Anda di halaman 1dari 8

KEADAAN TATA HUKUM INDONESIA

TATA HUKUM INDONESIA, menjelaskan tentang aturan-aturan hukum yang pernah


berlaku dan tetap menjadi hukum serta aturan yang berlaku sebagai hukum positif.
Tata hukum Indonesia ditetapkan oleh masyarakat hukum Indonesia, dan ditetapkan oleh
negara Indonesia. terbentuknya Tata Hukum Indonesia adalah sejak lahirnya negara Indonesia
(17 Agustus 1945) yang dinyatakan dalam :
- Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
- Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
Tujuan Tata Hukum ialah untuk mempertahankan, memelihara dan melaksanakan tata
tertib dikalangan anggota-anggota masyarakat dalam negara itu dengan peraturan-peraturan yang
diadakan oleh negara atau bagian-bagiannya.

DASAR HUKUM BERLAKUNYA KEANEKARAGAMAN PERATURAN


PERUNDANGAN DI INDONESIA.
1. Peraturan-peraturan pokok pada jaman Hindia Belanda
Sampai saat ini masih terdapat keanekaragaman peraturan perundangan baik yang
diadakan oleh Pemerintah RI sejak proklamasi kemerdekaan maupun yang diadakan
pemerintah jaman Belanda dan Jepang.
Sejak berakhirnya kekuasaan VOC pada tanggal 31 Desember 1799 dan dimulainya
Pemerintahan Hindia Belanda pada tanggal 1 Janurai 1800, hingga masuknya Pemerintahan
Militer Jepang tanggal 9 Maret 1942, tidak sedikit peraturan perundangan yang telah
dikeluarkan.
2. Peraturan pokok di jaman Jepang
Satu-satunya peraturan pokok yang diadakan Pemerintah Militer Jepang di Indonesia adalah
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1942 yang menyatakan berlakunya kembali semua peraturan
perundangan Hindia Belanda yang tidak bertentangan dengan kekuasaan militer Jepang.
3. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang belum diamandemen menyebutkan bahwa “segala
badan negara dan peraturan yang masih ada langsung berlaku, selama belum diadakan yang
baru menurut UUD ini”.

Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) mengatur tentang pembagian golongan penduduk,


yang terbagi dalam :
1. GOLONGAN EROPA, yang termasuk golongan ini ialah :
- semua orang Belanda
- semua orang Eropa lainnya
- semua orang Jepang
- semua orang yang berasal dari tempat lain, yang dimana negaranya tunduk kepada
hukum Belanda
2. GOLONGAN TIMUR ASING
Ialah semua orang yang bukan golongan Eropa dan bukan golongan Bumi Putera

1
Golongan ini dibagi menjadi dua :
1. Golongan Timur Asing Tionghoa
2. Golongan Timur Asing bukan Tionghoa, misalnya orang Arab, India, Pakistan dll
3. GOLONGAN BUMI PUTERA, yang termasuk golongan ini, ialah :
- semua orang Indonesia asli
- semua orang yang tidak beralih masuk golongan lain
- semua orang yang semula termasuk golongan lain telah membaurkan dirinya dengan
rakyat Indonesia asli.
Pembagian golongan tersebut di atas, diikuti dengan hukum yang berlaku bagi masing-masing
golongan tersebut, hal ini diatur dalam Pasal 131 IS, sebagai berikut :
1. HUKUM YANG BERLAKU BAGI GOLONGAN EROPA
a. Bidang Hukum Perdata adalah KUHPerdata dan KUHD
b. Dibidang Hukum Pidana adalah KUHP, diundangkan tanggal 1 Januari 1918
c. Bidang Hukum Acara:
- Untuk Pulau Jawa dan Madura berlaku Reglement op de Burgerlijk Rechtvordering
(RV) yaitu peraturan tentang Acara Perdata dan Reglement op de Strafvordering yaitu
Peraturan tentang Acara Pidana. Kedua peraturan ini mulai berlaku tanggal 1 Januari
1918
- Untuk luar Pulau Jawa dan Pulau Madura diatur dalam Rechsreglement Buitengewesten
(RBg) berdasarkan untuk daerah hukumnya masing-masing.
2. HUKUM YANG BERLAKU BAGI GOLONGAN TIMUR ASING
a. Bagi golongan Timur Asing Tionghoa :
- berlaku seluruh KUHPerdata
- berlaku seluruh KUHP
- untuk Hukum Acara mereka kadang-kadang diproses pada Pengadilan Eropa dan
kadang-kadang pula diproses pada Pengadilan Bumi Putera.
b. Bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa :
- berlaku seluruh KUHPerdata apabila mereka dengan suka rela tunduk pada Hukum
Eropa tersebut
- berlaku seluruh KUHP
- untuk Hukum Acara ditangani oleh Lembaga Pengadilan yang ditetapkan oleh Gubernur
Jenderal.
3. HUKUM YANG BERLAKU BAGI GOLONGAN BUMI PUTERA
a. Bidang Hukum Perdata berlaku Hukum Perdata Adat
b. Bidang Hukum Pidana berlaku KUHP sejak tahun 1918
c. Bidang Acara :
- untuk pulau Jawa dan Madura terhadap Hukum Acara Perdata dan Pidana diatur
dalam HIR (Herziene Inlands Reglement)
- untuk luar Pulau Jawa dan Madura diatur dalam Rechtsreglement Buitengewesten
(RBg).
Dasar hukum dari kodifikasi itu tercantum pada Pasal 75 ayat (1) Regerings-Reglement
(RR), yang kemudian diganti menjadi Pasal 131 ayat (1) IS, yaitu Peraturan Ketatanegaraan
Hindia Belanda, yang berbunyi: Hukum Perdata dan Hukum Dagang begitu pula Hukum Pidana
beserta Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana harus diletakkan dalam undang-undang
yang harus dikodifikasikan.

2
Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, maka secara otomatis dan eksplisit
Pasal 163 IS dinyatakan tidak berlaku dan hal tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 26 ayat (1)
UUD 1945
Lain halnya dengan Pasal 131 IS masih tetap dipertahankan. Hal ini untuk menjaga jangan
sampai terjadi kevakuman/kekosongan hukum. Dasar hukum untuk tetap mempertahankan Pasal
131 IS ini diatur dalam Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 (hasil amandemen), yang
menyatakan bahwa peraturan-peraturan hukum yang telah dikodifikasikan masih tetap berlaku.
Pada tahun 1963 MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA mengeluarkan Surat
Edaran Nomor. 3/1963 yang dikenal dengan SEMA 1963 yang menjadi dasar hukum bagi hakim
dalam hal ia akan memberlakukan atau tidak suatu pasal atau ketentuan hukum yang sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan jaman.

PLURALISME DALAM HUKUM PERDATA DI INDONESIA

Dengan berlakunya keanekaragaman Hukum Perdata, yaitu Hukum Perdata Eropa (barat),
Hukum Perdata Timur Asing dan Hukum Perdata Adat (Hukum adat), yang kesemuanya itu
berlaku resmi bagi golongan-golongan penduduk di Indonesia. Keadaan demikian disebut
PLURALISME DALAM HUKUM PERDATA ( berlakunya bermacam-macam hukum perdata
bagi masing-masing golongan penduduk).
Beberapa bagian dari hukum perdata di Indonesia sekarang ini telah diadakan perubahan
dan dinyatakan berlaku bagi semua warga negara Indonesia, seperti misalnya peraturan tentang
perkawinan dan pencatatan sipil.

HUKUM ANTAR TATA HUKUM (HATAH)


A. Beberapa Istilah Hukum Antar Tata Hukum
Soediman Kartohadiprodjo mengatakan bahwa perselisihan disini adalah perselisihan
antara sistem hukum yang satu dengan sistem hukum yang lainnya yang tertaut dalam suatu
peristiwa hukum diantara subyek hukum. Sistem hukum yang dimaksud adalah sistem hukum
perdata barat (BW), sistem hukum perdata adat dan sistem hukum perdata Islam.
Menurut S. Gautama bahwa untuk menghindari pemahaman yang keliru tentang hukum
perselisihan, maka dapat diganti dengan Hukum Antar Golongan (HAG), karena istilah HAG
lebih memiliki alasan yang masuk akal, karena memang faktanya pada masa Hindia Belanda
yang dimaksud dengan hukum yang berlaku adalah hukum dari golongan-golongan penduduk
Hindia Belanda yang berlainan.
Masih menurut Prof. S. Gautama, bahwa istilah HUKUM ANTAR TATA HUKUM
(HATAH) atau “Tussenrechtsordening” dalam Bahasa Belanda. Pemakaian istilah ini membawa
keuntungan bahwa segi perselisihan tidak dikedepankan, bahwa adalah mungkin untuk
berhadapan dengan persoalan di lapangan hukum ini tanpa konflik.

3
B. Pengertian Hukum Antar Tata Hukum
Hukum Perselisihan atau Hukum Pertikaian (conflict of laws) sebaiknya jangan
dipergunakan lagi. Di Indonesia sendiri lebih dikenal dengan istilah Hukum Antar Tata Hukum
(HATAH), yang mengikuti suatu istilah “Interlegal Law” dari Alf Ross atau
”Interrechtsordenrecht” dari Logemann.
Bukan “conflict of laws” melainkan “choice of law”. Istilah Hukum Antar Tata Hukum
memberi kesan ada suatu “Tata Hukum” yang tertib, di antara sistem-sistem hukum yang
bertemu pada satu ketika. Istilah Hukum Perselisihan adalah istilah yang kurang baik. Pada
akhirnya HATAH telah diterima sebagai judul mata kuliah di FH UI, Perguruan Tinggi Ilmu
Kepolisian, Perguruan Tinggi Hukum Militer dan lain-lain termasuk Universitas
Krisnadwipayana. Sedangkan Fakultas Hukum Universitas Negeri Lambung Mangkurat
(UNLAM) di Banjarmasin menggunakan istilah Hukum Intergentil.
Sehingga dapat diperoleh beberapa unsur dari Hukum Perselisihan yang meliputi:(1)
Asas hukum, (2) kaidah/norma hukum, (3) peristiwa hukum, (4) saling bertautnya dua sistem
hukum atau lebih.
C. HATAH terdiri dari 2 bagian, yaitu HATAH Intern dan HATAH Extern.
Bagian HATAH Intern terdiri dari Hukum Antar Waktu (HAW), Hukum Antar Tempat
(HAT), Hukum Antar Golongan (HAG) yang mencakup pula Hukum Antar Agama (HAA).
Bagian Extern dari HATAH lebih dikenal dengan istilah Hukum Perdata Internasional (PHI).
Antara bagian HATAH Intern dengan HATAH Extern (HPI) saling berkaitan. Bagian
HATAH Intern disebut juga “Quasi internasional privatrecht”, dimana HPI sangat mem-
pengaruhi Hukum Antar Golongan dalam hal menyelesaikan masalah-masalah Hukum Antar
Golongan dapat dicapai dengan menjiplak hasil-hasil dari HPI.
Akan tetapi pandangan ini tidak dapat dipertahankan karena antara HPI dengan HAG
terdapat perbedaan yang menyolok, dimana HAG termasuk yang dikatakan orang dengan
Verschillend Personeel Recht, sedangkan HPI dinamakan Verschillend Tetritoriaal
Recht.
D. Definisi dan Pembagian Hatah Intern
HATAH Intern:
- S. GAUTAMA: Keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel
hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-
hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga-warga negara dalam satu negara
memperlihatkan titik-titi pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum yang
berbeda dalam lingkungan kuasa waktu, tempat, pribadi dan soal-soal.
HATAH Extern:
- S. GAUTAMA: Keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel
hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum. Jika hubungan-
hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga-warga negara pada satu waktu

4
tertentu memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah
hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan-lingkungan kuasa-
tempat, (pribadi) dan soal-soal.

HATAH Intern terbagi ke dalam 3 bagian, yaitu:


1. HUKUM ANTAR WAKTU (HAW)
Hukum Antar Waktu bukan hal yang spesifik untuk Indonesia. HAW hampir
terdapat disetiap sistem hukum suatu negara. Setiap lahir undang-undang baru, maka akan
ada masa yang dinamakan masa/pasal peralihan (Transitory Regulations, Overgangs
Bepalingen).
Contoh:
Di dalam Pasal 1 KUHP dinyatakan bahwa jika terdapat perubahan perundang - undangan,
maka akan selalu dipergunakan ketentuan yang paling menguntungkan bagi pihak
terdakwa. Ketentuan semacam ini merupakan ketentuan peralihan.
2. HUKUM ANTAR TEMPAT (HAT)
Masalah Hukum Antar Tempat tidak terdapat disemua negara. Indonesia mempunyai masalah
HAT karena adanya Hukum Adat yang berbeda antar daerah.
3. HUKUM ANTAR GOLONGAN (HAG)
Hukum Antar Golongan adalah kekhasan untuk Indonesia.
Oleh Sarjana Hukum Perancis masalah HAG atau “Intergentiel Recht (Interpersonal law)”
dinamakan masalah yang termasuk “Conflic Colonial”.
Karena adanya penggolongan penduduk berdasarkan ketentuan dalam Pasal 163 IS dan 131 IS),
maka timbul persoalan tentang hukum mana yang harus dipakai. Contoh:
a) Seorang dari golongan Eropa melakukan jual beli dengan orang dari golongan Bumi Putera
(orang Indonesia asli atau pribumi) yang sehari-hari hidup memakai hukum adat, maka
timbul persoalan, mana yang dipakai “hukum dari orang Eropa yaitu BW dan WvK, atau
hukum dari orang Bumi Putera yakni Hukum Adat.
b) Seorang Bumi Putera menikah dengan seorang Timur Asing yang sehari-hari hidup di
bawah hukum BW dan Wvk. Hukum mana yang akan dipakai.
4. HUKUM ANTAR AGAMA (HAA)
Hukum Antar Agama (HAA) dianggap merupakan bagian dari Hukum Antar Golongan (HAG),
karena hukum agama dikaitkan dengan pribadi (persoon) seseorang. Masalah agama harus
diartikan dalam segi-segi sosialnya dan tidak harus dari segi keagamaan saja.
HAA merupakan hal yang sama dengan HAG, hukum yang bersifat “Inter Racial, Inter Social”
atau istilah Sosiologi Hukum “Inter-Kaste”. Agama hanya merupakan faktor yang menentukan

5
hukum untuk golongan Bumi Putera dan golongan Timur Asing bukan Tionghoa (Arab,
Pakistan, India dll).

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ANTAR GOLONGAN


A. Sejarah timbulnya Hukum Antar Golongan
Belanda (VOC) pertama datang ke Indonesia untuk berdagang, lama kelamaan mereka
memonopoli perdagangan di Indonesia dan akhirnya ingin memiliki wilayah Indonesia sebagai
jajahannya.
Jan Pieterzoon Coen (Gubernur Jenderal Hindia Belanda) menaklukan Jakarta tahun 1619
dan mendirikan Batavia sebagai tempat kedudukan pemerintahan pusat Belanda (ibu kota) di
Indonesia. Sejak itu kerajaan demi kerajaan ditaklukan. Politik ekspansi tersebut dipermudah dan
dipercepat suksesnya karena pertengkaran antara raja-raja Indonesia itu sendiri.
Demi kepentingan perdagangan Belanda yang akan lebih diuntungkan, apabila terhadap
orang-orang Timur Asing juga diberlakukan hukum Belanda, maka pada tahun 1925 dikeluarkan
Pasal 163 IS sebagai pengganti dari RR yang menggolongkan penduduk di Hindia Belanda
kedalam 3 golongan, yaitu: golongan Eropa, golongan Timur Asing dan golongan Bumi Putera.
Dengan terciptanya Pasal 163 IS jo S. 1917-129 jo S.1924-556, maka pembedaan
penduduk di Hindia Belanda terbagi dalam 4 golongan, yaitu: 1. Golongan Eropa yang
menduduki tempat yang paling tinggi (sosial-juridis), 2. Golongan Timur Asing Tionghoa, 3.
Golongan Timur Asing bukan Tionghoa yaitu India, Arab, Pakistan dan lain-lain, 4. Golongan
Bumi Putera atau Indonesia asli yang jumlah penduduknya terbanyak serta tinggal di tanah
airnya sendiri.
B. Perkembangan Hukum Antar Golongan
1. Hukum Antar Adat
Perkembangan hukum antar golongan meliputi hukum antar adat. Hukum Antar Adat
ialah semua kaidah hukum yang menentukan hukum adat manakah yang berlaku apabila
dalam peristiwa hukum terlibat dua orang atau lebih yang tunduk pada hukum adat yang
berbeda.
2. Hukum Antar Agama
Pengertian Hukum Antar Agama adalah semua kaidah hukum yang menentukan hukum
apakah dan hukum manakah yang berlaku, apabila dalam suatu peristiwa hukum terlibat dua
orang yang masing-masing tunduk pada hukum agama yang berbeda.
C. Hukum Antar Golongan dan Pembentukan Hukum Nasional
Dalam masa peralihan Hukum Antar Golongan ikut menentukan corak dan bentuk Hukum
Nasional. Dalam yurisprodensi membuktikan bahwa di dalam:

6
1. HUKUM KONTRAK, pilihan hukum yang dilakukan oleh golongan Bumi Putera adalah ke
arah Hukum Barat yang asas-asasnya terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgelijk Wetboek) dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van
Koophandel). Hal ini dilakukan secara suka rela oleh orang Bumi Putera dalam hal kontrak
jual beli, pinjam meminjam, sewa menyewa, pemberian kuasa dan sebagainya. Khususnya
asas-asas konsensualitas (Pasal 1320 jo Pasal 1338 (1) BW), “bahwa semua perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik”. Adagium bahwa “bagi para pihak yang bersangkutan
semua perjanjian mempunyai kekuatan mengikat seperti undang-undang”.
2. PENGANGKATAN ANAK (ADOPSI), ternyata yurisprodensi mengakui pemilihan hukum
ke arah Hukum Adat oleh seorang golongan Timur Asing (WNI keturunan Cina) mengakui
kemungkinan pengangkatan seorang anak perempuan oleh seorang wanita yang belum
bersuami.
3. Adanya UNDANG-UNDANG PERKAWINAN (UU Nomor 1 Tahun 1974) ternyata
menghidupkan kembali konflik antar wewenang antara Peradilan Umum dan Peradilan
Agama serta memperbanyak masalah-masalah Hukum Antar Agama yang disebabkan
karena perkawinan campuran.
D. Hukum Antar Golongan dewasa ini
Perubahan sikap dari warga negara pendatang yang merubah kewarganegaraannya,
namanya atau agamanya sekalipun perlu diikuti dengan perubahan jiwa dan pandangan
hidupnya, sebagaimana yang terjadi dengan orang-orang yang menjadi warga negara di Amerika
Serikat, Belanda, Swiss dan negara-negara lainnya.

MASIHKAN HUKUM ANTAR GOLONGAN SAAT INI DIPERTAHANKAN.


Dengan demikian, setelah diadakan penghapusan terhadap golongan-golongan tersebut dan
telah tercapai perubahan secara yuridis tentang kewarganegaraan serta realitas perubahan dalam
jiwa dan pandangan hidupnya, maka Hukum Antar Golongan tidak akan ada fungsinya lagi, oleh
karena semua warga negara tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang sama, yaitu Hukum
Nasional Indonesia.

HUKUM ANTAR GOLONGAN, HUKUM YANG HIDUP


Pertumbuhan Hukum antar golongan sebagai ilmu hukum yang bercorak khas Indonesia
mengalami perkembangan yang sangat signifikan, hal tersebut terbukti dengan banyaknya
putusan-putusan hakim terhadap persoalan-persoalan hukum antar golongan.
Putusan-putusan hakim merupakan sumber hukum yang tidak dapat diabaikan, karena
putusan-putusan hakim merupakan sumber hukum yang tidak tertulis.
Kollewijn yang merupakan Bapak Hukum antar golongan menyatakan bahwa “Barang
siapa yang menjauhkan diri dari keputusan-keputusan hakim, ia ini diibaratkan seorang yang
memutuskan hubungan dengan pancaran hidup.

7
Ini membuktikan bahwa hukum antar golongan merupakan ilmu hukum yang hidup !.
Hubungan antara hukum antar golongan dengan masyarakat nampak dalam putusan-putusan
hakim.
Dalam perkembangan masyarakat nampak pempengaruhi pertumbuhan ilmu hukum
antar golongan. Ada beberapa faktor yang dapat ditunjukkan:
1. Dr. Mr. Prajudi Atmosudirdjo dalam pidato sambutan Fakultas Tata Praja Univ.
Krisnadwipayana, Jakarta, 20 September 1956 mengatakan seolah-olah pada fakultas-
fakultas hukum dan masyarakat dinegeri kita “terlalu dipentingkan” mata pelajaran hukum
antar golongan. Hal ini disebabkan karena program fakultas hukum tersebut masih untuk
sebagian besar “op Rechtshogeschool leest geschoeid”, artinya.......
2. Kollewijn Guru Besar pertama mata pelajaran Hukum antar golongan yang melakukan
tinjauan dari pada himpunan karangan-karangan tentang Hukum antar golongan menyatakan
bahwa kedudukan Hukum antar golongan (dalam rangka hukum perselisihan) sebagai suatu
mata kuliah tersendiri yang merupakan warisan dari pada Rechthogeschool ( Sekolah Tinggi
Hukum) dahulu.
Dalam alam kemerdekaan ini sumbangan dari para hakim terhadap perkembangan Ilmu
Hukum antar golongan, salah satunya adalah:
1. Putusan-putusan hakim yang dikenal sebagai persoalan tentang “titik-titik pertalian
sekunder”, istilah ini sebaiknya dinamakan “titik taut penentu”, hal ini diartikan hal-hal yang
menentukan hukum manakah diantara stelsel-stelsel hukum yang harus dipilih. Seperti
diketahui persoalan antar golongan timbul karena adanya keaneka ragaman hukum, berbagai
stelsel hukum sama-sama berlomba untuk dipilih dalam peristiwa tertentu. Hukum mana
yang harus dipilih tergantung pada “titik taut penentu. Upaya menemukan titik-titik taut
penentu merupakan bagian yang terpenting dalam menyelesaikan persoalan-persoalan antar
golongan.
2. Bagian khusus dari Hukum antar golongan, salah satunya adalah Perkawinan Campuran.
Didalam peraturan terdapat asas persamarataan, dengan asas inilah Hukum antar golongan
dapat berkembang dengan baik bahkan ada keinginan untuk menuju unifikasi hukum.
Undang-Undang Dasar Sementara sangat berlainan dengan Indische Staatsregeling (pasal
163) yang tidak mengenal perbedaan-perbedaan golongan-golongan rakyat, walaupun tetap
adanya perbedaan-perbedaan kebutuhan hukum. Dapat dikatakan bahwa peraturan-peraturan
yang dibuat oleh pembuat undang-undang saat ini tidak lagi membedakan antara golongan-
golongan rakyat. Yang ada saat ini adalah hanya membedakan antara warga negara dan warga
negara asing.
Kuliah “Hukum Perselisihan” atau lebih baik “Hukum antar tata hukum” memberi tempat
untuk memperhatikan baik persoalan-persoalan intern-nasional maupun internasional. Prof. Dr.
Mr. Sudargo Gautama memperoleh gelar Guru Besar Luar Biasa dalam mata pelajaran “Hukum
Perselisihan”.

Anda mungkin juga menyukai