Anda di halaman 1dari 25

PERUMUSAN RANCANGAN KUHP

DALAM KERANGKA PEMBARUAN


HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BETTY TJIANDRA
Sejarah Singkat WvS (KUHP)
Di Indonesia
 Tahun 1811-1813 : Perancis menjajah Belanda.
 Tahun 1811-1886 : Code Penal Napoleon Bonaparte berlaku di Negara Belanda.
 Tahun 1886 : Mulai diberlakukan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Perancis.
 Tanggal 1 Januari 1918 : Koninklijk Besluit van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (Stb. 1915 No. 732), dinyatakan
mulai berlaku.
 Tahun 1942: Pasal 3 Osamu Seirei No. 1 Tahun 1942 menentukan:
“Semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang lalu tetap
diakui sah untuk sementara waktu asal tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Militer.”
 Tanggal 18 Agustus 1945 : PPKI bersidang dan menetapkan UUD 1945.
 Untuk menghindari kekosongan hukum, Stb. 1915 No. 732 dinyatakan tetap berlaku sesuai dengan ketentuan
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menentukan:
“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut UUD ini.”
 Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-
Indie disebut sebagai KUHP.
 UU No. 73 Tahun 1958 menentukan bahwa UU No. 1 Tahun 1946 dengan segala perubahan dan penambahannya
berlaku untuk seluruh Indonesia.
 KUHP yang sekarang diberlakukan adalah bersumber dari hukum kolonial
Belanda, yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie merupakan
turunan dari Wetboek van Strafrecht Hindia Belanda yang dibuat pada tahun
1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886. Tidak ada teks
resmi terjemahan Wetboek van Strafrecht yang dikeluarkan oleh negara
Indonesia. KUHP diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh beberapa pakar
hukum pidana, seperti terjemahan Mulyatno, Andi Hamzah, Sunarto
Surodibroto, R. Susilo, dan Badan Pembinaan Hukum Nasional.
 Dengan berlakunya hampir 100 tahun, KUHP dapat dianggap telah usang dan
tidak mencerminkan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat.
KUHP warisan zaman Hindia Belanda ini berasal dari sistem hukum kontinental
(civil law system) atau menurut Rene David disebut dengan the Romano-
Germanic Family yang dipengaruhi oleh ajaran yang menonjolkan aliran
individualism, liberalism, dan individual right. Hal ini sangat berbeda dengan
kultur bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai sosial. Jika kemudian
KUHP ini dipaksakan untuk tetap berlaku, benturan nilai dan kepentingan yang
muncul tidak mustahil justru akan menimbulkan kejahatan-kejahatan baru.
Perubahan hukum pidana pada dasarnya
dilandasi oleh kehidupan masyarakat yang
serba berubah, yang didalamnya terdapat
perubahan nilai-nilai. Beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya perubahan dalam arti
luas, yaitu:
 Adanya pemikiran manusia yang senantiasa menggunakan
akal budi yang diberikan Tuhan dalam segala aspek
kehidupannya;
 Adanya tuntutan atau kebutuhan manusia yang tidak pernah
akan terpuaskan;
 Adanya perkembangan teknologi dan komunikasi yang
mempengaruhi cara hidup manusia, seperti adanya internet
yang mengharuskan perlu adanya penyesuaian antara KUHP
dengan perkembangan masyarakat.
Pembaruan Hukum Pidana
Pembaruan hukum pidana tidak dapat dilihat dari
pendekatan legislatif belaka, melainkan suatu
pendekatan judisial, dengan mengambil bahan dan
data dari ilmu hukum itu sendiri.

Oemar Seno Aji


Barda Nawawi Arief
Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna:
1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan:
o Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah
sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai dan menunjang tujuan
nasional (kesejahteraan masyarakat, dsb).
o Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya
merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat, khususnya upaya penanggulangan
kejahatan; dan
o Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance)
dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.
2. Dilihat dari sudut pendekatan nilai.
Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian
kembali (reorientasi dan re-evaluasi) nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofi, dan sosio-kultural yang
melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan sustantif hukum pidana yang dicita-
citakan. Bukanlah pembaruan atau reformasi hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum
pidana yang dicita-citakan (KUHP baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana
(KUHP lama).
 
Dalam hubungan pembaruan KUHP, Sudarto mengemukakan pandangannya dengan memberikan
alasan-alasan sebagai berikut:
1. Alasan yang bersifat politis.
Adalah wajar bahwa Negara Indonesia yang merdeka memiliki KUHP yang bersifat nasional, yang
dihasilkan sendiri. Merupakan kebanggaan nasional yang inherent dengan kedudukan sebagai
negara yang telah melepaskan diri dari penjajahan. Oleh karena itu, tugas dari pembentuk
undang-undang menasionalkan semua peraturan perundang-undangan kolonial, dan hanya
didasarkan kepada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
2. Alasan yang bersifat sosiologis.
Suatu KUHP pada dasarnya adalah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa,
karena memuat perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki dan mengikatkan pada perbuatan-
perbuatan itu suatu sanksi yang bersifat negatif berupa pidana. Ukuran untuk menentukan
perbuatan yang mana dilarang itu tertentu bergantung pada pandangan kolektif yang terdapat
dalam masyarakat tentang apa yang baik, yang benar, dan sebaliknya.
3. Alasan yang bersifat praktis.
Teks resmi WvS adalah berbahasa Belanda meskipun menurut UU No. 1 Tahun 1946 dapat
disebut secara resmi sebagai KUHP. Dapat diperhatikan pada jumlah penegak hukum yang
memahami bahasa asing semakin sedikit. Di lain pihak, terdapat berbagai ragam terjemahan
KUHP yang beredar, sehingga dapat dimungkinkan akan terjadi penafsiran yang menyimpang dari
teks aslinya yang disebabkan karena terjemahan yang kurang tepat.
Simposium Pembaruan Hukum Pidana Nasional Semarang yang diselenggarakan
oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen dan FH UNDIP tanggal 28-30
Agustus 1980 mengungkapkan pembaruan hukum pidana di Indonesia, meliputi hal-
hal sebagai berikut:
1. Pembaruan hukum pidana nasional pada hakikatnya adalah usaha yang
langsung menyangkut harkat dan martabat bangsa dan negara Indonesia serta
merupakan sarana pokok bagi tercapainya tujuan nasional.
2. Sampai saat ini hukum pidana yang diberlakukan secara formal di Indonesia
adalah hukum pidana warisan kolonial Belanda, yang sudah sejak lama
dirasakan sebagian besar tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan
perkembangan masyarakat Indonesia meskipun telah ada penambahan secara
parsial.
3. Berdasarkan alasan politis, sosiologis, psikologis, dan alasan praktis, pembaruan
hukum pidana di Indonesia sudah dirasakan sebagai suatu kebutuhan negara,
bangsa, dan masyarakat Indonesia yang sangat mendesak. Usaha mewujudkan
hukum pidana nasional merupakan bagian mutlak dari penataan sistem hukum
nasional sesuai dengan GBHN dan dijabarkan pula dalam REPELITA.
4. Pembaruan hukum pidana tersebut haruslah dijabarkan secara menyeluruh,
sistematis, dan bertahap dengan tetap menganut asas legalitas, berdasarkan
Pancasila, dan UUD 1945 dengan pola wawasan nusantara. Lingkup permbaruan
yang dimaksud, meliputi:
o Pidana material;
o Pidana formal; dan
o Hukum pelaksanaan pidana (strafvollstreckungsrecht).
5. Usaha pembaruan hukum pidana agar didasarkan pada politik hukum pidana dan
politik kriminal yang mencerminkan aspirasi nasional serta kebutuhan masyarakat
dewasa ini dan pada masa yang akan datang dapat berkomunikasi dengan
perkembangan hukum dalam dunia yang maju. Proses pembaruan tersebut haruslah
melalui pengkajian yang mendalam mengenai:
o Sejauh mana efektivitas ketentuan undang-undang pidana (umum dan khusus)
yang dipakai sekarang;
o Hukum pidana adat dan agama yang hidup dalam masyarakat Indonesia; serta
o Keinginan yang mendasar dalam masyarakat Indonesia yang beraneka ragam,
terutama untuk menentukan asas-asas/prinsip hukum pidana Indonesia yang
tepat, termasuk materi pokoknya yang memerlukan pengaturan dalam hukum
pidana baru yang akan datang.
6. Atas dasar itu prinsip unifikasi yang telah ada harus diteruskan
atas dasar prinsip wawasan nusantara di bidang hukum dan
kodifikasi atas dasar keanekaragaman masyarakat Indonesia,
sehingga pada saatnya tidak lagi berlaku hukum pidana yang
tidak tertulis. Pencapaian sasaran ini dimaksudkan untuk
menjamin keadilan hukum dan perasaan keadilan oleh
masyarakat Indonesia yang beraneka ragam, sebab
bagaimanapun juga obyek pembaruan hukum pidana
Indonesia adalah berkisar pada manusia Indonesia yang
memiliki pandangan hidup/filsafat berdasarkan Pancasila,
sehingga pembaruan ini tidak boleh meninggalkan nilai-nilai
kemanusiaan di samping nilai-nilai kemasyarakatan dalam
rangka kepentingan bangsa dan negara.
Upaya melakukan pembaruan hukum pidana (penal reform) pada hakikatnya termasuk bidang penal policy yang
merupakan bagian dan terkait erat dengan law enforcement policy, criminal policy, dan social policy. Ini berarti,
pembaruan hukum pidana pada hakikatnya:

1. Merupakan bagian dari kebijakan (upaya nasional) untuk memperbarui substansi hukum ( legal substance) dalam
rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.
2. Merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memberantas/menanggulangi kejahatan dalam rangka
perlindungan masyarakat.
3. Merupakan bagian dari kebijakan (usaha rasional) untuk mengatasi
masalah sosial dan masalah kemanusiaan dalam rangka
mencapai/menunjang tujuan nasional, yaitu: social defence dan social
welfare.
4. Merupakan upaya peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan
reevaluasi) pokok-pokok pemikiran, ide-ide dasar, atau nilai-nilai
sosial-filosofi, sosio-politik, dan sosio-kultural yang melandasi
kebijakan kriminal dan kebijakan (penegakan) hukum pidana selama
ini. Bukanlah pembaruan (reformasi) hukum pidana apabila orientasi
nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan sama saja dengan
orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah.
id ana
uk ump
ru a n h n yang
m ba e k a ta nted
e
n, p n pend licy orie
kia
a n dem h denga an (po n yang ).
g k a
Den ditempu a kebija endekat pproach
s d p a j
haru ntasi pa kaligus oriented ogyanya i
rie se e y as
bero ch) dan lai (valu asioal se erorient g
p pr oa ada ni ana n mber/b ila yan
a a sip p id e r s u n cas lai:
t m b
rien n huku gi dan eas) P gan ni a
e r o
b
m b arua elakan basic id eimban
Pe ilatarb asar ( ya kes
d d n n);
uga ide-ide didalam a n a
pada andung (K etuh an);
e n g l ig ious anusia
m al re tic (kem
o r
1.M anis
m n;
2.Hu angsaa dan
b ;
3.Ke okrasi sial.
m
4.De dilan so
a
5.Ke
Dilancarkan Oleh Paham Realisme Hukum
Penolakan Terhadap Legal Reform
(Holmes)

LAW REFORM

Lebih Cenderung Kepada Extra Legal. Namun,


tetap Doktrin Positivistik Sebagai Landasan

Konsepnya
“The Life of Law Is Not Logic; It Has Experience”
Kehidupan Hukum Bukan Terletak Pada Logika Tetapi Berdadarkan Pengalaman

PEMBARUAN HUKUM SEBAGAI PROSES

Akhirnya Law Reform Biss Dikatakan


Sebagai Bagian dari Sebagai Resolusi
Teori Hukum Kritis: dalam
Critical Legal Studies Sosiologi Hukum
LAW REFORM
Soetandyo Wignjosoebroto :
 Hukum bukanlah urusan para hakim dan penegak hukum lainnya, tetapi juga urusan publik
secara umum. Undang-undang itu tidak bersifat sakral di atas segala-galanya. Hukum adalah
produk aktivitas politik rakyat yang berdaulat, yang digerakkan oleh kepentingan rakyat yang
berdaulat yang mungkin saja diilhami oleh kebutuhan ekonomi, norma sosial, atau nilai-nilai
ideal kultur rakyat itu sendiri.
 Pengertian law reform ini juga mencakup judicial reform, yaitu seluruh proses yang dijalani
untuk menelaah seluruh aspek sistem perundang-undangan yang ada, dalam rangka upaya
mengefektifkan perubahan di dalam sistem hukum yang ada demi meningkatnya efisiensi
sistem dalam fungsinya memberikan layanan kepada khalayak ramai yang tengah mencari
keadilan. .

Oliver Wendell Holmes :


 Hukum bukanlah sesuatu “omni present in the sky” melainkan sesuatu yang senantiasa hadir
dalam situasi konkrit “to meet the social need.”
 Kehidupan hukum bukan terletak pada logika, akan tetapi berdasarkan pengalaman
“the life of law is not logic; it has experience”.
LEGAL REFORM

Berorientasi Kepada Pembaruan UU Cenderung Kepada Proses Politik

Yudisial (Roscoe Pound) Legislatif (Mochtar)

Law as a Tool of Social Enginering

Membatasi Diri Pada


Paham Positivistik
Pembaruan yg dilakukan oleh kaum elit profesional sangat
sulit utk memasukan faktor masyarakat kedalamnya
(Analisis Kajian Semiotika Hukum)

Pada dasarnya legal reform akan lebih mudah utk merespon PEMBARUAN
kepentingan mereka yg mapan utk berkuasa daripada kepekaan HUKUM
pada kepentingan mereka yang berkedudukan marjinal & SEBAGAI
mempunyai keadaan hidup yg sangat rawan PRODUK
LEGAL REFORM
Soetandyo Wignjosoebroto :
 Pembaruan hukum dalam arti legal reform diperuntukkan bagi masyarakat di mana
hukum hanya sebagai sub sistem dan berfungsi sebagai tool of social enginering
semata-mata. Hukum hanya menjadi bagian dari proses politik yang mungkin juga
progresif dan reformatif.
 Hukum hanya menjadi bagian dari proses politik yang mungkin juga progresif dan
reformatif.
 Pembaruan hukum di sini kemudian hanya berarti sebagai pembaruan undang-
undang.

Mochtar Kusumaatmadja :
 Memperkenalkan legal reform dari teori pembangunan yang dibangun atas teori
kebudayaan dari Northop, teori orientasi kebijaksanaan (policy oriented) dari
Mc. Dougal & Laswell, serta teori pragmatis dari Roscoe Pound.
 Hukum merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat, dan juga mencakup lembaga-lembaga
dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam
kenyataan.
Sistematika KUHP (WvS)

Buku Ke-I Buku Ke-II Buku Ke-III


KETENTUAN UMUM KEJAHATAN PELANGGARAN

Terdiri dari 9 bab Terdiri dari 31 bab Terdiri dari 9 bab


103 pasal 81 pasal
385 pasal
(Pasal 1 – Pasal 103) (Pasal 489 – Pasal 569)
(Pasal 104 – Pasal 488)
Sistematika Rancangan KUHP

BUKU KESATU BUKU KEDUA


KETENTUAN UMUM TINDAK PIDANA

Terdiri dari 218 pasal Terdiri dari 568 pasal


(Pasal 1 – Pasal 218) (Pasal 219 – Pasal 786)
Perbedaan jumlah buku tersebut dilatarbelakangi beberapa alasan, sebagai berikut:
 Adanya perbedaan orientasi antara KUHP dan Rancangan KUHP. Sistematika
di dalam KUHP yang berlaku dianggap tidak
berorientasi pada 3 permasalahan pokok dalam hukum pidana. Sedangkan
sistematika Rancangan KUHP dibentuk dengan dasar pemikiran yang berpedoman
pada masalah tindak pidana, masalah pertanggungjawaban pidana, dan masalah
pidana serta pemidanaan.
 Sistematika Rancangan KUHP merupakan refleksi dari pandangan dualistis yang
memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, sehingga ada
sub-bab khusus tentang pertanggungjawaban pidana dan tentang tindak pidana.
Sedangkan di dalam KUHP tidak terdapat pembahasan khusus mengenai
pertanggungjawaban pidana (kesalahan).
 Pembagian kejahatan dan pelanggaran sebagaimana diatur dalam sistematika
KUHP tidak lagi dapat dipertahankan. Hal itu karena dalam perkembangan
masyarakat dan perkembangan hukum saat ini, keduanya tidak lagi dapat
dibedakan secara signifikan (baik dari substansi aturan maupun bentuk sanksi
pidana) dan keduanya dapat dianggap sama dengan penyebutan tindak pidana.
RUU KUHP
Di samping mempertahankan tindak pidana yang telah ada dalam KUHP (WvS), RUU KUHP memasukkan pula jenis-
jenis tindak pidana baru, antara lain:
 Tindak pidana terhadap keamanan negara.
Contoh: penyebaran ajaran sesat marxisme dan leninisme; terorisme; dan sabotase kepada negara.
 Tindak pidana terhadap ketertiban umum.
Contoh: santet; penyadapan; delik yang berhubungan dengan senjata api dan peledak; dan penyiaran berita
bohong.
 Tindak pidana terhadap pelanggaran pengadilan.
Contoh: penasehat hukum dengan lawan yang merugikan klien.
 Tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama.
Contoh: pengrusakan bangunan beribadah; penghasutan untuk meniadakan kepercayaan umat beragama;
penghinaan terhadap Tuhan, Rasul, Kitab, dan ajarannya.
 Tindak pidana yang membahayakan keamanan umum bagi orang, kesehatan, barang, dan lingkungan hidup.
Contoh: pencemaran limgkungan.
 Tindak pidana yang melanggar HAM.
Contoh: genocida; tindak pidana kemanusiaan; tindak pidana perang; dan konflik bersenjata.
 Tindak pidana kesusilaan.
Contoh: menyebarkan rekaman yang melanggar kesusilaan; kumpul kebo; incest, serta peluasan perumusan
delik pemerkosaan.
 Tindak pidana penadahan, penertiban, dan percetakan.
Contoh: pencucian uang hasil kejahatan khususnya narkotika, ekonomi, dan korupsi.
Ditinjau dari segi ilmu hukum pidana, pembaruan KUHP (materi hukum pidana) dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
1. Pembaruan dengan cara parsial, yakni dengan cara mengganti bagian demi bagian dari kodifikasi hukum pidana
2. Pembaruan dengan cara universal, total, atau menyeluruh, yaitu pembaruan dengan mengganti total kodifikasi
hukum pidana.

Usaha pembaharuan KUHP secara menyeluruh/total dimulai dengan adanya rekomendasi hasil Seminar Hukum
Nasional I, pada tanggal 11-16 Maret 1963 di Jakarta telah menghasilkan berbagai resolusi, antara lain menyerukan agar
rancangan kodifikasi hukum pidana nasional secepat mungkin diselesaikan.

 Tahun 1964 : Rancangan KUHP I disusun.


 Tahun 1968 : Rancangan KUHP II disusun.
 Tahun 1971-1977 : Basarudin dan Iskandar Situmorang menyusun Rancangan KUHP III, IV, dan V disusun.
 Tahun 1979 : Dibentuk tim pengkaji hukum pidana di bawah BPHN untuk menyusun Rancangan KUHP VI.
 Tahun 1980-1985 : Pembahasan intensif melalui lokakarya dan seminar untuk menyusun Rancangan KUHP VII dan VIII.
 Tahun 1987 : Rancangan KUHP X disusun.
 Tahun 1991 : Andi Hamzah menyatakan bahwa 99% Buku I dan 80% Buku II Rancangan KUHP XI telah selesai disusun.
 Tahun 1999 : Kementerian Kehakiman menghasilkan Rancangan KUHP XII untuk diserahkan kepada DPR.
 Tahun 2013 : Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerahkan Rancangan KUHP XIII ke DPR. Sampai masa akhir
jabatannya, rencana revisi itu tak membuahkan hasil.
 Tanggal 5 Juni 2015, Presiden Jokowi menerbitkan Surat Presiden mengenai pembahasan Rancangan KUHP yang akan
dibahas bersama Komisi III DPR RI periode 2014–2019 dengan prioritas Buku Kesatu.
Perubahan-perubahan dan/atau pembaruan yang bersifat parsial/ tambal sulam, ad hoc,
dan bernuansa evolusioner, antara lain:

1. UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (merubah nama WvSNI
menjadi WvS/KUHP, perubahan beberapa pasal dan kriminalisasi delik pemalsuan
uang dan kabar bohong.
2. UU No. 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan (menambah jenis pidana pokok
berupa pidana tutupan).
3. UU No. 8 Tahun 1951 tentang Penangguhan Pemberian Surat Izin kepada Dokter dan
Dokter Gigi (menambah kejahatan praktik dokter).
4. UU No. 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah RI dan
Mengubah KUH Pidana (menambah kejahatan terhadap bendera RI).
5. UU No. 1 Tahun 1960 tentang Perubahan KUHP yang memperberat ancaman pidana
Pasal 359, 360, dan memperingan ancaman pidana Pasal 188.
6. UU No. 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP, yang merubah
kata-kata vijf en twintig gulden dalam pasal-pasal 364, 373, 379, 384, dan 407 ayat
(1) KUHP menjadi dua ratus lima puluh rupiah.
7. UU No. 18 Prp Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam KUHP dan dalam ketentuan
hukum pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 (hukuman denda dibaca dalam
mata uang rupiah dan dilipatkan lima belas kali).
8. UU No. 2 PNPS Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan
Di lingkungan Peradilan Umum dan Militer.
9. UU No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang antara lain telah
menambahkan ke dalam KUHP Pasal 156 a.
10. UU No. 3 Tahun 1971 yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang pada dasarnya
menetapkan beberapa pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan penyuapan dan tindak pidana jabatan
menjadi tindak pidana korupsi.
11. UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penerbitan Perjudian, yang memperberat ancaman pidana dalam Pasal 303
ayat (1), Pasal 542 ayat (1), dan 542 ayat (2) KUHP dan merubah sebutan Pasal 542 menjadi Pasal 303 bis.
12. UU No. 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian dengan
Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan
terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan, yang memperluas ketentuan berlakunya hukum pidana menurut
tempat (Pasal 3 dan 4), penambahan Pasal 95 a, 95 b, dan 95 c serta menambah Bab XXIX A tentang
Kejahatan Penerbangan.
13. UU No. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan
Negara, khususnya berkaitan dengan kriminalisasi terhadap penyebaran ajaran Marxisme dan Leninisme
(menambah kejahatan terhadap keamanan negara Pasal 107 a-f).

Anda mungkin juga menyukai