Anda di halaman 1dari 24

NAMA : Bryan Yamolala Ndruru

NIM : 3192411007

KELAS : Reguler II-C 2019 PPkn

MATA KULIAH : Pengantar Hukum Indonesia

DOSEN PENGAMPU : Arief Wahyudi, M.H.

SOAL-SOAL PENGANTAR HUKUM INDONESIA

1. Apa yang dimaksud dengan mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia (PHI) ?
Dan mengapa Anda harus mempelajarinya di jurusan PPKn?
Jawaban : Pengantar Hukum Indonesia Merupakan mata kuliah yang berlaku
sebagai dasar yang memberikan uraian secara analitis dan deskriptif tentang
tata hukum yang berlaku pada masa sekarang di Indonesia.
2. Hukum yang ada diindonesia sebelum masa penjajahan apa? Dan bagaimana
statusnya setelah masa penjajahan?
Jawaban :Sistem hukum yang berlaku di Indonesia (Nusantara) sebelum
masa kolonial adalah hukum adat. Hukum adat adalah sistem aturan berlaku
dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berasal dari adat kebiasaan, yang
secara turun temurun dihormati oleh masyarakat sebagai tradisi bangsa
indonesia. Sistem ini terbentuk karena sebelum kedatangan Belanda,
Nusantara telah terdapat peradaban dari berbagai macam kerajaan. Lantas
pada zaman sebelum VOC datang ke nusantara, kedudukan hukum adat
adalah sebagai hukum positip yang berlaku sebagai  hukum  yang  nyata  dan
ditaati oleh rakyat yang pada saat itu Nusantara. Artinya, hukum yang
diterapkan oleh Belanda meneruskan adat kebiasaan dan tidak menerapkan
hukum dari Eropa bagi penduduk local. Dan statusnya Pemberlakuan hukum
adat bagi golongan Bumi Putera sudah barang tentu menimbulkan masalah.
Masalah dimaksud mengingat bahwa adat yang terdapat di Indonesia sangat
beraneka ragam sesuai dengan etnis, sosial, budaya, dan agama. Seiring
dengan usaha untuk menanamkan ideologi penjajah, ada tiga teori yang
diperkenalkan. Dua teori pertama diperkenalkan oleh bangsa Belanda dan satu
teori terakhir dilontarkan oleh orang Indonesia. Teori terakhir ini merupakan
teori bantahan sekaligus teori pematah. Ketiga teori itu secara berurut adalah
Receptio in Complexu, Receptie Theorie, dan Receptio a Contrario. (ketiga
teori tersebut tidak dibahas di sini). Jika kita meruntut peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan hukum tata negara dan sistem Politik hukum
Hindia Belanda maka dapat dilihat berdasarkan masa berlakunya 3 pokok
peraturan Belanda yaitu; Algemene Bepalingen van Wetgeving voor
Indonesia (AB); Regering Reglement (RR); dan Indische Staatsregeling (IS).
Di masa berlakunya AB, politik hukum Pemerintahan Hindia Belanda
dibagi atas beberapa golongan dan berlaku pada masing-masing golongan
tersebut. Pasal 5 AB membagi ke dalam dua golongan, yaitu Golongan Eropa
(atau yang dipersamakan) dan Golongan Pribumi (atau yang dipersamakan
dengannya). Pasal 9 AB: menentukan bahwa KUHPerdata dan KUHDagang
(yang diberlakukan di Hindia Belanda) hanya akan berlaku untuk orang Eropa
dan bagi mereka yang dipersamakan dengannya. Pasal 11 AB menentukan
bahwa untuk golongan penduduk pribumi oleh hakim akan diterapkan hukum
agama, pranata-pranata dan kebiasaan orang-orang pribumi itu sendiri, sejauh
hukum, pranata dan kebiasaan itu tidak berlawanan dengan asas-asas
kepantasan dan keadilan yang diakui umum dan pula apabila terhadap orang-
orang pribumi itu sendiri ditetapkan berlakunya hukum Eropa atau orang
pribumi yang bersangkutan telah menundukan diri pada hukum Eropa.
Pasal10 AB memberikan wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk
menetapkan peraturan pengecualian bagi orang-orang yang beragama Kristen.
Melalui S. 1848: 10, Pasal 3 Gubernur Jenderal menetapkan bahwa ―orang
Indonesia Kristen dalam lapangan hukum sipil dan hukurn dagang juga
mengenai perundang-undangan pidana dan peradilan pada umumnya tetap
dalam kedudukan hukumnya yang lama. Dengan demikian, bagi orang
Indonesia Kristen tetap termasuk golongan orang bumiputra dan tidak
dipersamakan dengan orang Eropa. Politik hukum pemerintah jajahan yang
mengatur tentang pelaksanaan tata hukum pemerintah di Hindia Belanda itu
dicantumkan dalam Pasal 75 RR yang pada asasnya seperti tertera dalam
Pasal 11 AB. Sedangkan pembagian penghuninya tetap dalam dua golongan,
hanya saja tidak berdasarkan perbedaan agama lagi, melainkan atas
kedudukan ―yang menjajah‖ dan ―yang dijajah. Ketentuan terhadap
pembagian golongan ini dicantumkan dalam pasal 109 Regerings Reglement.
Pasal 109: Pada pokoknya sama dengan Pasal 5 AB, tetapi orang Pribumi
yang beragama Kristen tetap dianggap orang pribumi dan bagi orang
Tionghoa, Arab serta India dipersamakan dengan Bumi Putera. Selanjutnya,
Pasal 75: Menyatakan tetap memberlakukan hukum Eropa bagi orang Eropa
dan hukum adat bagi golongan lainnya.
3. Bagaimana awal mula hukum Eropa yang tertulis diberlakukan di wilayah
yang sekarang disebut Indonesia?
Jawaban : Secara umum sistem hukum dibagi menjadi dua, yaitu Eropa
Kontinental (civil law system) dan Anglo Saxon (common law system). Fajar
Nurhardianto dalam jurnal Sistem Hukum dan Posisi Hukum Indonesia
(2015) mengatakan Civil law system adalah bentuk-bentuk sumber hukum
dalam arti formal. Dalam sistem hukum Civil Law berupa peraturan
perundang-undangan, kebiasaan, dan yurisprudensi. Negara-negara penganut
Hukum Eropa Kontinental menempatkan konstitusi pada urutan tertinggi
dalam hirarki peraturan perundang-undangan.

4. Apa dan seperti apa penggolongan penduduk dijaman Hindia-Belanda?


Jawaban : Lembaga tunduk sukarela merupakan alternatif bagi golongan
bumi putera (terutama yang beragama Kristen) untuk memberlakukan hukum
Eropa bagi dirinya dalam perbuatan hukum tertentu dengan cara pernyataan
tunduk sukarela, terdiri dari pertama Tunduk Sukarela Secara Keseluruhan:
yaitu bahwa golongan bumi putera menyatakan tunduk secara keseluruhan
kepada hukum perdata Eropa, sehingga dengan sendirinya segala aktifitasnya
mengacu kepada hukum Eropa, kecuali dalam hal: (1) Lelaki yang
mempunyai istri lebih dari satu; (2) Wanita bersuami; (3) Anak dibawah
umur; (4) Orang dibawah Pawali kedua Tunduk Sukarela Secara Sebahagian
yaitu, penundukkan sukarela hanya untuk sebagian dari aktifitas, terutama
dibidang kekayaan dan wasiat, dengan demikian terhadap hal yang
berhubungan dengan kekayaan dan wasiat bumi putera yang bersangkutan
tunduk kepada Hukum Eropa ketiga Tunduk Sukarela mengenai suatu
tindakan hukum tertentu atau tunduk sukarela secara diamdiam yaitu, tunduk
sukarela yang dilakukan untuk suatu peristiwa hukum tertentu, atau dengan
sendirinya tindakan tersebut masuk kedalam hukum Eropa karena tidak diatur
dalam hukum adat. Contoh : seorang bumi putera yang membuat surat wasiat
di depan notaris.

5. Bagaimana bentuk dualisme hukum dijaman Hindia-Belanda?


Jawaban :Dualisme dimana peraturan-peraturan agraria terdiri dari peraturan-
peraturan yang bersumber pada hukum adat (hukum yang sudah lama melekat
di masyarakat Indonesia) dan hukum barat (hukum pemerintahan Kolonial
belanda). Masyarakat pribumi tunduk pada hukum barat dan hukum adat
sedangkan pemerintah Kolonial belanda tidak memperdulikan hukum adat
yang sudah turun temurun di masyarakat Indonesia. Dualisme dalam hukum
tanah bukan disebabkan karena para pemegang hak atas tanah melainkan
karena perbedaan hukum yang berlaku terhadap tanahnya. 
6. Apa yang disebut dengan yudifikasi hukum?
Jawaban : Kodifikasi hukum ialah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu
dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap. menurut
bentuknya kodifikasi hukum dibedakan menjadi dua macam
yaitu: Hukum tertulis atau statute aw = written law yaitu hukum yang
dicantumkan dalam berbagai peraturan.

7. Apa yang disebut dengan azaz konfordansi?


Jawaban : Konfordansi adalah daftar menurut abjad kata-kata pokok yang
digunakan dalam suatu buku atau karya tulis, mendata setiap kali munculnya
tiap kata dengan konteks langsungnya. 
8. Apa yang dimaksud dengan kodifikasi hukum?
Jawaban :Mengumpulkan berbagai peraturan yang sejenis kedalam satu kitab
undang-undang yang disusun secara sistematis.
9. Mengapa hukum yang ada dizaman Hindia-Belanda masih berlaku sampai
sekarang?
Jawaban : Hukum belanda yang masih digunakan di indonesia sampai
sekarang, sesuai dengan pasal II aturan peralihan undang-undang dasar 1945
disebutan "segala badan negara dan peraturan yang ada masing langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar
ini". Dengan demikian ketentuan pasal II aturan peralihan undang-undang
dasar 1945 dikeluarkan agar tidak terjadi kevakuman hukum di Indonesia.
Oleh karena itu Indonesia belum bisa membuat aturan yang baru sesuai
undang-undang 1945. Masih berlakunya hukum kolonialisme di indonesia
juga tak lepas dari pengaruh lamanya Indonesia di jajah selama 350 tahun.
Dalam masa penjajahan, pemerintahan kolonial Belanda banyak sekali
meninggalkan sejarah di Indonesia. Mulai dari, sistem pemerintahan yang
diterapkan di wilayah Indonesia, sistem perekonomian, sistem pendidikan dan
juga sistem hukum. Peninggalan pemerintahan kolonial Belanda yang masih
kita pakai dan kita jadikan pedoman adalah sistem hukumnya. Salah satu
contohnya, di Indonesia hukum pidana diatur secara umum dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan peninggalan dari
zaman penjajahan Belanda, sebelumnya bernama Wetboek van Straafrecht
(WvS).
KUHP merupakan lex generalis bagi pengaturan hukum pidana di
Indonesia dimana asas-asas umum termuat dan menjadi dasar bagi semua
ketentuan pidana yang diatur di luar KUHP (lex specialis).Sedangkan, Hukum
perdata di Indonesia pada dasarnya bersumber pada Hukum Napoleon
kemudian bedasarkan Staatsblaad nomor 23 tahun 1847 tentang burgerlijk
wetboek voor Indonesie atau biasa disingkat sebagai BW/KUHPer.
10. Apa perkembangan konstitusi Indonesia sejak merdeka 17 Agustus sampai
sekarang?
Jawaban : Para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia telah sepakat
utntuk menyusun sebuah Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis
dengan segala arti dan fungsinya. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, konstitusi Indonesia sebagai
sesuatu ”revolusi grondwet” telah disahkan pada 18 Agustus 1945 oleh
panitia persiapan kemerdekaan Indonesia dalam sebuah naskah yang
dinamakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dengan
demikian, sekalipun Undang-Undang Dasar 1945 itu merupakan konstitusi
yang sangat singkat dan hanya memuat 37 pasal namun ketiga materi muatan
konstitusi yang harus ada menurut ketentuan umum teori konstitusi telah
terpenuhi dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.
Pada dasarnya kemungkinan untuk mengadakan perubahan atau
penyesuaian itu memang sudah dilihat oleh para penyusun UUD 1945 itu
sendiri, dengan merumuskan dan melalui pasal 37 UUD 1945 tentang
perubahan Undang-Undang Dasar. Dan apabila MPR bermaksud akan
mengubah UUD melalui pasal 37 UUD 1945 , sebelumnya hal itu harus
ditanyakan lebih dahulu kepada seluruh Rakyat Indonesia melalui suatu
referendum.(Tap no.1/ MPR/1983 pasal 105-109 jo. Tap no.IV/MPR/1983
tentang referendum) 
Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap dan menjadi
salah satu agenda sidang Tahunan MPR dari tahun 1999 hingga perubahan ke
empat pada sidang tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan
dibentuknya komisi konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara
komperhensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan ketetapan MPR No.
I/MPR/2002 tentang pembentukan komisi Konstitusi.
Dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan Indonesia ada empat
macam Undang-Undang yang pernah berlaku, yaitu :
o Periode 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949
(Penetapan Undang-Undang Dasar 1945)
Saat Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945,
Republik yang baru ini belum mempunyai undang-undang dasar. Sehari
kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 Rancangan Undang-Undang
disahkan oleh PPKI sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
setelah mengalami beberapa proses.
o Periode 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950
(Penetapan konstitusi Republik Indonesia Serikat)
Perjalanan negara baru Republik Indonesia ternyata tidak luput dari
rongrongan pihak Belanda yang menginginkan untuk kembali berkuasa di
Indonesia. Akibatnya Belanda mencoba untuk mendirikan negara-negara
seperti negara Sumatera Timur, negara Indonesia Timur, negara Jawa Timur,
dan sebagainya. Sejalan dengan usaha Belanda tersebut maka terjadilah agresi
Belanda 1 pada tahun 1947 dan agresi 2 pada tahun 1948. Dan ini
mengakibatkan diadakannya KMB yang melahirkan negara Republik
Indonesia Serikat. Sehingga UUD yang seharusnya berlaku untuk seluruh
negara Indonesia itu, hanya berlaku untuk negara Republik Indonesia Serikat
saja.
o Periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959 
(Penetapan Undang-Undang Dasar Sementara 1950)
Periode federal dari Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat
1949 merupakan perubahan sementara, karena sesungguhnya bangsa
Indonesia sejak 17 Agustus 1945 menghendaki sifat kesatuan, maka negara
Republik Indonesia Serikat tidak bertahan lama karena terjadinya
penggabungan dengan Republik Indonesia. Hal ini mengakibatkan wibawa
dari pemerintah Republik Indonesia Serikat menjadi berkurang, akhirnya
dicapailah kata sepakat untuk mendirikan kembali Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Bagi negara kesatuan yang akan didirikan jelas perlu adanya suatu
undang-undang dasar yang baru dan untuk itu dibentuklah suatu panitia
bersama yang menyusun suatu rancangan undang-undang dasar yang
kemudian disahkan pada tanggal 12 Agustus 1950 oleh badan pekerja komite
nasional pusat dan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan senat Republik
Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950 dan berlakulah undang-
undang dasar baru itu pada tanggal 17 Agustus 1950.
o Periode 5 Juli 1959 – sekarang
(Penetapan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945)
Dengan dekrit Presiden 5 Juli 1959 berlakulah kembali Undang-Undang
Dasar 1945. Dan perubahan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Orde
Lama pada masa 1959-1965 menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
Orde Baru. Perubahan itu dilakukan karena Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara Orde Lama dianggap kurang mencerminkan pelaksanaan Undang-
Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.
11. Sebenarnya apa beda sumber hukum formil dengan sumber hukum materiil?
Dan apa hubungannya?
Jawaban :
- Sumber hukum Materil
Sumber hukum materiil ialah sumber hukum yang dilihat dari segi isinya,
misalnya : KUHP segi materilnya adalah pidana umum, kejahatan dan
pelanggaran. KUHPerdata mengatur masalah orang sebagai subjek hukum, benda
sebagai objek, perikatan, perjanjian, pembuktian dan daluarsa sebagaimana fungsi
hukum menurut para ahli .
- Sumber hukum Formil  
Sumber hukum formil adalah dalah sumber hukum yang menentukan
bentuk dan sebab terjadinya suatu peraturan (kaidah hukum). Peraturan
perundang-undangan ini memiliki dua fungsi utama yaitu sebagai legalisasi dan
legislasi. Yang dimaksud dengan legalisasi adalah mengesahkan fenomena yang
telah ada di dalam masyarakat, sedangkan yang dimaksud dengan legislasi adalah
proses untuk melakukan pembaruan hukum sebagaiman juga tujuan hukum acara
pidana .
12. Kapan sebuah undang-undang bisa menjadi sumber hukum?
Jawaban: Undang-Undang Dalam arti Formil dapat diartikan juga dalam arti
sempit yaitu setiap peraturan atau ketetapan yang dibentuk oleh alat
perlengkapan negara yang diberi kekuasaan membentuk undang-undang, dan
diundangkan sebagaimana mestinya. Dalam arti materiil atau juga disebut
undang-undang dalam arti luas yaitu setiap peraturan atau ketetapan yang
isinya berlaku  mengikat kepada umum (setiap orang) Untukmembedakan
antar undang-undang dalam arti materiil, biasanya digunakan istilah sendiri :
UndangUndang dalam arti formil disebut "undang-undang", Sedangkan
Undang-undang dalam arti materiil disebut dengan istilah "peraturan".
13. Kapan Undang-Undang yurisprudensi bisa menjadi sumber hukum di
Indonesias?
Jawaban :Yurisprudensi sebagai sumber hukum Disebut juga keputusan
hakim  atau  keputusan Pengadilan  yang dapat digunakan untuk mengadili
perkara terhadap hal yang sama. 
14. Kapan Kebiasaan bisa menjadi sumber hukum di Indonesia?
Jawaban :Kebiasaan (custom) dapat diartikan sebagai sumber hukum dalam
arti formal yang tidak tertulis. Kebiasaan adalah perbuatan manusia mengenai
hal tertentu yang dilakukan berulang-ulang dalam waktu yang lama dan
keseluruhan aturan yang ditaati oleh masyarkat sebagai hukum, meskipun
aturan tersebut tidak ditetapkan oleh pemerintah.
Contoh dalam kehidupan masyarakat kebiasaan bertegur sapa bila bertemu
dengan orang yang telah dikenal, suatu keluarga mengalami peristiwa yang
menggembirakan seperti kelahiran anaknya, pesta ulang tahun, pernikahan
dan lain sebagainya. Apabila dalam suatu keluarga mengalami hal tersebut,
namun tidak melakukan kebiasaan itu, maka terjadi kecenderungan keluarga
tersebut menjadi gunjingan masyarakat. Tidak semua kebiasaan itu
mengandung hukum yang adil dan mengatur tata kehidupan masyarakat
sehingga tidak semua kebiasaan dijadikan sumber hukum. Oleh sebab itu,
belum tentu kebiasaan atau adat istiadat itu pasti menjadi sumber hukum
formal. Ada kebiasaan tertentu di daerah hukum adat tertentu yang dilarang
untuk diberlakukan karena dirasakan tidak adil dan tidak berperikemanusiaan
sahingga bertentangan dengan Pancasila yang merupakan sumber dari segala
sumber hukum. Misalnya di Indonesia, kebiasaan Mengayau (pemenggalan)
pada suku Dayak pada zaman dahulu yang betentangan dengan PANCASILA.
Dalam pasal 27 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman di Indonesia yang menjelaskan
bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dalam
penjelasan tersebut dikemukakan bahwa dalam masyarakat yang masih
mengenal hukum tidak tertulis, hakim merupakan perumus dan penggali nilai-
nilai hukum yang ada di masyarakat. Maka dari itu, hakim harus mengetahui
kondisi masyarakat untuk mengenal, merasakan dan memahami hukum dan
keadilan yang hidup di masyarakat.
15. Kapan Doktrin bisa menjadi sumber hukum di Indonesia?
Jawaban : Di dalam ilmu hukum, doktrin didefiniskan sebagai pendapat para
ahli hukum terkemuka yang dijadikan dasar dalam pelaksanaan hukum.
Seorang hakim dalam melakukan pengambilan keputusan terkadang
menggunakan doktrin dari pendapat para ahli hukum yang berpengaruh.
Dalam literature hukum di Indonesia, doktrin dianggap sebagai salah satu
sumber hukum formal. Pendapat para ahli hukum yang dapat dijadikan
doktrin hanyalah pendapat para pakar hukum terkemuka yang buah
pemikirannya dianggap sangat bermutu dan keahliannya diakui sehingga
pemikiran mereka dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh hakim.Sebuah
pendapat dari ahli hukum belum dapat dijadikan sumber hukum jika belum
digunakan hakim sebagai dasar pengambilan keputusan. Oleh karena itu,
doktrin bisa dianggap sebagai sumber hukum formal jika sudah digunakan
hakim dalam pengambilan keputusan. Pasal 38 ayat (1) Mahkamah
Internasional menetapkan, bahwa doktrin adalah menjadi salah satu sumber
hukum formal.
Dalam hukum pemerintahan, kita mengenal doktrin seperti doktrin dari
Montesquieu, yakni Trias Politica yang membagi kekuasaan pemerintah
menjadi tiga bagian yang terpisah. Tata urutan peraturan perundang-undangan
Republik Indonesia diatur dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Segala peraturan perundang-
undangan harus bersumber pada sumber hukum. Sumber hukum nasional
Indonesia adalah Pancasila. Jadi semua peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Meskipun
ada ahli yang menyatakan bahwa doktrin bukan merupakan sumber hukum,
akan tetapi dalam prakteknya doktrin telah dianggap sebagai salah satu
sumber hukum yang sangat penting. Catatan yang paling penting untuk kita
ketahui adalah bahwa doktrin hanya bisa menjadi sumber hukum formal jika
telah digunakan oleh hakim sebagai dasar dalam pertimbangan pengambilan
keputusannya.
16. Kapan Traktat/perjanjian bisa menjadi sumber hukum di Indonesia ?
Jawaban : Traktat atau "treaty" adalah perjanjian antar negara. Traktat ada
dua macam :
o Traktat Bilateral : yaitu perjanjian yang dilakukan oleh dua negara
contoh perjanjian yang dilakukan oleh Indonesia dengan Malaysia tentang
batas wilayah.
o Traktat Multilateral atau Kolektif : yaitu perjanjian yang dilakukan
oleh dua atau lebih dari beberapa negara seperti perjanjian ekonomi Asian.
Traktat itu mengikat dan berlaku sebagai peraturan hukum terhadap warga
negara dari masing-masing negara yang mengadakan. Dalam UUD 1945 pasal
11 traktat di akui :
- Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
- Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan
atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
- Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan
undang-undang.
17. Bagaimana skema lembaga Peradilan? Buat skemanya!
Jawaban :

KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

Mahkamah Komisi
Agung Yudisial
Mahkamah Konstitusi

18. Apa yang dimaksud dengan kekuasaan kehakiman ?


Jawaban :Kekuasaan Kehakiman menjadi satu bab tersendiri dalam UUD
NRI 1945 yaitu BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Terdiri dari Pasal
24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25. Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi, bunyi Pasal 24 Ayat (2). Pasal 24 Ayat (1)
UUD NRI 1945 menegaskan bahwa Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI 1945
mengatakan bahwa Badanbadan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Undang-Undang tentang
Kekuasaan Kehakiman saat ini yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor
48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. UU 48/2009 mencabut
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman karena
dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukun dan ketatanegaraan
menurut UUD NRI 1945.
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
disahkan di Jakarta pada tanggal 29 Oktober 2009 oleh Presiden Doktor Haji
Susilo Bambang Yudhoyono. Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman mulai berlaku setelah diundangkan oleh Menkumham
Patrialis Akbar pada tangal 29 Oktober 2009 di Jakarta. Agar setiap orang
mengetahuinya, Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman ditempatkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 137. Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman ditempatkan dalam Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5076. Undang-Undang Nomor 48 tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terdiri dari 13 BAB dan 64 Pasal, dengan
13 halaman Penjelasannya. Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman mereformulasi sistematika Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sehingga lebih komprehensif. Jadi
dalam UU 48 tahun 2009, ada bab tersendiri mengenai asas penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman; pengaturan umum mengenai pengawasan hakim dan
hakim konstitusi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim; pengaturan umum mengenai pengangkatan dan
pemberhentian hakim dan hakim konstitusi; pengaturan mengenai pengadilan
khusus yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan
memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu
lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.
Pengaturan mengenai hakim ad hoc yang bersifat sementara dan memiliki
keahlian serta pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara; pengaturan umum mengenai arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan; pengaturan umum
mengenai bantuan hukum bagi pencari keadilan yang tidak mampu dan
pengaturan mengenai pos bantuan hukum pada setiap pengadilan; dan
pengaturan umum mengenai jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan
hakim konstitusi.
19. Apa bedanya kekuasaan kehakiman saat ini dengan kekuasaan kehakiman
Orde-Baru ?
Jawaban : Secara historis, setelah dekrit Presiden 5 Juli 1959, kekuasaan
kehakiman di Indonesia mengalami awal krisis. Dengan UU No. 19 tahun
1964 tentang Kekuasaan Kehakiman, atas kepentingan nasional dan revolusi
yang terancam, Presiden diperbolehkan intervensi kekuasaan atas putusan
peradilan. Instrumen hukum UU No. 19 tahun 1964 tidak sepi dari
kepentingan-kepentingan politik demokrasi terpimpin pada waktu, Seokarno
menghendaki mobilisasi dukungan penuh dari para ahli hukum, advokat dan
para penegak hukum. Undang-Undang ini lahir sebagai dampak dari kecamuk
pembubaran Masyumi yang tidak mempunyai dasar hukum.[1]
Dependensi peradilan semakin merajalela ketika rezim Orde Baru.
Dengan UU No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman terjadi
dualisme dalam kekuasaan kehakiman, tekhnis peradilan berada di bawah
Mahkamah Agung sedangkan administrasinya berada di bawah Departemen
Kehakiman. Dualisme kekuasaan kehakiman inilah yang kemudian
melahirkan perselingkuhan peradilan dan hakim tunduk kepada kekuasaan
Seoharto dan menjadi petanda kekalahan kaum reformis saat itu. Situasi
kekuasaan yang menempel pada kekusaan kehakiman berdampak pada tidak
independennya putusan para hakim. Kalaupun ada hakim yang menjaga
nurani dan keadilan, sesungguhnya nasib hakim tersebut dipertaruhkan masa
depan karir dan kehidupannya. Ketundukan pada titah kekuasaan menjadi
prasyarat kemudahan kenaikan pangkat dan masa depan karir mereka. Di era
Orde Baru, putusan hukum terutama yang terkait dengan kekuasaan telah
tersetting sedemikan rupa mulai dari Kepolisian, Kejaksaan sampai pada
putusan akhir di instistusi Kehakiman. Diantara putusan hukum bermasalah
itu ialah peradilan Komando Jihad, peradilan A.M Fatwa, Muchtar Pakpahan,
kasus gugatan pembatalan SIUPP majalah Tempo, Kedung Ombo, dan
banyak lagi lainnya.
Setelah kejatuhan Seoharto dengan berbagai refresifitasnya, saat ini
Undang-Undang Kekuasaan kehakiman telah diamandemen. Instrumen
terbaru ialah UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
instrumen ini menggantikan UU No. 14 tahun 2004 yang lahir juga pasca
reformasi. Proses amandemen Undang-Undang kekuasaan kehakiman pasca
reformasi ini menandakan satu era pembelajaran dimana peradilan haruslah
independen dan lepas dari intervensi kekuasaan. Namun demikian, peradilan
adalah berbicara sistem yang berantai, mulai dari tes seleksi, syarat
pendaftaran hakim, seleksi hakim Agung di DPR, ditambah lagi dengan kerja-
kerja dunia peradilan yang tidak lepas dari institusi Kepolisian dan Kejaksaan
yang secara struktural berada dibawah kekuasaan eksekutif. Dalam konteks
ini, eksistensi peradilan di era reformasi ini berarti belumlah selesai dan masih
sangat rentan dengan pengaruh dan intervensi kekuasaan. Kendatipun telah
dilakukan perubahan yang cukup signifikan dalam pengaturan hal ichwal
kekuasaan kehakiman di dalam UUD tahun 1945 pasca amandemen, masih
ditemukan beberapa hal lainnya yang dapat mengakibatkan tidak dapat
dilaksanakannya kekuasaan kehakiman secara terhormat dan bermartabat
dengan akuntabilitas yang tinggi. Publik telah mengetahui dan mahfum bahwa
pada periode Orde lama dan Orde Baru ada masalah utama yang dihadapi oleh
kekuasaan kehakiman berkenaan dengan intervensi kekuasaan dan
kepentingan politik serta eksekutif. Intervensi dimaksud dilakukan melalui:
kesatu, kedudukan mahkamah ditempatkan sebagai bagian dari instrumen
kekuasaan politik Orde Lama untuk menjalankan politik “revolusioner” dari
kekuasaan; kedua, pada periode Orde Baru, mahkamah tidak lagi secara
eksplisit menjadi bagian dari kepentingan tetapi ada “kontrol politik” terhadap
tugas dan wewenang mahkamah. Kontrol dmaksud antara lain meliputi:
mekanisme rekruitmen hakim agung, pemilihan dan pengangkatan ketua
mahkamah, kontrol eksekutif atas promosi dan mutasi para hakim di
lingkungan mahkamah, politik anggaran yang disusun dan dirumuskan
dengan campur tangan yang cukup intensif dari birokrasi pemerintahan.
Pasca Orde Baru, masalah utama seperti diuraikan di atas tidak lagi
sepenuhnya dapat didesakkan kepada mahkamah karena adanya rumusan
pasal di dalam konstitusi yang cukup tegas yang menyatakan kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan. De facto, Mahkamah Agung pada saat ini sudah: kesatu, dapat
melakukan promosi dan mutasi secara mandiri tanpa campur tangan lagi dari
birokrasi; kedua, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung maupun
Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim agung dan hakim konstitusi
sendiri; ketiga, mahkamah dapat menyusun dan merumuskan secara mandiri
anggaran yang diperlukan untuk menjalankan tugas, fungsi, dan
wewenangnya. Kendati ada perubahan yang menjaga dan mewujudkan
eksistensi dan prinsip dasar kekuasaan kehakiman, publik masih merasakan
adanya fakta yang memperlihatkan, kekuasaan kehakiman belum sepenuh-
penuhnya menjadi terhormat, bermartabat, dan mempunyai standar kinerja
dengan akuntabilitas yang tinggi.
20. Apa yg dimaksud kewenangan absolut dan relatif, lembaga peradilan?
Berikan contohnya!
Jawaban : Kewenangan absolut adalah kewenangan pengadilan dalam
mengadili berdasarkan jenis perkaranya. Misalnya, perkara perceraian bagi
yang pasangan beragama Islam merupakan kewenangan absolut Pengadilan
Agama (PA) berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat (1) huruf a Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Kemudian perkara hutang –
piutang, wanprestasi atas perjanjian bisnis, gugatan ganti rugi, pecurian,
penipuani dan lain sebagainya merupakan kewenangan Pengadilan Negeri
(PN). Demikian halnya dengan Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN), dimana
secara absolut berwenang mengadili perkara yang termasuk dalam ranah
sengketa Tata Usaha Negara.
21. Apa bedanya politik hukum dengan hukum politik.?
Jawaban : Politik Hukum, Penggunaan istilah politik hukum dikenal dalam
bahasa Belanda dari istilah Rechtpolitiek, sedangkan dalam bahasa Inggris
dikenal beberapa istilah terkait politik hukum, yaitu: Politics of Law (politik
hukum), Legal Policy (kebijakan hukum), Politic of Legislation (politik
perundang-undangan), Politic of Legal Product (politik yang tercermin dalam
berbagai produk hukum) dan Law Development (politik pembangunan
hukum). Berdasarkan asal katanya, politik hukum merupakan gabungan dari
dua kata, yaitu politik dan hukum. Akibatnya, perlu dipahami juga kedua kata
ini secara terpisah. Secara umum, kata politik dapat dipahami dari dua
pengertian, yaitu: (a) politics – politik sebagai ilmu (science) adalah suatu
rangkaian asas, prinsip, cara/alat yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan
tertentu; dan (b) policy – politik sebagai seni (arts) adalah penggunaan
pertimbangan tertentu yang diangggap lebih menjamin terlaksananya kegiatan
usaha, cita-cita atau keinginan/keadaan yang dikehendaki. Policy secara
gramatikal – leksikal adalah “a guide for action” (petunjuk untuk melakukan
aksi/kegiatan). Sedangkan, pengertian hukum secara umum adalah aturan
tentang tingkah laku bagi manusia dalam hidup bermasyarakat, baik tertulis
maupun tidak tertulis. Pemahaman kedua bentuk hukum ini dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. hukum tertulis adalah sekumpulan peraturan yang tersusun dalam
suatu sistem yang berisikan petunjuk tentang apa yang boleh dan apa yang
tidak boleh dilakukan, perintah dan larangan bagi masyarakat, disertai sanksi
pemaksa yang tegas; dan
b. hukum tidak tertulis adalah kebiasaan yang hidup dalam masyarakat,
dipertahankan dan dipatuhi serta mengikat masyarakat, memiliki sanksi sosial
dan moral.
Berdasarkan pemahaman terhadap asal usul kata dari politik dan hukum
tersebut di atas, maka politik hukum dapat dipahami sebagai suatu rangkaian
asas, prinsip, cara/alat yang digunakan untuk mencapai tujuan hukum; atau
perbandingan tertentu yang dianggap lebih menjamin terlaksananya kegiatan,
cita-cita atau tujuan hukum. Pada prinsipnya, pemahaman terhadap pengertian
politik hukum berbeda-beda dari setiap orang, khususnya perbedaan
pemahaman pakar hukum terhadap politik hukum disajikan pada Tabel 1
(Henuk, 2011). Perbedaan politik hukum dan studi politik hukum adalah yang
pertama lebih bersifat formal pada kebijakan resmi, sedangkan yang kedua
mencakup kebijakan resmi dan hal-hal lain yang terkait dengannya.
Menurut sejarahnya, Politik Hukum digunakan untuk pertama kali dalam
SK Dirjen Dikti No. 165/Dikti/Kep/1994 tertanggal 24 Juni 1994, sebagai
mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh mahasiswa Program Magister
Hukum Program Pascasarjana. Pada tanggal 4 Agustus 1998, Dirjen Dikti
mengeluarkan SK No. 278/Dikti/Kep/1998 yang menetapkan mata kuliah
Politik Hukum sebagai salah satu mata ujian negara wajib.
Hukum dan politik dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang
dibalik-balik pun akan memiliki nilai sama meski dalam perwajahan yang
berbeda antara kedua sisinya. Secara teoritis hubungan hukum dengan
politik/kekuasaan harusnya bersifat fungsional, artinya hubungan ini dilihat
dari fungsi-fungsi tertentu yang dijalankan di antara keduanya. Pada
umumnya, terdapat fungsi timbal-balik (simbiotik) antara hukum dan
politik/kekuasaan, yaitu politik/kekuasaan memiliki fungsi terhadap hukum,
sebaliknya hukum juga memiliki fungsi terhadap politik/kekuasaan.
Persamaan dan Perbedaan serta Hubungan Politik Hukum dan Hukum dan
Politik :
Dalam upaya memahami persamaan dan perbedaan serta hubungan
antara politik hukum dan hukum dan politik, maka disamping telah dipahami
pengertian politik hukum dan fungsi-fungsi timbal-balik antara hukum dan
politik sesuai yang telah dijabarkan diatas,perlu juga dipahami manfaat
mempelajari studi Politik Hukum dan fungsi dari Hukum dan Politik dalam
menggerakkan sistem kemasyarakan secara keseluruhan. Pada umumnya,
kemanfaatan dari studi Politik Hukum adalah memberikan kekayaan
pemahaman atas dinamika hubungan antara hukum dan politik secara kritis
dan komprehensif, baik meliputi aspek latar-belakang, motif-motif politik,
suasana pergulatan berbagai kepentingan yang bertarung, dibalik lahirnya
hukum. Dengan perkataan lain, dengan mempelajari politik hukum, maka
dapat dipahami suasana kebatinan (geistlichen hintergrund) saat produk
hukum dibuat, sehingga tentu dapat diketahui dan dipahami secara pasti jiwa,
roh atau kehendak dari lahirnya suatu hukum. Khusus Indonesia, sesuai
dengan pesan dari pendiri bangsa (founding fathers) bahwa UUD ’45 tidak
dapat dipahami hanya dari membaca bunyi teksnya saja tetapi harus mampu
dipahami juga latar belakang kejiwaansewaktu UUD ’45 tersebut dibuat.
Sedangkan, hukum dan politik merupakan suatu subsistem dalam
kemasyarakatan. Berdasarkan fungsi timbal-balik antara hukum dan
politik/kekuasaan, yaitu politik/kekuasaan memiliki fungsi terhadap hukum,
sebaliknya hukum juga memiliki fungsi terhadap politik/kekuasaan sesuai
yang telah dijabarkan diatas, maka dapat dipahami bahwa hukum berfungsi
melakukan pengontrol masyarakat (social control), penyelesaian pertikaian
(dispute settlement) dan perekayasa sosial (social engineering) atau inovasi
(innovation), sedangkan fungsi politik meliputi pemeliharaan sistem dan
adaptasi (socialization and recruitment), konversi aturan (rule making, rule
application, rule adjudication, interest-articulation and aggregation) dan fungsi
kapabilitas (regulative extractive, distributive and responsive).
Walaupun hukum dan politik memiliki fungsi dan dasar pembenar yang
berbeda, akan tetapi ditinjau dari segi tujuannya, keduanya saling melengkapi
dan mendukung terwujudnya tujuan negara yaitu keadilan sosial. Hukum dan
politik harus memberikan kontribusi sesuai dengan fungsi masing-masing
untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan terutama
dalam komitmen mendukung terlaksananya pembangunan suatu bangsa.
Khusus Indonesia, pemerintah yang bertanggung-jawab berarti pemerintah
yang mampu mewujudkan fungsi ekonomi publik yang sesungguhnya, yaitu
fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi sumber daya yang dimiliki oleh
negara. Efektifitas proses penggunaan kekuasan yang tunduk pada hukum
pada akhirnya akan menjadi penilaian keberhasilan kerja bagi aparat dan
instansi pemerintah.
Politik hukum dapat dipahami sebagai kebijakan hukum (legal policy)
yang akan dan telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup
pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara
melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan hukum dan
penegakan hukum itu, sehingga hukum tidak hanya dipandang sebagai pasal-
pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat das
sollen, tetapi harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan (das
sein) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam
perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan
penegakannya. Sedangkan, tiga jawaban yang dapat menjelaskan hubungan
kausalitas antara hukum dan politik atau pertanyaan tentang apakah hukum
yang mempengaruhi politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum:
(a)hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan
politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum,
(b) politik deteminan atas hukum, karena hukum merupakan hasil
atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan
bahkan saling bersaingan; dan
(c)politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada
posisi yang derajat determinasinya seimbang antara satu dengan yang lain,
karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik, tetapi begitu
hukum ada, maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan
hukum.

22. Bagaimana mekanisme pembuatan hukum diindonesia?


Jawaban : untuk proses pembentukan undang-undang diatur dalam Undang-
undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan pasal 16 sampai 23, pasal 43 sampai 51 dan pasal 65 sampai 74.
Berdasar ketentuan tersebut seperti inilah proses pembentukan sebuah
undang-undang.
1. Sebuah RUU bisa berasal dari Presiden, DPR atau DPD.
2. RUU yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau
pimpinan lembaga terkait.
3. RUU kemudian dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional
(prolegnas) oleh Badan Legislasi DPR untuk jangka waktu 5 tahun.
4. RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan Naskah Akademik
kecuali untuk RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), RUU
penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) menjadi
UU, serta RUU pencabutan UU atau pencabutan Perpu.
5. Pimpinan DPR mengumumkan adanya usulan RUU yang masuk dan
membagikan ke seluruh anggota dewan dalam sebuah rapat paripurna.
6. Di rapat paripurna berikutnya diputuskan apakah sebuah RUU
disetujui, disetujui dengan perubahan atau ditolak untuk pembahasan lebih
lanjut.
7. Jika disetujui untuk dibahas, RUU akan ditindaklanjuti dengan dua
tingkat pembicaraan.
8. Pembicaraan tingkat pertama dilakukan dalam rapat komisi, rapat
gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat
panitia khusus.
9. Pembicaraan tingkat II dilakukan di rapat paripurna yang berisi:
penyampaian laporan tentang proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini
DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I; pernyataan persetujuan atau
penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh
pimpinan rapat paripurna; dan pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh
menteri yang mewakilinya.
10. Apabila tidak tercapai kata sepakat melalui musyawarah
mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak
11. Bila RUU mendapat persetujuan bersama DPR dan wakil
pemerintah, maka kemudian diserahkan ke Presiden untuk dibubuhkan tanda
tangan. Dalam UU ditambahkan kalimat pengesahan serta diundangkan dalam
lembaga Negara Republik Indonesia.
12. Dalam hal RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU disetujui bersama,
RUU tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.

23. Seperti apa hirarki peraturan perundangan undangan di Indonesia ? Serta


bagaimana perkembangannya sejak indonesia merdeka sampai sekarang?
Jawaban : Sejak tahun 1966 sampai dengan sekarang telah dilakukan
perubahan atas hierarki (tata urutan) peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Pada tahun 1996, dengan Ketetapan MPR No. XX/MPR/1966
Lampiran 2, disebutkan bahwa hierarki peraturan perundang-undangan
Indonesia adalah:
1. Undang-undang Dasar 1945;
2. Ketetapan MPR;
3. Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Keputusan Presiden
6. Peraturan-peraturan pelaksananya, seperti:
- Peraturan Menteri;
- Instruksi Menteri;
- Dan lain-lainnya.
Pada tahun 1999, dengan dorongan yang besar dari berbagai daerah di
Indonesia untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas serta semakin kuatnya
ancaman disintegrasi bangsa, pemerintah mulai mengubah konsep otonomi
daerah. Maka lahirlah Undang Undang No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004) dan
Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah (telah diganti dengan UU No. 33 Tahun 2004). Perubahan ini tentu
saja berimbas pada tuntutan perubahan terhadap tata urutan peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Karena itulah, dibuat Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang.
Kalau selama ini Peraturan Daerah (Perda) tidak dimasukkan dalam tata
urutan peraturan perundang-undangan, setelah lahirnya Ketetapan MPR No. II
Tahun 2000, Perda ditempatkan dalam tata urutan tersebut setelah Keputusan
Presiden. Lengkapnya, tata urutan peraturan perundang-undangan di
Indonesia setelah tahun 2000 adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden; dan
7. Peraturan Daerah
Undang-Undang pertama kali yang disahkan setelah berlakunya UUD
1945 adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 Tentang Komite Nasional
Daerah yang terdiri atas enam pasal (disahkan pada tanggal 23 November
1945).
Perkembangan yang “wajar” dan “jelas” dalam Sejarah Perundang-
undangan, karena adanya perbedaan ketiga UUD yang menjadi pokok
pangkalnya. Sedangkan perkembangan selanjutnya yaitu sejak tanggal 5 Juli
1959 sampai tanggal 5 Juli 1966 merupakan perkembangan yang ditandai oleh
“kedaruratan” akibat adanya Dekrit Presiden dan munculnya suatu bentuk
penyelewengan (munculnya dua jenis peraturan perundang-undangan yang
baru dengan nama Penetapan Presiden (Surat Presiden RI tanggal 20 Agustus
1959 No. 2262/HK/59) dan Peraturan Presiden (tanggal 22 september 1959
No. 2775/HK/59)). Kedua peraturan baru ini sama sekali tidak disebut dalam
UUD 1945, bahkan kedudukan dan peranannya melebihi ketiga bentuk
perundang-undangan yang telah diatur sebelumnya dalam UUD 1945. Sejak
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai awal 1966, terdapat sekitar 76 buah
Penetapan Presiden dan 174 buah Peraturan Presiden yang terdapat dalam
lembaran negara. Secara yuridis formal, perkembangan terakhir ini berawal
pada tanggal 5 Juli 1966 yaitu dengan dikumandangkannya Ketetapan MPRS
No XIX/1966 tentang peninjauan kembali produk-produk legislatif negara di
luar produk MPRS yang tidak sesuai dengan UUD 1945.
Berkaitan dengan proses penyusunan suatu rancangan undang-undang,
sejarah peraturan perundang-undangan mencatat paling tidak sejak tanggal 29
Agustus 1970, semua Menteri dan Kepala Lembaga Pemerintahan Non
Departemen harus berpedoman kepada Instruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 1970 Tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia.
Pada saat itu, pertimbangan ditetapkannya Inpres tersebut adalah untuk
menciptakan tertib hukum dan peningkatan koordinasi, integrasi dan
sinkronisasi penyelenggaraan tugas pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai