Anda di halaman 1dari 8

TUGAS HUKUM PIDANA ADAT

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah perkembangan hukum adat di Indonesia


Van vollen hoven dalam peneliatian pustakanya pernah menyatakan bahwa masyarakat-
masyarakat asli yang hidup di indonesia , sejak ratusan tahun sebelum kedatangan bangsa Belanda,
telah memiliki dan hidup dalam tata hukumnya sendiri. Tata hukum masyarakat asli tersebut
dikenal dengan sebutan hukum adat. Selain itu menurut snouck hurgronje, hukum adatpun
dijalankan sebagaimana datnya tanpa mengenal bentuk-bentuk pemisahan, seperti dikenal dalam
wacana hukum barat bahwa indifidu merupakan entitas yang terpisah dari masyarakat.
Selanjutnya perkembangan hukum adat di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Masa sebelum kemerdekaan
Pada awalnya hukum adat yang berlaku di Indonesia hanya berlaku hukum adat yang asli
beserta segenap tatanan dan kelembagaanya. Orang minagkabau memiliki sitim hukum
adatnya sendiri dan filsafah yang dianggap benar didaearah tersebut. Asas dan filsafah ini
berbeda dengan asas dan filsafah yang ada di jawa timur, sulawesi, bali, ataupun diflores. Pada
saat itu hanya ada 2 (dua) unsur saja yang sama dari semua sistim hukum adat yang ada, yaitu
sifat kekeluargaan (komunitas) dan sifat hukum yang tidak tertulis. Van vollen hoven
mengatakan ada 3 (tiga) unsur yang sama yaitu :
1.1 Commun
1.2 contant
1.3 concreten
baru sekitar abad ke-7 hukum adat meresepsi unsur-unsur agama hindu, karena itu
keadaan hukum dikepulauan Nusantara sampai dengan abad ke-14 banyak meresepsi hukum
Hindu. Dan dilanjutkan dengan masuknya pengaruh hukum islam melalui perdangangan dari
bangsa-bangsa Arab.
Sekitar abad ke-17 bangsa protugis, Belanda serta bangsa lain mulai menginjakkan
kakinya ke Indonesia, sehingga banyak dipengaruhi oleh hukum-hukum eropa pada daerah-
daerah yang dikunjungi bansa Eropa, malalui asas konkordansi penjajah menerapkan
pembagian hukum di Indonesia yaitu :
1.1 sistim hukum barat
1.2 sistim hukum adat, dan
1.3 sistim hukum islam
dari sejarah tersebut maka tampaklah bahwa bukan hanya seluruh hukum yang
berlaku di Indonesia bersifat heterogen, tetapi akibat sejarah yang panjang tiap-tiap bagian
hukum yang berlaku dengan masing-masing daerah di Indonesia juga bersifat heterogen.

2. Masa setelah proklamasi kemerdekaan


Sampai pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, kondisi
keanekaragaman hukum itu masih berlaku melalui ketetapan MPR nomor II Aturan Peralihan
UUD 1945, ditambah dengan produk-produk hukum nasional yang sejak tahun 1945 sampai
dengan sekarang masih berkembang. Perkembangan ini masih akan terus dilakukan karena
masih kental dengan pengaruh kolonial terhadap berbagai peraturan hukum di Indonesia,
untuk itu perlu dilakukan :

1
2.1 perubahan, pembaharuan, dan penyesuaian peraturan kolonial itu oleh peraturan hukum
Nasional
2.2 secara konseptual dan mendasar perlu dilaksanakan transformasi hukum barat, hukum
islam maupun hukum adat kedalam sistim hukum nasional.
Pada saat ini hukum positif yang berlaku di Indonesia masih terdiri dari unsur-unsur :
2.1 hukum adat
2.2 hukum islam
2.3 hukum barat

B. Wawasan pembangunan hukum


Wawasan pembangnan hukum meliputi 3 (tiga) segi, tetapi secara bersama-sama merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain, yaitu :
1. Wawasan nusantara
Merupakan cara pandang bangsa Indonesia yang melihat seluruh kepulauan Nusantara sebagai
satu kesatuan yang utuh. Dalam pengertian pembangunan hukum, ini mengandung makna
bahwa di seluruh Kepulauan Nusantara hanya ada satu hukum, yaitu hukum nasional, yang
mengabdi kepada kepentingan nasional yaitu kepentingan bagasa Indonesia.

2. Wawasan kebangsaan
Wawasan kebangsaan pada intinya menekankan kepada pemikiran bahawa negara Repoblik
Indonesia adalah Negara Kebangsaan, bukan suatu negara yang berdasarkan ras atau budaya
dan agama.

3. Wawasan Bhineka Tunggal Ika


Sadar akan kebhinekaan dalam berbagai aspek kehidupan Bangsa Indonesia sebagai bangsa
yang besar, merdeka dan berdaulat, Hukum Nasional yang akan kita wujudkan harus
memperhatikan perbedaan latar belakang sosial budaya dan perbedaan kebutuhan hukum
yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu.

C. Asas-asas hukum nasional


Asas hukum adalah ide yang mewakili sekalian bahan kultur yang dimasukkan ke dalam hukum
sebagai landasan operasionalisasi nilai-nilai yang bersumber pada pandangan hidup bangsa yang
diperlukan dalam pembentukan, penerapan, pelayanan, penegakan maupun pengembangan
akademik suatu tata hukum nasional, yang terdiri dari hukum tertulis maupun tidak tertulis.
Asas hukum memiliki fungsi dansifat sebagai pengintegritas, penyeleksi, dan penyalur ide
karena asa hukum memadukan peraturan-peraturan yang cerai berai menjadi satu sistem, bagian
atau bidang hukum yang bulat. Asa hukum memiliki sifat dinamis, berubah sesuai dengan
perubahan serta perkembangan masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut., maka dapat dibedakan
asas hukum nasional sebagai berikut :
1. Asas konstitusional, yang bersumber pada konstitusi dasar bangsa Indonesia yakni UUD 1945
dan pancasila
2. Asas operasional, pembentukan dan implementasinya dilaksanakan secara berencana dan
berkesinambungan
3. Asas hukum substantif/materil, memperhatikan pola yang secara historis dituangkan dalam
sistim hukum barat, sistem hukum adat, dan sistim hukum islam
4. Asas budaya hukum nasional, dilansasi pada kekayaan kultural dan pengalaman bangsa
Indonesia

2
D. Dasar hukum berlakunya hukum pidana adat
Dalam KUHP yang hingga kini masih berlaku, tidak ada ketentuan yang secara tegas
memberikan landasan hukum bagi dapat dipidananya tindak pidana adat, karena untuk dapat
dipidananya suatu perbuatan, berlaku suatu asas dalam hukum pidana yang dikenal dengan “asas
legalitas” sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang menentukan “ tidak ada suatu
perbuatan yang dapat dipidana, kecualai atas perundang-undangan pidana yang telah ada sebelum
perbuatan itu dilakukan”.
Diperancis asa ini pertama kali termuat dalam pasa 4 code penal yang disusun oleh Napoleon
Benaparte (tidak ada pelanggaran, tidak ada delik, tidak ada kejahatan yang dapat dipidana
berdasarkan aturan hukum yang ada, sebelum aturan hukum itu dibuat terlebih dahulu).
Menurut Machteld Boot, asas Legalitas mengandung beberapa syarat yaitu :
1. Nullum crimen noela poena sine lege praevia, (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana
tanpa undnag-undang sebelumya), konsekuensinya non rektroaktif
2. Nullum crimen noela poena sine lege scripta, (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana
tanpa undang-undang tertulis), konsekuensinya harus tertulis
3. Nullum crimen noela poena sine lege certa, (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana
tanpa aturan undang-undang pidana yang jelas), konsekuensinya tidak multitafsir
4. Nullum crimen noela poena sine lege stricta, (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana
tanpa undang-undang yang ketat), konsekuensinya tidak boleh analogi

Dalam konteks hukum pidana di Indonesia apabila para penegak hukum


mengenyampingkan hukum yang tidak tertulis, maka perbuatan tersebut adalah pelanggaran
dari rasa keadilan didalam masyarkat. Hal ini karena kebanyakan hukum yang tidak tertulis
berasal dari keinginan masyarakat sehingga pemberlakukanya lebih efektif dan
mencerminkan rasa keadilan didalam masyarakat, untuk itu pemberlakuan hukum yang tidak
tertulis saat ini sudah mendapat legitimilasi secara formal diberbagai peraturan yang ada.
Beberapa legitimilasi terhadap pemberlakukan hukum adat di Indonesia sebagai berikut :
a. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Repoblik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”

b. pasal 5 ayat (3) huruf b undang-undang darurat nomor 1 tahun 1951 tentang
tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan
dan acara pengadilan-pengadilan sipil, menyatakan sebagai berikut :
“hukum materil sipil dan untuk sementara waktupun hukum materil pidana sipil yang
selama ini berlaku untuk kaula-kaula daerah swapraja dan orang-orang dahulu yang
diadili oleh pengadilan adat, ada tetap berlaku bagi kaula-kaula dan orang itu dengan
pengertian : bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap
perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandinganya dalam kitab hukum pidana sipil,
maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan
atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman
adat yang dijatuhi itu tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang
dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan dasar kesalahan terhukum, bahwa
jika hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya
dengan hukuman kurungan atau dengan yang dimaksudkan diatas, maka atas

3
kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara,
dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut pemahaman hakim tidak
selaras lagi dengan jaman senantiasa diganti seperti tersebut diatas, dan, bahwa
suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana
diancam dengan hukuman yang paling sebanding dengan perbuatan itu.
Ada tiga konklusi dari dasar hukum ini yaitu :
1. bahwa tindak pidana adat yang tiada bandingan atau padanan dalam KUHP
dimana siafatnya tidak berat atau dianggap tindak pidana adat yang ringan.
2. Tindak pidana adat yang sebanding hukumannya dengan tindak pidana yang
diatur didalam KUHP.
3. Sanksi adat yang dijelaskan diatas dapat menjadi pidana pokok atau pidana utama
dalam penjatuhanya
c. Undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasan kehakiman. Terdapat
beberapa pasal yang secara eksplisit mengatur tentang pemberlakukan pidan adat
dalam menjatuhi hukuman kepada terdakwa, sebagai berikut :
i. pasal 5 ayat (1) “hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup didalam
masyarakat”
ii. pasal 10 ayat (1) “pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”
iii. pasal 50 ayat (1) “putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar
putusan juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar
untuk mengadili”
d. ketentuan pidana adat yang diatur didalam rancangan KUHP sebagai berikut :
I. didalam pasal 2 ayat (1) dan (2) RUU KUHP menjelaskan secara explisit
tentang pemberlakuan hukum yang tidak tertulis (hukum adat) didalam
sistem hukum pidana Indonesia, yang menyatakan, “ketentuan hukum pidana
yang tertulis (asas legalitas) tidak mengurangi hukum yang hidup dalam
masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sehingga didalam ketentuan RKUHP di atur lebih lanjut pada pasal 98 ayat (1)
dan (2), yang menyatakan bahwa pidana adat dapat menjadi pidana pokok
apabila memenuhi rumusan dalam pasal 2 ayat (1) sehingga nantinya akan
sebanding kekuatan pemidanaan bagi pelaku dengan kategori I.
II. Pada pasal 68 ayat (1) RUU KUHP terdapat beberapa ketentuan pidana
tambahan yang dapat diberlakukan kepada pelaku tindak pidana, dan salah
satunya pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut
hukum yang hidup didalam masyarakat.

E. Beberapa perbedaan pokok KUHP dengan hukum pidana adat


Didalam pelaksanaanya antara hukum pidana adat dengan hukum pidana menurut KUHP
terdapat berbagai perbedaan diantaranya sebagai berikut :

4
a. Hukum pidana adat bersifat terbuka
Maksudnya adalah dalam pelaksanaan penghukuman maupun perbuatan yang melanggar
dari hukum adat tersebut dapat berubah dari waktu kewaktu sesuai dengan kebutuhan
masyarkat hukum adat dimana diberlakukanya suatu ketentuan pidana adat tersebut,
sehingga dengan demikian hukum pidana adat yang diterapkan kepada pelaku tindak
pidana akan cenderung fleksible, hal ini menjadi sanggat mungkin untuk terjadi
dikarenakan hukum pidana adat tidak dituangkan dalam bentuk tertulis ataupun
dikodefikasi. Sedangkan untuk pidana yang diatur dalam KUHP menggunakan sistim
tertutup, dengan prinsip hukum itu haruslah tertulis yang diatur secara eksplisit didalam
pasal 1 ayat 1 KUHP tentang asas legalitas, (nullum delictum noela poena sine praevia
poeneli) dimana suatu perbuatan tidak dapat dipidana sebelum ada ketentuan yang
mengatur secara jelas/tertulis.
b. Perbuatan “salah”
Didalam ketentuan KUHP, salah satu unsur yang harus dipenuhi untuk mengkategorikan
seseorang sebagai pelaku tindak pidana adalah adanya kesalahan “schould” sebagaimana
asas yang menyatakan “ghen straf zonder schould” tiada pidana tampa adanya kesalahan,
selain itu kesalahan tersebut terbagi menjadi dua yakni adanya kesengajaan (dolus) dan
kelalaian (culpa). Sedangkan didalam hukum pidana adat terlepas dari perbuatan itu
memenuhi unsur dolus atau culpa, tetapi lebih kepada akibat yang timbul dari suatu
perbuatan, atau dapat dikatakan timbulnya reaksi adat tentang perbuatan yang
melanggar dari ketentuan adat. Selanjutnya dilihat pula dari akibat yang timbul tersebut
apakah berat atau ringan, apakah perlu juga dibebankan kepada keluarga, kerabat,
maupun masyarakat atau hanya kepada pelaku tindak pidana adat, hal ini yang kemudian
menjadi persoalan dikemudian hari terkait pelaksanaan sanksi pidana adat, yang tak
jarang berdampak luas kepada orang-orang disekitar pelaku tindak pidana adat tersebut.
Didalam menentukan perbuatan salah, perlu adanya pembuktian tentang unsur
kesalahan tersebut, akan tetapi didalam pidana adat tidak semua unsur kesalahan harus
dibuktikan, karna beberapa kesalahan yang tidak dibuktikan sudah umum diketahui oleh
masyarakat adat atau dikarenakan hukum sudah berlaku secara langsung kepada pelaku
tindak pidana adat tersebut.
c. Pertanggung jawaban kesalahan
KUHP mendasarkan pertanggung jawaban pidana pada kondisi fisik si pelaku. Dimana ada
pemberlakuan alasan pemaaf terhadap pelaku yang melakukan perbuatan tindak pidana
bukan keinginan atau karena terganggu jiwanya. Sehingga orang gila tidaklah dapat
dimintai pertanggung jawaban pidana. Namun didalam hukum pidana adat,
pemberlakukan alasan pemaaf tersebut untuk menghindari pertanggung jawaban pidana
tidak dapat dilakukan, hal ini karena hukum pidana adat tidak membedakan pada
pelakunya, baik itu waras atau terganggu jiwanya, sehingga orang gila dapat dimintai
pertanggung jiwaban pidana terhadap perbuatan yang dilakukanya, sehingga hal ini
berbanding lurus atau sinkron dengan pertanggung jawaban yang juga dapat dimintai
kepada orang-orang disekitar pelaku seperti keluarganya. Tapi tetap memperhatikan
berat ringanya hukuman didasarkan kepada kemampuan pelaku tindak pidana dalam
mewujudkan perbuatanya, dengan catatat orang gila yang melakukan tindak pidan
dengan orang waras yang melakukan tindak pidana tentu hukumnya berbeda. Dengan
demikian hukum pida adat menitik beratkan kesalahan yang dilakukan oleh pelakunya

5
dinilai menurut ukuran kedudukan pelaku itu didalam masyarkat, makin tinggi martabat
seseorang didalam masyarakat akan makin berat pula hukuman yang harus diterimanya.
d. Menghakimi sendiri
Didalam hukum pidana di Indonesia, perbuatan main hakim sendiri atau eigen rechting
adalah perbuatan yang dilarang, sedangkan didalam aturan hukum pidana adat, diberikan
kesempatan kepada para pihak yang menjadi korban atau menerima kerugian akibat
tindak pidana dapat bertindak sendiri menyelesaikan dan menentukan hukuman ganti
kerugian dan lain-lain terhadap pelaku yang telah melakukan kesalahan tampa menunggu
keputusan petugas hukum adat. Selain itu apabila suatu perbuatan kesalalahan tersebut
menyangkut kebendaan maka pihak yang dirugikan dapat secara langsung meminta ganti
kerugian dengan nilai yang sama dengan kerugian yang dideritanya. Walau demikian nilai
yang dimintai ganti kerugian dapat menjadi lebih besar ketika kerugian yang diderita
menyangkut tentang benda yang bersifat magis dan religius.
e. Deelneming (penyertaan)
Hukum pidana adat memandang terhadap suatu tindak pidana adat yang dilakukan secara
bersama-sama tidak dipisahka dari hukuman yang akan diterima, dimana apabila dijatuhi
hukuman maka semua pelaku haruslah dihukum, begitupula sebaliknya apabila satu
dilepaskan maka semua harus dilepaskan karena pelaku dan perbuatan adalah satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sehingga dengan demikian apabila salah satu pelaku
tindak pidana adat tidak dihukum belum dapat dikatakan masalah selesai. Hal ini berbeda
dari apa yang di atur didalam KUHP tentang deelneming yang membedakan antara peran
masing-masing pelaku didalam mewujudkan suatu tindak pidana. Sedangkan untuk
percobaan didalam hukum pidana adat, pelaku tidak dapat dihukum selagi akibat yang
timbul dari percobaan itu belum mengganggu keseimbangan hukum masyarakat.
f. Samenloop
Dalam KUHP orang yang dalam mewujudkan suatu tindak pidana dan melanggar
beberapa ketentuan pidana, dihukum terhadap kejahatan yang ancamanya paling berat
atau perbuatan tersebut di komulasikan untuk pertanggung jawaban pidananya,
sedangkan didalam ketentuan pidana adat, semua perbuatan salah yang telah dilakukan
maka akan diperhitungkan dan dinilai keseluruhanya satu persatu, sehingga
pertimbangan apakah masih bisa dimaafkan dan diampuni perbuatanya perlu di ambil
tindakan lebih jauh. Namun penyelesaian oleh petugas hukum dapat saja diserahkan
kepada keluarga atau kerabat yang bersangkutan untuk diambil tindakan sperlunya atau
jika kerabat bersangutan menyerahkanya pada petugas hukum maka pelaku samenloop
itu disingkirkan sama sekali dari pergaulan masyarakat.
g. Berat ringan hukuman
Didalam peradilan adat yang pelaksanaanya selalu didasarkan kepada asas kekeluargaan,
kedaiaman, kerukunan dan rasa keadilan, maka hakim adat bebas dalam pelaksanaan
pertanggung jawaban yang dijatuhkan kepada pelaku pelanggar hukum adat, adakalanya
kesalahan berat diselesaikan dengan hukuman yang ringan dan adakalanya pula
kesalahan yang ringan diselesaikan dengan hukuman yang berat, hal ini dapat terjadi
karena beberapa pertimbangan hakim adat seperti korban yang telah memaafkan
perbuatan pelaku ataupun rasa bersalahan yang ada pada diri pelaku, sehingga hukuman
yang diterima oleh pelaku dapat digantikan dengan pendidikan budi pekerti keagamaan.
h. Hak mendapat perlindungan

6
Menurut hukum adat yang berlaku dibeberapa daearah terdapat ketentuan bahwa
seseorang yang bersalah karena melangar hukum adat dapat meminta perlindungan dari
ancaman hukuman dari suatu pihak apabila ia datang dan meminta perlindungan kepada
kepala adat, penghulu dsb, akan tetapi tetap memperhatikan beberapa ketentuan yang
berlaku di daerah yang memberlakukan perlindungan tersebut.

F. Teori-teori pemidanaan
Tujuan pemidanaan dalam suatu sisitem hukum modern adalah :
1. Untuk menghindari dan mencegah suatu perilaku yang dapat berdampak gangguan substansial
terhadap kepentingan individu atau publik secara tidak adil
2. Untuk mempermaklumkan pada pengawasan publik terhadap orang-orang yang memiliki
perilaku yang terindikasi mengarah pada melakukan tindak kriminal
3. Untuk menjaga agar tindakan-tindakan yang tidak salah tidak dituding sebagai tindak kriminal
4. Untuk memberikan peringatan yang adil tentang sifat-sifat perilaku yang ditenggarai
merupakan pelanggaran
5. Untuk membedakan pelanggaran-pelanggaran serius dan minor secara beralasan

Menurut Andre Ata Ujan, secara umum terdapat dua macam teori pidana yaitu :
1. Teori hukuman yang menekankan efek berupa rasa takut kepada pelaku dan publik pada
umunya, atau yang umum dikenal sebagai teori “utililtarian”
2. Teori yang melihat hukuman sebagai sesuatu yang wajar karena merupakan ganjaran atas
kejahatan yang dilakukan dengan sadar, yang disebut dengan teori “retributivisme”

Secara klasik selama ini kita mengenal 3 (tiga) generasi teori pemidanaan yaitu :
1. Teori absolut (pembalasan)
Menurut teori ini tujuan pemidanaan adalah untuk membalas pelaku yang telah melakukan
tindak pidana, menurut Johanes Andenaes, tujuan utama dari pemidanaan adlaah untuk
memuaskan tuntutan keadilan. Sedangkan menurut Vos, teori pembalasan ini terbagi menjadi
dua yaitu :
1.1 pembalasan subjektif, terhadap kesalahan pelaku
1.2 pembalasan objektif, terhadap apa yang telah diciptkan oleh pelaku

sedangkan menurut Joshua Dressler membagi teori absolut menjadi 3 (Tiga) bentuk yaitu :
1.1 ancaman pembalasan, pembalasan oleh masyarakat secara moral, seperti membenci
terhadap pelaku tindak pidana
1.2 pembalasan protektif, merupakan pembalasan berdasarkan prinsip perseorangan.
1.3 Pembenaran korban, dimana merepresentasikan “kekalahan si pelaku kejahatan” dimana
ia akan diperhambahkan seperti halnya ia memperhambahkan korbanya.

2. Teori relatif (tujuan)


Menurut teori utilitarianisme klasik yang diformulasikan oleh Jiremmy Bentham, tujuan dari
segala hukum adalah untuk memaksimalkan kebahagiaan masyarakat secara utuh hukum
harus digunakan untuk sejauh mungkin meniadakan peristiwa-peristiwa yang menyakitkan
atau tidak mengenakkan.
Adapun tujuan-tujuan tertentu dari penjatuhan pidana, teori ini terbagi menjadi dua aliran
yaitu :

7
2.1 teori menakutkan, yang berpendapat bahwa tujuan dari pemidanaan ini adalah untuk
menakutkan orang sehingga tidak melakukan perbuatan pidana
2.2 teori memperbaiki, yang berpendapat bahwa pidana akan medidik si pembuatnya
sehingga menjadi orang yang baik dalam masyarakat.

dengan demikian menurut aliran ini terdapat dua fungsi hukuman yaitu :
2.1 hukuman membuat si terhukum atau orang lain menjadi tidak mampu untuk melakukan
kejahatan
2.2 fungsi rehabilitasi

3. teori gabungan (mixed theories)


banyak cendikiawan yang mencari pembenaran teori gabungan untuk menjatuhkan
pidana terhadap seorang kriminal. Disatu sisi, mereka memisahkan tujuan umum pembenaran
hukuman terhadap sang kriminal, dilain sisi terdapat peraturan tanggung jawab kriminal yang
menentukan siapa yang pantas diganjar hukuman dan seberat apa hukuman yang dapat
dikenakan.
Menurut teori gabungan ini, pidana berisikan dua unsur yang dikehendaki oleh kedua
teori sebelumnya, jadi baik sebagai pembalasan maupun sebagai menakutkan dan
memperbaiki. Sehingga dapat disimpulkan tujuan pemidanaan adalah :
3.1 menjerat si penjahat
3.2 membinasakan atau membuat tak berdaya si penjahat
3.3 memperbaiki pribadi si penjahat
teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) golongan besar yaitu :
3.1 teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh
melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya diperhatikan tata tertib
masyarakat
3.2 teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi
pendderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang
dilakukan oleh terpidana.

Tujuan pemidanaan dalam pasal 52 Rancangan KUHP 2019


a. mencegah terjadinya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan
dan pengayoman masyarakat
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar
menjadi orang yang baik dan berguna
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan,
serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat, dan
d. menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana

Anda mungkin juga menyukai