Anda di halaman 1dari 13

KEDUDUKAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA

DI SUSUN OLEH

MUHAMMAD REZEKI HIDAYAT

NIM : 18810448
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga saya dapat menyelesaikan

penyusunan makalah ini yang berjudul “Kedudukan Hukum Perdata di Indonesia”.

Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu syarat penilaian untuk tugas

semester ini dalam mata kuliah Hukum Perdata.

Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalamanan pengetahuan yang

saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada Dosen mata kuliah maupun

rekan rekan pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk

kesempurnaan makalah ini.

Banjarmasin,23 april 2019


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

BAB I: PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

B. RUMUSAN MASALAH

C. TUJUAN PENULISAN

BAB II: PEMBAHASAN

A. KEDUDUKAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA SEBELUM KEMERDEKAAN

B. KEDUDUKAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA SETELAH KEMERDEKAAN

C. KEDUDUKAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA SAAT INI

BAB III: PENUTUP

A. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada dasarnya kehidupan antara seseorang itu didasarkan pada adanya suatu “hubungan”,
baik hubungan atas suatu kebendaan atau hubungan yang lain. Adakalanya hubungan antara
seseorang atau badan hukum itu tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan, sehingga
seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Sebagai contoh sebagai akibat terjadinya
hubungan pinjam meminjam saja seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Atau contoh
lain dalam hal terjadinya putusnya perkawinan seringkali menimbulkan permasalahan hukum.
Hal tersebut termasuk dalam masalah hukum perdata.
Istilah hukum perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai
terjemahan dari bahasa Belanda yaitu burgerlijkrecht Wetboek (B.W) pada masa pendudukan
Jepang. Di samping istilah itu, sinonim hukum perdata adalah civielrecht dan privatrecht1.
Hukum perdata tertulis yang berlaku di Indonesia merupakan produk hukum perdata
Belanda yang diberlakukan asas konkordansi yaitu hukum yang berlaku di negeri jajahan
(Belanda) sama dengan ketentuan yang berlaku di negeri penjajah pada saat itu.
Dalam makalah ini Kedudukan Hukum Perdata di Indonesia, akan di bagi menjadi tiga
bagian, dimana yang akan di pahami adalah Kedudukan Hukum Perdata sebelum Indonesia
merdeka, sesudah Indonesia merdeka, serta Kedudukan Hukum Perdata di Indonesia sekarang
ini.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Kedudukan Hukum Perdata di Indonesia Sebelum Kemerdekaan?
2. Bagaimana Kedudukan Hukum Perdata di Indonesia Setelah Kemerdekaan?
3. Bagaimana Kedudukan Hukum Perdata di Indonesia Saat Ini?

D. TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari penulisan makalah ini ialah untuk mengetahui kedudukan hukum perdata di
Indonesia dalam tiga periode. Yakni, sebelum kemerdekaan, sesudah kemerdekaan, dan pada
masa sekarang ini.

1
Diambil dari Bahasa Belanda.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Hukum Perdata di Indonesia Sebelum Kemerdekaan.
Indonesia merupakan negara yang dijajah sangat lama oleh pemerintahan Kolonial
Belanda, sebelum bersatu menjadi suatu kesatuan. Indonesia terdiri atas banyak kerajaan-
kerajaan dengan aturannya masing-masing. Tentulah saat menjadi negara jajahan Belanda, tidak
ada kesamaan hukum antara kerajaan-kerajaan tersebut.
Sehingga Belanda menerapkan hukumnya sendiri di negara jajahannya yang disebut
Hindia-Belanda, yang dikenal dengan Asas Konkordasi. Asas Konkordansi adalah suatu asas
yang melandasi diberlakukannya hukum Eropa atau hukum di negeri Belanda pada masa itu
untuk diberlakukan juga kepada Golongan Eropa yang ada di Hindia Belanda (Indonesia pada
masa itu). Dengan kata lain, terhadap orang Eropa yang berada di Indonesia diberlakukan hukum
perdata asalnya yaitu hukum perdata yang berlaku di negeri Belanda.
Hukum Perdata yang diterapkan di Indonesia sebelum kemerdekaan adalah B.W.Hindia
Belanda yang susunan dan isinya serupa dengan B.W.Belanda. Untuk kodifikasi KUH Perdata di
Indonesia dibentuk suatu panitia yang diketahui oleh Mr. C. J. Scholten van Oud Haarlem.
Kodifikasi KUH Perdata yang dilaksanakan dalam tahun 1848.
Kodifikasi pada saat itu mengadakan persesuaian antara hukum dan keadaan di Indonesia
dengan hukum dan keadaan di negeri Belanda. Di negeri Belanda aliran kodifikasi adalah aliran
kodifikasi di Eropa yang berlangsung secara umum pada akhir abad ke-18, bahkan pada waktu
itu sudah ada negara-negara yang telah selesai dengan kodifikasinya.
Demikian Perancis, sudah 10 tahun bekerja, dalam tahun 1804 telah menyelesaikan
kodifikasinya yaitu Code Civil des Francais2. Kodifikasi yang dihasilkan diharapkan memiliki
kesesuaian antara hukum dan keadaan di Indonesia dengan hukum dan keadaan di negeri
Belanda.
Dengan kata lain B.W. Belanda diberlakukan juga di Hindia Belanda berdasarkan asas
persamaan B.W. Hindia Belanda ini disahkan oleh Raja pada tanggal 16 Mei 1846, yang
diundangkan melalui Staatsblad 1847-23 dan dinyatakan berlaku pada tanggal 1 Mei 1848.
1. Aneka Pembagian Penduduk Indonesia

2
Undang-undang Napoleon (bahasa Perancis: Code civil des Français) adalah undang-undang sipil Perancis yang
disusun pada masa kekuasaan Napoleon Bonaparte. Disusun secara cepat oleh komisi yang terdiri dari empat
orang ahli hukum terkenal Perancis dan mulai diberlakukan pada tanggal 21 Maret 1804.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda dahulu penduduk Indonesia dibagi dalam 3
golongan dan masing – masing golongan tersebut mempunyai hukum Perdata masing – masing
berdasarkan pasal 163 ayat (1) IS (Indesehe staatsnegeling) sebagai berikut.
a. Golongan Eropa menurut pasal 163 (2) yang termasuk didalamnya.
- Semua Warga Negara Indonesia
- Bukan warga negara Belanda tetapi orang yang berasal dari Eropa
- Semua warga negara Jepang
- Orang – orang yang berasal dari negara lain yang hukum kekeluargaannya sama
dengan hukum kekeluargaan Belanda.
b. Golongan Pribumi
Pasal 163 ayat (3) IS yang termasuk dalam golongan Pribumi adalah:
- Orang – Orang Indonesia asli yang tidak pindah ke golongan lain.
- Mereka yang semula termasuk golongan lain, lalu membawurkan dirinya ke
dalam golongan Indonesia asli.
c. Golongan Timur Asing
Menurut pasal 163 ayat (4) IS yang termasuk dalam golongan Timur Asing adalah
- Golongan Timur Asing Tionghoa (Cina).
- Golongan Timur Asing bukan Tionghoa.
Penggolongan ini sebenarnya sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang. Dengan
dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet no.31/U/12/1966 telah diinstrusikan kepada menteri
kehakiman serta kantor pencatatan sipil untuk tidak menggunakan penggolongan penduduk
indonesia berdasarkan pasal 163 IS tersebut.
2. Keaneka Ragaman Hukum Perdata di Indonesia
Hukum Perdata di Indonesia sampai sekarang masih beraneka ragam. Pada masa dulu,
masing – masing Golongan Penduduk Indonesia mempunyai hukum Perdata sendiri – seperti:
a. Golongan Bangsa Indonesia asli (bumi putra) Berlaku Hukum Adat dari beberapa
Undang – undang yang secara khsus di buat oleh pemerintah Hindia beanda, antara lain :
· Ordonansi perkawinan bangsa indonesia kristen ( stb.1933 No. 74 )
· Ordonansi tentang maskapai audit indonesia ( stb.1939 No 569 jo. 717)
· Ordonansi tentang perkumpulang bangsa indonesia (stb. 1929 No 57 jo. 717)
b. Golongan eropa, berlaku Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan
Kitab Undang - Undang Hukum Dagang (KUHD) yang di selaraskan dengan Burgerlyk
wetboek dan wetboek van koophandel yang berlaku di belanda
c. Golongan timur Asing Thionghoa (china), berlaku KUHPer dan KUHD dengan
beberapa pengecualian yaitu mengenai pencacatan sipil, cara – cara perkawinan dan
pengangkatan anak (adopsi)
d. Golongan Timur asing (bukan china), terdiri dari Arab, India, Pakistan, mesir dan
lain – lain. Berlaku sebagian dari KUHPer dan KUHD yaitu hanya mengenai harta kekayaan
sedangkan hukum waris (tanpa wasiat), hukum kepribadian dan hukum keluarga berlaku hukum
negara mereka sendiri.

B. Kedudukan Hukum Perdata di Indonesia Setelah Kemerdekaan


Hukum perdata yang berlaku di Indonesia didasarkan pada pasal II aturan peralihan UUD
1945, yang pada pokoknya menentukan bahwa segala peraturan dinyatakan masih berlaku
sebelum diadakan peraturan baru menurut UUD termasuk didalamnya hukum perdata belanda
yang berlaku di Indonesia. Hal ini untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum (Rechtvacum),
dibidang Hukum Perdata.
Menurut Sudikno Mertokusumo, keberlakuan hukum perdata Belanda tersebut di
Indonesia didasarkan pada berberapa pertimbangan. Selain itu, secara keseluruhan hukum
perdata Indonesia dalam perjalanan sejarahnya mengalami berberapa proses perubahan yang
mana perubahan tersebut disesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia sendiri. Hukum perdata
ini meliputi enam pembahasan, yaitu : Hukum Agraria, Hukum Perkawinan, Hukum Islam yang
Direseptio, Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah,
Jaminan Fidusia, dan Lembaga Penjaminan Simpanan.
Setelah kemerdekaan Indonesia, arus globalisasi meningkat dengan sangat cepat. Dari
pada itu, sebagai akibat adanya kemungkinan timbulnya pengaruh secara timbal balik arus era
globalisasi dan informasi dimaksud, maka salah satunya adalah mempersiapkan keberadaan
hukum Perdata Nasional yang mempunyai ciri khusus dan sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia sendiri, namun mampu menjawab tantangan kedepan dalam menghadapi persaingan
yang semakin kompetitif dengan bangsa-bangsa lainnya, khusus dengan masuknya unsur-unsur
asing (foreign element) yang telah melintasi batas negara sendiri, sehingga mau tidak mau dan
sangat mendesak adalah keberadaan hukum perdata nasional dimaksud.
Berkaitan dengan itu, sebenarnya sejak jauh hari salah seorang pakar hukum Prof. Dr.
Mr. R. Soepomo, pernah mengemukakan dan mengingatkan “bahwa hukum dalam masyarakat
itu dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat itu sendiri, maka Hukum Perdata Nasional
nantinya harus pula dapat menyesuaikan dirinya dengan cita-cita Nasional menurut aspirasi
Bangsa Indonesia”.3
Dikatakan demikian, karena berbagai produk peraturan-peraturan peninggalan penjajahan
Belanda, baik itu Burgerlijk WetBoek (BW) selanjutnya disebut KUHPerdata, WetBoek Van
Koophandel (WvK) selanjutnya disebut dengan KUHDagang, dapat dikatakan telah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, walaupun sebenarnya telah ada berbagai produk
peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh negara, seperti
• Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960,
• Undang-undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
• Undang-undang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995,
• Undang-udang Hak Tanggungan Atas Tanah dan benda-benda yang ada di atas
Tanah No. 4 Tahun 1996,
• Undang-undang Jaminan Fiducia No. 42 Tahun 1999,
• Undang-undang Yayasan No. 16 Tahun 2001, Surat Edaran Mahkamah Agung
No. 3 Tahun 1963 dan lain-lain.
Adanya ketentuan-ketentuan di atas dan peraturan lainnya sangat berpengaruh terhadap
keutuhan ketentuan peninggalan penjajahan dan oleh karenanya keadaan itu janganlah membuat
bangsa ini tertidur dan dinina bobokkan dengan adanya Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945
yang dibuat tanpa batas yang jelas dan tegas tentang saat kapan berakhirnya.
Mencerermati keadaan tersebut wajarlah bahwa Sahardjo, S.H., waktu menjadi Menteri
Kehakiman RI pada Tahun 1962 memunculkan suatu gagasan yang diajukan dalam rapat Badan
Perancang Hukum Nasional (BPHN) menyarankan bahwa: “khusus KUHPerdata tidak lagi
sebagai undang-undang, melainkan sebagai dokumen saja yang hanya menggambarkan suatu
kelompok hukum yang tidak tertulis”4

3
dalam pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada tanggal 17 Agustus 1947;
4
(Z.A. Ahmad, 1986 : 47).
Selanjutnya gagasan Sahardjo, S.H. tersebut dikemukakan lagi dalam Kongres Majelis Ilmu
Pengetahuan Indonesia (MIPI) di Yogyakarta Tahun 1962 melalui prasaran Mr. Wirjono
Prodjodikoro dengan judul; “Keadaan Transisi dari Hukum Perdata Barat”, di mana isi prasaran
tersebut mengemukakan hal-hal sebagai berikuit :
• Peraturan dari zaman Belanda yang sekarang masih berlaku dan belum dicabut, sudah
tidak sesuai lagi dengan kepentingan masyarakat Indonesia saat ini;
• Mempertanyakan; “apakah BW harus menunggu dicabut dulu, untuk memberhentikan
berlakunya sebagai Undang-undang di Indonesia”;
• Gagasan Sahardjo, S.H., untuk menganggap BW tidak lagi sebagai Undang-undang tetapi
hanya sebagai dokumen yang berisi hukum tidak tertulis saja, adalah sangat menarik.
Artinya dengan menganggapnya sebagai dokumen, para hakim akan lebih leluasa untuk
mengenyampingkan pasal-pasal BW yang tidak sesuai lagi dengan kepentingan Nasional;
• Karena BW hanya tinggal sebagai pedoman saja, maka demi kepentingan hukum dia
perlu secara tegas dicabut. Pencabutannya tidak perlu dengan suatu Undang-undang,
tetapi cukup dengan suatu pernyataan saja dari Pemerintah atau Mahkamah Agung.

Melihat uraian di atas, dapat dikatakan bahwa keberadaan KUHPerdata sebagai ketentuan
undang-undang hingga saat ini masih terus diperdebatkan, artinya usulan-usulan yang
menganggap dia hanya sebagai dokumen hukum saja tetap menjadi perdebatan diantara kalangan
ahli hukum, tetapi setidak-tidaknya ide itu perlu terus dipikirkan dan dipertimbangkan, terutama
baik kalangan ahli hukum, peraktisi hukum dan para pihak yang mempunyai kewenangan dalam
pengambilan keputusan, untuk terus menggali dan mencermati berlakunya   ketentuan   peraturan
perundang-undangan   yang  sesuai  dengan nilai-nilai luhur bangsa, dan tidak terpaku dengan
Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang tidak membuat batasan yang jelas dan tegas tentang
limit waktu berakhirnya ketentuan peninggalan penjajahan tersebut.
Ditambah lagi ketentuan-ketentuan peninggalan penjajahan sudah berusia cukup lama, di
mana di negeri Belanda sendiri sebenarnya sudah sejak lama tidak diberlakukan lagi.

C. Kedudukan Hukum Perdata di Indonesia Saat Ini


Setelah melalui beberapa periode pemerintahan, keadaan hukum perdata di Indonesia
sejatinya tidak banyak berubah melainkan hanya berkembang, dimana untuk sebagian besar
peraturan perdata tetap mengacu pada burgerlijk wetboek yang merupakan naskah asli
peninggalan zaman kolonialisme Belanda.
Namun seiring perkembangan waktu tentu keadaan hukum perdata harus fleksibel dan
menyesuaikan dengan keadaan di Indonesia, baik dari sisi HAM, ekonomi, politik, social, dan
budaya.
Pemberlakuan hukum keperdataan sendiri masih majemuk dan beraneka ragam. Di
daerah daerah tertentu, masih memberlakukan Hukum Adat setempat untuk penyelesaian
sengketa tanah maupun perkawinan, dimana pemberlakuan Hukum Adat tersebut dianggap lebih
kekeluargaan dan juga dianggap melestarikan tradisi dari nenek moyang5.
Apakah hal tersebut dianggap melanggar Hukum Perdata di Indonesia? Tentu saja tidak,
dimana sebelum melangkah dengan Hukum Perdata yang berlaku, biasanya masyarakat lebih
memilih jalan kekeluargaan, baik berupa mediasi, maupun negosiasi untuk menyelesaikan
masalah tertentu yang di alaminya.
Lantas, bagaimana sebenarnya keadaan Hukum Perdata di Indonesia dewasa ini?
Keadaan Hukum Perdata di Indonesia saat ini masih berbentuk majemuk, beraneka ragam
dan warna. Dimana Hukum Perdata sekarang ini tidak hanya terbatas pada burgerlijk wetboek
saja melaikan juga banyak peraturan perundang-undangan lain yang muncul seiring dengan
perkembangan waktu.
Klasifikasi dasar pembagian Hukum Perdata saat ini terbagi menjadi dua, antara lain :
1. Hukum Perdata Tertulis
2. Hukum Perdata Tidak Tertulis
Hukum Perdata Tertulis tentulah hukum yang menyangkut hal-hal keperdataan yang
sudah dikodifikasikan dalam bentuk Kitab Undang-Undang maupun Peraturan Perundang-
Undangan lain.
Hukum perdata tertulis ini pun tidak hanya terbatas kepada persoalan Perkawinan,
Kebendaan, dan juga Perjanjian. Melainkan sudah berkembang hingga cabang-cabang
keperdataan yang modern seperti Perasuransian dan lain sebagainya.

5
Biasanya berbentuk rapat tetua tetua Adat setempat dan hasilnya haruslah disetujui bersama sama.
Dibandingkan dengan Hukum Perdata yang tidak tertulis, jenis hukum perdata ini
sifatnya adalah rigid dan konkret. Dimana peraturan yang ada sudah mengatur jelas apa, siapa,
dan bagaimana dalam masalah masalah keperdataan yang terjadi.
Sedangkan, Hukum Perdata yang tidak tertulis 6 bentuknya lebih fleksibel dimana
peraturan peraturannya bisa berubah-ubah sesuai dengan permasalahan yang terjadi. Meskipun
demikian, Keberadaan Hukum Perdata tidak tertulis ini diakui adanya dan hasil akhirnya pun
harus dituruti dan dilaksanakan sebagaimana halnya hasil akhir dari penyelesaian masalah dalam
Hukum Perdata Tertulis.
Selain dari klasifikasi dasar diatas, banyak juga yang membagi antara Hukum
Keperdataan di Indonesia. Misalnya perbedaan penggunaan Hukum Perkawinan antara umat
beragama, dimana masing masing agama memiliki pilihan atas Hukum Perkawinan yang
digunakan. Dan juga ada perbedaan antara penggunaan Hukum Perdata dalam penyelesaian
masalah Waris, dimana bisa digunakan burgerlijk wetboek, Hukum Adat, maupun Hukum Islam
bagi para penganutnya.
Berdasarkan uraian diatas, maka bisa kita tentukan bahwa Keadaan Hukum Perdata saat
ini masih beraneka ragam, namun tidak ada yang salah dalam keberaneka ragaman hukum
perdata tersebut. Untuk menyeragamkan Hukum Perdata di Indonesia sendiri tidak akan bisa
karena banyaknya keanekaragaman serta budaya yang ada di Indonesia, kecuali dalam hal hal
tertentu yang tidak bisa diselesaikan dengan cara selain berpegangan pada Hukum Perdata yang
sudah ada.
Sehingga meskipun tidak seragam, keadaan Hukum Perdata di Indonesia dirasa sudah
memadai untuk mengatur hubungan privat di masyarakat. Ke depannya sendiri, tentu pemerintah
akan selalu berusaha meningkatkan dan membuat peraturan-peraturan baru seiring dengan
perkembangan jaman. Sehingga ke depannya keadaan Hukum Perdata di Indonesia akan mampu
menyelesaikan sengketa-sengketa dan permasalahan yang ada.

6
Hukum Adat
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Kedudukan Hukum Perdata di Indonesia dibagi menjadi tiga periode yakni Sebelum
Kemerdekaan, Sesudah Kemerdekaan, dan Keadaan Saat Ini
2. Kedudukan Hukum Perdata di Indonesia Sebelum Kemerdekaan terbatas pada Hukum
yang di terapkan oleh kolonialisme Belanda
3. Kedudukan Hukum Perdata di Indonesia Sesudah Kemerdekaan mulai berkembang
dengan di akuinya Hukum Adat setempat yang sama kedudukannya dalam penyelesaian
sengketa.
4. Kedudukann Hukum Perdata di Indonesia Saat Ini sudah berkembang pesat dan sudah
mencakupi berbagai bidang keperdataan seiring dengan perkembangan jaman.
DAFTAR PUSTAKA

http://joemokodompit.blogspot.com/2010/12/keadaan-dan-kedudukan-hukum-perdata-
di.html
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/aspek_hukum_perdata_dan_hukum_dagang/1
_hukum_perdata.pdf
https://kennysiikebby.wordpress.com/2011/03/05/sejarah-singkat-hukum-perdata/
https://dwisetiati.wordpress.com/2012/06/05/sejarah-singkat-hukum-perdata-yang-
berlaku-di-indonesia/
https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_perdata
http://tabirhukum.blogspot.com/2016/11/sejarah-hukum-perdata-di-indonesia.html
http://greenz-family.blogspot.com/2015/10/makalah-hukum-perdata-hukum-perdata.html
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5979a0202a993/arti-asas-konkordansi
Dedi Soemardi. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Ind-Hill-Co, 1992
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), diakses pada 31 Juli 2017 pukul 14.05
WIB.
N.H. Simanjuntak, 1999, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Prof Subekti S.H., 1954, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai