perdata atau
pidana, kita menemukan secara langsung norma mengenai (apa yang diatur dalam hukum tertulis)
dalam undang-undang. Dalam Hukum Administrasi Negara struktur norma ditemukan pada berbagai
tempat dan dalam dua atau lebih tingkatan, di sana kita harus menemukan norma pada tingkatan-
tingkatan peraturan hukum itu). Norma hukum yang terdapat dalam hukum perdata atau pidana dapat
ditemukan dengan mudah dalam pasal tertentu, tnisalnya ketentuan tentang apa itu pembunuhan atau
perjanjian, sementara untuk menemukan norma dalam Hukum Administrasi Negara harus dicari dalam
semua peraturan perundang-undangan terkait sejak tingkat yang paling tinggi dan bersifat umum—
abstrak sampai yang paling rendah yang bersifat individual-konkret. Menurut Indroharto, bahwa dalam
suasana hukum tata usaha negara itu kita menghadapi bertingkat-tingkatnya norma-norma hukum yang
harus kita perhatikan. Artinya, peraturan hukum yang harus diterapkan tidak begitu saja kita temukan
dalam undang-undang, tetapi dalam kombinasi peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan tata
usaha negara yang satu dengan yang lain saling berkaitan. Lebih lanjut Indroharto menyebutkan bahwa:

1. Keseluruhan norma-norma hukum tata usaha negara dalam masyarakat itu memiliki struktur
bertingkat dari yang sangat umum yang dikandung dalam Tap MPR, UU, dan seterusnya sampai pada
norma yang paling individual dan konkret yang dikandung dalam penetapan tertulis (beschikking): jadi
suatu penetapan tertulis itu juga dapat mengandung suatu norma hukum seperti halnya pada suatu
peraturan yang bersifat umum.

2. Pembentukan norma-norma hukum tata usaha negara dalam masyarakat itu tidak hanya dilakukan
oleh pembuat undangundang (kekuasaan legislatif) dan badan-badan peradilan saja, tetapi juga oleh
aparat pemerintah dalam hal ini badan atau jabatan tata usaha negara.

Guna mengetahui kualifikasi sifat keumuman (algemeenheid) dan kekonkretan (concreetheid) norma
Hukum Administrasi Negara, perlu diperhatikan mengenai objek yang dikenai norma hukum (adressaat)
dan bentuk normanya. Dengan kata lain, kepada siapa norma hukum itu ditujukan apakah untuk umum
atau untuk orang tertentu. Philipus M. Hadjon membuat kualifikasi ini dengan skema berikut ini.

Berdasarkan skema di atas, selanjutnya menghasilkan empat Macam sifat norma hukum, yaitu sebagai
berikut:

1.Norma umum abstrak misalnya undang-undang,

2.Norma individual konkret misalnya keputusan tata usaha negara,

3.Norma umum konkret misalnya rambu-rambu lalu lintas yang dipasang di tempat tertentu (rambu itu
berlaku bagi semua pemakai jalan, namun hanya berlaku untuk tempat itu):

4.Norma individual abstrak misalnya izin gangguan.

Kualifikasi norma hukum yang hampir sama dikemukakan pula oleh H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt,
yakni sebagai berikut.

1.Algemeen-abstract: de algemene regeling, bijvoorbeeld het Reglement verkeersregels en


verkeerstekens 1990 (een algemene maatregel van bestuur), een bouwverordening: (umum-abstrak:
peraturan umum,contohnya peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan 1990 (suatu peraturan
pemerintah), peraturan bangunan),

2.Algemeen-concreet: besluit tot het instellen van een parkeer verbol voor een bepaald straatgedeelte,
onbewoonbaarverklaring van ee" pand: (umum-konkret: keputusan tentang larangan parkir pada

jalan tertentu, pernyataan tidak dapat didiaminya suatu rumah (larangan mendirikan rumah pada
wilayah tertentu, pen.):

3. Individueel-abstract: de vergunning met permanente, abstracte werking waaraan voorschriften zijn


verbonden, bijvoorbeeld de vergunning krachtens de Wet milieubeheers (individual-abstrak: izin yang
disertai syarat-syarat yang bersifat mengatur dan abstrak serta berlaku secara permanen, contohnya izin
berdasarkan undangundang pengelolaan lingkungan):
4. Individueel-concreet: belastingaanslag, toekenning subsidie voor een cenmalige activiteit, besluit tot
het toepassen van bestuursdwang, (individual-konkret: surat keputusan pajak, pemberian subsidi untuk
suatu kegiatan, keputusan mengenai pelaksanaan paksaan pemerintahan).

B. Peraturan Perundang-undangan

Peraturan adalah hukum yang in abstracto atau general norm yang sifatnya mengikat umum (berlaku
umum) dan tugasnya adalah mengatur hal-hal yang bersifat umum (general).Secara teoretik, istilah
“perundang-undangan” (legislation, wetgeving, atau gesetzgebung) mempunyai dua pengertian, yaitu,
pertama, perundangundangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-
peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, kedua, perundang-undangan adalah
segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah.” Berkenaan dengan perundang-undangan, A. Hamid S. Attamimi menulis
sebagai berikut. “Istilah perundang-undangan (wettelijkeregels) secara harfiah dapat diartikan peraturan
yang berkaitan dengan undang-undang, baik peraturan itu berupa undang-undang sendiri maupun
peraturan lebih rendah yang merupakan atribusian ataupun delegasian undang-undang. Atas dasar
atribusi dan delegasi kewenangan perundang-undangan maka yang tergolong peraturan perundang.
undangan di negara kita ialah undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
daripadanya seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden yang berisi peraturan, Keputusan
Menteri yang berisi peraturan, Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen yang berisi
peraturan, Keputusan Direktur Jenderal Departemen yang dibentuk dengan Undang-undang yang berisi
peraturan, Peraturan Daerah Tingkat I, Keputusan Gubernur Kepala Daerah berisi peraturan yang
melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah Tingkat I, Peraturan Daerah Tingkat II, dan Keputusan
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah
Tingkat II”.

Peraturan perundang-undangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang
khusus dan terbatas.

2. Bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa: peristiwa yang akan datang yang belum
jelas bentuk konkretnya Oleh karena itu, ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa
tertentu saja.

3. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Adalah lazim bagi suatu
peraturan untuk men: cantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.

Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
peraturan perundangundangan adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang
dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun di
tingkat daerah, yang juga mengikat umum. Menurut Pasal 1 angka (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundangundangan, yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan
adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
peraturan perundangundangan. Peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat umum
(algemeen verbindend voorschrift) disebut juga dengan istilah undang-undang dalam arti materiil (wet
in materiele zin), yaitu ieder rechtsvoorschrift yan de overheid met algemeen strekking," (semua hukum
tertulis dari pemerintah yang mengikat umum). Berdasarkan kualifikasi norma hukum di atas, peraturan
perundang-undangan itu bersifat umum-abstrak. Perkataan bersifat umum-abstrak dicirikan oleh unsur-
unsur sebagai berikut: "

1. Tijd (een regel geldt niet slechts op een moment): Waktu (tidak hanya berlaku pada saat tertentu),

2. Plaats (een regel geldt niet slechts op een plaats): Tempat (tidak hanya berlaku pada tempat
tertentu):

3. Persoon (een regel geldt niet slechts voor bepaalde persoon): Orang (tidak hanya berlaku pada orang
tertentu): dan

4. Rechtsfeit (een regel geldt niet voor een enkel rechtsfeit, maar yg, rechtsfeiten die herhaalbaar zijn,
dat wil zeggen zich telkens vop kunnen doen). Fakta hukum (tidak hanya ditujukan pada fakr, hukum
tertentu, tetapi untuk berbagai fakta hukum yang dapat berulang-ulang, dengan kata lain untuk
perbuatan yang berulang-ulang).

Ciri-ciri yang disebutkan J.B.J.M. ten Berge ini hampir senada dengan hasil penelitian dari de Commissie
Wetgevingsvraagstukken bahwa, “Om algemeen verbindend voorschrift te zijn moet een regel ee
algemeen karakter hebben. Een voorschrift dat slecht voor een of enkek concrete gevallen geldt of tot
met naam en toenaam genoemde personen gericht is, voldoet aan die voorwaarde niet. Of een
voorschrift algemem is, laat zich aan de hand van een aantal gezichtspunten beoordelen (peraturan
yang mengikat umum haruslah suatu peraturan yang memiliki sifat umum. Peraturan yang hanya
berlaku untuk peristiwa konkret atau yang ditujukan pada orang-orang yang disebutkan satu per satu,
tidak memenuhi syarat sebagai peraturan perundang-undangan, atau peraturan umum, yang lahir atas
dasar sudut pandang penilaian (peraturan kebijakan, pen). Lebih lanjut disebutkan sebagai berikut:

“De algemeenheid kan betrekking hebben op het gebeid waarvoor de regel geldt. Een ideaal-typisch
algemeen verbindend voorschrift geldt niet slecht Op een plaats, maar voor een groter gebied of
“overal”. De algemeenheid van het voorschrift kan ook slaan op het tijdsbestek waarvoor de regel geldt.
Een ideaal-typisch algemeen verbindend voorschrift geldt niet slechts op een tijdstip, maar voor een
langere periode of voor onbepaalde tijd. Een regel kan voorts algemeen zijn naar personen. Een ideaal-
typisch algemeen verbindend voorschrift geldt niet slechts voor een rechtssubject, maar richt zZich tot
een grotere groep van personen of tot een ieder. Algemeenheid ziet ook op de herhaalbaarheid van de
toepassing van het voorschrift Een ideaal-typisch algemeen verbindend voorschrift verbindt niet slechts
yoor een enkel, unieke situatie, maar voor een onbepaald aantal gevallen waarin het voorschrift van
toepassing is”.
(Keumuman (peraturan perundang-undangan, pen.) berkenaan dengan wilayah di mana peraturan itu
berlaku. Tipe ideal suatu peraturan perundang-undangan yang mengikat umum tidak hanya berlaku
pada tempat tertentu, tetapi berlaku pada lingkungan yang lebih luas atau “di mana-mana”. Keumuman
peraturan berkaitan pula dengan waktu di mana peraturan itu berlaku. Tipe ideal peraturan perundang-
undangan tidak hanya berlaku untuk waktu tertentu, tetapi berlaku untuk masa yang lebih panjang atau
berlaku untuk waktu yang tidak tertentu. Selanjutnya peraturan adalah umum untuk setiap orang. Tipe
ideal peraturan perundangundangan tidak hanya berlaku pada subjek hukum tertentu, tetapi ditujukan
pada kelompok yang lebih besar orang atau pada setiap orang. Sifat umum (peraturan perundang-
undangan, pen.) tampak pula pada berulang-ulangnya penerapan peraturan. Tipe ideal peraturan
perundang-undangan tidak hanya diterapkan pada satu situasi khusus, tetapi pada sejumlah keadaan
yang tidak tertentu).

Dalam negara kesejahteraan (welfare state, verzorgingsstaat), tugas pemerintah tidak hanya terbatas
untuk melaksanakan undang-undang yang telah dibuat oleh lembaga legislatif. Dalam perspektif welfare
state, pemerintah dibebani kewajiban untuk menyelenggarakan kepentingan umum (bestuurszorg) atau
mengupayakan kesejahteraan sosial, yang dalam menyelenggarakan kewajiban itu pemerintah diberi
kewenangan untuk campur tangan (staatsbemoeienis) dalam kehidupan masyarakat, dalam batas-batas
yang diperkenankan oleh hukum. Bersamaan dengan kewenangan Untuk campur tangan tersebut,
pemerintah juga diberi kewenangan untuk membuat dan menggunakan peraturan perundang-
undangan. Dengan kata lain, pemerintah memiliki kewenangan dalam bidang legislasi. Mengapa
kewenangan legislasi ini diberikan pada pemerintah, padahal berdasarkan paham pemisahan
kekuasaan(machtenscheiding) Montesguieu atau trias politika, kewenangy legislasi ini ada pada lembaga
legislatif?

Konsep pemisahan kekuasaan, khusus yang berkenaan denga fungsi eksekutif yang hanya sebagai
pelaksana undang-undang tanp kewenangan membuat peraturan perundang-undangan, seiring dengan
perkembangan tugas-tugas negara dan pemerintahan, bukan saja kehilangan relevansinya, tetapi juga
dalam praktik menemui banyak kendala. Karena itu, meskipun ada yang menyatakan bahwa organ
legislatif merupakan organ utama pembuatan peraturan perundang-undangan, sedangkan organ
eksekutif sebagai organ sekunder dalam pembuatan peraturan perundang-undangan," akan tetapi
seperti disebutkan H.W.R. Wade: jika kita hanya mengukur dari segi jumlah, sebagian besar peraturan
perundang-undangan dibentuk oleh pemerintahan eksekutif daripada oleh lagislatif. Berbagai peraturan
perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan dibuat oleh organ eksekutif beserta perangkatnya.
Dalam praktik, diakui bahwa organ legislatif tidak memiliki instrumen pelaksana, waktu, dan sumber
daya yang memadai untuk merumuskan secara detail berbagai hai yang berkenaan dengan undang-
undang, yang karenanya diserahkan pada organ eksekutif. Meskipun sebagian besar peraturan
perundang-undangan itu dibentuk oleh organ eksekutif, namun bukan berarti eksistensi lembaga
legislatif dalam suatu negara hukum itu menjadi tidak perlu. Karena itu cukuP bijaksana jika dikatakan,
“... Perhaps be more realistic to say that the government makes the laws subject to prior parliamentary
consent” (mungkin lebih realistik untuk mengatakan bahwa pemerintah membuat hukum seraya
terlebih dahulu tunduk pada persetujua” parlemen). Hal itu karena kewenangan legislasi bagi
pemerintah atau organ eksekutif itu pada dasarnya berasal dari undang-undang sesuai dengan asas
legalitas dalam negara hukum—yang berarti berasal dari persetujuan parlemen.

Pemberian kewenangan legislasi kepada pemerintah itu semakin mendesak sejak berkembangnya ajaran
negara kesejahteraan, yang memberikan kewajiban kepada pemerintah untuk memberikan pelayanan
sosial dan mewujudkan kesejahteraan umum, yang untuk menopang peranan ini pemerintah dilekati
dengan kewenangan legislasi. Artinya tidak mungkin meniadakan kewenangan legislasi bagi pemerintah.
Bagir Manan menyebutkan ketidakmungkinan meniadakan kewenangan eksekutif (pemerintah) untuk
ikut membentuk peraturan perundang-undangan, yakni sebagai berikut.

1. Paham pembagian kekuasaan yang lebih menekankan pada perbedaan fungsi daripada pemisahan
organ seperti terdapat dalam ajaran pemisahan kekuasaan. Dengan demikian, fungsi pembentukan
peraturan perundang-undangan tidak harus terpisah dari fungsi penyelenggaraan pemerintahan. Fungsi
pembentukan peraturan perundang-undangan dapat juga dilekatkan pada administrasi negara, baik
sebagai kekuasaan mandiri atau sebagai kekuasaan yang dijalankan secara bersama-sama dengan badan
legislatif.

2.Paham yang memberikan kekuasaan pada negara atau pemerintah untuk mencampuri perikehidupan
masyarakat, baik sebagai negara kekuasaan atau negara kesejahteraan. Dalam paham negara
kekuasaan, ikut campurnya negara atau pemerintah dilakukan dalam rangka membatasi dan
mengendalikan rakyat. Salah satu penunjang formal pelaksanaan kekuasaan semacam itu, maka
diciptakan berbagai instrumen hukum yang akan memberikan dasar bagi negara atau pemerintah untuk
bertindak.... Sebagai negara kesejahteraan, diperlukan berbagai instrumen hukum yang tidak mungkin
semata-mata diserahkan pada legislatif untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum, administrasi
negan memerlukan wewenang untuk mengatur tanpa mengabaika asas-asas negara berdasarkan hukum
dan asas-asas umun pemerintah yang baik. Dalam keadaan demikian, maki tumbuh kekuasaan
administrasi negara di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.

3, Untuk menunjang perubahan masyarakat yang berjalan makin cepat dan kompleks diperlukan
percepatan pembentukan hukum... Hal ini mendorong administrasi negara berperan lebih besar dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan.

4. Berkembangnya berbagai jenis peraturan perundang-undangan, mulai dari UUD sampai pada
peraturan perundang-undangan tingkat daerah. Badan legislatif tidak membentuk segala jenis peraturan
perundang-undangan melainkan terbatas pada undang-undang dan UUD. Jenis-jenis lain dibuat oleh
administrasi negara."

Di samping itu, terdapat alasan Jain diberikannya kewenangan legislasi bagi pemerintah yaitu berkenaan
dengan sifat dari norma Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, yakni bersifat umum-
abstrak (algemeen—abstract). Ketika menghadapi peristiwa konkret, norma yang bersifat umum-abstrak
tersebut membutuhkan instrumen yuridis yang bersifat konkret-individual. Oleh karena itu, dalam
kepustakaan Hukum Administrasi Negara terdapat istilah langkah mundur pembuat undang-undang
(terugtred van de wetgever)Sikap mundur ini diambil dalam upaya mengaplikasikan norm3 Hukum
Administrasi Negara yang bersifat umum-abstrak terhadaP peristiwa konkret dan individual. Dalam
kaitan ini A.D. Belinfante mengatakan sebagai berikut. “De wet geeft daan aan een bestuurlijk orgaan de
bevougdhaid door administratiefrechtelijke rechtshandelingen rechusbetrekkingen tuseen dat orgaan
en burgers te scheppen. De terugtred is onvermifdelik Zif biedi hal voordeel van neel verder gaande
differentiatie naar bijzonderheden yan de concrete toestand dan de wergever ooit z0u kunnen
bereiken”,' (Undang-undang memberikan wewenang kepada organ pemerintahan untuk membuat
peraturan hukum yang bersifat administrasi dalam rangka hubungan hukum dengan warga negara.
Langkah mundur ini tidak dapat dihindarkan, dan akan memberikan keuntungan yang lebih besar untuk
waktu yang tidak terbatas yang dapat dijangkau oleh pembuat undang undang), Menurut Indroharto,'?
manfaat dari sikap mundur pembuat undang-undang seperti ini adalah bahwa penentuan dan
penetapan norma-norma hukum oleh badan atau jabatan TUN akan dapat dilakukan diferensiasi
menurut keadaan khusus dan konkret dalam masyarakat. Terhadap langkah mundur ini ada tiga sebab,
yaitu:

1. Karena keseluruhan hukum tata usaha negara (TUN) itu demikian luasnya, sehingga tidak mungkin
bagi pembuat undangundang untuk mengatur seluruhnya dalam undang-undang formal:

2. Norma-norma hukum TUN itu harus selalu disesuaikan dengan tiap perubahan-perubahan keadaan
yang terjadi sehubungan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi yang tidak mungkin selalu
diikuti oleh pembuat undang-undang dengan mengaturnya dalam suatu UU formal:

3. Di samping itu, tiap kali diperlukan pengaturan lebih lanjut hal itu selalu berkaitan dengan penilaian-
penilaian dari segi teknis yang sangat mendetail, sehingga tidak sewajarnya harus diminta pembuat
undang-undang yang harus mengaturnya. Akan lebih cepat dilakukan dengan mengeluarkan
peraturanperaturan atau keputusan-keputusan TUN yang lebih renda: tingkatannya, seperti Keppres,
Peraturan Menteri, dan seba gainya.

Kewenangan legislasi bagi pemerintah atau administras negara itu ada yang bersifat mandiri dan ada
yang tidak mandir. (kolegial). Kewenangan legislasi yang tidak mandiri, dalam an dibuat bersama-sama
pihak lain, berwujud undang-undang atau peraturan daerah. Secara formal, semua produk hukum yang
dibuat secara kolegial oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR/DPRD disebut undang-undang atau
peraturan daerah. Undang-undang dan peraturan daerah yang dibuat bersama-sama oleh pemerintah
pemerintah daerah dengan DPR/DPRD ini dikenal dengan istilah undang-undang dalam arti formal (wet
in formele zin).

Kewenangan legislasi bagi pemerintah atau administrasi negara yang bersifat mandiri, dalam arti hanya
dibentuk oleh pemerinta! tanpa keterlibatan DPR, berwujud keputusan-keputusan (besluit# yan
algemeen strekking),yang merupakan atau tergolong sebaga peraturan perundang-undangan (algemeen
verbinde voorschriften): Menurut Philipus M. Hadjon, bentuk keputusan tata usaha negara
demikian tidak merupakan bagian dari perbuatan keputusan (dalam arti beschikkingdaad yan de
administratie), tetapi termasuk perbuatan tata usaha negara di bidang pembuatan peraturan (regelend
daad van de administratie). Seperti halnya dengan peraturan perundang-undangan lainnya, KTUN yang
merupakan pengaturan (yang) bersifat umum dapat pula dijadikan salah satu dasar hukum bagi
dikeluarkannya suatu keputusan (dalam arti beschikking). Adanya keputusan yang bersifat mengatur
(regelend) yang tergolong sebagai peraturan perundang-undangan dan keputusan yang bersifat
menetapkan (beschikkend), sering menimbulkan masalah dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan
dan acapkalimembingungkan bagi warga negara. Oleh karena itu, berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan semua keputusan yang bersifat mengatur itu
diberi nama peraturan. Artinya setelah berlaku UU No. 12 Tahun 2011 semua instrumen hukum yang
bersifat mengatur itu dinamakan peraturan. Adapun keputusankeputusan yang bersifat mengatur yang
masih ada dan berlaku harus dibaca sebagai peraturan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 100 UU
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Semua Keputusan Presiden,
Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-
Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-
Undang ini.

C. Keputusan Tata Usaha Negara

1. Pengertian Keputusan

Keputusan tata usaha negara pertama kali diperkenalkan oleh seorang sarjana Jerman, Otto Meyer,
dengan istilah verwaltungsakt. Istilah ini diperkenalkan di negeri Belanda dengan nama beschikking oleh
van Vollenhoven dan C.W. van der Pot, yang oleh beberapa penulis, seperti AM. Donner, H.D. van
Wijk/Willen Konijnenbelt, dan lain-lain, dianggap sebagai “de vader van he moderne
beschikkingsbegrip”, (bapak dari konsep beschikking yang modern).

Di Indonesia istilah beschikking diperkenalkan pertama kali oleh WE Prins. Istilah beschikking ini ada
yang menerjemahkannya dengan ketetapan, seperti E. Utrecht, Bagir Manan, Sjachran Basah,# dan lain-
lain, dan dengan keputusan seperti WE Prins, Philipus M, Hadjon, SE. Marbun, dan lain-lain. Djenal
Hoesen dan Muchsan mengatakan bahwa penggunaan istilah keputusan barang kali akan lebih tepat
untuk menghindari kesimpangsiuran pengertian dengan istilah ketetapan. Menurutnya, di Indonesia
istilah ketetapan sudah memiliki pengertian teknis yuridis, yaitu sebagai ketetapan MPR yang berlaku ke
luar dan ke dalam. Seiring dengan berlakunya UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundangundangan, istilah beschikking itu diterjemahkan dengan keputusan.

Istilah “beschikking” sudah sangat tua dan dari segi kebahasaan digunakan dalam berbagai arti.
Meskipun demikian, dalam pembahasan ini istilah beschikking hanya dibatasi dalam pengertian yuridis,
khususnya HAN. Menurut H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, beschikking merupakan keputusan
pemerintahan untuk hal yang bersifat konkret dan individual (tidak ditujukan untuk umum) dan sejak
dulu telah dijadikan instrumen yuridis pemerintahan yang utama.”' Menurut P. de Haan dan kawan-
kawan, “De administratieve beschikking is de meest voorkomende en ook meest bestudeerde
bestuurshandeling”,(Keputusan administrasi merupakan (bagian) dari tindakan pemerintahan yang
paling banyak muncul dan paling banyak dipelajari). Oleh karena itu, tidak berlebihan jika FA.M. Stroink
dan J.G. Steenbeek menganggapnya sebagai konsep inti dalam Hukum Administrasi Negara (een
kernbegrip in het administratief recht).

Di kalangan para sarjana terdapat perbedaan pendapat dalam mendefinisikan istilah keputusan. Berikut
ini akan disajikan beberapa definisi tentang beschikking.

A. De beschikking is dus de wilsverklaring van een bestuursorgaan voor een bijzonder geval, gericht op
het scheppen van een nieuwe, het wijzigen of het opheffen van een bestaande rechtsverhouding.“
(Keputusan adalah pernyataan kehendak dari organ pemerintahan untuk (melaksanakan) hal khusus,
ditujukan untuk menciptakan hubungan hukum baru, mengubah, atau menghapus hubungan hukum
yang ada).

B.Beschikking: een wilsverklaring naar aanleiding van een ingediend verzoekschrift, of althans een
gebleken wensch of behoefte. (Keputusan adalah suatu pernyataan kehendak yang disebabkap oleh
surat permohonan yang diajukan, atau setidak-tidakny, keinginan atau keperluan yang dinyatakan).

C.Eenvoudig geworden een definitie van het begrip beschikking te geven: Een eenzijdige
publiekrechtelijke rechtshandeling van em bestuursorgaan gericht op een concreet geval”. (... secara
sederhana, definisi keputusan dapat diberikan: suatu tindakan hukum publik sepihak dari organ
pemerintahan yang ditujukan pada peristiwa konkret).

d. Een beschikking is een individuele of concrete publiekrechtelijkerechts-beslissing: een beslissing yan


een bestuursorgaan, gebaseerd op een publiek-rechtelijke bevoegheid.... Geschapen voor een of meer
individuen of met betrekking tot een of meer concrete zaken of situaties. Die beslissing verplicht
mensen of organisaties tot iets, geeft ze bevoegdheden of geeft ze aanspraken.” (Beschikking adalah
keputusan hukum publik yang bersifat konkret dan individual: keputusan itu berasal dari organ
pemerintahan, yang didasarkan pada kewenangan hukum publik... Dibuat untuk satu atau lebih individu
atau berkenaan dengan satu atau lebih perkara atau keadaan. Keputusan itu memberikan suatu
kewajiban pada seseorang atau organisasi, memberikan kewenangan atau hak pada mereka).

e. Onder 'beschikking' kan in zijn algemeenheid worden verstaan: een besluit afkomstig van een
bestuursorgaan, dat gericht is op rechtsgevolg.?8 (Secara umum, beschikking dapat diartikan, keputusan
yang berasal dari organ pemerintahan yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum).

f. Beschikking adalah keputusan tertulis dari administrasi negara yang mempunyai akibat hukum.”

g. Beschikking adalah perbuatan hukum publik bersegi satu (yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan
berdasarkan suatu kekuasaan istimewa).

h. Beschikking adalah suatu tindakan hukum yang bersifat sepihak dalam bidang pemerintahan yang
dilakukan oleh suatu badan pemerintah berdasarkan wewenang yang luar biasa."
2. Unsur-unsur Keputusan

Berdasarkan beberapa definisi dari para sarjana tersebut, tampak ada beberapa unsur yang terdapat
dalam beschikking, yaitu: a) pernyataan kehendak sepihak (enjizdige schriftelijke wilsverklaring): b)
dikeluarkan oleh organ pemerintahan (bestuursorgaan): c) didasarkan pada kewenangan hukum yang
bersifat publik (publiekbevoegdheid): d) ditujukan untuk hal khusus atau peristiwa konkret dan
individual: e) dengan maksud untuk menimbulkan akibat hukum dalam bidang administrasi.

Sebelum menguraikan unsur-unsur keputusan ini, terlebih dahulu dikemukakan pengertian keputusan
berdasarkan Pasal 2 UU Administrasi Belanda (AwB) dan menurut Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986
tentang PTUN jo UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN, yaitu
sebagai berikut.

“De eenzijdig, naar buiten gerichte schriftelijke wilsverklaring van een administratief orgaan van de
central overheid, gegeven krachtens een in enig staats-of administratiefrechtelijk voorschrif vervatte
bevoegdheid of verplichting en gericht op de vaststelling, de wijziging of de opheffing van de oen
bestaande rechtsverhouding of het scheppen van cen nieun, rechtsverhouding, dan wel inhoudende de
weigering tot zodanig vaststellm wiyzigen, opheffen of scheppen”. (Pernyataan kehendak tertulis secara
sepihak dari organ peme rintahan pusat, yang diberikan berdasarkan kewajiban atay kewenangan dari
Hukum Tata Negara atau Hukum Administray Negara, yang dimaksudkan untuk penentuan,
penghapusan, atay pengakhiran hubungan hukum yang sudah ada, atau menciptakan hubungan hukum
baru, yang memuat penolakan sehingga terjadi penetapan, perubahan, penghapusan, atau penciptaan).
Berdasarkan definisi ini tampak ada enam unsur keputusan, yaitu sebagai berikut.

a. een naar buiten gerichte schriftelijke wilsverklaring:

b. gegeven krachtens een in enig staats-of administratiefrechtelijk voorschrift vervatte bevoegdheid of


verplichting:

c. eenzijdig:

d. met zondering van besluiten van algemene strekking:

e. gericht op de vaststelling, de wijziging of de opheffing van een bestaande rechtsverhouding of het


scheppen van een nieuwe rechtsverhouding dan wel inhoudende de weigering tot zodanig vaststellen,
wizjigen, opheffen of scheppen,

f. dfkomstig van een administratief orgaan."

Terjemahannya:

a. Suatu pernyataan kehendak tertulis:

b. diberikan berdasarkan kewajiban atau kewenangan dari Hukum Tata Negara atau hukum
administrasi:
c. bersifat sepihak,

d. dengan mengecualikan keputusan yang bersifat umum:

e. yang dimaksudkan untuk penentuan, penghapusan, atau pengakhiran hubungan hukum yang sudah
ada, atau mencip

takan hubungan hukum baru, yang memuat penolakan, sehingga terjadi penetapan, perubahan,
penghapusan, atau penciptaan,

f.berasal dari organ pemerintahan.

Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986, keputusan didefinisikan sebagai, “Suatu penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”. Berdasarkan definisi ini tampak bahwa KTUN
memiliki unsur-unsur sebagai berikut:

a. Penetapan tertulis,

b. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN:

C. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

d. Bersifat konkret, individual, dan final,

e. Menimbulkan akibat hukum

f. Seseorang atau badan hukum perdata.

Berikut ini akan dijelaskan unsur-unsur keputusan tersebut secara teoretik dan berdasarkan hukum
positif.

a. Pernyataan Kehendak Sepihak Secara Tertulis

Secara teoretik, hubungan hukum publik (publiekrechtsbetrekkin) Senantiasa bersifat sepihak atau
bersegi satu, “Administratiefrechtelijk erechtshandelingen zijn enzijdige rechtshandelingen”“ (tindakan
hukum administrasi adalah tindakan hukum sepihak). Oleh karena itu, hubungan hukum publik berbeda
halnya dengan hubungan hukum dalam bidang perdata yang selalu bersifat dua pihak (rwerjizdig atau
lebih, karena dalam hukum perdata di samping ada kesaman kedudukan juga ada asas otonomi yang
berupa kebebasan pihak yang bersangkutan untuk mengadakan hubungan hukum atau tidak serta
menentukan apa isi hubungan hukum itu. Sebagai wujud dari pernyataan kehendak sepihak, pembuatan
dan penerbitaa keputusan hanya berasal dari pihak pemerintah, tidak tergantung kepada pihak lain.

Ketika pemerintah dihadapkan pada peristiwa konkret dan pemerintah memiliki motivasi dan keinginan
untuk menyeleaikan peristiwa tersebut, pemerintah diberi wewenang untuk mengambil tindakan
hukum secara sepihak dengan menuangkan motivasi dan keinginannya itu dalam bentuk keputusan.
Artinya keputusan merupakan hasil dari tindakan hukum yang dituangkan dalam bentuk tertulis, sebagai
wujud dari motivasi dan keinginan pemerintah. Menurut EC.M.A. Michiels, keputusan adalah sebagai
tindakan hukum, yang merupakan wujud dari, motievev wil-keuze-gedrag/handeling (alasan-alasan-
kehendak-pilihantindakan). Telah disebutkan bahwa cindakan hukum publik iv selalu bersifat sepihak,
sehingga keputusan merupakan hasil dari tindakan sepihak pemerintah yang dituangkan dalam bentuk
tertulis. Dengan demikian, jelaslah bahwa kepurusan merupakan pernyataan kehendak sepihak secara
tertulis. Menurut Soehardjo, keputusan TUN adalah keputusan sepihak dari organ pemerintah: Ini tidak
berarti bahwa kepada pihak siapa keputusan itu ditujukan sebelumnya sama sekali tidak mengetahui
akan adanya keputusa itu, dengan kata lain bahwa inisiatif sepenuhnya ada pada pihak pemerintah.
Pada umumnya para ahli berpendapat bahwa keputusan itu adalah keputusan sepihak, karena
bagaimanapun keputusan jtu tergantung dari pemerintah, yang dapat memberikan atau menolaknya.”
Dengan kata lain, “Eenzijdig, omdat de overheid tot die rechtshandeling eenzijdig besluit, dus zonder
wilsovereenstemming met cen anders” (Sepihak, karena pemerintah memutuskan untuk melakukan
tindakan hukum itu sepihak, artinya tanpa persetujuan kehendak pihak lainnya).

Pernyataan kehendak sepihak yang dituangkan dalam bentuk tertulis ini muncul dalam dua
kemungkinan, ditujukan ke dalam (naar binnen gericht), yaitu keputusan berlaku ke dalam lingkungan
administrasi negara sendiri, dan ditujukan ke luar (naar buiten gericht), yang berlaku bagi warga negara
atau badan hukum perdata. Atas dasar pembagian ini lalu dikenal dua jenis keputusan, keputusan intern
(interne beschikking) dan keputusan ekstern (externe beschikking). Keputusan yang relevan dengan
pembahasan ini hanyalah keputusan ekstern, yang berarti “naar buiten de administratie gericht”
(ditujukan ke luar dari administrasi).

Berdasarkan Penjelasan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986, istilah “penetapan tertulis” menunjuk
kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN.
Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formatnya
seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk
kemudahan segi pembuktian. Oleh karena itu, sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis
tersebut dan akan merupakan Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menurut undang-
undang ini apabila sudah jelas:

1.Badan atau pejabat TUN mana yang mengeluarkannya,

2.Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu,

3.Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan 4 dalamnya.

Berdasarkan kriteria ini, dua contoh kasus di bawah ini aka memperjelas bahwa kualifikasi penetapan
tertulis, tidak dalan bentuk formalnya, tetapi dari segi isi atau materinya, yaitu kasu, “surat undangan”
dan kasus “plank” atau papan nama bertuliskan “tanah sengketa”, yakni:

1).Paulus Djaja Santosa Tabeta yang beralamat di Cengkareng Jakarta Barat, memiliki sebidang tanah.
Suatu ketika ada pihak lain (Ny. Sriyanti) mengklaim bahwa tanah tersebut adalah miliknya. Paulus
merasa memiliki tanah tersebut karena mempunyai selembar sertifikat hak pakai tertanggal 23
November 1987, sedangkan Sriyanti memiliki bukti sertifikat hak pakai atas namanya yang telah berakhir
sejak 1982. Karena ada perselisihan antara Paulus dan Sriyanti ini, kemudian Walikota turun tangan
dengan mengirimkan surat undangan kepada Paulus untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Akan
tetapi, Paulus yang merasa tidak perlu ada pihak lain yang ikut campur, tidak dapat menerima adanya
surat undangan Walikoti tersebut, bahkan Paulus merasa telah dirugikan dengan surat undangan itu,
yakni Paulus tidak dapat memperoleh IMB atas tanahnya dan Paulus juga tidak dapat menjual tanah
milikny' itu. Karena itu Paulus mengajukan gugatan terhadap Walikot? melalui PTUN Jakarta. Dan
gugatan Paulus ini diterima d PTUN.

2).Seseorang menggugat Kepala Desa sebagai tergugat I da! Camat sebagai tergugat II. Alasan gugatan
adalah bahw penggugat merasa keberatan atas pemasangan papan nam (plank) yang bertuliskan “Tanah
Sengketa" di atas tanah milikpenggugat. Putusan PTUN Medan No. 06/G/1992/PTUN Mdn menyatakan
bahwa gugatan seorang warga terhadap Kepala Desa sebagai tergugat I dan Camat sebagai tergugat II,
diterima dan dikabulkan sebagian.

Berdasarkan putusan PTUN, “surat undangan” dan “plank” tersebut dapat dikualifikasi sebagai
keputusan untuk unsur penetapan tertulis. Unsur penetapan tertulis ini tidak harus berbentuk surat
keputusan formal. Unsur penetapan tertulis ini ada pula pengecualiannya, yaitu Pasal 3 UU No. 5 Tahun
1986,” yang dikenal dengan KTUN fiktif/negatif. Secara lengkap Pasal 3 ini berbunyi sebagai berikut.

(1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu
menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.

(2)Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon,
sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundangundangan dimaksud telah
lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan
keputusan yang dimaksud.

(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya
permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan
keputusan penolakan.

Dalam penjelasan Pasal 3 ayat (2) disebutkan: “Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerima
permohonan dianggap telah mengeluarkan keputusan yang berisi penolakan permohong tersebut
apabila tenggang waktu yang ditetapkan telah lewat day Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu
bersikap diam, tidy melayani permohonan yang diterimanya”.

b. Dikeluarkan oleh Pemerintah

Keputusan merupakan fenomena kenegaraan dan pemerin. tahan. Hampir semua organ kenegaraan dan
pemerintahan berwe. nang untuk mengeluarkan keputusan. Dalam praktik kita mengeng keputusan
yang dikeluarkan oleh organ-organ kenegaraan seperg keputusan MPR, keputusan Ketua DPR,
keputusan Presiden selaku Kepala Negara, keputusan hakim (rechterlijke beschikking), dan sebagainya.
Meskipun demikian, keputusan yang dimaksudkan di sini hanyalah keputusan yang dikeluarkan oleh
pemerintah selaku administrasi negara. Keputusan yang dikeluarkan oleh organ-organ kenegaraan tidak
termasuk dalam pengertian beschikking berdasarkan Hukum Administrasi Negara.

Bila keputusan dibatasi pada keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah atau tata usaha negara, maka
akan memunculkan pertanyaan siapa yang dimaksud dengan pemerintah atau tata usaha
negara.Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 5 Tahun 1986, tara usaha negara adalah administrasi yang
melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan” ialah kegiatan
yang bersifa! eksekutif. Dalam kepustakaan disebutkan bahwa, “Het woord bestut Pleegt te worden
gelijkgesteld met uitvoerende macht. Het betekent dan w' gedeelte yan de overheidsorganen en van
overheidsfuncties, die niet ap wetgevende en rechtsprekende organen en functies”(kata pemerintah?
diartukan sama dengan kekuasaan eksekutif. Artinya pemerintah merupakan bagian dari organ dan
fungsi pemerintahan, selain organ dan fungsi pembuatan undang-undang dan peradilan), dengan kata
lain, “Onder (openbaar) bestuur verstaan wij alle activiteiten yan de overheid die niet als wetgeving en
rechtspraak zijn aan te merken” (pemerintahan umum diartikan semua aktivitas pemerintah, yang tidak
termasuk sebagai pembuatan undang-undang dan peradilan). Beragamanya lembaga atau organ
pemerintahan dan yang “dipersamakan” dengan organ pemerintahan menunjukkan bahwa pengertian
Badan atau Pejabat TUN memiliki cakupan yang sangat luas, yang berarti luas pula pihak-pihak yang
dapat diberikan wewenang pemerintahan untuk membuat dan mengeluarkan keputusan.

C. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku

Telah disebutkan bahwa keputusan adalah hasil dari tindakan hukum pemerintahan. Dalam negara
hukum, setiap tindakan hukum pemerintah harus didasarkan pada asas legalitas, yang berarti, “...Dat het
bestuur aan de wet is onderworpen. In de werking ten aanzien yan het bestuur wordi het
legaliteitsbeginsel wel als afzonderlijk geformuleerd rechtsstaatsbeginsel tot uitdrukking gebracht, het
beginsel van wetmatigheid yan bestuur” (...bahwa pemerintah tunduk pada undang-undang. Dalam
hubungannya dengan pelaksanaan tugas, pemerintah harus tunduk pada asas legalitas sebagaimana
telah dirumuskan secara tersendiri dalam prinsip negara hukum melalui ungkapan, prinsip
pemerintahan berdasarkan undang-undang). Esensi dari asas legalitas adalah wewenang, yaitu “Het
vermogen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen”,yaitu kemampuan untuk melakukan
tindakan-tindakan hukum tertentu. Menurut H.D. Stout, “Bevoegdheid is een begrip uit het bestuurlijke
organisatierecht, wat kan worden omschreven als het geheel van regels dat betrekking heeft op de
verkrijging en uitoefening van bestuursrechtelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke
rechtssubjecten in het bestuursrechtelijke rechtsverkeer"s (Wewenang adalah pengertian yang berasal
dari hukum organisam pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan. aturan yang
berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintahan oleh subjek hukum
publik di dalam hubungan hukum publik). Menurut EPC.L. Tonnaer, “Overheidsbevoegdheid wordt in dit
verband opgevat als het vermogen om positief recht vast te stellen en aldus rechtsbetrekkingen tussen
burgers onderling en tussen overheid en te scheppen”" (Kewenangan pemerintah dalam kaitan ini
dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu, dapat diciptakan
hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara).
Pembuatan dan penerbitan keputusan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau harus didasarkan pada wewenang pemerintahan yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan. Tanpa dasar kewenangan, pemerintah atau tata usaha negara tidak dapat
membuat dan menerbitkan keputusan atau keputusan itu menjadi tidak sah. Keputusan itu akan
menimbulkan akibat hukum bagi pihak yang dikenai keputusan, karena itu pembuatannya harus
didasarkan pada kewenangan yang sah. Organ pemerintahan dapat memperoleh kewenangan untuk
membuat keputusan tersebut melalui tiga cara yaitu atribusi, -delegasi, dan mandat.

d. Bersifat Konkret, Individual, dan Final

Berdasarkan rangkaian norma, sebagaimana yang dikenal dalam ilmu Hukum Administrasi Negara dan
Hukum Tata Negara weputusan memiliki sifat norma hukum yang individual-konkretdari rangkaian
norma hukum yang bersifat umum—abstrak. Untuk menuangkan hal-hal yang bersifat umum dan
abstrak ke dalam peristiwa-peristiwa konkret, maka dikeluarkanlah keputusankeputusan yang akan
membawa peristiwa umum itu sehingga dapat dilaksanakan. KTUN bersifat individual artinya niet
algemeen, gerekend naar de geadresseerde van de beslissing (tidak untuk umum, tertentu berdasarkan
apa yang dituju oleh keputusan itu), dan konkret berarti niet algemeen (niet abtract) naar object,
eveentueel beperkt naar plaats of tijd (tidak bersifat umum ftidak abstrak) objeknya, yang mungkin
terbatas waktu atau tempatnya)."

Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986, sebagaimana disebutkan di atas, keputusan memiliki
sifat konkret, individual, dan final. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa, konkret artinya objek yang
diputuskan dalam KTUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya
keputusan mengenai rumah si A, izin usaha bagi si B, pemberhentian si A sebagai pegawai negeri,
individual artinya KTUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang
dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu
disebutkan. Umpamanya, keputusan tentang pembuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang
menyebutkan nama-nama orang yang terkena keputusan tersebut: final artinya sudah definitif dan
karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi
atasan atau instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau
kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan pengangkatan seorang pegawai
negeri memerlukan persetujuan dari Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN).

e.Menimbulkan Akibat Hukum

Telah disebutkan bahwa keputusan merupakan wujud konkre, dari tindakan hukum pemerintahan
(bestuursrechthandelingen) Secara teoretis, tindakan hukum berarti de handelingen die naar hu, aard
gericht op een bepaald rechtsgevolg”,” (tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat
menimbulkan akibat hukum tertentu) atau “Een rechtshandeling is gericht op het scheppen van rechten
of plichten”, (Tindakan hukum adalah tindakan yang dimaksudkan untuk menciptakan hak dan
kewajiban). Dengan demikian, tindakan hukum pemerintahan adalah tindakan hukum yang dilakukan
oleh organ pemerintahan untuk menimbuikan akibat-akibat hukum tertentu khususnya di bidang
pemerintahan atau administrasi negara.
Meskipun pemerintah dapat melakukan tindakan hukum privat, namun dalam hal ini hanya dibatasi
pada tindakan pemerintah yang bersifat publik. Tindakan hukum publik yaitu rechtshandelingen die
worden verricht krachtens een publiekrechte lijke bevoegdheid,(tindakan-tindakan hukum yang
dilakukan berdasarkan kewenangan yang bersifat hukum publik). Menurut J.BJ.M. ten Berge,
Publiekrechtelijke rechtshandelingen kunnen slechts voortvloeien ut publiekrechtelijke bevoegdheden,
(tindakan-tindakan yang bersifat hukum publik hanya dapat lahir dari kewenangan yang bersifat hukum
publik). Telah disebutkan bahwa tindakan hukum publik pemerintah ini terbagi dalam dua jenis yaitu
tindakan hukum publik yang bersifat sepihak (eenzijdig) dan dua pihak atau lebi (meerzijdig). Dalam
hubungannya dengan keputusan ini, tindaka hukum yang dimaksud hanyalah tindakan hukum publik
yang bersifat sepihak.

Berdasarkan paparan mengenai tindakan hukum pemerintahan tersebut tampak bahwa keputusan
merupakan instrumen yang digunakan oleh organ pemerintahan dalam bidang publik dan digunakan
untuk menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu. “Met rechtsgevolg wordt bedoeld, dat door het
besluit een recht c.g. een verplichting dan wel een bevoegdheid of een status ontstaat, (akibat hukum
yang dimaksud yang lahir dari keputusan adalah munculnya hak, kewajiban, kewenangan, atau status
tertentu). Dengan kata lain, akibat hukum yang dimaksudkan adalah muncul atau lenyapnya hak dan
kewajiban bagi subjek hukum tertentu. Akibat hukum yang lahir dari tindakan hukum, dalam hal ini
akibat dikeluarkannya keputusan, berarti muncul atau lenyapnya hak dan kewajiban bagi subjek hukum
tertentu segera setelah adanya keputusan tertentu.' Sebagai contoh mengenai akibat hukum yang
muncul dari dikeluarkannya keputusan adalah pengangkatan atau pemberhentian seseorang sebagai
pegawai negeri berdasarkan surat keputusan dari pejabat yang berwenang. Surat keputusan
pengangkatan akan menimbulkan akibat hukum yang berupa lahirnya hak dan kewajiban bagi pegawai
negeri yang sebelumnya tidak arau belum ada, sedangkan surat keputusan pemberhentian akan
menimbulkan akibat hukum berupa lenyapnya hak dan kewajiban bagi pegawai negeri yang
bersangkutan yang sebelumnya telah ada. Dapat pula terjadi bahwa dikeluarkannya keputusan itu tidak
melahirkan atau melenyapkan hak dan kewajiban, tetapi sekadar menyatakan hak dan kewajiban yang
telah ada. Dalam hal demikian, keputusan jenis ini disebut keputusan deklaratoir.

f.Seseorang atau Badan Hukum Perdata

Dalam lalu lintas pergaulan hukum (rechtsverkeer) khususnya dalam bidang keperdataan, dikenal istilah
subjek hukum, yairy “de drager van de rechten en plichten” atau pendukung hak-hak dan kewajiban-
kewajiban. Subjek hukum ini terdiri dari manusig (natuurlijke persoon) dan badan hukum
(rechtspersoon). Kualifikasi untuk menentukan subjek hukum adalah mampu (bekwaam) atay tidak
mampu (onbekwaam) untuk mendukung atau memikul hak dan kewajiban hukum. Berdasarkan hukum
keperdataan, seseorang atau badan hukum yang dinyatakan tidak mampu seperti orang yang berada
dalam pengampuan atau perusahaan yang dinyatakan pailit tidak dapat dikualifikasi sebagai subjek
hukum. Orang yang berada dalam pengampuan dan perusahaan yang pailit dikategorikan tidak memiliki
kecakapan untuk mendukung hak dan kewajiban hukum. Keputusan sebagai wujud dari tindakan hukum
publik sepihak dari organ pemerintahan ditujukan pada subjek hukum yang berupa seseorang atau
badan hukum perdata yang memiliki kecakapan untuk melakukan tindakan hukum.
Telah disebutkan di atas, bahwa badan hukum keperdataan dalam keadaan dan alasan tertentu dapat
dikualifikasi sebagai jabatan pemerintahan khususnya ketika sedang menjalankan salah satu fungsi
pemerintahan, dengan syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Menurut Indroharto, yang dimaksud
di sini (badan hukum) adalah murni badan yang menurut pengertian hukum perdata berstatus sebagai
badan hukum, seperti CV, PI, Firma, Yayasan, Perkumpulan, Persekutuan Perdata (maatschap), dan
sebagainya yang berstatus badan hukum. Jadi bukan lembag' hukum publik yang berstatus sebagai
badan hukum, seperti provinsi, kabupaten, departemen, dan sebagainya. Bukan pul badan hukum
perdata atau lembaga hukum swasta yang sedang melaksanakan suatu tugas pemerintahan yang
statusnya dianggap sebagai badan atau jabatan TUN.

3, Macam-macam Keputusan

Secara teoretis dalam Hukum Administrasi Negara, dikenal ada beberapa macam dan sifat keputusan,
yaitu sebagai berikut.

a. Keputusan Deklaratoir dan Keputusan Konstitutif

Keputusan deklaratoir adalah keputusan yang tidak mengubah hak dan kewajiban yang telah ada, tetapi
sekadar menyatakan hak dan kewajiban tersebut (rechtsvaststellende beschikking). Keputusan
mempunyai sifat deklaratoir manakala keputusan itu dimaksudkan untuk menetapkan mengikatnya
suatu hubungan hukum atau keputusan itu maksudnya mengakui suatu hak yang sudah ada, sedangkan
manakala keputusan itu melahirkan atau menghapuskan suatu hubungan hukum atau keputusan itu
menimbulkan suatu hak baru yang sebelumnya tidak dipunyai oleh seseorang yang namanya tercantum
dalam keputusan itu, maka ia disebut dengan keputusan yang bersifat konstitutif (rechtscheppend
beschikking).

Keputusan yang bersifat konstitutif dapat berupa hal-hal sebagai berikut.

1) beschikkingen die een verplichting oplepgen om iets te doen, te laten, of te dulden, (keputusan-
keputusan yang meletakkan kewajiban untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu, atay
memperkenankan sesuatu),

2) beschikkingen welke aan een persoon, een instelling of een zaak en status verlenen, waardoor op die
persoon of die zaak bepalde rechtsregel van toepassing worden, (keputusan-keputusan yang
memberikan status pada seseorang, lembaga, atau perusahaan, dan oleh karena itu seseorang atau
perusahaan itu dapat menerapkan aturan hukum tertentu):

3) beschikkingen welke een prestatie van de overheid in het vooruitzicht stellen, (keputusan-keputusan
yang meletakkan prestasi atau harapan pada perbuatan pemerintah - subsidi atau bantuan, pen.):

4) beschikkingen welke iets toestaan wat tevoren niet geoorloofd was, (keputusan yang mengizinkan
sesuatu yang sebelumnya tidak diizinkan):
5) beschikkingen welke aan beschikkingen van lagere organen werking verlenen of bestaande werking
ontnemen, (keputusan-keputusan yang menyetujui atau membatalkan berlakunya keputusan organ
yang lebih rendah - pengesahan “goedkeuring) atau pembatalan (vernietiging), pen.).

b. Keputusan yang Menguntungkan dan yang Memberi Beban

Keputusan bersifat menguntungkan (begunstigende beschikking) artinya keputusan itu memberikan


hak-hak atau memberikan kemungkinan untuk memperoleh sesuatu yang tanpa adanya keputusan itu
tidak akan ada atau bilamana keputusan itu memberikan keringanan beban yang ada atau mungkin ada,
sedangkan keputusan yang memberi beban (belastende beschikking) adalah keputusan yang meletakkan
kewajiban yang sebelumnya tidak ada atau keputusa! mengenai penolakan terhadap permahonan untuk
memperoleh

keringanan. Pemilahan jenis keputusan yang menguntungkan dan memberi beban ini penting terutama
dalam kaitannya dengan pencabutan keputusan. Keputusan yang memberi beban atau yang
memberatkan ini relatif lebih mudah dalam pencabutannya. Di samping itu, relevansi pembedaan ini
ialah kemungkinan terjadinya gugatan. Dalam hal KTUN itu menguntungkan, gugatan bakal muncul dari
pihak III, sedangkan dalam hal KTUN memberi beban (misalnya penetapan pajak), gugatan berasal dari
pihak II

c. Keputusan Eenmalig dan Keputusan yang Permanen

Keputusan eenmalig adalah keputusan yang hanya berlaku sekali atau keputusan sepintas lalu, yang
dalam istilah lain disebut keputusan yang bersifat kilat (vluctige beschikking) seperti IMB atau izin untuk
mengadakan rapat umum, sedangkan keputusan permanen adalah keputusan yang memiliki masa
berlaku yang relatif lama. WE Prins menyebutkan beberapa keputusan yang dianggap sebagai keputusan
“sepintas lalu”, yaitu:

1) Keputusan yang bermaksudkan mengubah teks keputusan yang terdahulu,

2) Keputusan negatif. Sebab, keputusan semacam ini maksudnya untuk tidak melaksanakan sesuatu hal
dan tidak merupakan halangan untuk bertindak, bilamana terjadi perubahan dalam anggapan atau
keadaan:

3)Penarikan kembali atau pembatalan. Seperti halnya dengan keputusan negatif, penarikan kembali
atau pembatalan tidak membawa hasil yang positif dan tidak menjadi halangan untuk mengambil
keputusan yang identik dengan yang dibatalkan

4) Pernyataan dapat dilaksanakan.“

d. Keputusan yang Bebas dan yang Terikat


Keputusan yang bersifat bebas adalah keputusan yang dida sarkan pada kewenangan bebas (vrije
bevoegdheid) atau kebebasan bertindak yang dimiliki oleh pejabat tata usaha negara baik dalam bentuk
kebebasan kebijaksanaan maupun kebebasan interpretasi, sedangkan keputusan yang terikat adalah
keputusan yang didasarkan pada kewenangan pemerintahan yang bersifat terikat (gebonden
bevoegdheid), artinya keputusan itu hanya melaksanakan ketentuan yang sudah ada tanpa adanya
ruang kebebasan bagi pejabat yang bersangkutan.

e. Keputusan Positif dan Negatif

Keputusan positif adalah keputusan yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi yang dikenai keputusan,
sedangkan keputusan negatif adalah keputusan yang tidak menimbulkan perubahan keadaan hukum
yang telah ada. Keputusan positif terbagi dalam lima golongan, yaitu:

1) keputusan, yang pada umumnya melahirkan keadaan hukum baru:

2) keputusan, yang melahirkan keadaan hukum baru bagi objek tertentu:

3) keputusan, yang menyebabkan berdirinya atau bubarnya badan hukum:

4) keputusan, yang membebankan kewajiban baru kepada seseorang atau beberapa orang (perintah):

5) keputusan, yang memberikan hak baru kepada seseorang atav beberapa orang (keputusan yang
menguntungkan).”

Keputusan negatif dapat berbentuk pernyataan tidak berkuasa (onbevoegd verklaring), pernyataan tidak
diterima (niecontvankelijk verklaring) atau suatu penolakan (afwijzing). Keputusan negatif yang
dimaksudkan di sini adalah keputusan yang ditinjau dari akibat hukumnya yakni tidak menimbulkan
perubahan hukum yang telah ada. Dengan kata lain, bukan keputusan negatif atau fiktif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN jo. UU No. 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan UU PTUN tersebut di atas.

f.Keputusan Perorangan dan Kebendaan

Keputusan perorangan (persoonlijk beschikking) adalah keputusan yang diterbitkan berdasarkan kualitas
pribadi orang tertentu atau keputusan yang berkaitan dengan orang, seperti keputusan tentang
pengangkatan atau pemberhentian seseorang sebagai pegawai negeri atau sebagai pejabat negara,
keputusan mengenai surat izin mengemudi, dan sebagainya, sedangkan keputusan kebendaan (zakelijk
beschikking) adalah keputusan yang diterbitkan atas dasar kualitas kebendaan atau keputusan yang
berkaitan dengan benda, misalnya sertifikat hak atas tanah. Dapat terjadi suatu keputusan itu
dikatagorikan bersifat perorangan sekaligus kebendaan, misalnya surat izin mendirikan bangunan atau
izin usaha industri. Dalam hal ini keputusan itu memberikan hak pada seseorang yang akan mendirikan
bangunan atau industri (tertuju pada orang), dan di sisi lain keputusan itu memberikan keabsahan
didirikannya bangunan atau industri (tertuju pada benda).

4. Syarat-syarat Pembuatan Keputusan


Pembuatan keputusan tata usaha negara harus memerhatikan beberapa persyaratan agar keputusan
tersebut menjadi sah menurut hukum (rechtsgeldig) dan memiliki kekuatan hukum (rechtskracht) untuk
dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam pembuatan keputusan Ini mencakup syarat
materiil dan syarat formal

a.Syarat syarat materiil terdiri atas:

1)Organ pemerintahan yang membuat keputusan harus berwenang:

2)Karena keputusan suatu pernyataan kehendak (wilsverkla. ring), maka keputusan tidak boleh
mengandung keku. rangan-kekurangan yuridis (geen juridische gebreken in de wilsvorming), seperti
penipuan (bedrog), paksaan (dwang) atau suap (omkoping), kesesatan (dwaling):

3)Keputusan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu,

4)Keputusan harus dapat dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturan-peraturan lain, serta isi dan
tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya.

b.Syarat-syarat formal terdiri atas:

1)Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung
dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi:

2)Keputusan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar dikeluarkannya keputusan itu,

3)Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan keputusan itu harus dipenuhi,

4) Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal hal yang menyebabkan dibuatnya dan
diumumkannys keputusan itu harus diperhatikan.

Apabila syarat materiil dan syarat formal ini telah terpenuhi, maka keputusan itu sah menurut hukum
(rechtsgeldig), artinya dapat diterima sebagai suatu bagian dari tertib hukum atau sejalan dengan
ketentuan hukum yang ada baik secara prosedural/formal maupun materiil. Sebaliknya, bila satu atau
beberapa persyaratan itu tidak terpenuhi, maka keputusan itu mengandung kekurangan dan menjadi
tidak sah. F.H. van der Burg dan kawan-kawan menyebutkan bahwa keputusan dianggap tidak sah jika
dibuat oleh organ yang tidak berwenang (onbevoegdheid), mengandung cacat bentuk (vormgebreken),
cacat isi (inhoudsgebreken), dan cacat kehendak (wilsgebreken) A.M. Donner mengemukakan
akibatakibat dari keputusan yang tidak sah yaitu sebagai berikut.

a. Keputusan itu harus dianggap batal sama sekali;

b. Berlakunya keputusan itu dapat digugat; 1) dalam banding (beroep).


2) dalam pembatalan oleh jabatan (amtshalve vernieriging) karena bertentangan dengan undang-
undang.

3) Dalam penarikan kembali (intrekking) oleh kekuasaan yang berhak (competent) mengeluarkan
keputusan itu.

c. Dalam hal keputusan tersebut, sebelum dapat berlaku, memerlukan persetujuan (peneguhan) suatu
badan kenegaraan yang lebih tinggi, maka persetujuan itu tidak diberi.

d. Keputusan itu diberi tujuan lain daripada tujuan permulaannya (conversie).

Van der Wel menyebutkan enam macam akibat suatu keputusan yang mengandung kekurangan, yaitu
sebagai berikut."

a. batal karena hukum.

b.Kekurangan itu menjadi sebab atau menimbulkan kewajiban untuk membatalkan keputusan itu untuk
sebagiannya atay seluruhnya.

c.Kekurangan itu menyebabkan bahwa alat pemerintah yang lebih tinggi dan yang berkompeten untuk
menyetujui atau meneguhkannya, tidak sanggup memberi persetujuan atau peneguhan itu.

d. Kekurangan itu tidak memengaruhi berlakunya keputusan.

e.Karena kekurangan itu, keputusan yang bersangkutan dikon. versi ke dalam keputusan lain.

f.Hakim sipil (biasa) menganggap keputusan yang bersangkutan tidak mengikat.

Meskipun suatu keputusan itu dianggap sah dan akan menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata, akan tetapi keputusan yang sah itu tidak dengan sendirinya berlaku, karena
untuk berlakunya suatu keputusan harus memerhatikan tiga hal berikut ini: pertama, jika berdasarkan
peraturan dasarnya terhadap keputusan itu tidak memberi kemungkinan mengajukan permohonan
banding bagi yang dikenai keputusan, maka keputusan itu mulai berlaku sejak saat diterbitkan (ex nunc):
kedua, jika berdasarkan peraturan dasarnya terdapat kemungkinan untuk mengajukan banding
terhadap keputusan yang bersangkutan, maka keberlakuan keputusan itu tergantung dari proses
banding itu. Kranenburg dan Vegting menyebutkan empat cara mengajukan permohonan banding
terhadap keputusan, yaitu sebagai berikut.

a. Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan pembatalan keputusan pada tingkat
banding, di mana kemungkinan itu ada,

b. Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada pemerintah supaya keputusan itu
dibatalkan,

c Pihak yang dikenai keputusan itu dapat mengajukan masalahnya kepada hakim biasa agar keputusan
itu dinyatakan batal karena bertentangan dengan hukum,
d. Pihak yang dikenai keputusan itu dapat, apabila karena tidak memenuhinya keputusan itu, berusaha
untuk memperoleh keputusan dari hakim seperti yang dimaksudkan dalam bagian C

Pada umumnya batas waktu mengajukan banding itu ditentukan dalam peraturan dasar yang terkait
dengan keputusan itu. Jika batas waktu banding telah berakhir dan tidak digunakan oleh mereka yang
dikenai keputusan itu, maka keputusan itu mulai berlaku sejak saat berakhirnya batas waktu banding
itu: ketiga, jika keputusan itu memerlukan pengesahan dari organ atau instansi pemerintahan yang lebih
tinggi, maka keputusan itu mulai berlaku setelah mendapatkan pengesahan. Berkenaan dengan
pengesahan atau persetujuan ini terdapat tiga pendapat, yaitu sebagai berikut. a. Karena berhak untuk
memberikan persetujuan, Mahkota (pemerintah) menjadi pembuat serta undang-undang, jadi
merupakan hak pengukuhan:

b. Hak memberikan persetujuan adalah hak placet, artinya melepaskan tanggung jawab (jadi,
pernyataan dapat dilaksanakan):

C Persetujuan merupakan tindakan terus-menerus, artinya tidak berakhir pada saat diberikan, tetapi
dapat ditarik kembali selama yang disetujuinya masih berlaku.”

Keputusan yang sah dan telah dapat berlaku dengan senditinya akan memiliki kekuatan hukum formal
(formeel rechtskracht) dan kekuataan hukum materiil (materiele rechtskracht). Kekuatan hukum formal
suatu keputusan ialah pengaruh yang dapat diadakan oleh karena adanya keputusan itu. Suatu
keputusan mempunyai kekuatan hukum formal bilamana keputusan itu tidak lagi dapat dibantah oleh
suatu alat hukum (rechtsmiddel).” Dengan kata lain, keputusan yang telah memiliki kekuatan hukum
formal itu tidak dapat dibantah baik oleh pihak yang berkepentingan, oleh hakim, organ pemerintahan
yang lebih tinggi, maupun organ yang membuat keputusan itu sendiri (zowel door belanghebbende,
door een hoger bestuursorgeen, als door het beschikkend orgaan zelf). Keputusan tata usaha negara itu
memiliki kekuatan hukum formal dalam dua hal, pertama, keputusan tersebut telah mendapat
persetujuan untuk berlaku dari alat negara yang lebih tinggi yang berhak memberikan persetujuan
tersebut, kedua, suatu keputusan di mana permohonan untuk banding terhadap keputusan itu ditolak
atau karena tidak menggunakan hak bandingnya dalam jangka waktu yang ditentukan oleh undang-
undang.”Adapun yang dimaksud dengan keputusan yang mempunyai kekuatan hukum materiil adalah
pengaruh yang dapat diadakan oleh karena isi atau materi dari keputusan itu. E. Utrecht menyebutkan
bahwa suatu keputusan mempunyai kekuatan hukum materiil, bilamana keputusan itu tidak lagi dapat
ditiadakan oleh alat negara yang membuatnya,” kecuali peraturan perundang: undangan memberikan
kemungkinan kepada pemerintah atau administrasi negara untuk meniadakan keputusan tersebut.

Keputusan yang sah dan sudah dinyatakan berlaku, di samping mempunyai kekuatan hukum formal dan
materiil, jug akan melahirkan prinsip praduga rechtmatig (het vermoeden va" tmatigheid atau presumtio
justea causa). Prinsip ini mengandung arti bahwa“Setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah
atau

administrasi negara itu dianggap sah menurut hukum”. Asas praduga rechtmatig ini membawa
konsekuensi bahwa setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali,
kecuali setelah ada pembatalan (vernietiging) dari pengadilan. Lebih lanjut, konsekuensi praduga
rechtmatig ini adalah bahwa pada dasarnya keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah itu tidak
dapat ditunda pelaksanaannya meskipun terdapat keberatan (bezwaar), banding (beroep), perlawanan
(bestreden) atau gugatan terhadap suatu keputusan oleh pihak yang dikenai keputusan tersebut.

Asas praduga rechtmatig ini dianut pula oleh UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN jo UU No. 9 Tahun
2004 tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 67
ayat (1): “Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang digugat”. Dalam penjelasannya antara lain disebutkan, “Akan tetapi selama hal
itu belum diputus oleh Pengadilan, maka Keputusan Tata Usaha Negara harus dianggap menurut hukum.
Dalam proses di muka Pengadilan Tata Usaha Negara memang dimaksudkan untuk menguji apakah
dugaan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu melawan hukum beralasan atau tidak.
Itulah dasar hukum acara Tata Usaha Negara yang bertolak dari anggapan bahwa Keputusan Tata Usaha
Negara itu selalu menurut hukum. Dari segi perlindungan hukum, maka Hukum Acara Tata Usaha
Negara yang merupakan sarana hukum untuk dalam keadaan konkret meniadakan anggapan tersebut.
Oleh karena itu, pada asasnya selama hal tersebut belum diputuskan oleh Pengadilan, maka Keputusan
Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dianggap menurut hukum dan dapat dilaksanakan. Akan
tetapi, dalam keadaan tertentu, penggugat dapat mengajukan permohonan agar selama proses
berjalan, Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu diperintahkan ditunda pelaksanaannya”. Asas
praduga rechtmatig tersebut berkaitan erat dengan asas kepastian hukum (rechtszekerheid) yang
terdapat dalam asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB), yang menurut SF. Marbun asas
kepastian hukum ini menghendaki:

“Dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan badan/pejabat
administrasi negara dan keputusan itu tidak akan dicabut kembali oleh badan/pejabat administrasi
negara, meskipun surat keputusan itu mengandung kekurangan, Jika pejabat administrasi negara dapat
sewaktu-waktu mencabut atau membatalkan surat keputusan yang telah dikeluarkannya, tindakan
demikian kecuali dapat merugikan penerima surat keputusan juga dapat menimbulkan hilangnya
kepercayaan masyarakat terhadap setiap tindakan yang dilakukan oleh badan/ pejabat administrasi
negara. Karena ketiadaan kepastian hukum maka masyarakat akan selalu meragukan setiap tindakan
yang dilakukan oleh badan/pejabat administrasi. Masyarakat akan selalu dibayangi keraguan terhadap
hak yang telah diperolehnya, karena hak tersebut sewaktu-waktu dapat saja dicabut atau dibatalkan
kembali oleh badan/pejabat administrasi negara yang mengeluarkannya maupun oleh atasannya

Meskipun diasumsikan bahwa setiap keputusan yang telah dikeluarkan dianggap sah menurut hukum,
akan tetapi di dalam praktik hampir semua surat keputusan, khususnya dalam praktik administrasi di
Indonesia, terdapat klausula pengaman (veiligheidsclausule) yang pada umumnya berbunyi: “Apabila di
kemudian hari terdapat kekeliruan atau kekurangan, maka surat keputusan ini akan ditinjau kembali”.
Rumus seperti itu di satu sisi bertentanga? dengan asas kepastian hukum dan di sisi lain bertentangan
denga! asas praduga rechtmatig. Dengan kata lain, klausula pengaman iv merupakan suatu hal yang
keliru, tidak bermanfaat dan mubajif sebab dapat menggoyahkan sendi-sendi kepastian hukum.”

Meskipun asas praduga rechtmatig ini demikian penting dalam melandasi setiap keputusan dengan
beberapa konsekuensi yang lahir darinya, namun asas ini tidak berarti meniadakan sama sekali
kemungkinan perubahan, pencabutan, atau penundaan keputusan tata usaha negara. Pencabutan
(intrekking), perubahan (wijziging), dan penundaan (schorsing) keputusan tata usaha negara dapat
dilakukan dengan beberapa alasan, sebagaimana akan dijelaskan pada saat membicarakan tentang
sanksi-sanksi dalam Hukum Administrasi Negara.

D. Peraturan Kebijakan

1. Freies Ermessen

Keberadaan peraturan kebijakan tidak dapat dilepaskan dengan kewenangan bebas (vrije bevoegdheid)
dari pemerintah yang sering disebut dengan istilah freies Ermessen. Karena itu sebelum menjelaskan
peraturan kebijakan, terlebih dahulu dikemukakan mengenai freies Ermessen ini.

Secara bahasa freies Ermessen berasal dari kata frei artinya bebas, lepas, tidak terikat, dan
merdeka.Freies artinya orang yang bebas, tidak terikat, dan merdeka. Sedangkan Ermessen berarti
mempertimbangkan, menilai, menduga, dan memperkirakan. Freies Ermessen berarti orang yang
memiliki kebebasan untuk menilai, menduga, dan mempertimbangkan sesuatu. Istilah ini kemudian
secara khas digunakan dalam bidang pemerintahan, sehingga freies Ermessen (diskresionare power)
diartikan sebagai salah satu sarana yang membeirkenankan alat administrasi negara mengutamakan
keefektifan tercapainya suatu tujuan (wdoelmatigheid) daripada berpegang teguh kepada ketentuan
hukum," atau kewenangan yang sah untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan
tugas-tugas menyelenggarakan kepentingan umum." Bachsan Mustafa menyebutkan bahwa, freies
Ermessen diberikan kepada pemerintah mengingat fungsi pemerintah atau administrasi negara yaitu
menyelenggarakan kesejahteraan umum yang berbeda dengan fungsi kehakiman untuk menyelesaikan
sengketa antarpenduduk, Keputusan pemerintah lebih mengutamakan pencapaian tujuan atau
sasarannya (doelmatigheid) daripada sesuai dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid).

Meskipun pemberian freies Ermessen kepada pemerintah atau administrasi negara merupakan
konsekuensi logis dari konsepsi welfare state, akan tetapi dalam kerangka negara hukum, fteies
Ermessen ini tidak dapat digunakan tanpa batas. Atas dasar itu, Sjachran Basah mengemukakan unsur-
unsur freies Ermessen dalam suatu negara hukum yaitu sebagai berikut.

a. Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis publik:

b.Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara

c. Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum,

d.Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri,

e.Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan persoalan penting yang timbul secara
tiba-tiba,

f. Sikap tindak itu dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa
maupun secara hukum.
Freies Ermessen ini muncul sebagai alternatif untuk mengisi kekurangan dan kelemahan di dalam
penerapan asas legalitas (wetmatigheid van bestuur). Bagi negara yang bersifat welfare state, asas
legalitas saja tidak cukup untuk dapat berperan secara maksimal dalam melayani kepentingan
masyarakat, yang berkembang pesat sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Menurut Laica
Marzuki, freies Ermessen merupakan kebebasan yang diberikan kepada tata usaha negara dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan, sejalan dengan meningkatnya tuntutan pelayanan publik yang harus
diberikan tata usaha negara terhadap kehidupan sosial ekonomi para warga yang kian kompleks. Freies
Ermessen merupakan hal yang tidak terelakkan dalam tatanan tipe negara kesejahteraan modern,
terutama di kala menjelang akhir abad XX dewasa ini. Era globalisasi sesudah tahun 2000 menjadikan
tata usaha negara semakin memperluas penggunaan freies Ermessen yang melekat pada jabatan
publiknya.? Di dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, freies Ermessen dilakukan oleh
administrasi negara dalam hal-hal sebagai berikut.

a. Belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian in konkrito terhadap
suatu masalah tertentu, padahal masalah tersebut menuntut penyelesaian yang segera. Misalnya dalam
menghadapi suatu bencana alam ataupun Wabah penyakit menular, maka aparat pemerintah harus
segera mengambil tindakan yang menguntungkan bagi negara maupun bagi rakyat, tindakan mana
semata-mata timbu atas prakarsa sendiri.

b.Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar berbux aparat pemerintah memberikan


kebebasan sepenuhnya, Misalnya dalam pemberian izin berdasarkan Pasal 1 HO, setiap pemberi izin
bebas untuk menafsirkan pengertian “menimbulkan keadaan bahaya” sesuai dengan situasi dan kondisi
daerah masing-masing.

c.Adanya delegasi perundang-undangan, maksudnya aparat pemerintah diberi kekuasaan untuk


mengatur sendiri, yang sebenarnya kekuasaan itu merupakan kekuasaan aparat yang lebih tinggi
tingkatannya. Misalnya dalam menggali sumber. sumber keuangan daerah. Pemerintah daerah bebas
untuk mengelolanya asalkan sumber-sumber itu merupakan sumber yang sah."

Freies Ermessen ini bertolak dari kewajiban pemerintah dalam welfare state, di mana tugas pemerintah
yang utama adalah memberikan pelayanan umum atau mengusahakan kesejahteraan bagi warga
negara, di samping memberikan perlindungan bagi warga negara. Apabila dibandingkan dengan negara
kita, freies Ermessen muncul bersamaan dengan pemberian tugas kepada pemerintah untuk merealisasi
tujuan negara seperti yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan 1945. Oleh karena tugas utama
pemerintah dalam konsepsi welfare state itu memberikan pelayanan bagi warga negara, maka muncul
prinsip “Pemerintah tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan
alasan tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya atau belum/tidak ada peraturan
perundang-undangan yang dijadikan dasar kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum”.

Meskipun kepada pemerintah diberikan kewenangan bebas atau freies Ermessen, namun dalam suatu
negara hukum penggunaan freies Ermessen ini harus dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh hukum
yang berlaku. Penggunaan freies Ermessen tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku baik
hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Menurut Muchsan pembatasan penggunaan freies
Ermessen adalah sebagai berikut.

a. Penggunaan freies Ermessen tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaidah
hukum positif).

b. Penggunaan freies Ermessen hanya ditujukan demi kepentingan umum.

Sjachran Basah berpendapat bahwa pelaksanaan freies Ermessen tersebut harus dapat
dipertanggungjawabkan, “Secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan,
demi kepentingan bersama”. Lebih lanjut Sjachran Basah mengatakan bahwa secara hukum terdapat
dua batas: batas-atas dan batas-bawah. Batas-atas dimaksudkan ketaat-asasan ketentuan perundang-
undangan berdasarkan asas taat-asas, yaitu peraturan yang tingkat derajatnya lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang tingkat derajatnya lebih tinggi. Sedangkan batas-bawah ialah
peraturan yang dibuat atau sikap-tindak administrasi negara (baik aktif maupun pasif), tidak boleh
melanggar hak dan kewajiban asasi warga.” Dapat ditambahkan bahwa freies Ermessen itu tidak boleh
bertentangan dengan kepenungan umum.

Dalam ilmu Hukum Administrasi Negara, freies Ermessen Ini diberikan hanya kepada pemerintah atau
administrasi negarg baik untuk melakukan tindakan-tindakan biasa maupun tindakan bukum, dan ketika
freies Ermessen ini diwujudkan dalam instru. men yuridis yang tertulis, jadilah ia sebagai peraturan
kebijakan Sebagai sesuatu yang lahir dari freies Ermessen dan yang hanya diberikan kepada pemerintah
atau administrasi negara, kewenangan pembuatan peraturan kebijakan itu inheren pada pemerintahan
(inherent aan het bestuur).”

2. Pengertian, Ciri-ciri, Fungsi, dan Penormaan Peraturan Kebijakan

a. Pengertian Peraturan Kebijakan

Di dalam penyelenggaraan tugas-tugas administrasi negara, pemerintah banyak mengeluarkan kebijakan


yang dituangkan dalam berbagai bentuk seperti beleidslijnen (garis-garis kebijakan), het beleid
(kebijakan), voorschriften (peraturan-peraturan), richtlijnm (pedoman-pedoman), regelingen (petunjuk-
petunjuk), circulaires (surat edaran), resoluties (resolusi-resolusi), aanschrijvingen (instruksiinstruksi),
beleidsnota's (nota kebijakan), reglemen (ministriele) (peraturan-peraturan menteri), beschikkingen
(keputusan-keputusan), bekenmakingen (pengumuman-pengumuman). Menurut Philipus M. Hadjon,
peraturan kebijakan pada hakikatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang
bertujuan “naar buiten gebrad xhricftelijk beleid”, yaitu menampakkan keluar suatu kebijakan

tertulis.” Peraturan kebijakan hanya berfungsi sebagai bagian dari operasional penyelenggaraan tugas-
tugas pemerintahan, karenanya odak dapat mengubah ataupun menyimpangi peraturan
perundangundangan. Peraturan ini adalah semacam hukum bayangan dari undang-undang atau hukum.
Oleh karena itu, peraturan ini disebut pula dengan istilah psudo-wetgeving (perundang-undangan semu)
atau spigelsrecht (hukum bayangan/cermin). Secara praktis kewenangan diskresioner administrasi
negara yang kemudian melahirkan peraturan kebijakan, mengandung dua aspek pokok: Pertama,
kebebasan menafsirkan mengenai ruang lingkup wewenang yang dirumuskan dalam peraturan dasar
wewenangnya. Aspek pertama ini lazim dikenal dengan kebebasan menilai yang bersifat objektif. Kedua,
kebebasan untuk menentukan sendiri dengan cara bagaimana dan kapan wewenang yang dimiliki
administrasi negara itu dilaksanakan. Aspek kedua ini dikenal dengan kebebasan menilai yang bersifat
subjektif.” Kewenangan bebas untuk menafsirkan secara mandiri dari pemerintah inilah yang melahirkan
peraturan kebijakan. PJ.P. Tak menjelaskan peraturan kebijakan sebagai berikut.

“Beleidsregels zijn algemene regels die een bestuursinstantie stelt omtrent de uitoefening van een
bestuursbevoegdheid jegens de burgers of een andere bestuursinstantie en voor welke regelstelling de
grondwet noch de formele wet direct of indirect een uitdrukkelijke gronslag biedien. Belandsregels
berusten dus niet op een bevoegdheid tot wetgeving-en kunnen daarom ook geen algemeen
verbindende voorschriften zijn-maar op cen bestuursbevoedgheid van een bestuursorgaan en betreffen
de uitoefening yan die bevoegdheden”.(Peraturan kebijakan adalah peraturan umum yang dikeluarkan
oleh instansi pemerintahan berkenaan dengan pelaksanaan wewenang pemerintahan terhadap warga
negara atau terhadap Instansi pemerintahan lainnya dan pembuatan peraturan tersebin tdak memiliki
dasar yang tegas dalam UUD dan undang-undang formal baik langsung maupun tidak langsung. Artinya
peraturan kebijakan tidak didasarkan pada kewenangan pembuatan undang. undang-dan oleh karena
itu tidak termasuk peraturan perundang. undangan yang mengikat umum-tetapi dilekatkan pada
wewenang pemerintahan suatu organ administrasi negara dan terkait dengan pelaksanaan
kewenangannya).

Berkenaan dengan peraturan kebijakan ini, ada baiknya dikemu. kakan tulisan J.BJ.M. ten Berge berikut
ini.

“Onder een beleidsregel wordt verstaan een besluit, met inhoudende en verbindend voorschrift, dat
een algemene regel geeft omtrent de afweging van belangen, de vaststelling van feiten of de uitleg van
wettelijke voorschriften bij het gebruik van een bevoegdheid yan een bestuursorgaan. Ook de
beleidsregel kent de algemene regel als begripsbepalend element. Her grote verschil met het algemeen
verbindend voorschrift is, dat voor het tot stand brengen van deze algemene regel geen bevoegdheid
tot (verbindende) regelgeving bestond”

(Peraturan kebijakan diartikan suatu keputusan, dengan isi aturan tertulis yang mengikat umum, yang
memberikan aturan umum berkenaan dengan pertimbangan kepentingan, penetapan faktafakta atau
penjelasan peraturan tertulis dalam penggunaan suatu wewenang organ pemerintahan. Peraturan
kebijakan juga mengenal ketentuan umum sebagai elemen penentuan konsep. Perbedaan utama
peraturan kebijakan dengan peraturan perundang-undangan adalah bahwa pembuatan aturan umum -
peraturan kebijakan -ini tanpa kewenangan pembuatan peraturan perundang-undangan).

Commissie Wetgevingsvraagstukken merumuskan peraturan kebijakan sebagai, “Een algemene regel


omtrent de uitoefening ver ten bestuursbevoegdheid jegens de bestuurden (burgers, maar ock andere
bestuursorganen), op eigen gezag vastgesteld door de bevoegde bestuursinstantie zelf of door een
hierarchisch hogere bestuursinstantie” (suatu peraturan umum tentang pelaksanaan wewenang
pemerintahan terhadap warga negara (warga negara, juga organ pemerintahan lainnya) ditetapkan
berdasarkan kekuasaan sendiri oleh instansi pemerintahan yang berwenang atau instansi pemerintahan
yang secara hierarki lebih tinggi). Peraturan kebijakan secara esensial berkenaan dengan: pertama, een
bestuursorgaan met in casu uitsluitend de bevoegdheid tot het verrichten van bestuurshandelingen
(organ pemerintahan dalam hal ini semata-mata menggunakan kewenangan untuk menjalankan
tindakan-tindakan pemerintahan), kedua, een bestuursbevoegdheid die niet volstrekt gebonden is
(kewenangan pemerintahan itu tidak terikat secara tegas), ketiga, algemene regels, te hanteren bij de
uitoefening van de bevoegdheid (ketentuan umum, digunakan pada pelaksanaan kewenangan).”

b. Ciri-ciri Peraturan Kebijakan

Pada pembahasan sebelumnya telah disebutkan ciri-ciri peraturan perundang-undangan. Berikut ini
disajikan mengenai Ciri-ciri peraturan kebijakan, untuk kemudian diperbandingkan dengan peraturan
perundang-undangan guna mengetahui kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaannya. J.H. van
Kreveld menyebutkan ciri-ciri peraturan kebijakan sebagai berikut.'”

1) Deregelis direct noch indirect, gebasserd op geen bepaling in de formele wet of grondwet die
uitdrukkelijk een bevoegdheid tot regeling geeft, met andere woorden, de regel heeft geen
uitdrukkelijke grondslag in de wet. (peraturan itu langsung ataupun tidak langsung, tidak dida. sarkan
pada ketentuan undang-undang formal atau UUn yang memberikan kewenangan mengatur, dengan
kata lain peraturan itu tidak ditemukan dasarnya dalam undang-un. dang)

2) De regel is, hetzij ongeschreven en dan ontstaan door een reek, van individuele beslissingen degen
door de bestuursinstantie in de uitoefening van de vrije bestuurs bevoegdheid jegens individuele burger,
genomen: hetzij uitdrukkelijk vasgesteld door deze bestuursinstantie, (peraturan itu, tidak tertulis dan
muncul melalui serangkaian keputusan-keputusan instansi pemerintahan dalam melaksanakan
kewenangan pemerintahan yang bebas terhadap warga negara, atau ditetapkan secara tertulis oleh
instansi pemerintahan tersebut)

3) De regel geeft in algemene zin, dat wil zeggen zonder aanduiding van individuele burgers, aan hoe de
bestuursinstantie bij de uitoefening van de vrije bestuursbevoegdheid zal handelen jegens iedere
individuele burger die zich bevint de situatie die in de regel in omschreven. (peraturan itu memberikan
petunjuk secara umum, dengan kata lain tanpa pernyataan dari individu warga negara mengenai
bagaimana instansi pemerintahan melaksanakan kewenangan pemerintahannya yang bebas terhadap
setiap individu warga negara yang berada dalam situasi yang dirumuskan dalam peraturan itu)

Bagir Manan menyebutkan ciri-ciri peraturan kebijakan sebagai berikut.

1) Peraturan kebijakan bukan merupakan peraturan perundang: undangan.

2) Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan per undang-undangan tidak dapat
diberlakukan pada peraturan kebijakan.
3)Peraturan kebijakan tidak dapat diuji secara wetmatigheid, karena memang tidak ada dasar peraturan
perundang-undangan untuk membuat keputusan peraturan kebijakan tersebut.

4)Peraturan kebijakan dibuat berdasarkan freies Ermessen dan ketiadaan wewenang administrasi
bersangkutan membuat peraturan perundang-undangan.

5)Pengujian terhadap peraturan kebijakan lebih diserahkan pada doelmarigheid dan karena itu batu
ujinya adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik.

6)Dalam praktik diberi format dalam berbagai bentuk dan jenis aturan, yakni keputusan, instruksi, surat
edaran, pengumuman dan lain-lain, bahkan dapat dijumpai dalam bentuk peraturan.'?

Berdasarkan ciri-ciri tersebut, tampak ada beberapa persamaan antara peraturan perundang-undangan
dengan peraturan kebijakan. A. Hamid S. Attamimi menyebutkan unsur-unsur persamaannya sebagai
berikut.

1) Aturan yang berlaku umum

Peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan mempunyai adresat atau subjek norma dan
pengaturan perilaku atau objek norma yang sama, yaitu bersifat umum dan abstrak (algemene regeling
atau algemene regel).

2)Peraturan yang berlaku 'ke luar"

Peraturan perundang-undangan berlaku 'ke luar' dan ditujukan kepada masyarakat umum (naar buiten
werkend, tot een ieder gericht), demikian juga peraturan kebijakan berlaku "ke luar' dan ditujukan
kepada masyarakat umum yang bersangkutan.

3) Kewenangan pengaturan yang bersifat umum/publik

Peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan ditetapkan oleh lembaga/pejabat yang


mempunyai kewenangan umum/publik untuk itu.

Di samping terdapat kesamaan, ada pula beberapa perbedaan antara peraturan perundang-undangan
dengan peraturan kebijakan, A. Hamid S. Attamimi menyebutkan perbedaan-perbedaannya sebagai
berikut.

1) Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan fungsi negara

Pembentukan hukum melalui perundang-undangan dilakukan oleh rakyat sendiri, oleh wakil-wakil
rakyat, atau sekurangkurangnya dengan persetujuan wakil-wakil rakyat. Kekuasaan di bidang
perundang-undangan atau kekuasaan legislatif hanya diberikan kepada lembaga yang khusus untuk itu,
yaitu lembaga legislatif (sebagai organ kenegaraan, yang bertindak untuk dan atas nama negara, pen.).

2)Fungsi pembentukan peraturan kebijakan ada pada pemerintah dalam arti sempit (eksekutif)
Kewenangan pemerintahan dalam arti sempit atau ketataprajaan (kewenangan eksekutif) mengandung
juga kewenangan pembentukan peraturan-peraturan dalam rangka penyelenggaraan fungsinya. Oleh
karena itu, kewenangan pembentukan peraturan kebijakan yang bertujuan mengatur lebih lanjut
penyelenggaraan pemerintahan senantiasa dapat dilakukan oleh setiap lembaga pemerintah yang
mempunyai kewenangan penyelenggaraan pemerintah.

3) Materi muatan peraturan perundang-undangan berbeda dengan materi muatan peraturan kebijakan

Peraturan kebijakan mengandung materi muatan yang berhubungan dengan kewenangan membentuk
keputusan-keputusan dalam arti beschikkingen, kewenangan bertindak dalam bidang hukum privat, dan
kewenangan membuat rencana-rencana (planen) yang memang ada pada lembaga pemerintahan.
Sedangkan materi muatan peraturan perundang-undangan mengatur tata kehidupan masyarakat yang
jauh lebih mendasar, seperti mengadakan suruhan dan larangan untuk berbuat atau tidak berbuat, yang
apabila perlu disertai dengan sanksi pidana dan sanksi pemaksa.

4)Sanksi dalam peraturan perundang-undangan dan pada peraturan kebijakan

Sanksi pidana dan sanksi pemaksa yang jelas mengurangi dan membatasi hak-hak asasi warga negara
dan penduduk hanya dapat dituangkan dalam undang-undang yang pembentukannya harus dilakukan
dengan persetujuan rakyat atau dengan persetujuan wakil-wakilnya. Peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah lainnya hanya dapat mencantumkan sanksi pidana bagi pelanggaran ketentuannya
apabila hal itu secara tegas diatribusikan oleh undang-undang. Peraturan kebijakan hanya dapat
mencantumkan sanksi administratif bagi pelanggaran ketentuan-ketentuannya.

Mengenai kekuatan mengikat dari peraturan kebijakan ini di antara para pakar hukum tidak terdapat
kesamaan pendapat. Menurut Bagir Manan, peraturan kebijakan sebagai “peraturan yang bukan
peraturan perundang-undangan tidak langsung mengikat secara hukum, tetapi mengandung relevansi
hukum. Peraturan kebijakan pada dasarnya ditujukan kepada administrasi negara sendiri. Jadi yang
pertama-tama melaksanakan ketentuan yang termuat dalam peraturan kebijakan adalah badan atau
pejabat administrasi negara. Meskipun demikian, ketentuan tersebut secara tidak langsung akan dapat
mengenai masyarakat umum. Indroharto berpendapat, peraturan kebijakan itu bagi masyarakat
menimbulkan keterikatan secara tidak langsung.' Menurut Hamid Attamimi, peraturan kebijakan
mengikat secara umum, karena masyarakat yang terkena peraturan itu tidak dapat berbuat lain kecuali
mengikutinya. Menurut Marcus Lukman, kekuatan mengikat peraturan kebijakan ini tergantung
jenisnya. Peraturan kebijakan intra-legal dan kontra-legal yang pembentukannya berdasarkan
kebebasan mempertimbangkan intra-legal, menjadi bagian integral dari tata hierarki peraturan
perundang-undangan. Kekuatan mengikatnya juga berderajat peraturan perundang-undangan. Adapun
peraturan kebijakan ekstra-legal dan kontra-legal yang pembentukannya berdasarkan kebebasan
mempertimbang:kan ekstra-legal tidak memiliki kekuatan mengikat berderajat peraturan perundang-
undangan.'”

c. Fungsi dan Penormaan Peraturan Kebijakan


Sebenarnya penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam Suatu negara hukum itu bersendikan pada
peraturan perundang: undangan sesuai dengan prinsip yang dianut dalam suatu negara hukum yaitu
asas legalitas, akan tetapi karena peraturan perundang undangan sebagai hukum tertulis itu
mengandung kekurangan dan kelemahan, sebagaimana telah disebutkan di atas, karena itv keberadaan
peraturan kebijakan menempati posisi penting terutama dalam negara hukum modern. Menurut
Marcus Lukman, peraturan kebijakan dapat difungsikan secara tepatguna dan berdayaguna sebagai
berikut.

1) Tepatguna dan berdayaguna sebagai sarana pengaturan yang melengkapi, menyempurnakan, dan
mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada peraturan perundang-undangan,

2) Tepatguna dan berdayaguna sebagai sarana pengaturan bagi keadaan vacum peraturan perundang-
undangan,

3) Tepatguna dan berdayaguna sebagai sarana pengaturan bagi kepentingan-kepentingan yang belum
terakomodasi secara patut, layak, benar, dan adil dalam peraturan perundang-undangan:

4) Tepatguna dan berdayaguna sebagai sarana pengaturan untuk mengatasi kondisi peraturan
perundang-undangan yang sudah ketinggalan zaman,

5) Tepatguna dan berdayaguna bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi administrasi di bidang
pemerintahan dan pembangunan yang bersifat cepat berubah atau memerlukan pembaharuan sesuai
dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.

Sebagaimana pembuatan dan penerapan peraturan perundang-undangan, yaitu harus memerhatikan


beberapa persyaratan, pembuatan dan penerapan peraturan kebijakan juga harus memerhatikan
beberapa persyaratan. Menurut Indroharto, pembuatan peraturan kebijakan harus memerhatikan hal-
hal sebagai berikut.

1) la tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang diskresioner yang
dijabarkan itu:

2)la tidak boleh nyata-nyata bertentangan dengan nalar yang sehat:

3)la harus dipersiapkan dengan cermat: semua kepentingan, keadaan-keadaan serta alternatif-alternatif
yang ada perlu dipertimbangkan:

4)Isi dari kebijakan harus memberikan kejelasan yang cukup mengenai hak-hak dan kewajiban-
kewajiban dari warga yang terkena peraturan tersebut:

5)Tujuan-tujuan dan dasar-dasar pertimbangan mengenai kebijakan yang akan ditempuh harus jelas:

6)Ia harus memenuhi syarat kepastian hukum materiil, artinya hak-hak yang telah diperoleh dari warga
masyarakat yang terkena harus dihormati, kemudian juga harapan-harapan warga yang pantas telah
ditimbulkan jangan sampai diingkari.
Sedangkan dalam penerapan atau penggunaan peraturan kebijakan harus memerhatikan hal-hal sebagai
berikut.

1)Harus sesuai dan serasi dengan tujuan undang-undang yang memberikan beoordelingsvrijheid (ruang
kebebasan bertindak):

2)Serasi dengan asas-asas hukum umum yang berlaku, seperti:

a) asas perlakukan yang sama menurut hukum:

b) asas kepatutan dan kewajaran,

c) asas keseimbangan,

d) asas pemenuhan kebutuhan dan harapan, dan

e) asas kelayakan mempertimbangkan segala sesuatu yang relevan dengan kepentingan publik dan
warga masyarakat.

3) Serasi dan tepatguna dengan tujuan yang hendak dicapai.

Peraturan kebijakan sesuai dengan kemunculannya yakni bukan berasal dari kewenangan pembuatan
peraturan perundangundangan (wetgevende bevoegdheid), karena itu tidak dapat diuji dengan
mendasarkan pada aspek rechtmatigheid. Berdasarkan Hukum Administrasi Negara, pengujian
peraturan kebijakan adalah dari aspek doelmatigheid dengan menggunakan asas-asas umum
pemerintahan yang baik (AAUPB), khususnya asas larangan penyalahgunaan wewenang (detournement
de pouvoir) dan asas larangan sewenang-wenang (willekeur). Dengan kata lain, kebijakan pemerintah
akan dikategorikan sebagai kebijakan yang menyimpang jika di dalamnya ada unsur penyalahgunaan
wewenang dan unsur sewenang-wenang.

Ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang diuji dengan asas spesialitas (specialiteitsbeginsel). Asas
spesialitas ini mengandung arti bahwa wewenang itu diberikan kepada organ pemerintahan dengan
tujuan tertentu. Menyimpang dari tujuan diberikannya wewenang akan dianggap sebagai
penyalahgunaan wewenang. Adapun unsur sewenang-wenang diuji dengan asas rasionalitas atau
kepantasan (redelijk). Suatu peraturan kebijakan dikategorikan mengandung unsur willekeur jika
peraturan kebijakan itu nyatanyata tidak masuk akal atau tidak beralasan (kennelijk onredelijk).

E, Rencana-rencana

1, Pengertian Rencana

Ketika membahas pengertian pemerintahan pada bab pertama, disebutkan bahwa istilah pemerintahan
memiliki dua arti, yaitu fungsi pemerintahan atau kegiatan memerintah dan organisasi pemerintahan
atau kumpulan jabatan pemerintahan (complex van bestuursorgaan). Sebagai organisasi, pemerintahan
memiliki tujuan yang hendak dicapai, yang tidak berbeda dengan organisasi pada umumnya terutama
dalam hal kegiatan yang akan diimplementasi. kan dalam rangka mencapai tujuan, yakni dituangkan
dalam bentuk rencana-rencana. Dapat dikatakan bahwa rencana merupakan bagian tak terelakkan
dalam suatu organisasi sebagai tahap awal untuk pencapaian tujuan. Ada yang mengatakan bahwa
menjalankan (pemerintahan) adalah merencanakan (kegiatan pemerintahan), besturen is plannen,
besturen is vanouds plannen maken, vooruitzien, geweest,"(sejak dahulu, menjalankan (pemerintahan)
adalah membuat rencana-rencana, dengan pandangan jauh ke depan). Negara merupakan suatu
organisasi yang memiliki tujuan. Bagi negara Indonesia, tujuan negara itu tertuang dalam alinea
keempat Pembukaan UUD 1945,!4 yang mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan negara hukum
yang menganut konsepsi welfare state. Sebagai negara hukum yang bertujuan mewujudkan
kesejahteraan umum, setiap kegiatan di samping harus diorientasikan pada tujuan yang hendak dicapai
juga harus menjadikan hukum yang berlaku sebagai aturan kegiatan kenegaraan, pemerintahan, dan
kemasyarakatan. Salah satu fungsi hukum, menurut Sjachran Basah, adalah direktif, yaitu sebagai
pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan
kehidupan bernegara. ' Pemerintahan yang merupakan bagian dari organisasi negara menjalankan
kegiatannya dalam rangka mencapai tujuan negara, dengan menjadikan Hukum Administrasi Negara
sebagai aturan kegiatan pemerintahan dan memfungsikannya sebagai pengarah pencapaian tujuan,
yang sebelumnya dituangkan dalam bentuk rencana-rencana. Pernyataan demikian, sekaligus untuk
memberikan batasan bahwa rencana yang dimaksudkan di sini adalah rencana dalam perspektif Hukum
Administrasi Negara atau rencana yang dibuat oleh administrasi negara, sebagai salah satu instrumen
pemerintahan. Sebab pada kenyataannya, hampir semua organ kenegaraan dan pemerintahan
membuat rencanarencana dalam rangka menjalankan tugas dan kegiatannya.

Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat serta seiring dengan konsepsi negara
hukum modern (welfare state), yang memberikan kewajiban kepada administrasi negara untuk
merealisasi tujuan-tujuan negara. Tujuan kehidupan bernegara meliputi berbagai dimensi. Terhadap
berbagai dimensi ini, pemerintah membuat rencana-rencana." Rencana merupakan alat bagi
implementasi, dan implementasi hendaknya berdasar suatu rencana. Rencana didefinisikan sebagai
keseluruhan proses pemikiran dan penentuan secara matang daripada hal-hal yang akan dikerjakan di
masa yang akan datang dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Perencanaan
merupakan fungsi organik pertama dari administrasi dan manajemen. Alasannya ialah bahwa tanpa
adanya rencana, maka tidak ada dasar untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu dalam rangka
usaha pencapaian tujuan."

Berdasarkan Hukum Administrasi Negara, rencana merup - kan bagian dari tindakan hukum
pemerintahan (bestuurrecht deling), suatu tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat-
akibat hukum. “Het plan is een geheel van samenghangende maatregelen yan de overheid, waardoor de
verwerkelijking van een bepaalde geordende toestand wordt nagestreefd. Dit geheel is in de vorm yan
em admunistratiefrechtelijke rechtshandeling vervat, die als rechtshandeling administratiefrechtelijke
rechtsgevolgen doet ontstaat”(rencang adalah keseluruhan tindakan pemerintah yang
berkesinambungan, yang mengupayakan terwujudnya suatu keadaan tertentu yang teratur,
Keseluruhan itu disusun dalam format tindakan hukum administrasi, sebagai tindakan yang
menimbulkan akibat-akibat hukum). Meskipun demikian, tidak semua rencana memiliki akibat hukum
langsung bagi warga negara. Sebagai bagian dari tindakan hukum pemerintahan, yang pasti adalah
bahwa perencanaan itu memiliki relevansi hukum. Dalam ABAR disebutkan bahwa rencana
pengembangan universitas atau sekolah tinggi tidak memiliki kekuatan (hukum) yang mengikat bagi
organ-organ universitas atau sekolah tinggi (atau bagi subjek hukum lainnya), tetapi anggaran
universitas atau sekolah tinggi yang bertentangan dengan rencana pengembangannya tidak mungkin
dapat disetujui. Demikian juga, rencana pengembangan wilayah tidak memiliki akibat hukum (hegft geen
rechtsgevolgen), baik bagi organ-organ pemerintahan maupun bagi warga negara, tetapi rencana
peruntukan (bestemmingsplan) yang bertentangan dengan rencana pengembangan wilayah tidak
mungkin disetujui.

Menurut P de Haan dan kawan-kawan, “Het begrip overhads planning In ruime zin gedefinieerd als
systematische en gecoordineerd yoorbereidang, vaststelling en uatoevering van beleidsbeslissingen op
bas' yan cen programma yan doel nden en middelen”, (konsep perencanaan pemerintah dalam arti luas
didefinisikan sebagai persiapan dan pelaksanaan yang sistematis dan terkoordinasi mengenai
keputusankeputusan kebijakan yang didasarkan pada suatu rencana kerja yang terkait dengan tujuan-
tujuan dan cara-cara pelaksanaannya). Dalam pengertian lain, disebutkan bahwa rencana dalam
pemerintahan umum dirumuskan sebagai suatu gambaran mengenai berbagai macam tindakan yang
ditujukan untuk mencapai suatu tujuan yang ditentukan sebelumnya serta di mana masing-masing
bagian daripadanya itu saling berkaitan dan disesuaikan satu dengan lainnya.'

Perencanaan terbagi dalam tiga kategori, yaitu pertama, perencanaan informatif (informatieve
planning), yaitu rancangan estimasi mengenai perkembangan masyarakat (samenstel van prognoses
omtrent maatschappelijke ontwikkelingen) yang dituangkan dalam alternatif-alternatif kebijakan
tertentu. Rencana seperti ini tidak memiliki akibat hukum bagi warga negara: kedua, perencanaan
indikatif (indicatieve planning) adalah rencana-rencana yang memuat kebijakan-kebijakan yang akan
ditempuh dan mengindikasikan bahwa kebijakan itu akan dilaksanakan. Kebijakan ini masih harus
diterjemahkan ke dalam keputusan-keputusan operasional atau normatif. Perencanaan seperti ini
memiliki akibat hukum yang tidak langsung (indirecte rechtsgevolgen): ketiga, perencanaan operasional
atau normatif (operationele of normatieve planning) merupakan rencana-rencana yang terdiri dari
persiapan-persiapan, perjanjianperjanjian, dan keputusan-keputusan. Rencana tata ruang, rencana
pengembangan perkotaan, rencana pembebasan tanah, rencana peruntukan (bestemmingsplan),
rencana pemberian subsidi, dan lainlain adalah contoh-contoh dari rencana operasional atau normatif.
Perencanaan seperti ini memiliki akibat hukum langsung (directerechtsgevolgen) baik bagi pemerintah
atau administrasi negara mau. pun warga negara.

Di samping pembagian tersebut, perencanaan juga dibagi berdasarkan waktu, tempat, bidang hukum,
sifat, metode, dan Sarana. Berdasarkan waktu (naar tijd), perencanaan dibedakan dalam rencana jangka
panjang, menengah, dan pendek. Berdasarkan tempat (naar plaats), perencanaan terdapat pada tingkat
pemerintahan pusat, provinsi, dan kabupaten, ataupun rencana-rencana sektoral. Rencana tata ruang,
ekonomi, sosial, kesehatan, dan bidang-bidang lainnya adalah contoh-contoh perencanaan berdasarkan
bidang hukum (naar rechtsgebied). Perencanaan berdasarkan sifatnya (naar aard) terdiri dari
perencanaan sektoral (sectorplanning), perencanaan berdasarkan bidangnya (facetplanning), dan
perencanaan integral (integraleplanning). Berdasarkan metodenya, rencana dibedakan antara
perencanaan akhir dan perencanaan proses (eind (toestand)-planning en procesplanning). Berdasarkan
sarananya, pelaksanaan rencana memerlukan instrumen yuridis, finansial, dan organisasi.

2. Unsur-unsur Rencana

Perencanaan merupakan bagian inheren dalam setiap bentuk organisasi. Dengan kata lain, setiap
organisasi pasti memiliki tujuan yang hendak dicapai, yang sebelumnya dirumuskan dalam bentuk
rencana-rencana. Dalam perspektif Hukum Administrasi Negara, J.BJ.M. ten Berge mengemukakan
unsur-unsur rencana sebagai berikut:

a.Sehriftelijke (tertulis):

b.Besluit of handeling, inhoudende een keuze (keputusan atau tindakan), terkandung pilihan,

c. Dooreen bestuursorgaan (oleh organ pemerintahan),

d.Van op de toekomst gerichte (ditujukan untuk waktu yang akan datang):

e.Planenelementen (vaak te nemen besluiten of te verrichten handelingen), unsur-unsur rencana (sering


kali berbentuk tindakan-tindakan atau keputusan-keputusan),

f.Van een ongelijksoortig karakter (memiliki sifat yang tidak sejenis, beragam),

g.In een onderlinge (vaak programmatische) samenhang (keterkaitan, sering kali secara programatis):

h.Al dan niet voor een bepaalde duur (untuk jangka waktu tertentu).

A. Schriftelijke Presentatie (Gambaran Tertulis)

Dalam Hukum Administrasi Negara, rencana digunakan untuk mempresentasikan aspek-aspek kegiatan
masyarakat yang tidak sejenis atau beragam, kebijakan, keputusan-keputusan, dan sebagainya secara
berkesinambungan. Rencana terutama ditujukan untuk mengkomunikasikan satu kegiatan dengan
kegiatan lainnya, yang disajikan secara tertulis sehingga dapat dilihat atau dibaca. Rencana anggaran,
nota, rancangan peraturan, sketsa, dan sebagainya dapat dilihat sebagai gambaran tertulis dari rencana.

B. Besluit of Handeling (Keputusan atau Tindakan)

Penentuan suatu rencana dilukiskan sebagai suatu keputusan atau suatu tindakan. Rencana sebagai
suatu keputusan didasarkan pada undang-undang dan didasarkan pada wewenang yang diberikan untuk
itu, oleh karena itu susunan perencanaan itu biasanya berbentuk keputusan (besluit), sedangkan
rencana yang berupa informasi program kerja hanyalah berbentuk penyampaian informasi mengenai
perkembangan di masa mendatang, oleh karena itu rencana seperti ini dikategorikan sebagai suatu
tindakap pemerintahan.

C. Bestuurorgaan (Organ Pemerintahan)


Sebenarnya rencana itu dapat dibuat oleh pihak swasta, orga. nisasi swasta, organ kehakiman, pembuat
undang-undang, dan sebagainya. Bagi Hukum Administrasi Negara, perhatian hanya ditujukan pada
perencanaan yang dibuat oleh organ pemerintahan, Rencana merupakan suatu tindakan hukum
pemerintahan yang bersifat sepihak (eenzijdige) berdasarkan peraturan perundang. undangan tertentu,
yang memberikan kewenangan untuk itu.

d. Op de Toekomst Gericht, (Ditujukan pada Masa yang Akan Datang)

Dalam hal ini unsur rencana hanya dibicarakan pada kegiatan yang ditujukan pada masa yang akan
datang. Perencanaan dibuat berdasarkan pandangan masa depan dari tindakan pemerintah.
Perencanaan dijelaskan sebagai persiapan dan pelaksanaan yang sistematis dan terkoordinasi dari
keputusan-keputusan kebijakan yang didasarkan pada suatu rencana kerja dari tujuan-tujuan dan cara-
cara pelaksanaannya.

e. Planelemanten (£lemen-elemen Rencana)

Pada suatu rencana, sesuai dengan kategori rencana seperti rencana informatif indikatif, atau
operasional, biasanya di dalamnya terkandung informasi, rencana kebijakan yang akan ditempuh
terutama dalam bentuk peraturan kebijakan atau persetujuan kebijakan, pedoman-pedoman, peraturan
umum, keputusan konkret yang berlaku umum, keputusan-keputusan, dan perjanjianperjanjian.

f. Ongelijksoortig Karakter (Memiliki Sifat yang Tidak Sejenis, Beragam)

Berdasarkan ketentuan peraturan umum diatur mengenai peristiwa-peristiwa atau kejadian yang sama
dengan akibat hukum yang sama (setiap orang yang telah memenuhi persyaratan tertentu, akan
mendapatkan akibat hukum tertentu), sedangkan pada rencana dihimpun berbagai peristiwa atau
keadaan yang tidak sama.

g.Samenhang (Keterkaitan)

Sifat yang paling banyak dari rencana adalah keterkaitan. Rencana-rencana menghimpun antara
berbagai keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan yang tidak sejenis, misalnya pada penataan ruang
bagi masyarakat, yang di dalamnya terhimpun berbagai pembuatan keputusan dan tindakan-tindakan
yang berkenaan dengan tata ruang. Keterkaitan ini terutama berkenaan dengan penataan ruang
bersama, keterpaduan berbagai komponen, persesuaian tujuan, dan sebagainya.

h. Al dan Niet voor een Bepaalde Duur (Untuk Waktu Tertentu)

Kebanyakan rencana memiliki waktu terbatas. Biasanya ditentukan berdasarkan periode tertentu seperti
rencana tahunan, lima tahunan, dan sebagainya. Jarang ada rencana yang tidak memiliki batasan waktu.
Kalaupun peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu, organ pemerintahan
berwenang Untuk menentukan suatu rencana berdasarkan periode tertentu.

3.Karakter Hukum Rencana


H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt menyebutkan bahwa perencanaan adalah bentuk tertentu mengenai
pembentukan kebijakan, dinyatakan dalam bentuk hubungan timbal balik antara kebijakan dengan
hukum. Dengan kata Jain, perencanaan adalah proses kebijakan. Proses perencanaan dan perwujudan
rencana merupakan bagian dari hukum, dan oleh karena itu tunduk pada norma-norma hukum.Di
kalangan sarjana tidak terdapat kesamaan pendapat tentang sifat hukum (rechtskarakter) rencana,
Menurut Indroharto, dalam literatur mula-mula cenderung adanya dua pendapat yang berbeda, yang
pertama mengatakan bahwa rencana itu merupakan suatu algemeen verbinde regeling (peraturan
umum yang bersifat mengikat), dan yang lain mengatakan bahwa rencana itu suatu beschikking.
Munculnya perbedaan pendapat itu disebabkan oleh kenyataan bahwa perencanaan dibuat oleh hampir
semua organisasi atau lembaga yang terdapat dalam suatu negara, tidak hanya dibuat oleh administrasi
negara, yang dengan sendirinya melahirkan bentuk hukum yang beragam. Di samping itu, ada
perencanaan yang berkenaan langsung dengan tindakan organ pemerintahan terhadap warga negara
atau memiliki akibat hukum bagi warga negara dan ada pula perencanaan yang hanya mengatur
hubungan antarorgan pemerintahan. Di negara Indonesia, rencana itu ada yang berbentuk undang-
undang (seperti APBN), Keputusan Presiden (seperti Repelita), Tap MPR (seperti GBHN), Peraturan
Daerah (seperti APBD, Rencana Pembangunan Daerah), dan lain sebagainya. FEA.M. Stroink dan J.G.
Steenbeek mengemukakan empat pendapat tentang sifat hukum rencana, yaitu:

A.Het plan is een beschikking of bundel van beschikkingen: ( rencana adalah keputusan atau kumpulan
berbagai keputusan)

b, Hetplan is deels (bundel van) beschikking (en), deels regeling: de kaart met toelichting is de bundel
beschikkingen: de gebruiksvoorschriften hebben het karakter van de regeling: (rencana adalah sebagian
dari kumpulan keputusan-keputusan, sebagian peraturan, peta dengan penjelasan adalah kumpulan
keputusan-keputusan, penggunaan peraturan memiliki sifat peraturan)

c.Hetplan is een rechtsfiguur sui generiss (rencana adalah bentuk hukum tersendiri)

d. Het plan is een regeling, (rencana adalah peraturan perundangundangan)

Dengan merujuk pada pengertian peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan, dan keputusan,
sebagaimana telah disebutkan di atas, serta dengan membandingkan bentuk-bentuk hukum rencana
pada negara Indonesia, tampak bahwa rencana memiliki sifat hukum yang beragam. Keragaman sifat
atau karakter hukum dari rencana ini akan dapat diketahui dengan melihat pada organ yang membuat
rencana, isi rencana, dan sasaran dari rencana tersebut. Dengan cara demikian, akan diketahui pula
akibat-akibat hukum (rechtsgevolgen) dan relevansi hukum yang muncul dari rencana tersebut.

Di atas telah disebutkan bahwa rencana yang dimaksudkan di sini hanyalah rencana dalam perspektif
Hukum Administrasi Negara atau rencana yang dibuat oleh administrasi negara. Dalam perspektif
Hukum Administrasi Negara, rencana merupakan salah satu instrumen pemerintahan, yang sifat
hukumnya berada di antara peraturan kebijakan, peraturan perundang-undangan, dan keputusan.
Dengan demikian, perencanaan memiliki bentuk . tersendiri (sui generis), patuh pada peraturan-
peraturannya sendiri serta mempunyai tujuan sendiri, yang berbeda dengan Peraturan kebijakan,
peraturan perundang-undangan, dan keputusan. Rencana merupakan himpunan kebijakan yang akan
ditempuh pada masa yang akan datang, tetapi ia bukan peraturan kebijakan karena kewenangan untuk
membuatnya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan atau didasarkan pada kewenangan
pemerintahan yang jelas. Rencana memiliki sifat norma yang wmum-abstrak, namun ia bukan peraturan
perundang-undangan karena tidak semua rencana itu mengikat umum dan tidak selalu mempunyai
akibat hukum langsung. Rencana merupakan hasil penetapan oleh organ pemerintahan tertentu yang
dituangkan dalam bentuk keputusan, tetapi ia bukan beschikking karena di dalamnya memuat
pengaturan yang bersifat umum.

F. Perizinan

1. Pengertian Perizinan

Tidaklah mudah memberikan definisi apa yang dimaksud dengan izin, demikian menurut Sjachran Basah.
Apa yang dikatakan Sjachran agaknya sama dengan yang berlaku di negeri Belanda, seperti dikemukakan
van der Pot, “Het is uiterst moelijk voor begrip vergunning een definitie te vinden”, (Sangat sukar
membuat definisi untuk menyatakan pengertian izin itu). Hal ini disebabkan karena antara para pakar
tidak terdapat persesuaian paham, masing-masing melihat dari sisi yang berlainan terhadap objek yang
didefinisikannya. Sukar memberikan definisi bukan berarti tidak terdapat definisi, bahkan ditemukan
sejumlah definisi yang beragam. Sebelum menyampaikan beberapa definisi izin dari par pakar, terlebih
dahulu dikemukakan beberapa istilah lain yang sedikit banyak memiliki kesejajaran dengan izin yaitu
dispensasi, konsesi, dan lisensi. Dispensasi ialah keputusan administrasi negarayang membebaskan
suatu perbuatan dari kekuasaan peraturan yang menolak perbuatan tersebut.WF. Prins mengatakan
bahwa dispensasi adalah tindakan pemerintahan yang menyebabkan suatu peraturan undang-undang
menjadi tidak berlaku bagi sesuatu hal yang istimewa (relaxatio legis). Menurut Ateng Syafrudin,
dispensi bertujuan untuk menembus rintangan yang sebetulnya secara normal tidak diizinkan, jadi
dispensasi berarti menyisihkan pelarangan dalam hal yang khusus (relaxatie legis). Lisensi adalah suatu
izin yang memberikan hak untuk menyelenggarakan suatu perusahaan. Lisensi digunakan untuk
menyatakan suatu izin yang memperkenankan seseorang untuk menjalankan suatu perusahaan dengan
izin khusus atau istimewa. Sedangkan konsesi merupakan suatu izin berhubungan dengan pekerjaan
yang besar di mana kepentingan umum terlibat erat sekali sehingga sebenarnya pekerjaan itu menjadi
tugas dari pemerintah, tetapi oleh pemerintah diberikan hak penyelenggaraannya kepada konsesionaris
(pemegang izin) yang bukan pejabat pemerintah. Bentuknya dapat berupa kontraktual atau kombinasi
antara lisensi dengan pemberian status tertentu dengan hak dan kewajiban serta syarat-syarat
tertentu.! Manurut H.D. van Wijk, “De concessiefiguur wordt vooral gebruikt voor activiteiten van
openbaar belang die de overheid niet zelf verricht maar overlaat aan particuliere ondernemingen” 
(bentuk konsesi terutama digunakan untuk berbagai aktivitas yang menyangkut kepentingan umum,
yang tidak mampu dijalankan sendiri oleh pemerintah, lalu diserahkan kepada perusahaan-perusahaan
swasta). Mengenai konsesi ini, E. Utrecht mengatakan bahwa kadang-kadang pembuat peraturan
beranggapan bahwa suatu perbuatan yang penting bagi umum, sebaik-baiknya dapat diadakan oleh
suatu subjek hukum partikelir, tetapi dengan turut campur dari pihak pemerintah, Suatu keputusan
administrasi negara yang memperkenankan yang bersangkutan mengadakan perbuatan tersebut,
memuat suatu konsesi (concesie).
Sesudah mengetahui pengertian dispensasi, konsesi, dan lisensi, di bawah ini akan disampaikan
beberapa definisi izin. Di dalam Kamus Hukum, izin (vergunning) dijelaskan sebagai:
“Overheidstoestemming door wet of verordening vereist gesteld voor tal van handeling waarop in het
algemeen belang speciaal toezicht veresst is, maar die, in het algemeen, niet als onwenselijk worden
beschouwd”» (perkenan/izin dari pemerintah berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah
yang disyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang
pada umumnya tidaklah dianggap sebagai hal-hal yang sama sekali tidak dikehendaki). Ateng Syafrudin
mengatakan bahwa izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan, hal yang dilarang menjadi
boleh,'? atau “Als opheffing van een algemene verbodsregel in het conrete geval”,(sebagai peniadaan
ketentuan larangan umum dalam peristiwa konkret). Menurut Sjachran Basah, izin adalah perbuatan
hukum administrasi negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkreto
berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang
undangan.E. Utrecht, mengatakan bahwa bilamana pembuatperaturan umumnya tidak melarang suatu
perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk
masing-masing hal konkret, maka keputusan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan
tersebut bersifat suatu izin (vergunning).Bagir Manan menyebutkan bahwa izin dalam arti luas berarti
suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan
melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang. N.M. Spelt dan J.B.J.M ten
Berge membagi pengertian izin dalam arti luas dan sempit, yaitu sebagai berikut.

“Izin adalah salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam Hukum Administrasi. Pemerintah
menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan tingkah laku para warga.

Izin ialah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undangundang atau peraturan pemerintah
untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan.

Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan
tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini menyangkut perkenan bagi suatu tindakan
yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus atasnya. Ini adalah paparan luas dari
pengertian izin.

Izin (dalam arti sempit) adalah pengikatan-pengikatan pada suatu peraturan izin pada umumnya
didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk
menghalangi keadaan-keadaan yang buruk. Tujuannya ialah mengatur tindakan-tindakan yang oleh
pembuat undangUndang tidak seluruhnya dianggap tercela, namun di mana ia menginginkan dapat
melakukan pengawasan sekadarnya.

Yang pokok pada izin (dalam arti sempit) ialah bahwa suatu tindakan dilarang, terkecuali diperkenankan,
dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang disangkutkan dengan perkenan dapat dengan teliti
diberikan batas-batas tertentu bagi tiap kasus, Jadi persoalannya bukanlah untuk hanya memberi
perkenan dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus, tetapi agar tindakantindakan yang
diperkenankan dilakukan dengan cara tertentu (dicantumkan dalam ketentuan-ketentuan)”.
Jika dibandingkan secara sekilas pengertian izin dengan konsesi itu tidak berbeda. Masing-masing berisi
perkenan bagi seseorang untuk melakukan suatu perbuatan atau pekerjaan tertentu. Dalam pengertian
sehari-hari kedua istilah itu digunakan secara sama, seperti disebutkan M.M. van Praag, “De termen
vergunning en concessie beide gebezigd voor een en dezelfde juridieke figuur, ...de houder der
vergunning wordt concessionaris genoemd”  (pengertian izin dan konsesi keduanya digunakan untuk
suatu bentuk hukum yang sama, ... pemegang izin disebut juga konsesionaris). Menurut FE. Utrecht,
perbedaan antara izin dengan konsesi itu suatu perbedaan nisbi (relatif) saja. Pada hakikatnya antara
izin dengan konsesi jtu tidak ada suatu perbedaan yuridis. Sebagai contoh, izin untuk mendapatkan batu
bara menurut suatu rencana yang sederhana saja dan akan diadakan atas ongkos sendiri, tidak dapat
disebut konsesi. Tetapi izin yang diberikan menurut undang-undang tambang Indonesia untuk
mendapatkan batu bara adalah suatu konsesi, oleh karena izin tersebut mengenai suatu pekerjaan yang
besar dan pekerjaan yang besar itu akan membawa manfaat bagi umum. Jadi konsesi itu suatu izin pula,
tetapi izin mengenai hal hal yang penting bagi umum. Meskipun antara izin dan konses ini dianggap
sama, dengan perbedaan yang rekatif, akan tetapiterdapat perbedaan karakter hukum. Izin adalah
sebagai perbuatan hukum bersegi satu yang dilakukan oleh pemerintah, sedangkan konsesi adalah suatu
perbuatan hukum bersegi dua, yakni suatu perjanjian yang diadakan antara yang memberi konsesi
dengan yang diberi konsesi atau penerima konsesi. Dalam hal izin tidak mungkin diadakan perjanjian,
karena tidak mungkin diadakan suatu persesuaian kehendak. Dalam hal konsesi biasanya diadakan suatu
perjanjian, yakni perjanjian yang mempunyai sifat sendiri dan yang tidak diatur oleh seluruh peraturan-
peraturan KUH Perdata mengenai hukum perjanjian. Menurut M.M. van Praag, izin adalah suatu
tindakan hukum sepihak (eenzijdige handeling, een overheidshandeling), sedangkan konsesi adalah
kombinasi dari tindakan dua pihak yang memiliki sifat kontraktual dengan izin, yang dalam pembahasan
hukum kita namakan perjanjian. Ketika pemerintah melakukan tindakan hukum yang berkenaan dengan
izin dan konsesi, pemerintah menampilkan diri dalam dua fungsi yaitu sebagai badan hukum umum
pada saat melakukan konsesi, dan sebagai organ pemerintah ketika mengeluarkan izin.

2. Unsur-unsur Perizinan

Berdasarkan pemaparan pendapat pada pakar tersebut, dapat disebutkan bahwa izin adalah perbuatan
pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk diterapkan pada peristiwa
konkret menurut prosedur dan persyaratan tertentu. Dari pengertian ini ada beberapa unsur dalam
perizinan, yaitu: pertama, instrumen yuridis: kedua, peraturan perundang-undangan, ketiga, Organ
pemerintah: keempat, peristiwa konkret: kelima, prosedur dan persyaratan.

a. Instrumen Yuridis

Dalam negara hukum modern tugas, kewenangan pemerintah tidak hanya sekadar menjaga ketertiban
dan keamanan (rust orde), tetapi juga mengupayakan kesejahteraan umum (bestuurszorg), Tugas dan
kewenangan pemerintah untuk menjaga ketertiban dan keamanan merupakan tugas klasik yang sampai
kini masih tetap dipertahankan. Dalam rangka melaksanakan tugas ini kepada pemerintah diberikan
wewenang dalam bidang pengaturan, yang dari fungsi pengaturan ini muncul beberapa instrumen
yuridis untuk menghadapi peristiwa individual dan konkret yaitu dalam bentuk keputusan. Sesuai
dengan sifatnya, individual dan konkret, keputusan ini merupakan ujung tombak dari instrumen hukum
dalam penyelenggaraan pemerintahan, atau sebagai norma penutup dalam rangkaian norma hukum.
Salah satu wujud dari keputusan ini adalah izin. Berdasarkan jenis-jenis keputusan, izin termasuk sebagai
keputusan yang bersifat konstitutif, yakni keputusan yang menimbulkan hak baru yang sebelumnya
tidak dimiliki oleh seseorang yang namanya tercantum dalam keputusan itu, atau “beschikkingen welke
iets toestaan wat tevoren niet geoorloofd was" (keputusan yang memperkenankan sesuatu yang
sebelumnya tidak dibolehkan). Dengan demikian, izin merupakan instrumen yuridis dalam bentuk
keputusan yang bersifat konstitutif dan yang digunakan oleh pemerintah untuk menghadapi atau
menetapka peristiwa konkret. Sebagai keputusan, izin itu dibuat dengan ketentuan dan persyaratan
yang berlaku bagi keputusan pada umumnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

b. Peraturan Perundang-undangan

Salah satu prinsip dalam negara hukum adalah wetmatigheid van bestuur atau pemerintahan
berdasarkan peraturan perundangundangan. Dengan kata lain, setiap tindakan hukum pemerintah baik
dalam menjalankan fungsi pengaturan maupun fungsi pelayanan harus didasarkan pada wewenang yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Om positief recht ten kunnen vasstellen
en handhaven is een bevoegdheid noodzakelijk. Zonder bevoegdheid kunnen geen juridisch concrete
besluiten genomen worden” (untuk dapat melaksanakan dan menegakkan ketentuan hukum positif
perlu wewenang. Tanpa wewenang tidak dapat dibuat keputusan yuridis yang bersifat konkret).

Pembuatan dan penerbitan keputusan izin merupakan tindakan hukum pemerintahan. Sebagai tindakan
hukum, harus ada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan atau harus
berdasarkan pada asas legalitas. Tanpa dasar wewenang, tindakan hukum itu menjadi tidak sah. Oleh
karena itu, dalam hal membuat dan menerbitkan izin haruslah didasarkan pada wewenang yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena tanpa adanya dasar wewenang
tersebut keputusan izin tersebut menjadi tidak sah.

Pada umumnya pemerintah memperoleh wewenang untuk mengeluarkan izin itu ditentukan secara
tegas dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dari perizinan tersebut. Akan tetapi
dalam penerapannya, menurut Marcus Lukman, kewenangan pemerintah dalam bidang izin itu bersifat
diskresionare power atau berupa kewenangan bebas, dalam arti kepada pemerintah diberi kewenangan
untuk mempertimbangkan atas dasar inisiatif sendiri hal-hal ang berkaitan dengan izin, misalnya
pertimbangan tentang:

1) Kondisi-kondisi apa yang memungkinkan suatu izin dapar diberikan kepada pemohon.

2) Bagaimana mempertimbangkan kondisi-kondisi tersebut.

3) Konsekuensi yuridis yang mungkin timbul akibat pemberia atau penolakan izin dikaitkan dengan
pembatasan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4) Prosedur apa yang harus diikuti atau dipersiapkan pada saat dan sesudah keputusan diberikan baik
penerimaan maupun penolakan pemberian izin

C. Organ Pemerintah
Organ pemerintah adalah organ yang menjalankan urusan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun
di tingkat daerah. Menurut Sjachran Basah, dari penelusuran pelbagai ketentuan penyelenggaraan
pemerintahan dapat diketahui, bahwa mulai dari administrasi negara tertinggi (Presiden) sampai dengan
administrasi negara terendah (Lurah) berwenang memberikan izin. Ini berarti terdapat aneka ragam
administrasi negara (termasuk instansinya) pemberi izin, yang didasarkan pada jabatan yang dijabatnya
baik di tingkat pusat maupun daerah."

Terlepas dari beragamnya organ pemerintahan atau administrasi negara yang mengeluarkan izin, yang
pasti adalah bahwa izin hanya boleh dikeluarkan oleh organ pemerintahan. Menurut NM Spelt dan
J.BJ.M. ten Berge, keputusan yang memberikan izin harus diambil oleh organ yang berwenang, dan
hampir selalu yang terkait adalah organ-organ pemerintahan atau administrasi negara. Dalam hal ini
organ-organ pada tingkat penguasa nasional (seorang menteri) atau tingkat penguasa-penguasa
daerah.!

Beragamnya organ pemerintahan yang berwenang memberikan izin, dapat menyebabkan tujuan dari
kegiatan yang membutuhkan izin tertentu menjadi terhambat, bahkan tidak mencapai sasaran yang
hendak dicapai. Artinya campur tangan pemerintah dalam bentuk regulasi perizinan dapat menimbulkan
kejenuhan bagi pelaku kegiatan yang membutuhkan izin, apalagi bagi kegiatan usaha yang menghendaki
kecepatan pelayanan dan menuntut efisiensi. Menurut Soehardjo, pada tingkat tertentu regulasi ini
menimbulkan kejenuhan dan timbul gagasan yang mendorong untuk menyederhanakan pengaturan,
prosedur, dan birokrasi. Keputusan-keputusan pejabat sering membutuhkan waktu lama, misalnya
pengeluaran izin memakan waktu berbulan-bulan, sementara dunia usaha perlu berjalan cepat, dan
terlalu banyaknya mata rantai dalam prosedur perizinan banyak membuang waktu dan biaya.'8 Oleh
karena itu, biasanya dalam perizinan dilakukan deregulasi, yang mengandung arti peniadaan berbagai
peraturan perundang-undangan yang dipandang berlebihan. Karena peraturan perundang-undangan
yang berlebihan itu pada umumnya berkenaan dengan campur tangan pemerintah atau negara, maka
deregulasi itu pada dasarnya bermakna mengurangi campur tangan pemerintah atau negara dalam
kegiatan kemasyarakatan tertentu terutama di bidang ekonomi, sehingga deregulasi itu pada ujungnya
bermakna debirokratisasi. Meskipun deregulasi dan debirokratisasi ini dimungkinkan dalam bidang
perizinan dan hampir selalu dipraktikkan dalam kegiatan pemerintahan, namum dalam suatu negara
hukum tentu saja harus ada batas-batas atau rambu-rambu yang ditentukan oleh hukum. Secara umum
dapat dikatakan bahwa deregulasi dan debiro. kratisasi merupakan kebijakan yang diambil oleh
pemerintah, yang umumnya diwujudkan dalam bentuk peraturan kebijakan, oleh karena itu, deregulasi
dan debirokratisasi itu harus ada batas-batay yang terdapat dalam hukum tertulis dan tidak tertulis.
Deregulasi dan debirokratisasi dalam perizinan harus memerhatikan hal-hal berikut.

1) Jangan sampai menghilangkan esensi dari sistem perizinan itu sendiri, terutama dalam fungsinya
sebagai pengarah kegiatan tertentu.

2) Deregulasi hanya diterapkan pada hal-hal yang bersifat teknis administratif dan finansial.

3) Deregulasi dan debirokratisasi tidak menghilangkan hal-hal prinsip dalam peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar perizinan.
4) Deregulasi dan debirokratisasi harus memerhatikan asas asas umum pemerintahan yang baik
(algemene beginselen yan behoorlijk bestuur).

d. Peristiwa Konkret

Disebutkan bahwa izin merupakan instrumen yuridis yang berbentuk keputusan, yang digunakan oleh
pemerintah dalam menghadapi peristiwa konkret dan individual. Peristiwa konkret artinya peristiwa
yang terjadi pada waktu tertentu, orang tertentu, tempat tertentu, dan fakta hukum tertentu. Karena
peristiwa konkret ini beragam, sejalan dengan keragaman perkembangan masyarakat, maka izin pun
memiliki berbagai keragaman. Izin yang jenisnya beragam itu dibuat dalam proses yang cara prosedunya
tergantung dari kewenangan pemberi izin, macam izin dan strukur' Organisasi instansi yang
menerbitkannya. Sekedar contoh dinas Pendapatan Daerah menerbitkan 9 macam jenis izin, dinas
kesehatan Hewan dan Peternakan menerbitkan 5 jenis izin, Bagian Perekonomian menerbitkan 4 jenis
izin, Bagian Kesejahteraan Rakyat menerbitkan 4 macam jenis izin, dan sebagainya.Berbagai jenis izin
dan instansi pemberi izin dapat saja berubah seiring dengan perubahan kebijakan peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan izin tersebut. Meskipun demikian, izin akan tetap ada dan digunakan
dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kemasyarakatan.

e. Prosedur dan Persyaratan

Pada umumnya permohonan izin harus menempuh prosedur tertentu yang ditentukan oleh pemerintah,
selaku pemberi izin. Di samping harus menempuh prosedur tertentu, pemohon izin juga harus
memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah atau
pemberi izin. Prosedur dan persyaratan perizinan itu berbeda-beda tergantung jenis izin, tujuan izin, dan
instansi pemberi izin.

Menurut Soehino, syarat-syarat dalam izin itu bersifat konstitutif dan kondisional. Bersifat konstitutif,
karena ditentukan suatu perbuatan atau tingkah laku tertentu yang harus (terlebih dahulu) dipenuhi,
artinya dalam hal pemberian izin itu ditentukan suatu perbuatan konkret, dan bila tidak dipenuhi dapat
dikenai sanksi. Bersifat kondisional, karena penilaian tersebut baru ada dan dapat dilihat serta dapat
dinilai setelah perbuatan atau tingkah laku yang disyaratkan itu terjadi. Penentuan prosedur dan
persyaratan perizinan ini dilakukan secara sepihak oleh pemerintah, meskipun demikian, pemerintah
tidak boleh membuat atau menentukan prosedur dan persyaratan menurut kehendaknya sendiri secari
arbitrer (sewenang-wenang), tetapi harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar dari perizinan tersebut Dengan kata lain tidak boleh menentukan syarat yang melampawi batas
tujuan yang hendak dicapai oleh peraturan hukum yang menjadi dasar perizinan bersangkutan.

3. Fungsi dan Tujuan Perizinan

Izin sebagai instrumen yuridis yang digunakan oleh peme. rintah untuk memengaruhi para warga agar
mau mengikuti cara yang dianjurkannya guna mencapai suatu tujuan konkret.'“ Sebagai Suatu
instrumen, izin berfungsi selaku ujung tombak instrumen hukum sebagai pengarah, perekayasa, dan
perancang masyarakat adil dan makmur itu dijelmakan. Hal ini berarti, lewat izin dapat diketahui
bagaimana gambaran masyarakat adil dan makmur itu terwujud. Ini berarti persyaratan-persyaratan
yang terkandung dalam izin merupakan pengendali dalam memfungsikan izin iw sendiri.'! Apabila
dikatakan bahwa izin itu dapat difungsikan sebagai instrumen pengendali dan instrumen untuk
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, sebagaimana yang diamanatkan dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945, maka penataan da9 pengaturan izin ini sudah semestinya harus dilakukan
dengas sebaik-baiknya. Menurut Prajudi Atmosudirdjo,'8 bahwa berkenaa5 dengan fungsi-fungsi hukum
modern, izin dapat diletakkan dalan fungsi menertibkan masyarakat. Adapun mengenai tujuan
perizinan, hal ini tergantung pada kenyataan konkret yang dihadapi. Keragaman peristiwa konkret
menyebabkan keragaman pula dari tujuan izin ini, yang secara umum dapat disebutkan sebagai berikut.

a.Keinginan mengarahkan (mengendalikan “sturen”) aktivitasaktivitas tertentu (misalnya izin bangunan).


B.Mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan).

C. Keinginan melindungi objek-objek tertentu (izin terbang, izin membongkar pada monumen-
monumen).

d. Hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghuni di daerah padat penduduk).

e. Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas (izin berdasarkan “drank en


horecawet”, di mana pengurus harus memenuhi syarat-syarat tertentu).

4. Bentuk dan Isi Izin

Sesuai dengan sifatnya, yang merupakan bagian dari keputusan, izin selalu dibuat dalam bentuk tertulis.
Sebagai keputusan tertulis, secara umum izin memuat hal-hal sebagai berikur.

a. Organ yang Berwenang

Dalam izin dinyatakan siapa yang memberikannya, biasanya dari kepala surat dan penandatanganan izin
akan nyata organ mana yang memberikan izin. Pada umumnya pembuat aturan akan menunjuk organ
berwenang dalam sistem perizinan, organ yang paling berbekal mengenai materi dan tugas
bersangkutan, dan hampir selalu yang terkait adalah organ pemerintahan. Karena itu, bila dalam suatu
undang-undang tidak dinyatakan dengan tegas Organ mana dari lapisan pemerintahan tertentu yang
berwenang, tetapi misalnya hanya dinyatakan secara umum bahwa “haminte" yang berwenang, maka
dapat diduga bahwa yang dimaksud ialah organ pemerintahan haminte, yakni wali haminte dengan para
anggota pengurus harian. Namun, untuk menghindari keraguan dj dalam kebanyakan undang-undang
pada permulaannya dicantumkan ketentuan definisi.

b. Yang Dialamatkan

Izin ditujukan pada pihak yang berkepentingan. Biasanya izin lahir setelah yang berkepentingan
mengajukan permohonan untuk itu, Karena itu, keputusan yang memuat izin akan dialamatkan pula
kepada pihak yang memohon izin. Ini biasanya dialami orang atau badan hukum. Dalam hal-hal tertentu,
keputusan tentang izin juga penting bagi pihak yang berkepentingan. Artinya pihak pemerintah selaku
pemberi izin harus pula mempertimbangkan kepentingan pihak ketiga yang mungkin memiliki
keterkaitan dengan penggunaan izin tersebut.
C. Diktum

Keputusan yang memuat izin, demi alasan kepastian hukum, harus memuat uraian sejelas mungkin
untuk apa izin itu diberikan. Bagian keputusan ini, di mana akibat-akibat hukum yang ditimbulkan oleh
keputusan, dinamakan diktum, yang merupakan inti dari keputusan. Setidak-tidaknya diktum ini terdiri
atas keputusan pasti, yang memuat hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dituju oleh keputusan
tersebut.

d. Ketentuan-ketentuan, Pembatasan-pembatasan, dan Syarat syarat

Sebagaimana kebanyakan keputusan, di dalamnya mengan: dung ketentuan, pembatasan, dan syarat-
syarat (voorschriftem beperkingen, en voorwaarden), demikian pula dengan keputusan yang berisi izin
ini. Ketentuan-ketentuan ialah kewajiban-kewajiban yang dapat dikaitkan pada keputusan yang
menguntungkan. Ketentuan-ketentuan pada izin banyak terdapat dalam praktik Hukum Administrasi
Negara. Misalnya dalam undang-undang gangguan ditunjuk ketentuan-ketentuan seperti berikut ini.

1) Ketentuan-ketentuan tujuan (dengan maksud mewujudkan tujuan-tujuan tertentu, seperti mencegah


pengotoran tanah).

2) Ketentuan-ketentuan sarana (kewajiban menggunakan sarana tertentu). '

3) Ketentuan-ketentuan instruksi (kewajiban bagi pemegang izin untuk memberi instruksi-instruksi


tertulis kepada personel dalam lembaga).

4) Ketentuan-ketentuan ukur dan pendaftaran (pengukuran untuk menilai kadar bahaya atau gangguan).

Dalam hal ketentuan-ketentuan tidak dipatuhi, terdapat pelanggaran izin. Tentang sanksi yang diberikan
atasannya, pemerintahan harus memutuskannya tersendiri. Dalam pembuatan keputusan, termasuk
keputusan berisi izin, dimasukkan pembatasan-pembatasan. Pembatasan-pembatasan dalam izin
memberi kemungkinan untuk secara praktis melingkari lebih lanjut tindakan yang dibolehkan.
Pembatasan-pembatasan dibentuk dengan menunjuk batas-batas dalam waktu, tempat atau dengan
cara lain.Sebagai contoh, pada izin lingkungan dapat dimuat pembatasan izin untuk periode tertentu,
misalnya 5 tahun. Di samping itu, dalam keputusan dimuat syarat-syarat. Dengan menetapkan syarat-
syarat, akibat-akibat hukum tertentu digantungkan pada timbulnya suatu peristiwa di kemudian hari
yang belum pasti. Dalam keputusan yang berisi izin dapat dimuat syarat penghapusan dan syarat
penangguhan.

e, Pemberian Alasan

Pemberian alasan dapat memuat hal-hal seperti penyebutan ketentuan undang-undang, pertimbangan-
pertimbangan hukum, dan penetapan fakta. Penyebutan ketentuan undang-undang memberikan
pegangan kepada semua yang bersangkutan, organ penguasa dan yang berkepentingan, dalam menilai
keputusan itu. Ketentuan undang-undang berperan pula dalam penilaian oleh yang berkepentingan
tentang apa yang harus dilakukan dalam hal mereka menyetujui keputusan yang bersangkutan.
Pertimbangan hukum merupakan hal penting bagi organ pemerintahan untuk memberikan atau
menolak permohonan izin. Pertimbangan hukum ini biasanya lahir dari interpretasi organ pemerintahan
terhadap ketentuan undang-undang. Adapun penetapan fakta, berkenaan dengan hal-hal di atas.
Artinya interpretasi yang dilakukan oleh Organ pemerintahan terhadap aturan-aturan yang relevan,
turut didasarkan pada fakta-fakta sebagaimana ditetapkannya. Dalam keadaan tertentu, organ
pemerintahan dapat menggunakan data yang diberikan oleh pemohon izin, di samping data dari para
ahli atau biro konsultan.

f. Pemberitahuan-pemberitahuan Tambahan

Pemberitahuan tambahan dapat berisi bahwa kepada yang dialamatkan ditunjukkan akibat-akibat dari
pelanggaran ketentuan dalam izin, seperti sanksi-sanksi yang mungkin diberikan pada ketidakpatuhan.
Pemberitahuan-pemberitahuan ini mungkin saja petunjuk-petunjuk bagaimana sebaiknya bertindak
dalam mengajukan permohonan-permohonan berikutnya atau informasi umum dari organ
pemerintahan yang berhubungan dengan kebijaksanaannya sekarang atau di kemudian hari.
Pemberitahuanpemberitahuan tambahan ini sejenis pertimbangan yang berlebihan, yang pada dasarnya
terlepas dari diktum selaku inti keputusan. Sebab itu, mengenai pemberitahuan-pemberitahuan ini,
karena tidak termasuk dalam hakikat keputusan, secara formal seseorang tidak dapat menggugat
melalui hakim administrasi.

Sebagai suatu bentuk keputusan, izin tidak berbeda dengan keputusan (beschikking) pada umumnya.
Dalam hal pembuatan, isi, dan penerbitan izin harus memenuhi syarat-syarat yang berlaku pada
pembuatan dan penerbitan keputusan, yakni harus memenuhi syarat formal dan syarat materiil, serta
harus memerhatikan asas contrarius actus dalam pencabutan.

G. Instrumen Hukum Keperdataan

1. Penggunaan Instrumen Hukum Keperdataan

Ketika membahas kedudukan hukum pemerintah, telah disebutkan bahwa pemerintah dalam
melakukan kegiatan sehari-hari tampil dengan dua kedudukan, sebagai wakil dari badan hukum dan
wakil dari jabatan pemerintahan. Sebagai wakil dari badan hukum, kedudukan hukum pemerintah tidak
berbeda dengan seseorang atau badan hukum perdata pada umumnya, yaitu diatur dan tunduk pada
ketentuan-ketentuan hukum keperdataan, serta dapat melakukan tindakan hukum keperdataan.
Menurut FA.M. Stroink dan J.G. Steenbeek:

“Wanneer openbare lichaam-rechtspersonen aan het privaatrechtelijk rechtsverkeer deelnemen doen


zij dat niet als overheid, als gezagsorganisatie, maar nemen zij rechtens op gelijke voet met de burger
deel aan dat verkeer. Deze openbare lichamen-rechtspersonen zijn, deelnemende aan het
privaatrechtelijke rechtsverkeer, in principe op dezelfde wijze onderworpen aan de rechtsmacht van de
gewone rechter als de burger”

(Ketika badan hukum publik terlibat dalam pergaulan hukum keperdataan, ia bertindak tidak sebagai
pemerintah, sebagai Organisasi kekuasaan, tetapi ia terlibat bersama-sama denga warga negara
berdasarkan hukum perdata. Badan hukum pubiy yang terlibat dalam pergaulan hukum berdasarkan
hukum prwat pada dasarnya harus tunduk pada kekuasaan hukum dari Hak (peradilan) biasa,
sebagaimana halnya warga negara).

Dalam pergaulan keperdataan, “De overheid kan net ak Natuurlijke personen en privaatrechtelijke
rechtspersonen deelnemen aan het privaatrechtelijke rechtsverkeer. De overheid koopt en verkoopt,
huurt en verhuurt, pacht en verpacht, sluit overeenkomsten en bezit eigendom, De overheid is ook in
haar vermogen aansprakelijk, als in naam van de Overheid door die overheid onrechtmatige daden
gepleegd”, (Pemerintah sebagaimana manusia dan badan hukum privat dapat terlibat dalam pergaulan
hukum privat. Pemerintah melakukan jual beli, sewa-menyewa, membuat perjanjian dan mempunyai
hak milik. Pemerintah juga bertanggung jawab ketika terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan
pemerintah). Menurut RJ.H.M. Huisman, “Privaatrechtelijke rechtshandelingen zijn de
rechtshandelingen die worden beheerst door het privaatrecht. Ook de overheid besluit vaak tot cen
dergelijke rechtshandeling, bijvoorbeeld de provincie besluit tot aankoop yan een bos, de gemeente
verkoopt bouwterreinen, verhuurt huizen, verpacht gronden enz”, (Tindakan hukum keperdataan
adalah tindakan hukum yang diatur oleh hukum perdata. Pemerintah juga sering melakukan perbuatan
semacam itu, seperti provinsi memutuskan untuk membeli hutan, kabupaten menjual tanah bangunan,
menyewakan rumah, menggadaikan tanah, dan sebagainya). Perlu diketahui bahwa, “Dat het
civielrechtelijk handelen van de overheid ne geschiedt door “bestuursorgaan”, maar door
“rechtspersonen”,' (Tindakan hukum keperdataan dari pemerintah itu tidak dijalankan oleh organ
pemerintahan, tetapi oleh badan hukumnya), yang dilakukan oleb wakilnya, yaitu pemerintah. Telah
disebutkan pula bahwa hubungan hukum dalam bidang keperdataan itu bersifat dua pihak atau lebih
(meerzijdige), sementara dalam hukum publik itu pada asasnya bersifat satu pihak atau bersegi satu.
Hubungan hukum dalam bidang perdata bersandar pada prinsip otonomi dan kebebasan berkontrak
(contractsvrijheid), dalam arti kemerdekaan atau kemandirian penuh bagi subjek hukum untuk
melakukan atau tidak melakukan perbuatan hukum, serta iktikad baik dalam berbagai persetujuan
(goedetrouw bij de uitvoering van overeenkomsten), yang menunjukkan kesetaraan antarpihak tanpa
salah satunya memiliki kedudukan khusus dan kekuatan memaksa terhadap pihak lain. Atas dasar ini
pemerintah hanya dapat “mensejajarkan diri” dengan seseorang atau badan hukum perdata dalam
kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum publik, bukan dalam kapasitasnya selaku wakil dari
jabatan pemerintahan yang memiliki kedudukan istimewa (bijzonderstatus) dengan “exorbinare
rechten” atau hak-hak istimewa dan “monopoli van het pysieke geweld” atau monopoli paksaan fisik.
Dengan demikian, pada asasnya hanya sebagai wakil badan hukum itulah pemerintah dapat terlibat
dalam hubungan hukum keperdataan.

W.E Prins mengatakan, badan pemerintah memang gemar memakai bentuk hukum perdata. Jalan
menurut hukum publik acapkali sukar untuk ditempuh, sebab di dalam hal ini administrasi negara harus
tunduk kepada pelbagai peraturan, yang dalam praktiknya terasa mengikat sekali, tetapi pada dasarnya
baik, oleh karena yang dibelautamakan bukan kepentingan administrasi negara sendiri, melainkan
kepentingan publik. Keinginan untuk melepaskan diri dari pembatasan yang diletakkan oleh hukum
publik acapkali merupakan dorongan untuk memilih jalan menurut hukum perdata.Menurut Indroharto,
sudah merupakan suatu kenyataan bahwa sekarang ini tidak semua urusan pemerintahan dilaksanakan
oleh instansi-instansi resmi pemerintahan, tetapi adakalanya untuk mencapai tujuan pemerintahannya,
pemerintah itu lebih menyukai menggunakan lembaga-lembaga hukum berdasarkan hukum perdata
dengan segala bentuk variasinya. Sarana jalur-jalur yang terbuka dalam hukum perdata banyak
memberikan kemungkinan kebijaksanaan yang dapat direalisasi daripada kalau harus dilakukan menurut
ketentuan perundangundangan yang berlaku.Dalam hal ini, Laica Marzuki menegaskan bahwa
perbuatan hukum keperdataan dari badan atau pejabat tata usaha negara telah menjadi salah satu
sarana hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan dewasa ini.

Penggunaan instrumen hukum publik merupakan fungsi dasar dari organ pemerintahan dalam
menjalankan tugas-tugas pemerintahan, sedangkan penggunaan instrumen hukum privat merupakan
konsekuensi paham negara kesejahteraan, yang menuntut pemerintah untuk mengusahakan
kesejahteraan masyarakat (bestuurszorg), yang dalam rangka bestuurszorg itu, pemerintah terlibat
dengan kegiatan kemasyarakatan dalam berbagai dimensi sejalan dengan tuntutan perkembangan
kemasyarakatan. Dalam memenuhi tuntutan itu, organ pemerintahan tidak cukup jika hanya
menggunakan instrumen hukum publik, tetapi juga menggunakan instrumen keperdataan terutama
guna mencapai efektivitas dan efisiensi pelayanan terhadap masyarakat. Menurut Indroharto,
penggunaan instrumen keperdataan ini ada beberaps keuntungan, yaitu:

a.Warga masyarakat sendiri sejak dahulu sudah biasa berkecimpung dalam suasana kehidupan hukum
perdata:

b. Lembaga-lembaga keperdataan itu ternyata juga sudah terbukti kemanfaatannya dan sudah biasa
merupakan bentuk-bentuk yang digunakan dalam pengaturan perundang-undangan yang luas maupun
yurisprudensi:

C. Lembaga-lembaga keperdaraan demikian itu hampir selalu Gapat diterapkan untuk segala keperluan
dan kebutuhan karena sifatnya yang sangat fleksibel dan jelas sebagai instrumen:

d. Lembaga-lembaga keperdataan demikian itu juga selalu dapat diterapkan karena bagi pihak-pihak
yang bersangkutan memiliki kebebasan untuk menentukan sendiri isi dari perjanjian yang hendak
mereka buat:

e. Sering kali terjadi di mana jalur hukum publik menemui jalan buntu, tetapi jalur yuridis menurut
hukum perdata malah dapat memberi jalan keluarnya,

f. Ketegangan yang disebabkan oleh tindakan yang selalu bersifat sepihak dari pemerintah dapat
dikurangi,

g. Berbeda dengan tindakan-tindakan yang bersifat sepihak dari pemerintah, maka tindakan-tindakan
menurut hukum perdata ini hampir selalu dapat memberikan jaminan-jaminan kebendaan, misalnya
untuk ganti rugi.

2. Instrumen Hukum Keperdataan yang Dapat Digunakan Pemerintah

Meskipun pemerintah selaku wakil dari badan hukum dapat melakukan tindakan-tindakan hukum
keperdataan, namun tindakan hukum pemerintah berbeda dengan tindakan hukum manusiapada
umumnya. Dengan kata lain, tidak seluruh tindakan hukun keperdataan yang dapat dilakukan manusia,
dapat pula dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah-begitu juga badan hukum pada umumnya tidak
dapat melakukan hubungan keperdaraan yang berhubungan dengan hukum kekeluargaan seperti
perkawinan, perwalian, dan kewarisan. Pemerintah khususnya di Indonesia tidak dapat membeli tanah
untuk dijadikan hak milik, karena berdasarkan UUPA negara hanya diberi hak menguasai, tidak diberi
hak untuk memiliki atau tidak boleh sebagai eigenaar terhadap tanah. Pemerintah juga tidak
diperkenankan melakukan perbuatan hukum keperdataan yang bertentangan dengan kepentingan
umum atau yang tegas-tegas dilarang oleh peraturan perundang-undangan.

Perlu ditegaskan pula bahwa ketika pemerintah menggunakan instrumen hukum keperdataan, tidak
serta merta terjadi hubungan hukum antara pemerintah dengan seseorang atau badan hukum perdata
berdasarkan prinsip kesetaraan dan kemandirian masingmasing pihak, sebagaimana lazimnya hubungan
hukum dua pihak atau lebih dalam bidang perdata. Di atas telah disebutkan bahwa pada asasnya
hubungan hukum keperdataan yang dilakukan oleh pemerintah selaku wakil dari badan hukum
bersandar pada kesetaraan dan kemandirian, namun dalam praktik tidak sepenuhnya demikian,
terutama dalam hal perjanjian yang tidak murni (gemengd overeenkomst). Dengan kata lain, ketika
pemerintah menggunakan instrumen hukum keperdataan, tidak serta merta pemerintah melibatkan diri
dalam hubungan hukum berdasarkan hukum perdata, Pemerintah dapat menggunakan instrumen
hukum keperdataan sebagai alternatif atau cara dalam rangka menjalankan tugas-tugas pemerintahan,
tanpa harus menempatkan diri dalam hubungan hukum yang setara dengan pihak lainnya. Sebab dalam
hal-hal tertentu, pemerintah tidak sepenuhnya dapat melepaskan diri dari misi yang diembannya yang
melekat pada setiap tindakan pemerintahan.'' Dengan demikian, ada dua kemungkinan kedudukan
pemerintah dalam menggunakan instrumen hukum keperdataan, pertama, pemerintah menggunakan
instrumen keperdataan sekaligus melibatkan diri dalam hubungan hukum keperdataan dengan
kedudukan yang tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum perdata: kedua, pemerintah
menggunakan instrumen hukum keperdataan tanpa menempatkan diri dalam kedudukan yang sejajar
dengan seseorang atau badan hukum. Dalam hal terakhir ini, sebagaimana akan terlihat nanti, terdapat
perjanjian dengan persyaratan yang ditentukan sepihak oleh pemerintah.

Bentuk-bentuk instrumen hukum perdata yang dapat dipergunakan oleh pemerintah yang akan
disajikan dalam buku ini lebih ditekankan pada perjanjian. Dalam pengertian hukum, perjanjian secara
sederhana berarti persesuaian kehendak (wilsovereenstemming) antara dua pihak atau lebih untuk
melakukan suatu tindakan hukum tertentu. Dalam rangka menjalankan kegiatan pemerintahannya,
pemerintah dapat menggunakan perjanjian, yang bentuknya antara lain sebagai berikut.

a. Perjanjian Perdata Biasa

Pemerintah sering menggunakan perjanjian (overeenkomst) dalam memenuhi berbagai keperluan


pemerintahannya, dan menjadi salah satu pihak dalam perjanjian ini. Pemerintah banyak melakukan
perjanjian keperdataan yang mencakup semua hubungan hukum seperti jual beli, sewa menyewa,
pemborongan, dan lainlain. Perbuatan keperdataan ini dilakukan karena pemerintah memerlukan
berbagai sarana dan prasarana untuk menjalankan administrasi pemerintahan seperti kebutuhan alat
tulis menulis yang harus dibeli, membeli tanah untuk perkantoran, perumahan dinas, dan sebagainya.
Dalam melakukan perjanjian perdata biasa, pemerintah di samping menggunakan instrumen hukum
keperdataan sekaligus pula melibatkan diri dalam hubungan hukum keperdataan, sehingga kedudukan
hukum pemerintah tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum perdata. Menurut P de Haan,
dalam hal perjanjian perdata murni (De privaatrechtelijke overeenkomst zonder meer) “de overheid
neemt hier als rechtspersoon aan het privaat rechtsverkeer deel en onderscheidt zich op het eerste
gezicht nauwelijks yan andere grote organisaties” (pemerintah melibatkan diri dalam pergaulan hukum
keperdataan sebagai badan hukum dan hampir tidak membedakan diri dengan organisasi besar lainnya).
Sebagai pihak yang tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum perdata, tindakan hukum
pemerintah dalam hal ini sepenuhnya tunduk pada hukum perdata, sehingga ketika terjadi perselisihan
maka berlaku ketentuan hukum perdata dan diselesaikan melalui peradilan perdata. Dalam hal ini
pemerintah bertindak sebagai wakil dari badan hukum perdata. Imunitas publiknya selaku penguasa
tidak lagi berlaku.

Meskipun perjanjian yang dilakukan pemerintah ini bersifat perdata biasa atau perdata murni, namun
menurut Indroharto, setiap perjanjian perdata yang dilakukan oleh pemerintah selalu didahului oleh
adanya KTUN, yang kemudian melahirkan teori melebur, yakni keputusan itu dianggap melebur ke
dalam tindakan hukum perdata. Oleh karena itu, jika terjadi sengketa, maka penyelesaiannya tidak
melalui PTUN, tetapi melalui peradilan umum.

b. Perjanjian Perdata dengan Syarat-syarat Standar

Pemerintah dapat pula menggunakan instrumen hukum keperdataan untuk membuat perjanjian dengan
pihak swasta dalam rangka melakukan tugas-tugas tertentu, misalnya tugas-tugas atau pekerjaan yang
tidak sepenuhnya dapat diselenggarakan sendiri oleh pihak pemerintah. Dalam praktik, pemerintah
sering melaksanakan tugas-tugas tertentu melalui perjanjian dengan syarat-syarat standar
(overeenkomst met standaardvoorwaarden). Menurut P. de Haan dan kawan-kawan,
“Standaardvoorwaarden geven een geheel nieuwe dimensie aan overheidscontracten. Niet alleen
omdat zij een eerste stap vormen op weg ndar een algemene regeling van deze overeenkomsten, maar
ook omdat de toekomstige regeling omtrent de algemene voorwaarden in het NBW ook op door de
overheid vastgestelde voorwaarden van toepassing wordt” (syaratsyarat standar memberikan suatu
dimensi baru terhadap kontrak pemerintah, tidak hanya karena syarat-syarat standar itu merupakan
langkah pertama berdasarkan peraturan umum tentang perjanjian ini, tetapi juga karena peraturan yang
akan datang mengenai syaratsyarat umum dalam undang-undang perdata baru juga dilaksanakan
berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemerintah).

Pada umumnya, perjanjian dengan syarat-syarat standar ini berbentuk konsesi, sebagaimana telah
dijelaskan di atas. Indroharto menyebutnya dengan kontrak adhesie, yaitu suatu perjanjian yang
seluruhnya telah disiapkan secara sepihak hingga pihak lawan berkontraknya tidak ada pilihan lain
kecuali menerima atau menolaknya (take it or leave it), seperti yang terjadi pada perjanjian distribusi
aliran tenaga listrik, gas, dan air minum. Dalam hal ini pemerintah menentukan secara sepihak syarat-
syarat yang harus dipenuhi oleh pihak swasta atau pihak yang berkepentingan. Penentuan secara
sepihak syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak swasta, akan menimbulkan pertanyaan, bolehkah
perjanjian diadakan dengan penentuan syarat secara sepihak, dengan kata lain apakah penentuan syarat
secara sepihak ini tidak bertentangan dengan prinsip kebebasan berkontrak (contractsvrijheid),
sebagaimana yang dikenal dalam perjanjian pada umumnya. Penentuan syarat secara sepihak oleh
pemerintah dapat dibolehkan dengan dua catatan: pertama, penentuan syarat-syarat itu adalah dalam
rangka memberikan perlindungan kepentingan umum yang memang harus dilakukan oleh pemerintah,
kedua, ketentuan syarat-syarat tersebut harus dilakukan secara terbuka dan diketahui umum misalnya
melalui penawaran umum agar diketahui sebelumnya oleh pihak lawan berkontrak, sehingga pihak
swasta atau pihak yang berkepentingan dapat dengan sukarela menyetujui atau tidak menyetujui
terhadap syarat-syarat yang telah ditentukan secara sepihak oleh pemerintah atau administrasi negara
tersebut.

c. Perjanjian Mengenai Kewenangan Publik

Menurut Indroharto, yang dimaksud dengan perjanjian mengenai wewenang pemerintahan adalah
perjanjian antara badan atau pejabat tata usaha negara dengan warga masyarakat dan yang
diperjanjikan adalah mengenai cara badan atau pejabar tata usaha negara menggunakan wewenang
pemerintahannya. " Defini yang hampir sama dikemukakan pula oleh H.D. van Wi k/W em Konijnenbelt,
“Onder bevoegdheden-overeenkomsten worden overeenkomsten tussen een bestuursorgaan en een
bestuurde waar meer) afspraken worden gemaakt over de wijze waarop het bestu gen
administratiefrechtelijke bevoegdheid zal gebruiken”,(perjanjianmengenai wewenang berarti perjanjian
antara organ pemerintahan dan warga negara (termasuk) digunakannya perjanjian lisan mengenai cara-
cara organ pemerintahan menggunakan wewenang yang bersifat administrasi). Di dalam perjanjian ini,
“De overheidsorgaan verbindt zich daarbij jegens de burger de betreffende bevoegdheid niet of op een
bepaalde wijze te gebruiken. Tegenover de prestatie van de overheid staat veelal een contraprestatie
van de burger”' (organ pemerintah mengikatkan diri pada warga negara untuk menggunakan atau tidak
menggunakan wewenang yang bersangkutan dengan cara tertentu. Biasanya terhadap prestasi dari
pemerintah akan melahirkan kontraprestasi dari warga negara).

Telah disebutkan bahwa ketika pemerintah melakukan tindakan hukum publik, ia menggunakan
wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan, karena itu tindakannya selalu bersifat
sepihak. Meskipun demikian, bila pemberian wewenang itu mengandung kebebasan atau “freies
Ermessen/discretionary power”, pemerintah dapat melaksanakan wewenangnya dengan menggunakan
mekanisme perjanjian atau kerja sama (samenwerking). Sebaliknya, apabila wewenang yang diberikan
kepada pemerintah itu bersifat terikat baik dari segi materi, waktu, maupun cara menggunakannya,
maka pelaksanaan wewenang pemerintahan dengan cara perjanjian itu tidak diperkenankan. Sebab
dalam hal kewenangan yang terikat (gebonden bevoedgheid) “Zowel de bevoegdheidstoekenning, als de
aard en de omyang van de bevoegdheid als de bevoegdheidsuitoefening zijn aan juridische grenzen
onderworpen”," (baik penyerahan wewenang, sifat dan isi wewenang, maupun pelaksanaan wewenang
tunduk pada batasan-batasan yuridis). Bila pemerintah telah menggunakan instrumen perjanjian untuk
menjalankan wewenang pemerintahannya, maka pemerintah di samping terikat dengan isi perjanjian
tersebut juga terikat dengan asas kepercayaan (het vertrouwensbeginsel) dan asas kejujuran atau asas
permainan yang layak, sebagaimana yang terdapat dalam asasasas umum pemerintahan yang baik.

d. Perjanjian Mengenai Kebijakan Pemerintahan


Di atas disebutkan bahwa bila pemberian wewenang itu mengandung kebebasan (freies
Ermessen/discretionary power), pemerintah dapat melaksanakan wewenangnya dengan menggunakan
mekanisme perjanjian atau kerja sama (samenwerking). Kewenangan luas yang dimiliki pemerintah atas
dasar freies Ermessen, yang kemudian melahirkan kebijakan, dimungkinkan pula dijalankan dengan
menggunakan perjanjian. Dengan kata lain, pemerintah dapat menjadikan kewenangan luas atau
kebijakan yang dimilikinya sebagai objek dalam perjanjian. Atas dasar ini, dalam kepustakaan Hukum
Administrasi Negara, dikenal istilah perjanjian kebijakan (beleidsovereenkomst). Menurut Laica Marzuki,
perjanjian kebijakan adalah perbuatan hukum yang menjadikan kebijakan publik sebagai objek
perjanjian. Oleh karena kebijakan yang diperjanjikan adalah kebijakan tata usaha negara, maka salah
satu pihak yang mengadakan perjanjian itu tidak lain dari badan atau pejabat tata usaha negara yang
secara administratiefrechtelijk memiliki kewenangan untuk menggunakan kebijakan publik yang
diperjanjikan tersebut."

Indroharto menyebutkan bahwa yang dijadikan objek persoalan dalam hal ini adalah mengenai hak
kebendaan (harta kekayaan) pemerintah sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan dari kebijakan
yang ditempuhnya. Kelompok perjanjian yang penting dalam hal ini adalah transaksi-transaksi mengenai
harta-harta tidak bergerak. Lebih lanjut disebutkan bahwa dalam perjanjian ini dimasukkan klausula
mengenai:

1) kemungkinan-kemungkinan penggunaan maupun pendirian bangunan-bangunan (pengaturan


tentang tata ruang):

2) ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk pemindahtanganan harta kekayaan negara,

3) syarat-syarat untuk kelestarian lingkungan hidup:

4) ketentuan-ketentuan yang harus selalu dilaksanakan oleh mereka yang diberi izin melakukan usaha-
usaha sosial,

5) persyaratan untuk pengelolaan usaha parkir kendaraan di seluruh kota, perusahaan pompa bensin,
dan sebagainya:

6) syarat-syarat yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para developer dari suatu real estate
sebelum maupun selama pekerjaan pembangunan di lapangan dikerjakan.

Apa yang dikemukakan Indroharto agaknya sejalan dengan J.BJ.M ten Berge, yang menyebutkan bahwa,
“Beschreven beleidsovereenkomst duid ik aan met de term “vermogensoevereenkomst': een
overeenkomst tussen een overheads rechtpersoon en een ander over een vermogenrecht yan die
overheads rechtpersoon”  (perjanjian kebijakan dapat dijelaskan dengan pengertian "perjanjian
kebendaan': suatu perjanjian antara badan hukum pemerintah dengan lainnya mengenai hak kebendaan
dari badan hukum pemerintah itu). Laica Marzuki, dengan mengutip pendapat D.A. Lubach, memberikan
contoh bahwa pembelian mobil-mobil merk Volvo guna kebutuhan polisi kerajaan (rijkspolitie)
merupakan perwujudan dari kebijakan tata usaha negara. Keputusan untuk membeli mobil-mobil merk
Volvo itu (dan bukannya mendatangkan mobil-mobil merk Lada dari Uni Soviet yang lebih murah) harus
dilihat dalam kaitan pengambilan kebijakan tata usaha negara, demikian juga keputusan kotapraja untuk
membeli kendaraan-kendaraan tempur buatan Daf/RSV ketimbang buatan Amerika yang jauh lebih
murah.

Pada akhirnya dalam suatu negara hukum modern, setiap tindakan hukum pemerintahan-dengan
instrumen yuridis apa pun yang digunakan-haruslah tetap dalam koridor hukum dan diarahkan untuk
mewujudkan kesejahteraan umum (bestuurszorg), sesuai dengan gagasan awal munculnya konsep
negara hukum modern (welfare state). Dalam melakukan semua tindakannya, pemerintah tidak saja
bersandarkan pada peraturan perundang-undangan atau hukum tertulis, tetapi juga hukum tidak
tertulis, yang lazim disebut dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen yan
behoorlijk bestuur).

Anda mungkin juga menyukai